Warta Konservasi Lahan Basah Vol 23 No. 2, Juli 2015
Mission: to sustain and restore wetlands, their resources and biodiversity
Dari Redaksi
Daftar Isi
Fokus Lahan Basah Pulau Tikus, Jangan Sampai Tinggal Kenangan
3
Konservasi Lahan Basah Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut Indonesia 4
Salam redaksi, Selamat bersua kembali para pembaca setia WKLB. Memasuki bulan suci Ramadhan, bulan pengendalian diri yang dirahmati Allah SWT, adalah saat yang tepat bagi kita semua untuk mengintrospeksi diri atas apaapa yang telah dilakukan terhadap alam sekitar kita. Mari kita tutup kesalahan dan keserakahan di masa silam, lalu kita songsong masa depan dengan penuh kebajikan dan kasih sayang. Kami segenap anggota redaksi, mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakannya, mohon maaf lahir dan batin. Mudah-mudahan berita-berita dan informasi yang tersaji kali ini, dapat menjadi teman bacaan di kala senggang.
Berita Lahan Basah Peringatan Hari Air Sedunia 2015: Penanaman Pohon Mangrove di Muara Sungai Progo
6
Wetlands for Our Future: Lahan Basah Bagi Masa Depan Kita
7
Teluk Doreri, Situs Warisan Peradaban Papua yang Terancam Kelestariannya
8
Alih Fungsi Lahan Mangrove di Kawasan Sub DAS Padang Hilir, Kecamatan Bandar Khalifah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara
10
Mangrove di Zona Pemanfaatan Wisata, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
12
Flora & Fauna Lahan Basah Menjaga dan Melestarikan Keanekaragaman Hayati di Bukit Rigis, Kab. Lampung Barat
16
Mengenal Jeringau (Acorus calamus L.), Tumbuhan Akuatik dengan Berbagai Manfaat Obat dan Budaya 18 Dokumentasi Perpustakaan 23
Selamat membaca.
Ucapan Terima Kasih dan Undangan DEWAN REDAKSI: Pimpinan Redaksi: Direktur Wetlands International Indonesia Anggota Redaksi: Triana Ragil Satriyo Gumilang “Artikel yang ditulis oleh para penulis, sepenuhnya merupakan opini yang bersangkutan dan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isinya”
Ditjen. KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2 Warta Konservasi Lahan Basah
Kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya khususnya kepada seluruh penulis yang telah secara sukarela berbagi pengetahuan dan pengalaman berharganya untuk dimuat pada majalah ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 maksimal 4 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International Indonesia Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161 tel: (0251) 8312189 fax./tel.: (0251) 8325755 e-mail:
[email protected]
Fokus Lahan Basah
“Pulau Tikus” Jangan Sampai Tinggal Kenangan Zamdial, T.*
P
ulau Tikus adalah satu-satunya pulau kecil yang ada di perairan laut Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Pulau yang terletak ± 10 km dari Kota Bengkulu ini dari dulunya sangat populer di kalangan nelayan dan masyarakat pesisir Kota Bengkulu. Bahkan ada lagu daerah yang khusus diciptakan sebagai bentuk pemujaan terhadap pulau kecil ini. Sebagai sebuah pulau kecil, potensi utama yang ada di Pulau Tikus adalah potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yaitu berupa ekosistem terumbu karang, ekosistem perairan laut dan pantai berpasir (van Beukering et al, 2007). Bagi masyarakat di pesisir Kota Bengkulu, terutama yang bermukim disepanjang pantai Pasar Bengkulu, Pantai Jakat, Pantai Pondok Besi, Pasar Malabero, Sumur Meleleh hingga Pulau Bai, Perairan Pulau Tikus merupakan fishing ground (Daerah Penangkapan Ikan) utama.
Mereka biasanya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line), pancing tonda (troll line) dan juga menembak dengan senapan buatan tangan. Memang sejak dulu masyarakat pesisir tersebut tergantung pada sumberdaya Perairan Pulau Tikus ini (Mimura et al, 2007). Selain itu, Pulau Tikus ini juga adalah tempat berlindung bagi perahu/kapal nelayan apabila kondisi cuaca dan perairan laut dalam kondisi yang membahayakan untuk melaut. Pada awalnya luas Pulau Tikus ± 2 hektar, tapi sekarang hanya tinggal ± 0,8 hektar. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Berkurangnya luasan Pulau Tikus, disebabkan oleh abrasi pantai yang begitu intensif. Kondisi daratan dan perairan laut Pulau Tikus terkesan kurang diperhatikan, walaupun sudah ditetapkan sebagai Taman Wisata (SK. Menhut No. 602/KPTS-
II/1991). Beberapa bangunan sudah roboh dan hancur karena terjangan gelombang. Flora yang ada sudah tidak lagi beragam, hanya ada beberapa pohon kelapa, pohon cemara, waru laut dan sedikit tumbuhan khas pantai lainnya. Dulu ada banyak burung sekarang sudah tidak ada sama sekali. Pantai yang dulunya luas, landai dan bersih sebagai tempat bertelur (nesting area) penyu sisik dan penyu hijau, sekarang sudah sangat-sangat langka. Bahkan menurut keterangan masyarakat setempat, sudah tidak ada lagi penyu yang datang bertelur. Kondisi terumbu karang di seluruh zona intertidal-sub intertidal sudah mengalami kerusakan parah, sehingga tidak lagi dapat berfungsi untuk meredam energi gelombang yang menghantam pantai, sehingga abrasi tidak dapat dicegah. .....bersambung ke hal 20
Kondisi Pulau Tikus dengan hamparan karang pada saat air surut dan lahan daratannya
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 3
Konservasi Lahan Basah
Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut Indonesia Iwan Tri Cahyo Wibisono*
L
ahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang unik namun rentan. Dikatakan unik mengingat karakteristiknya yang berbeda dengan tipe ekosistem lainnya. Substrat yang terbentuk dari timbunan bahan organik, selalu tergenang, dan memiliki pH rendah merupakan kondisi umum lahan gambut. Kondisi ini hanya memungkinkan bagi jenis vegetasi tertentu saja yang mampu tumbuh secara endemik. Ekosistem ini dikatakan rentan karena apabila telah terganggu, maka akan sulit baginya untuk dapat pulih kembali seperti sediakala. Oleh karena itu, strategi pengelolaan yang terbaik adalah menghindarkan lahan gambut dari gangguan dan kerusakan.
4 Warta Konservasi Lahan Basah
Kegagalan proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah merupakan salah satu contoh resiko yang terjadi apabila pengelolaan gambut tidak dilakukan dengan baik dan tidak ditunjang dengan pemahaman yang memadai tentang karateristiknya. Permasalahan di lahan gambut Rawa Tripa (Aceh), juga di berbagai lokasi lahan gambut lainnya di Sumatera merupakan contoh-contoh lain yang harus menjadi peringatan bagi kita semua akan betapa sulitnya mengelola lahan gambut yang rentan tersebut . Dalam sepuluh tahun terakhir, kesadaran masyarakat akan arti penting lahan gambut mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya perhatian dunia terhadap isyu perubahan iklim. Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2009 (melalui UNFCCC COP15 di Copenhagen) telah mengambil langkah positif dengan menyampaikan komitmen sukarela untuk mengurangi emisi sebesar 26%-41% pada tahun 2020. Sebagai tindaklanjutnya, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium hutan primer dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden No. 10/2011, yang kemudian diperpanjang melalui Instruksi Presiden No. 6/2013, lalu diperpanjang kembali melalui INPRES No. 8/2015. Dan pada bulan September 2014, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut sebagai upaya untuk memperbaiki tata kelola lahan gambut di Indonesia.
Konservasi Lahan Basah Namun dalam kenyataannya, kebijakan dan langkah-langkah tersebut masih belum mampu membendung tekanan/ alih fungsi terhadap lahan gambut yang hingga saat ini masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia1. Bahkan kekuatiran semakin tinggi karena industri kelapa sawit dan HTI justru menargetkan peningkatan produksi secara signifikan dalam beberapa tahun mendatang. Indonesia yang saat ini berada di peringkat sembilan dunia untuk industri bubur kayu dan kertas (pulp and paper), ditargetkan untuk menjadi peringkat ketiga dunia (FWI, 2014). Sementara di sektor industri kelapa sawit, pemerintah menargetkan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mencapai 40 juta ton pada tahun 20202. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kegiatan komersil di lahan gambut, terutama perkebunan kelapa sawit dan HTI, tidak pernah terlepas dari pembuatan kanal-kanal (untuk mendrainase air gambut) karena komoditas yang dikembangkannya memerlukan kondisi tidak tergenang (agak kering) untuk dapat tumbuh dengan baik. Namun sayang bahwa penurunan muka air gambut melalui
drainase sulit dikendalikan dan harus dibayar mahal dengan terlepasnya gas rumah kaca dalam jumlah yang besar dan subsidensi lahan gambut secara terus menerus. Dalam kajiannya, Hooijer et al., (2010)3 menyebutkan bahwa setiap penurunan muka air tanah 10 cm di lahan gambut berpotensi melepaskan emisi GRK sebesar 9.1 ton CO2/ha/tahun dan selanjutnya Hooijer et al. (2012)4 juga menyatakan bahwa jika air tanah gambut diturunkan hingga 70 cm, maka subsidensi mencapai 5,2 cm/tahun. Subsidensi di lahan gambut yang demikian tingginya mengakibatkan terbentuknya cekungan (depresi) di lahan gambut, akhirnya gambut tergenang dan airnya sulit di drainase secara gravitasi/ alami. Pada kondisi demikian, maka keberadaan tanaman kelapa sawit dan akasia (yang bukan asli gambut) sudah sulit untuk dibudidayakan dan kemungkinan besar lahan yang tergenang ini akan ditinggalkan pengusaha. Untuk menuju tercapainya kelestarian lahan gambut, diperlukan suatu tata kelola dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya perlindungan lahan gambut, perbaikan lahan gambut
yang telah mengalami degradasi, serta pengelolaan atas pemanfaatan berbasis kelestarian. Dengan demikian maka target pengurangan emisi GRK oleh Indonesia diharapkan dapat tercapai. Peran serta dan kontribusi para pihak sangatlah diperlukan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring pengelolaan lahan gambut. Sebagai salah satu upaya untuk mendukung langkah-langkah di atas, Wetlands International Indonesia (WII) bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, telah menyelenggarakan Workshop Nasional “Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut di Indonesia”, pada tanggal 27-28 Mei 2015 lalu di Bogor. Workshop diikuti oleh lebih dari seratus peserta yang berasal dari kalangan pemerintah, swasta, LSM, masyarakat, dan akademisi. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dan alternatif solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Semoga •• *Silviculture & Rehabilitation Specialist
1 http://m.bisnis.com/industri/read/20130522/99/140480/moratorium-izin-hutan-pemerintah-dimintatindaklanjuti- pelanggaran-oleh-10perusahaan; http://www.mongabay.co.id/2013/05/09/laporan-pelanggaran-kehutanan-menumpuk-di-wilayah-moratorium-kalteng/ 2
http://www.antaranews.com/berita/417739/industri-optimistis-target-minyak-sawit-40-juta-ton-tercapai
Hooijer, A. S. Page, J. G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7, 1505–1514, 2010.
3
4 Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee WA, Lu XiXi, Idris A, Anshari G, 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences, 9, 1053-1071.
.....bersambung ke hal 19
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 5
Berita Lahan Basah
Peringatan Hari Air Sedunia 2015 Penanaman Pohon Mangrove di Muara Sungai Progo Muhamad Kundarto*
A
brasi pantai terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Masalah ini harus segera diatasi karena dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Abrasi Pantai Selatan Jawa terutama di selatan Daerah Istimewa Yogyakarta sudah semakin memprihatinkan. Di sepanjang Pantai Kuwaru hingga muara Sungai Progo, abrasi sudah terjadi semakin ke utara hingga hampir menyentuh lokasi warung-warung warga. Bahkan ada sebagian bangunan yang sudah roboh yang diakibatkan oleh abrasi tersebut.
6 Warta Konservasi Lahan Basah
Untuk menanggulangi kondisi yang semakin parah ini, komunitas Greentech telah melakukan aksi penanaman pohon mangrove di Muara Progo, Desa Poncosari, Srandakan, Bantul. Penanaman Mangrove di lokasi Muara Progo sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2014, dimana saat itu Greentech melakukan penanaman 150 pohon mangrove (jenis Rhizopora dan Avicenna). Hasil dari penanaman tersebut, hingga saat ini masih ada sebagian besar yang hidup. Dengan kondisi tersebut, Greentech melihat adanya potensi lokasi ini sebagai kawasan konservasi mangrove. Sehingga Greentech berkomitmen untuk terus melakukan penanaman mangrove serta melakukan pengecekan secara berkala. Bertepatan dengan peringatan Hari Air Sedunia 2015 yang diperingati setiap tahun pada tanggal 22 Maret, Greentech melakukan aksi kembali penanaman pohon mangrove. Aksi ini merupakan rangkaian dari kegiatan
hari lahan basah pada bulan Februari lalu, dimana Greentech juga melakukan aksi penanaman di lokasi yang sama. Acara dilaksanakan pada hari Minggu 22 Maret 2015. Aksi ini terselenggara berkat kerjasama Greentech dengan Pemerintah Desa Poncosari serta dukungan dari luar diantaranya Wetland International, LIFEPATCH, Forum Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Lingkungan (FM2PL), serta Pusat Studi Lahan UPN “Veteran” Yogyakarta. Dimulai dengan berkumpul di Pantai Baru, para peserta penanaman yang berjumlah 50an orang kemudian langsung menuju Muara Progo yang letaknya di sebelah barat Pantai Baru. Semua peralatan serta tanaman sudah dipersiapkan dari Jogja. Jenis tananam mangrove yang akan ditanam adalah Rhizopora serta beberapa Avicenna atau Api-Api, dengan total tanaman berjumlah 250 pohon. .....bersambung ke hal 20
Berita Lahan Basah
Wetlands for Our Future: Lahan Basah Bagi Masa Depan Kita Oleh-oleh menghadiri COP 12 Konvensi Ramsar, Punta del Este, Uruguay 2015
Trio Santoso*
Pengantar Pada tanggal 1 s/d 9 Juni 2015 diselenggarakan pertemuan COP12 Konvesi Ramsar di Punta del Este, kota resort pantai yang indah di Uruguay. Konferensi ini merupakan ajang forum pertemuan dunia bagi para contracting party atau pihak dalam pengelolaan lahan basah secara bijaksana (wise use) yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali. Konferensi COP 12 kali ini mengambil tema Wetlands for Our Future, yang mengandung arti bahwa lahan basah merupakan suatu ekosistem yang sangat penting dimana keberlangsungan masa depan kita juga bergantung terhadapnya. Tema ini dipilih agar masyarakat luas dapat lebih peduli akan pentingnya keberadaan lahan basah di sekitar kita, sehingga tidak menganggapnya sebagai lahan tidur yang tidak berdaya guna. Konferensi ini dihadiri lebih dari 800 peserta dari 168 negara dan badan konservasi dunia IUCN, serta NGO Internasional seperti Wetland Internasional, WWF, Birdlife Internasional, dan lain-lain. Delegasi Indonesia diwakili oleh kami sendiri, Ir. Trio Santoso, Msc, Kasubdit Konservasi Lahan Basah, Perairan dan Ekosistem Essensial.
Dalam kesempatan tersebut, kami memberikan presentasi pada Side Event Peatlands, climate regulation and biodiversity in a Ramsar perspective. Adapun judul presentasi yang disampaikan adalah Experience of national policy and practical solutions to peatlands and climate change mitigation: Case from Indonesia. Berikut oleh-oleh dari kami yang berkesempatan menghadiri konferensi tersebut khususnya yang terkait dengan pengelolaan lahan basah di Indonesia.
Resolusi COP12 mengadopsi 16 resolusi secara konsensus, termasuk Rencana Strategis 2016-2024, kerangka kerja untuk penyampaian saran ilmiah dan bimbingan teknis pada Konvensi, lahan gambut, pengurangan risiko bencana, dan akreditasi bagi kota yang peduli pada lahan basah. Dari 16 resolusi yang dihasilkan dalam COP12 tersebut, terdapat beberapa yang terkait dengan Indonesia, antara lain: 1. Resolusi 2 (The Ramsar Strategic Plan 2016-2021): COP menyetujui Rencana
Strategis 2016-2024 sebagai dasar untuk pelaksanaan Konvensi selama periode ini, serta meminta Sekretariat untuk menyebarluaskannya kepada stakeholders terkait implementasinya. Negara pihak juga didorong untuk mengintegrasikan dan menyelaraskan Rencana Strategis tersebut dengan kebijakan nasional di negaranya, memantau kemajuan dalam pelaksanaannya, dan berkomunikasi terkait kemajuan dan kesulitan implementasinya kepada perwakilan regional Ramsar. 2. Resolusi 6 (The status of sites in the Ramsar List of Wetlands of International Importance): COP menegaskan kembali komitmen negara pihak untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3.2 yaitu melakukan updating data apabila terdapat perubahan dalam karakter ekologi Situs Ramsar, dan meminta Sekretariat Ramsar untuk mengevaluasi nilai potensi dan kelayakan pengumpulan data satelit tehadap perubahan Situs Ramsar.
.....bersambung ke hal 14
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 7
Berita Lahan Basah
Teluk Doreri Situs Warisan Peradaban Papua yang Terancam Kelestariannya
a pu
m
Bukan hanya kehidupan nelayan, tetapi Doreri juga memberikan sumbangan yang signifikan bagi kehidupan masyarakat peternak yang bermukim di sepanjang pesisir. Kawasan teluk merupakan kawasan usaha
ba
Sebagaimana layaknya daerah pesisir lainnya, sepanjang kawasan teluk merupakan areal pemukiman berbagai lapisan masyarakat dengan sumber mata pencaharian yang beragam. Di sepanjang pesisir teluk ini aktivitas para nelayan tradisional sangat tinggi sekaligus sebagai pangkalan sejumlah perahu nelayan tradisional (Gambar 3).
Gambar 1. Lokasi Teluk Doreri (Sumber Google Earth)
8 Warta Konservasi Lahan Basah
s . m sy P a t a a n ar u n g n s i e si ak a t P Y e s u s d i P u l a u M a nd o n .i apu a ( S u m b er : ww w
Ga
Kawasan Teluk Doreri merupakan tempat yang baik untuk rekreasi bahari. Ada pantai Pasir Putih, Pulau Mansinam, Telaga Wasti dan lokasi yang selama ini dikunjungi oleh masyarakat untuk berekreasi.
r2 b a ma
Teluk Doreri sebagai penyangga kehidupan masyarakat
Gam
T
eluk Doreri cukup strategis letaknya (00o51’32,5” – 00o52’40,4”LS dan 134o02’57,7” – 134o 05’11,5” BT) sebagai pintu masuk utama ke Manokwari melalui laut (Gambar 1). Perairan teluk Doreri memainkan peranan penting sebagai jalur pelayaran laut masuk dan keluar Manokwari. Karena itu beberapa lokasi strategis di dalam kawasan teluk merupakan pelabuhan laut baik untuk kapal domestik maupun antar pulau di Papua. Teluk Doreri juga merupakan tempat bermuara beberapa sungai - Sanggeng, Wirsi, Kwawi dan Kali Dingin. Yang tidak kalah penting, bagi komunitas pesisir, teluk ini memberikan kontribusi yang signifikan sebagai lahan perikanan tangkap nelayan tradisional, areal pemukiman dan tempat rekreasi dan berbagai aktivitas keseharian masyarakat.
Sejarah peradaban Tanah Papua mencatat peran Teluk Doreri sebagai titik awal pekerjaan misi agama Kristen ketika kapal zending Eropa merapat di Pulau Mansinam - pulau yang berjarak 15 menit perjalanan motor tempel dari Manokwari (Gambar 2).
r3
Pa
Letak strategis Teluk Doreri dan fungsinya
ka itus ya p e .co ra m) d a b an
Agustina Y.S. Arobaya*, Herman Manusawai* dan Freddy Pattiselanno**
.P
e la
buha
n p e rin ti s a n
ta
u rp
la
u
peternakan babi rakyat dengan model kandang terapung di atas permukaan laut, “kandang berlabuh” dalam dialek setempat (Gambar 4). Teluk Doreri menampung berbagai buangan hasil aktivitas kehidupan masyarakat di kawasan sepanjang teluk. Perkembangan pembangunan di Manokwari berdampak terhadap konversi lahan yang sangat cepat dari kawasan hijau menjadi kawasan pemukiman, perbelanjaan, perhotelan yang menjamur dalam radius 1 km dari garis pantai di sepanjang kawasan teluk.
Berita Lahan Basah
Ga m
ba r4 .U
s
ah
a
pe
ter
na k
an ba
bi d i s e p a n j a n g D o
rer
i
Sampah yang hanyut ke kawasan teluk bervariasi (Gambar 5), mulai dari plastik dalam berbagai jenis (kantong belanja, botol dan gelas air minum), styrofoam, potongan kayu dan berbagai jenis sampah rumah tangga meningkat dari waktu ke waktu apalagi pada musim hujan. Perairan Teluk Doreri memang dialiri beberapa sungai diantaranya sungai Andai, Wosi, Wirsi dan Inggandi - semuanya menjadi jalur pembuangan sampah yang bermuara ke Doreri.
Eskalasi aktivitas manusia yang begitu cepat tidak diikuti dengan penanganan sampah dan limbah buangan rumah tangga, industri dan aktivitas keseharian pasar dan pelelangan ikan menjadi awal bencana bagi kelestarian Teluk Doreri. Di sisi lain tingkat kesadaran menjaga kebersihan oleh masyarakat yang masih jauh dari apa yang diharapkan ikut memperparah kondisi perairan Doreri. Mengalirnya sejumlah sampah dan limbah baik dari aktivitas di dalam teluk, maupun sampah domestik rumah tangga, serta limbah pasar, dan aktivitas lainnya di sepanjang pesisir yang semuanya bermuara ke Teluk Doreri merupakan ancaman yang cukup serius bagi lingkungan teluk ini.
er m
or
Ga
Tingginya aktivitas masyarakat di sepanjang teluk merupakan fenomena yang normal, karena selain merupakan wilayah pemukiman, perhotelan, perbelanjaan sejumlah sarana publik seperti pelabuhan laut, pasar tradisional, tempat pendaratan dan penjualan ikan juga menempati areal sepanjang teluk Doreri.
i
Ancaman pencemaran dan degradasi Teluk Doreri
ba
r5
.S a m
p ah b u a n g a n d
lu i Te
kD
Hasil penelitian telah mengungkap pencemaran berat wilayah perairan oleh sisa-sisa pembuangan kotoran ternak dan cairan limbah rumah tangga yang akhirnya menyebabkan “eutrofikasi”, fenomena di mana perairan dalam kondisi terlalu subur sehingga menyebabkan terjadinya ledakan jumlah plankton dan alga yang kemudian akan saling berebut cahaya untuk proses fotosintesis.
Indikator pencemaran Teluk Doreri Kawasan Doreri merupakan lahan penelitian mahasiswa dan dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Papua di Manokwari. Publikasi hasil penelitian tentang potensi sumberdaya pesisir dan ancaman pencemaran yang berdampak terhadap lingkungan
Doreri sudah banyak dilakukan. Tetapi sampai dengan saat ini penanganan untuk mengatasi permasalahan Teluk Doreri belum serius dilakukan. Hasil kajian paramater kimia, fisika dan biologi perairan menunjukan korelasi positif antara tingkat pencemaran yang terjadi di Teluk Doreri terhadap penurunan kualitas perairan serta tingkat pertumbuhan organisme yang hidup di perairan. Kawasan perairan Doreri telah mencapai dan cenderung melampaui ambang batas pencemaran berdasarkan standar baku kriteria kualitas suatu perairan yang baik. Hal ini lebih banyak disebabkan karena meningkatnya jumlah sampah yang mengalir ke dalam teluk yang dikuatirkan ikut mempengaruhi kandungan Nitrat dan Fosfat dan berdampak terhadap kualitas perairan. Fosfat merupakan indikator kesuburan perairan karena kandungan fosfat terlarut yang melebihi kebutuhan normal organisme nabati merupakan pemicu eutrofikasi. Besar kemungkinan sampahsampah plastik yang masuk ke dalam teluk dikonsumsi dan meracuni biota perairan sehingga meningkatkan angka kematian biota laut. Dengan bantuan zooplankton sebagai pengurai, limbah plastik ini ikut masuk ke dalam rantai makanan yang pada akhirnya mengancam kelangsungan hidup berbagai biota perairan yang ada di Teluk Doreri. Limbah rumah tangga yang paling dianggap berbahaya antara lain limbah bahan-bahan kimia seperti air bekas MCK (air deterjen, sabun mandi, shampoo, dll) limbah peternakan ikut pula memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas perairan. .....bersambung ke hal 22
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 9
Berita Lahan Basah
Alih Fungsi Lahan Mangrove di Kawasan Sub DAS Padang Hilir, Kecamatan Bandar Khalifah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara Kemala Sari Lubis*, Erwin M. Harahap*, Ameilia Zuliyanti Siregar* dan Abdul Rauf*
K
awasan Sub DAS Padang Hilir merupakan bagian DAS Padang dengan luas kawasan 17.677,272 hektar. Berdasarkan citra satelit tahun 2009, wilayah terluas Sub DAS Padang Hilir berada di Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Sergai yakni sebesar 6859.81 hektar dengan dengan rincian peruntukan lahan sebagai berikut: mangrove (455.16 ha), perkebunan (584.82 ha), pemukiman (122.57 ha), pertanian lahan kering (2405.24 ha), sawah (2981.61 ha), semak/belukar rawa (31.71 ha), tambak (4.91 ha) dan tanah terbuka (273.79 ha). Luas lahan mangrove di tahun 2011 mengalami penurunan, yakni hanya tinggal 244.77 ha. Hal ini terjadi karena pengalihfungsian lahan mangrove (jalur hijau) di Kecamatan Bandar Khalifah terutama di Desa Dusun III Desa Khalifah menjadi lahan tanaman kelapa sawit dan ubi kayu oleh para pengusaha domestik. Perubahan fungsi tersebut menyebabkan terjadi penurunan kualitas tanah.
Untuk mengkaji kualitas tanah pada lokasi yang dialihfungsikan tersebut, penulis telah melakukan suatu penelitian dan analisis terhadap sifat tanah yang mudah berubah. Beberapa sifat tanah yang dapat berubah dalam jangka waktu harian (ephemeral) adalah kadar air, respirasi tanah, pH, nitrogen, kalium, fosfat tersedia dan kerapatan lindak tanah.
10 Warta Konservasi Lahan Basah
Metoda Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Sub DAS Padang Desa Kayu Besar dan Desa Bandar Khallifah, Kecamatan Bandar Khalifah Kabupaten Serdang Bedagai pada ketinggian 0-10 mdpl, dengan menggunakan metoda survei. Persiapan penelitian diawali dengan pengumpulan peta DAS, peta topografi dan peta penggunaan lahan. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara acak berdasarkan satuan penggunaan lahan meliputi lahan ubi kayu (03O35’396” U dan 099O23’975” T), lahan kelapa sawit (03O43’164” U dan 099O27’509” T) dan lahan mangrove (03O33’884” U dan 099O22’312” T). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian USU Medan, meliputi sifat kimia tanah yakni pH, kadar N total, fosfat tersedia, basa-basa tukar (K, Mg dan Ca), dan karbon organik tanah, sifat fisik tanah yakni permeabilitas, porositas, kerapatan lindak dan tekstur tanah, serta sifat biologi tanah meliputi kandungan CO2 tanah (Poerwowidodo, 1992). Data hasil analisis ditetapkan kriterianya menurut kriteria Balai Penelitian Tanah (2005), selanjutnya data yang diperoleh diuji korelasinya menggunakan program SPSS versi 22.00.
1. Sifat Kimia dan Biologi Tanah Tabel 1 menunjukkan nilai rataan beberapa sifat kimia tanah dan konsentrasi CO2 tanah pada peruntukan lahan ubi kayu, kelapa sawit dan mangrove. Dari Tabel 1 dapat dilihat pH pada lahan dengan vegetasi ubi kayu, kelapa sawit dan mangrove termasuk kriteria agak masam. Nilai pH tanah yang agak masam mempengaruhi ketersediaan unsur hara tanah pada hampir seluruh penggunaan lahan terutama unsur hara fosfat dan kalium dengan korelasi yang sangat kuat (Tabel 3). Kandungan nitrogen total berkorelasi kuat dengan kandungan bahan organik tanah. Kadar fosfat tersedia termasuk sangat rendah pada ketiga vegetasi di atas sedangkan kalium dapat tukar termasuk rendah pada penggunaan lahan ubi kayu dan kelapa sawit. Keberadaan kation-kation tukar tanah pada seluruh penggunaan lahan sangat rendah. Hal ini didukung dengan rendahnya kandungan liat tanah pada seluruh penggunaan lahan yakni kurang dari 25%. Peran liat sangat penting meningkatkan kemampuan mempertukarkan kation yang secara luas merupakan sumber dari unsur hara tanaman (Konhke, 1968). Semakin rendah persentase liat di dalam tanah kemampuan mempertukarkan kation semakin rendah pula. Perbedaan yang
Berita Lahan Basah Tabel 1. Rataan Sifat Kimia Tanah dan Kandungan CO2 Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Wilayah Hilir DAS Padang (pengambilan sampel pada Maret 2011) Penggunaan Lahan
pH
N-total P- tersedia K- tukar Mg-tukar Ca-tukar CCO2 (%) (me/ (me/ (me/ (me/ organik (mg/ 100g) 100 g) 100 g) 100 g) (%) 100 g)
6.19am
0.17r
3.87sr
0.24r
0.06sr
0.67sr
1.69r
4.96
Kelapa Sawit 6.01am
0.23sd
3.74sr
0.29r
0.05sr
0.38sr
1.24r
2.00
Mangrove
0.32
4.65
0.33
0.08
0.25
3.59
5.48
Ubi Kayu
6.57
am
sd
sr
sd
sr
sr
t
2. Sifat Fisika Tanah
Keterangan : am (agak masam), n (netral), r (rendah), t (tinggi), sd (sedang) dan sr (sangat rendah)
menonjol terlihat pada kandungan karbon organik tanah, persentase tertinggi yakni pada penggunaan lahan mangrove sebesar 3.59 % sedangkan terendah pada penggunaan lahan sawit yakni 1.24%. Kandungan karbon organik tanah dan ketersediaan bahan organik berkorelasi positif dan kuat dengan porositas, permeabilitas dan kadar CO2 tanah. Di antara beberapa penggunaan lahan tersebut, tanah di hutan mangrove memiliki kualitas tanah yang lebih baik. Hal ini disebabkan lahan mangrove merupakan lahan yang masih alami dan belum mengalami tindakan pengolahan tanah. Siklus karbon yang tertutup pada lahan mangrove cenderung menekan proses dekomposisi terutama saat kondisi lahan anaerob, yang menyebabkan proses oksidasi berjalan lambat.
Kondisi aerasi berpengaruh dalam pengambilan kalium tanah (Foth, 1994). Porositas tanah tertinggi adalah pada lahan mangrove yakni 76 % diikuti pada lahan sawit dan ubi kayu yakni 68%dan 62%. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa kandungan kalium pada lahan mangrove termasuk sedang dan lebih tinggi dibanding pada lahan ubi kayu, karet dan sawit.
secara berurutan paling tinggi pada penggunaan lahan mangrove dan ubi kayu. Kandungan fosfat yang tidak larut di dalam tanah akan bereaksi dengan air dan CO2 menghasilkan fosfat yang larut di dalam air serta kalsium bikarbonat yang larut. Dengan demikian semakin besar jumlah CO2 yang dihasilkan pada proses respirasi mikroorganisme dalam tanah maka semakin besar kandungan fosfat terlarut dan selanjutnya meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah.
Tabel 2 di bawah ini menunjukkan bahwa permeabilitas tanah tertinggi terjadi pada penggunaan lahan mangrove yakni 2.57 cm/jam (sedang) dan terendah pada lahan sawit yakni 1.75 cm/jam (agak lambat). Permeabilitas tanah yang rendah ini berkorelasi positif dan sangat kuat terhadap kandungan bahan organik dan kandungan CO2 tanah di lahan bervegetasi kelapa sawit dan berkorelasi negatif dan kuat terhadap kerapatan lindak tanah (Tabel 3) (Suwarno, 2012).
Tabel 2. Data Sifat Fisika pada Beberapa Penggunaan Lahan di Wilayah Hilir DAS Padang (Pengambilan sampel pada Maret 2011) Penggunaan Lahan
Permeabilitas (cm/jam)
Porositas (%)
Kerapatan lindak (g/cm3)
Liat (%)
Tekstur
Ubi Kayu
2.24sd
62
1.03
22
Sawit Mangrove
1.75al 2.57sd
66 76
0.91 0.66
12 22
Lempung liat berpasirah Lempung berpasirak Lempung liat berpasirah
Aplikasi pupuk organik berupa kotoran Keterangan : sd (sedang), al (agak lambat), ah (agak halus) dan ak (agak kasar) kambing yang dilakukan petani ubi belum mampu meningkatkan Tabel 3. Matriks Korelasi Sifat Kimia, Fisika dan Biologi Tanah kandungan Sifat Tanah pH C-org N-total P-tersedia K-dd Kerapatan Porositas Permeabilitas CO2 unsur hara. lindak Adapun unsur pH 0.237 0.578 0.881* 0.896* 0.106 -0.080 0.054 0.119 kalium pada C-org 0.658 0.286 0.169 -0.715 0.703 0.885* 0.773 lahan ubi kayu, N-total 0.754 0.743 -0.683 0.687 0.290 0.183 karet dan P-tersedia 0.893* -0.261 0.296 0.015 0.088 sawit termasuk K-dd -0.056 0.074 -0.184 -0.195 rendah, namun Kerapatan -0.999** -0.497 -0.401 sedikit terjadi lindak peningkatan Porositas 0.488 0.405 pada lahan Permeabilitas 0.960** mangrove. CO2 Kandungan CO2 dalam Keterangan : *) korelasi nyata pada level 0.05; **) korelasi nyata pada level 0.01 mg/100 g tanah .....bersambung ke hal 23
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 11
Berita Lahan Basah
Mangrove di Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Saniyatun Mar’atus Solihah*
T
aman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Seribu merupakan gugusan kepulauan di Teluk Jakarta, membentang sekitar 100 mil dengan luas 108.000 ha atau mencapai sebelas kali luas daratan Jakarta. Kawasan taman nasional laut yang berlokasi 45 km sebelah utara Kota Jakarta itu merupakan kawasan pelestarian alam bahari dengan zona konservasi yang terus dijaga. Terdapat 78 pulau besar dan kecil dengan ketinggian tidak lebih dari 3 mdpl, dan semuanya merupakan gugusan pulau karang (Dephut, 2014). Dalam pengelolaannya, TNKpS dibagi berdasarkan zonasi. Menurut Yudista (2010), zonasi tersebut dibagi menjadi 4 (empat), yaitu 1) Zona Inti Taman Nasional (4.449 ha) merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona ini dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Zona inti I, Zona inti II dan
Zona inti III. 2) Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284,50 ha) yang merupakan bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti. 3) Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 ha) merupakan bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. 4) Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 ha) merupakan bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat. Kawasan TNKpS merupakan kawasan yang potensial sebagai tempat tumbuhnya mangrove. Hal ini dipengaruhi karena faktor alam yang mendukung seperti ketersediaan suplai air tawar yang berasal dari daratan pulau serta suplai sedimen atau subtrat. Hutan mangrove di kawasan TNKpS mempunyai peranan penting dalam ekosistem di sekitarnya, terutama sebagai penyangga (buffer zone) bagi
daratan pulau-pulau kecil. Sampai saai ini, keberadaan hutan mangrove di kawasan TNKpS selalu dipelihara dan dikelola dengan baik dan lestari. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Arboretum Mangrove di Pulau Kelapa Dua yang mengoleksi sekitar 12.000 spesimen mangrove dari 9 jenis mangrove. Jenisjenis tersebut antara lain Rhizophora stylosa, R. mucronata, R. apiculata, Bruguiera cylindrical, B. gymnorhiza, Ceriops tagal , Xylocarpus granatum, Avicennia marina, dan Sonneratia alba. Fieldtrip pengamatan jenis-jenis mangrove dilaksanakan selama dua hari pada tanggal 9-10 Agustus 2014 di zona pemukiman dengan stasiun pengambilan data pada zona pemanfaatan wisata (Gambar 1). Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara menyusuri pulau-pulau di kawasan zona pemanfaatan wisata di TNKpS dan wawancara dengan warga setempat serta salah seorang staf TNKpS. Jenis-jenis yang ada diidentifikasi, dicatat dan didokumentasikan, serta diambil
12 Warta Konservasi Lahan Basah Gambar 1. Hutan mangrove di zona pemanfaatan wisata Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Foto: Saniyatun M. Solihah).
Berita Lahan Basah beberapa bagian untuk dijadikan herbarium, terutama yang belum diketahui nama jenisnya untuk diidentifikasi lebih lanjut. Tujuan dari fieldtrip ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan persebaran jenis vegetasi mangrove di zona pemanfaatan wisata TNKpS.
menyediakan tempat penangkaran jenis yang menunjang kegiatan tersebut. Seperti penangkaran penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan Arboretum mangrove (Gambar 2). Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil identifikasi, dilaporkan bahwa di zona pemanfaatn wisata TNKpS ditemukan 14 suku 17 marga dan 20 jenis vegetasi mangrove yang tersebar di beberapa pulau (Tabel 1.).
Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS Zona Pemanfaatan Wisata terletak pada posisi geografis 5°30’00”-5°38’00” LS dan 106°25’00”-106°40’00” BT, hingga 5°38’00”-5°45’00” LS dan 106°25’00”106°33’00” BT. Menurut Yudista (2010) zona ini meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Sebaru Besar, Lipan, Kapas, Sebaru Kecil, Bunder, Karang Baka, Hantu Timur, Hantu Barat, Gosong Laga, Yu Barat/Besar, Yu Timur, Satu/Saktu, Kelor Timur, Kelor Barat, Jukung, Semut Kecil, Cina, Semut Besar, Sepa Timur/ Kecil, Sepa Barat/Besar, Gosong Sepa, Melinjo, Melintang Besar, Melintang Kecil, Perak, Kayu Angin Melintang, Kayu Angin Genteng, Panjang, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat/Pelangi, Putri Kecil/ Timur, Putri Barat/Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan Besar/Matahari, Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Ketamba, Gosong Munggu, Kotok Besar, dan Kotok Kecil. Dalam pengelolannya, zona pemanfaatan wisata dilakukan dengan kegiatan pendidikan, penelitian, wisata alam atau wisata bahari. Zona ini juga
Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat menambah informasi baru di dunia ilmu pengetahuan yang nantinya dapat menjadi acuan bagi masyarakat luas dalam pengelolaan dan penggunaan mangrove secara bijak. •• Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI Email:
[email protected]
Tabel 1. Jenis-jenis vegetasi mangrove sejati dan ikutan yang ditemukan di zona pemanfaatan wisata TNKpS. No
Nama ilmiah
Nama lokal
Suku
Kelompok
1.
Artocarpus altilis
Sukun
Moraceae
Mangrove ikutan
2.
Avicennia marina
Api-api
Acanthaceae
Mangrove sejati
3.
Barringtonia asiatica
Butun
Lecythidaceae
Mangrove ikutan
4.
Bruguiera cylindrica
Tanjang
Rhizophoraceae
Mangrove sejati
5.
Bruguiera gymnorrhiza
Putut
Rhizophoraceae
Mangrove sejati
6.
Calophyllum inophyllum
Nyamplung
Guttiferae
Mangrove ikutan
7.
Casuarina equisetifolia
Cemara laut
Casuarinaceae
Mangrove ikutan
8.
Ceriops tagal
Tengar
Rhizophoraceae
Mangrove sejati
9.
Hibiscus tiliaceus
Waru
Malvaceae
Mangrove ikutan
10.
Ipomoea pes-caprae
Batata pantai
Convolvulaceae
Mangrove ikutan
11.
Morinda citrifolia
Mengkudu
Rubiaceae
Mangrove ikutan
12.
Pandanus odoratissima
Pandan pantai
Pandanaceae
Mangrove ikutan
13.
Pemphis acidula
Sentigi
Lythraceae
Mangrove sejati
14.
Premna serratifolia
Rogo-rogo
Lamiaceae
Mangrove ikutan
15.
Rhizophora stylosa
Bakau
Rhizophoraceae
Mangrove sejati
16.
Rhizophora apiculata
Bakau
Rizhophoraceae
Mangrove sejati
17.
Rhizophora mucronata
Bakau-bakau
Rizhophoraceae
Mangrove sejati
18.
Sonneratia alba
Pedada/Perepat laut
Sonneratiaceae
Mangrove sejati
19.
Terminalia catappa
Ketapang
Combretaceae
Mangrove ikutan
20.
Xylocarpus granatum
Nyiri batu
Meliaceae
Mangrove sejati
Barringtonia asiatica
Gambar 2. Arboretum Mangrove di Pulau Kelapa Dua TNKpS (Foto: Saniyatun M. Solihah). Casuarina equisetifolia
Ipomoea pes-caprae
Premna serratifolia
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 13 Rhizophora stylosa
Pemphis acidula
..... sambungan dari halaman 7
Wetlands for Our Future, oleh-oleh COP 12 Konvensi Ramsar 2015 ..... 3. Resolusi 9 (The Ramsar Convention’s Programme on Communication, Education, Participation and Awareness (CEPA) 2016-2021): COP mengadopsi Program CEPA 2016-2024, untuk memberikan bimbingan kepada negara pihak, Sekretariat dan stakeholder lainnya untuk mengembangkan aksi pelibatan masyarakat luas terhadap konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana. 4. Resolusi 10 (Ramsar Wetland City Accreditation/ RWCA): COP menyetujui pembentukan sistem akreditasi kota “Wetland City Accreditation” dan mengundang negara-negara pihak untuk mengajukan akreditasi bagi kotakota di negaranya yang terletak dekat dengan Situs Ramsar dan/ atau lahan basah lainnya yang secara signifikan memenuhi kriteria. 5. Resolusi 11 (Peatlands, climate change and wise use: Implications for the Ramsar Convention): COP meminta Sekretariat, bekerjasama dengan The Scientific and Technical Review Panel (STRP), International Organizational Partners (IOPs) dan pemangku kepentingan lainnya, untuk menyusun best practices teknik restorasi di lahan gambut dan menyediakannya di situs resmi Ramsar. COP juga mendorong Ramsar untuk berkolaborasi dengan konvensi/ organisasi internasional yang relevan termasuk UNFCCC, terkait lahan gambut dan perubahan iklim. STRP juga diminta untuk mengembangkan pedoman inventarisasi lahan gambut, dan metode praktis untuk rewetting dan restorasi di lahan gambut. Pada Resolusi 11, Indonesia mengusulkan referensi
14 Warta Konservasi Lahan Basah
untuk lahan gambut sehingga dapat membantu pengurangan risiko bencana alam. Indonesia juga menambahkan usulan pada paragraph 21 bahwa “para pihak perlu membatasi semua kegiatan pembangunan di lahan gambut yang menerapkan drainase, karena selain mengemisikan GRK, juga menyebabkan subsidensi gambut yang dapat megakibatkan terbentuknya depresi (cekungan di lahan gambut) banjir.” Usulan Indonesia tersebut diterima oleh COP.
miliar orang, dan menjadi ancaman nyata bagi pelestarian fungsi ekosistem; • menyambut Rencana Strategis baru dan menginformasikan kepada mitra dan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan pedoman dimaksud;
6. Resolusi 13 (Wetlands and Disaster Risk Reduction/ DRR): COP meminta negara pihak untuk mengintegrasikan manajemen pengurangan risiko bencana berbasis lahan basah (wetlandsbased disaster risk reduction) ke dalam rencana strategis nasional dan semua kebijakan pembangunan yang relevan.
• menyoroti kebutuhan untuk memperkuat kemitraan dengan individu dan organisasi lainnya yang bertanggung jawab untuk operasional dan pemeliharaan Situs Ramsar dan lahan basah penting lainnya, termasuk dalam kaitannya dengan air, mata pencaharian, keanekaragaman hayati, pengurangan risiko bencana, ketahanan pangan dan penyimpanan karbon sebagai sarana untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mempromosikan Pelaksanaan Konvensi Ramsar.
Deklarasi Punta del Este
Ramsar Awards
Dalam resolusi akhir (Resolusi 16), COP12 berterima kasih kepada Uruguay sebagai negara tuan rumah, atau dikenal juga sebagai “Deklarasi Punta del Este”. Suatu Deklarasi akan meningkatkan visibilitas Konvensi dan menunjukkan komitmen yang kuat dari negaranegara pihak terhadap Rencana Strategis 2016-2024, kepedulian terhadap lahan basah dan isu-isu lingkungan lainnya, serta keinginan untuk memperkuat hubungan kolaboratif dengan organisasi dan stakeholder lainnya. Dalam Deklarasi ini juga menegaskan antara lain sebagai berikut:
Pada tanggal 3 Juni 2015, dilaksanakan penganugerahan Ramsar Awards, yaitu sebuah penghargaan bagi individu-individu, proyek, program atau kebijakan yang telah memberikan kontribusi yang documented dan signifikan dalam pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui peningkatan kesadaran, kampanye, restorasi maupun upaya konservasi lainnya secara berkesinambungan untuk jangka panjang, dan dapat diduplikasi dalam pengelolaan lahan basah lainnya di dunia. Ramsar Awards disajikan dalam tiga kategori, yaitu Wetlands Wise Use diberikan kepada Giselle Hazzan, Manager Ein Afek Nature Reserve (EANR), Israel; Innovation diberikan kepada Jean-Christophe Henry, OceaniumDirector, Senegal; dan Young Wetland Champions diberikan kepada Jorge
• kekhawatiran bahwa sejak tahun 1900 lebih dari 64% lahan basah di dunia telah hancur, yang menyebabkan pengurangan ketersediaan air bersih bagi dua
Emmanuel Escobar Moreno, Director Fundacion Humedales Bogota, Colombia. Pada kesempatan ini, juri juga memberikan Merit Award kepada tiga individu yang memiliki prestasi dan dedikasi luar biasa dalam pengelolaan lahan basah, yaitu Prof. Gea Jae Joo, Pusan National University, Republic of Korea; Jean Jalbert, Director Tour du Valat, Perancis; dan Prof. William Mitsch, Director Everglades Wetland Research Park, USA. Ketiga pemenang Ramsar Award menerima hadiah sebesar US $ 10.000, yang disumbangkan oleh DANONE Group, sebagai bagian dari dukungan untuk Konvensi Ramsar. Sedangkan para penerima Merit Award menerima print Edisi Terbatas dari artis terkenal Jeremy Houghton. Penganugerahan Ramsar Awards ini merupakan suatu kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh penggiat lahan basah di dunia, terutama bagi individu-individu di Indonesia yang memiliki program atau kebijakan yang signifikan dalam pemanfaatan lahan basah secara bijaksana, sehingga dapat diusulkan menjadi nominasi penerima Ramsar Awards pada COP13 mendatang yang rencananya akan diselenggarakan pada tahun 2018 di Dubai.
Tindak Lanjut Konferensi COP12 Hasil COP12 Konvensi Ramsar menegaskan bahwa lahan basah sangat penting bagi pembangunan dan masa depan kita. Indonesia dengan luas lahan basah mencapai 40 juta ha maka perlu melakukan upayaupaya sebagai berikut: a. Mendorong kegiatan restorasi kawasan gambut yang terdegradasi di Indonesia melalui berbagai kegiatan restorasi seperti blocking kanal, sistem surjan, rehabilitasi vegetasi dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).
b. Terkait 7 Situs Ramsar yang ada di Indonesia yaitu TN Berbak, TN Danau Sentarum, TN Wasur, TN Sembilang, TN Rawa Aopa, SM Pulau Rambut, dan TN Tanjung Puting, 3 diantaranya (TN Berbak, TN Danau Sentarum, TN Wasur) perlu diupdate data dan informasi perkembangannya jika terdapat perubahan dalam karakter ekologi pada kawasan tersebut. Disamping itu ketujuh Situs Ramsar dimaksud perlu mengkaji kembali sejauh mana penerapan konsep wise use dari lahan basah di wilayahnya telah diterapkan sebagai salah satu komitmen konservasi lahan basah, sehingga diharapkan dapat menjadi contoh bagi kawasan lahan basah lainnya. c. Mendorong CEPA National Focal Point untuk mengembangkan pusat pendidikan lahan basah sebagai tempat untuk belajar dan pelatihan tentang lahan basah, memfasilitasi website Konvensi dan penerjemahan berbagai panduan, pedoman dan hasil-hasil Konvensi Ramsar ke dalam Bahasa Indonesia. Selama ini CEPA National Focal Point telah aktif menyelenggarakan perayaan Hari Lahan Basah Sedunia yang diperingati setiap tanggal 2 Februari sebagai salah satu sarana untuk membangkitkan kepedulian masyarakat tentang pentingnya keberadaan ekosistem lahan basah di sekitar kita. Kegiatan yang dilakukan antara lain berupa penanaman mangrove dan aksi bersih pantai. Tercatat 95 negara termasuk Indonesia telah melakukan aktivitas perayaan Hari Lahan Basah Sedunia dalam berbagai bentuk, dari seminar dan kuliah singkat, lintas alam, kontes seni anakanak, balap sampan, hingga aksi bersih (clean-up day) yang dilakukan bersama komunitas masyarakat.
d. STRP National Focal Point dalam hal ini LIPI harus memprioritaskan wilayah kerja tematik sebagai implementasi Konvensi Ramsar untuk triennium 2016-2018, diantaranya: metodologi untuk memonitor Situs Ramsar, best practices untuk implementasi rencana aksi dan pengelolaan lahan basah nasional, metodologi untuk valuasi ekonomi dan non-ekonomi barang dan jasa di lahan basah, metodologi inovatif untuk restorasi lahan basah terkait dengan perubahan iklim, serta mengadopsi pengetahuan tradisional masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai salah satu dasar pengetahuan dari STRP.
Penutup Konsep wise use dalam pengelolaan lahan basah yang digadangkan oleh Konvensi Ramsar dapat diartikan sebagai “pemeliharaan karakter ekologis lahan basah dalam implementasi pembangunan demi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan, agar sumberdaya alam lahan basah tersebut tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita.” Dibutuhkan tindakan lokal, aksi nasional dan kerjasama internasional dalam pengelolaan lahan basah sebagai bentuk kontribusi kita untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada khususnya, dan di seluruh dunia pada umumnya. Kesepahaman berbagai pihak (mulai dari Pemerintah pusat dan daerah, swasta, LSM, perguruan tinggi hingga masyarakat lokal) dalam mendukung implementasi hasil-hasil Konvensi Ramsar di Indonesia sangatlah penting untuk mewujudkan konsep wise use dalam pengelolaan ekosistem lahan basah yang komprehensif. Semoga kita mendapatkan manfaat dan dapat mengaplikasikannya secara nyata. •• *Kepala Subdit Konservasi Lahan Basah, Perairan dan Ekosistem Esensial
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 15
Flora & Fauna Lahan Basah
Menjaga dan Melestarikan Keanekaragaman Hayati
di Bukit Rigis, Kab. Lampung Barat
(Bagian 1) Esti Munawaroh*
H
utan Lindung Bukit Rigis 45B (luas ± 8.295,00 Ha), yang terletak di Kecamatan Kebon Tebu, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, memiliki sumber keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Namun, seiring laju deforestasi, alih fungsi lahan, bencana alam dan berbagai aktifitas manusia lainnya seperti pembalakan liar yang terjadi di Hutan Lindung Bukit Rigis, telah mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kekayaan hayati di dalamnya.
Untuk melestarikan, mendayagunakan dan mengembangkan potensi tumbuhan di Hutan Lindung Bukit Rigis 45B, Pusat Konservasi Tumbuhan -Kebun Raya Bogor (PKT-KRB) – LIPI, pada tahun 2014 telah melakukan kegiatan konservasi dan penelitian di Hutan Lindung Bukit Rigis 45B. Kegiatan ini bertujuan untuk
Foto Tim Eksplorasi Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Liwa
16 Warta Konservasi Lahan Basah
mengetahui penyebaran suatu tumbuhan, mengumpulkan koleksi hidup untuk dikonservasikan secara ex-situ di Kebun Raya Liwa, Kab. Lampung Barat, Prop. Lampung, dan dikembangkan serta diteliti lebih lanjut sebagai spesimen hidup yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam mencari koleksi tumbuhan hidup, akan dilengkapi dengan spesimen herbarium, dan data pendukung lainnya. Adapun tumbuhan yang menjadi sasaran utama dalam eksplorasi ini adalah tumbuhan yang bepotensi hias, pangan, buah-buahan, obat dan tumbuhan bernilai ekonomi. Jenis-jenis yang diprioritaskan adalah jenis-jenis yang mempunyai status jarang, langka, terkikis, terancam punah atau endemik, juga tumbuhan yang menjadi icon Kebun Raya setempat Hasil tumbuhan koleksi yang didapatkan adalah: Tumbuhan Non Anggrek (tumbuhan umum) sebanyak 52 suku, 107 marga dan 160 jenis dan 1.060 spesimen. Hasil eksplorasi tersebut ditumbuh kembangkan di pembibitan Kebun Raya Liwa. Jenis-jenis yang berhasil diinventarisasi dan dikoleksi untuk dikonservasikan di Kebun Raya Liwa diantaranya adalah sebagai berikut:
Jenis Shorea sp. (Dipterocarpaceae) Koleksi Suku Dipterocarpaceae mendapatkan dua jenis yaitu Jenis Shorea sp. (WS 553/099) dan jenis Hopea sp. (WS 500/46). Berbagai jenis kayu meranti dihasilkan oleh marga Shorea, sekitar 70 spesies dari marga ini menghasilkan kayu meranti merah. Meranti merah tergolong kayu keras berbobot ringan sampai berat-sedang. Berat jenisnya berkisar antara 0,3 – 0,86 pada kandungan air 15%. Kayu terasnya berwarna merah muda pucat, merah muda kecoklatan, hingga merah tua atau bahkan merah tua kecoklatan. Meranti merah merupakan salah satu kayu komersial terpenting di Asia Tenggara. Kayu ini lazim dipakai sebagai kayu konstruksi, panil kayu untuk dinding, bahan meubel dan perabot rumahtangga, mainan, peti mati kusen pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, bahan membuat perahu, dan lain-lain. Selain itu, kayu ini cocok untuk dijadikan bubur kayu, bahan pembuatan kertas. Hampir semua meranti merah juga menghasilkan damar, yakni sejenis resin yang keluar dari batang atau pepagan yang dilukai. Damar keluar dalam bentuk cairan kental berwarna kelabu, yang pada akhirnya akan mengeras dalam warna kekuningan, kemerahan atau kecoklatan, atau lebih gelap lagi.
Flora & Fauna Lahan Basah
Je
t
n is
rn
o
t
Je
Fo
Fo
o
.
1.100 mdpl. Topografi secara umum berbukit. Temperatur udara waktu pengambilan 26°C, kelembaban udara lebih dari 70%.
Sho
r e a sp
.
Beberapa jenis meranti merah menghasilkan buah yang mengandung lemak serupa kacang, yang dikenal sebagai tengkawang. Pada musim-musim tertentu setiap beberapa tahun sekali, buah-buah tengkawang ini dihasilkan dalam jumlah yang berlimpah-ruah. Tumbuhan jenis tesebut perbanyakan secara alami kurang berhasil sehingga susah kita dapatkan. Jenis tersebut ditumbuhkembangkan di Kebun Raya Liwa, untuk nantinya sebagai wakil dari suku Dipterocarpaceae yang ditanam di KR Liwa.
Jenis Diospyros spp. (Ebenaceae) Diospyros adalah salah satu marga anggota suku eboni-ebonian atau Ebenaceae. Anggotanya di seluruh dunia mencakup sekitar 450-500 jenis pohon dan perdu hijau abadi atau peluruh. Umumnya tumbuh di daerah tropis, beberapa diantaranya tumbuh di daerah beriklim sedang.
Dio s
p yr o s b u x i f o l i a
(B
ei
e
Dikawasan eksplorasi diketemukan dua jenis yaitu Diospyros buxifolia (Bl.) Heiern dan Jenis Diospyros sp. Jenis Diospyros buxifolia (Bl.) Heiern (Ebenaceae) merupakan tumbuhan berkayu, sering disebut dengan nama kayu hitam. Tumbuh pada ketinggian 990 mdpl, tanah liat dengan pH 6,2, kelembaban anah 40%, tempat tumbuh lereng dengan kemiringan lebih kurang 45°. Topografi secara umum berbukit. Temperatur udara waktu pengambilan 24°C, kelembaban udara lebih dari 87%. Pohon tinggi hingga 30m. Kulit kayu hitam, ranting muda bundar; pohon muda dengan cabang-cabang verticillate. Daun: daun sederhana, alternatif, distichous; tangkai daun 0,1cm, subsessile; lamina untuk 2-4x1-1,5cm, berbentuk bulat panjang atau elips-bulat telur, akut di kedua ujungnya, kekuningan berbulu halus ketika muda, gundul ketika dewasa, coklat tua di atas berwarna coklat muda di bawah; cabang tulang daun 3-5 pasangan, tidak menonjol; Bunga: Bungaber kelamin tunggal, dioecious; bunga jantan 1-4 bersama kecil subsessile; bunga betina soliter, aksiler, subsessile. Buah dan Benih: Berry, oblong, menjadi 1,4cm. Manfaat: sebagai bahan bangunan dan alat rumah tangga.
Habitat: hutan primer dan sekunder di daerah tropika basah, ketinggian sampai 1.500 mdpl. Namun pada jenis yang liar ditemukan tumbuh pada ketinggian 2.100 mdpl. Distribusi: tersebar luas baik ditanam maupun tumbuh liar di kawasan Malesia, juga telah ditanam di Indo Cina, India dan di Thailand. Buahnya dapat dimakan langsung, agak asam, biasanya untuk rujak dan asinan. Buah muda dimanfaatkan untuk mengobati diare dan disentri. Kayunya untuk bahan bangunan rumah dan pembuatan mebel. Perbanyakan tanaman biasanya dengan biji. Namun cangkok dan pertunasan juga dapat dilakukan.
Jenis Flacourtia rukam Zoll. & Mor. (Flacourtiaceae) Jenis Flacourtia rukam merupakan tumbuhan berupa anakan yang diketemukan pada ketinggian
ot
F
Marga ini mencakup banyak jenis bernilai komersial, baik buahnya yang dapat dimakan (misalnya kesemek dan bisbul) maupun kayunya yang berkualitas tinggi, seperti kayu eboni hitam (D. ebenum) dan kayu eboni bergaris alias kayu hitam sulawesi (D. celebica). Teras kayu (hati kayu) Diospyros biasanya keras dan gelap, sehingga di banyak daerah di Indonesia dinamai sebagai kayu arang.
nis
H l. )
Pohon, tinggi mencapai 20 m, batang dan cabang berlekuk dan beralur, cabang berduri. Daun bundar telur lonjong atau jorong sampai lonjong melanset, panjang 10 - 18 cm dan lebar 4 - 9 cm, permukaan bagian atas hijau mengkilat, daun mudanya merah kecoklatan. Perbungaan aksiler, tandan dengan beberapa bunga. Bunga kuning kehijauan, biasanya uniseksual, daun kelopak 4, mahkota tidak ada; bunga jantan dengan banyak benang sari; bunga betina tanpa benang sari, tangkai putik 4 - 8, kepala putik bercuping 2. Buah bulat, hijau mengkilat sampai kemerahan atau hijau keunguan sampai merah gelap, daging buah asam. Biji 4 - 7 memipih.
oJ
e ni
s Fla
co urti a r u k a m
Zo
ll.
.....bersambung ke hal 21
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 17
Flora & Fauna Lahan Basah
Mengenal Jeringau (Acorus calamus L.) Tumbuhan Akuatik dengan Berbagai Manfaat Obat dan Budaya Farid Kuswantoro*
A
corus calamus L. merupakan tumbuhan dari suku Acoraceae. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini disebut Sweet Flag atau Calamus. Di Indonesia disebut Jeringau atau Jaringau walaupun ada sedikit variasi penyebutan di beberapa daerah, sebagai contoh di Sumatera disebut sebagai Jerango, di Jawa disebut Dringo dan di Bali disebut Jangu. Tumbuhan ini telah lama dikenal oleh masyarakat di Indonesia dan bahkan di dunia sebagai obat tradisional.
Deskripsi Acorus calamus L. adalah tumbuhan tahunan yang dapat tumbuh hingga 150 cm. Rimpang merayap, bercabang, berdiameter sampai 3 cm, bagian luar berwarna kuning
Acorus calamus L. di Taman Akuatik Kebun Raya 18 Warta Konservasi Lahan Basah “Eka Karya” Bali-LIPI
pucat sampai kecoklatan sedangkan bagian dalam berwarna putih sampai sedikit kemerah mudaan. Pada bagian atas rimpang terdapat bekas daun berbentuk “v”. Daun aromatik, tegak, berbentuk bangun pedang linear, ujung daun meruncing, dengan midrib yang terlihat jelas. Daun berwarna hijau mengkilat, namun kadang agak keputihan di pangkalnya. Pembungaan muncul dari rimpang, tegak, tongkol bunga lurus atau sedikit berlekuk, sepanjang kurang lebih 10 cm. Bunga banci tersusun pada tongkol, buah berry dengan sedikit biji. Tumbuhan ini biasa diperbanyak dengan menggunakan rimpangnya.
Habitat dan Persebaran Acorus calamus L. adalah salah satu penyusun ekosistem akuatik. Tumbuhan ini biasa hidup di
lingkungan eutropik, dan dapat dijumpai di kolam, sawah, parit, rawa-rawa dan kolam ikan. Di Pulau Jawa tumbuhan ini dapat ditemui sampai pada ketinggian 2100 mdpl. Tumbuhan ini diduga berasal dari China dan India dan masuk ke Eropa pada abad ke 16. Di Asia tenggara tumbuhan ini tumbuh di Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Filipina, IndoCina dan Thailand. Tumbuhan ini sudah di budidayakan di beberapa tempat.
Etnobotani Acorus calamus L. sudah digunakan sebagai obat tradisional sejak zaman Mesir, Yunani dan Romawi kuno. Tumbuhan ini juga disebutkan dalam kitab pengobatan Ayuverda, dalam
Flora & Fauna Lahan Basah pengobatan China dan kitab Perjanjian Lama, tumbuhan ini bahkan ditemukan dalam makam Tutankhament (Van Wyk and Wink, 2004). Di Bali Acorus calamus L. juga tercatat dalam Lontar Usada, sebuah manuskrip kuno tentang pengobatan tradisional Bali yang ditulis diatas daun lontar (Sujarwo dan Arinasa, 2014). Di kebudayaan Romawi dan Arab rimpang Acorus calamus L. dipercaya mengandung efek afrodisiak, sedangkan di Amerika utara dan Eropa tumbuhan ini dikenal sebagai Panacea, obat dari segala penyakit dan sebagai bahan baku permen pada masa lalu. Bagi masyarakat China rimpang Acorus calamus L. digunakan untuk mengobati konstipasi dan peradangan. Di India rimpang Acorus calamus L. selama berabadabad telah dimanfaatkan sebagai obat untuk penyakit-penyakit saluran pencernaan seperti diare, mual dan disentri serta untuk mengobati asma, ekspektoran dan sedatif. Dalam budaya pengobatan Greco-Arab Acorus calamus L. digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit kardiovaskular. Daun Acorus calamus L. di Papua New Guinea digunakan sebagai tonik dan obat bagi sakit gigi, sedangkan rimpangnya ditumbuk dan dioleskan ke rambut untuk membunuh kutu. Di Vietnam rimpang Acorus calamus L. digunakan untuk mengobati kelainan pernafasan, rematik dan demam. Di Brunei dan Thailand Acorus calamus L. digunakan untuk mengobati penyakit saluran pencernaan dan penawar racun, sedangkan di Jepang Acorus calamus L. digunakan sebagai bahan pelengkap saat mandi karena dipercaya dapat mengobati penyakit kulit dan melancarkan aliran darah (Van Dzu, 1999). Di Indonesia dan Malaysia rimpang Acorus calamus L. digunakan sebagai obat oles untuk rematik, inflamasi dan penyakit kulit.
Rimpang Acorus calamus L. juga dikonsumsi untuk obat setelah melahirkan. Di Bali rimpang Jeringau digunakan sebagai bahan rempah (Van Dzu, 1999 & Sujarwo dan Arinasa, 2014). Bagi masyarakat Dayak Seberuang di kawasan Hutan Ensabang kabupaten Sintang Acorus calamus L. digunakan sebagai obat sesak nafas, sedangkan bagi masyarakat Dayak dan Melayu di dusun Serambai Kalimantan Barat mengunakannya untuk mengobati sakit kepala (Sari dkk., 2014). Selain sebagai obat, di beberapa etnis di Kalimantan Acorus calamus L. juga dimanfaatkan dalam kegiatan adat. Bagi masyarakat Banjar Acorus calamus L. digunakan dalam ritual Kaharingan sebagai penghalau roh jahat yang disebut Kunyang. Acorus calamus L. juga digunakan oleh masyarakat adat Dayak dalam upacara “mangkuk merah” (Solihah dan Magandi, 2014 dan Kay, 2011). Jeringau juga menjadi pelengkap ritual adat kebudayaan New Guinea dan suku Indian Amerika. (Van Dzu, 1999). Dalam dunia industri modern minyak dari rimpang Acorus calamus L. digunakan sebagai perasa minuman beralkohol, ikan, permen, kue, parfum dan insektisida. Sebagai insektisida Acorus calamus L. dapat digunakan dalam bentuk spray maupun bubuk. Bubuk dari rimpang Acorus calamus L. yang ditaburkan di gudang penyimpanan hasil panen terbukti efektif untuk mencegah kerusakan hasil panen akibat hama (Van Dzu, 1999). Beberapa penelitian menunjukan Acorus calamus L. memiliki sifat anti bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli, Salmonella typhi dan Klebsiella pneumonia. Bakteri-bakteri tersebut berperan dalam infeksi beberapa penyakit seperti diare,
demam typoid dan pneumonia. ß-asarone dari ekstrak rimpang Acorus calamus L. juga memiliki potensi sebagai anti-fungal yang dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans, jamur penyebab penyakit keputihan (Divya et al., 2011). Selain itu komponen kimia Acorus calamus L. berpotensi sebagai anti-diabetik, antihipertensi, anti-peradangan, anti-kanker, mencegah efek radikal bebas, mencegah penyakit saluran pencernaan seperti maag dan diare dan meredakan gejala asma (Divya et al., 2011 dan Balakumbahan et al., 2010).
Konservasi Acorus calamus L. termasuk dalam kategori Least Concern oleh IUCN Red List 2014. Populasi tumbuhan ini di dunia juga menunjukan tren meningkat. Bagaimanapun mengingat besarnya potensi dan pengg unaan tumbuhan ini upaya pelestarian tetap harus dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal. Menurut penuturan penduduk di dusun Serambai Kalimantan Barat tumbuhan ini sudah semakin sulit didapatkan untuk keperluan pengobatan tradisional. Tumbuhan ini juga telah mengalami kepunahan lokal di Western Seaboard, Amerika Serikat (IUCN Redlist, 2014 dan Sari dkk., 2014). Salah satu upaya konservasi ex-situ Acorus calamus L. telah dilaksanakan salah satunya di Kebun Raya “Eka Karya” BaliLIPI. Acorus calamus L. di Kebun Raya “Eka Karya” Bali dikoleksi di vak Akuatik dan vak Tumbuhan Upacara Adat Hindu Bali (Lugrayasa, 2009). ••
*UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI Email:
[email protected],
[email protected]
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 19
Fokus Lahan Basah ..... sambungan dari halaman 3
Pulau Tikus, Jangan sampai Tinggal Kenangan ..... Jika hal ini terus dibiarkan maka dalam jangka waktu beberapa tahun kedepan, Pulau Tikus hanya akan tinggal menjadi kenangan saja. Sebagai tempat berwisata pun, kondisi alam Pulau Tikus baik daratnya maupun perairannya akan terus mengalami penurunan daya tarik jika tidak segera dipulihkan. Sudah ada beberapa riset dan perlakuan dari Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu, Konsorsium Mitra Bahari Provinsi Bengkulu, Walhi dan Marine Science Diving Club (MSDC Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu), serta Loka PSPL Serang, seperti transplantasi karang, terumbu karang buatan dan fish apartement (apartemen ikan) sebagai tindakan awal untuk mengembalikan kondisi sumberdaya alam Pulau Tikus.
Dalam waktu dekat, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Bengkulu bekerjasama dengan Konsorsium Mitra Bahari Provinsi Bengkulu dan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu, berencana akan melakukan uji coba penanaman mangrove jenis Avicennia sp. dan Rhizophora sp. di beberapa bagian pantai Pulau Tikus. Untuk mengembalikan kondisi Pulau Tikus sangat diperlukan peran serta dari banyak pihak, baik pemerintah, masyarakat nelayan sebagai kelompok pemanfaat dan pihak-pihak lainnya yang peduli dengan pelestarian lingkungan.
Referensi : CCS, MaCEC and SAC-Northern Quezon. 2011. “A Voyage to Disaster Resilience in Small Islands: A Guide for Local Leaders,” Quezon City, Philippines. 164 pp. Mimura, N., L. Nurse, R.F. McLean, J. Agard, L. Briguglio, P. Lefale, R. Payet and G. Sem, 2007: Small islands. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 687-716. Van Beukering, L. Brander, E. Tompkins and E. McKenzie, 2007. Valuing the Environment in Small Islands. An Environment Toolkit. Paper copies can be requested from The Communications Team Joint Nature Conservation Committee Monkstone House City Road Peterborough UK. 66 p.
*Dosen Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu dan Ketua Konsorsium Mitra Bahari Provinsi Bengkulu Email :
[email protected])
Berita Lahan Basah ..... sambungan dari halaman 6
Peringatan Hari Air Sedunia 2015, Penanaman di Muara Sungai Progo ..... Penanaman dilakukan di sepanjang pinggir Sungai Progo serta sungai kecil yang berasal dari arah Desa Poncosari. Harapannya, dengan penanaman ini mampu mengurangi dan mencegah abrasi yang semakin parah di Pantai Selatan. Tentu saja untuk mencapai hal tersebut tidak bisa hanya dilakukan sekali atau dua kali, tetapi harus secara bertahap dan konsisten. Untuk itu, Greentech bekerja sama dengan Pemerintah Desa Poncosari melakukan kegiatan untuk menjadikan Muara Progo sebagai kawasan konservasi Mangrove. Greentech pun berkomitmen untuk terus berupaya melakukan perawatan serta pemantauan secara berkelanjutan.
20 Warta Konservasi Lahan Basah
Terakhir, kami dari Greentech mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu mensukseskan pelaksanaan aksi tanam pohon Mangrove dalam rangka Hari Air Sedunia 2015. Terima Kasih kami ucapkan kepada: 1. Pemerintah Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Bantul. 2. Wetland International Indonesia 3. Pusat Studi Lahan UPN “Veteran” Yogyakarta 4. LIFEPATCH 5. Forum Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Lingkungan (FM2PL) 6. Serta berbagai pihak yang telah membantu mensukseskan aksi ini.
* Email:
[email protected],
[email protected], Webblog: http://mkundarto.wordpress.com
Flora & Fauna Lahan Basah ..... sambungan dari halaman 17
Melestarikan Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Bukit Rigis ..... Jenis Cinnamomum javanicum Blum (Lauraceae)
ni
Je
sC
in n
am o
m u m j a va n i c u m B l u
me
Manfaat: Kayu yang digunakan untuk bangunan rumah. Tanaman ini digunakan untuk obat dengan Kadsura scandens Blume untuk mengobati sakit perut, rebusan diminum untuk mengobati kelelahan dan nyeri dada.
Dimakan segar seperti alpukat.Biji Litsea mengandung lemak yang digunakan dalam produksi sabun dan lilin. Distribusi: Taiwan, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan (di seluruh pulau), Filipina, Sulawesi. ••
Jenis Litsea garciae Vidal. (Lauraceae) Ada 4 jenis koleksi marga Litsea antara lain adalah jenis Litsea garciae, Litsea spp. (Nomor 02, 68, dan 151). Litsea adalah marga tumbuhan anggota suku Lauraceae yang kebanyakan berupa pohon atau semak. Anggotanya sekitar 200 sampai 400 jenis, tersebar di kawasan tropika dan subtropika. Kebanyakan anggota berasal dari Asia (sekitar 300-an), sisanya dari Australia, Pasifik, dan sedikit di benua Amerika. o
Je
t
Secara umum jenis Litsea garciae tergolong kedalam tanaman keras/tahunan (paranual), berupa pohon (arbor), tinggi 10 – 20 m. Percabangan jarang tidak terlalu rapat. Daun tunggal, besar, bentuk memanjang. Buah berbentuk bulat, kulit buah lunak, separoh buah ditutup oleh kelopak buah yang keras berwarna hijau. Kulit buah muda hijau, berangsur- angsur merah kalau matang. Daging buah lunak, berwarna putih. Biji berbentuk bundar, keras berwarna coklat.
Fo
Distribusi - Sarawak (Belaga, Kuching, Lawas, Limbang, Marudi dan kabupaten Miri), Sabah (Beaufort, Keningau, Kinabatangan, Labuk Sugut, Lahad Datu, Ranau, Sandakan, Sipitang, Tambunan, Tawau, Tenom dan Kabupaten Tuaran), Brunei, dan Timur dan Kalimantan Barat. Spesies ini juga diketahui tersebar di Sumatera, Jawa dan Semenanjung Malaysia. Ekologi: Dalam kerangas primer, campuran dipterocarpaceae dan hutan subpegunungan di 3001300 m ketinggian.
to
Sinonim: Cinnamomum neglectum Blume, Laurus malabatrum Burm.f. Pohon besar, sampai 35 m, diameter sampai 35 cm. Kulit halus, putih atau keabu-abuan; kulit berserat, kekuningan, kecoklatan, coklat kemerahan atau oranye; putih kekuningan gubal. Ranting gagah, 2-5 mm diameter, apikal sudut, padat berbulu, coklat kekuningan sampai coklat tua. Daun berlawanan atau subopposite, jorong sampai elips lonjong, 12-25 (-35) cm dengan 5-12, dasar cuneate sedikit membulat, ujung meruncing atau tumpul. Bunga berbulu kekuningan; gagang bunga gagah, 2-3 (-5) mm, diameter 1 mm; Buah ellipsoid dengan ujung akut; cupule berbentuk cangkir, tinggi 2-4 mm tinggi, c.8 mm diameter, berbulu; gagang bunga 4-5 mm, diameter 1-2 mm.
Fo
Jenis Cinnamomum javanicum Blume termasuk dalam anggota genus Cinnamomum dari suku Lauraceae. Koleksi yang didapatkan di kawasan ini ada 2 jenis yaitu jenis Cinnamomum javanicum Blum dan Cinnamomum sp.
Tempat tumbuh pada kawasan terganggu, situs terbuka di hutan dipterocarp campuran sampai dengan 200 m dpl. Seringkali sepanjang sungai atau di lereng bukit dengan berpasir sampai tanah liat. Juga umum dibudidayakan.
nis
Litse
a g arci a e V i d a
l
Bersambung ... Simak kelanjutan tulisan ini, pada edisi yang akan datang (Bagian 2) ... * Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Email:
[email protected]
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 21
Berita Lahan Basah ..... sambungan dari halaman 11
Teluk Doreri, situs warisan peradaban Papua ..... Hal ini menjadi pemicu ledakan jumlah alga dan plankton yang membutuhkan O2 dalam jumlah yang banyak pula. Persaingan dalam memenuhi kebutuhan O2 yang jumlahnya terbatas dan meningkatnya kadar CO2 sisa respirasi atau timbulnya suasana anoxic menjadi penyebab tunggal matinya hampir semua makhluk hidup di perairan Teluk Doreri. Hasil kajian Tururaja dan Mogea (2010) memperkuat dugaan pencemaran di Teluk Doreri karena nilai total Eschericia coli dan Eschericia coliform di beberapa stasiun pengamatan di dalam kawasan Doreri telah melewati ambang batas baku mutu untuk biota laut. Penelitian ini juga mengkonfirmasi pencemaran kawasan perairan Teluk Doreri oleh bakteri coliform.
Mau dibawa kemana masa depan Teluk Doreri? Mengapa diperlukan perhatian serius dalam penanganan pencemaran di Teluk Doreri? Sebagai tempat nelayan mencari makan, pencemaran yang terjadi tidak akan mampu menyediakan ruang yang memenuhi syarat bagi kehidupan sejumlah biota laut. Hal ini memberikan pengertian bahwa cepat atau lambat ketersediaan ikan di dalam kawasan teluk akan semakin berkurang. Nelayan harus berlayar lebih jauh ke luar teluk untuk mendapatkan hasil tangkapan yang baik. Secara insidental dalam perberbincangan saya dengan penjual ikan di Pasar Ikan Sanggeng, mereka mengakui bahwa saat ini untuk mendapatkan hasil tangkapan yang baik, mereka harus mencari tempat yang lebih jauh dibandingkan lima tahun yang lalu.
22 Warta Konservasi Lahan Basah
Kawasan sepanjang Doreri telah dikenal dengan wisata bahari - pencemaran teluk ikut mengancam keberlangsungan pariwisata laut. Keberadaan bakteri Entrobacteriaceae berpotensi mempengaruhi kesehatan para wisatawan yang melakukan kegiatan yang bersentuhan dengan air laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bakteri E.coli dapat menyebabkan diare, radang pada usus besar, dan infeksi tractus urinarius dan E. coli juga bersifat oportunistik patogenik dan enteropatogenik. Di sisi lain sektor pariwisata ikut berkontribusi bagi kehidupan ekonomi masyarakat setempat (penjual makanan, penyewa bantal berenang, pemilik perahu) yang menggantungkan hidupnya dari potensi wisata yang ada. Bersama dengan Pulau Mansinam dalam satu paket, Teluk Doreri adalah salah satu situs warisan Tanah Papua karena kontribusinya dalam perkembangan Papua modern saat ini. Oleh karena itu jika kondisi Teluk Doreri tidak segera dipulihkan dan hal ini dibiarkan berlarut-larut, dampak yang ditimbulkan akan lebih memprihatinkan dan biaya rehabilitasinya akan sangat tinggi. Program pemulihan fungsi Teluk Doreri berdasarkan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungannya perlu segera dilakukan. Otoritas pemerintah daerah melalui Bapedalda Papua Barat dan kelompok peneliti melalui Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Papua perlu segera melakukan aksi pembenahan fungsi Teluk
Doreri berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungannya. Yang terakhir dan yang tidak kalah penting, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan dalam keluarga perlu ditindak lanjuti dengan penyediaan sarana tempat pembuangan sampah oleh pemerintah daerah sehingga Teluk Doreri tidak lagi menjadi tempat pembuangan sampah dan toilet umum masyarakat di kota Manokwari. Karena itu penataan kawasan kota dengan peruntukan lahan yang sesuai perlu diatur secara bijaksana. Kompetisi penggunaan lahan “yang tidak sehat” dapat dicegah sehingga mampu mengakomodir kepentingan yang beragam bukan saja untuk sektor-sektor andalan yang mendukung perekonomian Manokwari seperti pertokoan, perhotelan dan usaha bisnis lainnya. Peran aktif Gubernur Bram Ataruri melalui slogan “kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kitorang siapa lagi” sudah seyogianya perlu diikuti dengan aksi nyata yang mendukung “Teluk Doreri Darling” atau Teluk Doreri Sadar Lingkungan yang menunjang Doreri bersih dan bersahaja diharapkan dapat memulihkan Teluk Doreri yang sedang mati suri karena sampah buangan. ••
*Laboratorium Lingkungan dan Konservasi Lingkungan Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Manokwari **Laboratorium Peternakan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua, Manokwari. Email:
[email protected]
Dokumentasi Perpustakaan
Anonim. 2015. Proyek Dana Hibah Skala Kecil (Small Grant Project) Mangroves for the Future (MFFIndonesia) Tahun 2014. KKP/ Wetlands/UNDP, 16. BAPPENAS. 2015. Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) dalam Kerangka Pembangunan Indonesia. BAPPENAS.
R
Anonim. 2015. Nilai Tambah untuk Mewujudkan Potensi Ekonomi Sumber Daya Hayati. KEHATI, 11.
Brink, P.T., D.Russi, A.Farmer and {et.al}. 2013. The Economics of Ecosystems and Biodiversity for Water and Wetlands. Ramsar/ Wetlands/IUCN, 13. I.N.S. Jaya, Hidayati, Z. Suhadi and {et.al}. 2015. Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. WALHI/KEMITRAAN, 11.
TE
Anonim. 2015. Benih dan Petani Menuju Kedaulatan Pangan Indonesia. KEHATI, 11.
BPS Kota Tarakan. 2013. Kota Tarakan Dalam Angka 2012. BPS Kota tarakan, 310.
PO S
Anonim. 2004. Kumpulan Peraturan Daerah Kota Tarakan Pelestarian Ekosistem Mangrove. PEMDA Kota Tarakan.
Santoso, H., H. Berliani, Suwito dan G. Hardiyanto. 2015. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Percepat Proses Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Kemitraan, v + 27.
Berita Lahan Basah ..... sambungan dari halaman 11
Alih Fungsi Lahan Mangrove, di Kawasan Sub DAS Padang Hilir ..... Kesimpulan dan Saran Terjadi penurunan kualitas tanah pada lahan mangrove yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Penurunan yakni terjadi pada pH, kandungan karbon organik tanah (kriteria rendah), unsur hara kalium (kriteria rendah), kation-kation basa (sangat rendah) dan permeabilitas tanah (agak lambat). Untuk lahan ubi kayu terjadi penurunan pada beberapa sifat tanah yang mudah berubah yakni penurunan pada pH, karbon organik tanah (kriteria rendah), unsur hara nitrogen dan fosfat (rendah), kation-kation basa (sangat rendah) dan permeabilitas tanah (agak lambat). Permeabilitas tanah dapat ditingkatkan melalui penambahan bahan organik tanah sehingga tanah lebih porous dan reaksi respirasi berlangsung lebih baik.
Upaya peningkatan pH tanah dapat dilakukan melalui pemberian pupuk mengandung kalsium dan magnesium yang sekaligus dapat berfungsi meningkatkan kationkation basa. Peningkatan pH diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dan nitrogen di dalam tanah di lahan kawasan Sub DAS Padang tersebut. ••
Foth, H.D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi Keenam. Erlangga, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Poerwowidodo, 1992. Metode Selidik Tanah. Usaha Nasional, Surabaya. 344 halaman.
Anonimous, 2014. http://www. dikonews.com/2013/05/13/68872kerusakan-hutan-mangrove-sudahsangat memprihatinkan. Kerusakan Hutan Mangrove Sudah Sangat Memprihatinkan. Diakses tanggal 20 November 2014. Balai Penelitian Tanah. 2005.Konservasi Tanah pada Lahan Usaha Tani Berbasis Tanaman Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Balittan, Bogor.
Islami, K.R dan Weil. 2000. Soil quality indicator properties in mid-atlantic soil as influence by conservation management. J.Soil and Water Cons. Kementrian Kehutanan, 2011. htttp:// appgis/webgis kehutan/KML/Tutupan Lahan 2009/Kementrian Kehutanan// Diakses April 2011.
Suwarno, J. 2012. Metode Riset Skripsi Pendekatan Kuantitatif (Menggunakan Prosedur SPSS). Penerbit PT Elex Media Komputindo.252 halaman.
*Departemen Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Email:
[email protected],
[email protected]
Vol. 23 No. 2, Juli 2015 23