II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Biomassa Sebagian dari biomassa merupakan produk fotosintesis, yaitu butir-butir hijau daun yang bekerja sebagai sel-sel surya, menyerap energi matahari dan mengkonversi karbondioksida dengan air menghasilkan suatu senyawa karbon, oksigen dan hidrogen. Proses tersebut dapat dipandang sebagai penyerapan dan konversi energi matahari menjadi energi dalam bentuk lain dalam susunan biomassa (Kadir, 1995). Biomassa yang mengandung energi tersebut merupakan bahan energi alternatif (Osburn dan Judy, 1993 ; Rahayu, 1999; Quaak et al, 1998). Luas seluruh wilayah dunia adalah sekitar 51 milyar hektar yang diantaranya 14 milyar hektar merupakan daratan. Terdapat 45 % dari daratan merupakan padang pasir dan rawa-rawa, 30 % hutan, 15 % tanah pertanian, dan 10 % padang rumput. Kecuali padang pasir, tempat-tempat di daratan berpotensi menghasilkan biomassa. Menurut salah satu perkiraan teoritis, seluruh dunia menghasilkan biomassa mencapai 75 milyar ton setahun yang energinya setara dengan 1.500 juta barel minyak sehari (Kadir, 1995). Kandungan energi yang terdapat dalam biomassa tersebut menggambarkan, bahwa biomassa merupakan sumberdaya energi yang sangat potensial. Potensi energi dalam biomassa yang sedemikian besar tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Dua sebab utama yang menjadi hambatan pemanfaatan energi biomassa yang belum optimal, yaitu : 1) biomassa tidak dapat digunakan secara langsung pada banyak mesin dan peralatan konversi energi, dan 2) terdapat hambatan pengangkutan biomassa ke pusat-pusat pemakaiannya. Pemanfaatan biomassa untuk keperluan energi dapat dilakukan dengan konversi biomassa menjadi bahan energi dalam bentuk lain yang lebih mudah untuk transportasi dan pemakaiannya (Kadir, 1995). Jumlah biomassa yang besar tersebut, merupakan potensi sekaligus peluang untuk meningkatkan peranannya dalam struktur penyediaan energi, yaitu dengan mensubstitusi peranan energi fosil. Pemanfaatan biomassa secara lebih luas sebagai sumberdaya energi berakibat pada tiga aspek sekaligus, yaitu:1) diversifikasi energi yang mengutamakan
10
pada peanekaragaman sumberdaya energi, 2) meningkatkan peranan sumberdaya energi terbarukan dan sekaligus menurunkan peran sumberdaya energi tak-terbarukan serta dapat memberi manfaat secara berkelanjutan, dan 3) mengurangi transportasi bahan energi antar kawasan yang berdampak mengurangi pencemaran bahan energi dan kepadatan lalulintas. Pemanfaatan biomassa juga meningkatkan pemanfaatan ulang (reuse) dari limbah biomassa yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan, sehingga dapat menurunkan kualitas pencemaran limbah. Salah satu cara untuk memperluas peran biomassa sebagai bahan energi melalui konversi menjadi sintesis energi komersial dengan biokonversi, yaitu proses fermentasi anaerobik. Bahan energi yang dihasilkan adalah gas sintesis energi komersial, yaitu gas metana yang dapat mengganti peranan gas alam. Gas metana dapat berfungsi sebagai bahan bakar untuk berbagai kebutuhan, terutama pada : 1). sektor transportasi, yaitu yang peralatan konversi energi menggunakan bahan bakar gas, 2). sektor industri, 3). sektor rumah tangga, dan 4). sektor tenaga listrik. 2.1.1 Limbah Padat Sampah kota mengandung bahan organik sekitar 74 sampai 84% dari volume sampah kota. Persentase bahan organik dalam komposisi sampah kota di DKI Jakarta pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 rata-rata 65,05 % (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2004). Sampah kota di Jakarta yang dihasilkan setiap hari (penduduk 12 juta jiwa) rata-rata 27.000 m3 (Anas, 2000). Apabila jumlah penduduk suatu kota sekitar 1 juta jiwa, maka produksi sampah kota setiap hari dari kota tersebut adalah sekitar 2.250 m3 dan bahan organik yang dihasilkan sekitar 1.800 m3. Penggunaan sampah kota secara totalitas untuk dikonversi menjadi gas komersial akan memberikan dampak positip bagi lingkungan perkotaan, karena sampah kota merupakan limbah yang telah mencemari baik dari pencemaran bau, kesehatan dan keindahan, yang belum mendapat cara pemecahan yang tuntas (Pandey, 1997). Sampah kota merupakan sumber yang kaya akan bahan organik sekaligus merupakan permasalahan pencemaran yang semakin berat dan belum mempunyai cara penanggulangan yang tepat. Pengolahan sampah kota dengan metode penimbunan tanah berdampak pada terciptanya kondisi anaerobik yang dapat memproduksi gas metana. Sampah organik merupakan sumber emisi gas rumah kaca ter-
11
utama N2O dan metana (Kookana et al, 2002). Menurut Madigan et al (1997), emissi gas metana ke atmosfir yang paling besar selain berasal dari sumber biogenik (sawah, tanah basah, laut, danau, dan tundra), juga berasal dari sumber abiogenik (kebocoran gas, tambang batubara, pembakaran biomassa, kenderaan bermotor, dan gunung berapi). Pemanfaatan sampah kota sebagai bahan energi telah banyak dilakukan. Pembakaran sampah kota, untuk mendapatkan kalor merupakan contoh yang telah banyak dilakukan. Pada tahun 1980 sebanyak 8 % tenaga listrik dengan sistem tenaga uap di kota Den Haag, negeri Belanda, berasal dari sampah kota yang telah digunakan sejak tahun 1968 (Kadir, 1995). Di Ulu Pandan, Singapura, sejak tahun 1979 sebagai hasil sampingan pembakaran sampah kota telah beroperasi Pusat Listrik Tenaga Limbah (PLTUL) dengan daya terpasang 16 MW. Suatu langkah yang lebih maju, adalah mengubah energi biomassa menjadi bentuk tertentu, sehingga pemanfaatannya dapat mencakup aspek yang lebih luas dan pengangkutannya menjadi lebih mudah. Studi untuk mengetahui pemanfaatan limbah kota melalui proses pirolisis telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Universitas Gajah Mada yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi. Menurut hasil studi tersebut, pemanfaatan sampah kota mejadi bahan bakar dengan proses pirolisis secara ekonomi cukup menguntungkan, bila sampah tidak diberikan harga. Hasil pirolisis sampah kota dapat berbentuk arang, ter dan gas, dengan arang limbah paling mudah diperdagangkan sebagai bahan bakar rumahtangga (Kadir, 1995). Limbah perkebunan terutama dari perkebunan besar merupakan sumber biomassa yang cukup besar. Limbah tersebut berasal dari penyiangan, pemanenan, pengolahan hasil panen, dan peremajaan tanaman. Potensi biomassa limbah perkebunan skala besar pada suatu kawasan atau wilayah, akan dapat menjadi andalan kawasan atau wilayah tersebut dalam menyediakan biomassa untuk dikonversi menjadi energi komersial (Kadir, 1995). Setiap tahun perkebunan skala besar mengadakan peremajaan dan menghasilkan biomassa yang cukup besar. Pada tahun 1988 penebangan dalam rangka peremajaan perkebunan karet di Indonesia menghasilkan kayu sebagai biomassa sebesar 1.782.456 m3. Peremajaan di perke-
12
bunan kelapa sawit menghasilkan biomassa sebanyak 350.000 ton bahan kering setiap tahun (Goenadi et al , 1998). Limbah pertanian berasal dari kegiatan pertanian, terutama pertanian yang berskala besar dapat menyediakan biomassa dalam jumlah yang cukup besar. Budidaya padi dapat menghasilkan limbah biomassa yang cukup besar, baik pada saat panen maupun pada saat pascapanen. Menurut Pandey (1997), pertanian padi menghasilkan limbah padat 1570 kg perhektar. Kebanyakan budidaya padi sawah menggunakan jerami yang digenangi air sehingga terjadi kondisi yang anaerobik yang memicu emisi metana (Yang dan Chang, 1998; Cao et al, 1995 ; Yagi dan Minami, 1990 dalam Sarief, 1992). Sumber biomassa dari limbah pertanian dapat pula berasal dari tanaman jagung, kacang, kedelai. Tongkol jagung merupakan sumber biomassa yang besar pada pertanian jagung dengan skala yang besar. Limbah pertanian singkong berskala besar, merupakan pula sumberdaya biomassa yang cukup potensial (Kadir, 1995). Limbah pertanian di dunia setiap tahunnya dapat menyediakan energi yang setara 43.000.000 ton batu bara (Pandey, 1997) Limbah dari industri pengolahan kayu dalam skala yang besar merupakan sumber biomassa yang potensial. Potensi limbah tersebut dapat menjadi salah satu sumber biomassa, terutama bagi suatu kawasan yang memiliki banyak industri pengolahan. Pada industri penggergajian dihasilkan limbah sampai dua pertiga dari produksi hutan (Satari et al, 1992). Ini berarti untuk setiap satu juta ton produksi terdapat lebih-kurang 680.000 ton limbah biomassa. Pemanfaatan limbah dalam jumlah besar selain dapat menghasilkan energi yang besar juga dapat mereduksi jumlah limbah secara nyata. Menurut Ridlo et al (1999), apabila harga limbah penggergajian kayu rendah, maka pemanfaatan limbah tersebut sebagai sumber energi secara finansial menguntungkan. Peternakan yang berskala besar dapat merupakan sumber biomassa yang cukup besar. Limbah peternakan yang meliputi tinja dan urine serta sisa pakan dan alas tidur dapat menjadi sumberdaya biomassa yang kontinyu. Seekor sapi menghasilkan tinja antara 28 sampai 50 kg setiap hari, sehingga suatu peternakan dengan ribuan ekor sapi dapat menyediakan biomassa dalam jumlah yang besar. Seekor ayam setiap hari menghasilkan tinja sebanyak 0,09 (Kadir,1995). Pemanfaatan limbah peternakan dengan mengubah kotoran ternak menjadi gas bio telah
13
banyak dilakukan dan berhasil dengan baik. India sejak tahun 1900 telah menerapkan instalasi gas bio dengan bahan baku tinja sapi. Data tahun 1980 menunjukkan bahwa di seluruh India terdapat 36.000 instalasi gas bio yang menggunakan bahan baku tinja sapi (Kadir, 1995). Banyak negara lain, juga telah menggunakan bahan baku dari tinja sapi yang dikonversikan menjadi bahan energi, seperti Taiwan, Korea dan RRC, meskipun selain menggunakan tinja sapi banyak digunakan tinja babi. 2.1.2. Ladang Energi Ladang energi merupakan hasil budidaya tanaman untuk menghasilkan biomassa segar sebagai bahan energi. Menurut Kadir (1995), salah satu pemikiran untuk swasembada energi keperluan rumahtangga, adalah dengan membuat ladang energi. Menurut Pandey (1997), budidaya tanaman yang khusus untuk menghasilkan bahan kimia hidrokarbon telah banyak dilakukan dengan hasil 0, 2 sampai 2 ton minyak hidrokarbon perhektar. Jenis rumputan yang menghasilkan biomassa dalam jumlah besar dan dipanen dalam waktu singkat, merupakan budidaya tanaman energi yang potensial. Menurut Hadi (1992), enceng gondok merupakan tanaman energi yang dapat dipanen setiap empat hari. Ladang energi dapat pula menggunakan tanaman yang banyak mengan-dung pati seperti tanaman singkong dan tanaman ubi jalar. Luas tanaman tersebut dapat dirancang dalam ukuran yang besar agar panen biomassa sesuai dengan kebutuhan. Ladang energi pada hakekatnya dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang terdapat pada suatu kawasan. 2.1.3. Perkebun Energi Hutan energi adalah kebun energi yang ditanami dengan pohon kayu yang khusus diperuntukan produksi kayu sebagai bahan energi. Kebun tanaman energi dapat ditanami dengan pohon yang berdaun lebat sebagai sumber biomassa yang cepat dipanen. Acasia mangium Willd merupakan jenis tanaman hutan yang cepat tum-buh dan ditanam dalam jumlah banyak (Dephut, 1997). Perkebunan dengan tanaman energi hakekatnya dapat dilakukan secara terintegrasi dengan upaya rehabilitasi dan reboisasi hutan. Potensi kebun tanaman energi cukup besar, karena selain mudah tumbuh pada lahan yang subur, juga dapat ditanam pada lahan-lahan yang kritis. Lahan hutan yang kritis yang topo-
14
grafinya tidak lebih dari berombak sampai gelombang dapat dikonversikan menjadi hutan tanaman energi dengan species kayu-kayuan yang memenuhi persyaratan (Satari et al, 1992). Faedah lain adalah meningkatkan luas hutan dan konservasi lahan-lahan kritis. 2.2. Proses Konversi Biomassa Biomassa dalam bentuk padatan dapat dikonversi menjadi bahan energi cair maupun gas dengan bantuan proses biologi dan proses kimia. Konversi biomassa menjadi bahan energi cair dan gas merupakan cara untuk memperluas pemanfaatan sumberdaya energi biomassa, mengingat bahan bakar yang memiliki karakteristik fisik cair dan gas merupakan energi yang paling banyak pemakaiannya dalam berbagai aspek kehidupan. Proses mana yang cocok untuk konversi tergantung dari sifat dan kondisi bahan. Konversi biomassa menjadi bahan energi dengan proses biologi cocok digunakan untuk biomassa yang mengandung air dan dapat dirombak oleh mikroorganisme. Biomassa yang kering dan sulit dirombak secara biologis dapat dikonversi menjadi bahan energi dengan proses kimia (Pandey, 1997). 2.2.1. Proses Fermentasi Membuat Etanol Limbah dan produk hasil pertanian yang banyak mengandung gula dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi etil alkohol atau etanol yang merupakan bahan bakar. Proses konversi bahan organik menjadi etanol menggunakan proses biologis, yaitu fermentasi. Gula heksosa yang difermentasi dengan ragi akan menghasilkan etanol dan karbondioksida. Kanji ((C6H10O5)n) atau maltosa (C12H22O11) yang apabila dilarutkan dengan air dan diberikan jamur Aspergillus niger Tiegham akan mengalami konversi menjadi gula, dan selanjutnya fermentasi yang menggunakan ragi menghasilkan dekstrosa (C6H12O6) yang kemudian terombak menjadi etanol dan karbondioksida (Pandey, 1997). (C6H10O5)n + nH2O
nC6H12O6
C12H22O11 + H2O
2C6H12O6
C6H12O6
2C2H5OH + 2CO2
Produk utama hasil fermentasi tersebut adalah etanol yang mencapai 0,568 bagian massa kanji. Proses menghasilkan juga dua produk tambahan, yaitu kar-
15
bondioksida dengan kemurnian yang sangat tinggi (99,8%), dan limbah padat yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak (Kadir, 1995). 2.2.2. Pembuatan Gas dengan proses fermentasi anaerobik Salah satu karakteristik fisik energi komersial yang banyak dikonsumsi adalah berbentuk gas. Peluang memperluas penggunaan biomassa sebagai energi dapat diwujudkan dengan mengkonversikan biomassa menjadi bahan energi yang secara fisik berbentuk gas. Proses fermentasi anaerobik merupakan proses biokonversi yang mengubah biomassa menjadi gas yang mempunyai kalor setara dengan gas alam (Pandey,1997). Instalasi gas bio mempunyai kapasitas bervariasi, yaitu dari 6 sampai dengan 25 m3 (Kadir, 1995), sedangkan di India telah dapat dibuat instalasi gas bio dengan kapasitas 140 m3 (Pandey, 1997). Fermentasi anaerobik menghasilkan gas bio dengan komposisi metana sebanyak 55 – 65 %, karbon dioksida sebesar 36 - 45 %, nitrogen sebesar 0,3 %, hidrogen dan hidrogen sulfida masing-masing 0,1 % (Kadir, 1995; Pandey, 1997). Pada umumnya biomassa yang mengalami proses fermentasi anaerobik hanya melepaskan unsur yang terdapat dalam lemak, protein dan hidrokarbon yang diubah menjadi gas metana, karbon dioksida, sedikit nitrogen, dan sedikit sulfida. Limbah padat sebagai bahan sisa fermentasi masih kaya dengan unsur nitrogen (N), kalium dalam bentuk K2O, fosfor dalam bentuk P2O5, dan beberapa unsur hara lainnya yang berguna bagi tumbuh-tumbuhan. Bahan isian berpengaruh nyata terhadap kualitas lumpur, yaitu konsentrasi kandungan N, P, Ca, Mg, Cu, dan Zn (Pujiharti et al, 2001). Biokonversi biomassa menjadi gas sintesis dengan proses fermentasi anaerobik menghasilkan pula produk sampingan dalam bentuk bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Sekarang ini terdapat indikasi bahwa penggunaan pupuk organik dalam pertanian dan perkebunan terus meningkat, termasuk pula makin meluasnya kebutuhan produk pertanian organik oleh masyarakat. Limbah padat proses fermentasi dapat pula digunakan sebagai bahan baku industri tertentu, misalnya industri bahan bangunan atau sebagai bahan urugan. 2.2.3 Proses Pirolisis Proses pirolisis merupakan salah satu dari proses destilasi destruktif dari bahan organik. Destilasi terjadi di dalam suatu tangki anaerobik yang dipanaskan pa-
16
da suhu antara 500 – 900°C. Penerapan proses pirolisis banyak dilakukan pada konversi batubara menjadi bahan bakar gas dan bahan bakar cair (Smith et al, 2001; Solemen et al, 1999). Bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan baku proses tidak bersifat khusus, yaitu baik bahan organik yang mengandung selulosa maupun yang mengandung lignin (Pandey, 1997; Kadir, 1995)). Input dari proses pirolisis adalah bahan organik kering yang dihaluskan. Outputnya pada umumnya adalah campuran gas yang terdiri atas metana, karbon monoksida, karbon dioksida, dan hidrokarbon rendah. Hasil lain berupa minyak hidrokarbon, dan padatan berupa arang. Umumnya setiap ton bahan selulosa dapat menghasilkan sekitar 226,8 liter bahan bakar cair untuk mesin diesel (Pandey, 1997). 2.2.4. Proses Reduksi Kimia. Proses reduksi kimia merupakan salah satu konversi limbah padat dari bahan organik menjadi minyak dengan cara konversi limbah pada suhu 300 sampai 350 °C dan tekanan 10 sampai 20 atm dengan karbon monoksida (CO) sebagai katalis (Smith et al, 2001 ; Pandey, 1997). Proses yang kontinyu dapat menghasilkan 318 liter minyak dari setiap ton bahan organik kering dengan nilai kalor 32.490 sampai 41.780 kJ/kg (Pandey, 1997). Input dari proses reduksi kimia ini adalah bahan organik, termasuk tinja, dalam bentuk larutan yang dicampurkan dengan karbon monoksida yang bertekanan 10 sampai 20 Bar di dalam reaktor reduksi dan dipanaskan sampai suhu sekitar 350 oC selama 1 sampai 2 jam. Proses reduksi dapat mengkonversi kira-kira 40 % dari limbah menjadi minyak dari setiap ton bahan kering. 2.2.5. Metana Dari Gas bio Gas bio sebagai campuran gas merupakan produk dari dari proses fermentasi anaerobik bahan organik. Fermentasi secara anaerobik terhadap semua karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat pada bahan organik oleh bakteri metana menghasilkan gas bio yang lebih dari separuhnya adalah metana (CH4). Satu gram bahan selulosa menghasilkan 825 cm3 gas bio pada tekanan atmosfer yang miliputi 50% metana dan 50% karbondioksida (Kadir, 1995). Stabilitas produksi gas metana dapat dicapai dengan pemasukan tambahan bahan starter 5 % bersamaan dengan pada bahan baru ke dalam reaktor fermentasi (Basuki, 1994).
17
Menurut Komarayati et al (1994a), fermentasi anaerobik alang-alang (Imperata cykindrica Beauv) yang mengandung selulosa 25,1 %, lignin 33,4 %, pentosan 26,9 %, menghasil gas bio 50 l/kg bk. Produksi gas bio dari batang dan daun enceng gondok segar sebesar 620 l/kg bk dengan 52 % metana (Hadi, 1992). Produksi gas bio dari limbah kelapa sawit adalah 2,4 liter per 10 gram bobot kering (Sahirman et al, 1995). Fermentasi anaerobik limbah sagu segar dan limbah aren segar dapat menghasilkan gas bio 3,45 liter dan 8,45 liter masing-masing dengan volume larutan 2 liter pada kelarutan 9 %, dan kadar metana dalam gas bio 61,04 % dan 61,79 % (Komarayati et al,1994b). Hasil gas bio dari fermentasi anaerobik limbah cendana mempunyai efisiensi 54 % (Gusmailina et al, 1994). Berbagai bahan organik merupakan bahan yang baik untuk menghasilkan gas bio dari proses fermentasi anaerobik. Menurut (Pandey, 1997), bahan selulosa dapat difermentasikan secara langsung tanpa proses pendahuluan (Tabel 1).
Tabel 1. Bahan Organik Yang Potensial Menghasilkan Metana Kelompok Limbah panen
Bahan Organik Jagung dan sejenisnya, tebu, sisa jerami dan rumput pakan ternak dan limbah rumput.
Peternakan
Limbah peternakan (tinja, urine, alas tidur), limbah perikanan, limbah rumah potong hewan.
Manusia
Tinja, urine.
Produk dan limbah
Sampah kapas dari industri tekstil,limbah proses pengo-
industri pengolahan
lahan buah dan sayuran, sisa proses industri gula,limbah
hasil pertanian
pengolahan teh.
Sampah hutan
Kulit kayu, cabang dan ranting, daun, bunga dan buah
Akuatik
Ganggang laut, rumput laut, kembang laut
Sumber : Pandey (1997)
Menurut Pandey (1997) bahan organik yang banyak mengandung lignin atau bahan hemisellulosa sebelum difermentasi anaerobik harus mengalami proses pendahuluan. Proses pendahuluan yang dapat dilakukan, yaitu proses fisik, proses kimia, proses biologis, seperti terdapat pada Tabel 2
18
Tabel 2. Proses Pendahuluan Bahan Lignin dan Hemisellulosa Fisik
Kimia
Penggilingan Natrium hidroksida
Biologi Menggunakan :
Penguapan
Kalsium hidroksida
Aspergillus niger Tieghem, Fusarium
Radiasi
Asam klorida
semitectum Berkeley, Trichorderma
Asam fosfat
harzianum Rifai, Penecillium sp, Termito-
Ammonia
myces sp, Trichorderma pseudokoningii
Sodium bikarbonat
Nirmala P+ Cytophaga sp,Coptotermes
Ozon
curvignathus Holmgren, Mactotermes gilvus Hagen, Coptotermes curvinathus Light.
Sumber : Pandey (1997); Adawiah et al (2001), Sisworo at al (2001)
2.3. Konsumsi Dan Pencemaran Energi Fosil 2.3.1. Konsumsi Energi Dunia Konsumsi energi di dunia meningkat dengan sangat pesat. Pada banyak negara industri lebih dari separuh dari konsumsi energinya berasal dari energi komersial, dan sebaliknya pada banyak negara berkembang lebih dari separuh konsumsi energinya berasal dari energi non-komersial (Pandey, 1997). Kebutuhan energi dunia secara keseluruhan sulit untuk digambarkan, mengingat data konsumsi energi non-komersial sangat sukar diperoleh. Data konsumsi energi komersial jauh lebih lengkap dan mencakup kurun waktu yang panjang. Pada tahun 1960 konsumsi energi komersial di dunia sekitar 63,5x106 SBM sehari, meningkat lebih dari dua kali pada tahun 1980 menjadi 136,5x106 SBM sehari, dan pada tahun 1990 konsumsi energi primer dunia sebesar 173x106 SBM sehari (Kadir, 1995). Kecenderungan pertumbuhan konsumsi energi dunia hampir menyerupai pertumbuhan yang linier (Tabel 3). Konsumsi energi dunia pada tahun 1975 meningkat dari 50x109 kWh menjadi 80x109 kWh pada tahun 1980, yang berarti terjadi peningkatan 60 % dalam lima tahun atau rata-rata 12 % setahun. Kemudian pada tahun 1990 konsumsi energi dunia meningkat menjadi 160x109 kWh, berarti meningkat 100 % atau rata-rata 10 % setahun. Proyeksi pada tahun 2000 dengan data pertumbuhan historis, konsumsi energi dunia mencapai 326x109 kWh yang meningkat 104 % dari konsumsi tahun 1990.
19
Tabel 3. Estimasi Konsumsi Energi Dunia (x109 kWh) Negara Amerika Serikat CIS Jerman Prancis Canada Jepang Inggris India Cina Negara lain Total
1975 15,0 7,5 3,0 2,5 3,0 2,5 2,0 0,5 0,1 13,9 50,0
1980 20,0 15,0 5,0 4,0 5,0 3,5 3,0 1,0 2,0 21,5 80,0
1990 40,0 35,0 10,0 8,0 10,0 7,0 5,0 4,0 6,0 35,0 160,0
2000* 80,0 70,0 20,0 15,0 20,0 15,0 10,0 16,0 20,0 60,0 326,0
Sumber : Pandey (1997). * Proyeksi berdasarkan pertumbuhan historis.
Kebutuhan energi dunia sebagian besar berasal dari energi komersial. Pada tahun 1975 sebanyak 92,2 % kebutuhan energi dunia disediakan dari sumbersumber energi komersial (Tabel 4). Peranan energi non-komersial yang dominan terjadi di Afrika, yaitu sebesar 67,7 % dari konsumsi energi di Afrika. Amerika Latin menggunakan 29,8 % energi non-komersial dari konsumsi energi tahun pada 1975.
Tabel 4. Konsumsi Energi Menurut Regional 1975 (%) Regional *
Afrika Timur Tengah Timur Jauh+ Amerika Latin Eropa Barat Eropa Timur Amerika Utara Dunia
Komersial
Kayu Bakar
Limbah Pertanian
Total
32,2 86,5 83,0 70,2 98,5 96,3 99,7 92,2
56,8 4,0 10,9 22,6 1,1 2,3 0,3 5,8
10,9 9,5 6,1 7,1 0,4 1,4 0,0 2,0
100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : Pandey (1997). * Termasuk Afrika Selatan. + Termasuk Jepang
Pada wilayah Timur Jauh termasuk Jepang masih menggunakan 17 % energi non-komersial untuk memenuhi konsumsi energinya. Diperkirakan proporsi terbesar konsumsi energi non-komersial di wilayah Timur Jauh terjadi di negara berkembang terutama di Indonesia, Filipina, dan Vietnam (Pandey, 1997).
20
2.3.2. Konsumsi Energi Indonesia Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat, baik karena peningkatan penduduk maupun karena peningkatan konsumsi energi perkapita. Konsumsi energi komersial mengalami pertumbuhan dari 47,5x106 SBM pada tahun 1970 menjadi 357,5x106 SBM pada tahun 1990. Sebagian besar dari energi komersial tersebut berasal dari energi fosil. Menurut Kadir (1995), terdapat 93,5 % dari konsumsi energi komersial di Indonesia pada tahun 1990 berasal dari energi fosil, yaitu minyak bumi (64,3 %) dan gas bumi (21,5%) serta batu bara (7,7%). Konsumsi energi di Indonesia seperti halnya dengan konsumsi energi dunia, mengalami peningkatan dalam kurun waktu 1975 sampai 1988. Menurut Kadir (1995) konsumsi energi di Indonesia meningkat dari 257,3x106 SBM pada tahun 1975 menjadi 487x106 SBM pada tahun1988 (Tabel 5). Konsumsi energi total pada tahun 1988 sebesar 487x106 SBM sebanyak 292,2x106 SBM adalah energi komersial yang sebagian besarnya berasal dari minyak dan gas bumi. Peranan energi komersial dalam struktur energi Indonesia terus meningkat dari 34,7 % pada tahun 1975 menjadi 60 % pada tahun 1988. Peningkatan peranan dan jumlah energi komersial dalam struktur energi nasional berasal dari energi fosil. Berarti bagian terbesar dari peningkatan konsumsi energi di Indonesia adalah dari energi fosil, sehingga secara bersamaan terjadi pula peningkatan pencemaran atmosfir sebagai dampak pemakaian energi tersebut.
Tabel 5. Konsumsi Energi Total Indonesia Tahun 1975 1976 1977 1978 1983 1988
Energi Komersial 6
(10 SBM) 89,2 100,2 120,0 145,0 223,6 292,2
Kayu dan Limbah
(%)
6
(10 SBM)
(%)
Total (106 SBM)
34,7 35,4 37,8 40,4 52,1 60,0
168,1 182,8 197,6 213,6 205,5 194,8
65,3 64,6 62,2 59,6 47,9 40,0
257,3 283,0 317,6 358,6 429,1 487,0
Sumber : Kadir (1995)
Konsumsi energi komersial sangat dominan berasal dari minyak bumi dan gas bumi. Pada tahun 1975 dari 89,2x106 SBM konsumsi energi komersial terda-
21
pat 67,5x106 SBM atau sebesar 75,67 % berasal dari minyak dan gas bumi. Pada kurun waktu dari tahun 1975 sampai tahun 1988 proporsi minyak dan gas bumi dalam konsumsi energi komersial mengalami penurunan, yaitu apabila pada tahun 1975 sebesar 75,67 % turun menjadi 63,82 % pada tahun 1988 (Kadir, 1995). Seperti halnya kecenderungan konsumsi energi pada dasawarsa sebelumnya, pada kurun waktu 1990 sampai dengan 2000 konsumsi energi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut data Ditjen Migas (2004), pada tahun 1990 konsumsi energi mencapai 420,863x106 SBM meningkat menjadi 641,271x106 SBM pada tahun 2000 atau meningkat sebesar 52,37 % (Tabel 6). Pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia serupa dengan perilaku umum dari konsumsi energi seluruh negara di dunia, yaitu berkecenderungan yang meningkat (Pandey, 1997). Di lihat dari jumlah energi yang dikonsumsi, pemakaian energi komersial berkecenderungan meningkat, baik secara proporsi dalam komposisi energi maupun secara kuantitas. Apabila pada tahun 1990 proporsi energi komersial dari energi yang dikonsumsi sebesar 54,1% (227,672x106 SBM) meningkat menjadi 65,69 % (421,271x106 SBM) pada tahun 2000. (Ditjen Migas, 2004).
Tabel 6. Pemakaian Energi Total Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Energi Komersial (10 SBM) (%) 227,672 54,10 245,318 55,54 269,006 57,42 292,752 59,09 304,749 59,75 330,488 61,44 356,732 63,03 377,240 63,82 369,511 62,92 389,714 63,96 421,277 65,69 6
Energi Non-komersial (106 SBM) (%) 193,191 45,90 196,354 44,46 199,505 42,58 202,655 40,91 205,265 40,25 207,404 38,56 209,220 36,97 213,843 36,18 217,172 37,02 219,568 36,04 220,044 34,31
Jumlah (106 SBM) 420,863 441,672 468,511 495,407 510,014 537,892 565,952 591,083 586,683 609,282 641,271
Sumber : Ditjen Migas (2004)
Pada kurun waktu sebelas tahun dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 peningkatan konsumsi energi selain sebagai konsekuensi dari pertambahan pen-
22
duduk Indonesia, juga oleh peningkatan konsumsi perkapita. Berdasarkan data dari Ditjen Migas (2004), konsumsi energi perkapita tumbuh dari 1,27 SBM pertahun pada tahun 1990 menjadi 2,07 SBM pada tahun 2000 atau meningkat 0,8 SBM dalam sebelas tahun (Gambar 2). Peningkatan konsumsi energi perkapita didorong terutama pada sektor transportasi dan sektor kelistrikan baik dalam rangka pemerataan kelistrikan maupun dalam rangka mendukung pertumbuhan industri (Kadir, 1995). Penurunan konsumsi energi perkapita terjadi satu kali dalam sebelas tahun, yaitu pada tahun 1998, yaitu 1,82 SBM turun dari 1,89 SBM pada
Konsumsi Energi Perkapita (SBM)
tahun 1997 yang diduga sebagai dampak dari krisis ekonomi dan politik.
2,5 2 1,5 1 0,5 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun
Gambar 2. Konsumsi Energi Perkapita (Sumber Ditjen Migas, 2004) Dipandang dari struktur energi komersial, proporsi pemakaian bahan bakar minyak dan gas (tidak termasuk pemakaian langsung) tidak banyak mengalami perubahan yang berarti dalam struktur energi komersial (Gambar 3). Meskipun kuantitas pemakaian bahan bakar minyak dan gas terus mengalami peningkatan dalam kurun waktu 1990 sampai tahun 2000. Data dari Ditjen Migas (2004), menunjukkan pada tahun 1990 bahan bakar minyak dan gas kota serta LPG menyediakan 203,520x106 SBM (89,39 %) dari 227,672x106 SBM konsumsi energi komersial di Indonesia. Jumlah bahan bakar minyak dan gas meningkat menjadi 359,208x106 SBM (85,27 %) pada tahun 2000. Khusus pemakaian gas tidak termasuk gas bumi yang dikonsumsi secara langsung yang umumnya dimanfaatkan oleh industri baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga uap dan pembangkit listrik tenaga gas.
23
120 Proporsi (%)
100 80 60 40 20 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Tahun Bbm & Gas
Sumber lain
Total
Gambar 3. Porsi BBM dan Gas Pada Konsumsi Energi Komersial Diolah berdasarkan data Ditjen Migas (2004). * Tidak termasuk gas alam
Kecenderungan menurunnya porsi bahan bakar minyak dan gas dalam pemakaian energi komersial, karena dalam kurun waktu yang sama terjadi peningkatan peranan sumberdaya yang lain. Penggunaan batu bara dan sumberdaya gas bumi serta sumberdaya panas bumi yang meningkat pada sektor tenaga listrik. 2.3.3. Cadangan Energi Komersial Indonesia Penyediaaan energi primer di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 1990 penyediaan energi primer sebesar 672,71x106 SBM tumbuh menjadi 974,929x106 SBM pada tahun 2000 atau meningkat 44,93 % dalam sebelas tahun (Ditjen Migas, 2004).
Tabel 7. Penyediaan Energi Primer di Indonesia Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Minyak Bumi 43,33 42,44 42,24 42,22 41,44 41,27 40,98 39,96 40,31 37,90 38,22
Energi Komersial (%) Batu Gas Panas Air Bara Alam Bumi 4,52 19,88 3,22 0,32 4,75 22,33 2,94 0,31 3,86 23,10 3,69 0,28 5,42 22,68 3,38 0,28 4,02 25,04 3,25 0,38 5,94 35,88 3,07 0,49 5,67 35,88 2,93 0,51 6,87 26,47 2,30 0,60 7,41 24,61 2,96 0,82 8,48 26,11 2,82 0,82 8,26 27,44 2,58 0,94
Lain (%) Total
Biomassa
Total (106 SBM)
71,28 72,77 73,17 73,92 74,12 86,66 85,97 76,20 76,11 76,13 77,44
28,72 27,23 26,83 26,02 25,88 13,34 14,03 23,80 23,89 23,87 22,56
672,710 721,210 743,575 778,791 793,026 857,109 897,954 898,530 909,087 920,001 974,929
Sumber Ditjen Migas (2004)
24
Komponen energi komersial, yaitu minyak mentah, batubara, gas alam, air, dan panas bumi, merupakan komponen yang dominan dalam struktur penyediaan energi primer. Data cadangan energi fosil di Indonesia menunjukkan jumlah cadangan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 cadangan minyak bumi yang diketahui mencapai 5,1x109 SBM dan cadangan yang potensial sebesar 5,8x109 SBM, cadangan gas bumi yang diketahui 16,64x109 SBM dan cadangan yang potensial 4,78x109 SBM (Ditjen Migas, 2004). Cadangan minyak bumi pada tahun 2000 relatif tidak mengalami banyak perbedaan dengan sebelas tahun sebelumnya, yaitu cadangan yang diketahui 5,12x109 SBM dan cadangan potensial 4,49x109 SBM, sedangkan gas bumi cadangan diketahui mengalami penurunan menjadi 16,336x109 SBM dan cadangan potensial mengalami peningkatan sampai lebih dari 170 % menjadi 13,028x109 SBM. Pada tahun tahun 2000 cadangan energi fosil mencapai 213,25x109 SBM yang terdiri atas cadangan diketahui 73,319x109 SBM dan cadangan yang potensial sebesar 139,931x109 SBM (Gambar 4). Cadangan energi fosil yang telah ditemukan sampai tahun 2000 yang terbesar adalah batubara 38.874,86x106 ton setara 174,276x109 SBM (81,72%), dan gas bumi sebesar 4.823,18x109 m3 setara 29,364x109 SBM (13,77 %), serta minyak bumi 9,61x109 SBM (4,51 %).
Total
Terbukti; 73,319
Batubara
Terbukti; 51,863
Potensial; 139,931 Total; 213,25 Potensial; 122,413 Total; 174,276
Potensial; 4,49 Terbukti; 5,12 Total; 9,61
Minyak Bumi
Potensial; 13,028 Terbukti; 16,336 Total; 29,364
Gas Bumi
0
50
100
150
200
250
Energi (Miliar SBM)
Gambar 4. Cadangan Energi Fosil Sampai Tahun 2000 Diolah dari sumber Ditjen Migas (2004)
25
Gambaran tersebut mengindikasikan, bahwa sumberdaya minyak bumi yang menjadi sumber energi utama di Indonesia dalam proses kelangkaan. Sumberdaya energi batubara yang memiliki cadangan terbesar tidak akan dapat mengganti keseluruhan peranan minyak bumi, sehingga di waktu mendatang sebagian peranan minyak bumi akan diambil alih oleh gas bumi. Pada kurun waktu dari tahun 2000 sampai tahun 2004 cadangan potensial gas bumi mengalami peningkatan, yaitu dari 4.823,18x109 m3 pada tahun 2000 menjadi 5.114,59x109 m3 pada tahun 2004 (BP Migas, 2005). Tingginya jumlah cadangan batubara dalam struktur cadangan energi fosil merupakan permasalahan yang akan muncul pada pemanfaatan energi fosil dimasa depan. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang utama, pertama karena pencemaran dan perusakan lingkungan akibat penambangan batubara lebih besar dibandingkan dengan pencemaran dan perusakan lingkungan akibat dari penambangan minyak bumi dan penambangan gas bumi. Kedua pemanfaatan batubara harus sejalan dengan makna dari Protokol Kyoto, sehingga batubara tidak dapat lagi dimanfaatkan secara langsung sebagaimana selama ini banyak dilakukan. Pemanfaatan batubara sebagai bahan energi adalah dengan terlebih dahulu mengkonversi batubara menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan, baik berupa bahan bakar cair atau bahan bakar gas. 2.3.4. Pencemaran Energi Fosil Pemanfaatan sumberdaya energi fosil untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan energi melahirkan dampak terhadap lingkungan. Dampak terhadap lingkungan itu, sejak kegiatan penambangan, transportasi, konversi dan penggunaan energi fosil. Pada hakekatnya keseluruhan dampak terhadap lingkungan oleh pemanfaatan energi fosil merupakan pencemaran lingkungan (Gore, 1994; Mannion dan Bowlby, 1992). Pencemaran lingkungan pada kegiatan penambangan bahan energi fosil dapat terjadi dengan beberapa bentuk. Pencemaran yang terjadi karena ada kebocoran bahan, terutama pada penambangan minyak dan gas bumi yang akan merusak lingkungannya. Penambangan minyak bumi juga melahirkan pencemaran air, yaitu dalam bentuk air buangan yang bersifat asam. Penambangan batu bara yang dilakukan di bawah tanah pada jangka panjang akan dapat mengakibatkan turun-
26
nya permukaan tanah dan dalam jangka pendek terjadinya penumpukan tanah galian yang di musim hujan akan menimbulkan rembesan air yang bersifat asam (Kadir, 1995). Tambang terbuka menimbulkan pencemaran dalam bentuk kebisingan dan secara fisik tanah akan melahirkan lubang galian seperti danau yang dapat menimbulkan erosi dan pengotoran lingkungan. Pada umumnya penambangan batu bara melahirkan pencemaran air, tanah, dan udara. Pencemaran air dalam bentuk pencemaran larutan asam, larutan padat dalam air buangan, dan erosi akibat penambangan. Menurut Banerjee dan Kumar (2005), pertambangan Madhya Pradesh di India telah meningkatkan polutan dalam jumlah yang tinggi dan secara langsung mempengaruhi sifat hidrologi dan geokimia tanah pada areal yang luas. Pencemaran lingkungan dari kegiatan proses bahan energi fosil dalam bentuk pencemaran panas dan pencemaran bahan pencemar. Pengolahan batu bara meliputi pencemaran udara oleh partikel padatan yang terjadi pada proses pengeringan, padatan dari pembersihan batu bara, nitrogen oksida yang mencemari udara (Ismail,1992). Pencemaran bahan padatan dari proses pengolahan batu bara berasal dari buangan proses pembersihan batu bara. Penyulingan minyak bumi dan gas bumi memberi resiko kebakaran yang besar, pencemaran panas, pencemaran udara termasuk pengotoran oleh sulfur dioksida, hidrogen sulfida, nitrogen oksida, oksida karbon dan hidrokarbon (Kadir, 1995). Proses pengolahan minyak bumi juga melahirkan pencemaran padatan dari penggunaan katalis asam. Pada proses gasifikasi batubara terdapat bahan pencemaran udara yang meliputi partikel, hidrogen sulfida, karbon monoksida dan hidrokarbon (Ismail, 1992). Pencemaran yang terjadi pada transportasi bahan energi dalam bentuk pencemaran bahan energi yang masuk ke lingkungan. Pengangkutan minyak dengan kapal tangki dapat menciptakan pencemaran lingkungan yang berat, baik yang terjadi karena kebocoran maupun karena terjadinya kecelakaan. Pada tahun 1969 dari 1180 frekuensi pengangkutan minyak terdapat 130 kali kecelakaan dengan total bahan pencemaran lebih dari 1,05 juta barel, dan pada tahun 1975 dari 1820 frekuensi pengangkutan minyak terdapat 44 kali kecelakaan dengan jumlah bahan cemaran lebih dari 1,74 juta barel (Loftness,1984). Kebocoran minyak dan gas
27
bumi dapat pula terjadi pada instalasi pemipaan pada stasion pompa dan kompresor atau kebocoran pada sambungan pipa (Loftness, 1984). Penggunaan bahan bakar hasil dari minyak bumi dan gas alam serta batu bara menghasilkan juga bahan yang mencemari udara yang meliputi karbondioksida, belerang dioksida, dan oksida nitrogen. Karbon dioksida bukan merupakan bahan yang beracun, namun dalam jumlah yang lebih besar dari kapasitas alam melakukan daur karbon-oksigen yang berakibat jumlahnya di atmosfir terus meningkat dari waktu ke waktu. Gas karbondioksida memiliki usia panjang yang memerlukan waktu lama untuk dapat melepas ikatan molekulnya (Mannion dan Bowlby1992). Akumulasi jumlah gas karbondioksida di atmosfir membentuk selimut bumi yang menciptakan terjadinya efek rumah kaca dari radiasi matahari yang melahirkan pencemaran dalam bentuk pemanasan global. Bahan bakar hidrokarbon dari minyak bumi maupun gas bumi selain mempunyai nilai kalor yang berbeda, juga pada pembakarannya menghasilkan gas karbondiokasida dengan jumlah yang berbeda. Gas metana yang dominan dalam gas komersial LPG memiliki nilai kalor tertinggi 51.690 kJ/kg dan pada pemakaiannya memiliki tingkat emisi karbondioksida yang terendah. Penggunaan metana untuk mendapatkan energi bentuk kalor sebagai bahan bakar menghasilkan karbondioksida yang terendah dari gugus ikatan hidrokarbon lain, disamping itu bobot bahan bakar yang dibutuhkan juga rendah (Soerawidjaja, 1992)
Tabel 8. Energi Bahan Bakar Dan Produksi CO2 Energi (MJ/kg)
Produksi CO2 (kg/kg bk)
Metana, CH4
51,7
2,8
Etana, C2H6
49,6
3,0
Minyak Diesel
45,6
-
Fuel Oil
43,2
-
Benzena, C6H6
47,1
3,4
Propana, C3H8
50,2
3,0
Bahan Bakar
Diolah berdasarkan data Pandey (1997); Moran dan Shapiro (2003). bk = bobot kering, - = tidak terdapat data.
28
Selama kurun waktu dari tahun 1990 sampai tahun 2000, emisi gas karbondioksida telah meningkat dua kali lipat (Tabel 9). Berdasarkan kualitas, peningkatan emisi karbondioksida berturut-turut dari yang terbesar adalah pembangkit tenaga listrik (menjadi 248,22 %), industri (menjadi 229,11 %), transportasi (menjadi 180,25 %), sektor lain (menjadi 153,34 %), rumahtangga dan komersial (menjadi 133,01 %). Peningkatan pemakaian energi fosil di sektor-sektor terse-but menyebabkan emisi karbondioksida meningkat (Ditjen Migas, 2004). Tabel 9. Emisi Karbondioksida CO2 (x106 ton) Tahun
Listrik
Industri
Transport
1990
24,2
29,58
27,19
Rumahtangga & Komersial 17,14
1991
28,04
32,38
29,61
1992
30,05
37,26
1993
26,52
1994
Lainnya
Jumlah
7,59
105,70
17,38
8,33
115,74
30,97
17,62
6,68
124,58
42,09
32,31
17,86
10,45
129,23
34,21
45,48
33,81
18,42
11,51
143,42
1995
35,34
49,23
36,90
19,01
12,98
153,46
1996
54,69
51,03
40,56
19,62
14,62
180,53
1997
51,1
52,49
43,52
20,98
15,24
183,33
1998
50,92
53,58
44,86
22,09
11,27
182,72
1999
55,32
58,17
47,03
22,88
11,26
194,66
2000
60,07
67,77
49,01
22,90
11,64
211,39
Sumber : Ditjen Migas ( 2004)
Pencemaran lain dari pembakaran bahan bakar hidrokarbon adalah terbentuknya nitrogen oksida dan sulfur oksida. Nitrogen oksida dan sulfur oksida yang terdapat dalam udara di atmosfir dapat membentuk larutan asam dengan konsentrasi tertentu dalam hujan. Larutan asam dalam hujan memberi dampak bagi kehidupan di permukaan bumi. Menurut Soemarwoto (1997) pada konsentrasi asam tertentu tumbuhan tidak dapat hidup dengan baik bahkan dapat mengalami kematian, mereduksi pertumbuhan hutan, menyebabkan kehidupan yang tidak nyaman di lingkungan perairan dan menyebabkan berkurangnya spesies ikan. Hujan asam juga dapat membuat tanah menjadi kurang subur dan pada tingkat konsentrasi
29
asam yang lebih tinggi atau pada intensitas hujan asam yang tinggi dapat membuat struktur tanah menjadi rusak. Nitrogen oksida pada lapisan stratosfir meningkatkan efektivitas penepisan lapisan ozon oleh klorin dan bromium (Gore, 1994; Manahan, 1994) 2.4. Konservasi Dan Substitusi Energi 2.4.1. Konservasi Energi Kelangkaan sumberdaya energi, terutama sumberdaya tak-terbarukan, telah melahirkan permasalahan dalam pemenuhan konsumsi energi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Di samping itu dampak terhadap lingkungan dari penggunaan energi tak-terbarukan telah menjadi kenyataan, setidaknya dampak dalam bentuk pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan. Pergerakan yang meningkatkan tingkat kelangkaan sumberdaya energi tak-terbarukan terjadi pada kurun waktu yang sama dengan peningkatan konsumsi energi sebagai akibat dari peningkatan konsumsi perkapita dan peningkatan populasi sebagai konsumen energi. Konsekuensinya harga energi berkecenderungan terus meningkat dan habisnya sumberdaya tak-terbarukan semakin cepat terjadi. Harga energi yang cenderung meningkat akan berdampak baik secara langsung maupun secara tidak langsung meningkatkan hambatan dari upaya peningkatan kesejahteraan. Proses menuju habisnya sumberdaya energi, pada dasarnya telah menjadi kecemasan dari kelompok Roma (Hare dan Marlow, 1999; Turner et al, 1994; KLH, 1997). Menurut Suparmoko (1997), pendapat kelompok pesimis meliputi : 1) dunia ini terbatas, sehingga terbatas pula sumberdaya alam yang ada dan ini membatasi pula tersedianya barang-barang produksi kebutuhan manusia, 2) hampir semua kegiatan produksi pertumbuhannya bersifat eksponensial, 3) produksi barang dan jasa pasti akan berhenti bila batas persediaaan sumberdaya sudah tercapai, 4) batas persediaaan itu akan segera tercapai, 5) dampak dalam proses menuju batas tersebut bersifat kehancuran, dan 6) akhirnya harus diusahakan untuk mengubah tendensi pertumbuhan yang bersifat eksponensial dan membatasi kegiatan manusia sesuai dengan batas-batas alamiah. Pandangan kelompok pesimis itu pada dasarnya berinti sari pada kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya energi, secara hemat dan berkelanjutan serta pemanfaatan sumberdaya substitusi.
30
Terdapat pandangan yang optimis terhadap kelangsungan penyediaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya energi, berdasarkan asumsi dan tingkat keyakinan yang tinggi terhadap teknologi. Pandangan yang optimis setidaknya berpendapat bahwa : 1) perkembangan teknologi produksi akan menghemat penggunaan barang-barang sumberdaya alam, 2) dengan teknologi baru sumberdaya alam dapat digunakan berulang kali lewat proses pengolahan kembali limbah produksi, 3) dengan teknologi baru akan lebih mudah ditemukan cadangan sumberdaya alam baru yang meningkatkan jumlah persediaaan sumberdaya alam, dan 4) dengan teknologi baru akan lebih dimungkinkan untuk menemukan sumberdaya alam pengganti atau sumberdaya alam alternatif yang dimungkinkan adanya konservasi sumberdaya alam (Reksohadiprodjo dan Pradono, 1998). Namun pandangan yang optimis itu akan menjadi realistis apabila ada suatu kepastian, bahwa penemuan suatu teknologi baru dimaksud terjadi pada saat yang tepat. Saat yang tepat adalah pada waktu sumberdaya alam belum melampaui batas minimal persyaratan daya dukung. Konservasi energi hendaknya dilakukan dengan falsafah tujuan yang serupa dengan konservasi pada sumberdaya lain. Menurut Suparmoko (1997) beberapa tindakan konservasi adalah : 1). Melakukan perencanaan terhadap pengambilan sumberdaya energi, yaitu dengan pengambilan secara terbatas, dan tindakan yang mengarah pada pengurasan perlu dicegah. 2). Mengusahakan eksploitasi sumberdaya energi secara efisien, yakni dengan limbah yang sedikit mungkin. 3). Mengembangkan sumberdaya alternatif atau mencari sumberdaya pengganti, sehingga sumberdaya energi yang terbatas jumlahnya dapat disubstitusi dengan sumberdaya energi jenis lain. 4). Menggunakan komponen-komponen yang sesuai dalam mengeksploitasi sumberdaya energi agar dapat menghemat penggunaan sumberdaya tersebut dan tidak merusak lingkungan. 5). Mengurangi, membatasi dan mengatasi pencemaran lingkungan karena pencemaran akan mengakibatkan sumberdaya semakin cepat habis oleh kepunahan, seperti ikan dan tanah.
31
Konservasi energi misalnya konservasi sumberdaya alam pada pelaksanaannya memiliki beberapa permasalahan. Menurut Reksohadiprodjo dan Pradono (1998), pertimbangan yang minimal digunakan dalam mengadakan konservasi sumberdaya alam adalah aspek keuntungan konservasi, aspek peran serta masyarakat, dan cara-cara menggulangi hambatannya. Tingkat menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu konservasi tergantung dari jangka waktu yang direncanakan, aspek investasi dari konservasi, kemampuan dalam memilih alternatif cara konservasi, dan dampak konservasi terhadap konservasi sumberdaya lain. Peranserta masyarakat terhadap konservasi akan sangat besar apabila derajat prefensi waktu yang panjang dan tingkat diskonto yang rendah, karena umumnya masyarakat menginginkan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang. Pada pelaksanaan konservasi sering ditemui hambatan-hambatan yang dapat menjadi kendala dari upaya konservasi yang dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan kelembagaan dan hambatan teknologi (Suparmoko, 1997). 2.4.2. Substitusi Energi Komersial Konservasi energi dalam aspek pengurangan peranan sumberdaya energi komersial merupakan upaya untuk memanfaatkan sumberdaya tak terbarukan secara terbatas dan untuk menurunkan dampak negatif dari konsumsi energi terhadap lingkungan. Sebagai harapan skenario tingkat kelangkaan energi yang tinggi sebagai konsekuensi dari kelangkaan sumberdaya energi komersial dapat dihindari dan pemanfaatan energi secara berkelanjutan diwaktu yang akan datang dapat diwujudkan serta pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan dari pemanfaatan energi komersial dapat diturunkan dengan nyata. Salah satu bentuk konservasi energi adalah penganekaragaman sumberdaya energi untuk mensubstitusi peranan sumberdaya energi yang saat ini sangat dominan, yaitu sumberdaya energi fosil. Pada dasarnya kebijakan energi di Indonesia mempunyai tujuan untuk mengembangkan sumber-sumber energi, terutama sumber energi terbarukan, agar dalam waktu yang tidak lama sumber energi itu sejauh mungkin dapat menggantikan sumber energi tak-terbarukan dan pelestarian lingkungan mendapat perhatian sepenuhnya dalam usaha mengelola sumber energi (Kadir, 1995). Menurut Soemarwoto (1997), penganekaragaman energi selain bertujuan untuk mengurangi peranan energi fosil, juga perlu diusahakan agar jenis sumber
32
energi yang digunakan sesuai dengan jenis pemakaiannya. Penganekaragaman sumber energi yang sesuai dengan pemakaiannya merupakan bentuk kebijakan yang mempunyai kendala yang rendah pada tahapan proses konversi energi. Berdasarkan pandangan tersebut, penganekaragaman sumber energi dengan meningkatkan peranan sumberdaya terbarukan dalam struktur energi nasional juga menggunakan pertimbangan dalam aspek teknologi konversi energi. Sebagian besar mesin konversi energi mengkonsumsi energi fosil dari jenis bahan bakar cair dan bahan bakar gas. Peranan yang sangat nyata terutama pada konversi energi pusat pembangkit tenaga dan konversi energi penggerak alat transportasi. Energi yang dapat mengurangi dan pada saatnya mengganti peranan minyak dan gas bumi adalah energi yang selain berasal dari sumberdaya terbarukan dan rendah pencemaran, juga haruslah memiliki karakteristik fisik fasa cair atau fasa gas. Meskipun pada dasarnya pada akhirnya fasa cair kebanyakan diubah menjadi fasa gas sebelum mengalami proses pembakaran, sehingga penggunaan bahan bakar fasa gas untuk mesin konversi energi yang berbahan bakar cair secara prinsip dapat dilakukan. Penganekaragaman sumber energi dengan pengembangan sumber energi terbarukan yang menghasilkan sintesis energi komersial untuk substitusi bahan bakar minyak dan bahan bakar gas yang selama ini berasal dari sumberdaya tak-terbarukan, merupakan alternatif yang baik dipandang dari tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan energi di Indonesia. Alternatif mengembangkan sumber energi dari sumberdaya terbarukan dengan memilih jenis energi dalam bentuk gas akan dapat bermanfaat secara langsung pada proses pemanfaatan energi yang selama ini menggunakan bahan bakar gas dari sumberdaya tak-terbarukan. Pada aspek lain pengembangan sumber energi gas melalui usaha produksi energi dalam bentuk gas yang menggunakan bahan baku biomassa, baik biomassa segar maupun biomassa dalam bentuk limbah, pada hakekatnya tidak hanya dalam rangka mencapai tujuan konservasi energi nasional, tetapi juga secara komprehensif merupakan upaya penanggulangan pencemaran limbah padat dan meningkatkan derajat penggunaan sumberdaya alam yang berkelajutan. Ringkasnya dapat dinyatakan, bahwa pengembangan sumber energi gas yang menggunakan sumberdaya biomassa merupakan upaya dengan tujuan ganda,
33
yaitu upaya dalam menyikapi proses menuju kelangkaan energi dan upaya pengelolaan lingkungan yang menggunakan prinsip-prinsip keberlanjutan. Produksi metana dari biomassa akan memenuhi ketiga kriteria yang sebaiknya dimiliki oleh energi sintesis komersial atau minyak sintesis dan gas. Pada suhu yang rendah metana dapat berfasa cair. Metana yang diproduksi dari biomassa merupakan bahan bakar yang berasal dari sumberdaya terbarukan. Pembakaran metana menghasilkan jumlah karbondioksida yang terendah dari gugus bahan bakar hidrokarbon untuk menghasilkan jumlah energi yang sama. Nilai energi dari konsumsi minyak dan gas pada tahun 2000 sebesar 660,3x106 SBM (Ditjen Migas, 2004) setara dengan 78,165 x106 ton gas metana (asumsi 1 kg metana menghasilkan 12.346,81 kkal). Biomassa yang diperlukan untuk mendapatkan 78,165 x106 ton gas metana adalah sekitar 2.579,5 x106 ton (asumsi 1 ton metana memerlukan 33 ton biomassa). Pada hakekatnya dalam aspek lain dengan pengembangan energi yang menggunakan sumberdaya biomassa untuk menghasilkan gas metana sebagai substitusi energi komersial mempunyai dampak yang bersifat lokal. Sumberdaya lokal yang menghasilkan biomassa, baik biomassa segar melalui pertanian atau perkebunan energi maupun biomassa dalam bentuk limbah, dapat menjadi basis penyediaan sintesis energi komersial sesuai dengan tingkat kebutuhan lokal. Kebutuhan lokal akan energi komersial dapat dipenuhi dengan energi sintesis komersial baik dalam jumlah sebagian maupun dalam jumlah keseluruhan, sehingga lokal lebih mandiri dalam penyediaan energi yang dibutuhkannya dan secara nyata akan mengurangi intensitas maupun kuantitas transportasi energi dari satu kawasan yang selama ini sebagai penyedia energi komersial ke kawasan lain yang selama ini sebagai konsumen energi komersial. Penurunan intensitas dan kuantitas transportasi energi komersial secara nyata memberi dampak pada penghematan investasi dan mengurangi pencemaran bahan energi melalui transportasi energi. 2.5. Sistem Sentra Energi Berbasis Biomassa 2.5.1. Karakteristik Rancangan Sistem sentra energi berbasis biomassa bertujuan untuk menyediakan energi sejenis gas sintesis komersial dengan mengutamakan kebutuhan konsumen lokal di kawasan tertentu. Sistem sentra energi akan memproduksi sintesis energi ko-
34
mersial yang mempunyai bentuk fisik gas. Gas hasil sentra energi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gas maupun bahan bakar cair dari kawasan atau wilayah tersebut secara keseluruhan atau sebagiannya, sehingga terjadi substitusi terhadap gas atau bahan bakar cair yang sebelumnya berasal dari energi komersial. Substitusi oleh gas hasil sentra energi terhadap bahan bakar cair dapat dilakukan baik dengan cara mengganti bahan bakar cair dengan gas pada mesin konversi energi, maupun dengan mengubah konsumsi dari bahan bakar cair dengan gas. Hasil dari sentra energi biomassa suatu kawasan dapat mengurangi ketergantungan pada sumberdaya energi tak-terbarukan. Pengembangan sistem sentra energi berbasis biomassa bertolak dari potensi yang terdapat di suatu kawasan atau wilayah. Pengertian wilayah bersifat fleksibel, dengan tolok ukurnya adalah populasi dan konsumsi energi di suatu kawasan, sehingga ukuran wilayah terkecil adalah setingkat kabupaten. Kerangka konsep pemanfaatan biomassa sebagai bahan baku produksi gas sampai kepada sasaran pemanfaatannya terdapat pada Gambar 5.
Limbah Pertanian (Perkebunan, Pertanian, Peternakan)
Limbah Non Pertanian (Sampah, Industri Pengalohan, Penebangan Hutan)
Tanaman Energi (Hutan, Pertanian)
Potensi Biomassa Di Kawasan
Proses Bio Konversi (Sentra Energi Biomassa)
Sintesis Gas Komersial
Konsumen Kawasan 1. Rumah Tangga 2.Tenaga Listrik 3. Transportasi 4. Industri
Konsumen Di Kawasan
Gambar 5 Sketsa alur pemanfaatan biomassa
35
Pendekatan tersebut diperlukan justru karena luasnya wilayah Indonesia yang daratannya terpisah-pisah dengan sumberdaya energi yang heterogen. Bahkan terdapat wilayah yang tidak memiliki sumberdaya energi fosil. Berbeda dengan potensi energi fosil tersebut, semua wilayah Indonesia memiliki sumber biomassa yang potensial baik yang sudah ada maupun sumber yang dapat dikembangkan. Pada hakekatnya setiap kawasan di Indonesia mempunyai potensi untuk dapat menghasilkan biomassa dalam jumlah yang besar, meskipun sumber biomassa satu kawasan dengan kawasan yang lain memiliki perbedaan. Pemanfaatan biomassa dalam jumlah besar tersebut sekaligus sebagai bagian dari upaya setiap kawasan di Indonesia untuk mencapai swasembada energi, khususnya bahan energi berbentuk gas. Rancangan berfungsi dalam kondisi yang optimal apabila tercapai kondisi yang ditunjukkan oleh: 1) terpenuhinya kebutuhan energi untuk pengelolaan dan fasilitas sentra energi berbasis biomassa, 2) dapat dihasilkan energi sebagai produk olahan dengan karakteristik fisiknya dalam bentuk gas dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan konsumen di kawasan atau wilayahnya, dan 3) limbah padat dari proses produksi merupakan produk tambahan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, yaitu sebagai pupuk organik atau bahan baku industri. 2.5.2. Input Dan Output Input yang digunakan adalah biomassa yang secara umum mempunyai kadar air 65%. Kandungan non-organik lebih kurang berkisar antara 5 % sampai dengan 25% dari jumlah biomassa yang tergantung pada jenis dan asal dari biomassa. Konsentrasi bahan organik dalam sampah kota dapat mencapai 75 % dari volume sampah kota (Pandey, 1997) Output yang utama adalah gas sintesis energi komersial dan produk organik hasil residu proses fermentasi bahan organik. Gas metana yang hampir murni dapat mensubstitusi energi komersial baik dalam bentuk gas maupun dalam bentuk cair. Limbah padat dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau bahan industri bahan bangunan atau dimanfaatkan pula sebagai bahan urugan. Jumlah produk gas metana yang dihasilkan berkisar dari 0,152 sampai 0,249 m3 pada suhu dan tekanan standar untuk setiap kilogram bahan organik kering (Loftness, 1984). Produk bahan organik padat yang dihasilkan 0,38 sampai 0,42 kg untuk setiap
36
kilogram bahan organik kering yang masih mempunyai nilai manfaat sebagai pupuk organik (unsur N, P, dan K relatif sama dengan kompos bahan yang sama). Hasil lainnya adalah limbah cair yang sebagiannya digunakan sebagai pelarut bahan baru dalam reaktor atau sebagai pupuk cair, dan sebagian yang lain diolah untuk mencapai kualitas air yang sesuai baku mutu setempat. 2.5.3. Gambaran Umum Proses Biomassa yang merupakan bahan organik yang difermentasi secara anaerobik, untuk menghasilkan gas dan limbah organik diproses secara bertahap. Alur proses sejak input biomassa dari berbagai jenis dan berbagai sumber sampai menjadi produk yang dapat segera dikonsumsi atau dimanfaatkan, dijelaskan dalam alur proses pada Gambar 6. Secara umum proses pengelolaan untuk satu siklus lengkap adalah : 2.5.3.1. Persiapan Bahan Baku Biomassa yang berasal dari berbagai sumber, masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri. Setiap macam biomassa antara satu dengan lainnya mempunyai perbedaan dalam ukuran dan kandungan bahan non-organik. Proses tersebut dilakukan secara berbeda diantara biomassa yang berasal dari sumber yang berbeda sesuai dengan bentuk, jenis dan kadar kandungan bahan non-organik. Biomassa yang berasal dari limbah industri pengolahan kayu pada tahapan awal diproses untuk memisahkan bahan organik dengan bahan non-organik, terutama logam dan bahan yang sulit dirombak seperti plastik. Pemisahan juga dilakukan pada bahan organik, antara bahan yang langsung dapat difermentasikan dengan bahan yang memerlukan proses pendahuluan untuk dapat difermentasikan. Hasil proses pemisahan adalah bahan organik yang dapat dirombak dengan fermentasi anaerobik dengan tingkat kemurniannya sekitar 100% dan dalam ukuran diameter 10 sampai 20 mm. Selanjutnya bahan organik tersebut dipindahkan ke kolam pelarut dengan konveyor. Biomassa yang berasal dari limbah pertanian dan limbah perkebunan pada tahapan pertama diproses untuk memisahkan bahan organik dengan bahan yang sulit atau tidak dapat dirombak seperti logam dan plastik. Hasil proses pemisahan adalah bahan organik yang tingkat kemurniannya sekitar 100%. Bahan organik yang sulit dirombak dengan fermentasi seperti bahan organik yang kandungan lig-
37
ninmya tinggi, diproses pendahuluan. Tahapan terakhir adalah proses penghalusan untuk mencapai potongan 10 sampai 20 mm dengan mesin pencacah. Selanjutnya bahan organik dipindahkan ke kolam pelarut dengan konveyor.
LIMBAH PERTANIAN
LIMBAH PERKEBUN AN
LIMBAH INDUSTRI OLAHAN
SAMPAH KOTA
PRODUK PERTANIAN ENERGI
PRODUK PERKEBUN AN ENERGI
PENGOLAH AN KHUSUS
PENGOLAH AN KHUSUS
PENGOLAH AN KHUSUS
PENGOLAH AN KHUSUS
PENGOLAH AN KHUSUS
PENGOLAH AN KHUSUS
LIMBAH PETERNAK AN
PENGOLAHAN PENDAHULUAN/ PENGHALUSAN
PENGENCERAN LARUTAN ORGANIK
PENGOLAHAN AIR LIMBAH
REAKTOR FERMENTASI ANAEROBIK
PEMISAHAN GAS
GAS METANA
GAS CO2
PENGEPRESAN PADATAN ORGANIK PENGE MASAN
PENGE MASAN
DISTRIBUSI
Gambar 6 Alur proses produksi gas bahan biomassa
38
Biomassa yang berasal dari limbah peternakan pada tahapan pertama diproses untuk memisahkan bahan organik dengan bahan yang sulit atau tidak dapat dirombak seperti logam dan plastik. Hasil proses pemisahan adalah bahan organik yang tingkat kemurniannya sekitar 100% dan dalam ukuran butiran halus atau serat yang tidak memerlukan proses pendahuluan. Selanjutnya bahan organik dipindahkan ke kolam pelarut dengan konveyor. Proses tahapan pertama terhadap biomassa yang berasal dari sampah kota adalah proses pemilahan, untuk memisahkan bahan yang dapat dimanfaatkan kembali (reuse) yang terdiri atas bahan non-organik, plastik, dan logam. Proses tahapan selanjutnya adalah memilahkan bahan organik berdasar ukuran, yaitu ukuran diameter bahan diatas 20 mm dan ukuran diameter kurang dari 20 mm. Bahan organik yang mempunyai ukuran di atas 20 mm dilanjutkan dengan proses penghalusan untuk mendapat potongan 10 sampai 20 mm. Kemudian bahan organik dipilah antara yang kandungan ligninnya tinggi dengan yang kandungan ligninnya rendah. Bahan organik yang kandungan ligninnya tinggi di proses pendahuluan. Bahan organik yang mempunyai ukuran kurang dari 20 mm diproses untuk memisahkan butiran bahan dari logam yang menggunakan peralatan magnetik. Tahapan terakhir adalah memindah bahan organik ke kolam pelarut dengan konveyor. Biomassa yang berasal dari pertanian energi, mula-mula diproses untuk memisahkan bahan organik dengan bahan non-organik, terutama logam dan bahanbahan yang tidak dapat dirombak seperti plastik. Hasil proses pemisahan tersebut adalah bahan organik yang kemurniannya sekitar 100 %. Bahan organik yang sulit dirombak dengan proses fermentasi anaerobik, yaitu bahan organik yang kandungan ligninnya tinggi, diproses pendahuluan. Tahapan terakhir adalah proses penghalusan untuk mencapai potongan 10 sampai 20 mm dengan mesin pencacah. Selanjutnya bahan organik ini dipindah ke kolam pelarut dengan konveyor. Proses untuk memisahkan bahan organik dengan bahan non-organik merupakan tahapan awal dari persiapan biomassa yang berasal dari perkebunan energi. Hasil proses pemisahan ini adalah bahan organik yang tingkat kemurniannya sekitar 100%. Tahapan selanjutnya adalah memisahkan bahan organik yang kandungan ligninnya tinggi, terutama yang berasal dari batang dan dahan, yang kemudian diproses pendahuluan untuk merombak komponen ligninnya. Selanjutnya
39
bahan dihaluskan dengan proses penghalusan untuk mencapai potongan 10 sampai 20 mm dengan mesin pencacah. Tahapan akhir bahan organik dipindahkan ke kolam pelarutan dengan peralatan konveyor 2.5.3.2. Pembentukan Larutan Bahan organik yang berasal dari berbagai sumber biomassa yang merupakan hasil dari proses persiapan bahan baku dan mempunyai ukuran yang cukup halus dicampur menjadi satu kesatuan. Kadar air bahan organik campuran biomassa tersebut diukur secara sampling. Hasil pengukuran kadar air bahan sebagai acuan menetapkan jumlah air yang dicampurkan untuk membuat larutan bahan organik. Berdasarkan hasil pengukuran kadar air bahan organik, dilakukan pemberian air pada bahan organik yang sudah dihaluskan, untuk membuat larutan organik yang cukup encer dengan konsentrasi 7 % sampai dengan 10 %. Pada tingkat konsentrasi 7 % sampai dengan 10 % bahan kering akan menciptakan kondisi yang baik untuk proses pencernaan bakteri anaerob, sehingga tercipta lingkungan yang baik untuk pembentukan gas bio (Pandey, 1997). Air tambahan untuk memenuhi kebutuhan larutan pada konsentrasi tertentu diberikan pada saat bersamaan dengan pemasukan bahan organik yang baru kedalam reaktor fermentasi. Kegiatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan dan kontinyu untuk menghasilkan gas yang berkelanjutan pula. Penambahan air dan bahan organik yang baru dilakukan dengan menggunakan sistem pemipaan. 2.5.3.3. Fermentasi Anaerobik. Pada tahapan feremntasi anaerobik, larutan organik mengalami biokonversi secara fermentasi anaerobik dalam reaktor fermentasi. Di dalam reaktor fermentasi terjadi proses dekomposisi bahan organik dalam larutan yang berlangsung dalam kondisi yang anaerobik yang menghasilkan gas dengan bantuan berbagai jenis organisme mikro, terutama bakteri-bakteri metana. Sebagian besar gas yang terbentuk adalah gas metana (CH4) dan gas karbondioksida (CO2), yang terbentuk antara 7 sampai 13 hari sejak larutan organik segar difermentasi dalam reaktor fermentasi. Gas yang dihasilkan ditampung dalam tangki penampungan gas yang suhu dan tekanannya dikontrol sekitar suhu dan terkanan atmosfir. Gas di dalam tangki penampungan dengan menggunakan sistem pemipaan dialirkan ke proses
40
pemisahan parsial oleh separator untuk mendapat produk gas metan pada kadar minimal 95%. Secara periodik dalam jumlah yang tertentu, larutan bahan organik yang baru dimasukkan kedalam reaktor fermentasi, yaitu ketika larutan bahan organik yang lama telah mencapai tingkat produksi gas yang minimal. Pada keadaan operasi yang normal, setiap periode reaktor fermentasi memerlukan larutan bahan organik segar dari biomassa dalam jumlah tertentu. Bersamaan dengan pengisian larutan bahan organik baru dilakukan pengambilan padatan organik sebagai residu fermentasi. Padatan organik masih memiliki unsur hara, sehingga merupakan produk organik yang berguna untuk tanaman. Jumlah produk organik sekitar 40 % dari bobot kering bahan organik yang dilarutkan. Produk bahan organik dengan menggunakan konveyor dipindahkan ke unit proses pengepresan, untuk mendapatkan bahan organik dengan kadar air yang cukup rendah. 2.5.3.4. Pemisahan Gas Dan Pengemasan Gas Gas hasil fermentasi anaerobik meliputi gas metana (50 - 60%), karbondioksida (35 - 40%), dan gas lainnya. Proses pemisahan parsial untuk mendapatkan gas metana dengan kemurniannya di atas 95%. Proses pemisahan dilakukan dengan proses fisika, yaitu dengan pengembunan metana. Gas metana yang dihasilkan mempunyai tekanan pada kondisi standar, yaitu sebesar tekanan atmosfir. Gas metana sebagai produk utama selanjutnya dikemas sesuai dengan penggunaannya. Pengemasan gas metana untuk konsumsi rumahtangga dengan menggunakan botol baja seperti yang digunakan pada kemasan gas elpiji untuk rumahtangga. Penggunaan gas untuk kebutuhan lain disesuaikan dengan tujuan konsumsinya. Gas metana untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik dapat menggunakan instalasi pemipaan. 2.5.3.5. Pengepresan Limbah Organik Dan Pengemasan Bahan Organik Limbah bahan organik sebagai residu dari proses fermentasi yang mempunyai kadar air di atas 75 % diproses lebih lanjut untuk mendapat kadar air sekitar 15 %. Proses dilakukan secara mekanis dengan penekanan terhadap limbah organik pada tekanan sekitar 3 Bar, sebagian besar air dalam bahan organik terpisah dari bahan (Khurmi dan Gupta, 2004).
41
Bahan organik padat sebagai produk sampingan, selanjutnya dikemas sesuai dengan penggunaannya. Penggunaan untuk pupuk konsumsi rumahtangga dikemas sesuai bobot yang biasa digunakan di pasaran, yaitu umumnya untuk bobot 25 atau 50 kg. Kemasan dalam bentuk curah dalam volume besar untuk pemupukan yang wilayahnya luas dapat menggunakan kenderaan truk ukuran kecil maupun ukuran besar. Pengemasan bahan organik sebagai bahan urugan atau sebagai bahan baku industri bahan dalam bentuk curah dan didistribusikan dengan menggunakan truk. 2.5.3.6. Pengolahan Limbah Cair. Limbah cair yang barasal dari proses fermentasi dan proses-proses lainnya, yang tidak dipergunakan sebagai lumpur aktif atau sebagai pupuk cair dialirkan ke Pusat Pengelolaan Limbah (PAL) yang terdapat di sentra energi. Proses pelunakan dan pereduksian bahan pencemaran yang terdapat dalam limbah cair dilakukan terutama dengan proses secara biologis. Cairan keluaran PAL memenuhi baku mutu air tertentu sesuai dengan penggunaan air di lingkungan sentra energi menurut peraturan yang berlaku. 2.5.4. Infrastruktur Sentra Energi Biomassa Infrastruktur dasar dan fasilitas dari sentra energi biomassa ini meliputi : mesin, peralatan proses, reaktor fermentasi, dan fasilitas lainnya. Infrastruktur dan fasilitas tersebut adalah : 2.5.4.1. Fasilitas Pengolahan Khusus Biomassa Fasilitas pengolahan khusus biomassa terdiri atas beberapa jenis sesuai dengan jenis biomassa. Pengolahan khusus sangat ditentukan oleh karakteristik dari biomassa dan sumber biomassa yang spesifik. Pengolahan khusus untuk biomassa limbah pertanian dan limbah perkebunan serta tanaman energi dari pertanian energi terdiri atas : alat pemilahan, mesin penghalus, dan konveyor. Alat pemilahan dengan menggunakan konveyor agar terjadi kegiatan yang efektif dengan alur yang terpendek. Pemilahan bahan yang terpakai dengan bahan yang tidak terpakai dilakukan dengan cara menghentikan konveyor selama waktu yang cukup, untuk memilah bahan secara manual. Konveyor dijalankan kembali ketika kegiatan pemilahan bahan telah selesai dilakukan. Bahan hasil pemilahan yang masih memerlukan penghalusan diangkut de-
42
ngan konveyor transport ke mesin penghalus bahan. Proses penghalusan menggunakan mesin pencacah untuk membuat bahan organik hasil pemilahan biomassa dalam ukuran yang kecil, sekitar 10 mm sampai 20 mm. Konveyor merupakan peralatan untuk memindahkan bahan organik yang telah dicacah dari lokasi pengolahan khusus ke kolam pelarut.
PENGANGKUT LIMBAH
KONVEYOR SORTASI AN-ORGANIK KON VEYOR TRAN SPORT
Pekerja sortasi
KONVEYOR TRANSPORT KE REAKTOR
MESIN PENCACAH
Gambar 7 Sketsa pengolahan khusus limbah pertanian Pengolahan khusus untuk limbah peternakan hanya terdiri atas proses pemilahan. Pemilahan menggunakan konveyor yang beroperasi sebagai berikut : 1) konveyor digerakkan untuk menerima semua bahan dari kenderaan pengangkut, 2) konveyor dihentikan untuk pemilahan bahan non-organik atau bahan yang sulit dirombak dengan pemilahan dilakukan secara manual, dan 3) setelah itu konveyor digerakkan kembali untuk memindahkan bahan ke konveyor transportasi ke kolam pelarut. PENGANGKUT LIMBAH PETER NAKAN
KONVEYOR SORTASI AN-ORGANIK KON VEYOR
KONVEYOR TRANSPORT KE REAKTOR
TRAN SPORT
Gambar 8 Sketsa proses khusus limbah peternakan Pengolahan khusus untuk biomassa sampah kota terdiri atas: proses pemilahan, proses penghalusan. Alat pemilahan dengan menggunakan konveyor agar
43
terjadi kegiatan yang efektif dengan alur yang terpendek yang terdiri atas konveyor pemilah bahan non-organik dan bahan yang sulit untuk dirombak dengan fermentasi anaerobik dan konveyor magnetik untuk memilah butiran logam dari sampah organik. Proses pemilahan bahan non-organik dilakukan dengan :1) konveyor sortasi anorganik digerakkan bersamaan dengan pembongkaran sampah dari kenderaan pengangkut, agar tercapai sinkronisasi antara pembongkaran sampah dari kenderaan pengangkut ke konveyor sortasi, 2) konveyor sortasi dihentikan untuk dilakukan pemilahan bahan non-organik atau bahan yang tidak dapat langsung difermentasi anaerobik yang dilakukan secara manual oleh tenaga kerja, dan 3) konveyor digerakkan kembali untuk memindah bahan ke konveyor magnetik.
PENGANGKUT SAMPAH
KONVEYOR SORTASI AN-ORGANIK KON VEYOR MAGNIT
KONVEYOR TRANSPORT KE REAKTOR
MESIN PENCACAH
KONVEYOR TRANSPORT
Gambar 9 Sketsa Proses Khusus Sampah Kota Pemilahan butiran logam dilakukan dengan melintaskan bahan di atas konveyor magnetik, kemudian dari konveyor magnetik bahan diangkut dengan konveyor ke proses penghalusan. Mesin penghalus merupakan alat untuk membuat bahan organik hasil pemilahan biomassa sampah kota dalam ukuran yang kecil, yaitu sekitar 10 mm sampai 20 mm. Proses terakhir dari pengolahan khusus sampah adalah mengangkut sampah yang sudah dihaluskan ke reaktor fermentasi dengan konveyor. 2.5.4.2. Reaktor Fermentasi Reaktor fermentasi menggunakan konstruksi sistem kontinyu. Kapasitas setiap reaktor bervariasi sesuai dengan kapasitas biomassa. Konstruksi reaktor dibuat dari bahan beton bertulang dengan penampang tegak berbentuk bujursangkar. Bahan organik dimasukkan bersamaan dengan lumpur aktif dan air pelarut melalui saluran penampang lingkaran yang dilengkapi dengan konveyor ber-
44
ulir untuk mendorong bahan masuk kedalam reaktor. Reaktor dilengkapi pula dengan saluran pengeluaran berpenampang lingkaran yang dilengkapi konveyor berulir untuk mengeluarkan limbah termasuk lumpur aktif. Penampung gas bio hasil fermentasi pada ruangan yang berbentuk limas terpancung dilengkapi dengan saluran pengeluaran gas bio
SALURAN PENGELUARAN DGN KONVEYOR ULIR
KONVEYOR ULIR SALURAN PEMASUKAN
TAMPAK ATAS
TAMPAK SAMPING KANAN
Gambar 10 Sketsa Reaktor Fermentasi Pengadukan untuk menghilangkan flok yang terjadi dengan sirkulasi aliran larutan yang digerakkan oleh pompa. Kapasitas reaktor bervariasi yang berdasarkan jumlah biomassa, yaitu berkisar dari 230 m3 biomassa sampai dengan 1200 m3 biomassa (Tabel 10).
Tabel. 10. Ukuran dan kapasitas reaktor fermentasi No
Tipe
1 2 3 4 5 6 7 8
R 01 R 02 R 03 R 04 R 05 R 06 R 07 R 08
Volume P x L x T (m3) 17,5 x 17,5 x 7,5 22,5 x 22,5 x 7,5 27,5 x 27,5 x 7,5 30,0 x 30,0 x 7,5 32,5 x 32,5 x 7,5 35.0 x 35,0 x 7,5 37,5 x 37,5 x 7,5 40,0 x 40,0 x 7,5
Kapasitas (ton Biomassa) 230 380 567 675 792 919 1055 1200
45
Pada sistem kontinyu dengan bahan enceng gondok segar, pengisian bahan segar paling lama 9 hari sejak bahan lama difermentasi (Soermarwoto, 1987). Menurut Pandey (1997), pembentukan gas bio sistem tak-kontinyu dengan bahan limbah ternak terjadi paling tinggi, yaitu lebih dari 66 %, terjadi dalam kurun waktu kurang dari 30 hari dengan suhu larutan 30o C. Laju pembentukan gas bio selain dari terwujudkannya lingkungan fermentasi yang baik, juga rasio C/N dan pencampuran kotoran ternak dengan limbah pertanian akan mengubah rasio C/N untuk produksi gas bio yang lebih baik (Pandey, 1997). Berdasarkan karakteristik pembentukan gas bio tersebut, dan sentra energi yang dirancang menggunakan bahan campuran termasuk hasil pertanian dan kotoran ternak, maka waktu bahan dalam reaktor fermentasi dirancang untuk 30 hari dengan reaktor sistem kontinyu. Setiap reaktor diisi dengan bahan segar setiap enam hari, sehingga jumlah maksimum bahan segar yang diisi pada setiap reaktor fermentasi sebesar 20 % dari kapasitas biomassa setiap hari atau setiap hari bahan segar diisi untuk lima reaktor dengan jumlah masing-masing seperenam dari kapasitas harian biomassa. Berdasarkan perancangan tersebut, maka jumlah reaktor fermentasi suatu sentra energi biomassa bervariasi sesuai dengan kapasitas harian biomassa yang diterapkan pada sentra energi biomassa tersebut.
Tabel 11 Jumlah reaktor fermentasi sentra energi No
Kapasitas (ton/hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
>150 s/d 230 230 s/d 380 380 s/d 560 560 s/d 675 675 s/d 800 800 s/d 900 900 s/d 1050 1050 s/d 1350 1350 s/d 2000 2000 s/d 2300 2300 s/d 2700 2700 s/d 3150 3150 s/d 3600 3600 s/d 4200 4200 s/d 5000
Reaktor Tipe Jumlah R 01 25 R 02 25 R 03 25 R 04 25 R 05 25 R 06 25 R 07 25 R 04 50 R 04 75 R 05 75 R 04 100 R 05 100 R 06 100 R 07 100 R 08 100
46
Jumlah minimum reaktor yang digunakan pada suatu sentra energi biomassa adalah 25 unit, sehingga setiap hari terdapat 5 reaktor yang mendapatkan bahan segar dan setiap reaktor mendapat bahan segar setiap 6 hari (Tabel 11). Pada kapasitas harian biomassa yang lain menggunakan reaktor dengan jumlah kelipatan dari 25 unit. Setiap reaktor fermentasi mempunyai kelengkapan : satu unit pompa sirkulasi yang memanfaatkan lumpur aktif yang kental dari kolam oksidasi ke dalam tangki reaktor, satu unit pompa untuk memindahkan lumpur aktif yang encer ke kolam pembuatan larutan, pintu pembuangan limbah bahan organik, dan saluran gas ke tangki penampung. 2.5.4.3. Fasilitas Pengumpul Gas bio Pengumpul gas bio merupakan tangki dengan kapasitas yang bervariasi. Kapasitas setiap reaktor bervariasi sesuai dengan kapasitas biomassa. Konstruksi tangki dibuat dari bahan besi dan baja dengan penampang tegak berbentuk bujursangkar. Gas bio hasil produksi reaktor fermentasi ditampung dalam ruang gas bio yang, kemudian dalam jumlah tertentu dikumpulkan dalam tangki gas bio dengan menggunakan kompresor yang beroperasi secara terputus dengan selang waktu tertentu. Kapasitas tangki gas bio disesuaikan dengan kapasitas harian biomassa (Tabel 12).
Tabel 12 Ukuran dan kapasitas tangki gas bio No
Tipe
1 2 3 4 5 6
TB 01 TB 02 TB 03 TB 04 TB 05 TB 06
Volume P x L x T (m3) 15 x 15 x 2,5 20 x 20 x 2,5 25 x 25 x 2,5 30 x 30 x 2,5 35 x 35 x 2,5 40 x 40 x 2,5
Kapasitas (ton Biomassa/hari) 112,5 200 312,5 450 612,5 800
Keterangan : P = panjang, L = lebar, T = tinggi
Tangki gas bio mengumpulkan gas bio hasil panen dari beberapa reaktor fermentasi yang tingkat produksi harian gas bio ditentukan oleh kapasitas harian biomassa dan jenis biomassa yang digunakan. Kapasitas tangki pengumpul juga ditentukan oleh batasan yang direncanakan untuk tekanan gas bio. Berdasarkan
47
perancangan tersebut, maka jumlah tangki pengumpul gas bio suatu sentra energi biomassa bervariasi sesuai dengan kapasitas harian biomassa yang diterapkan pada sentra energi biomassa tersebut (Tabel 13).
Tabel 13 Jumlah tangki pengumpul gas bio sentra energi No
Kapasitas (ton/hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
>150 s/d 230 230 s/d 380 380 s/d 560 560 s/d 900 900 s/d 1050 1050 s/d 2300 2300 s/d 2700 2700 s/d 3600 3600 s/d 4200 4200 s/d 5000
Tangki Gas bio Tipe Jumlah TB01 3 TB02 2 TB03 2 TB04 2 TB05 2 TB06 2 TB05 5 TB06 5 TB05 7 TB06 6
Fasilitas pengumpul gas bio dilengkapi dengan kompresor dan jaringan pipa gas. Jumlah kompresor yang digunakan sesuai dengan jumlah reaktor fermentasi yang dilayani oleh tangki gas bio. 2.5.4.4. Fasilitas Pengolahan Akhir Fasilitas pengolahan akhir terdiri atas unit pengolahan gas sebagai produk utama, dan unit pengolahan bahan organik sebagai produk sampingan yang dihasilkan sentra energi biomassa. Selain fasilitas tersebut, terdapat juga fasilitas untuk pengemasan produk utama dan fasilitas pengemasan produk sampingan. Unit pengolahan akhir untuk gas terdiri atas unit separator yang menggunakan prinsip pendinginan. Gas yang berasal dari tangki penampung dialirkan kedalam separator yang bersuhu sedikit lebih rendah dari suhu pengembunan metana. Di dalam separator metana akan mengembun dan gas-gas lain masih dalam fasa gas, dan metana cair keluar melalui saluran keluar yang berbeda dengan saluran keluar gas lain yang kemudian masing-masing ditampung pada penampungan yang berbeda. Selanjutnya metana dan karbondioksida dikemas sesuai dengan yang diinginkan. Unit pengolahan untuk bahan organik mengkompresikan bahan organik yang kadar airnya masih tinggi dengan cara mekanis. Kompresi bahan organik de-
48
ngan tekanan sekitar 3 Bar diharapkan kadar air mencapai 15 %. Selanjutnya bahan organik dikemas sesuai kebutuhan. Kapasitas alat 20 m3/jam bahan organik basah. 2.5.4.5. Sarana Bangunan Fasilitas bangunan meliputi untuk perkantoran, bangunan utilitas listrik, bangunan pemeliharaan mesin dan peralatan, dan bangunan penunjang lainnya. Bangunan perkantoran menggunakan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan manajemen, administrasi, pelayanan umum, yang juga merujuk kepada populasi pengguna bangunan. Besaran bangunan dikonversikan dengan kapasitas produksi. Bangunan pemeliharaan mesin dan peralatan meliputi areal perbaikan, dan ruangan penyimpanan alat. Besarannya disesuaikan dengan jumlah mesin dan peralatan yang digunakan yang dikonversikan dengan kapasitas produksi. 2.5.4.6. Unit Pengolahan Air Limbah Sentra energi biomassa menghasilkan limbah cair yang berbau dan mempunyai nilai BOD yang tinggi. Air limbah diolah di unit pengolah air limbah yang menggunakan sistem dan kemampuan yang cukup dengan merujuk pada ketentuan yang berlaku. Pengolahan air limbah menghasilkan air yang memenuhi baku mutu dipergunakan kembali sebagai campuran pembentuk larutan fermentasi. 2.5.4.7. Infrastruktur Sentra Energi Fasilitas dalam bentuk infrastruktur meliputi sarana pengolahan air, konveyor transport biomassa, jalan, dan sarana listrik. Sarana pengolahan air meliputi jaringan pemipaan air yang dibentuk sesuai dengan kondisi lahan sentra energi biomassa. Jaringan pemipaan terdiri atas pipa air limbah dan pipa air bersih yang dilengkapi dengan pompa dengan ukuran dan daya yang sesuai dengan rancangannya. Jaringan jalan direncanakan sesuai dengan tataletak mesin dan peralatan sentra energi mempunyai karakteristik khusus yang sesuai dengan kondisi lokasi. Pengangkutan biomassa dari proses pengolahan khusus dan telah sesuai baik dalam ukuran maupun dalam kemurnian bahan organik yang dapat difermentasi dilakukan dengan konveyor. Ukuran konveyor yang digunakan serta kapasitasnya disesuaikan dengan kebutuhan di sentra energi biomassa.
49