7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) in Giesen et al. (2006) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger et al. 1983 in Giesen et al. 2006). Menurut Nybakken (1992) mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang pada perairan asin. Secara ringkas mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe tanaman yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove (Nybakken 1992). Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, dan 1 jenis paku. Sebanyak 43 jenis, dari 202 jenis tersebut (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove). Sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove) (Giesen et al. 2006). 2.1.1. Habitat Mangrove Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur (Chapman 1977 in Giesen et al. 2006; Nybakken 1992). Hogarth (2007) menyebutkan bahwa mangrove tumbuh pada daerah pantai berlumpur, yang dapat beradaptasi terhadap pasang surut, perubahan salinitas, oksigen rendah, dan suhu yang tinggi (daerah tropis). Ekosistem mangrove umumnya berkembang di daerah intertidal (daerah pasang surut) sehingga daerahnya tergenang air laut secara berkala (setiap hari maupun saat pasang purnama), menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang
8
besar dan arus pasang surut yang kuat. Mangrove banyak ditemukan di pantaipantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. 2.1.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Secara fisik, vegetasi mangrove berperan dalam melindungi pantai tetap stabil. Selain itu mangrove juga berperan sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah (Naamin 1991). Mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan (Sukresno dan Anwar 1999 in Anwar dan Gunawan 2006). Kajian lain yang berkaitan dengan polutan dilaporkan oleh Anwar dan Gunawan (2006) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan ekosistem mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (minawana). 2.1.2.1. Mangrove dan Produktivitas Serasah Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Giessen et al. 2006). Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan tempat perlindungan. Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya. 2.1.2.2. Asosiasi Mangrove dengan Biota Teresterial Hubungan ekosistem mangrove dengan biota teresterial juga sangat penting termasuk burung (lokal maupun burung migran), mamalia, reptil, amphibi maupun hewan lainnya. Keberadaan mangrove menjadi sangat penting terhadap biota teresterial karena umumnya sebagai tempat mencari makan maupun persinggahan (burung migrasi) ataupun mangrove adalah tempat hidupnya. Adapun berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai pada mangrove Blanakan di RPH Tegal-Tangkil sebelum meluasnya petak lokasi tambak meliputi berbagai burung, mamalia, dan reptil (Perhutani 1995).
9
2.1.2.3. Mangrove dan Produktivitas Perikanan Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Burhanuddin 1993 in Giessen et al. 2006). Kakap (Lates calcacifer) dan kepiting mangrove (Scylla serrata) merupakan jenis ikan dan krustase yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Griffin 1985 in Giessen et al. 2006). Menurut Djamali (1991) beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem mangrove. Lebih lanjut Djamali (1991) mengemukakan adanya hubungan linier positif antara luas ekosistem mangrove dengan produksi udang, dimana makin luas ekosistem mangrove makin tinggi produksi udangnya dan demikian sebaliknya. 2.2. Kualitas Perairan Parameter kualitas air laut merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup organisme. Adanya perubahan kualitas air di laut dapat menyebabkan perubahan komposisi komunitas (komposisi dan kelimpahan) organisme di perairan. Perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dengan optimal. Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Penentuan kualitas air dapat ditentukan dengan melihat faktor fisik, kimia, biologi maupun kandungan logam beratnya (Effendi 2003). 2.3. Minawana Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1976. Pada tahun 1977 di kawasan mangrove di Cilacap, minawana sudah mulai dikembangkan sebagai upaya reboisasi dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS) yang pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang serta wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program minawana (Perhutani 1984).
10
Definisi istilah minawana atau silvofishery atau tambak sistem tumpang sari bermacam-macam, akan tetapi menunjukkan pengertian yang sama. Sukardjo (1989) mendefinisikan tambak tumpang sari sebagai pendekatan dengan menjaga keberadaan mangrove untuk mendukung produksi perikanan yang dibuat berupa kolam di sekitar mangrove tersebut. Nugroho et al. (1990) mengemukakan minawana dalam gagasan Coupled Ecosystem Silvosishery (CES) yang mengacu pada gagasan Coupled Ecosystem Agroforestry (CEA) adalah penggunaan lahan dimana kedua ekosistem hutan dan pertanian (termasuk perikanan) baik dalam skala mikro maupun makro saling berpasangan dan menguntungkan (mutually complement). Pada kondisi tersebut ekosistem hutan dan pertanian dapat saling mempertukarkan energi dan unsur hara untuk saling mendukung dan melindungi. Lebih lanjut Salim (1986) in Nugroho et al. (1990) mengemukan penerapan CES didasarkan pada prinsip pokok: (1) kesinambungan fungsi ekosistem mangrove, (2) terpeliharanya jaringan kehidupan ekosistem mangrove, (3) terpeliharanya kemungkinan
keanekaragaman
kehidupan,
(4)
diindahkannya
kedudukan
mangrove sebagai “milik bersama”, dan (5) diindahkannya prinsip pengendalian dampak negatif pembangunan. Soewardi (1994) mendefinisikan minawana atau sering disebut sebagai silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya
perikanan
dan
konservasi
mangrove.
Konsep
minawana
ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Berdasarkan Fitzgerald (1997); Sofiawan (2000); Suryadiputra dan Telly (2006), minawana merupakan sebuah kombinasi antara kolam/tambak budidaya ikan dengan ekosistem mangrove secara berdampingan. Sualia et al. (2010) mendefinisikan minawana sebagai suatu rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian ekosistem mangrove. Menurut Sualia et al. (2010) minawana merupakan konsep tambak
11
ramah lingkungan dan merupakan bagian dari penerapan jalur hijau (green belt). Beberapa manfaat tambak ramah lingkungan (minawana) menurut Sualia et al. (2010) diantaranya : 1) Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dikelola dalam skala kecil. 2) Menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam seperti udang alam, kepiting, dan ikan liar. 3) Lingkungan terpulihkan dan meningkatnya daya dukung (carrying capacity) tambak. 4) Produk udang berkualitas baik dan bernilai jual tinggi. 5) Lebih tahan terhadap serangan penyakit, akibat kemampuan mangrove dalam menyerap limbah dan menghasilkan zat antibakteri 6) Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai pakan kambing 7) Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan 8) Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. 9) Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang Adapun bentuk minawana menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut Sofiawan (2000) in Puspita et al. (2005), bentuk tambak minawana memiliki 5 macam pola, yaitu empang parit tradisonal, komplangan, empang parit terbuka, kao-kao, serta tipe tasik rejo (Gambar 2). Keuntungan dan kerugian dari pola minawana disajikan pada Tabel 1.
12
Gambar 2. Tipe atau model tambak pada sistem minawana. Keterangan: A. Saluran air, B. Tanggul/pematang tambak, C. Pintu air, D. Empang, X. Pelataran tambak. (Sumber: Sofiawan 2000 in Puspita et al. 2005)
Tabel 1 Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana Model/pola Empang parit
Komplangan
Empang terbuka
Kao-kao
Keuntungan - Tanaman terintegrasi - Parit pemeliharaan ikan memperoleh cukup sinar matahari - Penyempurnaan parit dapat dilakukan setiap saat - pelaksanaan panen lebih mudah dilakukan - Parit pemeliharaan ikan memperoleh sinar matahari yang cukup - Penyempurnaan parit lebih mudah dilakukan - Parit pemeliharaan ikan memperoleh sinar matahari yang cukup - Panen lebih mudah dilakukan
-
Tasikrejo
-
Ruang pemeliharaan ikan cukup lebar Lapukan serasah tanaman dapat meningkatkan kesuburan tambak Intensitas matahari cukup tinggi
Pelataran tambak dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk budidaya tanaman semusim/perkebunan Sumber: Yuliarsana (2000) in Puspita (2005)
Kerugian - Tempat pemeliharaan ikan kurang terintegrasi - Tanaman perlu dijarangi
- Tanaman bakau perlu dijarangi setelah umur 3 tahun dan diremajakan setelah 5 tahun
- Penanaman yang dilakukan terlalu rapat dengan pematang - Pemangkasan cabang perlu dilakukan agar tidak mengganggu operasional parit - Pembersihan serasah tanaman harus sering dilakukan - Panen harus dilakukan dengan menggiring ikan pada satu sudut tambak - Tempat pemeliharaan ikan sempit - Pelaksanaan panen harus dilakukan dengan pengeringan parit pemelihara
13
2.4. Sosial-Ekonomi Masyarakat 2.4.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir Menurut Nikijuluw (2001) masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi ini bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, dan penyedia sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya. 2.4.2. Aspek Ekonomi dan Analisis Kelayakan Minawana Menurut Gittinger (2008), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha pertu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi. Analisis finansial yang dimaksud terdiri dari (Gittinger 2008): 1. Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi 1995). 2. Revenue Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan. 3. Payback period merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kemampuan seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamnya. 4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu pengusaha mengalami titik impas. 5. Net Present Value (NPV) adalah selisih nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan (operasional maupun terminal cash flow) dimasa yang akan datang.
14
6. Net B/C Ratio (Net B/C) adalah merupakan perbandingan antara benefit bersih dari tahun-tahun yang bersangkutan yang telah dinilai sekarang (pembilang yang bersifat positif) dengan biaya bersih dalam tahun (penyebut yang bersifat negatif) yang telah dinilai sekarang yaitu benefit bersih > benefit kotor. 7. Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menggambarkan bahwa antara keuntungan yang telah dinilai sekarang sama dengan nol. 2.5. Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir Pemanfaatan sumberdaya secara lestari dalam jangka panjang, tidak hanya terkait dengan analisis teknik, tetapi memerlukan analisis sosial ekonomi. Dukungan masyarakat dalam program menjadi prasyarat penting untuk menjamin keberlanjutan program di masa mendatang. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sangat penting, karena mereka juga mempunyai pengetahuan ekologi lokal (LEK =local ecological knowlegde) yang berperan dalam usaha pengelolaan sumberdaya alam (Joshi et al. 2004), termasuk sumberdaya mangrove. Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani (sebagai contoh) merupakan program pembangunan, pemeliharaan, dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini diharapkan untuk meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agroforestry termasuk minawana (Perhutani 1995). Program pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove (kawasan pesisir) dapat dilakukan dalam bentuk kelembagaan yang dibangun berbasis masyarakat. Masyarakat yang terkait secara langsung dengan pembangunan dan pengamanan ekosistem mangrove diajak untuk berpartisipasi aktif dalam melestarikan ekosistem mangrove. Peran langsung masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan diperkuat sesuai budaya setempat. Setiap daerah dapat memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masingmasing daerah. Ruddle (1998) menyebutkan agar suatu pengelolaan pesisir berjalan dan berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki setidaknya beberapa komponen yang harus dimiliki dan dijalankan, yaitu: authority (kewenangan), rules (norma/peraturan yang mengikat), right (hak), monitoring (pemantauan),
15
accountability
(tanggung
jawab/kewajiban),
enforcement
(penegakan
peraturan/hukum), dan sanctions (sanksi). Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan antar
elemen-elemen
secara
komprehensif.
Sebagai
sebuah
konsepsi,
kelembagaan menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar anggotanya. Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009). Untuk itu kelembagaan merupakan representasi dari tiga hal penting dalam masyarakat (Taryono 2009),
yaitu (a) kelanjutan dari proses-proses sosial
masyarakat; (b) menggambarkan power sharing antara para pihak yang berinteraksi; dan (c) merefleksikan adanya yang dirasakan oleh masyarakat atas kelembagaan tersebut. Ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam memahami kelembagaan, yaitu (Djogo et al. 2003): 1. Memperhatikan prilaku, norma, etika dan nilai perorangan dan organisasi 2. Dapat dituangkan dalam peraturan 3. Memerlukan instrumen atau perangkat tertentu untuk melaksanakannya 4. Memerlukan wadah berupa pranata atau organisasi untuk menjalankannya. 5. Menjadi landasan yang fundamental untuk pembangunan. 6. Implementasi memerlukan tindakan kolektif yang memerlukan solidaritas. Konsepsi kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya pesisir di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil mempergunakan Framework Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Framework IAD dapat dilihat pada Gambar 3.
16
Gambar 3 Kerangka pikir kelembagaan (Sumber: dimodifikasi dari Ostrom 2011)