6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove Istilah ’mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal-asulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bahasa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai ’ mangue’ dan istilah Inggris ’grove’ bila disatukan akan menjadi ’mangrove’ atau ’ mangrave’ (Mecnae 1968). Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ’mangimangian’ atau ’mangin’. Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah sekelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah yang mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh didaerah tropis dan subtropis. Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri dari atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove adalah pepohonan atau komunitas tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar dan membawa lumpur pula pada saat pasang. Vegetasi mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Jenis-jenis mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda-beda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan
7
bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan (Kusmana 2005). Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna serta substrat ligkungan hidupnya daerah estuari, berperan dalam melindungi garis pantai dan erosi, gelombang laut dan angin topan. Vegetasi mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai. Mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam tinggi di mana vegetasi biasa tidak dapat tumbuh. Mangrove dideskripsikan mencakup semua tumbuhan tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tumbuhan mangrove yang mampu tumbuh ditanah basah lunak, habitatnya perpaduan air tawar dan air laut dari pasang surut. Cara reproduksi tumbuhan mangrove dengan mengembangkan buah vivivar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Istilah bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon Rhizophora sp yang penting hidup di estuari. Jaringan sistem akar mangrove memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan. Sistem perakaran mangrove juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. 2.2 Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Habitat Burung Morrison et al (1992) menjelaskan bahwa penelitian tentang satwa liar dengan habitatnya dimulai dari keingintahuan manusia akan interaksi satwaliar dengan lingkungannya. Penelitian-penelitian tersebut selanjutnya mendapatkan apa yng dikenal sebagai hubungan secara ekologis (ecological relationship). Pada awal hubungan tersebut digambarkan sebagai sebaran satwaliar dalam berbagai tingkatan lingkungan atau tingkatan komunitas vegetasi baik berupa perbedaan ketinggian maupun tingkatan suksesi. Penelitian Hernowo dan Prasetyo (1989), mendapatkan bahwa komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat pada suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung mempunyai relung yang berbeda dan komposisi jenis vegetasi yang beragam cenderung mempunyai kemampuan untuk menarik lebih banyak burung.
8
Menurut Orians (1969), banyaknya jenis burung dapat berbeda-beda tergatung pada karakteristik lingkungannya, selain struktur dari vegetasi yang ada, terutama distribusi vertikal, merupakan hal yang penting bagi penyebaran keanekaragaman jenis burung. Tomoff (1974) pada penelitiannya mengenai keanekaragaman jenis burung di berbagai semak gurun menunjukkan, bahwa makin kompleks suatu habitat dapat menyebabkan meningkatnya jenis dan banyaknya burung. Menurut James dan Wamer (1982), pada daerah temperate jenis dan banyaknya burung akan makin meningkat seiring dengan meningkatnya keanekaragaman jenis dan lapisan tajuk vegetasi hutannya, juga dengan menurunnya jenis daun jarum. Menurut Orians (1969), pada vegetasi temperate di Utara, struktur vegetasi yang terbaik dapat dibagi kedalam tiga lapisan yaitu 0 – 0.6 m, 0.6 – 7.6 m dan diatas 7.6 m. Sedangkan di Panama yang memiliki keanekaragaman jenis burung yang lebih tinggi, struktur vegetasinya dapat dibagi atas empat lapisan yaitu 0 – 0.6 m, 0.6 – 3.0 m, 3.0 – 15.2 m dan diatas 15.2 m. Pembagian struktur vegetasi secara vertikal tersebut didasarkan pada kegiatan/perilaku mencari makan, kawin, bersarang dan berbagai kegiatan lainnya. Penelitian lanjutan mengenai hubungan satwaliar dan habitatnya membuat para peneliti sadar bahwa distribusi berbagai jenis satwaliar ternyata tidak dapat dijelaskan hanya dengan dasar perbedaan iklim dan sumberdaya penting saja (Morrison et al 1992). Dari berbagai penelitian mengenai burung, David Lack (dalam Morrison et al 1992) menemukan bahwa burung memerlukan kombinasi lingkungan yang tepat untuk dapat mempertahankan hidupnya, konsep ini selanjutnya disebut sebagai seleksi habitat (habitat selection). Penelitian terus berlanjut sampai ditemukannya konsep relung (niche), dimana seleksi habitat tidak hanya dipengaruhi lingkungan tempat hidupnya tetapi dipengaruhi juga oleh persaingan dalam jenis, persaingan antar jenis dan predator. Menurut Morrison, at al
(1992) lebih lanjut, salah satu aspek dari
penyebaran habitat yang sangat mempengaruhi populasi dan kemampuan berkembang biak satwa liar adalah karena terjadinya fragmentasi habitat yang menyebabkan meningkatnya isolasi terhadap suatu habitat satwa liar, dan menurunnya ukuan habitat yang menjadi tempat berkembang biak dan mencari
9
makan satwa liar (resources patches). Fragmentasi habitat menyebabkan akibat yang berbeda-beda untuk setiap jenis satwa liar, terhadap jenis satwa yang menyukai kondisi ”interior” , yaitu suatu tempat yang berada di dalam suatu habitat yang jauh dari batas pertemuan habitat (edge), akan menyebabkan menurunnya populasi, tetapi pada jenis satwa yang menyukai kondisi edge, hal tersebut dapat meningkatkan populasinya. 2.3 Pengertian Struktur dan Komposisi Mangrove 2.3.1 Pengertian Struktur dan Komposisi Muller-Dombois
(1974)
membagi
struktur
vegetasi
menjadi
lima
berdasarkan tingkatannya, yaitu: Fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur tegakan. Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan didalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuhan-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Muller- Dombois, 1974). Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari beberapa faktor, seperti: flora setempat, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan. Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara 1998). Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis-jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap komunitas. Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena didalam komunitas itu terjadi interaksi antara jenis yang tinggi. Keanekaragaman merupakan ciri dari suatu komunitas terutama
10
dikaitkan dengan jumlah dan jumlah individu tiap jenis pada komunitas tersebut. Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis. 2.3.2 Keanakaragaman Menurut Odum (1971) keanekaragaman merupakan hal yang paling penting dalam pempelajari suatu komunitas baik tumbuhan maupun hewan. Seorang peneliti akan mengalami kesulitan dalam menganalisa struktur komunitas secara global karena mengidentifikasi semua organisme dalam komunitas merupkan hal yang tidak mungkin dilakukan (Odum 1971; Morrison et al 1992). Sebaiknya seorang peneliti mengelompokkan komunitas yang ada dalam taxa, ordo atau klas yaitu penggolongan dari hewan dan tumbuhan. Menurut Mac Arthur (1984) keaneragaman jenis ditentukan oleh luas kawasan yang merupakan hubungan antara kawasan dengan keanekaragaman jenis di dalamnya. Keanekaragaman jenis akan berubah-ubah menurut waktu, dimana berbagai jenis datang dan pergi hingga titik keseimbangan. Pada dasarnya konsep keanekaragaman secara umum dapat dibagi kedalam dua komponen yaitu banyaknya jenis (Species richness) atau dapat juga disebut kekayaan jenis dan distribusi individu dalam tiap jenisnya (Eveness) yang seringkali disebut equitability atau gabungan keduanya atau disebut juga keanekaragaman (diversity) (Morrison et al 1992; Krebs 1978). Pengukuran distribusi individu dalam tiap jenis menjadi penting, karena dapat terjadi pada dua tempat yang sama keanekaragaman jenisnya tetapi sebaran individu dalam tiap jenisnya berbeda maka kedua tempat tersebut dapat sangat berbeda. Menurut Perrins dan Birkhhead (1983), makin sedikit jenis akan makin mempertinggi jumlah individu per jenis yang menggunakan suatu kawasan, jika hal tersebut terjadi maka antar jenis akan berkurang tetapi kompetisi antar individu dalam setiap jenisnya akan bertambah. Berbagai
prinsip
ekologi
yang
penting
tercakup
dalam
konsep
keanekaragaman ini. Tampaknya konsep keanekaragaman digunakan oleh para ahli ekologi sebagai cara untuk melihat kemungkinan system feedback, karena makin tinggi keanekaragaman akan makin memperpanjang rantai makanan dan
11
mempertinggi
kemungkinan
simbiosis
baik
mutualisme,
komensalisme,
parasitisme dan lain-lain dan mempertinggi kemungkinan mengendalikan hal-hal yang negatif (Odum 1971; Magurran 1983). Konsekuensinya dari hal ini adalah bahwa suatu komunitas yang stabil misalnya yang memiliki cuaca yang relatif lebih teratur akan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi, dibandingkan dengan yang memiliki cuaca yang lebih beragam atau terganggu oleh kegiatan manusia (Odum 1971; Kreb 1978). Keanekaragaman yang makin tinggi merupakan cerminan dari stabilnya komunitas, artinya setiap jenis atau bahkan individu telah memiliki tempat tersendiri dalam habitatnya tersebut (niche), sehingga jika terdapat gangguan sekecil apapun akan terganggu stabilitas tersebut. Rentannya hutan tropis yang memiliki keanekaragaman tinggi misalnya, disebabkan oleh sebaran individu per jenisnya relatif lebih merata tetapi kebanyakan dari jenis-jenis tersebut memiliki individu per jenis yang sedikit sehingga jika gangguan tersebut terjadi pada niche jenis-jenis tersebut maka jenis tersebut dapat punah, sedangkan jenis yang dominan yaitu yang memiliki individu per jenis yang lebih banyak akan lebih bertahan (Odum 1971; Krebs 1978; Kreb 1989) Keanekaragaman jenis (Species diversity) merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan menarik dalam ekologi, baik teori maupun terapan (Magurran 1988). Banyaknya metode pengukuran keanekaragaman jenis tidak terlepas dari konsep keragaman jenis yang mempunyai dua komponen yaitu : (1) jumlah jenis (Species richness) yang disebut kepadatan jenis (species density), berdasarkan pada jumlah total jenis yang ada dan (2) kesamaan atau kemerataan (evenness atau equatability) yang berdasarkan pada kelimpahan relatif suatu jenis dan tingkat dominansi (Krebs 1992 ; Magurran 1988). 1. Kekayaan Jenis Kekayaan jenis pertama kali dikemukakan oleh Mcintossh tahun 1967, konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis atau spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu. Sedangkan Huribert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu. Beberapa
12
indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah sebagai berikut: (1) metode rerefaction yang pertama kali dikemukakan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Magurran, 1988), (2) indeks kekayaan jenis Margalef; (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks kekayaan jenis Jacknife. 2. Kemeratan Jenis Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Liyod dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) yang dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah: (1) indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shannon-Wiener, (3) indeks kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Kreb (1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynold (1988) yang lebih dikenal dengan istilah Hill’s evenness number. 3. Kelimpahan Jenis Kelimpahan jenis atau species abundance merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Magurran 1988). Diantara sekian banyak indeks kelimpahan jenis, ada tiga indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidangekologi, yaitu, indeks Simpson, indeks Shannon-Wiener dan indeks Brillouin (Pooole, 1974, Krebs, 1992). 2.3.3 Keanekaragaman Jenis Burung Keanekaragaman jenis adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, keanekaragaman jenis dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi (H'>3) jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies (jenis) dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies (H'1-3), dan jika sedikit saja spesies yang dominan, maka keanekaragamannya rendah (H'<1). Kenanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu kumunitas yang mempunyai keanekaragaman
13
jenis yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi (Jaring-jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks. Keanekaragaman jenis burung berbeda dari satu tempat ke tempat lain, tergantung kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah keragaman konfigurasi dan ketinggian pohon; sehingga hutan yang memiliki ukuran pohon, dan bentuk yang berbedabeda dari satu jenis pohon akan memiliki keanekaragaman jenis burung lebih tinggi dari pada tegakan pohon dari jenis yang berbeda namun memiliki struktur bentuk yang seragam (MacArthur and MacArthur 1961 dalam Welty 1982). Menurut Keast (1985), tingginya keanekaragaman jenis burung dihutan tropis disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang relatif stabil dan bersahabat yang memungkinkan terjadinya relung ekologi dan ”species packing” terbentuk, struktur vegetasi habitat yang beragam, tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan (Floristic), beragam tipe pakan yang tersedia serta tingginya jumlah jenis burung yang jarang (rare) dan spesialis (specialized). Pengukuran keanekaragaman jenis didasarkan pada teori informasi didukung oleh banyak ahli ekologi. Pengukuran keanekaragaman ini berhubungan dengan konsep uncertainty (Ketidaktentuan). Dalam komunitas yang keanekaragaman jenisnya rendah, kita benar-benar dapat menentukan identitas suatu individu yang dipilih secara acak. Sedangkan dalam komunitas yang keanekaragamannya tinggi, sukar bagi kita untuk menentukan identitas individu yang diambil secara acak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman tinggi berasosiasi dengan ketidaktentuan yang tinggi dan keanekaragaman rendah dengan ketidaktentuan yang rendah. Pada dasarnya terdapat dua cara pengumpulan data, yaitu secara acak dan tidak acak. Jika data kelimpahan spesies diambil secara acak dari suatu komunitas atau sub-komunitas, maka penghitungan yang tepat keanekaragaman jenis adalah dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (Shannon-wiener).