TINJAUAN PUSTAKA Pigmen Pewarna Kuning Telur Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap warna kuning telur. Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa karotenoid merupakan suatu pigmen yang terdapat pada tanaman maupun hewan yang merupakan prekursor vitamin A.
Lebih dari 600 karotenoid telah diidentifikasi di
alam, sebanyak 50-60 karotenoid memiliki sifat sebagai provitamin A (Flora et al. 1999). Prawirokusumo (1991) mengatakan bahwa vitamin A terdiri dari empat macam yaitu : 1) vitamin A acetate (retinyl acetate), 2) vitamin A alkohol (retinol), 3) vitamin A aldehyde (retinal), 4) vitamin A acid (retinoic acid). Hati menyimpan kurang lebih 90% total vitamin A dalam bentuk ester retinol. Dalam tubuh, fungsi utama vitamin A dilaksanakan oleh retinol dan kedua derivatnya yaitu retinal dan asam retinoat. Ester retinol yang terlarut dalam lemak makanan akan terdispersi dalam cairan empedu dan dihidrolisis di dalam lumen usus, yang kemudian diserap langsung oleh epitel usus. Senyawa carotene yang dikonsumsi mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim carotene dioksigenase. Didalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase dengan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe yang kemudian masuk ke dalam aliran darah (Murray et al. 1996). Senyawa karotenoid dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu carotene, xanthophyll, ester xanthophyll dan likopen (Chichester 1976 dalam Arafah 1994). Carotene adalah pigmen berwarna kuning sampai merah tersusun atas ikatan isoprene dengan 2 methyl ditengah dalam posisi 1: 6 dan posisi lateral adalah 1: 5. Stadelman dan Co tterill (1984) mengatakan bahwa umumnya karotenoid dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut xanthophyll. Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur sangat ditentukan oleh pakan.
Kandungan xanthophyll total bahan makanan dapat dilihat dalam Tabel 1, sedangkan persentase jenis-jenis karotenoid dalam jagung kuning, tepung alfalfa dan alga dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karotenoid total kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1 Kandungan xanthophyll total bahan makanan Bahan Makanan Tepung marigold petal Tepung alga Tepung alfalfa kering Rumput pantai Bermuda Bungkil lembaga jagung (60%) Bungkil lembaga jagung (41 %) Jagung kuning Tepung kunyit
Xanthophyll Total (mg per kg) 7000 2000 280 270 290 125 17 40 s/d 68 kali jagung
Sumber : Amrullah (2003)
Tabel 2 Karotenoids dalam alfalfa, jagung kuning dan tepung alga kering Karotenoid Lutein Zeaxanthin Violaxanthin Neoxanthin Crytoxanthin Lain-lain
Alfalfa (%) 46 4 16 14 7 13
Jagung Kuning (%) 54 23 8 15
Alga (%) 86 2 4 8
Sumber : Smith dan Perdue (1966) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Tabel 3 Karotenoid total 2.5 mg per 100 gram kuning telur Karotenoid Lutein A Zeaxanthin Cantaxanthin ß-cryptoxanthin
Persentase (%) 40 19.8 17.9 17.3
Sumber : Matsuno et al. (1986) dalam Stadelman dan Cotterill (1984)
Absorbsi dan Transportasi Karoten serta Vitamin A Karotenoid merupakan prekursor vitamin A. Beberapa
hewan
mamalia
mempunyai kemampuan yang spesifik untuk mengabsorpsi karotenoid yang berasal dari makanan. Saluran usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A, meskipun organ-organ lainpun
mampu mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Enzim pemecah carotene yaitu -carotene 15, 15 oxygenase, dan hal ini telah dibuktikan pada usus halus, hati dan ginjal tikus. Reaksi-reaksi yang dikatalisa oleh enzim ini memerlukan oksigen. Produk awal dan satu-satunya produk yang terbentuk adalah retinal (Piliang 2001). Murray (1996) mengatakan bahwa senyawa
-carotene yang dikonsumsi
mungkin dipecah lewat reaksi oksidasi oleh enzim
-carotene dioksigenase. Di
dalam mukosa usus, retinal direduksi menjadi retinol oleh enzim spesifik retinaldehid reduktase deangan menggunakan NADPH. Retinal dengan jumlah yang kecil akan teroksidasi menjadi asam retinoat. Sebagian besar retinol mengalami esterifikasi dengan asam lemak jenuh dan menyatu ke dalam kilomikron limfe dan masuk ke dalam darah. Jumlah deposit masing-masing pigmen tanaman tergantung pada jumlah gugus hidroksi atau gugus keton dalam molekul. Umumnya dihydroxy xanthophyll (Lutein dan zeaxanthin) dan diketo xanthophyll (canthaxanthin) lebih efisien ditransfer ke kuning telur daripada monohydroxy xanthophyll (cryptoxanthin) dan monoketo xanthophyll (Bracunlich 1978 dalam Stadelman dan Cotteril 1984). Kaliandra Kaliandra termasuk jenis pohon semak berkayu, dengan ciri-ciri batang mempunyai banyak cabang, tidak lurus dan pendek, pohon yang sudah dewasa mempunyai tinggi 12 m dengan diameter 20 cm.
Di daerah Jawa, kaliandra
merupakan tanaman yang bermanfaat. Kayunya untuk kayu bakar, daun-daunnya digunakan untuk pakan ternak. Kaliandra ada dua spesies, tetapi yang ditanam untuk tujuan ilmu kehutanan (forestry) adalah calliandra calothyrsus (bunga merah) dan calliandra tetragona (bunga putih).
Kedua spesies kaliandra ini berasal dari
Guatemala dan dikenalkan ke Indonesia tahun 1936. Kaliandra mulai disebarkan pertama kali adalah di pulau Jawa. Umumnya Indonesia menggunakan calliandra calothyrsus (NRC 1983). Kaliandra kemudian menjadi sumber pakan ternak yang mudah didapat, meskipun terbatas informasi tentang ketersediaan nilai nutrisinya.
Beberapa
penelitian di Australia, kaliandra telah dikenal menjadi pakan ternak yang palatabel tinggi untuk grazing dan pen-fed animals (B. Palmer, unpublished data). Rahardjo
dan Cheeke (1985) dalam Palmer (2006) melaporkan bahwa 22% protein kasar, 3070% serat kasar, 4-5% abu dan 2-3% lemak terdapat pada daun kering kaliandra. Daun kaliandra mengandung protein, carotene (provitamin A), dan xanthophyll yang cukup tinggi. Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia tepung daun kaliandra berdasarkan bahan kering Komposisi Kimia Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak (%) BETN (%) Kalsium (%) Fosfor (%) Energi bruto (kkal/kg)
Tepung Daun Kaliandra 1 19.65 19.61 3.27 42.78 4068
Tepung Daun Kaliandra2 20.36 32.64 2.69 38.41 -
Tepung Daun Kaliandra3 22.71 15.50 3.41 1.39 0.37 4275
Keterangan : 1) Soebarinoto (1986); 2) Narsum (1983) 3) Purwanegara (1988)
Disisi lain Suryadi (1995) dalam Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa kaliandra memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi yaitu 24.8 % pada daun segar dan 22.8 % pada daun kering. Permasalahan yang ada pada pemanfaatan kaliandra sebagai sumber pakan ternak ruminansia adalah tingkat konsumsi dan kecernaannya yang rendah. Tidak ada zat toxic yang ditemukan pada kaliandra tetapi mengandung tanin kondensasi dengan konsentrasi tinggi al.1989 dalam Palmer 2006).
sampai 11% (Akin et
Cannas (2001) melaporkan bahwa terdapat dua
kelompok tanin yang berpengaruh terhadap nutrisi ternak, yaitu tanin hidrolisis dan tanin kondensasi yang biasa disebut proanthocyanidin. Tanin didefinisikan sebagai water soluble polymeric phenolics yang mengikat protein (Reed 1995). Disisi lain Hagerman (2002) mendefinisikan tanin adalah water soluble phenolic compunds yang mempunyai berat molekul antara 500 sampai 3000, mempunyai sifat tidak hanya membentuk ikatan komplek dengan protein dan alkaloids tetapi juga dengan polisakarida.
Kemampuan
tanin
untuk
bereaksi
dengan
protein
dan
mengendapkannya menimbulkan masalah pada penyiapan enzim atau protein lain dari beberapa tumbuhan. Kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak (Robinson 1995).
Syahrir dan Fattah (2000) melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar tanin dari bahan pakan kaliandra segar (5.6%) dalam sistim rumen. Hal ini diakibatkan oleh terbentuknya ikatan antara tanin dengan protein, mineral atau zat lain yang ada dalam rumen. Tanin dikenal juga dapat membentuk komplek dengan ion bivalen seperti Fe++ yang dapat menurunkan ketersediaan ion Fe ++ dalam tubuh (Hassan et al. 2003).
Kegunaan tanin adalah sebagai proteksi (by pass) protein, tetapi tanin
dengan level tinggi bisa menurunkan kecernaan protein untuk ternak. Nadiar (1979) dalam Palmer (2006) menambahkan bahwa tepung daun kaliandra telah diketahui sebagai sumber protein dan sumber carotene untuk produksi telur komersial. Wiryawan
(1999) mengatakan bahwa senyawa tanin dapat dihilangkan
dengan perlakuan alkali misalnya dengan penambahan NH4OH, NaOH, K2CO3 atau CaO.
Perendaman daun kaliandra dalam larutan kapur tohor menaikkan nilai
kecernaan nutrisi daun kaliandra.
Pada perendaman dalam larutan CaO 2 %
mengakibatkan kenaikan kecernaan protein sebesar 58.28 %, kecernaan NDF sebesar 17.74 % dan kecernaan ADF sebesar 12.35 %. Selanjutnya dilaporkan bahwa kadar tanin dalam bahan kering kaliandra sekitar 11.3 %.
Adanya tanin dalam daun
kaliandra dapat menurunkan nilai cerna dari protein. Hasil analisis kandungan tanin dalam daun kaliandra pada laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi bervariasi antara 1
17 %.
Paterson et al. (1999) dalam Stewart et al. (2001) melaporkan
bahwa hijauan ternak C. colothyrsus segar dapat meningkatkan berat badan ternak pedaging dan produksi susu pada sapi. Penambahan sedikit daun kaliandra untuk pakan ayam petelur (0.6
2.5 % dari pakan pokok) akan menghasilkan warna
kuning telur yang lebih kuning tanpa pengaruh negatif pada jumlah telur yang dihasilkan dan pada konversi pakan (Paterson et al. 2000 dalam Stewart et al. 2001). Anggorodi (1985) menyatakan bahwa adanya xanthophyll dalam pakan unggas dapat meningkatkan warna kuning telur.
Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa makin
tinggi tingkat pemberian daun kaliandra atau daun lamtoro dalam pakan menyebabkan skor warna kuning telur bertambah tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan xanthophyll yang dikandung daun kaliandra atau daun lamtoro. Limbah Udang Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku.
Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke
tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun.
Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai
633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton. Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk (Prasetiyo 2004). Marganof (2003) mengatakan bahwa saat ini budidaya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang , pengalengan
udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang, dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu dan lain-lain.
Kulit udang mengandung
protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992) dalam Mirwandhono dan Siregar (2006) bahwa limbah udang mengandung protein 41.9%, khitin 17.0%, abu 29.2% dan lemak 4.5% dari bahan kering. Berdasarkan kandungan protein yang cukup tinggi, limbah kepala udang juga mengandung semua asam amino esensial terutama methionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati. Kepala udang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kandungan protein yang terdapat di kepala udang masih cukup tinggi. Oleh karena itu kepala udang sangat potensial digunakan sebagai pakan.
Tabel 5 Hasil analisis komposisi kimia limbah udang * Jenis kandungan Kadar air Protein kasar Lemak Serat kasar Kadar abu Kalsium Fosfor BETn Nitrogen Keterangan : *
Jumlah (%) 14.0 ** 43.40 1.40 13.20 26.80 7.05 1.52 1.20
6.30*** 44.10 4.30 12.10 27.30 11.40 1.80 -
Sudah dikeringkan ** Hartadi et all. (1997) *** Oke et al. (1978)
Raharjo (1985) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian cangkang udang sampai 30 % untuk menggantikan tepung ikan dan bungkil kedele ternyata meningkatkan produksi telur sebanyak 12 % dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sebesar 18 %, serta memberikan warna kuning telur menjadi lebih baik. Perbaikan warna kuning telur pada pemberian 30 % cangkang udang mungkin disebabkan oleh adanya pigmen yang dikandung dalam udang, seperti astaxanthine yang memberikan warna kuning kemerahan.
Itik Lokal Jenis itik lokal adalah merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner. Itik Indian Runner adalah bangsa itik yang sangat terkenal sebagai penghasil telur. Budidaya ternak itik tersebar hampir diseluruh Indonesia. Adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda-beda, serta isolasi geografis dalam jangka waktu yang lama, maka muncul sifat khas yang membedakan itik daerah satu dengan daerah lain. Menurut Soedjai (1974) dan Srigandono (1986) itik lokal mempunyai 3 varietas dengan tempat adaptasi yang berbeda-beda yaitu : itik Bali (Anas sp.) berkembang di Bali, itik Alabio (Anas platyrhynchos borneo) berkembang di Kalimantan dan itik Tegal (Anas javanica) berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara. Bentuk badan itik Tegal adalah merupakan contoh itik Indian Runner yaitu dengan posisi berdiri yang hampir tegak lurus.
Warna bulu umumnya coklat dengan
beberapa variasi warna tertentu. Bentuk badannya lebih besar daripada itik Bali, warna kerabang telur berwarna biru kehijau-hijauan.
Tanabe et al.
(1984)
melaporkan bahwa itik Tegal mempunyai hubungan kekerabatan dengan itik Khaki Campbell, yaitu merupakan persilangan itik Rouen dengan itik Indian Runner. Potensi Itik Lokal Indonesia merupakan negara dengan populasi itik terbesar kedua setelah Cina, khususnya di Asia. Dari populasi tersebut separuhnya ada di pulau Jawa yang luasnya hanya 10% dari luas Indonesia. Jawa Tengah secara nasional mempunyai populasi itik tertinggi kedua setelah Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) bangsa itik Jawa Tengah yang terkenal produksi telurnya tinggi yaitu itik Tegal dan itik Magelang. Itik Tegal banyak diusahakan oleh peternak di sepanjang pantai utara, sedangkan itik Magelang banyak dipelihara oleh peternak disekitar keresidenan Kedu (Subiharta et al. 2001). Itik lokal memiliki sifat unggul yaitu masak kelamin dini. Pada umur 113 hari kelompok itik berasal dari Tegal telah mulai bertelur, untuk itik Mojosari umur mulai bertelur adalah 145 hari dan untuk itik Bali 157 hari (Hardjosworo 2001). Chavez dan Lasmini (1978) dalam Subiharta et al. (2001) melaporkan bahwa produksi telur tertinggi itik Tegal pernah mencapai 80 %. Sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur, ini dapat dilihat dari hasil penelitiannya dengan menggunakan itik Tegal yang dipelihara secara intensif mampu berproduksi 212 butir pertahun dengan variasi antara 100
300
butir. Produksi telur tersebut akan dapat terwujud apabila pakan yang diberikan memenuhi kualitas dan kuantitas. Hardjosworo (1990) menyatakan bahwa itik Tegal mempunyai potensi untuk ditingkatkan kemampuan produksi telurnya, karena dari kenyataan sekitar 50 % itik yang digunakan dalam penelitian menghasilkan produksi telur ( duck
day ) lebih
besar dari 50 %. Pengaruh Daun Kaliandra dan Kepala Udang terhadap Kinerja Itik Produksi Telur Produksi telur (duck-day) dari sekelompok itik dapat tinggi bila 1) Itik-itik dalam kelompok tersebut unggul 2) Itik-itik mulai bertelurnya relatif serempak 3)
Manajemen terhadap itiknya sesuai dengan yang dibutuhkan ternaknya (Hardjosworo et al. 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam upaya peningkatan produktivitas telur, mutu bibit merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan itik. Produksi telur pada unggas sangat bervariasi untuk setiap individu selama periode bertelur.
Ada hubungan yang erat antara
jumlah telur yang dihasilkan dengan waktu periode bertelur (Koops dan Grosman 1991 dalam Laksmiwati 1997). Roesdiyanto et al.
(2001) menyatakan bahwa
sebagai unggas lokal, itik Tegal merupakan unggas air yang produktif sebagai penghasil telur. Produksi telur itik lokal sangat bervariasi dan ini tergantung dari jenis itik, sistem pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan. Hardjosworo (1989) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa penggunaan pakan berbentuk pellet dengan kandungan protein 18 % dapat meningkatkan produksi telur, bobot badan dan memperpanjang siklus produksi, dibanding dengan pakan berbentuk halus dengan kandungan protein 16 % atau pellet dengan kandungan protein 16 %. Konsumsi Ransum Banyak faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi yaitu : 1) macam unggas 2) umur unggas 3) lingkungan, terutama cuaca 4) tingkat produksi. Sementara itu Wahju (1985) melaporkan bahwa pakan yang dikonsumsi oleh hewan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan produksi. Tingkat energi di dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya, keaktifannya, temperatur lingkungan dan apakah untuk pertumbuhan atau untuk mempertahankan produksi telur. Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah temperatur lingkungan, bentuk ransum, kualitas ransum, kecepatan pertumbuhan, produksi telur, stress dan kesehatan ternak.
Amrullah (2003)
mengatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi.
Jika
ayam dapat menyesuaikan konsumsi zat makanannya tepat dengan jumlah yang dibutuhkan, maka besarnya kebutuhan dapat dinyatakan dalam persen atau tingkat energi dalam ransum. Lubis 1963 dalam Laksmiwati (1997) melaporkan bahwa itik
mengkonsumsi ransum lebih banyak dari ternak ayam yaitu satu setengah kali dari konsumsi ransum ternak ayam, dan lebih toleran terhadap serat kasar dibanding dengan ternak ayam (Mutzar et al. 1977 dalam Laksmiwati 1997). Kecernaan Kepala Udang Kecernaan didefinisikan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam feses, dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh (Mc Donald et al. 1988) ; atau selisih antara zat-zat makanan yang terkandung di dalam pakan yang dimakan oleh ternak dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi 1979). Bila nilai tersebut dinyatakan sebagai persen terhadap konsumsi disebut koefisien cerna. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala dan ekornya. Fungsi kulit pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kalsium karbonat (45%-50%) dan khitin (15%-20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya (Marganof 2003) Limbah udang merupakan sumber khitin dan khitosan karena kulit udang mengandung khitin sebesar 20
30 % dari berat keringnya dan keberadaannya
bergabung dengan unsur-unsur lain seperti protein, kalsium karbonat, magnesium karbonat dan pigmen karotenoid (Jhonson dan Peniston 1982). Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, cortengterfa dan nematoda.
Khitin
biasanya berkonjugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus dan bagian dalam kulit cumi-cumi (Marganof 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10, merupakan zat padat yang tidak berbentuk (amorphous), tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat.
Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-
glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Khitin termasuk golongan homopolisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polimer linier dari anhidro N-asetil-D glukosamin (N-asetil2amino-2-dioksi-D-glukosa (Silverstein et al. 1981 dalam Sudibya 1998). Struktur khitin sama dengan selulosa, dimana ikatan yang terjadi antar monomernya terangkai dengan ikatan glukosida pada posisi
- (1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah
gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon no 2, pada khitin digantikan oleh gugus asetamida (NHCOCH3) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit Nasetil glukosamin (Carroad dan Tom 1978 dalam Sudibya 1998). Syamsuhaidi (1997) menyatakan bahwa selama ini perhatian terhadap peran caecum pada unggas sebagai organ pencernaan fermentative agak terabaikan. Pertumbuhan usus dan caecum dapat dirangsang oleh serat, karena VFA (volatile fatty acid) produk pencernaan serat merupakan sumber energi bagi mikroba. Caecum menyerap air sehingga berperan serta dalam termoregulasi dan osmoregulasi.
Bakteri yang hidup di dalamnya mampu membuat vitamin B
kompleks. Bakteri tersebut mungkin dapat direkayasa sehingga unggas mungkin dapat diberi pakan berserat tinggi sehingga harga pakannya murah. Supadmo (1997) melaporkan bahwa ayam broiler
yang diberi ransum mengandung khitin dan
khitosan dengan level 30g/kg, pada hari ke-10 dan 18 ayam-ayam penelitian untuk kontrol dan ransum khitin mempunyai berat yang lebih besar, konsumsi pakan yang lebih baik dan rasio konversi pakan lebih rendah dari pada ayam-ayam yang diberi ransum khitosan. Selain itu pemberian serat mengurangi absorbsi lemak sehingga deposisi lemak ke dalam daging dan telur ayam dapat ditekan. Selanjutnya Sudibya (1998) menyatakan bahwa penggunaan berbagai tingkat duckweed dalam ransum ayam ras pedaging dapat mengurangi deposisi lemak abdominal dan kolesterol karkas serta ada tendensi penurunan lemak karkas, kolesterol dan trigliserida serum. Ada hubungan antara kadar trigliserida darah dengan kualitas telur (warna kuning telur) seperti yang dilaporkan Purba (2003) dalam penelitiannya bahwa kualitas telur berupa kuning telur menurun setelah rontok bulu. trigliserida dalam darah yang kuning telur menurun.
Penurunan tersebut karena
merupakan pembawa (carrier) pigmen pembawa
Konversi Ransum Konversi ransum tidak saja merupakan suatu angka untuk merefleksikan kemampuan fisiologis dalam memanfaatkan semua unsur-unsur gizi ransum, namun mempunyai arti dan nilai ekonomis yang menentukan bagi kepentingan berusaha. Perbandingan input unit ransum yang dikonversikan menjadi output unit berat badan akan menghasilkan angka fisik bagi tolok ukur perhitungan ekonomis. Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu-satuan bobot badan atau produksi telur. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah suhu lingkungan, laju perjalanan ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik ransum. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa peningkatan konsumsi yang diikuti dengan penurunan pertambahan bobot badan menyebabkan tingginya konversi ransum.
Semakin kecil angka konversi
ransum berarti semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum yang diberikan. Pengaruh Daun Kaliandra terhadap Alat Reproduksi Organ reproduksi ayam betina pada masa embrio terdiri dari sepasang ovarium dan oviduk, akan tetapi selama masa pertumbuhannya dan saat mencapai dewasa kelamin hanya ovarium dan oviduk bagian kiri yang berkembang normal sedangkan bagian kanan mengalami penyusutan atau rudimenter (Sturkie 1976). Laksmiwati
(1997) melaporkan dalam penelitiannya bahwa penggunaan
daun kaliandra lebih baik dibandingkan dengan daun lamtoro karena perkembangan alat reproduksi lebih baik, produksi telur lebih tinggi, lebih efisien dalam penggunaan pakan.