2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Legum Pakan Tropis Kebutuhan pakan ternak ruminansia terbesar adalah berasal dari hijauan. Hijauan pakan dimanfaatkan untuk hidup pokok dan produksi oleh ternak ruminansia. Sumber hijauan yang umum dimanfaatkan sebagai tanaman pada umumnya adalah berasal dari rumput-rumputan (graminae), legum dan sisa pertanian. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan yang besar maka perlu diperhatikan ketersediaannya agar tidak terjadi kekosongan sumber hijauan pakan. Ketersediaan hijauan pakan di daerah tropis lebih dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau, kondisi air tanah menjadi defisit sehingga berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sekitar 75% konsumsi hijauan pakan di daerah tropis berasal dari rumput sedangkan pemanfaatan legum tidak begitu menonjol karena pemeliharaan yang cukup sulit pada pasture campuran (Martin, 1993). Legum merupakan jenis tanaman yang mempunyai kandungan protein kasar yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber pakan hijauan ternak herbivora (Purbajanti, 2013). Legum mempunyai kualitas yang lebih tinggi dibanding rumput, karena memiliki serat kasar rendah, protein tinggi serta lebih disukai oleh ternak. Legum pada umumnya memiliki daun yang lebih lebar dibandingkan dengan rumput dan mempunyai kemampuan mengikat nitrogen dari udara karena bersimbiosis dengan Rhizobium yang terdapat pada bintil akarnya sehingga legum memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding rumput. Martin (1993) menyatakan beberapa manfaat tanaman legum pada pastura yaitu: legum mengandung protein tinggi dan dapat memperkaya pakan bila dikombinasikan dengan rumput serta memiliki kemampuan untuk meningkatkan nitrogen pada tanah. Beberapa jenis tanaman legum yang umum dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan ternak di Indonesia di antaranya adalah Leucaena leucocephala, Centrocema pubescens, Stylosanthes, Clitoria ternatea, Calopogonium, dan lain-lain. Legum tersebut merupakan sumber hijauan pakan berprotein tinggi dan murah. Leucaena leucocephala Leucaena berasal dari Amerika, memiliki palatabilitas tinggi, produksi tinggi, kaya protein dan toleran terhadap kekeringan (Jones, 1979, diacu dalam, Masafu, 2006; Gutteridge dan Shelton, 1998). Leucaena leucocephala termasuk dalam family Mimosacea, merupakan jenis tanaman pohon yang tumbuh bisa mencapai tinggi 7 – 18 m. Bagian daun dari tanaman ini mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi bagi ternak ruminansia. Tanaman ini mengandung asam amino mimosine yang bisa menyebabkan rontok bulu pada ternak (ECHO, 2006). L. leucocephala berkualitas tinggi sebagai sumber pakan ruminan dan sebagai kayu bakar oleh petani Asia Selatan, dan Afrika. Ditanam dengan sistem pagar bersama rumput di Australia, Asia dan Afrika. Digunakan juga sebagai tempat bernaung tanaman kopi dan coklat. Nilai gizi daun L. leucocephala cukup tinggi untuk produksi ternak dengan kecernaan 55-70%, 3-4.5% N, 6% ether extract, 6-10% abu, 0.8-1.9% Ca dan 0.23-0.27% P. Daunnya juga mengandung
2-6% tannin, merupakan senyawa fenolik phenolic yang mengikat dan melindungi protein pakan dari degradasi di dalam rumen. Produksi hijauan bervariasi tergantung kesuburan tanah, curah hujan, ketinggian, densitas dan frekuensi pemotongan 1-15 t/ha/tahun. Produksi daun maksimal didapatkan pada saat pemotongan dengan interval 6-12 minggu selama periode pertumbuhan. Sebagai pagar tanaman ekstensif pada daerah tropis dan subtropis, produksinya berkisar 2-6 t/ha/tahun (Cook et al., 2005). Indigofera zollingeriana Indigofera sp merupakan salah satu legum pohon yang dapat menghasilkan hijauan sepanjang tahun (Suharlina dan Abdullah, 2012). Indigofera sp dapat beradaptasi pada kondisi tanah kering dan salin, dan merupakan sumber pakan alternatif bagi ternak ruminansia (Ginting et al., 2010). Indigofera sp. memiliki produktivitas yang tinggi dan kandungan nutrien yang cukup baik, terutama kandungan proteinnya yang tinggi yakni 24,17% (Sirait et al., 2012). Desmodium sp Tanaman legum ini berasal dari Meksiko Barat dan Amerika, disebarluaskan ke Asia Selatan. Desmodium merupakan jenis legum semak pohon dengan tinggi 1-3 m dan bisa hidup selama 2-3 tahun, memiliki daun tipis dengan panjang sekitar 5-7 cm, bunga ungu, biji kecil dan keras. Desmodium biasa dimanfaatkan sebagai kontur pagar dan alley cropping. Kelebihan dari Desmodium ini adalah pertumbuhannya yang cepat, bisa sebagai pagar tanaman dan sumber pakan yang berkualitas bagus. Sedangkan keterbatasan Desmodium adalah hidup sebentar (2-3 tahun), tidak toleran terhadap cekaman kekeringan dan cekaman dingin serta penanaman harus dari biji (Cook et al., 2005).
Gambar 2.1 Tanaman Leucaena leucocephala,Indigofera zollingeriana, Desmodium sp yang termasuk tanaman legum pohon yang digunakan dalam penelitian Calopogonium mucunoides Calopogonium mucunoides merupakan tanaman tropis yang berasal dari Amerika Selatan, secara luas didistribusikan sebagai cover crop, tidak tahan terhadap cekaman kekeringan, mudah menggugurkan daun tergantung dari intensitas musim kering (FAO, 2011). Legum ini merupakan tanaman herba
tahunan dengan masa hidup yang pendek, memiliki daun trifoliolate, berbunga biru atau ungu, menghasilkan 65.000-70.000 biji/kg. Merupakan sumber pupuk hijau, penutup tanah, mengurangi erosi dan meningkatkan kesuburan tanah. Meskipun secara umum palatabilitasnya rendah, ternak memakan Calopo saat musim kering di Asia tropis dan Afrika. Dapat beradaptasi pada daerah tropis basah dengan curah hujan musiman 1.500 mm. Tidak terlalu tahan terhadap kekeringan, sangat tahan terhadap genangan. Kelebihan tanaman ini adalah perkecambahannya cepat, sebagai cover crop (Cook et al., 2005). Macroptilium bracteatum Tanaman ini biasa disebut Burgundy bean berasal dari Amerika Selatan, terdapat di Argentina, Bolivia, Brazil, Paraguay, Peru dan Venezuela dengan curah hujan bervariasi antara 400 sampai 1600 mm. Tanaman ini tumbuh pada musim panas, tahan terhadap kekeringan, merupakan legum yang tidak menyebabkan kembung dan dapat memproduksi sampai 10 ton bahan kering per hektar. Dapat tumbuh sampai tinggi 80 cm, daunnya yang berbulu membuat tanaman ini tahan terhadap kekeringan tetapi tidak mempengaruhi palatabilitas, dapat tumbuh pada temperatur rendah dibandingkan dengan legum tropis dan subtropis lainnya, sehingga mempunyai musim tumbuh yang lama (Di P, 2010). Kelebihan Burgundy bean di antaranya adalah: dapat mengatasi kesuburan tanah yang menurun, dapat berkecambah dan tumbuh pada kondisi dingin, tidak menyebabkan kembung pada ternak. Merupakan tanaman pakan yang berkualitas tinggi, daunnya mengandung 3.2% N, 0.23% P dan ADF 29.3%, (Whitbread dan Lawrence, 2006). M. bracteatum digunakan sebagai tanaman pastura dengan masa pendek pada tanah alkaline di daerah subtropis, tahan terhadap suhu dingin. M. bracteatum dapat berproduksi sampai 5–8 t/ha/tahun bahan kering pada daerah subtropis. Kelebihan dari tanaman ini adalah dapat berkecambah dan tumbuh pada kondisi dingin, sangat disukai, beregenerasi dengan baik dari biji setiap tahun (Cook et al., 2005). Clitoria ternatea Legum ini biasa disebut Butterfly pea, merupakan jenis legum yang mempunyai banyak manfaat. Clitoria ternatea merupakan tanaman pakan yang memiliki palatabilitas tinggi, mempunyai batang yang sangat kecil dengan daun yang lebar, tidak menyebabkan kembung dan tidak mengandung toksik membuat tanaman ini ideal sebagai hijauan. Tanaman ini tahan terhadap dingin dan kekeringan. Kandungan protein kasar mencapai 10.5% - 25.5% (Gomez dan Kalamani, 2003). Manfaat lain C. ternatea disamping sebagai tanaman pakan dan penutup tanah, ternyata C. ternatea juga sangat baik sebagai tanaman obat. Potensi tanaman C. ternatea sebagai tanaman obat didukung oleh kandungan senyawa kimia seperti saponin, flavonoid, alkaloid, Ca-oksalat, dan sulfur (Suarna, 2012). C. ternatea dapat meningkatkan kesuburan tanah untuk meningkatkan hasil dari tanaman sorgum, maize dan gandum. Dipakai juga sebagai spesies revegetasi pada lahan bekas tambang batu bara. Tahan terhadap kekeringan dan dapat hidup pada tempat dengan curah hujan hanya 400 mm per tahun dan musim kering 5-6 bulan. Nilai nutrisi cukup bagus, protein tinggi dan kecernaan bisa mencapai 80%, N daun 3.0%, produksi mencapai 4.200 kg/ha bahan kering pada 4 bulan
pertumbuhan, sedangkan produksi saat musim kering adalah 2-6 t/ha/tahun bahan kering (Cook et al., 2005). Centrosema pascuorum Tanaman pakan ini berasal dari Meksiko dan didistribusikan ke Brazil, Ekuador, Venezuela. Centrosema pascuorum merupakan tanaman semusim, dan dapat beradaptasi pada daerah tropis dengan musim kering sampai 8 bulan, cocok pada daerah dengan curah hujan 700-1.500 mm per tahun. Tanaman individu mati pada kondisi kekeringan, tetapi populasinya bertahan melalui mekanisme drought escape dengan percepatan tumbuh dan pembungaan serta produksi biji yang tinggi. Palatabilitas cukup bagus, kandungan protein kasar dan kecernaan bervariasi tergantung umur tanaman dan musim, berturut-turut berkisar antara 627% dan 42-79%. Produksi bahan kering 4-9 t/ha/tahun (Cook et al., 2005). Pueraria javanica Legum ini biasa disebut Kudzu tropis dengan nama latin Pueraria javanica (Roxb.) Benth, merupakan tanaman pakan yang secara tradisional sebagai pakan sapi dan penutup tanah (Cordial et al., 2006). Pueraria javanica merupakan legum tahunan yang memanjat, sedikit berkayu, berbulu, diameter batang utama 6 mm dan panjangnya bisa mencapai 10 m. Pucuk muda biasanya dilapisi oleh bulu coklat. Cukup adaptif terhadap berbagai tipe tanah tetapi tidak bagus pada tanah liat. Adaptasi bagus pada tanah masam (pH 3.5-5.5), tetapi membutuhkan media tanah dengan kesuburan tinggi. Tidak tahan terhadap salinitas, cukup tahan terhadap genangan air tapi dalam waktu pendek. Legum ini kurang tahan terhadap kekeringan, dapat bertahan selama 4-5 bulan, tetapi akan mengalami kehilangan daun cukup banyak. Tanaman ini memiliki kandungan protein kasar 12-24%, kecernaan 60-70%. Kualitas nutrisi menurun saat musim kering. Di Villavicencio, Kolombia, karakteristik kimia tanaman umur 6 bulan 50% KCBK, 22.6% PK, 0.30% P dan 0.65% Ca pada musim hujan; dibandingkan dengan 55.5% KCBK, 19.8% PK , 0.23% P dan 0.52% Ca pada musim kemarau (Cook et al, 2005). Centrocema pubescens Centrocema mempunyai banyak species diantaranya adalah C. unifoliatum, C. sagittatum, C. pascuorum, C. virginianum, C. angustifolium, C. plumier, C. schottii, C. macrocarpum, dan C. molle (Duno et al., 2008). Centro menyukai daerah basah dengan curah hujan sampai 1.750 mm per tahun, tapi juga bisa tumbuh pada daerah dengan curah hujan 750 mm per tahun. Tanaman ini tahan terhadap genangan air yang sifatnya sementara. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 915 m, menyukai suhu antara 13°C - 30° C. Cocok hidup pada tanah dengan pH 4.9-6.0 (HDRA, 2000). Tanaman ini berasal dari Amerika dan Meksiko. Daun trifoliolat, bunga violet, dan produksi biji sekitar 36.000 biji/kg (Cook et al., 2005).
Gambar 2.2 Tanaman Calopogonium mucunoides, Macroptilium bracteatum, Pueraria javanica, Clitoria ternatea. Stylosanthes seabrana, Centrocema pascuorum, Centrocema pubescens yang termasuk tanaman legum herba yang digunakan pada penelitian Stylosanthes seabrana Legum ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan untuk sapi, kerbau, domba, kambing dan babi; untuk reklamasi lahan dan sebagai tanaman campuran pada lahan kering (Chandra et al., 2006). Stylosanthes seabrana pertama dikenalkan pada tahun 1980 oleh CSIRO’s Plant Introduction group, Australia dan CIAT’s Genetic Resources group, Colombia (Vanni dan Fernandez, 2011). Stylosanthes berasal dari Brazil, biasa digunakan sebagai legum pastura dan merupakan legum musim panas. Tanaman ini dapat hidup pada daerah dengan curah hujan 400-1.190 mm per tahun dan 2-7 bulan musim kering, cukup adaptif pada lingkungan tropis dan subtropis dengan curah hujan 500-1.000 mm per tahun, sangat tahan terhadap kekeringan, dan tidak dapat tumbuh pada tanah yang tergenang (Cook et al., 2005).
Peranan Air bagi Tanaman Air merupakan faktor utama yang sangat penting karena membentuk 7090% (Fitter dan Hay, 2002) dari bobot segar tanaman tidak berkayu; 80-90% (Kramer dan Boyer, 1995), 80-95% (Taiz dan Zeiger, 2002) dari bobot segar tanaman yang sedang tumbuh dan 35- 75% (Taiz dan Zeiger, 2002), 50% (Kramer dan Boyer, 1995) dari berat segar tanaman berkayu. Air pada sel tanaman merupakan media yang tepat untuk banyak reaksi biokimia; pelarut reaksi biokimia; sebagai media untuk transport dan distribusi molekul organik polar
(mis. sukrosa pada floem), ion inorganik (nutrient dari akar ke daun pada xylem); dan atmosfer gas (difusi oksigen untuk respirasi) (Fitter dan Hay, 2002). Noggle dan Frizt (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu sebagai: (1) senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) senyawa pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel lain, (3) media terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) reaktan pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat, (5) penghasil hidrogen pada proses fotosintesis, (6) menjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel, (7) mengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman tertentu, (8) berperan dalam perpanjangan sel, (9) bahan metabolisme dan produk akhir respirasi, serta (10) digunakan dalam proses respirasi. Kebutuhan air pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur tanaman, kadar air tanah dan kondisi cuaca. Fungsi air adalah sebagai: (a) komponen essensial tumbuhan, (b) pelarut, di dalamnya terdapat gas. garam dan zat terlarut lainnya yang bergerak keluar masuk sel, (c) pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis, dan (d) air essensial untuk menjaga turgiditas di antaranya dalam pembesaran sel dan pembukaan stomata (Griffin et al., 2004; Kramer dan Boyer, 1995). Ketersediaan air dalam tanaman diperoleh melalui proses fisiologis dan hilangnya air dari permukaan bagian tanaman melalui proses evaporasi dan transpirasi. Pergerakan air pada tanaman diatur oleh perbedaan potential air, yaitu: air mengalir dari potensial tinggi menuju potensial rendah. Tujuan pergerakan air pada tanaman adalah: (1) sebagai alat transport nutrisi dari tanah menuju organ tanaman yang memerlukan, (2) agar sel tanaman tetap tegak (disebut turgor), (3) untuk transpirasi tanaman, dan (4) tanaman dapat secara aktif mengatur laju aliran air (transpirasi) melalui pengaturan ukuran dari pembukaan stomata (Bouman et al., 2007).
Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berdampak sangat buruk terhadap pertumbuhan tanaman sehingga dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman (Jun-Feng et al., 2010). Cekaman kekeringan terjadi ketika ketersediaan air tanah menurun dan kondisi atmosfir menyebabkan kehilangan air terus menerus melalui transpirasi atau evaporasi (Jaleel et al., 2009; Taiz dan Zeiger, 2002). Salah satu penyebab terjadinya cekaman kekeringan adalah tingginya kecepatan evaporasi yang melebihi laju absorbsi air oleh akar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cekaman kekeringan ditandai dengan rendahnya kadar air, penyusutan potensial air daun dan tekanan turgor, penutupan stomata serta berkurangnya pembesaran dan pertumbuhan sel (Borges, 2003). Reaksi tanaman terhadap cekaman kekeringan berbeda pada berbagai tingkatan tergantung pada intensitas dan durasi dari cekaman, species tanaman serta tingkatan pertumbuhannya (Chaves et al., 2002). Mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh tanaman dalam merespon cekaman kekeringan dapat
dikelompokkan pada 2 mekanisme utama yaitu drought tolerance (mentolerir kekeringan) dan drought avoidance (menghindari kekeringan) (Salisbury dan Ross, 1992). Respon tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan dengan mekanisme penghindaran (avoidance mechanisms) seperti; mengurangi perkembangan daun, penurunan kadar air relatif dan jumlah cabang dan juga bisa melalui mekanisme toleran (tolerance mechanisms); peningkatan rasio akar:tajuk (Li et al., 2010; Calvet et al., 2004; Meyer dan Boyer, 1981). Mekanisme drought avoidance dikarakterisasi dengan nilai potensial air daun lethal dan kadar air relatif (RWC) yang relatif masih tinggi dan osmotik adjustment yang relatif kecil, tanaman yang mengembangkan mekanisme drought tolerance dikarakterisasi dengan status air daun (potensial air daun dan RWC) lethal yang rendah dan meningkatkan akumulasi solute aktif saat mengalami cekaman kekeringan (Auge et al., 1998). Jenk dan Hasegawa (2005) menyatakan bahwa tanaman yang menghindari kekeringan berusaha untuk mempertahankan potensial air tetap tinggi dan tanaman yang toleran terhadap kekeringan adalah dapat mentolerir saat terjadinya defisit air. Mekanisme toleran terhadap kekurangan air bisa dihubungkan dengan akumulasi dari osmoprotektan seperti gula terlarut (Salwa dan Heba, 2011; Tatar dan Gevrek, 2008; Parida et al., 2007). Menurut Hamim (2004), pengaruh cekaman kekeringan bergantung pada genetik tanaman, di mana perbedaan morfologi, anatomi dan metabolisme akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap cekaman kekeringan. Ketika jumlah absorbsi air mulai terbatas, maka tanaman memiliki mekanisme untuk mencegah kehilangan air dengan melakukan penutupan stomata. Perubahan pada ketahanan mekanisme stomata sangat diperlukan untuk mengatur kehilangan air oleh tanaman dan untuk mengatur pengambilan karbondioksida (CO 2) yang penting untuk ketersediaan fiksasi CO2 selama proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 2002). Jaleel et al., (2008) menyatakan bahwa cekaman kekeringan dikarakterisasi dengan penurunan kandungan air, turgor, potensial air total, pelayuan, penutupan stomata dan pengurangan perluasan dan pertumbuhan sel. Cekaman kekeringan yang parah dapat menyebabkan fotosintesis terhenti, menghambat metabolisme dan akhirnya mati. Kekeringan selain menurunkan laju fotosintesis, juga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan akibat rendahnya potensial air dan turgor tumbuhan (Tezara et al., 2002). Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan merespon dengan perubahan ditingkat seluler dan molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman. volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun, peningkatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi aktivitas enzim dan hormon (Pugnaire et al., 1999). Cekaman kekeringan dapat menghambat pertumbuhan tanaman, salah satunya dapat dilihat pada perluasan daun. Penurunan luas daun merupakan respon pertama tanaman terhadap kekeringan. Keterbatasan air akan menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan akan menghambat pertumbuhan luas daun. Kecilnya luas daun akan menyebabkan rendahnya transpirasi, sehingga menurunkan suplai air dari akar ke daun. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus lama kelamaan akan terjadi absisi daun (Taiz dan Zeiger, 2002). Respon tanaman secara keseluruhan terhadap cekaman kekeringan adalah: (a) pengurangan daun; (b) penutupan stomata; (c) berkurangnya fotosintesis dan
respirasi; (d) berkurangnya perubahan asimilasi terus menerus pada organ pertumbuhan; (e) mempercepat penuaan daun; (f) meningkatkan rasio akar tajuk (Banziger et al., 2000). Vurayai et al. (2011) menyatakan bahwa cekaman kekeringan menurunkan laju ekpansi relatif daun, jumlah daun, tinggi tanaman, dan rasio tajuk:akar tergantung pada tahap perkembangan dari tanaman itu sendiri pada saat terjadi cekaman kekeringan. Kadar air relatif / Relatif Water Content (RWC) yang menggambarkan kadar relatif air daun merupakan salah satu parameter ketahanan tanaman menghadapi cekaman kekeringan. Proses fotosintesis pada sebagian besar tanaman akan mulai tertekan bila nilai RWC kurang dari 70%, sehingga tanaman memerlukan pengaturan dalam tubuhnya diantaranya dengan melakukan penutupan stomata (Quilamboo, 2004). Menurut Ashri (2006) cekaman kekeringan selama 14 hari pengamatan akan menurunkan nilai RWC menjadi 4333% pada varietas kedelai budidaya dan 24 hari sebesar 30% pada varietas kedelai liar. RWC dapat dijadikan ukuran ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan. Shao et al. (2008) menyatakan bahwa potensial air daun dan RWC menurun pada setiap tahap pertumbuhan shorgum yang mengalami cekaman kekeringan. Kadar air relatif berhubungan dengan jumlah air yang tersisa setelah dehidrasi yang didapatkan saat turgid jaringan penuh dan memberi informasi tentang sebagian kecil kandungan air jaringan. Menurut Stoyanov (2005) cekaman kekeringan secara signifikan mempengaruhi perubahan pada RWC dan potensial air daun pada daun tanaman young bean. Setelah kekeringan hari ke-21, stem water potensial, RWC, rasio berat turgid dan berat kering, dan konsentrasi pati menurun secara signifikan dibandingkan dengan kontrol, sedangkan jumlah prolin dan potassium meningkat secara signifikan yang mengindikasikan bahwa kemampuan dalam pengaturan osmotik pada Miniature rose (Meshkinjan et al., 2010). Akumulasi dari beberapa compatible solute seperti gula, betain dan proline yang mengatur potensial osmotik sel merupakan reaksi awal tanaman pada saat mengalami cekaman kekeringan (Tatar dan Gevrek, 2008). Compatible solute berperan penting dalam toleran kekeringan, karena dapat melindungi tanaman dari stres melalui mekanisme berbeda termasuk pengaturan osmotik selular, detoksifikasi ROS, melindungi integritas membran dan penstabil protein enzim (Ashraf dan Foolad, 2007). Menurut Volaire dan Thomas (1995) pada perlakuan cekaman kekeringan, total gula terlarut (water soluble carbohydrate) meningkat dari 10%-30% pada hari ke 43. Beberapa tanaman sub-tropis, termasuk Wheat (Triticum sp) menyimpan kelebihan carbon dalam bentuk water soluble carbohydrate (WSC), terutama mengandung fructo-oligosakarida (fruktan) seperti sukrosa dan heksosa (Ruuska et al., 2006). Karena kandungannya dalam jumlah banyak dan secara cepat dapat dimobilisasi, WSC diimplikasikan sebagai sumber karbon dominan untuk mobilisasi pada grains, terutama ketika fotosintesis aktif yang terhambat akibat cekaman kekeringan pada sereal (Foulkes et al., 2007). Beberapa hasil penelitian menujukkan bahwa perlakuan kekeringan meningkatkan akumulasi prolin pada berbagai jenis tanaman seperti: gandum (Chorfi dan Taibi, 2011; Moaveni, 2011), padi (Mostajeran dan Eichi, 2009; Pirdashti et al., 2009), jagung (Effendi, 2009), temulawak (Khaerana et al., 2008),
Bentgrass (Da Costa dan Huang, 2006), tembakau (Yue et al., 2011) dan kedelai (Hapsoh et al., 2006). Peningkatan akumulasi prolin pada tanaman yang terkena cekaman merupakan parameter yang bagus untuk mengetahui ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan. Pada tanaman Oryza sativa yang mengalami cekaman kekeringan, terjadi degradasi protein dan konsekuensinya adalah peningkatan kandungan prolin dan penurunan kandungan protein pada daun (Roy et al., 2009). Kondisi cekaman kekeringan meningkatkan konsentrasi beberapa jenis asam amino, jumlah prolin bebas adalah sekitar 60% dari seluruh asam amino yang terakumulasi (Yamada et al., 2005).
Prolin dan Cekaman Kekeringan Tanaman pada kondisi cekaman kekeringan mengakumulasi prolin, beberapa peneliti menyatakan tentang peningkatan akumulasi prolin pada tanaman gandum (Johari-Pireivatlou et al., 2010), Petunias (Yamada et al., 2005), Aeluropus (Vaziri et al., 2011), dan tomat (Jurekova et al., 2011) yang mengalami cekaman kekeringan. Pada kondisi cekaman kekeringan moderate (-1 MPa) dan tinggi (-1.5 MPa), tanaman canola meproduksi prolin dalam jumlah tinggi untuk melindungi sel dari cekaman, kandungan prolin pada akar relatif lebih tinggi dibanding tajuk (Omidi, 2010). Peningkatan prolin bertujuan untuk melindungi sel tanaman yang mengalami cekaman kekeringan (Omidi, 2010); membantu melindungi dan perkembangan sel dari kerusakan osmotik akibat cekaman (Khalil dan El-Noameni, 2012). Peningkatan nilai prolin seiring dengan peningkatan cekaman merupakan salah satu mekanisme pertahanan pada tanaman yang terkena cekaman yang digunakan untuk menurunkan potensial osmotik sel, sehingga meningkatkan asupan air pada sel (Khalil dan El-Noameni, 2012). Akumulasi prolin yang dramatis disebabkan peningkatan biosintesis prolin dan berkurangnya degradasi prolin, sebaliknya penurunan tingkat akumulasi prolin pada tanaman yang dehidrasi disebabkan rendahnya biosintesis prolin dan meningkatnya degradasi prolin (Yoshiba et al., 1997; Kavi Kishor et al., 2005).
Gambar 2.3 Jalur biosintesis prolin pada tanaman ditandai dengan anak panah garis tegas ( ▬► ), dan pada organisme rendah ditandai dengan garis putus-putus ( ---►) (Kavi Kishor et al., 2005)
Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pada tanaman yang mengalami cekaman, prolin tidak hanya disintesis dari glutamate, tetapi juga dari arginin atau ornithin. Arginin dikonversi menjadi ornithin oleh enzim arginase. Pada tanaman, GSA secara langsung berasal dari ornithine melalui enzim ornithine d-aminotransferase (d-OAT) (Kavi-kishor et al., 2005). Sintesis prolin utamanya melalui glutamate, dimana direduksi menjadi glutamate-semialdehyde (GSA) oleh enzim pyrroline-5carboxylate synthetase (P5CS) dan secara spontan berubah menjadi pyrroline-5carboxylate (P5C). Kemudian P5C reductase (P5CR) mereduksi P5C intermediate menjadi proline. Jalur alternatif, prolin dapat juga disintesis dari ornithin, dimana awalnya ditransaminasi oleh ornithine-delta-aminotransferase (OAT) memproduksi GSA dan P5C, kemudian dirubah menjadi prolin (Szabados dan Savoure, 2009).
Mikoriza Definisi mikoriza pertama kali dikemukakan oleh Frank pada tahun 1885. Mikoriza dapat didefinisikan sebagai hubungan mutualisme antara cendawan dengan tanaman induk, mikoriza mendapatkan karbohidrat dari tanaman dan sebagai gantinya tanaman mendapatkan nutrisi dari mikoriza (Albrecht et al., 1999; Scott, 2008; Pearson et al., 2006). Berdasarkan morfologinya mikoriza dapat digolongkan menjadi: ektomikoriza, endomikoriza (mikoriza arbuskular), arbutoid, monotropoid, ectendo, ericoid dan orchid (Smith dan Read, 2008; Scott, 2008). Pertumbuhan fungi mikoriza dimulai 2-10 hari setelah diinokulasi pada akar tanaman. Fungi mikoriza mengeluarkan hyfa dan memproduksi jaringan radikal (radical shape network) dengan diameter 2.5 mm. Kontak pertama antara mycelium dan akar terjadi pada 1-3 hari setelah perkecambahan. Tujuh hari setelah kontak antara fungi-induk, beberapa spora sekunder atau strukturnya seperti vesikel terlihat sama dengan spora sebenarnya kecuali pada ukuran (diameter 20-30 µm). Spora asli yang pertama terbentuk adalah 25 hari setelah terjadi kontak dan jumlah spora akan meningkat secara eksponensial. Spora ini hyaline dan keputih-putihan pada awalnya, tetapi berubah menjadi kuning kecoklatan. Setelah 12 minggu, 1000-2500 spora terlihat pada setiap plat (Eskandari dan Danesh, 2010). Secara hakiki sistem pertahanan tanaman terhadap cekaman, beberapa mikroorganisme tanah terbukti dapat mengurangi symptom cekaman. Mikoriza bersimbiosis dengan akar tanaman dengan cara mengkolonisasi jaringan kortikal akar selama masa pertumbuhan aktif tanaman (Song, 2005). Inokulasi dengan arbuscular mikoriza (AM) tidak mempengaruhi pH tanah tetapi meningkatkan keseimbangan agregat tanah dan menurunkan konsentrasi ion garam pada tanah, meningkatkan pertumbuhan tanaman, kandungan gula terlarut, kandungan klorofil, dan aktifitas akar dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Li et al., 2012). Banyak penelitian mengindikasikan bahwa arbuscular mycorrhiza (AM) berperan banyak terhadap pertumbuhan tanaman inang saat kondisi cekaman kekeringan. Karti (2004) menyatakan bahwa mikoriza selain berfungsi memperbaiki status nutrisi pada rumput Setaria splendida Stapf, juga dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan. Simbiosis dengan AM dapat memperbaiki kapasitas serapan dan meningkatkan pertumbuhan dari tanaman induk, terbukti pada sugarcane, mung bean, apel, jeruk, gandum, tomat dan wild jujube (Wu dan Xia, 2004). Wu et al. (2008) menyatakan bahwa kolonisasi dengan fungi arbuskular mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan pada tanaman Citrus dan dapat mempengaruhi penyimpanan kandungan air tanah melalui glomalin’s pada stabilitas agregat air tanah. Mekanisme mikoriza dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan melalui beberapa faktor sebagai berikut: (1) meningkatkan hara tanah di rizosper; (2) memperluas area akar tanaman sehingga meningkatkan efisiensi penyerapan air; (3) mengaktifkan sistem pertahanan tanaman secara cepat; (4) memprotek tanaman dari kerusakan oksidatif karena cekaman kekeringan (Song, 2005). Wu dan Xia (2006) menjelaskan bahwa kolonisasi dengan AM menstimulasi pertumbuhan dan biomassa pada tanaman Poncirus trifoliatartifoliate tanpa memperhatikan status air. Keuntungan dari kolonisasi dengan AM pada kondisi cekaman kekeringan adalah pada peningkatan pengaturan osmotik tanaman. Peningkatan ketahanan kekeringan pada tanaman bermikoriza bisa dihubungkan dengan kemampuan dari hypa untuk mengakses ruang pori yang kecil yang tidak bisa dilakukan oleh akar dan rambut akar dari tanaman induk dan penyerapan air oleh mycelia dari AM untuk mempertahankan aktivitas fisiologis selama cekaman kekeringan (Christopher et al., 2008). Hasil penelitian Subramanian et al. (2006) pada tanaman tomat, kolonisasi mikoriza mempengaruhi status nutrisi dari tanaman inang, status air dan pertumbuhan baik pada kondisi kering maupun air cukup di lahan. Simbiosis dengan mikoriza dapat meringankan pengaruh buruk dari cekaman kekeringan melalui peningkatan fotosintesis dan status air tanaman. Tanaman yang diinokulasi dengan mikoriza memiliki kandungan kadar air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza. Cekaman kekeringan pada tanaman bermikoriza selalu dikaitkan dengan pertukaran gas, seperti perilaku stomata dan perubahan transpirasi (Zhu et al., 2012). Menurut Evelin et al. (2009) kemampuan fungi mikoriza arbuskular dalam melindungi tanaman dari kerusakan akibat cekaman kekeringan tergantung pada perilaku dari masingmasing species mikoriza. Pengaruh positif fungi arbuskular mikoriza (AM) lebih besar pada genotype cabe yang peka dibandingkan dengan genotype cabe yang toleran (Purnomo et al., 2008). Peranan FMA dalam meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap cekaman kekeringan lebih besar pada genotype kedelai yang peka dibandingkan dengan genotype yang toleran (Hapsoh et al., 2006).