2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mangrove Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan mangrove terdiri dari dua kata, yaitu hutan dan mangrove. Hutan adalah suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan
merupakan
persekutuan
hidup
alam
hayati
beserta
lingkungannya yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
alam
Arti kata
mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang dan surut, tetapi dapat juga tumbuh pada pantai karang, dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (Darsidi 1986). Total luas hutan Indonesia saat ini sekitar 119.418.200 ha (Ditjen INTAG 1993), luas areal berhutan mangrove saat ini adalah sekitar 3,16% saja (3,7 juta ha) dari total luas areal berhutan di Indonesia tersebut. Hutan mangrove yang cukup luas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.326.990 ha (35,1%), Kalimantan Timur 775.640 ha (20,6%), dan Sumatera Selatan 363.430 ha (9,6%). Sisanya tersebar di propinsi lain dengan luasan kurang dari 6% dari luas total hutan mangrove. Kedudukannya sebagai suatu ekosistem antara darat dan laut, hutan mangrove memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika, (1) mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin taufan; (2) mangrove yang tumbuh di daerah estuaria atau rawa dapat berfungsi mengurangi bencana banjir. Dilihat dari aspek kimia, (1) sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik; (2) sebagai sumber energi bagi lingkungan perairan sekitarnya, dimana ketersediaan berbagai jenis makanan pada ekosistem mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi bagi berbagai jenis biota yang berasosiasi di dalamnya; (3) sebagai pensuplai bahan organik, daun mangrove yang gugur mengalami proses penguraian oleh mikroorganisme menjadi partikel-partikel detritus yang menjadi sumber makanan bagi berbagai macam filter feeder.
Dari aspek biologis, mangrove sangat penting dalam
menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir (TNC dan P4L 2003).
8
Keberadaan mangrove sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan fisiknya. Faktor-faktor lingkungan tersebut diantaranya: (1)
Suhu Rata-rata suhu terdingin di Indonesia yang baik untuk perkembangan mangrove kira-kira 20°C dan 24°C (Hutchings dan Saenger 1987; Chapman 1977)
(2)
Media lumpur Salah satu syarat wilayah yang baik untuk ditumbuhi hutan mangrove adalah wilayah pantai yang mempunyai endapan lumpur (Hutchings dan Saenger 1987; Chapman 1977)
(3)
Proteksi Kusmana et al. (2000) menyebutkan bahwa teluk-teluk, laguna-laguna, perairan dan pantai tersebar dibalik pembatas pulau, merupakan lokasilokasi yang cocok untuk mangrove
(4)
Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran dan perkembangan komunitas mangrove pada suatu daerah karena berbagai jenis mangrove mempunyai perbedaan toleransi terhadap salinitas (Tomascik et al. 1997)
(5)
Pasang surut Menurut Kusmana et al. (2000), besarnya kisaran pasang surut menyebabkan kisaran vertikal yang tersedia untuk komunitas mangrove pun besar. Lebar jalur hutan mangrove dipengaruhi oleh tinggi pasang surut, yang menentukan lebarnya jangkauan air pasang di tempat-tempat tersebut. Di sepanjang pantai yang lurus dan bergelombang kecil, atau yang memiliki perbedaan pasang surut tidak tinggi, jalur hutan mangrove kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta yang arusnya banyak membawa lumpur dan pasir, dengan perbedaan pasang surut cukup tinggi, hutan mangrove merupakan jalur yang lebih lebar. Di daerah laguna atau daerah-daerah dengan rata-rata perbedaan pasang surut tinggi (4m 6m), lebar jalur mangrove dapat mencapai beberapa kilometer tergantung pada tingkat kelandaian pantai (Hardjosentono 1978).
Watson (1982)
9
berpendapat, pengaruh pasang surut terhadap komposisi hutan mangrove dikaitkan dengan lama tidaknya tanah habitat mangrove tergenang air laut (6)
Angin dan gelombang Komar (1983) menyatakan bahwa pembentukan gelombang terjadi karena angin. Tiga faktor yang mempengaruhi pembentukan gelombang oleh angin adalah kecepatan angin, lama angin bertiup dan cakupan wilayah dimana angin terjadi. Gelombang kecil membawa sedimen dan mengendapkan di pantai.
Endapan sedimen ini merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mangrove, sehingga gelombang kecil merupakan syarat ideal untuk perkembangan mangrove (7)
Bathymetri Kusmana et al. (2000) menyebutkan bahwa mangrove tumbuh secara baik pada air yang dangkal, sebab anakan tidak dapat menancap pada perairan yang dalam.
2.2 Sistem Penginderaan Jauh untuk Vegetasi (Mangrove) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Keifer 1994; Sutanto 1994a). Satelit penginderaan jauh dalam bidang kehutanan telah dikembangkan lebih dari 25 tahun, sedangkan perkembangan fotografi udara lebih dari 100 tahun.
Penerapan satelit penginderaan jauh dalam bidang kehutanan secara
efektif dimulai dengan peluncuran teknologi satelit sumberdaya bumi Amerika Serikat (earth resources technological satellite/ERTS-1) pada tahun 1972, kemudian satelit tersebut diberi nama Landsat. Proses ini diawali dengan adanya peluncuran satelit berawak ke angkasa luar pada tahun 1961 yaitu Vostock-1, milik Republik Sosialis Uni Soviet, dan foto pertama kali yang diperoleh dari angkasa luar oleh Explorer-6 milik Amerika Serikat pada tahun 1959. Sistematika observasi orbital bumi dari angkasa luar, dimulai sejak tahun 1960, oleh observasi inframerah televisi Amerika Serikat (television observasi satellite/TIROS-1). Satelit ini menghasilkan citra dengan resolusi sangat rendah
10
yang digunakan untuk meteorologi, sedangkan satelit berawak orbit polar Amerika Serikat pada tahun 1960-an (Mercury, Gemini, Apollo) memberikan foto sepanjang jalur terbang dari permukaan bumi dengan hasil foto dengan kualitas sangat baik tetapi resolusinya rendah, termasuk informasi geologi dan vegetasi pada tingkat regional (Hartono et al. 1996). Perkembangan penginderaan jauh untuk vegetasi saat ini telah dapat digunakan untuk pemantauan luasan, penghitungan biomassa, produktivitas tanaman dan lain-lain. Hal yang perlu dipahami disini adalah pola karakteristik spektral dari vegetasi (daun), yaitu dengan melihat perbedaan intensitas radiasi tenaga elektromagnetik yang dipantulkan. Pada spektrum cahaya tampak, klorofil mempengaruhi respon spektral dari daun. Pigmen klorofil daun pada mesophyll palisade mempunyai pengaruh yang signifikan pada penyerapan dan reflektansi pada panjang gelombang tampak (red, green, blue). Sedangkan cell pada spongy mesophyll mempunyai pengaruh yang signifikan pada penyerapan dan reflektansi pada cahaya NIR yang datang. Selain klorofil, nilai respon spektral juga tergantung pada sudut datang matahari dan waktu pengambilan data. Klorofil yang paling umum adalah klorofil-a, paling penting dalam agen fotosintesis pada tanaman hijau daun, kemudian klorofil-b, yang memiliki struktur molekul yang berbeda, ditemukan pada daun hijau, tapi juga ada pada beberapa alga dan bakteri. Klorofil
tidak menyerap semua cahaya.
Molekul klorofil menyerap
cahaya biru dan merah untuk fotosintesis kira-kira sebesar 70% sampai 90% cahaya yang datang.
Cahaya hijau sedikit diserap dan banyak dipantulkan,
sehingga dapat kita lihat pantulan cahaya hijau yang dominan sebagai warna dari vegetasi yang hidup (Campbell 1987). Pola respon spektral dari beberapa tipe vegetasi ditampilkan pada Gambar 2.
11
Gambar 2 Pola respon spektral beberapa objek (Danoedoro 1996). Pigmen utama pada tanaman, klorofil-a dengan serapan maksimum pada sekitar 0.43 µm dan 0.66 µm, klorofil-b dengan puncak penyerapan pada sekitar 0.45 µm dan 0.65 µm, dan pigmen carotenoid (corotene B, xanthophyll). Phytocyanins mempunyai serapan tinggi untuk ultraviolet, mencapai maksimum pada sekitar 0.50 µm dan menyerap secara kuat inframerah tengah. Phytocyanins, jika muncul dengan pigmen merah akan menambah sifat serapan dan pantulan daun (Dozier 2004; Schanda 1986). Faktor-faktor dominan yang mengontrol pantulan vegetasi tersebut ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Spektrum penyerapan pada klorofil a, b dan pigmen carotenoid yang mempengaruhi pantulan vegetasi (Dozier 2004). Pustaka tentang adanya penyerapan cahaya oleh daun banyak tersedia secara luas, dan dari hal itu tidak ada keraguan lagi bahwa dua palung pada kurva pantulan spektral spektrum tampak disebabkan oleh penyerapan klorofil. Pantulan minimum yang muncul dalam merah spektrum tampak terjadi sekitar 0.67 µm, kanal ini sangat penting untuk penginderaan jauh, dan kanal violet/biru
12
sekitar 0.36 µm dan 0.40 µm (Leblon 2004 ; Schanda 1986; Campbell 1987). Pada Gambar 4 ditampilkan tipe karakteristik respon spektral pada vegetasi hijau daun. Pada gambar tersebut diilustrasikan bahwa reflektansi yang paling kontras yaitu antara kanal merah dan near infrared.
Kanal merah memantulkan
reflektansi yang rendah (sekitar 10%), 90% diserap oleh klorofil pada tanaman, sedangkan reflektansi near infrared tinggi. Kontras pada panjang gelombang inilah yang memungkinkan untuk membedakan penutupan vegetasi atau non vegetasi.
Gambar 4 Karakteristik respon spektral pada vegetasi hijau daun (Leblon 2004). Selain didasarkan pada pantulan spektral spektrum tampak, penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove juga didasarkan pada sifat penting mangrove yang hanya tumbuh di daerah pesisir. Dua hal tersebut akan menjadi pertimbangan penting di dalam mendeteksi mangrove melalui data citra satelit. Antara vegetasi mangrove dan vegetasi terestrial mempunyai sifat optik yang hampir sama, tetapi mengingat mangrove hidup di pinggir pantai maka biasanya antara keduanya dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut. Berdasarkan hal tersebut pemantauan luasan serta kerapatan mangrove memungkinkan untuk dilakukan.
13
2.2.1 Indeks vegetasi Data tentang kerapatan vegetasi sangat penting dalam melakukan inventarisasi maupun pemantauan wilayah mangrove, karena bisa digunakan dalam menduga leaf area index (LAI), biomassa, volume tegakan, produktivitas dan lain-lain. Dalam sistem penginderaan jauh, kerapatan vegetasi diperoleh dengan menggunakan suatu algoritma indeks vegetasi. Indeks vegetasi dibuat dengan membentuk kombinasi beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi penambahan, pembagian, perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu nilai yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi. Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil.
Banyaknya
konsentrasi klorofil yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya daun menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi tersebut. Indeks vegetasi adalah pengukuran secara kuantitatif dalam mengukur biomassa maupun kesehatan vegetasi, dilakukan dengan membentuk kombinasi beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi penambahan, pembagian, perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu nilai yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi. Schowengerdt (1997) menyebutkan, bentuk sederhana dari indeks vegetasi adalah ratio antara kanal near-infrared dan kanal red, ratio tersebut disebut ratio vegetation index (RVI). Jika vegetasi sehat nilai akan tinggi, begitu pula sebaliknya, algoritma RVI adalah sebagai berikut:
RVI =
ρ NIR ρ red
Modulasi ratio dari kanal near-infrared dan kanal red adalah normalized different vegetation index (NDVI). Algoritma indeks vegetasi ini yang paling sering digunakan. Prinsip dari formula tersebut adalah bahwa radiasi dari visible red diserap oleh chlorophyll hijau daun sehingga akan direflektansikan rendah,
14
sedangkan radiasi dari sinar near-infrared akan kuat direflektansikan oleh struktur daun spongy mesophyll. Nilai indeks yang diperoleh mempunyai kisaran dari -1.0 sampai 1.0. Menurut Lillesand and Kiefer (1994), awan, air dan non vegetasi mempunyai nilai NDVI kurang dari nol. Nilai indeks yang lebih tinggi berarti mempunyai penutupan vegetasi yang lebih sehat. NDVI dapat digunakan untuk mengukur kondisi relatif vegetasi, hal ini memungkinkan untuk dapat digunakan dalam menghitung dan memprediksi biomassa, laef area index (LAI), photosynthetically active radation (PAR) yang diserap oleh vegetasi (Sader et al. 1989).
NDVI dapat digunakan sebagai
indikator biomassa relatif dan tingkat kehijauan daun (Chen and Brutsaert 1998). NDVI juga memungkinkan untuk menghitung dan memprediksi produktivitas primer, spesies yang dominan dan pengaruh pemangsaan (Oesterheld et al. 1998; Peters et al. 1997). Huete (1988) mengatakan bahwa Soil adjusted vegetation index (SAVI) adalah rumusan yang paling bagus untuk penutupan yang rendah. ⎛ ρ NIR − ρ red ⎞ ⎟⎟ (1 + L ) SAVI = ⎜⎜ ⎝ ρ NIR + ρ red + L ⎠
Dimana L adalah konstanta yang memperkecil sensitivitas index vegetasi dari reflektansi penutupan tanah. Jika nilai L sama dengan nol, maka SAVI sama dengan NDVI. Untuk vegetasi dengan penutupan sedang, L memiliki nilai sekitar 0.5. Dengan faktor (1+L) bisa dipastikan range nilai SAVI sama dengan NDVI, yaitu antara -1 sampai dengan 1. Beberapa contoh algoritma untuk indeks vegetasi yang bisa digunakan tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Indeks vegetasi untuk Landsat MSS and TM Formula
NIR Red NIR − Red NDVI = NIR + Red
RVI =
Tipe Indeks
Referensi
Ratio vegetation index
Tucker 1979
Normalized difference vegetation index
Tucker 1979
15
NIR − Red (1 + L ) NIR + Red + L DVI = 2.4 NIR − Re d
Soil adjusted vegetation index
Huete 1988
Difference vegetation index
⎡ NIR − Red ⎤ TVI = 100 * ⎢ + 0.5⎥ ⎣ NIR + Red ⎦
Transformed vegetation index
Richardson and Wiegand 1977 Richardson and Wiegand 1977
SAVI =
2.2.2 Klasifikasi citra (image classification) Klasifikasi
pada
data
penginderaan
jauh
dilakukan
untuk
mengelompokkan atau mengkelaskan ke dalam kelompok yang memiliki karakteristik yang homogen. Klasifikasi ini didasarkan pada spektral, tekstur, dll. Konsep Klasifikasi pada data remote sensing diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Konsep klasifikasi pada data remote sensing (Gabriel 2005).
Klasifikasi berangkat dari asumsi bahwa variasi pola peubah ganda (multivariate) dari digital number pada suatu areal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kondisi penutupan tanahnya.
Diasumsikan juga bahwa
penutupan lahan yang sama akan mempunyai sifat-sifat reflektansi (nilai digital
number) yang sama pula. Karakteristik statistika dari sekumpulan pixel pada
16
suatu citra akan mampu membedakan antara penutupan lahan yang satu dengan yang lainnya. Flowchart proses klasifikasi ditampilkan pada Gambar 6.
Scene
atmosphere
sensor
Multispectral image
Classifier Feature extraction
Feature
K-D feature
training Determine discriminant functions
Ectract training pixels
b a c
Labeling
b a
Thematic Map
c
Gambar 6 Flow chart proses klasifikasi (Schowengerdt 1997). Gambar 6 mengilustrasikan pada tahap awal (preprocessing) koreksi raw data terhadap gangguan atmosfer dan kesalahan sensor dilakukan pada masingmasing data multispektral, sebelum proses feature extraction. Feature extraction merupakan analisis pola spektral untuk memperoleh obyek-obyek yang terdapat pada citra yang digunakan sebagai dasar penajaman dan klasifikasi citra. Pada
17
saat training, sampel kelas diambil dan dilakukan pendefinisian, langkah selanjutnya adalah determine discriminant functions untuk memilih metode klasifikasi yang digunakan, sehingga akan kita peroleh thematic map yang telah terklasifikasi.
(1) Maximum likelihood Metode klasifikasi maximum likelihood adalah metode yang paling populer dalam klasifikasi data remote sensing. Pengkelas kemiripan maksimum (maximum likelihood) mengevaluasi secara kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi pixel yang tidak dikenal. Untuk melakukan hal ini, dibuat suatu asumsi bahwa agihan mega titiknya yang membentuk data latihan kategori bersifat normal (agihan normal).
Asumsi
normalitasnya wajar bagi agihan spektral yang lazim. Dengan asumsi ini, agihan suatu pola tanggapan kategori dapat diuraikan secara lengkap dengan vektor rerata dan kovarian matrik (yang memberikan varian dan koreksi).
Dengan
diketahuinya parameter ini, kita dapat menghitung probabilitas statistik suatu nilai
pixel tertentu sebagai suatu warga kelas kategori tutupan lahan tertentu. Konsep klasifikasi maximum likelihood ditampilkan pada Gambar 7.
Likelihood Lk didefinisikan sebagai kemungkinan sebuah pixel masuk kelas k.
Lk = P(k/X) = P(k)*P(X/k) / P(i)*P(X/i) dimana: P(k) : prior probability pada kelas k P(X/k) : probability density function nilai x dari kelas k
Dalam kasus data terdistribusi normal, metode maximum likelihood dapat dirumuskan sebagai berikut: Lk ( X ) = dimana:
1 (2π )
n 2
∑
1 2 k
−1 ⎧ 1 ⎫ exp⎨− ( X − μ k )∑ k ( X − μ k )t ⎬ 2 ⎩ ⎭
18
n : jumlah kanal X : nilai pixel pada sejumlah kanal Lk(X) : kemungkinan X masuk ke kelas k : mean vector pada kelas k k k : variance-covariance matrix pada kelas k | k| : determinan pada k t : transpose matrix
Gambar 7 Konsep klasifikasi maximum likelihood (Gabriel 2005).
(2) Neural networks Algoritma neural network adalah pendekatan non parametrik yang populer untuk klasifikasi saat ini. Dalam pengertiannya, neural network mirip dengan algoritma clustering. Neural network pada intinya adalah sistem pembelajaran yang didasarkan pada interconnected network pada elemen pemrosesan sederhana.
Pada umumnya ada tiga fase dalam klasifikasi neural network.
Pertama adalah melakukan training sebagai input data, kedua adalah fase validasi yang menentukan keberhasilan dari fase training dan akurasi network ketika diaplikasikan pada data, langkah terakhir adalah fase klasifikasi yang menghasilkan peta (Gahegan et al. 1999). Dasar network ditampilkan pada Gambar 8. Network ini mempunyai tiga layer, input layer, layer yang tengah (hidden layer) and output layer berisi elemen
19
pemrosesan pada tiap node (Schowengerdt 1997 ; Patterson 1996; Kusumadewi 2003; Kusumadewi 2004). Tiap pemrosesan node, kita mempunyai transformasi (Gambar 9). Di tiap node pada hidden layer, j, mengikuti operasi yang dibentuk dari input patern, pi, menghasilkan output, hj, S j = ∑ w ji pi i
Hidden layer:
h j = f (S j ) Langsung pada tiap node pada output layer, k, dimana output, ok, dihitung, S k = ∑ wkj h j j
Output layer: ok = f ( S k ) Input Nodes (i)
Inputs pattern pi
Hidden layer Nodes (j)
•
S
•
S
•
S
• • • •
S S S S
•
S
•
S
•
S
Output Nodes (k)
• • •
S S
Output pattern ok
S
• weights wji
weights wkj
Gambar 8 Struktur tradisional pada tiga layer neural network (Schowengerdt 1997).
Node inputs
• • •
1 1
Σ
Activation function
S
f(S)
Node output
20
Gambar 9 Komponen-komponen elemen pemrosesan (Schowengerdt 1997). Pada penelitian ini dimplementasikan neural network tiga layer, yaitu
input layer, hidden layer dan output layer, sehingga sering disebut sebagai neural network multi-layer perceptron (MLP).
Neural network MLP umumnya
ditraining dengan back propagation untuk klasifikasi citra pada penginderaan jauh (Kanellopoulos and Wilkinson 1997). Back propagation adalah algoritma yang meminimalkan error pada output dan pendekatan ini telah berhasil untuk taining networks (Schowengerdt 1997). Beberapa hasil kajian menggunakan neural network diantaranya: Carpenter et al. (1997) telah melakukan klasifikasi vegetasi menggunakan
adaptive resonante theory (ART) neural network. Schiffmann et al. (1994) telah mengadakan penelitian tentang optimasi algoritma back propagation dalam training multilayer percepteron. Muchoney dan Williamson (2001) mendapatkan hasil bahwa ART neural network bisa memberikan hasil klasifikasi yang sangat baik pada vegetasi maupun penutupan lahan lainnya.
2.3 Analisis Komponen Utama Analisis komponen utama (AKU) adalah salah satu teknik eksplorasi data yang digunakan sangat luas ketika menghadapi data peubah ganda. Penggunaan komponen utama, yang merupakan fungsi linier tertentu dari peubah asal, sering disarankan dalam proses mereduksi banyaknya peubah pada data peubah ganda. Peubah-peubah baru hasil pereduksian merupakan fungsi dari peubah asal atau peubah asal itu sendiri yang memiliki proporsi informasi yang signifikan mengenai gugus data tersebut. Dengan prosedur ini (AKU) akan didapatkan komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian besar infomasi yang terkandung pada data asal tersebut. Komponen utama mampu mempertahankan sebagian
informasi
yang
diukur
menggunakan
menggunakan sedikit komponen utama saja.
keragaman
total hanya
21
Rao (1964) diacu dalam Sartono et al. (2003) juga mempertimbangkan ukuran lain untuk menilai informasi yang terkandung sehingga proses pencarian komponen utama dengan batasan informasi yang optimal menjadi beragam. Analisis komponen utama juga bisa dipandang sebagai sebuah kasus proyeksi data dari dimensi besar ke dimensi yang lebih rendah. Pemilihan proyeksi ke dimensi yang lebih rendah ini biasanya dilakukan dengan mengoptimasi indeks tertentu. Komponen utama mampu menangkap sebagian besar informasi, sifat lain yang umumnya diperlukan dalam banyak analisis dan dimiliki oleh komponen utama adalah antar komponen utama tidak saling berkorelasi. Analisis
komponen
utama
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
menyederhanakan variabel-variabel yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi diantara variabel asal (x) ke variabel baru (komponen utama) yang tidak berkolerasi. Tahap awal penentuan komponen utama dari vektor peubah x adalah mendapatkan akar ciri dan vektor ciri dari matriks Σ, matriks ragam peragam x. Suatu peubah acak berdimensi p misalkan x = (x1, x2, ..........., xp) mengikuti sebaran normal ganda dengan vektor nilai tengah µ dan matriks ragam peragam Σ, x~Np (μ, Σ). Maka bentuk utama sebagai kombinasi linear terbobot dari variabel asal dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan:
K j = aij x + a 2 j x + ............ + a pj x p '
=a jx Dimana aij menunjukkan besarnya kontribusi peubah ke-i terhadap komponen utama ke-j dan tanda aij menunjukkan arahnya. Agar ragam dari komponen utama ke-j maksimum serta antara komponen utama ke-j tidak berkorelasi dengan komponen utama ke-i untuk i ≠ j, maka vektor pembobot aj’ harus dipilih dengan kendala aj’aj = 1 dan ai’aj = 0. Sehingga akar ciri ke-j (λj) yang diturunkan dari matriks peragam S dapat diperoleh dari persamaan:
22
S − λΙ = 0 dan vektor pembobot aj atau vektor ciri ke-j diperoleh dengan menyelesaikan persamaan:
( S − λΙ ) a j
=0
Menurut Morrison (1990) jika peubah asal memiliki satuan yang sama dan ragam yang homogen, maka analisis komponen utama didasarkan pada akar ciri dan vektor ciri yang diturunkan dari matrik peragam (S).
Jika peubah asal
memiliki satuan yang berbeda, maka digunakan matriks korelasi R dan sebelum dilakukan analisis komponen utama variabel tersebut perlu dibakukan ke dalam variabel baku Z, Ζi =
(x
i
− xi
)
σ ii ∧
i = 1, 2, ..............., p dan σ ii = S ii dimana xi adalah peubah bebas ke-i, x adalah rataan dari peubah x dan s merupakan simpangan baku. Besarnya keragaman yang dapat diterangkan oleh komponen utama ke-i untuk kompoenen utama yang dapat diturunkan dari matriks korelasi R adalah sebesar:
λi tr ( R)
=
λi p
dimana p adalah banyaknya variabel asal, λi merupakan akar ciri ke-i dan tr(R) merupakan matriks teras R.
Ada tiga metode utama yang digunakan untuk penentuan banyaknya komponen utama: (1) Metode pertama didasarkan pada komulatif proporsi keragaman total yang mampu dijelaskan.
Metode ini merupakan metode yang paling banyak
digunakan, dan bisa diterapkan pada penggunaan matriks korelasi maupun
23
matriks ragam peragam.
Minimum persentase keragaman yang mampu
dijelaskan ditentukan terlebih dahulu, dan selanjutnya banyaknya komponen yang paling kecil hingga batas itu terpenuhi dijadikan sebagai banyaknya komponen utama yang digunakan. Tidak ada patokan baku berapa batas minimum tersebut, sebagian buku menyebutkan 70%, 80%, bahkan ada yang 90%.
Jika λ1≥.....≥λp adalah akar ciri dari matriks ragam peragam (atau
korelasi) maka proporsi komulatif dari k komponen utama pertama adalah: k
∑λ i =1 p
i
∑λ i =1
, k = 1,......., p
i
k
∑λ
Pada kasus pengunaan matriks korelasi maka
i =1
i
= p , sehingga proporsi
komulatifnya adalah: 1 k ∑ λi , k = 1,......... . p p i =1
(2) Metode yang kedua hanya bisa diterapkan pada penggunaan matriks korelasi. Ketika menggunakan matriks ini, peubah asal ditransformasi menjadi peubah yang memiliki ragam sama yaitu satu.
Pemilihan komponen utama
didasarkan pada ragam komponen utama, yang tidak lain adalah akar ciri. Metode ini disarankan oleh Kaiser (1960) dalam Sartono et al. (2003) yang berargumen bahwa jika peubah asal saling bebas maka komponen utama tidak lain adalah peubah asal, dan setiap komponen utama akan memiliki ragam satu. Sehingga jika ada komponen utama yang ragamnya kurang dari satu dianggap memiliki konstribusi yang kurang. Dengan cara ini, komponen yang berpadanan dengan akar ciri kurang dari satu tidak digunakan. (3) Metode yang ketiga adalah penggunaan grafik yang disebut plot scree. Cara ini bisa digunakan ketika titik awalnya matriks korelasi maupun ragam peragam. Plot scree merupakan plot antara akar ciri λk dengan k. Dengan mengunakan metode ini, banyaknya komponen utama yang dipilih, yaitu k, adalah jika pada titik k tersebut plotnya curam ke kiri tapi tidak curam ke
24
kanan. Ide yang ada di belakang ini adalah bahwa banyaknya komponen utama yang dipilih sedemikian rupa sehingga selisih antara akar ciri yang berurutan sudah tidak besar lagi.