4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tanah Gambut 2.1.1.
Pengertian Tanah Gambut
Menurut BBP2SLP (2006) tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air, tersusun dari bahan organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm. Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2009, gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob. Dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah (Soil Taxonomy) (1999), gambut tergolong ke dalam Histosol, yaitu tanah yang selalu ada dalam kondisi jenuh air atau tergenang selama 30 hari atau lebih, tiap tahun pada tahun-tahun normal (atau telah didrainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah, dan menyusun dua pertiga atau lebih dari ketebalan total tanah, dan tidak memiliki horison mineral atau memiliki lapisan horison mineral dengan ketebalan total 10 cm atau kurang. Menurut Noor (2001), berdasarkan ketebalan lapisan bahan organiknya, gambut dibagi kedalam empat kategori , yaitu :
Gambut dangkal, ketebalan lapisan bahan organik antara 50-100 cm
Gambut tengahan, ketebalan lapisan bahan organik antara 100-200 cm.
Gambut dalam, ketebalan lapisan bahan organik antara 200-300 cm.
Gambut sangat dalam, ketebalan lapisan bahan organik antara > 300 cm.
2.1.2.
Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut
Sifat-sifat kimia tanah gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik yang terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah
5
senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya (Agus dan Subiksa, 2008). Secara umum gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena miskin unsur hara dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman, namun asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Selain meracuni tanaman, asam-asam organik juga mengakibatkan pH gambut sangat rendah. Tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3.0-4.5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4.0-5.1) daripada gambut dalam (pH 3.1-3.9) (Handayani, 2008). Gambut di Indonesia pada umumnya tergolong pada tingkat kesuburan oligotrofik. Menurut Noor (2001), gambut yang tergolong ke dalam kesuburan oligotrofik yaitu gambut yang memiliki tingkat kesuburan rendah, selain itu gambut oligotrofik ditemukan pada gambut ombrogen, yaitu gambut yang tebal dan miskin unsur hara. Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa (KB) sangat rendah. Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan, atau sebaliknya. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil disosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol (Widyati dan Rostiwati, 2010).
2.1.3.
Sifat-Sifat Fisik Gambut
Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan baik dalam pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density / BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008). Menurut Widyati dan Rostiwati (2010), kadar air yang tinggi menyebabkan BD gambut menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0.1 sampai 0.2 g/cm tergantung pada tingkat dekomposisinya.
6
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang lembek. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Hal ini karena akar tunjang tanaman tidak bisa mencengkeram tanah. Akibatnya tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa, atau tanaman kehutanan misalnya Acasia crassicarpa atau Eucalyptus pellita, seringkali doyong atau bahkan roboh (Widyati dan Rostiwati, 2010). Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering . Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang yang terbakar, sehingga ketika terbakar sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan dan bisa meluas tidak terkendali (Widyati dan Rostiwati, 2010). Jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase, maka gambut akan ’kempes’ atau mengalami subsidence sehingga terjadi penurunan permukaan tanah. Bila tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Gambut tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air, sehingga pertumbuhan tanaman dan vegetasi menjadi kerdil. Penurunan permukaan gambut akibat subsiden, baik yang disebabkan oleh drainase maupun dekomposisi, akan menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air (Noor, 2001). 2.1.4.
Usaha-Usaha Perbaikan Lahan Gambut
Dengan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian di lahan gambut, dapat dilakukan berbagai usaha. Menurut Noor (2001), usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk perbaikan lahan gambut, di antaranya :
Drainase lahan gambut, penurunan dan pengendalian air untuk jangka waktu relatif lama sehingga memungkinkan aerasi pada daerah akar selama musim pertanaman.
7
Pengelolaan struktur
tanah organik pada umumnya memerlukan
pemadatan dari pada penggemburan. Pengelolaan cenderung merusak struktur semula dan tanah menjadi peka terhadap erosi angin. Oleh sebab itu pemadatan merupakan hal penting dalam pengelolaan tanah. Pemadatan tanah organik juga memungkinkan akar berhubungan lebih dekat dengan tanah dan memungkinkan air naik dari bawah.
Penambahan kapur, keadaan sangat masam dapat menyebabkan pelarutan besi, aluminium dan mangan sampai suatu tingkat sehingga mereka menjadi racun. Dalam keadaan demikian, penambahan kapur dapat mengurangi keracunan unsur tersebut.
Unsur mikro, tanah gambut tidak hanya memerlukan kalium, fosfor dan nitrogen, tetapi juga membutuhkan unsur mikro, sehingga tanah gambut menjadi lebih subur.
2.2.
Terak Baja dan Pengaruhnya terhadap Tanaman. Terak baja merupakan produk sampingan dari proses pemurnian besi cair
dalam pembuatan baja. Ada tiga jenis terak baja yang dapat dimanfaatkan dalam pertanian, yaitu blast furnance slag, basic slag, dan electric furnance slag. Susunan kimia dari terak baja berbeda-beda, baik dalam jenis unsur maupun kadarnya, tergantung pada bahan baku dan cara pembuatan baja. Terak baja umumnya mengandung unsur utama Ca dan Si, sedangkan unsur-unsur lain yang terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Mg, Al, Fe, dan Mn (Mulyadi et al, 2001) Perbedaan terak baja tersebut terdapat pada proses yang digunakan dalam pemurnian bijih besi dan alat pembakaran yang digunakan dalam pemurnian bijih besi. Proses yang digunakan dalam pemurnian bijih besi yaitu:
iron making
processes (blast furnace) dan steel making processes (Basic slag / basic oxygen slag dan electric furnace slag) (Anonim, 2010). Perbedaan tersebut dapat terlihat pada Gambar 1.
8
Gambar 1. Diagram Alur Proses Pemurnian Bijih Besi dalam Industri Baja (American Iron and Steel Institute dalam http://www. Steel.org//) Blast furnance slag merupakan produk sampingan dari biji besi yang dipanaskan 1.9000 C yang melalui iron making processes. Menurut Das S.et al. (2006), blast furnance mengandung beberapa unsur, seperti silika (30-35%), kalsium oksida (28-35%), magnesium oksida (1-6%), dan Al2O3/Fe2O3 (1825.8%). Daya netralisasi dari blast furnace slag berkisar antara 74-90 %. Electric furnace slag merupakan produk sampingan dalam pembentukan biji besi, yang telah melewati steel making process. Komposisi kimia pada electric furnace slag hampir sama dengan blast furnace slag. Daya netralisasinya antara 65-80 % ( Tisdale dan Nelson, 1997). Terak baja dalam pertanian digunakan antara lain: (1) untuk menetralkan kemasaman tanah serta menambah unsur Ca dan Mg, (2) menurunkan unsur-unsur beracun dalam tanah, (3) meningkatkan unsur fosfor dalam tanah, (4) sebagai sumber silikat (Barber, 1967 dalam Rahim, 1995). Suwarno dan Goto (1997) menyebutkan bahwa terak baja adalah bahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengapuran. Bahan kapur yang terkandung dalam
9
terak baja memungkinkan terjadinya kenaikan pH, menurunkan konsentrasi Al, Fe dan Mn dan menaikkan kandungan Ca dalam tanah . Electric furnace slag dan blast furnace slag merupakan beberapa jenis dari slag yang biasa dimanfaatkan dalam pertanian sebagai bahan amelioran untuk memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi pada tanah masam (Rahim, 1995). Menurut Barchia (2006), ameliorasi lahan gambut dengan kation bervalensi tinggi telah banyak dilakukan. Fenomena ikatan antar logam dan asam organik memungkinkan beberapa kation dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan reaktivitas
asam-asam
fenolat, sehingga tidak membahayakan tanaman.
Pemberian amelioran bahan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan produktivits tanamannya (Salampak, 1999). Penambahan terak baja pada padi di lahan gambut mampu meningkatkan bobot kering gabah bernas sebesar
65-96%
dan
meningkatkan
kandungan
basa-basa
yang
dapat
dipertukarkan seperti K, Ca, dan Mg (Hidayatulloh, 2006). Selain itu pemanfaatan steel slag di tanah gambut lebih menunjukan hasil yang signifikan jika dibandingkan aplikasi pada tanah mineral. Seperti hasil penelitian Suwarno (2002), pada percobaan pot dengan menggunakan tanah gambut dari Lagan,Jambi. menunjukan bahwa penambahan steel slag berpengarung sangat nyata meningkatkan pH, ketersediaan Si, Ca dan Mg, serta mampu meningkatkan produksi dan pertumbuhan padi. 2.3.
Padi Padi merupakan tanaman pangan yang berasal dari dua benua yaitu Asia
dan Afrika. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam. Klasifikasi botani padi adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Monotyledonae
Keluarga
: Gramineae (Poaceae)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza spp.
10
Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspecies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan. Varitas unggul nasional berasal dari Bogor: Pelita I/1, Pelita I/2, Adil dan Makmur (dataran tinggi), Gemar, Gati, GH 19, GH 34 dan GH 120 (dataran rendah). Varitas unggul introduksi dari International Rice Research Institute (IRRI) Filipina adalah jenis IR atau PB yaitu IR 22, IR 14, IR 46 dan IR 54 (dataran rendah); PB32, PB 34, PB 36 dan PB 48 (dataran rendah). (BBPT Padi 2010). Menurut Yoshida (1981), terdapat tiga fase pertumbuhan padi, yaitu fase vegetatif aktif, generatif dan pemasakan. Fase vegetatif aktif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi primordia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai rampak, dan fase pemasakan dimulai dari rampak sampai masak.