TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk daratan (Setyawan, 2002). Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya disepanjang sisi pulau yang terlindung dari angina tau dibelakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan lau, sejak lama diketahui mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Abdullah, 1984). Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1.
Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove
memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus granatum, dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhizophora spp.). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : •
Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
•
Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
• 3.
Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut,
dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga sberfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman
Universitas Sumatera Utara
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomi mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004). Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara
bersama-sama
membentuk
rantai
makanan.
Detritus
selanjutnya
dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karenakeberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000). Untuk menekan laju degradasi hutan mangrove, sejak tahun 1976 Perum Perhutani
selaku
pengelola
telah
mengembangkan
program
yang
mengintegrasikan budidaya ikan dan pengelolaan hutan mangrove yang dikenal dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, hutan tambak, dan silvofishery. Program silvofishery tersebut ditujukan untuk mengembalikan serta melestarikan ekosistem mangrove sehingga mampu memberikan manfaatnya secara maksimal (Kepala BRLKT Wilayah V, 1999). Melihat fungsi mangrove yang sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai cara. Dalam budidaya udang dan ikan, misalnya, harus
Universitas Sumatera Utara
diterapkan teknik budidaya yang ramah terhadap mangrove, artinya dalam satu hamparan tambak harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat (Inoue et al,1999). Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang luas (Triyanto et al, 2012). Tambak Tambak merupakan bangunan air yang dibangun pada daerah pasang surut yang diperuntukkan sebagai wadah pemeliharaan ikan/udang dan memenuhi syarat yang diperlukan sesuai dengan sifat biologi hewan yang dipeliharan. Pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai, khususnya yang mempunyai atau dipengaruhi oleh sungai besar, sebab banyak petambak beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan pertumbuhan ikan/udang yang lebih baik ketimbang air laut murni (Ditjen Perikanan, 1985). Budidaya tambak merupakan salah suatu bentuk kegiatan usaha pemeliharaan dan pembesaran ikan maupun udang di tambak yang dimulai dari
Universitas Sumatera Utara
ukuran benih sampai menjadi ukuran yang layak dikonsumsi. Penggunaan tambak secara terus menerus untuk budidaya akan menyebabkan menurunnya produktivitas udang karena daya dukung lingkungan yang tidak mampu lagi menopang pertumbuhan (Abubakar, 2008). Menurunnya daya dukung lingkungan disebabkan karena penggunaan pakan, obat-obatan dan pupuk anorganik secara terus menerus selama kegiatan budidaya ikan di tambak berlangsung. Teknologi budidaya tambak yang ada selalu mengalami perkembangan, dimana mulai dari teknologi sederhana hingga maju. Kusnendar et al, (1999) Menguraikan teknologi yang diterapkan tentu akan mempengaruhi dari tipologi tambak yang dipergunakan. Karakter pembagian teknologi tersebut adalah: 1.
Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran
air umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan tidak teratur, luas petakan tambak antara 0,5 – 5 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu < 70 cm, produksi yang dicapai umumnya rendah 2.
Tambak semi intensif dicirikan dengan :
Pemasukan dan
pengeluaran air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur , luas petakan tambak antara 0,5 – 1 hektar, kedalaman air umumnya hanya mampu >90 cm, produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana 3.
Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran
air tidak tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur, luas petakan tambak antara 0,3 – 0,5 hektar, kedalaman air umumnya >1,0 cm, produksi yang dicapai umumnya tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Silvofishery Silvofishery
merupakan
pola
pemanfaatan
hutan
mangrove
yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove (Dewi, 1995). Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998). Kegiatan wanamina (silvofishery) berdasarkan David (2008) berbagai kajian yang telah banyak dilakukan mempunyai tujuan antara lain: • Sebagai sarana/metode konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, sumber daya tanah, sumber daya kelautan dan spesies air.
Universitas Sumatera Utara
• Sebagai
sarana
pengembangan
ekonomi
kerakyatan,
dimana
dengan
berlangsungnya kegiatan budidaya maka kegiatan produksi perikanan akan tetap berlangsung sehingga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakaat • Sebagai sarana ekowisata, pertanian/perikanan budidaya ramah lingkungan Sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi sumberdaya hutan mangrove. Perairan tambak merupakan ekosistem perairan payau, salinitasnya ada di antara salinitas air laut dan air tawar. Bandeng merupakan spesies yang adaptif, perubahan - perubahan sampai batas tertentu dapat ditoleransi namun apabila melampaui batas tertentu dapat membahayakan bandeng. Perakaran jenis Rhizophora sp. pada umumnya hanya terendam pada saat air pasang berlangsung. Idealnya untuk kegiatan silvofishery tersebut perlu dibuatkan guludan sebagai area penanaman khusus di dalam tambak. Guludan tersebut dikondisikan agar tanaman tidak selalu tergenang di mana tanaman hanya akan terendam pada saat terjadinya air pasang, sedangkan pada saat air surut tanaman tidak terendam air. Sementara itu untuk current area atau area pemeliharaan ikan, dilakukan pada tempat yang lebih rendah sehingga pada saat air surut pun tetap dalam keadaan terendam air. (Raswin, 2003). Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang, menurut Sofiawan (2000) bentuk tambak silvofishery terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Sofiawan, 2000)
Keterangan : A. Saluran air
D. Empang
B. Tanggul/pematang tambak
X. Pelataran tambak
C. Pintu air 1) Tipe empang Parit Tradisional Pada tambak silvofishery Model Empang Parit Tradisional ini penanaman bakau dilakukan merata di pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1 x 1 m sehingga tanaman terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas daerah penanaman mangrove pada sistem ini bisa mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak. Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk sejajar dengan pematang tambak. Saluran ini biasanya memiliki lebar 3-5 m dan tinggi muka air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya mangrove. Ada beberapa variasi lain dari model dasar ini, misalnya dengan membuat wilayah yang dialiri air sampai 40-60%. Ikan, udang, dan kepiting dibudidayakan secara ekstensif pada saluran air ini.
Universitas Sumatera Utara
2) Tipe Komplangan Model ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional. Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung yang mengatur keluar masuknya air. 3) Tipe Kao-kao Pada Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada guludan-guludan. Lebar guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan lebar tambak). Variasi yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian guludan/kao-kao dengan jarak tanam 1 meter. 4) Tipe Empang Terbuka Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove. Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak. 5) Tipe Tasik Rejo Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih 1 m yang juga dipakai sebagai
tempat
pemeliharaan
ikan.
Pelataran
tambak
pada
umumnya
dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo, palawija, atau bunga melati.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bengen (2002) Secara umum ada dua model dasar silvofishery yaitu model empang parit dan model komplangan (mangrove yang berselangseling dengan tambak). Model empang parit selanjutnya ada yang disempurnakan dalam pembuatan paritnya. Model empang parit (Gambar 1 bagian 2 dan 3) menyajikan tingkatan yang lebih besar dalam penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove dalam area tambak, dengan penutupan mangrove
antara
60-80%
komplangan/berselang-seling
dalam
parit
di
tambak.
merekomendasikan
Sedangkan
untuk
model
mempertahankan
mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus dipertahankan 8 ha mangrove disekeliling tambak tersebut. Gambar dapat dilihat pada gambar 2, 3 dan 4.
Gambar 2. Silvofishery model empang parit
Gambar 3. Silvofishery model empang parit yang di sempurnakan
Keterangan gambar 2 :
a. pintu masuk air ke caren (parit budidaya kepiting/ikan) b. pintu keluar masuk air ke hutan mangrove c. caren (parit pemeliharaan ikan/kepiting) d. pelataran hutan mangrove e. tanggu Keterangan gambar 3:
a. pintu masuk air ke tambak/empang b. tanggul c. pelataran hutan mangrove
Universitas Sumatera Utara
d. tambak/empang tempat pemeliharaan kepiting/ikan
Gambar 4. Silvofishery model komplangan
Menurut penelitian Nur (2002) bahwa analisis optimasi rasio wanamina empang parit dengan lahan berhutan mangrove menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove dengan parameter ekologi dan ekonomi. Rasio empang parit dengan lahan berhutan mangrove sebesar 50:50 dan 60:40 merupakan nilai optimum bagi pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari untuk tambak tumpangsari. Tahap awal agar terjadi kestabilan ekosistem empang parit adalah produktivitas organisme produsen dalam melakukan proses fotosintesis harus tinggi agar tersedia banyak bahan makanan bagi konsumen, sehingga menyebabkan konsumen hidup dengan baik dan melakukan pertumbuhan secara maksimum. Peningkatan bahan organik diperairan akan meningkatkan kualitas air dan pertumbuhan fitoplankton sehingga produktivitas perairan meningkat. Peningkatan ini mendorong zooplankton, ikan dan krustasea meningkat pula. Menurut penelitian Hastuti (2010) dari penerapan wanamina (silvofishery) berwawasan lingkungan di pantai utara kota semarang dihasilkan nilai produksi Bandeng yang terbaik adalah pada perlakuan yang ditanami dengan Rhizophora. Diduga ini disebabkan bahan organik pada Rhizophora lebih tinggi dari Avicennia. Bahan organik total, gula, asam amino dan gula amino dan bahan
Universitas Sumatera Utara
organik pada tanah yang terdapat
pada vegetasi Rhizophora diakumulasikan
sebaliknya bahan organik pada vegetasi Avicennia didegradasikan. Hal ini menyebabkan proses pelapukan dari serasah daun yang jatuh diarea tambak tersebut lebih mudah sehingga proses penyediaan unsur hara dan bahan pakan alami bagi Bandeng juga semakin cepat. Hasil penelitian
Riviana, et al (1999) dilaporkan komposisi tegakan
mangrove ternyata berpengaruh terhadap keberadaan jenis plankton. Peranan hutan manggrove sebagai sumber makanan organisme perairan dapat melalui dua rantai yang berbeda. Pertama adalah serasah akan memberikan masukan unsur hara utama bagi pertumbuhan organisme autotrof yaitu fitoplankton. Kedua serasah yang belum mengalami dekomposisi sempurna dan masih dalam bentuk detritus sehingga dapat dimanfaatkan sebagi sumber makanan bagi organisme herbivora dan detrivora. Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian di daerah Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% tambak. Jika perbandingan antara hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan hutan dan tambak mencapai 50:50% izin pengelola akan dicabut (Handayani dan Wibowo, 2006)
Universitas Sumatera Utara