4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken (1987) mangrove merupakan suatu ragam dari komunitas pantai yang didominasi oleh bebrapa spesies pohon dan semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sementara itu, menurut UU Nomor 5 tahun 1967, kata mangrove berarti vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang atau dataran koral mati, yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau lumpur, atau pada pantai berlumpur. Komposisi jenis tumbuhan penyusun komunitas mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas (Bengen 1997 dalam Siahainenia 2008). Mangrove banyak sekali manfaatnya bagi manusia baik dari segi ekologis, biologis, maupun segi ekonomis.
Fungsi ekologis dari hutan mangrove adalah
menyediakan nutrien bagi berbagai organisme air di sekitar hutan mangrove. Selain itu, sistem perakaran vegetasi hutan mangrove yang menyediakan tempat berlindung yang baik bagi berbagai biota yang hidup di dalamnya.
Fungsi lainnya adalah
mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen 1999 dalam Djamali 2004). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43). Menurut Indrajaya 1992 dalam Djamali 2004 bahwa pengubahan fungsi hutan
4
5
mangrove menjadi fungsi lain secara tidak wajar akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak sesuai dengan kaifah pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Berwick 1983 dalam Dahuri dkk.1996 dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove yang dikonversi menjadi lahan pertanian, perikanan yaitu: a.
Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground.
b. Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar karena subtrat hutan mangrove yang mengikat pencemar sudah hilang. c.
Erosi garis pantai.
2.2. Silvofishery Silvofishery
merupakan
pola
pemanfaatan
hutan
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang (Dewi 1995).
mangrove
yang
Pola ini dianggap
paling cocok untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan hutan mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove. Pada dasarnya prinsip tambak tumpangsari adalah perlindungan hutan mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Al Rasyid (1971) dalam Dewi (1995) mendefinisikan tambak tumpangsari sebagai suatu penanaman yang dipakai dalam rangka merehabilitasikan hutan-hutan mangrove. Menggunakan sistem ini dapat diperoleh tiga keuntungan, yaitu : a. mengurangi besarnya biaya penanaman, karena tanaman pokok dilaksanakan oleh penggarap. b. meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan hasil pemeliharaan hutan. c. menjamin kelestarian hutan mangrove.
5
6
Menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) awal mula penggarapan lahan mangrove di Blanakan menjadi daerah pertambakan dimulai pada tahun 1960-an, hal tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi nasional yang cukup parah, sehingga hutan mangrove yang ada digarap tanpa ada pengendalian.
Penggarapan hutan mangrove ini membuat sebagian kawasan
mangrove Blanakan berubah menjadi empang budidaya ikan dengan sistem silvofishery. Adapun bentuk silvofishery menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut Puspita dkk (2005) dalam Buku Lahan Buatan di Indonesia, bentuk tambak silvofishery terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo seperti pada Gambar 2
Keterangan : A. Saluran air B. Tanggul/pematang tambak C. Pintu air D. Empang
X.
Pelataran tambak
Gambar 2 . Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery menurut Buku Lahan Basah Buatan di Indonesia 6
7
Sistem tambak tumpang sari atau silvofishery merupakan suatu konsep untuk membantu masayarakat pedesaan dengan meningkatkan pendapatan dan juga untuk pengelolaan kualitas hutan mangrove sebagai suatu ekosistem multiguna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi 1994) dalam (Handayani 2004). Di samping digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan pada kawasan hutan mangrove terdapat juga hewan lain seperti kepiting, udang, ikan yang hidup secara alami dan memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hasil sampingan. 2.3. Salinitas Pada tambak air payau salinitas merupakan hal yang perlu diukur. Salinitas merupakan gambaran padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organic telah dioksidasi (Effendi 2003). Salinitas biasa dinyatakan dalam satuan g/kg atau ‰. Namun menurut Reid (2006) pada tahun 1978 sebuah definisi baru salinitas didirikan oleh Joint Panel on Oceanographic Tablesand Standards (UNESCO, 1981) yang disebut practical salinity, satuan ini didefinisikan dan diukur dalam referensi untuk konduktivitas listrik dari sampel air laut dibandingkan dengan yang dari larutan kalium klorida konsentrasi tertentu, satuan ini adalah nomor terkecil yang pada dasarnya sama dengan satuan yang lama yaitu bagian perseribu. Nilai salinitas perairan terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu perairan tawar dengan salinitas kurang dari 0,5PSU, perairan payau antara 0,5PSU-30PSU, perairan laut antara 30PSU-40PSU, dan perariran hipersalin berkisar 40PSU-80PSU (Effendi, 2003). Menurut Goldman dan Horne (1983) peningkatan salinitas hanya sebagai minor efek bagi kelarutan oksigen, kelarutan garam di air mereduksi intermolecular ruang yang tersedia untuk oksigen. Nilai salinitas dapat berubah-ubah, pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dan pasang surut air laut, hal ini yang perlu diperhatikan bagi petambak tradisional karena perubahan nilai salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi kehidupan komoditas budidaya yang dipelihara. Menurut Venkataramuah dkk. (1974) dalam Aziz (1984) udang atau biota air mempunyai toleransi salinitas yang berbeda-beda.
7
8
2.4. Suhu Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan.
Pada perairan suhu sangat
mempengaruhi segala proses yang terjadi di dalamnya baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan vikositas, rekasi kimia, evaporasi dan volatilisasi (Effendi 2003), hal tersebut sangat mempengaruhi nilai salinitas yang terdapat pada daerah estuary.
Suhu di estuary lebih bervariasi
daripada di perairan Pantai di dekatnya. Menurut Nybakken (1992) variasi suhu di daerah estuary disebabkan karena pada daerah estuary volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar, dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada, air estuary ini lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Pada daerah mangrove suhu juga dipengaruhi oleh penutupan hutan mangrove. mempengaruhi laju penguapan yang berpengaruh pada nilai salinitas.
8
Suhu dapat