3
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Lahan Rawa Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun selalu jenuh air atau tergenang air dangkal. Swamp adalah istilah umum untuk rawa yang menyatakan wilayah lahan atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun. Lahan rawa juga merupakan lahan basah (wetland), yang menurut definisi Ramsar Convention salah satunya mencakup lahan gambut (peatland) yang terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak atau mengalir, baik air tawar, payau maupun asin (Wibowo dan Suyatno, 1997). Vegetasi yang tumbuh pada wilayah rawa dalam kondisi alami terdiri atas jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa gambut atau hutan gambut (Subagyo, 2006). Hutan rawa gambut adalah hutan yang tumbuh di atas lapisan gambut, yaitu tumpukan bahan organik yang sedikit terurai dengan tebal 1-20 m dan digenangi air gambut yang berasal dari air hujan yang rata-rata miskin unsur hara (Soerianegara, 1977). Hutan rawa gambut di Indonesia kebanyakan berada pada lahan pasang surut di kawasan pantai dan sebagian berada pada rawa-rawa atau danau, baik danau pegunungan maupun danau dataran rendah. Gambut di rawarawa merupakan gambut topogen, sedangkan gambut pasang surut yang tergolong gambut ombrogen banyak terdapat di pantai Timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung) (Istomo, 1992).
Pengertian Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari sisa-sisa tanaman masa lampau yang berdasarkan kriteria USDA (1998) digolongkan ke dalam order Histosol. Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat di atasnya, umumnya terbentuk di daerah yang memiliki topografi yang rendah, bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan organik tinggi, dengan kandungan C-organik >12%, dan kedalaman gambut
4
minimun 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem Klasifikasi FAO Unesco (1994), di mana tanah gambut merupakan tanah yang mengandung bahan organik lebih besar dari 30%, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih, di bagian 80 cm teratas pada profil tanah (Rina et al., 2007). Wijdjaja-Adhi
(1988)
menggolongkan
tanah
gambut
berdasarkan
ketebalan bahan gambut. Tanah yang memiliki ketebalan gambut kurang dari 50 cm disebut sebagai tanah bergambut. Kemudian tanah gambut dibedakan atas ketebalan gambut, yaitu gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut sangat dalam (>300 cm). Menurut Hartatik dan Suriadikarta (2006), berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut juga dapat dikelompokkan menjadi: (a) gambut pantai atau pasang surut, yaitu gambut yang dominan dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (b) gambut pedalaman, yaitu gambut yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (c) gambut peralihan (transisi), yaitu gambut yang terdapat di antara gambut pantai dan gambut pedalaman. Gambut pantai merupakan gambut yang dipengaruhi oleh lingkungan marin atau air laut dan pada lapisan bawah gambut dijumpai tanah mineral liat, dan vegetasi asal mangrove. Gambut pedalaman merupakan gambut yang dipengaruhi oleh lingkungan yang bergantung pada keadaan iklim atau curah hujan dan sangat miskin unsur hara serta mempunyai vegetasi hutan kayu-kayuan berdaun lebar (Angiospermae). Gambut transisi memiliki sifat diantara gambut pantai dan pedalaman serta mempunyai vegetasi hutan mangrove dan kayukayuan berdaun lebar (Angiospermae) (Sabiham, 1986). Gambut juga merupakan sumberdaya alam yang memiliki banyak kegunaan, antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan, akuakultur, bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan. Menurut Radjagukguk (2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan atas, (1) Biodiversitas atau keragaman hayati yang khas dengan kekayaan flora dan fauna; (2) Fungsi hidrologisnya, yaitu sebagai penyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar, dimana satu juta lahan gambut tropika setebal 2 meter diperkirakan dapat menyimpan 1,2 juta m3 air; (3) Sifatnya yang rapuh, karena dengan aktivitas pembukaan lahan dan
5
drainase (reklamasi) akan mengalami pengamblesan (subsidence), percepatan penguraian (dekomposisi) dan sifat kering tidak balik (irreversible drying), serta rentan terhadap bahaya erosi; (4) Sifatnya tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5.000-10.000 tahun untuk pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga perkiraan laju pembentukannya adalah 1cm/ 5 tahun, di bawah vegetasi hutan; (5) Bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, dengan bentuk lahannya seperti kubah, dalam keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah, serta sifat fisika dan kimianya yang sangat berbeda dengan tanah-tanah mineral.
Pembentukan, Bahan Asal dan Penyusun Gambut Tropika Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapislapis hingga mencapai ketebalan >30 cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik, seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1986). Pembentukan gambut di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan terjadi pada masa glasial, di mana pencairan es menyebabkan peningkatan muka air laut dan Sunda Shelf tergenang oleh air yang kemudian membentuk rawa-rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, sehingga bahan-bahan organik menjadi terakumulasi (Barchia, 2006). Proses pembentukan gambut yang diakibatkan oleh kondisi air tergenang disebut sebagai paludifikasi. Hasil penelitian Andriesse (1988) menunjukkan bahwa gambut di daerah tropika berumur kurang dari 10.000 tahun. Gambut di kepulauan Riau dan Teluk Keramat diperkirakan berumur 2.000-6.000 tahun (Neuzil, 1997 dalam Noor, 2001). Bahan gambut tropika Indonesia berasal dari bahan organik yang terakumulasi dalam kondisi anaerob. Kondisi anaerob disebabkan oleh air yang menggenangi bahan organik secara terus-menerus sehingga terbentuk lapisan bahan organik. Lapisan bahan organik ini makin lama makin tebal, sehingga pada ketebalan 40 cm dapat disebut tanah gambut (Soil Survey Staff, 1999). Bahan organik tanah adalah akumulasi dari sisa tumbuhan dan hewan. Bahan organik dapat terdekomposisi baik secara lambat maupun terus-menerus. Fraksi bahan organik yang telah terdekomposisi disebut sebagai humus (Tan, 1995).
6
Tanah gambut tropika sangat dipengaruhi oleh karakteristik iklim seperti curah hujan yang tinggi, evapotranspirasi dan rata-rata temperatur harian yang tinggi. Karakteristik iklim berpengaruh langsung terhadap karakteristik rawa gambut seperti hidrologi, dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap species tumbuhan yang mendominasinya (Andriesse, 1988). Tumbuhan yang nampak pada tanah gambut di Indonesia menurut Poerwowidodo (1990) adalah tumbuhan berkayu, rerumputan teki, semak glagah, rerumputan mendong (purun) dan semak atau hutan paku-pakuan. Menurut Istomo (1992) flora hutan rawa gambut terdiri atas jenis Palmae, Pandanus, Podocarpus dan wakil-wakil dari kebanyakan family Dipterocarpaceae, tetapi banyak dari jenis-jenis tersebut khas dari tipe vegetasi hutan rawa gambut. Jumlah jenis di dalam hutan gambut relatif terbatas, di daerah Sumatera terdapat 100 jenis. Vegetasi asal gambut tropika disusun atas vegetasi kayu berdaun lebar (Angiospermae) dan vegetasi kayu berdaun jarum (Gymnospermae) dengan kandungan lignin yang dominan (Timell, 1964 dalam Riwandi, 2001). Fisiografi atau ekosistem tempat pembentukan gambut (pantai, transisi dan pedalaman) sangat menentukan sifat-sifat bawaan gambut. Sifat-sifat bawaan gambut adalah sifat yang melekat pada gambut, seperti kadar air, kadar serat, kadar C-organik, kadar N, dan sifat kering tidak balik (Riwandi, 2001). Gambut yang terdiri atas vegetasi mangrove dapat dijumpai di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan proses pembentukannya, gambut dapat dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen. Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah hujan. Gambut ombrogen digolongkan juga sebagai gambut oligotrofik dan sebagian mesotrofik. Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi dan air tanah. Jenis gambut topogen juga disebut sebagai gambut eutrofik (Noor, 2001). Komposisi kimia penyusun bahan gambut berpengaruh terhadap sifat-sifat bawaan bahan gambut. Gambut terdiri atas bahan yang tahan dan mudah mengalami proses penguraian (dekomposisi). Bahan gambut yang tahan terdekomposisi menghasilkan bahan humus yang stabil, sedangkan bahan gambut
7
yang mudah terdekomposisi menghasilkan bahan yang tidak stabil. Contoh bahan humus yang stabil adalah asam humat dan asam fulvat, sedangkan bahan yang tidak stabil adalah senyawa-senyawa antara (intermediate compounds) seperti asam-asam karboksilat dan fenolat (Riwandi, 2001). Bahan gambut tropika Indonesia berasal dari hutan kayu-kayuan dengan kandungan lignin yang tinggi, sedangkan bahan gambut Eropa berasal dari lumut Spagnum sp. dengan kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi (Polak, 1975). Tanaman hutan kayu-kayuan mengandung senyawa C-alkil, C-aromatik, C-fenolik, dan C-karbonil lebih banyak daripada tanaman lumut. Bahan gambut dengan kandungan lignin yang tinggi tahan terdekomposisi (Gregorich et al., 1996).
Tingkat Dekomposisi dan Humifikasi Bahan Gambut Gambut dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat dekomposisi, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Bahan fibrik merupakan bahan gambut yang masih mentah, biasanya diendapkan di lapisan bawah. Bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan dapat diidentifikasi asal botaninya. Bahan hemik dan saprik merupakan bahan gambut yang separuh matang dan sangat matang, biasanya ditemukan di atas lapisan bahan fibrik. Bahan fibrik berada di lapisan bawah, sedangkan bahan hemik di tengah, dan bahan saprik di atas dalam profil tanah sebab bahan gambut yang dibentuk pertama kali bersifat fibrik. Bahan fibrik berada dalam keadaan tergenang yang suatu saat mengalami pengeringan sehingga terdekomposisi menjadi bahan hemik dan bahan saprik (Sabiham, 1989). Gambut fibrik, hemik dan saprik berturut-turut memiliki kandungan serat <2/10 atau <1/6 bagian volume, 2/10-4/10, dan >4/10. Analisis indeks pirofosfat (IP) adalah uji warna gambut untuk mendukung penetapan tingkat dekomposisi gambut dengan cara menetapkan selisih value dan chroma dalam hue 10 YR dengan menggunakan buku Munsell Soil Color Chart. Gambut fibrik mempunyai IP ≥7/1, 7/2, 8/1, 8/2, atau 8/3. Gambut saprik mempunyai IP 5/1, 6/2, dan 7/3 (Soil Survey Staff, 1999).
8
Humus adalah senyawa kompleks amorfus yang bersifat koloidal dan resisten terhadap pelapukan, hasil modifikasi dan sintesis mikrob tanah. Humus tanah gambut memiliki hubungan erat dengan tingkat dekomposisi bahan gambut yang membentuknya. Jumlah humus terekstraksi dari bahan gambut akan meningkat apabila proses dekomposisi bahan gambut terus berlanjut. Bahan gambut yang tahan terdekomposisi menghasilkan bahan humus yang stabil yaitu asam humat dan asam fulvat. Asam humat dan asam fulvat dihasilkan bahan gambut melalui proses humifikasi (Barchia, 2006). Tingkat humifikasi bahan gambut menunjukkan sejumlah bahan humus yang terekstraksi dari bahan gambut (Tsutsuki dan Kondo, 1995). Asam humat mengandung senyawa aromatik lebih banyak daripada asam fulvat. Asam fulvat mengandung senyawa alifatik lebih banyak daripada asam humat (Ricca dan Severini, 1993). Penetapan tingkat humifikasi bahan organik melalui penetapan rasio E400/E600 telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Nilai rasio E400/E600 menunjukkan rasio konsentrasi asam fulvat dan asam humat. Nilai E400 adalah nilai absorban spektrofotometri pada panjang gelombang 400 nm, yang menunjukkan konsentrasi asam fulvat, sedangkan nilai E600 merupakan nilai absorban spektrofotometri pada panjang gelombang 600 nm yang menunjukkan konsentrasi asam humat. Konsentrasi asam fulvat yang dominan menunjukkan tingkat humifikasi gambut yang belum berkembang lanjut yang artinya bahan gambut masih dalam kondisi mentah, sedangkan konsentrasi asam humat yang dominan menunjukkan tingkat humifikasi gambut yang telah berkembang lanjut (Riwandi, 2001). Bila rasio E400/E600 ≥8, bahan gambut mengandung asam fulvat yang dominan, sedangkan rasio E400/E600 berkisar 3-5 menunjukkan bahan gambut mengandung asam humat yang dominan (Tan dan Giddens, 1972). Menurut Stevenson (1994) rasio E400/E600 >6,5 menunjukkan konsentrasi asam fulvat yang dominan daripada asam humat, sedangkan rasio E400/E600 <5 menunjukkan konsentrasi asam humat lebih dominan daripada asam fulvat. Apabila rasio E400/E600 berada di antara kedua nilai E400/E600 tersebut, berarti terjadi keseimbangan konsentrasi asam fulvat dan asam humat di dalam bahan gambut.
9
Kadar C-organik Gambut Kandungan karbon bahan organik gambut dapat bervariasi dari 12 sampai 60 persen. Ekono (1981 dalam Andriesse, 1988), dalam tinjauannya mengenai gambut sebagai sumber energi, menunjukkan nilai-nilai C-organik sebesar 48%50% pada gambut fibrik, 53%-54% pada gambut hemik, dan 58%-60% pada gambut saprik. Meskipun gambut-gambut yang sangat terdekomposisi memiliki nilai-nilai C-organik lebih tinggi daripada gambut yang kurang terdekomposisi, tetapi perbedaannya dalam dekomposisi tidak pernah lebih dari 10%.
Kemasaman Gambut Kemasaman (pH) tanah-tanah organik berkaitan dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, aluminium dan hidrogen yang dapat dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lainnya yang dapat dioksidasi. Kisaran kemasaman dalam bahan-bahan organik sangat lebar. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik biasanya bersifat masam atau sangat masam dengan kisaran pH dari 3,0 sampai 4,5. Variasi dalam kisaran ini disebabkan oleh pencampuran tanah mineral yang biasanya meningkatkan pH atau karena adanya lokasi spesifik di dalam rawa gambut tersebut. KTK (Kapasitas Tukar Kation) juga sangat bergantung pada nilai pH, karena ion hidrogen tetap terkait erat atau terikat dengan gugus fungsional di dalam bahan-bahan asam dan tidak menunjukkan sifat-sifat pertukaran (Andriesse, 1988). Hasil pengamatan pH-H2O pada gambut ombrogen yang tidak terganggu (undisturbed) di kawasan Sebangau (Kalimantan Tengah) menunjukkan rata-rata sebesar 3,56. Nilai pH bagian dasar mendekati lapisan mineral lebih tinggi dua unit (Rieley et al., 1996). Gambut Indonesia yang berasal dari kayu, yang didominasi oleh lignin cenderung memiliki nilai pH yang rendah (Salampak, 1999). Tingkat kemasaman gambut dalam relatif lebih tinggi daripada gambut dangkal. Gambut dangkal memiliki pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1-3,9 (Subagyo, 1997).
10
Kandungan Hara Makro dan Kaitannya dengan Kesuburan Gambut Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin hara yang digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Barchia, 2006). Gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut. Air pasang surut mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari daratan karena terbawa oleh aliran air sungai pada waktu banjir atau berasal dari lautan karena naiknya air laut pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974). Tanah gambut yang memiliki ketebalan tinggi atau mencapai >3 meter umumnya tidak subur, karena vegetasi pembentuknya terdiri atas vegetasi yang miskin unsur hara, yaitu tanaman dan pepohonan dengan kadar abu tinggi yang memiliki sifat sulit terdekomposisi (Rismunandar, 2001). Tanah gambut memiliki kadar hara yang relatif rendah, baik unsur makro maupun mikro, jika dibandingkan dengan tanah mineral. Umumnya kadar hara dalam gambut lebih rendah pada bagian bawah dibandingkan lapisan atas, karena sebagian besar unsur tersebut terlibat dalam daur hara dan kebanyakan tersimpan dalam vegetasi setempat (Driessen, 1978). Kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor, yaitu ketebalan lapisan gambut dan tingkat dekomposisinya, komposisi tanaman penyusun gambut, dan tanah mineral yang berada di bawah lapisan tanah gambut (Andriesse, 1974). Menurut (Hardjowigeno, 1996), tingkat kesuburan gambut dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut yang ditentukan oleh sifat, bahan penyusun, dan tingkat dekomposisinya. Semakin tinggi tingkat kematangan gambut maka akan semakin baik sifat fisik kimia tanahnya.
Kadar Nitrogen Gambut Kadar Nitrogen pada tanah gambut kayu-kayuan berkisar 0,3%-4,0% dan untuk gambut tropika Indonesia berkisar 1-2% dan hanya sekitar separuh yang dapat diserap oleh tanaman (Lucas, 1982 dalam Noor, 2001). Kandungan N yang menurun menurut kedalaman merupakan sifat umum gambut (Andriesse, 1988). Kadar Nitrogen relatif lebih tinggi pada lapisan atas dibandingkan lapisan bawah
11
(Noor, 2001). Berdasarkan data evaluasi bahan gambut Sumatera dan Kalimantan dalam Subagyo (2006), gambut dangkal (50-100 cm) dan gambut sedang (104200 cm) memiliki kandungan total Nitrogen yang bervariasi dari sedang sampai tinggi, cenderung tetap atau sedikit menurun pada lapisan bawah, dengan rata-rata sangat tinggi pada gambut dangkal (1,34-1,50%) dan gambut sedang (1,461,78%) di lapisan atas, kemudian tinggi sampai sangat tinggi pada gambut dangkal (0,74-1,21%) dan gambut sedang (0,72-1,10%) di lapisan bawah. Gambut dalam (210-300 cm) dan gambut sangat dalam (300-500 cm) memiliki kandungan N yang tergolong sangat tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata 0,95-1,94% pada gambut dalam dan 1,06-2,02% pada gambut sangat dalam.
Kadar Fosfor Gambut Kadar Fosfor (P) pada tanah gambut sangat beragam. Sebagian P berada dalam bentuk organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. Total P menurun hingga kedalaman 40 cm dan selanjutnya terus menurun secara bertahap, namun kadar P relatif lebih tinggi pada lapisan atas dibandingkan dengan lapisan bawah (Noor, 2001). Tanah-tanah organik dalam kondisi alami biasanya mempunyai kandungan fosfor yang sangat rendah, yaitu 0,0-0,5%, setara dengan 0,0-1,1% P2O5 dan nilai rata-rata untuk gambut oligotrofik yang umumnya dijumpai di daerah tropika adalah kurang dari 0,04%, setara dengan kurang dari 0,10% P2O5 (Andriesse, 1988). Berdasarkan kriteria tingkat kesuburan gambut, kandungan P2O5 untuk gambut eutrofik, mesotrofik, dan oligotrofik berturut-turut sebesar 0,25%, 0,20%, dan 0,05% (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Kadar Kalium Gambut Kadar Kalium (K) pada tanah gambut relatif rendah. Hasil penelitian Riwandi (2001) pada gambut Jambi dan Kalimantan Tengah menunjukkan kadar K-total dan kandungan basa-basa lain serta unsur hara mikro gambut tergolong relatif sangat rendah, sehingga gambut Jambi dan Kalimantan Tengah disebut gambut oligotrofik. Kadar K-total gambut Jambi dan Kalimantan Tengah berturutturut sebesar 0,0108-0,0488%, setara dengan 0,0129-0,0586% K2O dan 0,0109-
12
0,0541%, setara dengan 0,0131-0,0649% K2O. Berdasarkan kriteria tingkat kesuburan gambut, kandungan K2O untuk gambut eutrofik, mesotrofik, dan oligotrofik berturut-turut sebesar 0,10%, 0,10%, dan 0,03% (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).