8
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 H utan Hujan Tropis Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang mengorbit pada matahari. Namun dari delapan planet tersebut, hanya bumi yang sangat istimewa dan menakjubkan. Planet ini dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan udara, pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta menangkis bendabenda dari luar angkasa yang memasuki bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah dan air yang sangat baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan sangat beragam, komplek dan sempurna. Menurut penelitian, kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu. Salah satu komponen pe nting da lam menjaga kestabilan ekos istem di bumi adalah hutan. Hutan merupaka n hampa ran vegetasi raksasa yang berperan sebagai paruparu
(Soemarwoto
1991) karena
mengeluarkan Oksigen (O 2 ),
menyerap
Karbondioksida (CO 2 ) sekaligus menimbun karbon (C) dalam bentuk bahan organik (Carbon pool).
Penelitian terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan
sebagai jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung uap air dari lautan ke daratan. Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan metabolisme yang jauh lebih besar dibanding hutan di daerah sub tropis, temperate dan boreal karena memperoleh sinar matahari penuh sepanjang tahun.
Namun demikian, dengan
tingginya suhu da n curah hujan di daerah tropis menyebabkan proses pelapukan (weathering), perombakan (decomposition), aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin tinggi. Fenomena inilah menyebabka n tanah di hutan tropika sangat peka terhadap perubahan. Tanah marginal ini hanya menampung sedikit biomassa dibanding dengan lapisan tanah di hutan tempe rate da n sekitarnya. Sebagian besar (sekitar ¾) biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya (MacKinnon et al. 2000). Serasah di lantai hutan yang cepat terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk menjalankan metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbe ntuklah siklus hara tertutup.
Peneba ngan po hon-pohon dari hutan, seperti pada kegiatan eksploitasi
hutan atau hilangnya sebagian besar vegetasi akibat pe neba ngan liar, perambahan
9
dan kebakaran hutan dapat membuka siklus hara tertutup
dan menurunkan
kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis. Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik hutan diselingi alur memanjang berupa sungai (environment resources corridors) yang bercabangcabang membentuk anak-anak sungai.
Jaringan sungai dan anak sungai serta
jaringan jalan yang dibuat manusia (disturbance corridors) membentuk line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya (Forman & Gordon 1986). Pada stream corridor biasanya ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal eksploitasi terbe ntuk disturbance patches yang rawan erosi namun cepat mengalami pemulihan (Farima 1998) . Hutan hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada umumnya membagi lima strata hutan tropis (Soerianegara & Indrawan 2005) yaitu: a. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk pohon mendapatkan cahaya matahari secara penuh baik dari atas atau samping. Strata ini didominasi pohon-pohon besar seperti kempas (Koompassia exelca, K.malaccensis), meranti (Shorea pinanga, S.parvifolia, S.smithiana, S.spp), keruing (Dipterocarpus louwii, D.spp), kapur (Dryobalanops aromatica, D.spp), Ulin (Eusideroxylon zwagery) dan lain- lain. b. Strata B merupaka n lapisan ke dua dimana tajuk po hon hanya mendapa tka n sinar matahari dari atas.
Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain terentang
(Campnospermum spp), perupuk (Lophopetalum spp), bintangur (Calophyllum inophyllum), keranji (Diallium sp) dan lain- lain. c. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon hanya mendapatkan sinar matahari dari celah-celah tajuk po hon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain jambuan (Syzigium sp), sintuk (Cinnanomum sp) dan lain- lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B masih berada pada lapisan C dalam proses pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos memasuki strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi (ketika pohon tua telah tumbang). Banyak d iantara po hon-pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya karena belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan trop is yang sangat rapat dan lebat menimbulkan efek persaingan tempat tumbuh yang tinggi. d. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi hanya mendapatkan sinar matahari dari pantulan tajuk pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat pancang da n tiang dari berbagai jenis termasuk famili dari Dipterocarpaceae.
10
Adakala permudaan Dipterocarpaceae mengalami dormansi karena tidak mendapatkan ruang tumbuh, terutama sinar matahari, yang op timal untuk perkembangannya. e. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi tumbuhan bawah, herba, perdu serta semai dari berbagai jenis. Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan tropis masih mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil yang kaya bahan organik. Struktur hutan tropis seperti ini telah menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive dengan iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya.
Masing- masing
pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara (nutrients safety net) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia (Kozlowski & Pallardy 1997 ; Oliver & Larson 1990) . Hijau dan lebatnya hutan hujan tropis seakan-akan mencerminka n kesuburan tana h di sana, namun sebe narnya hanya ilus trasi yang semu (MacKinnon et al. 2000). Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun di hutan akan mengalami beberapa proses (Lee 1990), yaitu: a. Intersepsi (interception), yaitu bagian dari air hujan yang menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air ini biasanya terdapat di tajuk po hon, da han da n ranting. b. Tranpirasi (transpiration) yaitu air yang menguap melalui permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi pada daun yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai respon untuk mempertahankan diri dari panas dan kekeringan (dehidration). c. Evaporasi (evaporation), yaitu air yang menguap kembali dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah. d. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir melalui daun, ranting dan cabang pohon kemudian mengalir ke bawah melalui batang pohon. Aliran batang ini berjalan perlahan sampai ke permukaan tanah. e. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah melalui celah-celah tajuk atau da un po hon.
Air hujan aka n tertahan pada tumbuhan bawah dan
serasah sebelum sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur tanah. Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian besar lapisan top soil. Perakaran ini telah menciptakan rongga tanah sehingga terbentuk pori-pori pada permukaan tanah yang berguna untuk aerasi udara dan proses infiltrasi. Lapisan top
11
soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptaka n eko sistem tersendiri. Berbagai jenis mikroorganisme, cacing, serangga, rhizobium, mikorisa dan lain- lain hidup dan berkembang biak di sana. Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar berubah menjadi aliran batang (stem flow) pada berbagai strata yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada di lantai hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik, serasah dan humus, kemudian, sebagian besar mengalami infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah (mengisi kapasitas infiltrasi tanah). Apabila tanah telah mencapai titik jenuh, sebagian air akan berubah menjadi aliran permukaan yang relatif jernih. Dengan demikian hutan sangat berperan dalam proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian zat hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga ketersediaan air dan kesuburan tanah. Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Whitmore (1975), dalam hutan hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30 ribu jenis flora. Menurut MacKinnon et al. (2000), dalam hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari 3.000 jenis pohon berkayu termasuk 267 spesies Dipterocarpaceae.
Pulau ini sekaya benua Afrika
meskipun luasnya 40 kali lebih kecil. Hutan tropis di Kalimantan mempunyai 34% jenis endemik. Menurut Ashton (1982) dalam McKinnon et al. (2000), 58% dari seluruh jenis Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik.
Pulau ini juga
mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis dan merupakan pusat jenis kantong semar (Nepenthes).
Suku ende mik Kalimantan yang terkenal adalah
Scyphostegiaceae (Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000). Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi masing- masing menyimpan 222, 196, 183 dan 127 jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan mempunyai 44 jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik (Payne 1985 da lam MacKinnon et al. 2000). Hutan tropis Kalimantan juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis burung tetap (37 jenis endemik), 166 jenis ular, 100 jenis amfibi, 394 jenis ikan air tawar (149 jenis endemik) dan lain- lain. Apabila hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna tersebut telah rusak maka sebagaian besar flora dan fauna tersebut juga musnah, khususnya yang endemik. Hutan hujan trop is merupaka n hamparan pertumbuhan pohon-pohon yang sangat lebat dan luas dan berinteraksi dengan lingkungannya membentuk ekosistem yang
12
komplek.
Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen hutan
merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses fotosintesa yang menyerap karbondioksida (CO 2 ) sehingga dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sebagai penyebab efek pemanasan global. Proses fotosintesa dapat dituliskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut: CO2 + H2 O +
sinar matahari
(C6 H10O5 )n + O2
kloropil
Dari persaman tersebut terlihat bahwa proses fotosintesa menyerap CO 2 dan air (H2 O) dengan bantuan sinar matahari dalam media yang mengandung zat hijau daun (chlorophyl) kemudian menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi dan cadangan karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman dan oksigen (O 2 ) yang dihasilkan dari proses fotofosforilasi dari air. Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan ko nservasi ada lah ka wasan hutan de ngan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Luas hutan di Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164 juta ha atau 87,280% dari luas daratan Indo nesia (Suratmo et al. 2003).
Menurut Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) luas kawasan hutan Indo nesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha (Hani’in 1999), namun luasan ini mengalami penurunan menjadi 126,8 juta ha pada tahun 2005 (Balitbanghut 2008) dengan komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha, hutan lindung 32,4 juta ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi tetap 35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha.
Dalam kawasan hutan
tersebut, luas areal yang berhutan hanya sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan lain- lain (data tidak lengkap) 6%. Laju kerusakan hutan sebesar 1,8 juta ha per tahun (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per tahun pada tahun 1997-2000 (Balitbanghut 2008).
Pada saat ini hutan produksi telah banyak terfragmentasi
(Indrawan 2008) dan membentuk mosaik lanskap berupa hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan tanah kosong (Pasaribu 2008, Suhendang 2008).
13
2.2 Perkembangan Sistem Silvikultur 2.2.1 Pengertian sistem silvikultur Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Didalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap, kegiatan penanaman/ pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). Menurut Ditjen PH (1993) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda.
Pada hutan alam
produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman.
Dengan
demikian definisi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008). Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegaka n semua umur (all-aged stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem teba ng habis (clear cutting). Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
14
a. Polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun b. Monocyclic system, yaitu jumlah pe nebangan (siklus teba ng) yang hanya seka li selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB. Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008).
Lanskap hutan hujan tropis telah
membentuk mosaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan (2008 ) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapka n pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil
hutan lainnya serta
dapat
mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: a. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta
kombinasi antara
spesies
(genetik),
manipulasi
lingkungan dan
pengenda lian hama terpadu (integrated pest management). Teknik pengendalian ini diterapka n dalam TPTI Intensif. b. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis)
15
c. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan. 2.2.2 Perkembangan sistem silvikultur di Indonesia Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan. Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972.
Namun sistem ini mempunyai
kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per ha. Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi Ø ≥ 25 cm sebanyak 25 pohon per ha serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM. Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) dilakuka n berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IVBPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasan pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegitan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005). Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV- BPHH/1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pe mbinaan hutan. Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil
16
penanaman/pengayaan (enrichment/planting).
Sistem ini juga tidak sesuai
diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tenggara Barat dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008).
Menurut Santoso (2008)
kelemahan sistem TPTI adalah: a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun.
Seharus nya siklus teba ng ditentukan berdasarkan riap dan dinamika
struktur tegakan hutan c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder. Menurut Wahjono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal yang berhutan potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3 per ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3 per ha per tahun (Ditjen BPK 2010b). Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUPHHK dengan menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif . Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008). Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran
17
hutan, perubahan akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Terfragmentasinya areal
hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010b) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif. Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis. Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap) lebih sesua i de ngan ko ndisi hutan alam karena menyerupa i fenomena po hon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua seumur (all-aged stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau memanjang (strips).
Menurut Pasaribu (2008) teknik silvikultur
tebang rumpang menunjukkan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer. Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanjutnya be ruba h menjadi Teba ng Jalur Tanam Konservasi (TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25 – 100 m. Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut.
Sistem TJTK
akhirnya beruba h menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Teba ng Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/KptsII/1997 yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan
18
selebar 10 meter.
Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter,
sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m. Sistem Hutan Tanaman Industri- Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukka n hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/KptsII/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999). Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar di perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management).
Sistem silvikultur hasil penyempurnaan
tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.
2.2.3 Sistem silvikutur TPTII Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m (Ditjen BPK 2005). Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari teknik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlöhner 2009). Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae
19
yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah (Soekotjo & Subiakto 2005; Wahyudi 2009a). Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007, termasuk di dalamnya IUPHHK PT Gunung Meranti.
Pedoman teknis sistem TPTII berdasarkan
Keputusan Dirjen BPK Nomor SK. 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005. Sistem TPTII bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus penerapan sistem ini adalah membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan unt uk menjamin fungsi hutan yang optimal (Ditjen BPK 2005). Penerapan sistem TPTII tahap ke-2 pada 25 IUPHHK model hanya dilakukan pada 10% dari luas areal pengelolaan, selebihnya masih menggunakan sistem TPTI. Dengan demikian dalam satu unit pengelolaan hutan dapat menerapka n dua sistem silvikultur, dan hal ini
merupakan wujud penggunaan multisistem silvikultur.
Keniscayaan ini telah diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2007 jo. Nomor 3 tahun 2008 pasal 34 dan 38 yang menyatakan bahwa “Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan denga n satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan atau lingkungannya“.
Saat ini,
penerapan multisistem silvikultur pada hutan alam produksi yang telah berbentuk mosaik merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produktifitas serta menjaga kepastian dan keutuhan kawasan hutan produksi. Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal 1000 hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Denga n asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan. Dengan meningkatnya produktifitas hutan, maka luas areal hutan alam yang dipergunakan untuk menghasilkan kayu pertukangan akan semakin kecil sehingga
20
alokasi areal untuk konservasi akan bertambah luas. Dengan demikian akan semakin banyak areal hutan yang dimanfaatkan sebagai kawasan perlindungan dan pengatur tata air, sumber plasma nutfah, pe nelitian dan lain- lain. Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK 2005) adalah: 1) Penataan areal (P-3) 2) Risalah hutan (P-3) 3) Pembukaan wilayah hutan (P-2) 4) Pengadaan bibit (P-1) 5) Penyiapan lahan, yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan jalur bersih (P-1) 6) Penanaman (P) 7) Pemeliharaan tanaman, yang meliputi: -
penyiangan dan pemulsaan I s/d X (P+0,1,2,3)
-
penyulaman I dan II (P+0 dan P+1)
-
pemupukan I dan II (P+0 dan P+1)
-
pembebasan vertikal I dan II (P+1 dan P+3)
-
penjarangan I dan II (P+5 dan P+10)
8) Perlindungan tanaman (terus menerus) 9) Penelitian dan pengembangan 10) Pemanenan ka yu (P+31 ) Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTJ (Ditjen BPK 2009a) adalah: 1) Penataan areal kerja 2) Inventarisasi hutan 3) Pembukaan wilayah hutan 4) Pengadaan bibit 5) Tebang naungan 6) Penyiapan dan pembuatan jalur tanam 7) Penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur 8) Pembebasan dan penjarangan 9) Pemanenan 10) Perlindungan da n pengamanan hutan
21
2.3 Pertumbuhan dan Has il Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) po hon ada lah genetik (Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar & Matthias 2004; Na’iem & Pamuji 2006), lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher & Binkley 2000; Kozlow ski & Pallardy 1997; Soekotjo 1995) dan teknik silvikultur (Coates & Philip 1997; Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; Santoso et al. 2008). Bagan alir faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon terlihat pada Gambar 3.
Silvikultur
Sistem silvikultur Teknik silvikultur Pengendalian hama terpadu Iklim
Iklim A Iklim B Iklim C
Presipitasi Cahaya Suhu udara
Fotosintesis Metabolisme
Kelembaban Angin Letak geografi
Lingkungan Pertumbuhan dan Hasil
Arah lereng Tanah
Ketinggian Kelerengan
Udara Arsitek pohon Cahaya Suhu Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Kerapatan
Sifat fisik Anakan alam Genetik
Sifat kimia Tegakan benih Kebun benih
Biologi tanah
a bit of blood Tree superior Pemuliaan pohon
Air tanah
Tekstur tanah Struktur tanah KTK Keasaman tanah Mineral tanah Iklim mikro Mikroorganisme Mikoriza Rhizobium Biomassa Serapan hara Katalisator
Gambar 3. Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil po hon Sistem silvikultur biasanya mengandung beberapa teknik silvikultur serta serangkaian perlakuan yang harus diberikan pada tanaman atau tegakan.
Para
praktisi dapat mengembangkan dan merekayasa teknik silvikultur dalam ruang lingkungan sistem yang masih dipe rke nanka n.
Pengendalian hama da n penyakit
tanaman merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari teknik silvikultur. Belakangan berkembangan teknik pengendalian hama terpadu (Integrated Pest
22
Management) yang menekankan pada teknik pengendalian hama yang ramah lingkungan menggunakan predator, parasit hama dan meningkatkan kualitas (kesehatan) po hon (biocontrol). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditentuka n oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian, kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan atau genetik po hon memegang perana n cukup pe nting da lam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida & Dephut 2001). Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowski & Pallardy 1994; Landsberg 1986). Upa ya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 Maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas ratarata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat.
Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan
pohon fenotipa bagus yang mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Tegaka n benih (seed stand) adalah areal tegakan yang dipilih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi melalui pohon-po hon induk yang terdapat di dalamnya. Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan berbuah pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber Daya Genetik (ASDG), diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap 5 blok kerja tahunan (dulu bernama blok RKL) sehingga secara keseluruhan, setiap IUPHHK wajib mempunyai 700 ha ASDG (PT GM 2008a). Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapka n kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul
23
yang dilakukan setiap tahun.
Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih
menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani’in 1999; Soekotjo 2009). Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, teknik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter.
Pemilihan jenis yang tepat untuk
tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, pe nelitian pertumbuhan meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibanding Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama.
Dan pe nanaman Shorea macrophylla di Kalbar
menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalsel. Dengan demikian, menurut Soekotjo (1995) informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan infor masi da ta riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lain- lain da lam satuan waktu tertentu.
Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996)
pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan (curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata-rata (mean annual increment=MAI). CAI menunjukkan pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI menunjukkan pertumbuhan rata-rata da lam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan. Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 4.
24
Akumulasi pertumbuhan
CAI
Pertumbuhan MAI
Tahap ke-1
Tahap ke-2 Tahap ke-3
Waktu Gambar 4. Kurva pertumbuhan po hon (CAI dan MAI) Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilka n standing stock sebanyak 400 m3 /ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50.
Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI
diameter tanaman
meranti (Shorea leprosula, S.johorensis, S.platyclados, S.macrophylla, S.parfivolia, S.selanica dan S.smithiana) pada jalur bersih sistem TPTII sebesar 1,67 cm/ th atau 13,33 m3 /ha/th. Sementara itu, data lain menunjukkan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatera Utara sebesar 1,32 cm /th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, S. ovalis serta S. parvifolia sebesar 10 m3 /ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995). Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 - 1,24 cm /th.
Shorea splendica umur 35 tahun yang ditanam
dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalbar lebih tinggi dibanding di Kalsel dan seba liknya Shorea stenoptera di Kalsel tumbuh lebih baik dibanding di Kalbar.
25
Data pertumbuhan da n hasil (growth and yield) tanaman meranti sangat bervariasi.
Penelitian
yang
lebih
mendalam
terhadap
faktor-faktor
yang
mempe ngaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman perlu dilakukan agar data riap tegakan dan prediksi hasil yang diperoleh lebih akurat, spesifik dan komprehensip dalam setiap kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur. Dengan demikian riap tanaman meranti dalam jalur bersih sistem TPTII dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, sistem dan teknik silvikultur, rekayasa lingkungan dan pengendalian hama terpadu. Tingkat penerapan teknik silvikultur dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh atau lingkungan di sekitarnya. Salah satu faktor yang membentuk kondisi tempat tumbuh adalah kelerengan (slope) karena berkaitan erat dengan pencucian hara (leaching) dan erosi yang disebabkan aliran permukaan sehingga dapat mengurangi ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Fisher & Dan-Bink ley 2000; Siswomartono 1989; Soemarwoto 1991). Makin tinggi tingkat kelerengan makin rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah (Lee 1990).
Kerapatan, arsitek akar dan ketahanan fisik
tanaman juga dapat dipengaruhi oleh kelerengan. Diperkirakan faktor kelerengan dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman dan turut menentukan hasil yang akan diperoleh pada akhir rotasi.
2.4 P emodelan Dinamika Hutan 2.4.1 Pengertian Menurut Soekotjo (2009) ilmu ekologi memiliki batasan ekologi sistem dan ekologi evolusioner (ekologi teoritis). Ahli ekologi sistem melakukan pemahaman dan analisis ekosistem melalui pendekatan struktur dan fungsi sedangkan ahli ekologi evolusioner melakukan pemahaman dan analisis ekos istem melalui mode l dan hipotesis. Table pertumbuhan dan hasil hutan tidak seumur dipublikasikan pertama kali di Jerman pada tahun 1787. Saat ini, tabe l hasil meliput i tabe l tinggi , diameter, kerapatan, luas bidang dasar, riap rata-rata tahunan dan hasil volume (Vanclay 2001). Pemod elan meliputi seni dan ilmu untuk menggambarkan kondisi alam yang sebenarnya. Banyak model dibuat dengan pendekatan empiris, kalibrasi data dan mendasarkan pada teori-teori biologi yang berkembang dan semuanya dikumpulkan
26
untuk menyusun model hutan alam yang komplek. Tidak ada pendekatan tunggal yang optimal dalam pemodelan hutan tropika. Semua metode yang akan digunakan harus diperhitungkan kelebihan dan kekurangannya. Model adalah suatu bentuk virtual yang dibuat unt uk meniruka n suatu proses yang terjadi pada dunia nyata (Muhammadi et al. 2001, Purnomo 2005). Kenyataan yang terjadi pada dunia nyata (real world) biasanya sangat komplek namun masih dapat dipelajari dan disederhanakan, terutama yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (causal loop). Pemindahan kondisi dunia nyata ke dalam bentuk dunia maya yang dilengkapi dengan sistem dan simulasinya dapat membantu kita dalam memahami suatu ekos istem secara lebih mudah. Model adalah gambaran kondisi alam yang menunjukkan proporsi dan susunan komponen penyusun serta ekspresi nyata dari suatu teori (Ford 1977). Model sering menggunakan persamaan matematika, angka, logika yang tepat dan kode-kode komputer. Hutan tropika mengandung banyak species, variasi umur, riap dan ukuran vegetasi,
sehingga
memerlukan
model
yang
sangat
komplek
untuk
menggambarkannya. Suatu mode l hampir mustahil mampu menggambarkan kondisi hutan secara keseluruhan.
Dinamika hutan hanya dapat digambarkan melalui
beberapa variasi dan level tegaka n yang terba tas serta hanya menggun aka n unsur pendekatan. Model pertumbuhan dan hasil dapat diprediksi melalui luas bidang dasar atau diameter pohon. Hutan tropika yang merupakan ekosistem sangat komplek menawarkan tantangan tersendiri bagi para pembuat model. Dalam satu hektar hutan dapat mengandung ratusan atau ribuan spesies dan ratusan jenis komersial. Pada hutan alam yang rapat, terdapat variasi yang besar pada jenis dan ukuran batang pohon dan nampak bahwa umur kurang berkorelasi de ngan ukuran batangny a. Nilai suatu model terletak pada kemudahan untuk digunakan, mudah disimpan dan digunakan kembali (Vanclay 1995). Model juga dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika hutan, perlakuan silvikultur, menentukan teknik pengelolaan, mengetahui kondisi tegakan dan memprediksi tebangan pada akhir daur atau siklus berikutnya. Model tegakan hutan dapat digambarkan melalui stok pohon (jumlah pohon), luas bidang dasar atau volume tegakan per ha untuk memprediksi pertumbuhan da n hasil tegakan. Model suksesi untuk memprediksi pertumbuhan pernah dilakukan menggunakan input cahaya, suhu, kesuburan tanah, fotosintesis dan alokasi fotosintesis untuk akar,
27
batang dan daun (Landsberg 1986; Sievanen & Burk 1988; McMurtrie et al. 1990). Bossel and Krieger (1991) mencari pendekatan untuk membangun model lapisan kanop i tajuk di hutan Malaysia, namun menemukan hambatan dalam pemodelan hutan trop is ya ng ko mprehensif karena keterbatasan data pendukung yang menyangkut aspek fisiologi, ekologi, tapak dan kondisi tegakan hutan. 2.4.2 Model pertumbuhan tegak an hutan Pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, perlakuan silvikultur, faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik, serta interaksi diantara komponen-komponen tersebut (Suhendang 1998).
Dimensi tegakan yang sering
dijadikan parameter adalah diameter, tinggi, luas bidang dasar, diameter tajuk, kerapatan, kelas tapak dan lain- lain. Menurut Bella (1971) data berupa luas bidang dasar memberi nilai R2 yang lebih baik dibanding data diameter, namun menurut West (1980) dan Shifley (1987) tidak ada bedanya menggunakan data luas bidang dasar atau diameter. Pembuatan model berdasarkan riap tinggi pohon tidak efektif dilakukan di hutan tropis karena pengukurannya sulit dan hasilnya tidak akurat. Sebagai gantinya dapat ditempuh menggunakan tabel volume lokal. Kurva seba ran po hon dibuat unt uk mengetahui ke normalan sebaran tegaka n di areal penelitian (Appanah & Weinland 1993; Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Nyland 1996; Suhendang 1998) dengan persamaan: N=No e-kD , dimana
N No,k E D
: kerapatan (phn/ha) : konstanta : ekspo nensial : kelas diameter.
Gadow dan Hui (1999) memperkenalkan tiga model pertumbuhan untuk menentukan tinggi tegakan, yaitu model Bertalanffy, model Biging and Wensel (1985) dan model Schumacher, sebagai berikut : -bx c
a. Model Bertalanffy………………….
H = a(1-e )
b. Model Biging and Wensel (1985)….
H= a.S b.(1-e )
-ct d
c. Model Schumacher………………… H= a.e-b1/t dimana H: tinggi (m), S: kelas tapak (baik:1, b uruk:0), e: ekspo nensial da n t: waktu. Gadow dan Hui (1999) mengembangkan persamaan untuk mengetahui luas bidang dasar tegaka n Cunninghamia lanceolata di China, yaitu: G2 =
0,601 1 -0,142H G1 N2 2
0,601
N1
0,142H
1
-1
(H2 /H1 )4,292
28
Dimana: G1 G2 N1 N2 H1 H2
: Luas bidang dasar pada t1 (m2 /ha) : Luas bidang dasar pada t2 (m2 /ha) : Kerapatan pada t1 (phn/ha) : Kerapatan pada t2 (phn/ha) : Tinggi tegakan dominan pada t1 : Tinggi tegakan dominan pada t2
Untuk tegakan seumur digunakan persamaan berdasarkan pe rtumbuhan luas bidang dasar, dengan asumsi riap luas bidang dasar per ha adalah fungsi dari umur tegakan (t) dan luas bidang dasar awal. Contoh kasus diambil dari tanaman Pinus pinaster di Spa nyol yang melahirkan persamaan: ,3367
-1,3407
∆G = 27,78.G0 .t . dimana: G: luas bidang dasar (m2 /ha) t : umur tegakan Pienaar et al. (1990) membuat model untuk tanaman Pinus elliothi di Georgia melalui persamaan: lnG = α0 + α1 (1/t) + α2 .ln(H)+ α3 (N) dimana: ∆G : Pertumbuhan luas bidang dasar tahunan (m2 /ha/th) G : Luas bidang dasar (m2 /ha) N : Jumlah po hon per ha (N/ha) H : Tinggi tegakan dominan (m) t : Umur tegakan Dari persamaan di atas, Forss et al. (1996) mengaplikasikan persamaan di Pienaar et al. (1990) dan mendapatkan konstanta untuk tegakan Acacia mangium di Kalsel (Indo nesia), yaitu: α0= -4,147; α1= -2,074; α2= 0,9958 dan α3= 0,6239.
Gadow
and Hui (1999) mengembangkan persamaan Pienaar et al. (1990) untuk meningkatkan akurasi hasil pengukuran melalui persamaan: ln(G2 ) = ln(G1 ) +α1 (1/t2 - 1/t1 ) + α2 [ln(H2 ) - ln(H1 )]+ α3 [ln(N2 )-ln(N1 )] Munculnya pohon tertekan yang berdampak pada kematian (mortality) merupakan fungsi dari kerapatan tegakan yang dirumuskan oleh Reineke (1933) dalam Gadow dan Hui melalui persamaan: Nmax = α0 Dg α1 . Selanjutnya Gadow dan Hui (1999) menemukan persamaan untuk Pinus radiata di Afrika Selatan seba gai be rikut : N max = 729416 Dg -1,91 dimana: Nmax Dg
: :
jumlah pohon hidup maksimum per ha kwadratik diameter rata-rata
29
α0 , α1
:
konstanta
Kerapatan pohon (N) dan luas bidang dasar (B) adalah parameter dasar dari stok yang saling berhubungan serta dapat dipergunakan untuk memprediksi karakteristik tegaka n. Kerapatan tegakan dapat dipergunakan sebagai input dalam memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan sebagai reaksi dari perlakuan silvikultur. Rodriguez and Soalleiro (1995) menemukan konstanta yang menghubungkan volume dengan luas bidang dasar, yaitu V= 0,4215 G.H Dimana: V G H
: volume (m3 /ha) : luas bidang dasar (m2 /ha) : tinggi (m).
Jansen et al. (1996) dalam Gadow dan Hui (1999) memasukkan unsur waktu dalam persamaan di atas sehingga persamaan tersebut menjadi: V = G.H
1,073-0,00133t
-1,144+0,00432t
e
.
Pada tegakan Cunninghamia lanceolata di China berlaku persamaan: V= 0,000058777 d 1,9699 h 0,8965 Persamaan tabel volume hutan alam di Kalimantan Tengah disusun oleh Balitbanghut (2008) dan Rombe et al. (1982). Wahyudi dan Matthews (1996) menyusun persamaan tabel volume lokal di areal PT Gunung Meranti (wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah) da lam proyek percontoha n pe mbe ntukan KPHP di Kalimantan. Persamaan tabel volume tersebut adalah: - Balitbanghut (2008)
- Rombe et al. (1982)
- Wahyudi da n Matthews (1996)
Kel. meranti
V= 0,000101 D2,5844
Kel. diptero non meranti
V= 0,000133 D2,5035
Ramin
V= 0,000124 D2,5379
Kel. meranti
V= 0,000321 D2,3218
Kel. diptero non meranti
V= 0,000226 D2,4310
Kel. lain- lain
V= 0,000267 D2,3591
Kel. meranti
V= 0,000118 D2,5617
Kel. diptero non meranti
V= 0,000178 D2,4131
Kel. ko mersial lain
V= 0,000089 D2,6388
Besaran volume pohon pada kelompok meranti yang dihasilkan persamaan Wahyudi dan Matthews (1996) berada diantara besaran volume yang dihasilkan Balitbanghut (2008) dan Rombe et al. (1982).
30
2.4.3
Ingrowth, upgrowth dan mortality
Struktur tegaka n senantiasa beruba h menurut fungsi waktu da n bentuk pe rlakuan yang ada (Oliver & Larson 1990) sehingga memerlukan minimal dua kali pengukuran untuk mendapatkan dinamikanya (Davis & Johnson 1987; Buongiorno & Gilles 1987). Data yang terkumpul dapat diolah menurut persamaan biometrika hutan untuk menjalankan suatu model. Komponen utama dalam pemodelan hutan adalah laju pertumbuhan, sebaran diameter, komposisi jenis dan penjadwalan (Leuschner 1990). Pemodelan dapat dipergunakan untuk mengetahui ketersediaan tegaka n (po hon/ha), luas bidang dasar (m2 /ha) dan volumenya (m3 /ha) (Vanclay 1995) melalui aliran stok pohon (N, kubikasi) dalam setiap kelas diameter dan kelompok jenis (Labetubun 2004; Suhendang 1998; Vanclay 1995, 2001). Komponen yang bekerja dalam aliran stok pohon (N) adalah ingrowth, upgrowth dan mortality yang merupakan fungsi dari kerapatan tegakan (N), diameter (D) dan luas bidang dasar (m2 /ha) (Buongiorno & Michie 1980; Solomon et al. 1986; Mengel & Roise 1990). Penentuan komponen yang akan digunakan tergantung pada nilai koefisien determinasinya yang sering berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Komponen kelas tapak sering menjadi masalah dalam menetapka n mode l hutan alam karena keterbatasan data, namun beberapa peneliti sering menetapkan kisaran angka antara 1 (baik) sampai 0 (buruk). Menurut Vanclay (2001) persamaan ingrowth merupakan fungsi dari jumlah pohon (kerapatan) dan luas bidang dasar per ha melalui persamaan: Nr = a + bN - cB Dimana:
Nr N B a,b,c
: : : :
ingrowth (phn/ha/th) total stok (phn/ha) luas bidang dasar (m2 /ha) konstanta.
Buongiorno dan Michie (1980) juga memprediksi ingrowth berdasarkan N dan B. Bosch (1971) memprediksi regenerasi berdasarkan jumlah pohon mati saja. Vanclay (1989) dalam Vanclay (2001) memprediksi ingrowth berdasarkan luas bidang dasar (B) dan kualitas tapak (S) melalui persamaan: Nr = a+bB+cS. Buongiorno et al. (1995) membuat persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality untuk mengetahui dinamika hutan tidak seumur di Perancis melalui tiga pengelompokkan jenis pohon (Fir, Spr uce da n Beach) seba gai berikut :
31
m
n
n
Ikt = ∑ Nik ∑ B (yijt – hijk ) + ek ∑ (ykjt-hkjt ) + ck ……….. i=1
j=1
(R2 = 0,37-0,47)
j=1
m
n
Uij = pi + qi ∑ ∑ B (yijt – hijt ) + sjDj…………………….
(R2 = 0,013-0,4)
i=1 j=1 m
n
Mij = ui + vi ∑ ∑ B (yijt – hijt ) + wjDj
………………….
(R2 = 0,07)
i=1 j=1
dimana: Ikt Uij B
: Ingrowth jenis ke-k (phn/ha/th) : Upgrowth jenis ke- i kelas diameter ke-j (phn/ha/th) : Total luas bidang dasar semua jenis po hon ke-i, k elas diameter ke-j (m2 /ha) Dj : Rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm) Mij : Mortality jenis ke- i kelas diemeter ke-j (phn/ha/th) d,e,c,p,q,s,u,v,w : konstanta. Favrichon dan Kim (1998) membuat mode l dinamika hutan tropis di Kalimantan Timur dengan membuat dua kelompok pohon, yaitu kelompok dipterocarp dan non dipterocarp, melalui persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality sebagai berikut: a. Persamaan ingrowth : Igd = 4,22 – 0,06989 Bt .............. (R2 = 0,04) Ignd = 14,73 – 0,27603 Bt ........... (R2 = 0,1) b. Persamaan upgrowth : Ugd =0,04764+0,0028D–0,00004772D2 +0,000000259D3 -0,00235Bt (R2 =0,57) Ugnd= 0,02204+0,0025D-0,00005429D2 +0,00000036D3 -0,00143Bt (R2 =0,71) c. Persamaan mortality dibuat ko nstan. dimana: Igd Ignd Ugd Ugnd B D
: : : : : :
Ingrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th) Ingrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th) Upgrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th) Upgrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th) Total luas bidang dasar tegakan waktu ke-t (m2 /ha) Rata-rata diameter
Favrichon (1998) membuat persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality di hutan tropis Guyana melalui lima pengelompokkan jenis pohon yaitu (1) sangat toleran naungan, (2) toleran naungan, (3) toleran darurat, (4) intoleran naungan da n (5) pionir sebagai berikut: a. Persamaan ingrowth: I1 = 15,306 – 13,173 (Yt/Yo)
.........................(R2 = 0,15)
32
I2 = 14,562 – 12,358 (Yt/Yo)
.........................(R2 = 0,15)
I3 = 5,193 – 4,258 (Yt/Yo)
.........................(R2 = 0,09)
I4 = 11,320 – 10,670 (Bt/Bo)
.........................(R2 = 0,2)
I5 = 681,89 e -13,173 (Bt/B0) b. Persamaan upgrowth: U1= 0,0595-0,0067D+0,00034D2 -0,000005D3 +0,0521-0,0424(Bt/Bo)(R2 = 0,09) U2=-0,0438+0,0095D-0,00028D2 +0,000003D3 +0,1177-0,1213(Bt/Bo)(R2 =0,22) U3=-0,1048+0,0188D-0,00052D2 +0,000004D3 +0,1642-0,1526(Bt/Bo) (R2 =0,12) U4=-0,1463+0,0269D+0,0009 D2 +0,000009D3 +0,2313-0,2309(Bt/Bo) (R2 =0,17) U5= 0,5677-0,0873D+0,00498 D2 -0,0000883D3 +0,3520-0,219(Bt/Bo)(R2 = 0,05) c. Persamaan mortality: M1= 0,0062+0,014 D-0,000018D2
........(R2 = 0,11)
M2= -0,0166+0,002 D-0,00002D2
........(R2 = 0,23)
M3= 0,0088+0,0004 D-0,000006D2
........(R2 = 0,04)
M4= -0,0056+0,097 D-0,0001D2
……(R2 = 0,63)
M5= -0,148 +0,0236 D-0,0006D2
……(R2 = 0,09)
dimana: I, U, M Yt dan Yo Bt da n Bo D
: Ingrowth, upgrowth dan mortality : Masing- masing jumlah pohon pada tahun ke-t da n 0 (phn/ha) : Masing- masing LBD pohon pada tahun ke-t dan 0 (m2 /ha) : Rataan diameter pohon
Pada alternatif lain, pemodelan juga dapat dibuat dengan memperhatikan dinamika pertumbuhan vegetasi dimulai dari tingkat semai, dimana ingrowth semai diperhitungkan berdasarkan proporsi jumlah pohon fertil yang diduga mampu menghasilkan buah sebagai asal dari semai (Nguyen & Sist 1998; Indrawan 2000). Mendoza dan Gumpal (1987) memprediksi pertumbuhan dan hasil untuk jenis dipterocarp di Pilipina melalui persamaan yang mengakomodir fungsi luas bidang dasar tegakan tinggal dan tinggi rata-rata pohon berdiameter 50-80 cm, sebagai berikut: Log(YT ) = 1,34 +0,394 Log(B0 ) +0,346 Log(T) +0.00275 S/T dimana: YT BO S T
: : : :
Hasil prod uks i (yield) (m3 /ha) pada tahun ke-T Luas bidang dasar tegakan tinggal (m2 /ha) Rataan tinggi (m) pada jenis dipterocarp berdiameter 50-80 cm Waktu (tahun)
33
Dari semua pembahasan tentang pemodelan dinamika hutan tropis, Vanclay (1995, 2001) menyimpulkan bahwa kualitas mode l pertumbuhan da n hasil dipengaruhi beberapa faktor, terutama kualitas data. Untuk mendapatkan data yang berkua litas sebaiknya data diambil dari Petak Ukur Permanen. Sebagian besar model cukup ba ik digunakan pada hutan tanaman namun sangat sedikit untuk hutan hujan trop is karena kondisinya sangat komplek dan jumlah jenis yang sangat banyak dengan berbagai ukuran sehingga sangat sulit bila didekati dengan hanya beberapa variable. Pendekatan dengan pengelompokan kelas tegakan dapat direkomendasikan karena lebih sederhana dan dapat menyediakan informasi yang lebih mewakili kondisinya.
2.5 Analisis Finansial Proyek Pengusahaan Hutan Usaha di bidang kehutanan mempunyai ciri khusus seperti jangka waktu yang panjang, adanya sifat mendua dari tegakan, yaitu sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil, perbandingan input (investasi) dan output ya ng rendah, beragamnya produksi hasil hutan, mempunyai produktifitas yang relatif rendah serta mempunyai manfaat lingkungan.
Adakalanya suatu proyek penanaman tidak memberi
keuntungan secara finansial namun tetap dikerjakan karena untuk perbaikan lingkungan. Menurut Handadari (2005) jangka waktu yang relatif panjang pada usaha di bidang kehutanan dapat menimbulkan resiko usaha yang relatif besar. Biasanya resiko tersebut muncul dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah, perubahan iklim usaha dan investasi, krisis moneter, bencana alam, kebakaran dan lain- lain. Menurut Gregory dan Robinson (1972) nilai tegakan (stumpage value) masih bersifat potensial dan baru bernilai apabila dapat dijual dan menguntungkan. Menurut Stenzel et al. (1985) tegakan hutan dapat dianggap sebagai bahan baku berbentuk hasil hutan (kayu atau non kayu) yang nilainya dipengaruhi oleh jenis, ukuran, kualitas tegakan, potensi (volume per ha), aksesibiltas dan topografi, pasar dan tipe penjualan. Besaran nilai tegakan dapat dinyatakan dengan nilai moneter kayu berdiri yang merupaka n selisih antara nilai jual ka yu bulat de ngan biaya produksi, margin keuntungan dan resiko (Nugroho 2002). Dengan demikian nilai tegakan atau tunggak dapat dirumuskan sebagai berikut: S=B–C–M–R
34
dimana:
S : nilai tegakan (stumpage value) B : pendapatan (benefit) C : pengeluaran (cost) M : margin keuntungan R : resiko
Margin keuntungan dan resiko dapat ditetapkan 15% sampai 30%.
Dalam
kegiatan pengusahaan hutan, nilai tunggak sering disamakan dengan provisi sumber daya hutan (PSDH) yang merupaka n nilai intrinsik dari hasil hutan. Besaran nilai PSDH mengacu pada SK Menhutbun No. 858/Kpts-II/1999 (Dephutbun 1999a). Analisis finansial dapat menggambarkan posisi pendapatan (benefit) dan pengeluaran (cost) suatu kegiatan yang dapat dinyatakan dengan uang, tanpa memandang aspek ekonomi dan manfaat secara keseluruhan, misalnya aspek dan manfaat lingkungan.
Analisis finansial dilihat dari sudut usaha atau proyek
penanaman modal (investasi) yang menyandarkan pada harga pasar dan biasanya dinyatakan dalam nilai sekarang (present value). Perhatian utama dalam analisis finansial adalah hasil atas modal yang ditanamkan dalam suatu proyek. Termasuk analisis ini adalah besaran upah da n insentif karyawan serta semua ko mpo nen masuka n (input) dan keluaran (output) yang terlibat dalam proyek. Perhitungan nilai tegakan hutan yang bersandar pada manfaat langsung dapat menggunakan pendekatan compound atau discount yang dikumpulkan dalam tahun yang sama. Pendekatan untuk menentukan nilai pada tahun ke- n (Vn) dan nilai sekarang (Vo) menurut Gray et al. (1999) dan Nair (1993) adalah: Vn = Vo (1+i)n dimana:
da n Vo = Vn / (1+i)n
i : Suku bunga n : Tahun (tahun ke- n)
Menurut Djamin (1993), FAO (1979), Gray et al. (1999) dan Nair (1993) untuk menilai kelayakan usaha dapat dilakukan dengan analisis Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR). NPV adalah selisih penerimaan (benefit) dengan pengeluaran (cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang (present value). IRR adalah nilai discount rate ke-i yang menghasilkan nilai NPV proyek sama dengan nol. Sedangkan BCR adalah perbandingan nilai penerimaan dengan nilai pengeluaran suatu proyek. Agar suatu proyek dapat dikatakan layak, maka nilai NPV ≥ 0, nilai IRR > suku bunga berlaku (social discount rate) dan nilai BCR ≥ 1. NPV yang lebih besar dari nol menjadi indikator adanya keuntungan usaha. Apabila waktu efekt if dilewati
35
maka NPV menurun sampai berada pada titik nol atau negatif. Kondisi ini disebut batas keuntungan kedaluwarsa (financial maturity date), yaitu suatu umur yang apabila dilampaui tidak akan memberikan keuntungan lagi. Pada proyek pengusahaan hutan alam produksi yang menggunakan teknik silvikultur TPTJ diperlukan jangka waktu (rotasi tebang) selama 30 tahun (Ditjen BPK, 2005, 2010b). Investasi awal yang ditanamkan pada sistem ini akan menjadi beban yang cukup berat karena akumulasi bunga selama daur. Untuk itu diperlukan kebijakan khus us agar sistem ini dapat berjalan secara layak dan ekonomis seperti penurunan tingkat suku bunga pinjaman, penggunaan hasil tebang penyiapan lahan sebagai investasi awal termasuk untuk biaya pembuatan tanaman serta menggali manfaat tidak langsung dari proyek pembangunan kehutanan.