TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove”(Macnae, 1968). Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusmana dkk., 2003 dalam Irwanto, 2008). Mangrove merupakan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di daerah pasangsurut antara garis pasang tertinggi dengan garis surut terendah di wilayah tropika dan subtropika. Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain (fungi, mikroba, alga, fauna dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas mangrove. Selanjutnya komunitas mangrove tersebut berinteraksi dengan faktor abiotik
(iklim,
(Kusmana, 2010).
udara,
tanah,
air)
membentuk
ekosistem
mangrove
Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman ini mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Daerah hutan mangrove dunia yang diperkirakan seluas 15.429.000 ha, 25 % nya meliputi garis pantai kepulauan Karibia dan sampai 75 % meliputi daerah pantai lainnya seperti di kawasan Amerika Selatan dan Asia. Di Indonesia sendiri luas hutan mangrove diperkirakan meliputi areal sekitar 4,25 juta ha atau sekitar 27 % luas mangrove di dunia. Sayangnya kondisi hutan mangrove yang ada
saat
ini
setengahnya
telah
mengalami
kerusakan
(The Nature Conservacy, 2003). Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka saat ini, Hal ini karena luas hutan mangrove dunia hanya 2% dari permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem mangrove memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting; misalnya menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove perlu dilakukan mengingat tingginya nilai sosial-
ekonomi dan ekologi ekosistem mangrove. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain Setyawan, 2002 dalam Setyawan dan Winarno, 2006). Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api (Avicennia sp.) atau di dunia dikenal sebagai black mangrove merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperartur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik serta dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2008). Tumbuhan mangrove biasanya hidup dalam sebuah wilayah kolonisasi yang terlindung dimana terdapat endapan pasir yang diakibatkan oleh proses yang terjadi di sepanjang pantai. Sesudah tertanam dengan baik, tumbuhan mangrove dapat meningkatkan proses sedimentasi dengan cara menambah jumlah endapan lumpur. Tetapi, tumbuhan mangrove tidak dapat memicu terjadinya endapan lumpur dan tidak dapat tumbuh sebagai koloni atau bertahan dalam wilayah tepi pantai yang memiliki energi tinggi. Berbagai bencana yang menjadi penyebab erosi seperti badai, angin puting beliung, banjir dan tsunami seringkali
menyebabkan erosi dalam skala besar dan telah terbukti dari berbagai kejadian bahwa tumbuhan mangrove dapat mengurangi dampak yang mungkin ditimbulkan. Jika terjadinya erosi diselingi dengan periode yang cukup lama dimana endapan dapat terbentuk, maka kemungkinan besar tumbuhan mangrove akan dapat bertahan. Tetapi, jika penyebab erosi ini sering terjadi, maka wilayah pesisir pantai akan mudah hanyut dan tumbuhan mangrove dengan sendirinya akan musnah (Hanley et al., 2005) Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara yang terpengaruh oleh pasang surut air laut, tergenang air laut, tetapi tidak terpengaruhi oleh iklim. Hutan mangrove terdapat pada tanah berlumpur, berpasir, atau tanah berpasir. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berhabitus semak dan berhabitus pohon besar dan tingginya antara 50-60 dan hanya mempunyai satu stratum tajuk (Istomo, 1992 dalam Nugroho, 2006)). Menurut Nirarita et al. (1996) dalam Nursal et al. (2005), hutan mangrove merupakan tipe vegetasi yang khas terdapat di daerah pantai tropis. Vegetasi mangrove umumnya tumbuh subur di daerah pantai yang landai di dekat muara sungai dan pantai yang terlindung dari kekuatan gelombang. Karakteristik habitat yang menonjol di daerah hutan mangrove diantaranya adalah jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, lahan tergenang air laut secara periodik, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat seperti dari sungai, mata air dan air tanah, airnya payau dengan salinitas 222 ppt atau asin dengan salinitas sekitar 38 ppt. Hutan mangrove memiliki banyak manfaat. Secara fisik, hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengaruh gelombang laut. Secara ekologi,
hutan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi beranekaragam
biota
perairan
seperti
ikan,
udang,
dan
kepiting
(Nursal et al., 2005). Hal serupa juga dijelaskan oleh Waryono (2002), bahwa hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut. Selain fungsi fisik dan fungsi ekologi yang
telah
dikemukakan diatas, hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi. Menurut Iswahyudi (2008), fungsi ekonomis hutan mangrove yaitu hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu sperti madu, obat-obatan, minuman, makanan dan tanin, dan memberikan lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain seperti lahan untuk pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi dan rekreasi. Hutan paya bakau biasanya ditemui di sepanjang pesisir pantai beriklim tropika dan subtropika di seluruh dunia yaitu pada kedudukan latitud 25°U dan 25°S (Boundry Ecosystem, 2008). Antara ciri yang utama bagi tumbuhan ini ialah kebolehan untuk hidup di kawasan yang belum ditumbuhi oleh tumbuhan lain(perintis). Ia mampu hidup di kawasan yang dibanjiri air masing-masing 2 kali sehari dan tanah berlumpur yang kurang oksigen. Sebagai contohnya Bruguiera cylindrica atau nama tempatan dikenali sebagai berus atau bakau putih,
Rhizophora apiculata (bakau minyak) dan Avicennia marina (api-api). Hutan paya bakau bukan saja melindungi daripada kikisan tanah tetapi mengumpulkan semua tanah yang terkikis dari laut. Apabila ombak menolak tanah atau lumpur dari laut ke daratan maka hutan paya bakau dengan sistem akarnya yang unik dapat mengumpul tanah tersebut. Ini merupakan fenomena yang unik, karena kecenderungan laut untuk menenggelami daratan. Hutan paya bakau merupakan tempat yang sesuai bagi pembiakan beberapa spesies seperti ikan, ketam, udang dan kerang. Hutan ini merupakan tempat kehidupan berkenaan menetas dan membesar bagi spesies- spesies tersebut sebelum kembali ke laut. Jika hutan ini tidak ada, maka dapat memberikan efek negatif bukan saja dampak secara tidak langsung tetapi juga dapat memberi dampak langsung atas ekonomi sebuah negara akibat
kehilangan
pendapatan
daripada
industri
perikanan
(Mokhtar et al., 2009). Hutan mangrove berbeda dengan hutan pantai yang jarang atau tidak pernah tergenang oleh pasang surutnya air. Komposisi jenis disetiap hutan mangrove berbeda, tergantung pada kandungan lumpur tanah, karakteristik pasang surut, jarak dari laut, salinitas, dan frekuensi penggenangan oleh air laut, serta gangguan dari manusia. Di Indonesia tidak kurang dari 73 jenis pohon penyusun struktur hutan mangrove. Yang banyak dikenal antara lain adalah Rhizhopora mucronata (bakau laki), R. Apiculata (bakau bini), Bruguiera gymnorrhiza (tancang), Sonneratia alba (preparat), Avicennia marina (api-api), Ceriops tagal (tengar), dan Xilocarpus mollucensis (nyirih) (Anwar, 2004). Menurut Chapman (1975) dalam Kusmana (1996), Ada beberapa persyaratan utama agar mangrove dapat tumbuh dengan baik, yaitu: (1) suhu
udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu udara rata-rata dibulan terdingin lebih dari 20ºC, (2) arus laut yang tidak terlalu deras, (3) tempattempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat, misalnya estuaria, teluk laguna, delta, (4) topografi pantai yang datar atau landai, (5) keberadaan air laut, (6) fluktuasi pasang-surut yang cukup besar yang berasosiasi dengan pantai yang bertopografi landai, dan (7) keberadaan lumpur dan tanah organik. Sedangkan menurut Irwanto (2008), Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah : (1) gerakan gelombang yang minimal, agar jenis tumbuhan mangrove dapat menancapkan akarnya, (2) salinitas payau (pertemuan air laut dan tawar), (3) endapan Lumpur (4) zona intertidal (pasang surut) yang lebar. Irwanto (2008) menambahkan selain faktor di atas terdapat faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove yaitu (1) tanah : sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi. Di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Jenis tanah yang mendominasi kawasan mangrove biasanya adalah fraksi lempeng berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp. (2) cahaya, salah satu faktor yang penting dalam proses fotosintesis
dalam
melakukan
pertumbuhan
tumbuhan
hijau.
Cahaya
mempengaruhi respirasi, transpirasi, fisiologi dan juga sruktur fisik tumbuhan. Intensitas cahaya, di dalam kualitas dan juga lama penyinaran juga merupakan satu faktor penting untuk tumbuhan (3) suhu, faktor yang berperan dalam proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Menurut Hutcing and Saenger (1987)
dalam Iswahyudi (2008), Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18– 20ºC, sedangkan pada Rh. stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26 - 28ºC. Suhu optimum untuk pertumbuhan Bruguiera spp. adalah 27ºC, Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26ºC dan X. granatum pada suhu 28ºC.
Api – Api Putih (Avicennia marina) Klasifikasi: Kingdom : Plantae Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Lamiales
Family
: Acanthaceae
Genus
: Avicennia
gambar 1: Buah dan susunan daun api-api
Spesies : Avicennia marina Nama setempat dari Avicennia marina adalah Api-api putih, api-api abang, sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, pai. A. marina merupakan belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon mencapai 30 meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akanya merupakan akar nafas yang memiliki sejumlah lentisel. Bagian kulit luar kayu memiliki permukaan yang halus dengan burikburik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil, sedangkan kulit dalam putih sampai krem. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning dan tidak berbulu. Panjang daunnya berkisar 6-12 cm dengan lebar 2,5-5 cm. Bentuk buah
seperti almond, terkadang memiliki ujung berbentuk seperti piala pendek dengan panjang 1.5-2.5 cm. Umumnya tumbuh di daerah pertemuan sungai atau teluk landai dengan lumpur yang dalam. (Noor et al., 1999). Api-api menyukai rawa-rawa mangrove, tepi pantai yang berlumpur, atau di sepanjang tepian sungai pasang surut. Beberapa jenisnya, seperti A. marina, memperlihatkan toleransi yang tinggi terhadap kisaran salinitas, mampu tumbuh di rawa air tawar hingga di substrat yang berkadar garam sangat tinggi. Kebanyakan jenisnya merupakan jenis pionir dan oportunistik, serta mudah tumbuh kembali. Pohon-pohon api-api yang tumbang atau rusak dapat segera tumbuh atau bersemi kembali, sehingga mempercepat pemulihan tegakan yang rusak. Akar napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Jalinan perakaran ini juga menjadi tempat mencari makanan bagi aneka jenis kepiting bakau, siput dan teritip (Noor et al., 1999).. Akar napas (pneumatofore) yang ada pada pohon api-api (Avicennia marina) merupakan akar percabangan yang tumbuh dengan jarak teratur secara vertikal dari akar horizontal yang terbenam di dalam tanah. Reproduksinya bersifat kryptovivipary, yaitu biji tumbuh keluar dari kulit biji saat masih menggantung pada tanaman induk, tetapi tidak tumbuh keluar menembus buah sebelum biji jatuh ke tanah. Buah berbentuk seperti mangga, ujung buah tumpul dan panjang 1 cm, daun berbentuk ellips dengan ujung tumpul dan panjang daun sekitar 7 cm, lebar daun 3-4 cm, permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawah berwarna hijau abu-abu dan suram.
Avicennia marina memiliki banyak manfaat. Menurut Bandaranayake (2002), Spesies ini dapat berkhasiat dalam mengobati aphrodiasiac, diuretic, anti malaria, dan sitotoksik, bagian buahnya mengobati hepatitis, dan kulit batang untuk mengobati leprosy. Menurut Hanley (2005), spesies A. marina adalah spesies yang berharga karena dapat menjadi payung atau pemberi naungan bagi berbagai spesies seperti Rhizhopora dan Bruguiera. Panjaitan (2009) menjelaskan bahwa Avicennia marina merupakan tanaman mangrove tumbuhan tingkat tinggi di kawasan pantai yang dapat berfungsi untuk menyerap bahan-bahan organik dan non-organik sehingga dapat dijadikan bioindikator logam berat terutama dalam mengakumulasi logam berat tembaga (Cu) dan timbal (Pb). Jenis ini sangat potensial untuk dijadikan sebagai sabuk hijau.
Pembibitan Tanaman Mangrove Kegiatan rehabilitasi yang di lakukan di pantai maupun di hutan mangrove masih sering berakhir dengan kegagalan. Beberapa faktor penyebab yang umum dijumpai antara lain: rendahnya kualitas bibit, tidak sesuainya lokasi penanaman, kesalahan memilih jenis tanaman, serta pelaksana dilapangan yang kurang berpengalaman. Hal-hal tersebut terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai kegiatan rehabilitasi pantai maupan hutan mangrove. Disamping itu, minimnya pengalaman, terutama bagi para perencana dan pelaksana kegiatan di lapangan, juga diyakini berdampak terhadap rendahnya keberhasilan kegiatan rehabilitasi. Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan berkualitas tinggi dan siap tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan
akan tinggi. Sebaliknya, penggunaan bibit berkualitas rendah hanya akan menyebabkan kegagalan kegiatan rehabilitasi. Cara membibitkan tanaman mangrove (misalnya bakau, api-api, pedada, tengal, dll) sangat berbeda dengan tanaman pantai lainnya (misalnya waru, ketapang, nyamplung, cemara, dll). Persemaian mangrove membutuhkan lokasi basah yang terpengaruh pasang surut. Karenanya, persemaian mangrove dapat juga disebut sebagai persemaian pasang surut. Sedangkan untuk jenis tanaman pantai, lokasi yang sesuai adalah lokasi kering, tidak mengalami genangan. Oleh karena itu, persemaian ini juga dikenal sebagai persemaian darat (Wibisono dkk., 2008). Informasi teknik pembibitan mangrove memusat pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar 60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Setyawan dkk., 2003). Persemaian bibit mangrove (khususnya Rhizophora spp., Ceriops spp. dan Bruguiera spp.) biasanya terletak di lokasi yang terkena pasang surut. Dalam kondisi demikian maka penyiraman tidak perlu dilakukan. Walaupun tidak disiram, namun pemberian naungan tetap harus dilakukan, terutama dalam waktu 2 bulan pertama. Setelah itu, intensitas naungan sebaiknya dikurangi. Pengurangan intensitas naungan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan hingga bibit memiliki ketahanan untuk hidup di lokasi terbuka, sebagaimana kondisi sebenarnya di lapangan.
Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon atau buah mangrove disekitar lokasi penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon atau buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi. Bibit atau benih yang akan ditanam harus sudah tersedia satu hari sebelum diadakan penanaman. Buah bakau dan tumu bisa disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam dan bisa ditanam tanpa persemaian. Buah api-api dan prepat sebelum ditanam sebaiknya disemaikan terlebih dahulu. Penanaman secara langsung, terutama di pinggir laut, sulit dilaksanakan karena buah atau bijinya terlalu kecil sehingga mudah dibawa arus. Penanaman dengan sistem puteran dari permudaan alam, untuk kedua jenis ini dapat dilakukan dan berhasil dengan baik (Khazali, 1999). Bedeng sapih adalah bedeng bersekat, berukuran tertentu, yang difungsikan untuk menampung polibag yang berisi semai atau propagul. Semai atau propagul ini bisa berasal dari semai yang disapih dari bedeng tabur atau semai dari biji atau stek yang langsung ditanam dalam polibag. Di bedeng sapih inilah semai dipelihara dari kecil hingga siap tanam. Idealnya, bedeng sapih dilengkapi dengan naungan dengan intensitas tertentu. Di pasaran, naungan ini sudah umum dijumpai dengan nama perdagangan paranet atau sarlon. Namun demikian, naungan dapat dibuat secara sederhana dengan memasang jalinan daun
rumbia atau daun kelapa (Kusmana dkk., 2008). Lama pemberian naungan dan lama naungan dibuka di persemaian sebelum ditanam untuk jenis R. mucronata 3– 4 bulan dan 1 bulan naungan dibuka; R. apiculata 3–4 bulan dan 1 bulan; B. gymnorrhiza 2–3 bulan dan 1 bulan; C. tagal 3–4 bulan dan 3–4 bulan; S. alba 2 bulan dan 3-4 bulan naungan dibuka; S. caseolaris 2 bulan dan 3-4 bulan; A. marina 2 bulan dan 1–2 bulan; X. granatum 2 bulan dan 1–2 bulan (Taniguchi, 1999 dalam Kusmana dkk., 2008). Bedeng sapih dibuat dengan ukuran bervariasi sesuai dengan kebutuhan, tetapi umumnya berukuran 1 x 5 m atau 1 x 10 m memanjang searah utara selatan. Dengan bedeng berukuran 1 x 10 m dapat memuat pot berupa kantong pelastik atau polybag (15 x 20 cm) sebanyak lebih kurang 2.550 buah untuk pot kantong pelastik berukuran 12 x 15 cm. Bedeng sapih diberi batas berupa belahan bambu, agar pot kantong pelastik tidak terguling apabila
ditata dan ditempatkan
dibedeng. Bedeng sapih diberi naungan dengan menggunakan daun nipah atau lainnya pada ketinggian 1 m. Tingkat naungan yang disarankan adalah sebesar kurang lebih 50 % (Anwar, 1997 dalam Anwar, 2004). Pembatas (sekat) bedeng dapat menggunakan bambu atau tiang yang panjangnya disesuaikan dengan ukuran bedeng. Bedeng menghadap ke arah timur (membujur ke arah selatan-utara) dengan maksud agar seluruh bibit di dalam bedeng mendapatkan sinar matahari pagi yang merata dan optimal. Jarak antar bedengan adalah setengah hingga satu meter untuk jalan inspeksi dan memudahkan penyiraman. Khusus bagi semai yang baru disapih, naungan yang diberikan harus lebih berat karena sangat rentan terhadap sengatan sinar matahari. Apabila naungan yang ada di bedeng sapih adalah paranet, maka sebaiknya diberi
naungan tambahan berupa atap rumbia, tepat diatas semai yang baru disapih. Setelah beberapa minggu, naungan rumbia ini diambil hingga tinggal paranetnya (Kusmana dkk., 2008). Untuk
jenis-jenis
mangrove
yang
propagulnya
besar
seperti
Rhizophoraceae (bakau, tanjang, dan tengal), dan nyirih (Xilocarpus spp.), benih dapat langsung disemaikan sekaligus disapih pada pot kantong plastik yang telah berisi media tanam. Buah disemaikan sedalam 5 cm dalam pot. Untuk buah apiapi (Avicennia spp.), kulit buah dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan. Apabila semai sudah berumur lebih kurang satu bulan atau ditandai dengan tinggi semai sekitar 10 cm atau telah keluarnya daun sebanyak 6 buah, semai dapat disapihkan kedalam kantong plastik yang telah ditempatkan dibedeng sapih. Spesifikasi bibit Avicennia marina yang cocok dan siap untuk ditanam adalah bibit yang sudah memiliki tinggi 30 cm dan dengan jumlah daun atau helai sebanyak 6 helai daun. Lama pembibitan untuk spesies ini biasanya memerlukan waktu selama 3-4 bulan. Bibit Avicennia spp. Dapat tumbuh baik pada tanah yang lembek dan berlumpur (Anwar, 2004). Didalam kegiatan pembibitan ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: (A) Pemilihan lokasi persemaian. Pemilihan lokasi persemaian harus diusahakan pada tanah yang lapang dan datar. Hindari daerah yang mudah dijangkau oleh ketam atau kepiting atau mudah dijangkau kambing. Lokasi persemaian diusahakan sedekat mungkin dengan lokasi penanaman dan sebaiknya terendam air pasang lebih kurang 20 kali per bulan agar tidak dilakukan kegiatan penyiraman bibit. (B) pembangunan tempat dan bedeng persemaian. Dari luas areal yang ditentukan untuk tempat persemaian, sekitar 70 % dipergunakan untuk
keperluan bedeng pembibitan, sisanya 30 % digunakan untuk jalan inspeksi, saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Ukuran tempat persemaian tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang akan dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan bambu. Atap atau naungan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2 meter. Bedeng persemaian dapat dibuat dengan mencangkul tanah dengan kedalaman 5 - 10 cm atau tanah yang datar diberi batas berupa bambu agar kantong plastik atau botol air mineral bekas tidak jatuh. Antar bedeng sebaiknya ada jalan inspeksi untuk memudahkan peme-riksaan tanaman. (C) Pembuatan bibit. Dalam pembibitan, terlebih dahulu harus dipersiapkan media tanam yaitu tanah lumpur dari sekitar persemaian. Jenis api-api dan prepat benih harus disemaikan terlebih dahulu. Buah api-api, benih dapat ditebarkan langsung di bak persemaian atau kulit buah dibelah dua terlebih dahulu sebelum disemaikan di bak persemaian. Api-api (Avicennia spp.) cocok ditanam di daerah yang didominasi pasir tapi mengandung lumpur dan terkena pasang surut rata-rata 20 hari/bulan. Jenis api-api merupakan jenis tanaman mangrove yang sangat kuat untuk menahan ombak karena sifat akarnya yang muncul dari bawah keatas seperti pasak sehingga cocok ditanam di bagian terdepan garis pantai (Khazali, 1999). Menurut Kusmana et al. (2005) dalam Iswahyudi (2008), Sruktur, fungsi, komposisi, distribusi spesies, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove yaitu:
a. Fisiografi Pantai Merupakan faktor penting yang mempengaruhi karakteristik struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh. b. Ikilm Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi ekosistem mangrove, terutama terhadap perkembangan tumbuhan dan perubahan faktorfaktor fisik, seperti tanah dan air. Iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik. b.1. Cahaya. Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m²/hari. Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan
sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan. Menurut Takashima, et al. (1999), tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi, akan tetapi pada tingkat semai tanaman mangrove memerlukan naungan. Mayer dan Anderson (1952) dalam Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan intensitas cahaya 0% akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan, yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah. Tanaman cukup mengambil air, tetapi proses fotosintensis tidak dapat berlangsung tanpa cahaya matahari. Sedangkan Soekotjo (1976) berpendapat bahwa pengaruh cahaya terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang. Dibandingkan dengan lama penyinaran dan jenis cahaya, intensitas cahaya merupakan faktor yang paling berperan terhadap kecepatan berjalannya fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara sekitar tanaman. Intensitas cahaya tinggi membawa perubahan-perubahan penting pada morfologi pohon yaitu pembentukan sistem akar dan peningkatan rasio akar dan batang, sedangkan daun akan menjadi lebih tebal karena intensitas cahaya tinggi merangsang pertumbuhan palisade. Intensitas cahaya tinggi juga dapat menurunkan pertumbuhan tinggi. Pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka (Ulumiyah, et al., 2008). b.2. Curah hujan Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan distribusi tumbuhan mangrove. Selain itu Curah
hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas, air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Umumnya hutan mangrove di Indonesia terdapat pada iklim dengan curah hujan tahunan dan bulanan yang tinggi, dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 - 3000 mm/tahun. Hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik. b.3. Suhu udara Suhu merupakan faktor penting didalam proses fisiologis tumbuhan mangrove, seperti fotosintesis dan respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC, kecuali di Afrika Timur dimana perbedaan suhu musiman mencapai 10ºC. Suhu yang terlalu panas dapat merusak jaringan daun, evapotranspirasi meningkat dan tanah cepat mengering. Hutchings dan Saenger (1987) dalam Istomo (1992) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18 - 20 °C dan bila lebih tinggi suhunya, maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Sedangkan untuk Rhizophora stylosa, Ceriops spp., Excoacaria aggalocha dan Lumnitzera spp., laju tertinggi produksi daun baru pada suhu 26 – 28 °C, untuk Bruguiera spp., pada suhu 27 °C, Xylocarpus spp., pada suhu 21 – 26 °C, dengan pengecualian Xylocarpus granantum (28 °C). b.4. Angin Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui gelombang dan arus pantai, yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sruktur mangrove,
serta meningkatkan evapontranspirasi. Angin yang kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman. c. Pasang Surut Pasang surut merupakan gerakan naik turunya permukaan laut sebagai akibat dari gaya tarik benda angkasa terutama bulan dan matahari terhadap massa air bumi. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan salinitas air oleh pasang merupakan salah satu faktor pembatas distribusi spesies secara horizontal di mangrove, khususnya yang dipengaruhi oleh pasang campuran. Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Lama pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rh. Mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. Dan Xylocarpus spp. Jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. d. Gelombang dan Arus Gelombang pantai merupak gelombang yang dipengaruhi oleh angin. Merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
e. Salinitas Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tumbuh dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 – 30 ppt. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan A. marina dan E. agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 ppt., Ceriops spp. 72 ppt., Sonneratia spp. 44 ppt., Rh. apiculata 65 ppt dan Rh. stylosa 74 ppt. f. oksigen terlarut Tanah pada hutan mangrove berlumpur dan jenuh dengan air, sehingga kandungan oksigennya rendah atau bahkan dapat dikatakan tidak mengandung oksigen. Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. g. Tanah. Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat keabu-abuan. Tanah ini berupa tanah lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi dari tanah liat biru yang kompak dengan sedikit atau tanpa bahan organik, sampai tanah dengan lumpur coklat hitam yang mudah lepas karena banyak mengandung pasir dan bahan organik.
Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan baik di daerah-daerah pantai berlumpur, di muara sungai-sungai berlumpur, terpengaruh pasang–surut, dan umumnya pada garis pantai yang landai, terlindung dari hempasan ombak yang besar. Mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp.) gambut (peat, seperti Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizophora stylosa), dan bahkan tanah berkoral yang kaya akan detritus, walaupun tidak terlampau baik perkembangannya (seperti Pemphis aciluda). h. Nutrien Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikular dari air limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan laut. i. Proteksi Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan yang paling
berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah, salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh tinggi rata-rata muka laut.
Pengaruh Naungan Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan semai-semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya naungan, evaporasi dari semai dapat dikurangi. Beberapa spesies lain menunjukkan perilaku yang berbeda. Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya
yang
tinggi
tetapi
beberapa
spesies
tidak
(Suhardi dkk., 1995 dalam Irwanto, 2006). Pada umumnya cahaya yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman berbedabeda. efek penggunaan naungan dapat mengurangi cahaya yang diterima tanaman, menurunkan suhu udara dan mempertahankan kelembaban tanah. Semai yang mendapat intensitas naungan yang tinggi memiliki kelembaban tanah yang tinggi sehingga tanah banyak mengandung air yang mampu mengoptimalkan proses fotosintesis. Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju transpirasi, juga mengurangi laju evaporasi air dari permukaan tanah karena daya evaporasi udara yang menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi.
Semakin besar tingkat naungan, menyebabkan intensitas cahaya yang diterima
tanaman semakin kecil, maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi (Magfoer dan Koesrihartati, 1998). Intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi sedangkan intensitas cahaya yang rendah akan mengganggu jalannya fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu intensitas cahaya optimal sangat diperlukan agar pertumbuhan tanaman dapat maksimal dan dapat menghasilkan bibit berkualitas baik. Pengaturan intensitas cahaya dapat dilakukan dengan pemberian naungan atau shading sehingga dapat melindungi semai dari cahaya atau sinar matahari dan suhu yang berlebihan. Pada jenis intoleran, naungan yang terlalu rapat akan menyebabkan etiolasi sedangkan naungan yang kurang rapat akan mengurangi perlindungan
bibit dari sinar
matahari langsung, curah hujan yang tinggi, angin, dan fluktuasi suhu yang ekstrim (Schmidt, 2002 dalam Sudomo, 2009). Intensitas naungan pada setiap jenis tanaman mangrove berbeda-beda. Hal ini karena Beberapa spesies dapat hidup dengan mudah dalam intensitas cahaya yang tinggi tetapi beberapa spesies tidak. Menurut Wibisono dkk. (2008), benih Avicennia marina paling baik berada pada intensitas naungan 50%. Berdasarkan hasil penelitian Yanti (2007), propagul R. mucronata yang akan digunakan sebagai penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove paling baik berada pada intensitas naungan 75%. Hal ini karena pada intensitas naungan yang tinggi menyebabka
bibit
kekurangan
cahaya
sehingga
bibit
mengalokasikan
pertumbuhan hanya pada tinggi, diameter, jumlah daun, luas daun total dan biomassa total. Bibit mengalokasikan pada beberapa parameter tertentu karena adaptasinya untuk memperoleh cahaya yang lebih dengan intensitas naungan
tinggi. Pada intensitas naungan 75% propagul R. mucronata memperoleh cahaya yang optimal dalam merangsang pertumbuhannya. Aplikasi naungan dimaksudkan untuk memodifikasi lingkungan mikro tanaman, karena akan mengubah kuantitas dan kualitas faktor lingkungan yang ada antara lain radiasi matahari, suhu, dan kelembaban. Adaptasi tanaman terhadap naungan akan mempengaruhi morfologi, anatomi, dan fisiologi tanaman. Tanaman beradaptasi terhadap naungan melalui dua cara yaitu: peningkatan luas daun untuk meminimalkan penggunaan metabolit dan pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan (Mohr dan Schopfer, 1995). Menurut
Simarangkir
(2000),
pertumbuhan
diameter
tanaman
berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Daniel, et al. (1992) mengemukakan bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik kearah diameter batang, terutama pada intensitas cahaya yang rendah. Jumlah daun tanaman lebih banyak di tempat ternaung daripada di tempat terbuka. Jenis yang diteliti memberikan respons terhadap perbedaan intensitas cahaya. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada tempat terbuka. Tanaman yang ditanam di tempat terbuka mempunyai daun yang lebih tebal daripada di tempat ternaung. Menurut Heddy (1996) dalam satu
tanaman, daun yang terluar yang mendapat cahaya matahari penuh tumbuh lebih lebih kecil daripada daun yang sebelah dalam yang terlindung. Bila tumbuhan berada lama dalam cahaya yang lemah, ia akan mengalami etiolasi, yakni batangnya menjadi sangat panjang tanpa jaringan serabut penyokong yang cukup, daunnya keputih-putihan tanpa klorofil yang cukup. Namun apabila penyinaran yang berlebihan akan menimbulkan tumbuhan yang kerdil dengan perkembangan yang abnormal yang akhirnya berakhir dengan kematian. Marjenah (2001) mengemukakan bahwa naungan memberikan efek yang nyata terhadap luas daun. Daun mempunyai permukaan yang lebih besar di dalam naungan daripada jika berada pada tempat terbuka. Fitter dan Hay (1992) mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan.