6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Tegakan Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat ke ekosistem laut, sehingga kondisi lingkungan mangrove menjadi khas, ini menyebabkan komposisi jenis mangrove relative rendah, akan tetapi kerapatan populais masing-masing jenis umumnya tinggi. Diketahui bahwa anggota komunitas mangrove memiliki struktur tegakan berbeda-beda (Katili, 2009). Tegakan mangrove merupakan tempat atau lokasi suatu penelitian dilakukan. Tegakan merupakan unit homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya melalui komposisi umur, struktur, tempat tumbuh atau sebaran (Barbour et al, 1987; dalam Katili, 2009). Tegakan mangrove menyukai suasana lingkungan yang memungkinkan terjadinya penimbunan tanah dan perluasan lahan, dengan perakaran yang khas yang berkembang mengikuti penimbunan tanah yang terjadi. Jenis vegetasi yang kurang mampu beradaptasi terhadap substrat ataupun lingkungan yang ada akan menyebabkan banyak tegakan mangrove yang mati pada tingkat semai. Sebaliknya, jenis yang sesuai akan berkembang dan mendominasi sehingga dapat mengubah zonasinya (Saparinto, 2007). Menurut Hardjosuwarno (1990); dalam Katili (2009), suatu vegetasi di dalamnya terdapat organisasi individu yang membentuk suatu tegakan. Diketahui sedikitnya ada 5 level struktur vegetasi yaitu fisiognomi, struktur biomassa, struktur life form, struktur floristic dan struktur tegakan. Dalam kajian tegakan,
7
salah satunya bertujuan untuk menggambarkan jumlah individu tumbuhan menurut kelas ukuran pohon, biasanya mencakup tinggi dan diameter batang tiap jenis yang terdapat di dalam tegakan tersebut (Katili, 2009). Ekosistem mangove mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan ekosistem-ekosistem yang ada di sekitarnya. Secara fisik, tegakan mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut (Rusila Noor et al, 2006; dalam Annas dkk, 2013). Hutan mangrove di Indonesia memiliki kisaran variasi sifat fisik dan kimia yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, disamping itu setiap jenis mangrove menduduki zona yang cocok untuk pertumbuhannya. Faktor lingkungan yang berasal dari mangrove adalah berupa ketersediaan hara, intesistas cahaya dan kandungan air.
Adanya
faktor-faktor
lingkungan tersebut,
menyebabkan organisme dalam suatu komunitas dapat berinteraksi. Faktor-faktor yang ada di lingkungan pada hutan mangrove cukup kompleks, diantaranya salinitas, kandungan hara tanah atau substrat, temperatur, kelembaban udara, pasang surut (tidal), dan oksigen tanah (Katili, 2009). Mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang kompleks dan dinamis.
Kompleksitas mangrove selain disebabkan oleh bentuk-bentuk
formasinya yang beragam juga karena interaksi ekologis yang sangat banyak. Mangrove merupakan ekosistem intertidal yang dinamis dan sangat produktif yang umumnya ditemui pada pantai terlindung, estuaria dan lingkungan delta
8
dimana biasanya membentuk unit vegetasi yang berbeda pada pertemuan daratan dan laut. Mangrove dipengaruhi oleh peristiwa pasang dan fluktuasi lingkungan yang luas seperti gradien salinitas yang dikendalikan oleh faktor iklim seperti curah hujan dan evaporasi, karena habitatnya berada pada daerah intertidal (Sunarto, 2008). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas dan tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang terdapat sedimentasi dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Daerah hutan mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak. Di daerah ini, tanah lumpur dan daratan secara terus menerus dibentuk oleh tumbuhan yang kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi daerah semi daratan. Mangrove akan tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir. Pada daerah yang terjal dan berombak besar dengan pasang surut kuat, mangrove tidak akan tumbuh karena tidak memungkinkan terjadinya pengendapan pasir dan lumpur serta substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pantai dan muara sungai atau daerah delta dapat mencapai tinggi antara 35-50 m dengan ukuran diameter antara 50-70 cm (Kusmana 1995; dalam Hilmi, 2010). Menurut (Genisa, 2006), hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan tropis yang memiliki karateristik yang khas, dan juga merupakan salah satu ekosistem penting di daerah pesisir/pantai. Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan payau karena sebagian besar hidup dan berkembang di daerah payau. Keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir secara ekologi dapat berfungsi
9
sebagai perangkap sediment (sediment trap), pelindung pantai dari badai dan pengikisan air laut, sebagai daerah asuhan dan tempat mencari makan bagi beberapa jenis ikan tertentu. Secara ekonomis hutan mangrove juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak ikan dan udang, tempat pembuatan garam, bahan baku kertas dan arang, pemompa nutrient (nutrient pump) terhadap ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang. Sebagai sumber daya alam yang terdapat di kawasan pesisir, hutan mangrove mempunyai fungsi strategis sebagai produsen primer yang mampu menopang dan menstabilkan ekosistem darat maupun perairan di sekitarnya. Fungsi tersebut antara lain adalah dalam menyediakan pakan, tempat berlindung dan bertelur, serta sebagai tempat hidup bagi berbagai organisme akuatik yang hidup di sekitarnya (Pramudji, 2004). Kebenaran dari pernyataan tersebut telah dibuktikan oleh para pakar (Sasekumar et al dan Burhanudin 1993; dalam Pramudji, 2004) mengungkapkan bahwa berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi, menggunakan mangrove sebagai habitat dalam siklus hidupnya. 2.2 Tinjauan Tentang Kepadatan Populasi Populasi didefinisikan sebagai kelompok organisme atau individu yang sama (kelompok-kelompok dari individu yang dapat bertukar informasi genetik), yang menempati ruang dan waktu tertentu, memiliki sifat yang unik yang merupakan sumbangan dari masing-masing individu anggota kelompok tersebut (Odum, 1971; dalam Dharmawan dkk, 2005). Kepadatan populasi merupakan besarnya populasi dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-individu dalam setiap
10
unit luas atau volume (Gopal dan Bhardwaj, 1979; dalam Indriyanto, 2006). Densitas populasi disebut juga kerapatan atau kepadatan populasi (Irwan 1992; dalam Indriyanto, 2006). Populasi merupakan kumpulan
dari individu yang sama atau sejenis
dalam suatu wilayah atau habitat. Suatu populasi dikatakan meningkat dapat dilihat dari pertambahan jumlah individu yang ada sehingga dinamakan kepadatan pupulasi. Selain itu kepadatan populasi juga dapat diartikan sebagai penambahan jumlah individu. Kepadatan (densitas) populasi bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam pengkajian suatu populasi, densitas populasi merupakan parameter utama yang perlu diketahui. Pengaruh suatu populasi terhadap komunitas atau ekosistem sangat bergantung kepada spesies organisme dan jumlah atau kepadatan populasinya. Dengan kata lain bahwa kepadatan populasi merupakan salah satu hal yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem (Indriyanto, 2006). Kepadatan (densitas) populasi dapat dibedakan atas densitas kasar dan densitas spesifik (Gopal dan Bhardwaj 1979; dalam Indriyanto, 2006) yaitu : 1. Kepadatan kasar diukur pada suatu tempat dan waktu tertentu sehingga dinyatakan sebagai jumlah individu organisme perseluruh luas daerah yang dikaji. 2. Kepadatan spesifik, yaitu jumlah individu organisme per luas habitat atau jumlah individu organisme per satuan ruang atau tempat yang tersedia dan benar-benar diduduki oleh individu-individu anggota populasi tersebut. Jadi, individu-individu organisme anggota populasi biasa saja menempati hanya pada bagian tertentu yang baik dari total daerah. Kepadatan spesifik juga disebut kepadatan ekologi.
11
2.3 Tinjauan Tentang Ikan Gelodok Hewan yang hidup di ekosistem mangrove memiliki bentuk adaptasi lingkungan yang sangat unik seperti adaptasi terhadap substrat yang berlumpur (Iqbal 2001; dalam Indriani dkk, 2008). Salah satu spesies ikan yang dapat ditemukan pada ekosistem mangrove yaitu ikan gelodok. Ikan gelodok (Periophthalmus argentilineatus) adalah salah satu bioindikator pada ekosistem mangrove, sehubungan dengan cara hidupnya yang tidak dipengaruhi oleh pasang - surut dan musim. Cara hidup ikan gelodok merupakan salah satu minoritas vertebrata yang sistem siklus reproduktif utuh terhadap hutan mangrove (Kruitwagen, 2013). Sehubungan dengan habitatnya, ikan gelodok juga dapat mengatasi suhu lingkungan yang ekstrim. Pada saat keluar dari air, suhu di permukaan substrat berkisar antara 10 - 15 ° C (Tytler dan Vaughan 1983; dalam Polgar, 2007) saat air pasang bisa mencapai suhu sekitar 40 ° C ( Taylor et al 2005; dalam Polgar dan Lim, 2007). Sehubungan dengan cara hidupnya yang tidak dipengaruhi oleh musim, maka jumlah ikan gelodok di kawasan mangrove sangat melimpah. Selain itu keberadaan ikan ini dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, dimana makanan banyak tersedia di kawasan mangrove dan perairan yang terlindungi oleh mangrove. Secara khusus penggunaan liang sangat penting bagi ikan gelodok (Lee dan Graham 2005; dalam Polgar dan Lim, 2007). Selama musim dingin, ikan gelodok yang tinggal di daerah beriklim tropis tetap berada di dalam liang.
12
Sementara beberapa spesies pada saat surut pada musim kemarau, ikan gelodok menutup liang dengan lumpur (Swennen et al 1995; dalam Polgar dan Lim, 2007). 2.3.1 Sistematika dan Perilaku Secara Umum Ikan Gelodok (Periophthalmus argentilineatus) Ikan gelodok terdiri dari 25 kelompok, dari empat jenis dari subfamili oxurdercinae dan family Gobidae yaitu Periophthalmodon, Periophthalmus, Boleophthalmus dan Scartelaos (Murdy dkk 1989; dalam Al Behbehani, 2010). Ikan gelodok adalah anggota dari subfamily Oxudercinae, suku Periophthalmini serta family Gobiidae (Murdy 1989; (dalam Al Behbehani dan Husain, 2010). Menurut Murdy (1989); dalam Ravi dan Rajagopal (2005), ikan gelodok (Periophthalmus argentilineatus) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Family : Gobiidae Genus : Periophthalmus Spesies : Periophthalmus argentilineatus
Sumber : dokumentasi pribadi, 2013
Ikan gelodok termasuk ikan amphibi, yang dapat menggunakan sirip bagian dada untuk berjalan (Swanson, 2004; dalam Al Behbehani dan Husain, 2010). Ikan gelodok memiliki keunikan mampu beradaptasi ke habitat intertidal, dan dapat menyembunyikan dirinya dari gangguan pasang surut. Ketika makan, ikan gelodok sangat aktif berinteraksi satu sama lain. Ikan ini juga hidup di air serta bernapas melalui kulit, garis mulut (mucosa) dan jakun (hulu kerongkongan). Ikan gelodok sangat aktif ketika keluar dari air, saling
13
berinteraksi dengan satu sama lain, serta mempertahankan wilayahnya (Ravi dan Rajagopal, 2005). Keadaan lingkungan yang sering berubah, memaksakan ikan gelodok (Periophthalmus argentilineatus) harus lebih aktif bergerak. Dalam keadaan tenggelam ikan gelodok mampu melompat ke darat dengan lebih cepat dibandingkan dengan ikan jenis lain. Kebiasaan berenang maupun melompat dipengaruhi oleh kontraksi otot. Selain dipengaruhi oleh kontraksi otot, pengimbangan gravitasi diperlukan untuk mendukung kekuatan tubuh ikan gelodok (Gibb, 2011). 2.3.2 Morfologi Ikan Gelodok (Periophthalmus argentilineatus) Ikan gelodok (Periophthalmus argentilineatus), memiliki panjang sekitar 9,5 cm serta makanannya berasal dari mangsa kecil seperti ketam kecil dan hewan tak bertulang belakang lainnya (Milward 1974; dalam Al Behbehani, 2010). Garis rusuk berada di atas sirip dada. Kedua sirip perut bersatu, pelupuk mata di bagian bawah bebas dan dapat digerakkan, pada rahang atas dan bawah masing-masing terdapat sebaris gigi. Mata menonjol ke atas ke arah pinggiran atas kepala. Sirip dubur tidak bersatu dengan sirip perut, antara ujung sirip dubur dan sirip punggung kedua terdapat 8-12 sisik (Muliasusanty, 2000 ). Ikan gelodok mempunyai dua sirip punggung. Sirip punggung pertama lebih tinggi daripada tinggi tubuh. Tulang rahang atas memanjang sampai belakang mata. Kepala dengan bercak-bercak biru atau cokelat. Panjang ikan yang dapat dicapai yakni 220 mm (Weber 1953; dalam Muliasusanty, 2000).
14
Badan ikan gelodok berbentuk memanjang, pipih, tertutup oleh 60 sampai 100 sisik sikloid. Kepala berbentuk subsilindris, bersisik. Kedua mata berdekatan, mulut terlihat tumpul, mulut agak miring, kedua rahangnya hampir sama panjang (Weber 1953; dalam Muliasusanty, 2000). Sirip ekor tidak simetris, setengah bagian atas lebih panjang dari setengah bagian bawah (Weber 1953; dalam Muliasusanty, 2000). 2.3.3 Habitat, dan argentilineatus)
Penyebaran
Ikan
Gelodok
(Periophthalmus
Ikan gelodok hidup di habitat intertidal, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan luas area yang sempit dari lumpur dan ekosistem mangrove (Murdy 1989; dalam Ravi dan Rajagopal, 2005). Ikan gelodok (Periophthalmus argentilineatus) merupakan ikan yang sangat aktif pada saat air surut dan banyak beristirahat di habitat mangrove. Hutan mangrove sangat penting untuk mendukung populasi ikan tersebut, karena menyediakan bahan organik untuk sumber makanan (Sasekumer dan Chong 1998; dalam Khaironizam dkk, 2000). Ikan gelodok hanya ditemukan di daerah tropis dan subtropis, memiliki distribusi geografis yang mencakup semua Indo- Pasifik dan pantai Atlantik Afrika. 2.4 Peranan Ikan Gelodok (Periophthalmus argentilineatus) Di perairan Indonesia, 80% dari ikan-ikan komersial yang tertangkap di daerah perairan pantai ternyata berhubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove dan sekitar 70% dari siklus hidup udang dan ikan-ikan yang tertangkap di daerah estuari berada di daerah mangrove. Komposisi sejumlah jenis ikan di sekitar kawasan hutan mangrove terdiri atas
15
59,7% jenis karnivora, 16.6% jenis omnivora, dan 29,6 jenis detritivora (Soenoyo, 2000; dalam Arief, 2003). Ketergantungan organisme luar (darat) terhadap mangrove sangat luas, baik secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat menetap ataupun sementara. Beberapa makhluk hidup yang hidup di sekitar kawasan mangrove antara lain berbagai jenis burung, kelelawar, monyet, lutung, kucing mangrove, garangan dan ular. Organisme yang paling mencirikan kawasan mangrove adalah ikan gelodok yang mampu terbang, meloncat-loncat dengan cepat. Kehidupan berbagai jenis fauna ini sangat menunjang keberadaan unsur hara. Selain mengkonsumsi zat hara yang berupa detritus, di antara ini ada yang berperan sebagai dekomposer awal (Arief, 2003). Ikan gelodok mempunyai manfaat ekologis bagi mangrove. Kelimpahan dan distribusi ikan gelodok dapat bertindak sebagai indikator langsung untuk kesuburan mangrove, yaitu dengan cara memangsa krustasea serta ganggang yang tumbuh di lumpur (Bennett, 2011). Di beberapa Negara seperti negara Jepang dan Thailand telah mengembangkan dan memanfaatkan ikan gelodok dan memasok restauran – restaurant besar. Di Indonesia ikan gelodok juga mempunyai nilai ekonomis walaupun lebih kecil dibandingkan dengan jenis ikan ekonomis lainnya (Wilis, 2012). Di negara India ikan gelodok (Periophthalmus argentilineatus), digunakan dalam beberapa penelitian tentang adanya logam berat. Dengan melihat perubahan warna yang terjadi pada organ bagian dalam seperti insang, ginjal, usus, serta
16
mampu menyerap logam berat, salah satu contohnya adalah merkuri. (Thaker et al 1999; dalam Polgar dan Lim, 2007). Selain digunakan untuk penelitian, para nelayan di India juga menggunakan ikan gelodok untuk pengobatan tradisional seperti, obat untuk anak-anak yang sering buang air kecil (Ravi dan Rajagopal, 2005). 2.5
Faktor-Faktor Fisik yang Mendukung Kehidupan Ikan Gelodok (Periophthalmus argentilineatus)
2.5.1 Suhu Suhu merupakan salah satu sifat fisik yang dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan badan ikan. Penyebaran suhu dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan dan angin, sedangkan yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah musim cuaca, waktu pengukuran, kedalaman air dan lain sebagainya. Semua jenis ikan mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu apalagi yang drastis. Kisaran suhu ini umumnya di daerah beriklim tropis seperti Indonesia (Anwar et al 1984; dalam Pandiangan, 2010). Sehubungan dengan ikan air, ikan gelodok juga dapat mengatasi lingkungan yang ekstrim. Pada saat keluar dari air, suhu pada permukaan substrat berkisar 10-15 °C (Tytler 1983; dalam Polgar, 2007), sedangkan di air kolam bisa mencapai suhu sekitar 40 °C (Taylor 2005; dalam Polgar, 2007). 2.5.2
Salinitas Salinitas adalah komposisi ion ion dalam perairan (Wetzel 1983; dalam
Izzati, 2004). Ion ion yang terdapat dalam perairan laut terdiri dari enam elmen, yaitu klorin, sodium, magnesium, sulfur, kalsium dan potassium. Menurut Dawes (1981);
dalam
Izzati (2004),
salinitas
merupakan
faktor
kimia
yang
17
mempengaruhi sifat fisik air, diantaranya adalah tekanan osmotik dan densitas air. Salinitas perairan laut yang normal berkisar antara 33 ppt hingga 37 ppt. Salinitas berpengaruh terhadap proses fisiologis seluruh organisme yang hidup dalam perairan tersebut Pola Gradien salinitas tergantung pada musim, topografis, pasang surut, dan jumlah air tawar yang masuk (Nybakken 1992; dalam Laruba, 2011). Hasil penelitian sebelumnya tentang Pola Zonasi Mangrove (Bahri 2009; dalam Laruba, 2011) menyatakan: bahwa, “Salinitas yang terkandung pada hutan mangrove desa Bulalo Kecamtan Kwandang berkisar antara 150/0 -30 0/0 sehingga memungkinkan ikan gelodok untuk hidup. 2.5.3
Derajat Keasaman (pH) pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengan pH terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup di dalamnya (Odum 1993; dalam Taqwa, 2010). pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju kecepatan bahan air. Selain itu organism akuatik lainnya hidup pada selang antara 7 – 8.5. Menurut Barus (2004); dalam Pandiangan (2010), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sementara reproduksi atau perkembangbiakan ikan biasanya akan naik pada pH 6,5 walaupun itu
18
tergantung juga jenis ikannya (Lesmana dan Dermawan 2001; dalam Pandiangan, 2010). 2.5.4
Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO) Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting
sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken 1988; dalam Taqwa, 2010). Daya larut oksigen dapat berkurang dengan meningkatnya suhu air dan salinitas (Connel dan Miller 1995; dalam Taqwa, 2010) menambahkan bahwa secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut juga menurun dengan adanya penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang mengkonsumsi oksigen yang tersedia. Pada tingkatan jenis, masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut. Oksigen diperlukan oleh ikan untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di air, karena akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/l oksigen sudah cukup mendukung organisme perairan secara normal (Wardana 2001; dalam Pandiangan, 2010).