TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan antara habitat-habitat yang bertentangan. Untuk menghadapi lingkungan yang unik
ini maka makhluk hidup yang hidup di lingkungan ini yang
mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Kemampuan adaptasi ini dapat dilihat pada sejumlah mangrove yang termasuk ke dalam suku yang berbeda. Mangrove hidup pada tanah yang miskin zat asam, sedangkan zat asam dari tanah diperlukan untuk respirasi akar. Untuk mengatasi hal ini, anaerobik mangrove memiliki akar nafas yang tumbuh di permukaan tanah. Dalam lingkungan yang serba berat ini, sangat sulit untuk tumuh-tumbuhan mangrove berkembang biak seperti tumbuh-tumbuhan biasa. Suatu penyesuaian perkembangan biakan yang disebut viviparitas (Zamroni dan Immy, 2001). Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir laut yang besar dimana salah satunya adalah hutan mangrove. Ciri khas dari hutan mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Akan tetapi, kondisi mangrove tersebut baik secara kualitatif maupun kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Penurunan kualitas mangrove menjadi perhatian serius seiring dengan penyusutan luasnya. Perubahan kerapatan tajuk merupakan salah satu indikasi untuk memantau kualitasnya (Purwanto, 2014). Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari gabungan komponen daratan dan komponen laut, dimana termasuk didalamnya
Universitas Sumatera Utara
flora dan fauna yang hidup saling bergantung satu dengan yang lainnya. Mangrove juga didefinisikan sebagai ekosistem hutan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam pada daerah intertidal di sepanjang garis pantai (Pratiwi, 2009). Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut baik pantai berlumpur atau berpasir. Mangrove sebagai karaktersitik formasi tanaman littoral tropis dan sub tropis di sekitar garis pantai yang terlindung. Bakau adalah suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak dengan kemampuan untuk tumbuh di perairan asin. (Saefurahman, 2008). Ekosistem mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup beradaptasi pada lingkungan pesisir yang sangat ekstrim, tapi keberadaannnya rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan adanya tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang berasal dari manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata dan pencemaran (Pratiwi, 2009). Fungsi Mangrove Mangrove sangat erat kaitannya dengan fungsi ekologis. Berjenis-jenis biota laut hidup di sini sangat bergantung dengan keberadaan hutan mangrove. Perairan tempat populasi mangrove berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan berjenis-jenis hewan air seperti ikan, udang, kerang, dan bermacam-macam
Universitas Sumatera Utara
kepiting yang kesemuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi. Namun tak kalah pentingnya, kontribusi yang paling penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Ia merupakan sumber bahan organik penting dalam peristiwa rantai makanan akuatik (Idha, 2011). Fungsi fisik dari hutan mangrove di antaranya: 1) sebagai pengendali naiknya batas antara permukaan air tanah dengan permukaan air laut ke arah daratan (intrusi), 2) sebagai kawasan penyangga, memacu perluasan lahan dan 3) melindungi garis pantai agar terhindar dari erosi atau abrasi. Kawasan hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hubungan pengaruh pasang surut yang menggenangi pada aliran sungai yang terdapat di sepanjang pesisir pantai. Sebagai sebuah hutan, hutan mangrove terdiri dari beragam organisme yang juga saling berinteraksi satu sama lainnya (Purwanto, 2014). Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Sedangkan, fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).
Zonasi Mangrove Spesies-spesies tumbuhan mangrove dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai. Jalur tersebut disebut juga zonasi
Universitas Sumatera Utara
vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan mangrove masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut: 1. Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Avicennia spp. dan Sonneratia spp. 2. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Rhizophora spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Bruguiera spp., Ceriops spp., dan Xylocarpus spp. 3. Jalur tancang yang terbentuk oleh spesies tumbuhan Bruguiera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras spp. 4. Jalur transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah yang umumnya adalah hutan nipah dengan spesies N. fruticans (Indriyanto, 2006).
Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi perairan yang mempengaruhi mangrove terdiri dari suhu, pH, salinitas dan oksigen terlarut (DO). Suhu Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Suhu yang tinggi dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa. Pengaruh secara tidak langsung adalah dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang mempengaruhi distribusi fitoplankton (Shaleh, dkk., 2012).
Universitas Sumatera Utara
Jumlah nutrien terlarut di daerah tropis relatif lebih banyak karena suhu yang hangat memacu proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme enzimatis, sehingga berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan memacu enzim untuk mengkatalis proses fotosintesis. Namun, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan
degradasi
enzim
dan
penghambatan
fotosintesis
(Pitoyo dan Wiryanto, 2002).
Derajat Keasaman (pH) Nilai pH adalah nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. pH didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH=log 1/H+, dimana H+ adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan.
Kemampuan air untuk mengikat atau
melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi. Nilai pH lebih kecil dari 7 berindikasi
Universitas Sumatera Utara
terganggunya perairan tersebut. Nilai pH rendah dalam suatu perairan ditandai dengan
semakin
meningkatnya
senyawa
organik
di
perairan
tersebut
(Simanjuntak, 2012).
Salinitas Kumpulan ion-ion umumnya dikenal sebagai salinitas. Salinitas wilayah estuarin di daerah tropis umumnya cukup rendah karena banyaknya muara sungai yang mengalir, dan adanya curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun. Fluktuasi salinitas di estuarine menyebabkan organisme yang dapat hidup disini umumnya adalah organisme yang dapat tahan terhadap perubahan salinitas yang besar (euryhaline) (Hutabarat, 2001).
Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut dipengaruhi faktor seperti tekanan uap air dan salinitas. Oksigen larut di kolom air dengan berbagai reaksi dan proses-proses kimia yang berlangsung di perairan, namun fluktuasi suhu akan menimbulkan perubahan konsentrasi oksigen terlarut di perairan.Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan dari proses hidup dan kehidupan biota. Nilai guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktivitas yang ada di sekitar perairan tersebut. Selanjutnya, kualitas air di sekitar muara sungai dan perairan pantai ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk bahan organik, anorganik, dan bahan-bahan tersuspensi (Purba dan Khan, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas, dibandingkan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volum. Apabila oksigen terlarut sedikit dalam perairan, maka di dalam perairan tersebut akan terjadi kompetisi dalam perebutan oksigen untuk kebutuhan respirasi dan metabolisme dalam tubuhnya (Hutabarat, 2001). Air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologis organisme air terutama adalah dalam proses respirasi. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya, air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfir dan melalui kegiatan dari semua organisme air (Barus, 2004).
Pengertian Logam Berat Logam berat pada umumnya bersifat toksik dan berbahaya bagi organisme hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Baik secara langsung maupun tidak langsung toksisitas dari polutan tersebut kemudian yang menjadi pemicu terjadinya pencemaran pada lingkungan sekitarnya. Apabila kadar logam berat sudah melebihi ambang batas yang ditentukan dapat membahayakan bagi kehidupan (Supriatno dan Lelifajri, 2009). Selain bersifat racun, logam berat di perairan dapat terakumulasi dalam sedimen yang pada gilirannya juga dapat terakumulasi dalam organisme.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun keberadaan logam-logam ini ditemui di semua kompartemen lingkungan, namun implikasinya di polutan air karena bagian kontaminan sangat signifikan berada dalam tanah yang akhirnya akan dilepaskan ke kumpulan air (Ismarti, 2016). Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan (nondegradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan. Logam berat terutama mengendap di dasar perairan dan membentuk senyawa komplek bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Djuangsih dkk, 1982).
Timbal (Pb) Timbal (Pb) merupakan salah satu logam yang termasuk ke dalam unsur golongan utama, yaitu termasuk golongan IV A. Pb dapat larut dalam asam nitrat encer, tidak dapat larut dalam air, dapat larut dalam jangka waktu yang lama. Pb merupakan salah satu unsur yang tahan terhadap korosi, relatif tidak dapat tembus oleh cahaya radiasi serta tidak dapat menyala (Milasari, 2016). Secara alamiah, Timbal (Pb) masuk ke dalam perairan melalui pengkristalan di udara dengan bantuan air hujan dan proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin. Masuknya Pb ke dalam perairan akan meningkatkan konsentrasinya, sehingga menyebabkan bioakumulasi dan biomagnifikasi pada biota (Andin dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Mangrove Tumbuhan mangrove mempunyai kecenderungan untuk mengakumulasi logam-logam berat yang terdapat dalam ekosistem tempat tumbuhnya. Kemampuan akumulasi logam berat tersebut berbeda untuk setiap spesies. Salah satu spesies tumbuhan mangrove yang mampu mengakumulasi logam berat adalah Avicennia marina (Panjaitan, 2009). Mekanisme yang terjadi pada A. marina untuk mengurangi toksisitas logam berat adalah menyimpan banyak air sehingga dapat mengencerkan konsentrasi
logam
berat
dalam
jaringan
tubuhnya.
Spesies
ini
dapat
dikembangkan sebagai pengendalian pencemaran logam berat di wilayah pesisir. A. marina juga dapat digunakan sebagai indikator biologis lingkungan yang tercemar logam berat (Mukhtasor, 2007). Menurut Fitter dan Hay (1982), tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap ion-ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Dua sifat penyerapan ion oleh tumbuhan adalah (1) faktor konsentrasi, yaitu kemampuan dalam mengakumulasi ion sampai tingkat konsentrasi tertentu, bahkan dapat mencapai beberapa tingkat lebih besar dari konsentrasi ion di dalam mediumnya dan (2) perbedaan kuantitatif akan kebutuhan hara yang berbeda pada tiap jenis tumbuhan.
Universitas Sumatera Utara