TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Gambut Tropika di Indonesia Berdasarkan fisiografinya, lahan garnbut dapat dibedakan menjadi gambut pantai, gambut transisi dan gambut pedalaman (Sabiham, 1988). Selanjutnya dijelaskan bahwa gambut pantai dicirikan oleh lapisan bahan mineral yang ada di bawahnya berupa endapan marin yang bervariasi dari segi wnur dan jenis endapannya serta dipengaruhi oleh luapan air laut. Sedangkan gambut pedalaman dicirikan oleh lapisan bahan mineral bukan marin, terletak di atas tanah tua (Pleistocen), serta tidak mendapat pengaruh air laut. Gambut transisi dijumpai
jika mengalami pengaruh yang intensif dan luapan banjir sungai disamping pengaruh pasang surut air laut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dapat dikelompokkan menjadi tingkat dekomposisi fibrik, hemik dan saprik. Bahan fibrik dicirikan oleh jaringan tanaman yang belum terdekomposisi sempurna seperti batang kayu, rerumputan, dedaunan dan akar. Bahan hemik mengandung fiagmen jaringan tanaman yang sebagian telah terdekomposisi. Sedangkan bahan saprik dicirikan oleh bahan berwarna coklat hitam yang jaringan
tanamannya tidak
teridentifikasikan lagi (Sabiham, 1988; Andriesse, 1997).
Bahan saprik telah
terdekomposisi sempma sehingga mengandung gugus-gugus fbngsional aktif dibandingkan dengan tingkat dekomposisi hemik maupun fibrik. Gugus-gugus fungsional tersebut menyumbangkan muatan negatif yang dapat meningkatkan kemampuan tanah gambut memegang unsur hara.
2 membutuhkan tambahan unsur K, Ca, Mg, P dan unsur mikro Cu, Zn dan Mn. Unsur-unsur ini tak tersedia dalam arti sebenarnya di lahan gambut atau terikat dengan unsur lain sehingga tak dapat dimanfaatkan (Setiadi, 1997). Salah satu unsur yang paling banyak menentukan pertumbuhan tanaman di lahan gambut adalah kaliurn (K). Andriesse (1997) menjelaskan bahwa kebanyakan lahan gambut mengalami defisiensi K. Walaupun tanah gambut memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, tetapi tidak dapat menjerap K yang dapat dipertukarkan. Bahan organik tanah mampu menjerap kation multivalen dalam bentuk suatu gabungan ikatan. Ikatan-ikatan ini tidak tersedia untuk tertukar dengan kation monovalen (misalnya K) dan tidak langsung pula lepas bentuk ikatannya di dalam larutan tanah. Lucas (1982) menyatakan bahwa K merupakan unsur yang diikat lemah oleh gambut, akibatnya unsur ini lebih cepat hilang dari tanah gambut. Oleh karena itu perlu diketahui erapan maksimum K pada tanah gambut serta bentuk-bentuk ikatan yang tererap. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1990) menegaskan bahwa tanah gambut memiliki unsur kaliurn yang sangat rendah. Hal ini ditegaskan oleh Saragih (1996) yang melaporkan bahwa kadar K dapat ditukar pada tanah garnbut Jambi urnwnnya rendah sampai sedang (0,13 - 0,70 cm01.k~-I).Sedangkan dari hasil penelitian Salampak (1999) ditemukan bahwa kadar K dapat ditukar pada
tanah gambut Kalimantan Tengah berkisar rendah sampai tinggi (0,29 - 1,13 cm01.k~"). Telah banyak yang dilakukan untuk meningkatkan kadar K &lam tanah gambut, yaitu penarnbahan pupuk K, bahan campuran gambut seperti abu gergaji, sisa limbah kandang ayam, sekam pad^, penarnbahan tanah mineral, kapur dan
pupuk lengkap (Askin et al., 1995; Hardjowigeno, 1996; Setiadi, 1997). Pembakaran juga telah dilakukan untuk meningkatkan K (Kanapathy, 1975), akan tetapi Widjaja-Adhi et al. (1989) dalam Askin et al. (1995), menyatakan bahwa pembakaran gambut akan mempercepat hilangnya lapisan gambut. Kemudian Suranta et al. (1993), menyatakan pula bahwa penambahan amelioran seperti kapur, terak baja dan zeolit cenderung merendahkan daya erap terhadap K sehingga mudah terlepas dan tercuci. Kapur memiliki pengaruh lebih besar karena Ca mempunyai daya menukar kation yang tinggi. Pada pH yang rendah, kompleks pertukaran kation didominasi oleh gugus karboksilat dan gugus hidroksil yang belum banyak terdisosiasi karena sifatnya yang merupakan muatan variabel (variable charge), sehingga unsur hara dalam bentuk kation dapat ditukar mudah tercuci dari kompleks pertukaran. Demikian juga unsur hara dalarn bentuk anion mudah hilang karena tidak dapat dipegang oleh tanaman. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan peningkatan pH sarnpai satuan tertentu agar gugus-gugus tersebut dapat terdisosiasi dan menyumbangkan muatan negatif untuk dapat meningkatkan kekuatan ikatan kation-kation. Pengapuran sering dilakukan untuk meningkatkan pH tanah, takaran kapur tiap unit volume gambut sekitar < 4 tonlha, tetapi hams diingat bahwa pemberian bahan alkali kuat seperti kapur tersebut akan menyebabkan percepatan peruraian gambut yang menghasilkan humat tercuci. Pengapuran langsung pada tanah giz?ib.rit &an mempercepat pelarutan gambut yang nantinya hanya akan menyisakan komponen lignin dan humin yang sukar terombak.
Percobaan
pengapuran mencapai pH tetap 5.0 menunjukkan terjadinya pelarutan bahan humin sebanyak 26% dari berat tanah gambut (Maas, 1997). Pelarutan asam
humat dan fulvat yang berwarna kecoklatan tersebut akan merugkan kesuburan tanaman, karena sebagan besar hara terkandung dalam kedua fraksi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan pH yang tidak terlalu tinggi agar ha1 tersebut tidak terjadi. Melalui penelitian ini dharapkan dapat diketahui nilai pH ZPC dan pengaruh perubahan nilai pH di sekitar pH ZPC terhadap erapan maksimurn K. Dalam penelitian ini gambut yang dteliti difokuskan pada gambut pantai yang urnumnya memiliki tingkat kesuburan dan kestabilan yang lebih tingg dbandingkan kedua jenis gambut laimya (Driessen dan Sudjadi, 1981; Hardjowigeno, 1996). Tanah gambut pantai yang diteliti diambil dari dua lokasi yaitu Jambi yang mewakili gambut Sumatra dan Kalimantan Tengah yang mewakili gambut Kalimantan, serta diarnbil dari tiga tingkat dekomposisi yaitu saprik, hemik dan fibrik.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan nilai pH ZPC tanah gambut pantai Jambi dan Kalimantan Tengah
pada berbagai tingkat dekomposisi fibrik, hemik dan saprik.
2. Mengukur erapan maksimum kation kalium pada tanah gambut pantai Jarnbi dan Kalimantan Tengah pada berbagai tingkat dekomposisi berdasarkan pH ZPC, & bawah pH ZPC dan di atas pH ZPC. 3. Menentukan bentuk-bentuk ikatan kation kalium yang dierap pada tanah gambut pantai Jambi dan Kalimantan Tengah
dengan berbagai tingkat
dekomposisi pada pH ZPC, di bawah pH ZPC dan di atas pH ZPC.
5
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Nilai pH ZPC tanah gambut berkaitan dengan kandungan gugus-gugus fungsional serta kemasaman totalnya. Pada pH tanah sarna dengan pH ZPC, erapan kalium masih dapat terjadi pada tanah garnbut dan tingkat dekomposisi saprik memiliki erapan kalium lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat dekomposisi hemik maupun fibrik. Bentuk ikatan kalium yang kuat lebih banyak terdapat pada pH tanah di atas pH ZPC.
7 Berdasarkan hasil penelitian Kyurna dan Vijarnsorn (1992), lahan gambut di Indonesia dominan di Pulau Sumatera dan Kalimantan yaitu seluas rt: 18juta ha. Kedua daerah tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda sehngga menghasilkan karakteristik gambut yang berbeda pula. Berdasarkan hasil penelitian Sabiham (1988), di Jambi terdapat tanah tua di bawah lapisan gambut yang tebal dalam zona gambut ombrogen, sedangkan di Kalimantan Tengah terdapat pasir dan kerikil di bawah lapisan gambut. Gambut di Kalimantan Tengah mendapat luapan banjir yang lebih ekstensif dibandingkan gambut Jambi. Selanjutnya Sabiham dan Sumawinata (1989) menjelaskan pula mengenai jenis mineral yang terkandung di dalamnya. Di Jambi, mineral kaolinit lebih tinggi dan mineral tipe 2:1 lebih rendah dibandingkan di Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil penelitian Riwandi (2001), gugus karboksilat pada daerah Kalimantan Tengah lebih tinggi dlbandingkan Jambi. Sedangkan gugus fenolat-OH pada daerah Kalimantan Tengah lebih rendah daripada di Jambi. Kendala penggunaan lahan gambut untuk pertanian antara lain kesuburan kirnia tanah yang rendah, pH sangat masam, adanya lapisan pirit yang berbahaya jika teroksidasi, adanya daya dukung tanah yang rendah, kapasitas tukar kation tanah gambut tinggi sedangkan kejenuhan basanya rendah sehingga kation-kation kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan kalium (K) sulit tersedia bagi tanarnan, defisiensi unsur mikro, keracunan asam organik, lemahnya daya cengkeram akar tanaman, mudah mengalami penyusutan,
kerapatan isi sangat rendah serta
mempunyai daya kering tak balik (irreversible drying) (Halim, 1987; Syarif dan Edison, 1997; Andriesse, 1997, Hardjowigeno, 1997)
Komposisi Bahan Penyusun Tanah Gambut Komposisi hmia bahan gambut dipengandu oleh vegetasi utamanya, tingkat dekomposisi dan lingkungan hmia alami.
Unsur pokok organik
Qkelompokkan menjadi : 1) bentuk larut dalam air, 2) bentuk yang larut dalam eter dan alkohol, 3) selullosa clan hemiselulosa, 4) lignin dan bahan derivat lignin, dan 5) bahan nitrogen atau protein kasar (Andriesse, 1988). Driesssen (1978) menambahkan bahwa tanah gambut tropik yang masam (pH 3- 5) dan tebal mengandung < 5% bahan inorganik. Fraksi organik sebagian besar terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin, bahan hurnat, sejumlah protein, wax, tannin, resin, suberin. Bahan yang menyusun gambut adalah bahan organik yang berasal dari carnpuran sisa-sisa turnbuhan dalam berbagai tingkat dekomposisi.
Bahan
organik dapat dibedakan menjadi substansi humus dan non humus. Substansi non humus meliputi karbohidrat, protein, peptida, asam amino, asam nukleat, purin, pirimidin, asam lemak, lilin, resin, zat warna dan substansi organik lain dengan berat molekul yang lebih rendah. Sedangkan substansi-substansi humus meliputi asam humat, humin dan asam fulvat (Tan, 1998). Bahan gambut yang berasal dari vegetasi kayu-kayuan mengandung lignin yang tinggi (Stevenson, 1982). Tan (1998) menyatakan bahwa lignin merupakan konstituen amat penting dan jaringan kayu dan mengandung bagian terbesar dari kadar metoxil kayu, bersifat tidak larut dalam air maupun pelarut organik dan asam sulfat. Bahan gambut yang mengandung lignin relatif tinggi biasanya lebih tahan terhadap dekomposisi, sehingga stabilitasnya lebih tinggi. Lignin yang terdekomposisi akan menghasilkan gugus-gugus fungsional yaitu gugus fenolat
dan gugus karboksilat. Selanjutnya gugus-gugus ini akan terdisosiasi yang dapat menyurnbangkan muatan permukaan yaitu muatan-muatan negatif pada tanah gambut.
Selain ligmn,
bahan penyusun lain seperti selulosa juga dapat
menyumbangkan muatan-muatan negatif dalam tanah gambut. Bahan asal tanah gambut yang ditemukan di wilayah Malaysian Tropics termasuk yang ada di Sumatera dan Kalimantan didominasi oleh bahan kayukayuan. Oleh karena itu, komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang urnurnnya melebihi 60% bahan kering, sedangkan kadar komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan protein umumnya tidak melebihi 11% (Polak, 1975). Komposisi tanah gambut tropika disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi gambut hutan tropika tipe sangat masam (Hardon dan Polak, 1941 dalam Polak, 1975). Asal Gambut Komponen
Kalimantan ... ... ... ... ... ... ...% bahan kering ... ... ... ... ... ...
Komponen gambut larut dalam: Eter Alkohol Air Hemiselulosa Selulosa Lignin Protein
Sumatera 4.67 4.75 1.87 1.95 10.61 63.99 4.41
2.50 6.65 0.87 1.95 3.61 73.67 3.85
Bahan gambut menghasilkan asam humat dan asam fulfvat melalui proses humifikasi.
Menurut Ricca dan Severini (1993), asam humat mengandung
senyawa aromatik lebih banyak &pa&
asam fulvat, sedangkan asam fulvat
mengandung senyawa alifatik lebih banyak danpada asarn humat. Selanjutnya kedua peneliti tersebut menjelaskan bahwa bahan gambut yang kadar ligninnya
10 relatif tingg mengandung asam humat lebih banyak daripada bahan gambut yang kadar selulosanya relatif tinggi. Bahan gambut memiliki unsur hara makro seperti Kalium (K), Natriurn (Na), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan unsur hara mikro terutama tembaga (Cu) , seng (Zn) , besi (Fe), mangan (Mn)dan boron (B) yang sangat rendah, tetapi hdominasi oleh kadar karbon (C) dan nitrogen (N) (Andriesse, 1997).
Muatan Permukaan dan Zero Point Charge Karakteristik yang penting dalam reaktivitas tanah di antaranya adalah luas permukaan dan muatan permukaan (Bohn et al., 1979). Pada umumnya tanah mempunyai dua tipe muatan permukaan yaitu muatan tergantung pH (muatan variabel) dan muatan tidak tergantung pH (muatan permanen). Muatan variabel
akan berubah bila terjadi perubahan pH tanah dan terdapat pada tanah mineral dan tanah organik, sedangkan muatan permanen dihasilkan dari proses substitusi isomorfik dan muatan ini dimiliki oleh tanah mineral (Anderson dan Sposito, 1992). Surnber utama muatan variable tergantung dari penambahan dan kehilangan H? dari gugus fungsional pada permukaan koloid tanah.
Gugus
fbngsional tersebut yaitu hidroksil (-OH), karboksil (-COOH), fenolik (-C6&0H) dan m i n e (-NH2). Muatan yang berasal dari gugus fungsional ini sangat tergantung pada pH larutan yang mengatur derajat protonasi dan deprotonasi dari
gugus fungsional (Bohn et al., 1979). Menurut Tan (1998), besaran dari muatan variabel ini beragam tergantung
dari pH dan tipe koloid. Jenis muatan ini sangat penting pada liat tipe 1:1, liat oksida besi dan aluminium serta koloid organik. Tanah organik didominasi oleh
11 muatan variabel, dimana muatan negatif berasal dari gugus karboksil dan fen01 yang terdisosiasi, sedangkan muatan positif dihasilkan oleh proses protonasi. Zero Point of Charge (ZPC) digunakan untuk menunjukkan keadaan
relatif muatan negatif dan positif pada koloid tanah. ZPC merupakan pH tertentu pada saat muatan permukaannya secara elektrik netral (Bohn et al., 1979; Tan,
1998). Sakurai et al. (1988) menyatakan bahwa ZPC adalah suatu titik dimana muatan permukaan dari komponen muatan variabel adalah no1 berkaitan dengan keseimbangan jerapan
dan OH. Selanjutnya Sakurai et al. (1989) menyatakan
bahwa ZPC merupakan karakteristik spesifik dari tanah yang didominasi oleh muatan variabel. Tanah terdiri dari berbagai konstituen sehingga nil& ZPC tanah dipengaruhi oleh ciri fisiko-kimianya. Konsep ZPC diambil dari tanah mineral yang memiliki muatan variabel atau muatan tergantung pH, dimana muatan negatifnya berasal dari disosiasi gugus hidroksil yang terbuka dan muatan positifnya berasal dari protonasi atau
penambahan ion H? ke gugus hidroksil. Konsep ZPC ini diterapkan pada tanah gambut yang juga memilib muatan variabel. Pada tanah gambut, muatan negatif berasal dari disosiasi gugus karboksil dan fenolat sedangkan muatan positif berasal dari gugus amin. Menurut Bohn et al. (1979) tidak ada tanah organik yang memiliki muatan positif pada pH 2,5 - 8,O. Akan tetapi, Naganuma dan Okazaki (1992) melaporkan bahwa nilai ZPC tanah gambut tropika dari Malaysia (Ayer Baloi) adalah 3,31 dan Thailand (Bacho) yaitu 3,52. Kedua peneliti tersebut menggunakan metode Schullthess dan Sparks (1986) yang merupakan metode penetapan ZPC bagi tanah mineral, tetapi telah dimodifikasi.
Kalium dalam Tanah Gambut Kalium adalah unsur hara penting ketiga untuk tanarnan setelah N dan P, diserap tanaman dalam jumlah mendekati atau bahkan melebihi jumlah N meskipun K tersedia dalam tanah hanya terdapat dalam jumlah terbatas (Soepartini, 1988). Tanah gambut umumnya defisien unsur P, K, Zn, Cu dan Mo. Tingkat
kemasaman yang tinggi dengan kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi sedangkan kejenuhan basa yang rendah mengakibatkan meningkatnya laju kecepatan tersedianya hara tanaman terutama K, Ca dan Mg (Halim et al., 1983). Kalium merupakan unsur paling cepat tercuci pada tanah gambut. Andriesse (1997) menambahkan bahwa fiksasi K tidak terjadi dalam tanah gambut. Meskipun KTKnya tinggi tetapi tidak mampu menjerap K-dd. Sebagian besar kation K berada dalam bentuk terlarut sehingga dapat mudah tercuci bila tidak segera digunakan.
Kaliurn diambil tanaman dari tanah dalam bentuk ion K+ (Tisdale et al., 1990). Umwnnya pada tanah mineral, K tanah dapat dibagi menjadi empat bentuk yang berada dalam keseimbangan, yaitu K dalam larutan (cepat tersedia), K dapat dipertukarkan (mudah tersedia), K tidak dapat dipertukarkan (larnbat tersedia) dan K dalam mineral (sulit tersedia) (Uexkull, 1985). Bao (1985) menyatakan bahwa respon K dalam pertumbuhan tanarnan sangat tergantung dari ketersediaan K larutan dan K dapat dipertukarkan, serta sedikit dari kandungan K lambat tersedia. Menurut Stevenson (1982), K terxnasuk kation yang esensial bagi tanaman tapi tidak membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik. Menurut
Aleksandrova (1967), interaksi kation ini dengan asam-asam humik terjadi karena perbedaan sifat polar antara keduanya yang menonjol sehingga membentuk garam heteropolar. Mekanismenya melibatkan reaksi pertukaran antara gugus fungsional
dan kation, dimana pada pH rendah gugus COOH lebih berperan sedangkan pada pH lebih tinggi yang lebih berperan adalah gugus OH fenolik. Menurut Suranta et al. (1993), senyawa humat yang mengandung tapak aktif -COOH dan -OH
membentuk ikatan koordinasi dengan kation polivalen, tidak dengan kation monovalen. Hal ini akan menyebabkan K lebih mudah digantikan oleh unsur lain. Tapak ligan utama sebagai pengikat kation pada asam humat dan asam hlvat terdapat pada gugus yang mengandung oksigen seperti karboksilat, hidroksil dari fenolat, alkohol dan enol, serta karbonil. Selain itu, gugus amino dan gugus yang mengandung S dan P juga dapat mengkhelat kation (Stevenson dan Fitch, 1986). Berdasarkan penelitian Saragh (1996), kadar K &pat ditukar (K-dd) di Jambi bervariasi dari rendah hingga sedang, kecuali pada gambut pantai mengandung K-dd cukup tingg.
Salampak (1999) meneliti kadar K-dd di
Kalimantan Tengah, yang nilainya berkisar tinggi.
Metode analisis yang
digunakan &lam penelitian ini adalah m 0 A c pH 7,O. Murnita (2001) melakukan penelitian mengenai erapan K pada tanah gambut Jambi. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa tanah gambut memiliki kapasitas erapan maksimum yaitu 759 - 2756 pg.g-', dimana gambut pantai memiliki kapasitas erapan K yang lebih tinggi dibandingkan garnbut peralihan. Nilai konstanta Langrnuir pada tanah gambut Jambi tersebut adalah < 0,03, karena afinitas K yang rendah pada tanah gambut.