BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengawet
Bahan Pengawet adalah bahan yang dapat mengawetkan kosmetika dalam jangka waktu selama mungkin agar dapat digunakan lebih lama. Pengawet dapat bersifat antikuman sehingga menangkal terjadinya tengik oleh aktivitas mikroba sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997). Kebanyakan pengawet lebih bersifat bakteriostatik daripada bakterisid, dan merupakan golongan asam(asam parahidroksibenzoat, asam benzoat, asam borat, asam sorbat, dan garam-garamnya) dan non asam/netral (klorobutanol, benzyl alkhol, dan beta feniletil alkhol). Pengawet biasanya mengandung gugus fungsi yang reaktif, yang memegang peran penting dalam aktivitas antimikroba (Anwar,2012). Pengawet harus mempunyai toksisitas rendah, stabil terhadap pemanasan dan selama penyimpanan, dan efektif terhadap kontaminasi fungi, bakteri, dan khamir (Anief, 2000). Contoh pengawet yang biasa digunakan antaralain metil p-hidroksi benzoat (Nipagin), propilen p-hidroksi benzoat (Nipasol), asam sorbat atau garamnya, garam natrium benzoat dalam suasana asam, dan pengawet lain yang disetujui (Anwar, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Nipagin Pemeriaan Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak larut dalam air, dalam benzene dan karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Ditjen POM, 1994).
Methylparaben (Nipagin) 2.1.2. Nipasol Pemerian Serbuk putih atau hablur kecil, tidak berwarna. Kelarutan Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol, dan dalam eter; sukar larut dalam air mendidih (Ditjen POM, 1994).
Propylparaben (Nipasol) 2.1.3. Aktivitas Mikrobiologi Nipagin dan Nipasol Nipagin dan nipasol merupakan senyawa fenolik, stabil di udara, sensitif terhadap pemaparan cahaya, tahan terhadap panas dan dingin termasuk uap sterilisasi, stabilitas menurun dengan meningkatnya pH yang dapat menyebabkan hidrolisis. Mekanisme kerja senyawa fenolik adalah dengan menghilangkan
Universitas Sumatera Utara
permebilitas membran sehingga isi sitoplasma keluar dan menghambat sistem transport elekrolit yang lebih efektif terhadap kapang dan khamir dibandingkan terhadap bakteri, serta lebih efektif menghambat bakteri Gram posistif dibandingkan dengan bakteri Gram negativ (Ayahtullah, 2011). 2.1.3. Farmakologi Nipagin dan Nipasol Paraben terabsorbsi dalam saluran cerna di mana rantai esternya dihidrolisis dalam hati dan ginjal menghasilkan asam p-hidroksibenzoat yang diekskresi melalui urine sebagai asam p-hidroksihipurat, ester asam glukoronat atau sulfat. Pada beberapa orang menyebabkan efek alergi, terutama pada kulit dan mulut(Ayahtullah, 2011). 2.2. Krim Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dimaksudkan untuk pemakaian luar. Krim dibedakan dalam dua tipe, krim tipe minyak-air dan krim tipe air-minyak. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik/tube, ditempat sejuk (Depkes RI, 1978). Catatan: 1. Stabilitas Krim rusak jika terganggu sistem campurannya terutama disebabkan karena perubahan suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan salah satu fase secara berlebihan/ pencampuran 2 tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tersatukan. Agar lebih stabil disamping zat pengawet, ditambahkan zat antioksidan. Zat pengawet yang digunakan umumnya metilparaben 0,12%-
Universitas Sumatera Utara
0,18% atau propilparaben 0,02%-0,15%. Untuk pembuatan krim digunakan air yang telah dididihkan dan segera digunakan setelah dingin. 2. Dianjurkan peracikannya secara aseptik. 3. Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui pengenceran yang cocok dan harus dilakukan secara aseptik. Krim yang sudah diencerkan harus digunakan dalam waktu 1 bulan. 4. Semua alat yang digunakan untuk pembuatan krim harus bersih dan sebelum digunakan harus direbus dalam air dan kemudian didinginkan dan dikeringkan. 5. Jika krim diwadahkan dalam tube aluminium, tidak boleh digunakan zat pengawet senyawa raksa organik. 6. Tube yang mudah berkarat bagian tube sebelah dalam harus terlebih dahulu dilapisi dengan larutan damar dalam pelarut yang mudah menguap. 7. Pada etiket harus juga tertera: “Obat Luar”. 2.2.1. Sifat Krim Sifat umum krim adalah mudah melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Krim juga dapat memberikan efek mengkilap, berminyak, melembabkan, dan mudah tersebar merata (Anwar, 2012). 2.3. Emulsi Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak mau bercampur, biasanya air dan minyak dimana cairan satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain (Anief, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Tipe Emulsi Ada dua macam tipe emulsi yang terbentuk yaitu tipe M/A dimana tetes minyak terdispresi ke dalam fase air, dan tipa A/M dimana fase intern adalah air dan fase ekstern adalah minyak (Anief, 2007). 2.3.2. Penggunaan Emulsi Emulsi digunakan untuk pemakaian dalam dan pemakaian luar. Pemakaian dalam meliputi per-oral atau per-injeksi, sedangkan pemakaian luar digunakan pada kulit atau membran mukosa seperti lotion, liniment, kream, dan salep (Anief, 1986). 2.3.3. Permasalahan dalam Sistem Emulsi (Krim) Menurut Anwar (2007), Permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan formulasi sediaan emulsi antara lain: 1. Pemilihan emulglator Emulgator yang dipilih harus memenuhi persyaratan - Dapat tercampurkan dengan bahan formulatif lain - Tidak menggangu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik - Harus stabil - Harus tidak toksik pada pada penggunaan yang dimaksud jumlahnya - Harus berbau, berasa, dan berwarna lemah 2. Mendapatkan konsistensi yang tepat Konsistensi suatu sediaan emulsi kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk meningkatkan konsistensi emulsi cair dapat dilakukan: - meningkatkan kekentalan fase luar.
Universitas Sumatera Utara
- meningkatkan persentase volume fase terdispersi. - memperkecil ukuran partikel, meningkatkan homogenitas - menambah jumlah emulgator - menambah pengental atau emulgator hidrofob - Persiapan mengatasi kemungkinan terjadinya oksidasi atau reaksi mikrobiologi (pemilihan antioksidan dan pengawet yang cocok). - Cara pembuatan, termasuk alat yang digunakan - Pemilihan wadah. 2.4. Spektrofotometri Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Khopkar, 2003). Metode spektrofotometri UV-Vis digunakan untuk menetapkan kadar sediaan dalam jumlah yang cukup banyak. 2.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Ultraviolet Menurut Rohman (2012), Terdapat berbagai faktor yang mengatur pengukuran serapan UV yakni: 1. Adanya gugus penyerap (kromofor) Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengaruh pelarut Spketrum serapan UV senyawa-senyawa sediaan sebagian tergantung pada pelarut yang digunakan untuk melarutkan sediaan. Suatu senyawa dapat menyerap sinar UV dalam jumlah yang maksimal disatu pelarut dan akan meyerap secara minimal dipelarut yang lain.
3. Pengaruh Suhu Suhu rendah menawarkan pita serapan senyawa-senyawa obat yang lebih tajam dibandingkan suhu kamar. 4. Ion-ion anorganik 5.
Pengaruh Ph pH pelarut dalam mana solut terlarut didalamnya dapat mempunyai suatu
pengaruh yang penting dalam spektrum. 2.4.2. Instrumentasi Spektrofotometri Ultraviolet Komponen-komponen sederhana spektrofotometer ultraviolet meliputi: 1. Sumber sinar Untuk senyawa-senyawa yang menyerap dispektrum daerah ultraviolet, digunakan lampu deuterium. Deuterium merupakan salah satu isotop hydrogen, yang mempunyai satu netron lebih banyak dibanding hydrogen biasa dalam inti atomnya. Suatu lampu deuterium merupakan sumber energi tinggi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang 200-370 nm dan digunakan untuk semua spektroskopi dalam daerah spektrum ultraviolet.
Universitas Sumatera Utara
2. Monokromator Pada
kebanyakan
pengukuran
kuantitatif,
sinar
harus
bersifat
monokromatik, yakni sinar dengan satu panjang gelombang tertentu. Hal ini dicapai dengan melewatkan sinar polikromatik (yakni sinar dengan beberapa panjang gelombang) melalui suatu monokromator.
3. Detektor Setelah sinar melalui sampel, maka penurunan intensitas apapun yang disebabkan oleh absorpsi diukur dengan suatu detector (Rohman, 2012).
Universitas Sumatera Utara