V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat dari tiga dimensi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut : Dimensi ekologi terdiri dari : perubahan keragaman habitat; struktur relung komunitas; ukuran populasi dan struktur demografi; tingkat keragaman hutan mangrove; perubahan kualitas air; rantai makanan dan ekosistem.
Dimensi ekonomi terdiri dari :
pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; rencana pengelolaan hutan mangrove; keterlibatan stakeholder; zonasi pemanfaatan lahan mangrove; rehabilitasi hutan mangrove; hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove; peran mangrove terhadap pembangunan wilayah. Dimensi sosial terdiri dari : kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove; koordinasi antar lembaga; akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove; kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove; tingkat pendidikan masyarakat; pola hubungan antar stakeholder; pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove; peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove. Masing-masing dimensi memiliki indikator yang mencerminkan status keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing indikator pada setiap dimensi yang dikaji sesuai dengan kondisi pengelolaan ekosistem hutan mangrove saat ini, dengan mengacu pada kriteria dari konsep pembangunan berkelanjutan.
Nilai skoring masing-masing
indikator pada setiap dimensi sistem pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat dapat dilihat pada Lampiran 13. 5.1. Dimensi Ekologi Perubahan keragaman habitat yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat ditandai dengan adanya keterbukaan tajuk pohon yang besar, akibat kegiatan manusia. Berbagai aktivitas manusia dilakukan pada kawasan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti penebangan
68
pohon secara illegal untuk kebutuhan kayu bakar dan lainnya, di samping konversi lahan mangrove untuk peruntukan lainnya. Struktur relung komunitas menunjukkan adanya perubahan yang dapat dilihat dari perubahan kelimpahan relatif pada tingkat semai dan pancang dari pohon-pohon pembentuk tajuk hutan mangrove apabila dibandingkan dengan hutan mangrove yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Di samping itu kelimpahan kelompok burung tertentu hanya sebagian dapat dipertahankan dalam variasi alaminya. Ukuran populasi dan struktur demografi dari jenis-jenis tertentu tidak menunjukkan perubahan yang berarti, dan tetap dipertahankan dalam variasi alaminya. Laju pertumbuhan populasi tidak menunjukkan perubahan dibandingkan dengan hutan yang tidak terganggu. Tingkat keragaman hutan mangrove cukup beragam, sesuai dengan hasil analisis indeks keanekaragaman Shannon.
Berdasarkan hasil analisis, maka nilai
indeks keanekaragaman tertinggi di Kecamatan Kairatu (2,99), selanjutnya di Kecamatan Seram Barat (2,65) dan kecamatan Huamual Belakang (2,43). Ini berarti keanekaragaman jenis mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat termasuk sedang. Hal ini sesuai dengan klasifikasi indeks keanekaragaman Odum (1971), bahwa nilai indeks keanekaragaman antara 1 – 3 memiliki keanekaragaman sedang, dan nilai indeks keanekaragaman lebih dari 3 merupakan keanekaragaman yang tinggi. Berdasarkan data di atas maka dapat dikatakan bahwa ekosistem hutan mangrove di wilayah ini sudah mendapat tekanan ekologis, akibat dari berbagai intervensi manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Tupan (2000) bahwa ekosistem hutan mangrove di wilayah Teluk Kotania Kecamatan Seram Barat sudah mengalami degradasi akibat dari berbagai intervensi manusia. Tidak terjadinya perubahan kualitas air menunjukkan bahwa kondisi perairan mangrove sangat baik, sehingga kelimpahan dan keragaman organisme akuatik tetap dipertahankan. Disamping itu komposisi fisika kimia perairan mangrove juga sangat baik. Dari hasil pengukuran suhu di lapangan, terlihat bahwa rata-rata suhu berkisar antara 27 – 320 C. Perbedaan suhu pada setiap stasiun pengamatan berkaitan dengan perbedaan radiasi matahari terhadap pemanasan perairan.
Walaupun demikian
kisaran suhu tersebut masih termasuk kisaran suhu pada perairan tropik. Mangrove yang terdapat di daerah tropik membutuhkan suhu di atas 200 C sebagai suhu yang
69
esensial untuk pertumbuhan yang baik (Kennish, 1990 dalam Kusmana, 1997). Derajat keasaman (pH) pada tiga kecamatan berkisar antara 7,8 – 8,2. Berdasarkan pendapat Islami dan Utomo (1995) bahwa pH dengan kisaran 5,0 -8,0 berpengaruh langsung pada pertumbuhan akar, dan di luar kisaran tersebut kebanyakan tanaman tidak dapat hidup.
Di samping itu kandungan oksigen terlarut (DO) merupakan
faktor penting bagi keberadaan tumbuhan dan hewan mangrove, khususnya pada proses respirasi dan fotosintesis. Kandungan DO di lokasi penelitian berkisar antara 6,7 – 8,7. Rantai makanan dan ekosistem mangrove tidak terkontaminasi dengan bahan kimia. Pada ekosistem mangrove komponen dasar dan rantai makanan terdiri dari : daun, ranting, buah, dan batang, yang merupakan sumber bahan organik penting dalam rantai makanan pada perairan. Sumber bahan organik ini dimanfaatkan secara langsung oleh fitoplankton sebagai dasar di dalam rantai makanan, untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh biota laut yang hidup berasosiasi dengan komunitas mangrove tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan mangrove masih
sangat baik di lokasi penelitian. 5.2. Dimensi Ekonomi Pemanfaatan mangrove oleh masyarakat lokal di lokasi penelitian tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai manfaat langsung hutan mangrove pada setiap bentuk pemanfaatan secara spesifik. Nilai manfaat langsung yang diperoleh dari setiap kegiatan sebesar Rp 7.445.373,01 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional dari masyarakat sebesar Rp 4.348.114,94 per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp.3.097.258,07 per hektar per tahun. Rencana pengelolaan hutan mangrove tidak tersedia di lokasi penelitian. Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai instansi yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan mangrove sampai saat ini belum menetapkan rencana pengelolaan hutan mangrove, sehingga tidak ada acuan yang jelas dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut. Dalam konteks pengembangan hutan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dikoordinasi secara resmi dalam rencana tata ruang daerah dan merupakan rencana tata ruang kabupaten.
70
Rencana tersebut harus disusun berdasarkan survei yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya mangrove yang ada dan mendengar aspirasi masyarakat melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan (Alikodra, 1999). Hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove tidak tersedia di lokasi penelitian. Berbagai peta yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya mangrove tidak disediakan oleh dinas terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya pemanfaatan mangrove masih didominasi oleh masyarakat lokal tanpa membutuhkan data inventarisasi pemanfaatan tersebut.
Di samping itu zonasi
pemanfaatan lahan mangrove untuk berbagai tujuan pengelolaannya juga belum tersedia. Adanya zonasi pemanfaatan lahan mangrove sangat penting, karena dapat menghindari terjadinya konflik pemanfaatan lahan antar stakeholder. Pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian kurang melibatkan berbagai stakeholder yang terkait. Masyarakat lokal lebih berperan dalam pemanfaatan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan peran pemerintah baru terlihat melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang telah dilakukan secara bertahap. Tujuan rehabilitasi hutan mangrove adalah untuk mengembalikan hutan mangrove kepada fungsi lindungnya. Kegiatan tersebut sejalan dengan peraturan perundangan sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 13 (j) tentang Pemda, yang menyebutkan bahwa urusan wajib menjadi kewenangan daerah salah satunya adalah pengendalian lingkungan hidup.
Selanjutnya pasal 22 (k)
dinyatakan bahwa
pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup. Pemerintah dan masyarakat telah melakukan kegiatan rehabilitasi lahan mangrove di beberapa lokasi penelitian khususnya di Kecamatan Seram Barat.
Luas lahan
mangrove yang sudah direhabilitasi sampai dengan tahun 2007 sebesar 23 hektar. Peran mangrove terhadap pembangunan wilayah cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari gambaran struktur ekonomi wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat yang berada di sektor pertanian dan perikanan. Peranan sektor pertanian yang dominan tersebut dalam struktur perekonomian Seram Bagian Barat didukung oleh sub sektor kehutanan yang memberikan kontribusi sebesar 6,08%. Sedangkan sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 16,20%. Sektor perikanan merupakan salah satu penunjang dalam peningkatan PDRB, sehingga kondisi ini memberikan motivasi bagi
71
pemerintah daerah untuk dapat mengelola semua potensi sumberdaya alam pesisir secara optimal. Untuk mempertahankan sektor perikanan tetap berkelanjutan harus didukung oleh ekosistem mangrove yang mempunyai tingkat stabilitas yang tinggi.
5.3. Dimensi Sosial Kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove sangat menentukan arah tujuan perencanaan dan pengembangan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kondisi ini harus ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam upaya menghindari terjadinya kerusakan mangrove dalam jumlah yang lebih besar. Dalam upaya pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan, perlu adanya koordinasi antar lembaga terkait yang dapat terakomodasi dalam suatu wadah koordinatif. Semua elemen lembaga yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove duduk secara bersama dan mewakili masing-masing lembaga pada wadah kelembagaan koordinatif untuk dapat merumuskan kebijakan pengelolaannya. Kelembagaan berfungsi untuk melakukan pengaturan pemanfaatan dan pemeliharaan sumberdaya agar berkelanjutan (sustainable). Menurut Soetrisno (1995), pemerintah harus merevitalisasi dan mereform lembaga untuk dapat berfungsi secara efektif dengan menyesuaikan pada budaya dan nilai-nilai yang dimiliki dalam organisasi. Budaya dan nilai-nilai antar organisasi dalam melaksanakan perumusan perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengendalian berbentuk kebersamaan. Kebersamaan menjadi faktor penting untuk memberikan kejelasan tugas dan fungsi serta kewenangan dari masing-masing lembaga atau sektor yang terlibat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian. Adanya kekosongan kelembagaan tersebut berarti kepentingan berbagai stakeholder untuk meminimalkan kerusakan mangrove tidak terpenuhi dengan baik. Masyarakat di sekitar hutan mangrove memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan berupa hasil hutan kayu dan hasil perikanan. Hasil kayu hanya digunakan masyarakat untuk kayu bakar, sebagai bahan bangunan dan untuk pembuatan bagan. Sedangkan hasil perikanan seperti : ikan, udang dan kepiting dijual dan sebagian
72
dikonsumsi masyarakat. Dengan demikian hasil hutan mangrove cukup memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan keluarga masyarakat di sekitar hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap hutan mangrove tinggi. Hal ini seperti dikatakan Parawansa (2007) bahwa pengelolaan hutan mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti
pentingnya pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian masih tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan hasil analisis deskriptif yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang tidak
tamat
sekolah 27,63 %, tamat sekolah dasar
33,33 %, tamat sekolah lanjutan pertama 21,49 %, tamat sekolah lanjutan atas 12,28 % dan tamat perguruan tinggi 5,26 %. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pemahaman, kepedulian dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove menjadi rendah. Oleh karena itu pendidikan informal terhadap masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk lebih memperluas wawasan dengan membekali pengetahuan dan ketrampilan yang memadai agar masyarakat dapat meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan mangrove. Pendidikan informal dapat dilakukan melalui bentuk penyuluhan atau pelatihan kepada masyarakat atau kelompok swadaya masyarakat lainnya. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya hutan mangrove masih rendah di lokasi penelitian. Masyarakat yang tidak memahami dampak dari kerusakan sumberdaya hutan mangrove tentu akan memiliki tingkat kepedulian dan kesadaran yang rendah untuk melestarikannya. Peranserta masyarakat secara langsung dalam setiap kegiatan pembangunan merupakan bentuk interaksi sosial. Peranserta masyarakat sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan dalam pembangunan di setiap sektor. Soetrisno, (1995) menyatakan bahwa peranserta masyarakat merupakan kerjasama yang erat antara
perencana
dan
masyarakat
dalam
merencanakan,
mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
melestarikan
dan
Adanya peranserta
73
masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove juga dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat. Namun dengan adanya sosialisasi tentang pentingnya rehabilitasi mangrove untuk kepentingan pelestariannya memotivasi masyarakat untuk bermitra dengan pemerintah dalam kegiatan tersebut. Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang pelestarian lingkungan mangrove tentu saja akan timbul rasa tanggung jawab untuk memanfaatkannya secara lestari. Namun pengetahuan masyarakat
tentang hutan
mangrove masih rendah di lokasi penelitian. Pengetahuan masyarakat yang masih rendah ini perlu ditingkatkan dengan cara melakukan program penyuluhan di masyarakat dan memasukkan materi muatan lokal tentang lingkungan dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat dasar. Kerusakan sumberdaya hutan mangrove terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan tersebut. Aktivitas masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove secara illegal untuk kebutuhan individu maupun konversi lainnya mengakibatkan terjadi kerusakan hutan mangrove. Hasil analisis perubahan penutupan lahan yang didasarkan pada overlay data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2003 dan tahun 2005 menunjukkan perbedaan penutupan lahan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada tahun 2003 luasan lahan mangrove sebesar 2363,3 ha, sedangkan tahun 2005 luasan lahan mangrove menjadi 2189,3 ha.
74