Warta Konservasi
Lahan Basah Lahan basah (termasuk danau, sungai, hutan bakau, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, laguna, estuarin dan lain-lain) mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya utama pendukung perekonomian dan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.
Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini.
○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ucapan Terima Kasih dan Undangan Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk mengirimkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada wadah pertukaran informasi tentang perlahanbasahan di Indonesia ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Programme Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 312-189; fax./tel.: (0251) 325-755 e-mail:
[email protected]
○ ○ ○ ○ ○
Disain dan tata letak: Triana Foto sampul muka: I Nyoman N. Suryadiputra Yus Rusila Noor Alue Dohong
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah semata-mata pendapat para penulis yang bersangkutan.
○
○
WKLB diterbitkan secara berkala 3 (tiga) bulan sekali, dan disebarluaskan ke lembaga-lembaga pemerintah, non-pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat yang terlibat/tertarik akan lahan basah.
○
○
○
Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia.
○
○
○
○
○
○
Mudah-mudahan berbagai informasi yang disampaikan majalah ini dapat memperkuat dan mendukung terwujudnya lahan basah yang lestari melalui pola-pola pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan.
DEWAN REDAKSI: Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP; Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno 2 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah V o l 1 5 n o . 2, Juli 2 0 0 7 Dari Redaksi, Di saat kemajuan teknologi berkembang pesat dan perkembangan populasi manusia melaju cepat, seiring itu pula kerusakan alam semakin mencuat. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada seringkali tidak memperhatikan kaidahkaidah pelestarian dan keberlanjutannya. Manusia lebih suka berpikir dan bertindak sesaat bahkan hanya demi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kearifan tradisional yang masih diberlakukan di beberapa daerah, ternyata justru memberikan dampak perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam beserta manfaat-manfaatnya. Seperti di Desa Tamiang, Kec. Kota Nopan, Sumatera Utara, dengan Lubuk Larangan-nya mampu melestarikan sumberdaya perikanan sungai dan mendukung produksi pertanian. Contoh lain adalah kearifan tradisional “TOGO” di Muara Lanowulu, Kendari, yang mampu mempertahankan kelestarian hutan mangrove bahkan menjadi kunci sukses Kota Tinanggea sebagai penghasil terasi. Kearifan tradisional merupakan perwujudan kedekatan antara masyarakat dan alam. Alam telah menjadi guru bagi mereka untuk berbuat dan berperilaku. Pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. ~ Redaksi ~
Daftar Isi Fokus Lahan Basah Kearifan Tradisional “Togo” di Muara Lanowulu Rahasia di Balik Sukses Kota Tinanggea sebagai Penghasil Terasi ................................................. 4 Konservasi Lahan Basah Pemanfaatan “Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk sebagai Bahan Penghasil Karbohidrat” .................... 6
○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan Twinning Program: Program Studi Banding untuk Kelompok Masyarakat Binaan ............................. 9 Gambut dan Kandungan Karbon ................................................................................................... 10 ○ Lokakarya: ○ ○ ○ ○ ○ ○ Program ○ ○ ○ ○ ○Rehabilitasi ○ ○ ○ ○ ○ ○Pesisir ○ ○ ○ Partisipatif ○ ○ ○ ○ ○ ○ dan ○ ○ Pemberdayaan ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ Ekonomi ○ ○ ○ ○ ○ Masyarakat ○ ○ ○ ○ ○ ○ ....... ○ ○ ○12 ○
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Menyambut Green Coast Phase 2 ............................................................................................... 16 Berita dari Lapang Lubuk Larangan: Melestarikan Sumberdaya Perikanan Sungai dan Mendukung Produksi Pertanian ....................................................................................................................... 17 Invasi Acacia mangium ke Hutan Galam SM Pelaihari Tanah Laut ............................................... 18 Kearifan Tradisional: Selamatkan Tumbuhan Obat Kali Surabaya .................................................. 20 Penanaman Pohon Mahoni dan Suren sebagai Perlindungan Catchment Area .............................. 22 Mengamati Para Penjelajah Dunia di P. Trisik: Perayaan Hari Burung Bermigrasi Sedunia .......... 23 Flora dan Fauna Lahan Basah Ekspor Daging Kodok Perlu Pengendalian .................................................................................... 26 Mengenal Capung ........................................................................................................................ 28 Dokumentasi Perpustakaan ........................................................................................................... 31 Kotak Katik Lahan Basah ............................................................................................................. 31
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 3
Fokus Lahan Basah
Kearifan Tradisional “Togo” di Muara Lanowulu
Rahasia di Balik Sukses Kota Tinanggea sebagai Penghasil Terasi Oleh: Dwi Putro Sugiarto, S.Hut*
P
ara pecinta sambal terasi di Sulawesi Tenggara tentu sangat familiar dengan Kota Tinanggea. Kota yang terletak di bagian selatan Propinsi Sulawesi Tenggara ini dikenal pula dengan sebutan kota terasi. Wajar saja masyarakat menyebut demikian, sebab dari daerah ini dihasilkan terasi-terasi berkualitas tinggi yang tidak hanya dijual di daerah Sulawesi tenggara saja, tetapi juga dikirim sampai ke luar propinsi. Jika anda pergi ke sana, anda akan menemukan satu perkampungan kecil yang bernama Muara Lanowulu. Tempat inilah yang menjadi sentral penghasil terasi terbesar Tinanggea dan menjadi aktor di balik sukses besar Tinanggea sebagai kota terasi.
dilalui merupakan jalan poros propinsi yang kondisinya sangat bagus. Jalan ini membentang dari Kota Kendari sampai Desa Lanowulu. Dari jalan poros ini ke Muara Lanowulu harus melewati jalan kecil agak bergelombang yang berjarak sekitar 4 km ke arah pantai. Dari sini membentang hutan mangrove TNRAW (Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai) mulai dari muara Sungai Roraya sampai Sungai Langkowala dengan luas 6.173 ha atau 5,87% dari total luas kawasan. Di balik hamparan bakau inilah masyarakat Muara Lanowulu menangkap udang kecil yang nantinya digunakan sebagai bahan baku membuat terasi. Masyarakat sekitar menamakan udang kecil ini dengan sebutan “udang rebon”.
MENUJU MUARA LANOWULU
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk Muara Lanowulu umumnya bekerja sebagai nelayan penangkap udang, kepiting dan petani rumput laut, Nilai tangkapan tiap kepala keluarga (KK) di Muara Lanowulu digambarkan dalam tabel berikut :
Muara Lanowulu secara administratif berada di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan. Lokasi ini berjarak ± 120 km dari Kota Kendari dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama ± 2,5 jam. Jalan utama yang No Jenis Tangkapan Alat Tangkap Hasil/KK
Harga Penampung
Keterangan
1
Udang putih
pukat
0,5-3 kg/hari
Rp 8.000,- s/d Rp 10.000,-/kg
tujuan ekspor
2
Balaceng
togo
10-20 liter kering Rp 700,- s/d Rp 1.000,-/ liter
3
Kepiting bakau
bubu nilon
4-5 ekor/hari
Rp 7.500,- s/d Rp 45.000,-/ekor harga tergantung berat
4
Kepiting rajungan
bubu bambu
2-4 kg/hari
Rp 5.000,- s/d Rp 15.000,-/ekor harga tergantung berat
5
Kerang
bubu
20-25 liter/hari
Rp 1.000,-/kg
Dilakukan ibu-ibu saat perahu tidak melaut
6
Rumput laut
tali
10-30 kg /bln
Rp 4.000,-/kg
Panen dilakukan sebulan sekali
4 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
dibuat terasi
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Senja di Muara Lanowulu
KEANEKARAGAMAN FLORA Tipe tanah di Muara Lanowulu merupakan endapan lumpur (mudflat) sehingga sangat baik untuk tegakan dari famili Rhizophoraceae, seperti Rhizophora mucronata, R. stylosa, R. Apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, C. decandra, dan Bruguiera parviflora serta beberapa jenis dari famili Combretaceae seperti Lumnitzera littorea dan L. racemosa. Formasi vegetasi mangrove dalam kawasan TNRAW berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi yang dituang dalam peta partisipatif tahun 2004 terbagi atas empat formasi, yaitu formasi vegetasi pada zona mangrove terluar, zona mangrove tengah, zona mangrove pinggiran dan zona mangrove payau.
KEARIFAN TRADISIONAL TOGO Bakau Muara Lanowulu ternyata menyimpan kekayaan biota laut yang luar biasa. Vegetasi bakau telah menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan, udang dan kepiting. Disinilah puluhan keluarga nelayan Muara Lanowulu menggantungkan hidupnya dengan memasang berbagai alat tangkap seperti pukat, bubu dan
Fokus Lahan Basah
Togo yang dipasang di sekitar Mangrove
pancing. Terdapat pula alat-alat tangkap yang dikembangkan secara tradisional oleh warga muara. Mereka menamakan alat modifikasi tersebut dengan sebutan “Togo”.
Harga jual di penampung lokal Rp 5.000,-/kg. Selanjutnya penampung lokal ini menjual kembali terasi tersebut dengan harga Rp 7.500,sampai Rp 8.000,- tiap kg.
“Togo dulunya bernama ‘Julu’. Julu adalah alat tangkap berupa trawl (pukat) yang memiliki lubang-lubang agak besar. Sehingga hanya udang putih berukuran besar saja yang tertangkap oleh julu. Pada tahun 1975-an, warga muara Lanowulu memodifikasi julu ini untuk menangkap udang-udang berukuran kecil. Kami menamakan alat itu dengan sebutan Togo”, ungkap Pak Madamang, warga Muara Lanowulu ketika ditanya tentang kehidupan nelayan muara.
Warga Muara Lanowulu telah menjadikan togo sebagai salah satu identitas kebudayaan. Hal ini tertuang di dalam peraturan adat tentang pemakaian togo. Adat membatasi jumlah togo yang dapat digunakan oleh nelayan. Penempatan alat tangkap ini pun juga harus ditata berselang-seling. Bagi warga yang melanggar peraturan ini akan terkena sanksi adat. Kearifan tradisional togo muncul sebagai upaya warga muara menjaga kelestarian udang di masa mendatang agar tidak habis terambil. Pembatasan jumlah togo akan memungkinkan udang-udang muara untuk beregenerasi.
Sambil memandangi Togo miliknya, Pak Madamang bercerita, “Togo lahir dari ide warga muara. Kami tambahkan pada tali julu yang kami sebut ‘laso-laso’ itu dengan nilon yang sangat halus. Dengan togo tersebut kami berhasil menangkap ‘rebon’, udang kecil-kecil yang kemudian kami olah menjadi terasi.” Sejak saat itu, perkampungan Muara Lanowulu dikenal sebagai sentral penghasil terasi. Dalam sebulan warga bisa menghasilkan 100-150 kg terasi.
BERKOLABORASI MENYELAMATKAN MANGROVE Warga muara menyadari bahwa kelestarian ekosistem mangrove merupakan prasyarat agar mereka dapat mengambil ikan dan udang secara berkelanjutan. Bagi mereka
..... bersambung ke halaman 8
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 5
Konservasi Lahan Basah
Pemanfaatan HUTAN MANGROVE “Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk sebagai Bahan Penghasil Karbohidrat” Oleh : Alfredo Wanma*
PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE
P
emanfaatan hutan mangrove dapat dilihat dari sisi pemanfaatan secara langsung dan pemanfaatan tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung berupa kayu untuk kontribusi kayu bakar, bahan bangunan, kertas, makanan, obatobatan, minuman, penyamakan kulit, perikanan dan
6 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
pertanian. Sedangkan pemanfaatan secara tidak langsung adalah sebagai tempat hidup jenis ikan, crustaceae, molluska, lebah, burung, mamalia, reptil dan berbagai fauna lainnya. Menurut Onrizal (2006), berbagai jenis tujmbuhan mangrove dapat dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat local sebagai bahan obat-obatan dan sebagai bahan makanan dan proses ini sudah berlangsung lama.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI BAHAN MAKANAN Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat lokal umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti pemanfaatan untuk kayu bakar, bahan bagunan dan tempat untuk mendapatkan bahan pangan. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan makanan dapat dilakukan dengan cara-cara tradisional sesuai dengan kebiasaan setiap masyarakat lokal. Beberapa jenis mangrove yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan adalah sebagai berikut : Acrosticum aureum, Avicennia marina, Bruguiera sexangula. Jenis-jenis ini yang dimanfaatkan adalah daunnya untuk dimakan dan dimasak sebagai sayur; dan jenis Avicennia alba dan A. Officinalis bijinya dapat direbus dan dimakan (Onrizal, 2006).
BRUGUIERA GYMNORHIZA (L) LAMK SEBAGAI BAHAN MAKANAN Pemanfaatan jenis mangrove sebagai bahan makanan dan obat-obatan, oleh masyarakat lokal masih dilakukan secara tradisional. Masyarakat suku Biak merupakan salah masyarakat lokal yang berada di daerah Papua yang memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan mangrove secara langsung dapat menyediakan kebutuhan tersebut, salah satunya adalah sebagai sumber karbohidrat. Oleh masyarakat suku Biak, buah dari Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk dapat dijadikan bahan makanan yang memiliki kandungan karbohidrat yang diperoleh dengan mengekstrak kandungan patinya.
Konservasi Lahan Basah
PROSES PEMBUATAN DAN PENGOLAHAN BUAH BRUGUIERA GYMNORHIZA (L) LAMK MENJADI PATI Pembuatan dan pengolahan buah Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk oleh masyarakat suku Biak diolah menjadi pati dilakukan secara tradisional, ditandai dengan alat-alat yang digunakan bersifat sederhana. Adapun tahapan-tahapan pembuatan dan pengolahan buah Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk menjadi pati sebagai berikut : pertama-tama dilakukan pengambilan buah yang sudah masak/siap panen dari pohon dan ada pula yang dipungut dari air dan sudah terlepas dari pohon, kemudian buah tersebut direbus selama ± 30 menit, setelah direbus didinginkan selama beberapa menit, lalu setelah dingin bagian permukaan kulit buah dikuliti dengan menggunakan cangkang bia/siput (Polymesoda sp), kemudian diiris menjadi beberapa irisan halus. Setelah itu, irisan tersebut direndam dengan air dingin selama 8 – 10 jam (malam hingga pagi) dengan maksud menghilangkan getah/lendir pada daging buah, lalu dicuci sekali lagi dengan air kemudian dimasak/dikukus. Setelah masak irisan tersebut dimasukan ke dalam noken/kantung kemudian digiling/ ditumbuk dengan kayu untuk membentuk pati dan untuk mengurangi kadar air. Pati yang dihasilkan dimasukan ke dalam wadah kemudian dibersihkan dari sisa-sisa kulit buah dan serat-serat dengan cara mengaduk pati tersebut dengan kayu sehinggakulit-kulit buah dan serat-serat dapat menempel pada kayu. Pati yang dihasilkan kemudian dijemur menjadi tepung. Produk tepung Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk dapat dimanfaatkan dan diolah sama seperti tepung terigu, tepung sagu dan yang lainnya.
PERKEMBANGAN PATI BRUGUIERA GYMNORHIZA (L) LAMK SEBAGAI BAHAN MAKANAN Pati dari Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan tradisional yang memiliki fungsi yang sama seperti makanan tradisional lainnya seperti sagu. Namun pati Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk umumnya hanya diketahui oleh suku-suku tertentu saja dan belum ada penelitian-penelitian yang mengkaji nilai gizi dari jenis ini. Untuk itu dengan adanya informasi ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan gizi dari tepung Bruguiera gymnorhiza (L) Lamk dalam upaya menanggulangi krisis pangan. zz * Dosen Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua Manokwari
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 7
Fokus Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 5
Kearifan Tradisional “Togo” di Muara Lanowulu ........... mangrove adalah bagian dari kehidupan sehari-harinya. Maklum saja, pekerjaan sebagai nelayan menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Mereka kurang terampil dalam mengolah lahan pertanian, sehingga di Muara Lanowulu jarang sekali ditemukan lahan-lahan pertanian. Selama bertahun-tahun setelah mereka membangun perkampungan muara, pekerjaan ini telah digeluti secara turun-menurun. Warga biasa memetik propagul bakau ketika sedang mencari ikan. Propagul ini lalu ditanam secara swadaya di tempattempat yang tutupan bakaunya sedikit. Warga nelayan ini berharap bakaubakau kecil itu nantinya mengundang kehadiran ikan dan udang sehingga mudah ditangkap. Dengan difasilitasi CARE International Indonesia, pada tahun 2002 warga muara bersepakat membentuk
lembaga untuk dijadikan sebagai wadah bertukar informasi dan menyatukan persepsi tentang kelestarian mangrove. Warga menjalin kolaborasi dengan Balai TNRAW sebagai satu bentuk upaya untuk mengamankan mangrove dari oknum tak bertanggung jawab. Dalam kolaborasi ini warga membuat kesepakatan dalam pemanfaatan mangrove pesisir dengan pihak Balai TNRAW sebagai pengelola kawasan. Mereka menamakan organisasi tersebut Lembaga Komunitas Masyarakat - Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (LKM-TNRAW).
perairan mangrove untuk memastikan Kearifan Tradisional Togo diterapkan oleh masyarakat nelayan muara. “Kami berharap upaya pengamanan dan rehabilitasi yang kami lakukan ini bisa mempertahankan kelestarian mangrove di Muara Lanowulu. Mudah-mudahan ikan dan udang muara bisa dinikmati hingga anak cucu kami…”, ungkap Pak Madamang sambil tersenyum. Kini, Pak Madamang telah menjadi salah satu anggota LKM yang turut aktif memperjuangkan konservasi mangrove di Muara Lanowulu. zz
LKM berjuang keras untuk kembali melembagakan kearifan tradisional “togo” yang telah terbukti berhasil mengangkat nama kampung Muara Lanowulu sebagai penghasil terasi yang terpenting. LKM juga melakukan patroli rutin Pengamanan Swakarsa (PAM SWAKARSA) di
* Mess Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Jl. Bunga kana no.6 kelurahan watu-watu Kemaraya, Kodya Kendari (0401) 328138 Mobile: 081319298480 Email:
[email protected]
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
8 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
erita Kegiatan
Berita Kegiatan
Twinning Program
Program Studi Banding untuk kelompok Masyarakat Binaan Aceh ke Pemalang (Jawa Tengah) Oleh: Telly Kurniasari
W
I-IP bekerjasama dengan UNEP telah melakukan suatu program studi banding untuk kelompok masyarakat binaan di Aceh khususnya Desa Lham Ujong dan Pulot. Perwakilan dari masingmasing kelompok dikirim ke Pemalang untuk melihat secara langsung praktek kegiatan ekonomi yang menerapkan konsep silvofishery. Program ini disebut Twinning Program berupa program pengembaran antara kegiatan yang telah dilakukan oleh kelompok masyarakat di Pemalang, yaitu yang terlebih dahulu telah dibina oleh WI-IP sejak tahun 1998, dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok masyarakat binaan di Aceh untuk meningkatkan pendapatan ekonomi mereka pasca tsunami melalui mekanisme Small Grant. Kegiatan ini terdiri dari kegiatan pelatihan di Bogor dan Pemalang yang dilakukan selama 11 hari mulai dari tanggal 26 November hingga 6 Desember 2006, dan kegiatan praktek langsung dengan mendatangkan trainer ke Aceh selama 7 hari dari tanggal 22 hingga 28 Januari 2007. Tujuan diadakannya program kegiatan ini adalah untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat serta meningkatkan kelestarian lingkungan dengan cara mendorong dan memberdayakan kelompok masyarakat dan pihak-pihak lain agar menerapkan model silvofishery (penanaman mangrove pada tambak) secara berkesinambungan di Aceh pasca tsunami. Output yang ingin dicapai dari program kegiatan ini selain kelompok masyarakat dapat meningkatkan pendapatan ekonomi mereka, juga berupa terbentuknya model percontohan
secara nyata yang mengkombinasikan penanaman mangrove dengan prinsip aquaculture (model silvofishery) di daerah pesisir yang terkena dampak tsunami. Pelatihan kegiatan ekonomi yang diberikan berupa (1) Pelatihan budidaya sayuran hidroponik; (2) Pelatihan budidaya lele dan teknik pemijahannya; (3) Pelatihan budidaya Ikan Nila; (4) Pelatihan silvofishery; (5) Pelatihan budidaya rumput laut; (6) Pelatihan pembuatan bandeng presto; (7) Pelatihan budidaya ikan/kepiting keramba; (8) Pelatihan budidaya melati di sekitar dan di dalam kolam/ tambak; (9) Pelatihan pembuatan kerupuk udang; (10) Pelatihan pembuatan terasi; (11) Pelatihan beternak itik dan puyuh; (12) Pelatihan pembuatan pupuk bokashi. Total peserta berjumlah 25 orang yang masing-masing merupakan wakil dari kelompok Makmu Besare dan Beu Udep dari Desa Pulot dan kelompok Lham UjongSelatan, Lham Ujong-Utara, Hidup Damai serta Bedoe Besare dari Desa Lham Ujong, Kabupaten Aceh Besar. Kegiatan diawali dengan penandatanganan MoU antara kelompok masyarakat dengan Wetlands International - Indonesia Programme, dimana anggota kelompok masyarakat diminta untuk menerapkan Silvo-fishery (tambak tumpang sari) di lahan tambak anggota kelompok dan disisi lain mereka diberi modal kerja untuk menciptakan alternatif mata pencahariannya.
..... bersambung ke halaman 14
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 9
Berita Kegiatan
Gambut dan Kandungan Karbon* Oleh: Daniel Murdiyarso, dkk
menjadi habitat berbagai jenis satwa liar termasuk jenis-jenis endemik. Dengan kata lain, hutan rawa gambut merupakan sumber daya biologis penting yang dapat dimanfaatkan secara bijak dan dikonservasi untuk menjaga kelestariannya.
P
Pengambilan sampel tanah gambut (Foto: Alue Dohong)
embentukan gambut di beberapa daerah pantai di Indonesia diperkirakan dimulai sejak jaman glacial akhir, sekitar 3.000 – 5.000 tahun yang lalu. Untuk gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu (Brady, 1997). Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan Lignin dan Nitrogen. Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar besar. Berat jenis (bobot isi atau Bulk Density-BD) gambut tropis umumnya rendah (0,1 – 0,3 g/cm3) dan sangat dipengaruhi oleh tahapan dalam proses dekomposisi dan kandungan mineral, serta porositas yang tinggi (70 – 95%). Lahan gambut tropis juga dicirikan oleh
10 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
rendahnya kandungan hara dan tingginya kemasaman. Pada umumnya perairan lahan gambut tropis memiliki pH asam (< 6). Hasil utama ekosistem hutan rawa gambut yang banyak dimanfaatkan masyarakat adalah kayu, seperti Gelam (Mellaleuca sp.) khususnya sebagai bahan bangunan ringan, kerangka pembuatan bangunan gedung dan bagan penangkap ikan. Selain itu, jenis-jenis komersial yang banyak diperdagangkan adalah Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea spp.) dan damar (Agathis dammara). Hasil tambahan lainnya adalah hasil nonkayu seperti getah Jelutung, tumbuhan obat, ikan dan buahbuahan. Secara ekologis ekosistem hutan rawa gambut merupakan tempat pemijahan ikan yang ideal selain
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3/m3. Dengan demikian lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Keberadaan air pada setiap musim sangat penting untuk menghambat oksidasi pirit (FeS2) dalam upaya untuk mengurangi kemasaman tanah dan keracunan tanaman. Sulfat yang terlarut juga akan berpengaruh di bagian hilir. Lahan gambut merupakan ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh tingginya akumulasi bahan organik dengan laju dekomposisi yang rendah. Lahan gambut tropis meliputi areal seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia (Maltby & Immirizi, 1993). Karena itu lahan gambut di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, merupakan cadangan karbon terestris yang penting. Jika dilindungi pada kondisi alami, lahan gambut dapat meningkatkan kemampuannya
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
dalam menyerap karbon. Tetapi jika mengalami gangguan, lahan gambut berpotensi menjadi sumber karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) yang cukup besar. Akumulasi cadangan karbon tahunan di Indonesia diperkirakan berkisar antara 0,01 – 0,03 Gt C (1 Gt = 1 x 109 ton) atau 59 – 118 g C/m2/th (Neuzil, 1997). Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi di lahan gambut sub-tropis atau boreal yang hanya berkisar antara 20 – 100 g C/m2/th. Sementara itu laju penyerapan karbon melalui proses fotosintesis berkisar antara 8 – 80 g C/m2/th (Harden et al., 1992). Kegiatan penggunaan lahan, alihguna lahan dan kehutanan (land-use, land-use change and forestry – LULUCF) adalah salah satu sumber (source) CO2 utama yang menyebabkan perubahan iklim (IPCC, 2001). Kegiatan LULUCF di daerah tropis menyumbang lebih dari 25% total emisi CO2 tahunan yang selama dekade terakhir besarnya mencapai 8 Gt (IPCC, 2001). Sebagai cadangan karbon terestris yang besar, lahan gambut juga dapat menjadi sumber CO2 yang besar jika tidak dikelola secara benar. Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 – 525 Gt C atau 15 – 35% dari total karbon terestris. Sekitar 86% (455 Gt) dari karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50% dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt.
Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81 – 2,57 Gt (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukkan angka sebesar 7 juta ton karbon (Murdiyarso et al., 2002). Gangguan terhadap ekosistem lahan gambut akan mempengaruhi cadangan dan siklus karbon di alam. Gangguan tersebut dapat berupa konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestrasi, kebakaran dan drainase yang meluas. Penebangan hutan di lahan gambut akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan komposisi hutan gambut.
Berita Kegiatan
terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan asam sulfat beracun bagi tanaman sehingga mempengaruhi produktifitas lahan. Drainase juga akan menyebabkan penurunan (subsidence) ketebalan lahan gambut dan selanjutnya mempengaruhi fungsi hidrologi lahan gambut. Fluktuasi tinggi muka air pada musim hujan dan musim kemarau akan meningkat karena kemampuannya dalam menampung air menurun. Disamping itu drainase juga akan memperbesar peluang intrusi air bergaram dari laut. Sementara itu mempertahankan cadangan karbon dan meningkatkan serapan karbon dapat dilakukan melalui kegiatan konservasi dan pengelolaan seperti pengayaan tanaman dan pengelolaan air. zz
(* Sumber: Buku Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut)
Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon ataspermukaan (above-ground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawah-permukaan (below-ground carbon stocks). Dampak drainase yang dilakukan terhadap lahan gambut yang tergenang akan menghanyutkan karbon terlarut sehingga mempengaruhi kesetimbangan karbon. Drainase yang berlanjut akan berpotensi menyebabkan
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 11
Berita Kegiatan
Lokakarya
Program Rehabilitasi Pesisir Partisipatif dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Banda Aceh, 18 – 19 April 2007 bertajuk “Perbaikan Penghidupan Masyarakat di Wilayah yang Terkena Dampak Tsunami melalui Rehabilitasi dan Pengelolaan Berkelanjutan Ekosistem Pesisir” di Aula Bappeda Prop NAD dari tanggal 18-19 April 2007. Lokakarya ini dihadiri sebanyak 67 peserta yang mewakili Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Bappeda dari 17 kabupaten Pesisir NAD dan 2 Kabupaten Nias disamping itu peserta juga berasal dari perwakilan BRR, Lembaga Donor (perwakilan Bank Dunia), LSM/NGO, CBO, dan perguruan tinggi. Peserta lokakarya
T
erhitung sejak Tsunami 2004, setidaknya 20 LSM Lokal dan Internasional telah melakukan berbagai upaya rehabilitasi ekosistem dan peningkatan mata pencaharian masyarakat pesisir di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Namun bila melihat kenyataan di lapangan masih banyak lahan basah pesisir yang belum tersentuh program rehabilitasi maupun program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakatnya. Faktor yang menyebabkan kondisi diatas diantaranya adalah : (a) luasnya kerusakan ekosistem lahan basah pesisir baik yang diakibatkan oleh gempa/tsunami maupun akibat
12 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
aktivitas manusia sebelum Tsunami seperti pembukaan tambak, penebangan mangrove dan konversi hutan mangrove menjadi perumahan; (2) perubahan garis pantai yang menjorok ke darat mencapai ± 0,5 s/d 2 km di NAD; (3) serta hilangnya nafkah/mata pencaharian masyarakat. Untuk mengetahui sampai sejauh mana kegiatan rehabilitasi ekosistem, pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir serta penataan ruang pesisir di NAD-Nias telah dilakukan, maka WI-IP dengan dukungan dana dari Danida telah melakukan suatu kajian/ inventarisasi data melalui Lokakarya
Lokakarya dibagi menjadi tiga fokus utama pembahasan yaitu Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir, Pemberdayaan Ekonomi dan Kebijakan Tata Ruang Pesisir. Dari hasil diskusi kelompok pada masingmasing fokus pembahasan teridentifikasi hal-hal sbb: Kegiatan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir
• Luas areal yang telah direhabilitasi dengan penanaman mangrove di propinsi NAD dan Nias saat ini diperkirakan mencapai luasan + 27.500 Ha dengan jumlah bibit + 29.500.000. Sedangkan untuk pantai berpasir, sekitar 28.900 Ha dengan penanaman 403.000 bibit tanaman pantai.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
• Kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir yang hingga saat ini lebih banyak terfokus pada rehabilitasi mangrove dan hutan pantai, direkomendasikan agar kedepan mencakup beberapa type ekosistem pesisir lainnya seperti lahan gambut, rawa gambut, tambak, laguna, estuari dan terumbu karang.
• Upaya yang dilakukan oleh banyak pihak sebagian besar masih berfokus kepada upaya pengadaan kebutuhan pokok para pengungsi seperti rumah, sembako, perbaikan fasilitas publik (sekolah, MCK, TPI, Air Bersih), kesehatan (Puskesmas, klinik darurat, pelayanan kesehatan)
dilakukan adalah dengan melakukan revisi tata ruang yang ada dengan mengambil input dari tata ruang desa. Apabila tata ruang desa belum ada, dapat dilakukan kegiatan penatagunaan lahan desa secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat, aparat desa, pemerintah Kecamatan/ Kabupaten dan NGO/LSM.
• Kendala yang dihadapi dalam kegiatan rehabilitasi meliputi kendala teknis penanaman, administrasi, status lahan, maupun kebijakan.
• Kegiatan perbaikan penghidupan masih terfokus pada pemberian barang, masih sedikit yang menyediakan modal usaha
• Perlu disusun suatu rencana zonasi sabuk hijau yang detail sesuai dengan kondisi sebenarnya sesuai lokasi setempat dengan tetap mengacu kepada perundangan yang ada.
• Masih rendahnya tingkat partisipasi/kesadaran masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi. Bentuk pelibatan masyarakat yang paling umum dalam kegiatan rehabilitasi adalah mekanisme “Cash for Work”, dimana masyarakat diposisikan sebagai pekerja lepas (misalnya buruh tanam, buruh angkut) sehingga masyarakat akan berhenti perannya setelah proyek penanaman selesai. Hal ini membuat masyakarat tidak memiliki ikatan emosional untuk memelihara bibit yang ditanam tersebut. • Perlu adanya Tata Ruang Pesisir yang pasti dan jelas, peningkatan kapasitas pelaksana, pemeliharaan dan monitoring terhadap tanaman rehabilitasi. • Peningkatan koordinasi untuk menuju harmonisasi antar stake holder dan tercapainya keberhasilan rehabilitasi. Pemberdayaan Ekonomi
• Sebaran kegiatan pemberdayaan ekonomi ternyata berfokus kepada wilayah pantai barat Aceh saja, sedikit sekali upaya di lakukan di wilayah Aceh Timur dan Nias.
• Direkomendsaikan untuk mengkombinasian kegiatan rehabilitasi dan livelihood seperti tambak silvofishery, agroforestry, dan tumpang sari. Kebijakan Tata Ruang Pesisir
• Kebijakan-kebijakan pendukung upaya rehabilitasi pesisir masih sangat kurang memadai terutama dalam penataan ruang dan master plan rehabilitasi pesisir. Dalam master plan rehabiltasi ekosistem pesisir Aceh, dinyatakan bahwa wilayah pantai sepanjang 500 meter ke arah darat harus dinyatakan sebagai kawasan sabuk hijau (Green Belt) dan hal ini berlaku untuk seluruh kawasan pantai di Aceh. Padahal fakta menyajikan bahwa hal tersebut tidak realistis bila diberlakukan di seluruh pantai di Aceh maupun Nias karena akan memiliki potensi konflik yang besar dan tidak sesuai dengan kondisi pemanfaatan lahan yang sebenarnya. • Perencanaan tata ruang yang selama ini dilakukan masih bersifat Top-down, sehingga dalam pelaksanaanya di tingkat daerah sering mengalami konflik. Salah satu solusi yang dapat
• Perlu dilakukan kegiatan penguatan kelembagaan baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah. Di tingkat masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan kelembagaan dan pengelolaan kelompok maupun pendampingan kelompok. • Kebijakan-kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang ada perlu dikaji ulang agar sejalan dengan revisi tata ruang. • Sebelum ditetapkan, kebijakankebijakan dan tata ruang pesisir harus disosialisasikan kepada publik. zz
Penyerahan Draft Prosiding Lokakarya oleh Perwakilan Peserta Kepada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 13
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 9
Twinning Program ........... Setelah penandatanganan MoU, peserta langsung mengikuti serangkaian program pelatihan yang dilaksanakan di Bogor dan Pemalang. Peserta diberikan berbagai materi pelatihan yang telah disebutkan diatas, lalu dilanjutkan dengan melihat secara langsung praktek kegiatan ekonomi yang di demonstrasikan oleh masing-masing pelatih. Selama kegiatan ini peserta telah dapat mengidentifikasi alternatif/pilihan kegiatan yang akan dilakukan di Aceh. Dari kedua belas macam pelatihan yang diberikan, kelompok memilih beberapa saja yang dianggap paling cocok dan paling mereka kuasai untuk diterapkan di daerah masing-masing, diantaranya : Kelompok Makmu Besare, Beu Udep dan Lham
Ujong-Utara memilih untuk berbudidaya Kepiting. Alasan mereka melakukan budidaya kepiting ini adalah selain karena tambak yang telah tersedia, juga karena hasil yang akan diperoleh cukup menjanjikan. Harga jual kepiting di Aceh cukup tinggi. Disisi lain, mereka telah memiliki pengalaman di bidang ini sebelum tsunami, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk kembali mengembangkannya. Kegiatan praktek langsung budidaya dilaksanakan pada Bulan Januari 2007. Kelompok didampingi trainer mempraktekan
langsung kegiatan budidaya ini mulai dari tahapan mencari benih/bibit kepiting yang baik hingga penaburan bibit di keramba dan pemberian pakan. Bibit kepiting yang baik memiliki kriteria sebagai berikut : (1) memiliki rangka yang lunak dan (2) jika bagian perut kepiting ditekan, tidak akan mengeluarkan telur. Dari hasil praktek langsung ini diperoleh beberapa pembelajaran diantaranya pencarian bibit kepiting sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan diusahakan didapat langsung dari pengumpul. Hindari membeli bibit dari pihak ketiga karena dikhawatirkan ketahanan bibit sudah lemah. Waktu yang diperlukan untuk mencari bibit kepiting juga harus diperhatikan karena dikhawatirkan jika terlalu lama dipasar, bibit akan lemah dan cepat mati. Bibit kepiting yang dijumpai di pasar Ikan Banda Aceh umumnya berjenis kepiting kuning, yang lebih dikenal dengan nama lokal kepiting isolasi atau lembayung, Scylla spp. Sebagai pengganti ikan rucah (ikan kecil), pakan yang diberikan berupa limbah ikan yang banyak tersedia di pasar dan dapat diperoleh secara gratis. Hal ini diharapkan akan menyelamatkan populasi ikan rucah di alam, karena semakin sering ikan rucah tersebut diambil dari alam semakin cenderung ikan tersebut akan punah. Setelah praktek langsung dengan bimbingan trainer, kelompok kemudian melanjutkan kegiatan budidaya sesuai dengan teknik yang telah diajarkan dan pada Bulan Maret 2007 kelompok telah berhasil memanen hasilnya dan menjual sebagian ke pasar Banda Aceh.
Praktek budidaya kepiting keramba
14 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
Kelompok Lham Ujong-Selatan dan Bedoe
Besare memilih untuk berbudidaya Itik. Alasan mereka melakukan budidaya ini diantaranya karena pengalaman yang telah dimilki, hasil yang diperoleh mudah untuk dipasarkan, mudah untuk memeliharanya dan pakan alami banyak tersedia di sekitar desa. Hasil berupa telur itik cukup diminati dipasaran, begitu juga dengan dagingnya. Selain itu, budidaya itik ini banyak melibatkan kaum ibu/wanita sehingga beban kerja terhadap laki-laki dapat dikurangi dan mereka dapat melakukan kegiatan lain sebagai tambahan pendapatan. Pada awal kegiatan, kelompok didampingi trainer mencari bibit itik dan membeli pakan. Kandang terlebih dahulu telah dibuat oleh kelompok sebelum praktek kegiatan dimulai. Pada Bulan Maret 2007 telah ada beberapa itik yang bertelur dan hasilnya sebagian telah dapat dinikmati oleh anggota kelompok dan sebagian lagi telah dijual ke pasar.
Praktek budidaya Itik
Kelompok Hidup Damai memilih untuk
berbudidaya Ikan Mujair/Nila. Alasan utama mereka memilih kegiatan ini karena teknik budidayanya yang cukup sederhana dan Ikan Mujair/Nila memilki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit. Selain itu Ikan Mujair juga memiliki toleransi terhadap variasi salinitas air yang luas, sehingga dinilai sesuai dengan kondisi kolam-kolam ikan di pesisir Aceh bagian Barat yang sering kesulitan air tawar dalam jumlah yang besar terutama di musim kemarau. Bibit ikan mujair diperoleh dari rawa-rawa di sekitar tambak yang telah disiapkan oleh kelompok. Bibit yang telah diperoleh tidak lantas di tabur di kolam, melainkan di tampung sementara dalam jaring yang terbuat dari marlin. Hal ini agar benih ikan mengalamai penyesuaian terlebih dahulu dari suasana rawa ke kolam. Biasanya bibit dari alam akan memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap pakan buatan. Hal ini terbukti pada saat pertama kali benih diberi pakan buatan, tidak disentuh sama sekali karena mereka masih terbiasa dengan pakan alami di habitat aslinya berupa plankton. zz
Praktek budidaya Ikan Mujair
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 15
Berita Kegiatan
Berita Kegiatan
Menyambut Green Coast Phase 2
K
olaborasi selama kurang lebih dua tahun antara Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP) untuk mengelola hibah kecil dan rehabilitasi ekosistem serta kajian kebijakan yang dikelola oleh WWF Indonesia melalui kegiatan Green Coast telah membuahkan hasil yang positif tidak hanya 638 ha ekosistem pesisir telah direhabilitasi dengan penanaman 1.191.600 mangrove dan tanaman pantai dengan tingkat survival rate mencapai 68% melainkan juga adanya jalinan kerjasama yang erat dengan 51 LSM lokal Aceh-Nias. Selain tingginya kebutuhan dana untuk mendukung rehabilitasi ekosistem dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Aceh-Nias bila dibandingkan empat negara lain dimana kegiatan Green Coast dilaksanakan (India, Malaysia, Srilanka, dan Thailand), maka keberhasilan yang telah dicapai pada Green Coast phase 1 di Indonesia juga menjadi bahan pertimbangan penting bagi OXFAM Novib untuk melanjutkan kegiatannya di Aceh dan Nias. Sedikit berbeda dengan Green Coast phase 1 dimana komponen Green Coast hanya terdiri dari : (1) Survey Kondisi ekosistem pesisir Pasca Tsunami; (2) Rehabilitasi ekosistem pesisir yang dikombinasikan dengan pemberdayaan ekonomi; dan (3) Analisi kebijakan. Maka kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan di Green Coast phase dua lebih beragam. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah: 1. Pemberdayaan ekonomi yang dikombinasikan dengan Rehabilitasi Ekosistem pesisir. 2. Penentuan lokasi kegiatan tidak hanya pada lahan basah pesisir yang terkena dampak Tsunami saja tapi pada ekosistem lahan basah pesisir yang terancam keberadaaannya baik yang disebabkan bencana alam, perubahan alam atau aktivitas manusia. 3. Melakukan kajian-kajian terhadap faktor-faktor keberhasilan/kegagalan kegiatan rehabilitasi pada tahap GC-1 untuk selanjutnya hasil kajian akan dituangkan ke dalam suatu dokumen “hasil pembelajaran”/Lesson Learned yang akan disebarluaskan ke berbagai pelaksana maupun pengambil kebijakan di bidang rehabilitasi.
16 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
4. Identifikasi beberapa lokasi lahan basah penting sebagai kawasan lindung. 5. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan kampanye kepedulian Lingkungan. 6. Pembuatan jaringan komunikasi dengan LSM Lingkungan Aceh-Nias. 7. Pemberian masukan-masukan teknis untuk proses rekonstruksi yang akan bersinggungan langsung dengan ekosistem lahan basah pesisir dan memberikan alternatif pembangunan yang ramah lingkungan. 8. Memberikan masukan-masukan teknis dalam pembuatan/ proses AMDAL bagi rencana rekonstruksi. 9. Membuat dan menyeminarkan dokumen Hasil Pembelajaran Rehabilitasi Ekosistem Pesisir. 10. Membangun dialog kebijakan dengan BRR dan pelaku utama program rekonstruksi seperti ADB dan Bank Dunia 11. Mendukung kemitraan inter-sektoral dan memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan peran masyarakat dalam merencanakan pembangunan. Selain kegitan yang lebih beragam, komposisi Tim Penasihat di Green Coast ditambah dengan memperbanyak pelibatan perwakilan para pemangku kepentingan terkait, yaitu terdiri dari: Ismiyati Aziz, MS. Staf Pengajar Fakultas Dakwah, IAIN Ar Raniry, Banda Aceh; (2) Miftahuddin Cut Ade, MSi Sekretaris Panglima Laot Provinsi, Banda Aceh; (3) Ir. Munthi Syurga dan Ir. Sahyadi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NAD, Banda Aceh; (4) Ir. Saodah Lubis, Direktorat Lingkungan dan Konservasi, BRR, Banda Aceh; (5) Rosdiana ST Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi NAD, Banda Aceh; (6) Zulkarnain Haiyar Spi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD; (7) Anas Mahmudi Dinas Kehutanan Provinsi NAD. zz
Berita dari lapang
Lubuk Larangan:
Melestarikan Sumberdaya Perikanan Sungai dan Mendukung Produksi Pertanian Oleh: ONRIZAL*
J
ika pembaca memiliki kesempatan mengunjungi kawasan sungai Aek Batang Gadis yang mengalir di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) atau Aek Batang Toru yang melewati Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), maka anda akan banyak menjumpai kawasan lubuk larangan, terutama pada daerah yang belum banyak dipengaruhi oleh budaya luar/pendatang. Kedua sungai tersebut memiliki hulu di kaki pegunungan bukit barisan bagian barat, lalu bermuara di pantai barat Sumatera. Sebelum pemekaran daerah marak pasca reformasi, kedua daerah aliran sungai (DAS) tersebut termasuk wilayah Kabupaten Tapsel. Sejak tahun 2005, sebagian kawasan di daerah aliran sungai (DAS) Aek Batang Gadis telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan inisiasi awal dari masyarakat lokal kemudian disambut baik oleh PemKab setempat dan Pemerintahan Pusat. Saat ini, banyak daerah yang dicalonkan untuk menjadi kawasan konservasi, baik di Kab. Tapsel, maupun di Kab. Madina. Banyak pejuang dan tokoh yang lahir dan berasal dari daerah tersebut, antara lain mantan wakil presiden Adam Malik (beliau jarang menggunakan marga Batubara di belakang namanya), Jendaral Besar AH Nasution, mantan Rektor IPB Prof Andi Hakim Nasution dan banyak lagi yang lainnya. Masyarakat asli
penghuni kedua DAS tersebut didominasi oleh suku Mandailing, namun pada beberapa tahun terakhir banyak masuk pendatang dari suku Nias dengan membuka lahan untuk kebun karet, baik pada hutan primer maupun hutan sekunder bekas tebangan perusahaan kayu (HPH), dimana saat ini operasional perusahaan kayu tersebut telah banyak yang tutup. Pada awal tahun 2007, penulis mendapat kesempatan mengunjungi DAS Aek Batang Gadis, terutama kawasan antara Kota Nopan dan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal
untuk mengetahui kondisi dan potensi hutan di kawasan tersebut. Dalam kunjungan tersebut, tepatnya di Desa Tamiang, Kecamatan Kota Nopan yang juga dilalui jalan negara lintas tengah Sumatera dari kota Bukittinggi (Sumbar) menuju Kota Panyambungan (Madina, Sumut), penulis melihat papan pengumuman tentang lubuk larangan, yang antara lain berbunyi : LUBUK LARANGAN DESA TAMIANG. DITUTUP TANGGAL 4 SYAWAL, DIBUKA TANGGAL 2 SYAWAL (Dalam Perencanaan). SK No. xxx. Izin No. xxx. Sanksi ... dst. (Gambar 1).
Gambar 1. Penulis berfoto di dekat papan pengumuman Lubuk Larangan Desa Tamiang. Penetapan kawasan lubuk larangan ditetapkan berdasarkan SK Desa yang mengatur kapan lubuk tersebut ditutup dan kapan dibuka, serta sanksi bagi yang melanggar. Khusus di Desa Tamiang, sanksi bagi yang mengambil ikan di waktu lubuk larangan ditutup adalah Rp. 1.000.000,-/orang. Sampai foto tersebut diambil (30 Januari 2007) belum ada yang melanggar ketentuan tersebut. (Foto oleh Bpk Nurdin Sulistiyono, M.Si) ..... bersambung ke halaman 24
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 17
Berita dari Lapang
Invasi Acacia mangium
ke Hutan Galam Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut Oleh: Suyanto1 dan Mochamad Arief Soendjoto2
I
nvasi jenis merupakan dampak dari pengembangan jenis (tumbuhan/hewan) eksotik. Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, invasi jenis dikategorikan merugikan. Hal ini disebabkan jenis (tumbuhan/ hewan) asli atau endemik kalah berkembang dan bisa jadi akan mengalami kepunahan. Invasi jenis terjadi di banyak negara. Pada tahun 1877, Akasia gila (Prosopis juliflora) diperkenalkan ke Gujarat dan Rajasthan (India) untuk mengurangi perluasan padang pasir. Namun, tumbuhan ini merajalela dan hampir seabad kemudian justru mengurangi padang rumput yang menjadi habitat beberapa satwa langka berkembang biak dan mencari makan (Tiwari, 1999). Pada tahun 1969, Acacia nilotica yang konon berasal dari India ditanam sebagai sekat bakar di Savana Bekol, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Tumbuhan ini kemudian berkembang tak terkendali dan menutupi ruang tumbuh rumput dan spesies tumbuhan asli lainnya yang menjadi pakan banteng, satwa langka yang dilestarikan di taman nasional ini (Arief, 1992). Sampai saat ini pengelola taman nasional belum mampu mengatasi invasi A. nilotica. Pada tahun 1957, ilmuwan mengintroduksi satu spesies lebah afrika ke Brazil. Lebah ini kemudian
18 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
menyebar ke beberapa negara di Amerika Selatan dan berubah menjadi lebah pembunuh. Lebah ini memakan makanan utama spesies lebah asli dan sangat garang terhadap hewan lain. Invasi jenis terjadi juga di Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut (SMPTL), salah satu dari tujuh kawasan konservasi di Kalimantan Selatan. Di SMPTL yang sekitar tiga per empat luasnya merupakan lahan basah (Dishut Tala dan LPM Unlam, 2006), Akasia daun lebar (Acacia mangium) mampu tumbuh dan berkembang di sela-sela hutan rawa yang didominasi Galam (Melaleuca cajuputi) (Gambar 1). Akasia daun lebar merupakan tumbuhan asli daerah Indonesia timur (Seram, Kepulauan Aru, Irian Jaya Barat) atau Australia (Queensland). Tumbuhan ini memang dikenal cepat tumbuh. Pada dasawarsa 1980-an akasia direkomendasikan ditanam di hutan bekas tebangan atau hutan tidak produktif untuk memprakondisikan lingkungan, sehingga pada tahuntahun berikutnya dapat menjadi penaung bagi tumbuhan jenis lain. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah akasia tumbuh, tidak banyak jenis tumbuhan lain yang mampu tumbuh dengan baik di bawah tegakan akasia.
Di areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT Inhutani III, akasia sengaja ditanam untuk bahan baku industri kertas. Akasia yang ditanam pada awal dasawarsa 1990-an tenyata kemudian berkembang dan tumbuh di kawasan SMPTL yang terletak di selatan areal HPHTI. Jenis ini tumbuh tidak hanya di sepanjang batas areal HPHTI dengan kawasan SMPTL, tetapi masuk sampai sejauh 2 km ke dalam kawasan. Karena lebar kawasan SMPTL 2-3 km, akasia ini dapat dikatakan tumbuh di lokasi yang dekat dengan pantai (pematang tambak atau di jalan tanah menuju tambak). Dengan menginvasi hutan rawa galam hingga ke dekat pantai di SMPTL, akasia daun lebar sebetulnya telah menunjukkan sifat aslinya. Menurut Sindusuwarno dan Utomo (1981), di habitat asalnya (Queensland) jenis tumbuhan ini ditemukan di hutan mangrove, Melaleuca, dan riparian. Tiga dari banyak mekanisme invasi akasia ke SMPTL adalah sebagai berikut. Pertama, biji akasia terbawa alat angkutan (dalam hal ini misalnya menempel di ban sepeda motor, truk) yang dipergunakan masyarakat untuk keluar masuk pertambakan. Lokasi yang dilewati oleh masyarakat
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita dari Lapang
Gambar 1. Acacia mangium tumbuh di sela-sela hutan rawa galam Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut
Desa Kandangan Lama (Kabupaten Tanah Laut) sebelum memasuki pertambakan adalah areal HPHTI. Kedua, biji terbawa aliran air dari areal HPHTI ke arah laut. Ketiga, biji akasia bersemai dan tumbuh dengan cepat setelah kebakaran merambah hutan galam. Galam memang merupakan salah satu jenis tumbuhan tahan api. Sekitar dua bulan setelah lokasi tumbuhnya terbakar, apalagi bila digenangi air, biji galam dapat bersemai dengan cepat. Namun, apabila lokasi kebakaran ini tidak segera digenangi air, bukan hal yang tidak mungkin, biji galam lambat bersemai. Dengan kalimat lain, pada lokasi yang tidak digenangi ini, biji akasia justru lebih cepat bersemai daripada biji galam. Kebakaran galam di SMPTL dapat dikatakan terjadi setiap tahun. Kejadian ini muncul sebagai akibat langsung pembakaran di dalam SMPTL atau tidak langsung dari pembakaran di luar SMPTL. Pembakaran di dalam SMPTL dilakukan, ketika masyarakat
memanfaatkan areal SMPTL (terutama di sekitar Sungai Sanipah yang termasuk dalam Desa Kandangan Lama) sebagai padang penggembalaan sapi. Tujuan pembakaran adalah untuk menghijaukan (meregenerasi) rerumputan yang kering selama musim kemarau. Pembakaran di luar SMPTL merupakan upaya masyarakat untuk membersihkan lahan dari potongan-potongan kayu, sehingga pada gilirannya lahan mudah ditanami tanaman pangan, seperti padi atau jagung. Areal di luar SMPTL ini dapat berupa areal HPHTI (yang dianggap oleh masyarakat sebagai lahan sengketa) atau areal yang sudah lama dikuasai oleh masyarakat. zz
Dishut Tala dan LPM Unlam. 2006. Laporan Hasil Penelitian Kawasan Suaka Margasatwa Kabupaten Tanah Laut Tahun Anggaran 2006 (Kajian Kondisi Aktual Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Pelaihari Tanah Laut). Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut dan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Sindusuwarno, R. dan D.I. Utomo. 1981. Acacia mangium, jenis pohon yang belum banyak dikenal. Duta Rimba 7(48):2-4. Tiwari, J.W.K. 1999. Exotic weed Prosopis juliflora in Gujarat and Rajasthan, India – boon or bane? Tigerpaper 26(3):21-25.
Dosen Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat
1
DAFTAR PUSTAKA Arief, H. 1992. Pengaruh pembakaran terhadap kualitas dan kuantitas Savana Bekol di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Media Konservasi 4(1):23-30.
Guru Besar Konservasi Flora Fauna, Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat 2
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 19
Berita dari Lapang
Kearifan Tradisional Selamatkan Tumbuhan Obat Kali Surabaya Oleh: Amirudin Mutaqien*
K
eberadaan Tumbuhan obat di bantaran kali Surabaya, terselamatkan oleh kearifan masyarakat setempat yang masih menggunakan dan memelihara tumbuhan-tumbuhan obat yang terancam oleh pengalihan lahan. Sebagian kecil masyarakat yang tinggal di pinggir kali ini masih memegang erat tradisi leluhur untuk memanfaatkan daun encok, daun tapak liman, daun bandotan, meniran, pecut kuda untuk mengobati penyakit yang mereka derita.
Identifikasi kearifan ini dilakukan Ecoton bekerjasama dengan Yayasan KEHATI dalam Rangka UPAYA PEMASYARAKATAN TUMBUHAN OBAT KALI SURABAYA 2000-2001 di 10 Desa di Sepanjang bantaran kali Surabaya. Untuk mendukung upaya ini Ecoton telah memproduksi 1000 eksemplar buku tumbuhan Obat.
Sejak awal tahun 1990 bantaran kali Surabaya yang awalnya berfungsi sebagai daerah resapan air, telah beralih fungsi menjadi lahan terbangun. Yang menjadi kekhawatiran Ecoton adalah masih belum tergalinya potensi alam seperti tumbuhan-tumbuhan obat dibantaran kali yang membentang sepanjang hampir 55 km tersebut. Dari eksplorasi awal yang dilakukan Ririn Triwulandari, Ssi (Staf peneliti Ecoton, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan basah-1998-1999) teridentifikasi 70 jenis tumbuhan berkhasiat obat.
1. Anting-anting Acalypha indica
Untuk menindaklanjuti temuan itu, tim Ecoton dibantu oleh seorang pemerhati tumbuhan obat (penggerak, penyuluh Jawa timur) Bapak Bambang Saryanto dan Kasimin (Juara I Lomba TOGA Tingkat nasional 1998), telah melakukan identifikasi kearifan masyarakat bantaran terhadap pemanfaatan tumbuhan-tumbuhan obat. Ternyata masyarakat secara turun temurun telah memanfaatkan tumbuhan obat yang ada disana.
20 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Berikut ini daftar Isi Tumbuhan obat yang telah umum dimanfaatkan oleh Masyarakat Bantaran Kali Surabaya
Anting-anting atau juga biasa disebut kucing-kucingan, lelatang merupakan gulma yang sering dijumpai di bantaran Kali Surabaya, menempel di tepian got, dan sangat umum ditemukan liar dipinggir jalan. Dalam beberapa penelitian akar Antinganting dapat memperbaiki fungsi ginjal pada kucing. Sifat dan Khasiat Rasanya pahit, sifatnya menyejukkan (astrigen). Berkhasiat untuk mengobati penyakit rematik (Gout), radang pada leher rahim, susah buang air besar (Sembelit), luka berdarah, koreng, radang kulit, dan berak darah. 2. Tapak Liman Elephantopus scaber Tapak liman merupakan tanaman liar tegalan, lerengan andil bantaran kali, tumbuhnya seperti menempel pada
tanah. Daun hijau tua agak kasar, permukaannya berbulu halus. Panjang daun tidak kurang dari 25 cm, tepinya bergerigi. Bunga berwarna unggu. Sifat dan Khasiat Rasanya pahit, pedas, sejuk. Tapak Liman mengandung stigmaterol yang membentuk hormon progesteron, memacu gairah pria, melancarkan peredaran darah, mencegah kehamilan, melancarkan air seni Lupeol, Isodeoxyelephantopin, 11, 13 Dihydrodeoxoxyelephantopin, asam amino senyawa sesquiterpenoid hasil reduksi deoxyelephantopin merupakan senyawa antitumor, peradangan akibat bakteri, antibiotik terhadap staphylococcus penyebab keputihan. 3. Bandotan Ageratum conyzoides Tumbuh liar dibibir sungai, tegalan dan halaman rumah, tersebar luas dari Bambe sampai Lebani Waras. Apabila daunnya di remas perlahan akan menimbulkan bau lebus seperti wedus. Tingginya antara 30-90 cm, bercabang, batang berambut kasar, daun hijau tua dan kasap bila diraba permukaannya, bunga putih. Bagian yang digunakan untuk obat adalah herba (bagian diatas tanah) dan akar, dalam kondisi segar atau yang telah di keringkan. Sifat dan Khasiat Herba ini rasanya sedikit pahit, pedas, dan sifatnya netral. Bandotan berkhasiat stimulan, tonik, peredah demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan,
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
menghentikan pendarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), tonik, peluruh kencing (diuretik), dan peluruh kentut (Karminatif). 4. Alang-alang Imperata cylindrical Tersebar di sepanjang Bantaran Kali Surabaya mengisi semak-semak diantara pohon pisang, dan lahan tegalan. Sifat dan Khasiat Alang-alang rasanya manis, sejuk, dapat menurunkan panas (antipiretik), peluruh kemih (Diuretik), menghentikan pendarahan (Hemostatik), menghilangkan haus, Masuk meriden paru-paru, lambung dan usus kecil. Bagian yang dipakai Rimpang (akar), daun dan bunga. 5. Meniran Phyllanthus urinaria Tumbuh liar di tegalan, bantaran kali dan semak diantara pohon-pohon pisang. Banyak dijumpai di bantaran Kali Dusun Sarirejo, Ngambar dan Wates. Daunnya kecil-kecil dan bentuknya lonjong, terdapat butiran hijau ditangkai daunnya. Tingginya kurang dari setengah meter. Sifat dan Khasiat Banyak mengandung Kalium dan zat filantik yang berkhasiat menghancurkan batu ginjal dan melancarkan air seni. Meniran dapat mengobati susah kencing disertai sakit perut/pinggang, nyeri buang air kecil, hepatitis, rheumatik, batu ginjal, koreng, sakit Gigi, dan dapat menurunkan Berat Badan. 6. Patikan Kebo Euporbhia hirta Tumbuhan semak-semak ini banyak dijumpai disela rerumputan, bebatuan, tempat terbuka, dapat tegak memanjat, tinggi mencapai 50 cm (dibantaran Kali Surabaya umum dijumpai dengan
tinggi tak kurang dari 30 cm), batang berambut,warna batang merah kecoklatan, daun lonjong meruncing dengan tepi bergerigi, Bancar mengeluarkan getah putih bila batangnya dicuwil. Sifat dan Khasiat Rasa agak pahit dan asam, sejuk, sedikit toksik (beracun), anti inflamasi, peluruh air seni, menghilangkan gatal (antipruritik). 7. Ceguk Quisqualis indica Jarang ditemukan dalam keadaan berbunga karena umumnya orang menganggap Ceguk tak berguna. banyak ditemukan ditanggul-tanggul bertanah padat dan barongan bambu. Sifat dan Khasiat Tumbuhan yang batangnya bisa merambat ini bersifat manis, hangat, beracun mengandung pontassium guisgualata yang mampu masuk meridian limpa dan lambung, pembunuh cacing, membantu pencernaan dan memperkuat limpa. 8. Biduri Calotropis gigantea Biduri banyak ditemukan didaerah kering Seperti wilayah Driyorejo, mudah dijumpai di tepi jalan, pada tanah keras/paras seperti Desa Mulung. Di Bantaran Kali Surabaya mudah dijumpai di wilayah bantaran yang berdekatan dengan Jalan Raya Seperti dusun Gading, Wates, dan Krikilan. Daunnya lebar berbentuk bulat telur permukaan atas dilapisi rambut putih rapat (bila diusap akan terasa seperti gumpalan tepung). Sifat dan Khasiat Daun berkhasiat sebagai peluruh keringat, perangsang muntah, dan peluruh kencing serta menghilangkan gatal. Bunga berkhasiat tonik, dan menambah nafsu makan. Getah beracun dan dapat menyebabkan
Berita dari Lapang
muntah. Bila sebagian tumbuhan dilukai akan mengeluarkan getah putih encer, rasanya pahit lama kelamaan terasa manis. Untuk borok atau luka, giling daun kering sampai halus taburkan serbuknya kebagian yang luka. 9. Pecut Kuda Stachytarpheta jamaicensis Ciri khas: adanya tangkai bulir yang memanjang dari ujung tangkainya seperti pecut. Bunganya kecil berwarna ungu pada bagian tangkai, daun bergerigi.Tinggi bisa mencapai 2 meter. Dibantaran Kali Surabaya banyak dijumpai didesa Lebani Waras. Sifat dan Khasiat Rasa pahit, sifatnya dingin. Berkhasiat sebagai pembersih darah, anti radang, dan peluruh kencing. 10. Beluntas Pluchea indica Tanaman perdu yang sering tumbuh liar, biasa dipakai sebagai pagar tanaman dan dimanfaatkan sebagai laukpauk/lalapan (Kulupan) ini tak asing bagi masyarakat bantaran Kali Surabaya, tingginya bisa mencapai 1-2 m. Daunnya bertangkai pendek, letaknya berseling, pinggirnya bergerigi, dan warnanya hijau terang. Mendinginkan sehingga banyak keringat yang keluar dan suhu tubuh menjadi turun. Selain itu juga bisa dimanfaatkan untuk menambah nafsu makan pada anak. 11. Putri malu Mimosa pudica Semak berduri ini memiliki sifat manis, agak dingin, penenang, peluruh dahak, anti batuk, penurun panas anti radang, peluruh air seni. tumbuhan yang daunnya menutup bila disentuh. Banyak dijumpai di bibir tanggul Stren Kali Surabaya.
..... bersambung ke halaman 25
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 21
Berita dari Lapang
Penanaman 15.000 Pohon Mahoni dan Suren
Sebagai Perlindungan Catchment Area Oleh: Puji Hartono*
D
esa Sumbung yang terletak di wilayah Kecamatan Cepogo berjarak 12 kilometer dari kantor ibukota Kabupaten Boyolali merupakan salah satu desa yang paling subur dari sekitar 12 desa yang berada di lereng gunung Merapi sampai Merbabu, selain itu Desa Sumbung merupakan salah satu desa yang mempunyai sumber mata air yang umumnya keluar di sepanjang dasar sungai Sooka (daerah tangkapan air). Sampai saat ini terdapat 5 desa di bawahnya yang memanfaatkan sumber mata air tersebut dengan system gravitasi. Yayasan Pengembangan Akhlaq Mulia (YPAM) yang aktif dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, melalui kerjasama dengan Mercy Corps dan Australian Embassy, telah melakukan pendampingan bagi masyarakat sekitar yang memanfaatkan air dari Desa Sumbung sejak tahun 2000 yang lalu. Pada saat ini YPAM bekerjasama dengan PT. Aqua Tirta Investama Pabrik Klaten dengan dasar perjanjian kerjasama nomor: 03/PK/TIV/KLT/XII/ 2006 tertanggal 13 Desember 2006: tentang kerjasama Pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibilty (CSR) selama 3 tahun. Untuk itu dipilihlah Desa Sumbung yang berjarak sekitar 25 kilometer dari produksi PT Aqua. Adapun kegiatan CSR ini dititikberatkan
22 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
pada pendampingan kelompok masyarakat dengan fokus penanaman tanaman Mahoni dan Suren. Namun dari kegiatan ini, tanaman mahoni agaknya memiliki potensi kematian yang diakibatkan oleh adanya tupai. Satwa ini suka sekali menguliti kulit ranting pohon mahoni yang pada akhirnya pohon tersebut mati, selain itu faktor cuaca juga sangat menentukan kelangsungan hidup atau pertumbuhan mahoni.
PENDAMPINGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT Kelompok masyarakat dampingan YPAM di Desa Sumbung adalah kelompok tani Srirejeki. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat, mereka dilibatkan mulai dari perencanaan melalui teknis pelaksanaan yang menitikberatkan pada musim dan tingkat kesehatan benih pohon mahoni dan suren. Setelah mendapat benih dari kelompoknya, para anggota kelompok akan melakukan proses tanam secara sukarela (tanpa mendapat ongkos tanam). Untuk perawatan, dilakukan pemupukan dengan jenis pupuk organik yang bahannya dikirim oleh PT. Aqua. Untuk memantau perkembangan pertumbuhan tanaman, kelompok dilibatkan/diajak langsung. Luas cakupan lahan untuk penanaman diperkirakan mencapai 40 hektar, yang sebagian besar berada di sepanjang
sungai Sooka dimana masyarakat banyak tinggal di daerah tersebut. Sampai saat ini sudah tertanam sebanyak 15.000 batang pohon mahoni dan suren. Kegiatan penghijauan di Desa Sumbung ternyata mendapat sambutan positif dari masyarakat, dengan bekal pengarahan teknis dari Dipertanhutbun Cepogo Boyolali, kegiatan penanaman dan perawatan pohon mahoni dan suren dilakukan dengan antusias dan penuh keyakinan agar sumber air di wilayah mereka tetap terjaga. zz
* YPAM Boyolali Tel. 0276 3293385 E-mail:
[email protected]
Berita dari Lapang
Mengamati Para Penjelajah Dunia di P. Trisik:
Sebuah Perayaan di Hari Burung Bermigrasi Sedunia Ala Pengamat Burung Oleh: Imam Taufiqurrahman*
T
idak banyak orang yang tahu—apalagi merayakan— World Migratory Bird Day (WMBD) atau Hari Burung Bermigrasi Sedunia yang tahun 2007 ini diperingati pada tanggal 12-13 Mei lalu. Meski tidak semeriah peringatan hari besar lingkungan yang lain, namun peringatan WMBD juga mempunyai misi dan tujuan yang tidak kalah penting. Dalam penyampaian lewat situs resminya (www.worldmigratorybirdday.org), dikatakan bahwa WMBD merupakan sebuah prakarsa global yang dipersembahkan guna merayakan keindahan burung-burung yang bermigrasi dan untuk mempromosikan upaya konservasinya di seluruh dunia. Tema utama perayaan WMBD untuk tahun ini adalah “Burung Migran Dalam Perubahan Iklim” yang diselaraskan sebagaimana tema besar perubahan iklim global yang diusung oleh UNEP dalam rangka memeringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2007 tanggal 5 Juni. Dalam rangka kegiatan monitoring burung pantai Indonesia (MoBuPI) dan sekaligus untuk merayakan WMBD tersebut, kami yang tergabung dalam kelompok studi burung BIONIC UNY mengunjungi P. Trisik, Kulon Progo, Yogyakarta, hari Minggu, 13 Mei lalu. Daerah ini memang telah cukup lama dikenal oleh para pengamat burung Jogja
Suasana saat pengamatan (Foto: Jarot)
sebagai lokasi terbaik untuk pengamatan burung, terutama bila ingin mengamati burung pantai migran, para penjelajah dunia yang berasal dari belahan bumi utara. Oleh karena pengamatan dilakukan dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, kami pun terbagi menjadi dua kelompok sebagai penyesuaian. Kelompok pertama yang berangkat pada pagi hari telah melakukan pengamatan terlebih dahulu. Saya yang termasuk kelompok sore, bersama 7 kawan yang lain, baru mulai melakukan pengamatan pada sekitar pukul 15.30 WIB. Dengan berkendara sepeda motor kami harus menempuh perjalanan lebih
dari 40 km ke selatan, dari kampus menuju kawasan wisata P. Trisik. Meski telah lama menjadi daerah tujuan wisata, namun P. Trisik saat ini tidak terlalu ramai dikunjungi akibat terputusnya jembatan Srandakan beberapa tahun lalu. Jembatan Srandakan yang baru memang telah selesai dibangun dan telah dapat digunakan. Namun selain belum diresmikan, akses transportasi umum yang menuju kawasan pantai belum berfungsi lagi seperti sedia kala sehingga hanya para pemancing dan masyarakat sekitar Kulon Progo saja yang kerap berkunjung. ..... bersambung ke halaman 30
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 23
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 17
Lubuk Larangan: Melestarikan Sumberdaya Perikanan Sungai ........... Lalu, pada bulan Mei 2007, penulis mendapat tugas untuk melihat potensi Danau Siais untuk pengembangan kawasan wisata alam di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dalam perjalanan dari kota Padangsidimpuan menuju Danau Siais dengan jarak sekitar 73 km, sebagian perjalanan melewati daerah aliran sungai Batang Toru, dan penulis pun menemukan plang pengumuman tentang lubuk larangan lainnya, seperti yang dijumpai di Desa Tamiang, Kecamatan Kota Nopan, Kabupaten Madina.
DARI MANA ASALNYA LUBUK LARANGAN DAN BAGAIMANA ATURANNYA? Papan pengumuman tentang lubuk larangan, sangat menyita dan menarik perhatian penulis. Awalnya penulis menduga bahwa lubuk larangan adalah daerah bagian sungai yang dalam (yang disebut dengan lubuk) yang tidak boleh diganggu, misal untuk mandi atau diambil ikannya. Ingatan penulis merunut jauh ke masa kecil penulis yakni hidup bersama keluarga di hulu Sungai Batanghari, Sumatera Barat, bahwa ada lubuk (bagian sungai yang dalam) tertentu yang dilarang mengambil ikan di tempat tersebut dengan cara apapun. Rupanya, dugaan penulis meleset. Berdasarkan penjelasan pemandu yang berasal dari desa tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa lubuk larangan di daerah tersebut adalah bukan bagian sungai yang dalam, namun adalah alur sungai dengan panjang sekitar 1,5 km yang melintasi desa tersebut yang dilarang bagi siapa saja untuk mengambil ikan dengan cara apapun,
24 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
kecuali pada waktu tertentu. Khusus di desa Tamiang, Kecamatan Kota Nopan, Kabupaten Madina, lubuk larangan dibuka selama 2 hari pada waktu berdekatan dengan hari raya Idul Fitri, yakni tanggal 2 - 3 Syawal, dan mulai tanggal 4 Syawal lubuk larangan tersebut ditutup kembali. Lubuk larangan di Desa Tamiang merupakan tradisi masyarakat tersebut yang telah berjalan turun temurun. Penetapan kawasan lubuk larangan ditetap berdasarkan SK Desa dengan kesepakatan warga masyarakat, dan waktu awal pembukaan dan penutupan diperbaharui setiap tahun. Bagi yang mengambil ikan bukan pada waktu ditetapkan akan disidang di kantor desa dan akan dikenakan denda sebesar Rp. 1.000.000,- per orang dan uangnya masuk kas desa yang akan dipergunakan bagi pembangunan desa. Berdasarkan informasi masyarakat, diketahui bahwa sampai saat ini belum ada yang melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut karena masyarakat secara keseluruhan memahami secara baik tujuan dan maksud ketetapan tersebut tersebut. Saat lubuk larangan dibuka, setiap orang yang ingin mengambil ikan di kawasan tersebut terlebih dahulu membeli kupon kepada panitia yang telah ditentukan. Pada pembukaan lubuk larangan tahun 1427 H atau tahun 2006, setiap orang yang ingin mengambil ikan dikenakan biaya sebesar Rp. 30.000 dan saat itu secara keseluruhan desa mendapatkan uang Rp. 65.000.000,(enam puluh lima juta rupiah) dari uang kupon pengambilan ikan tersebut. Pengambilan ikan tidak boleh
menggunakan racun, atau disentrum dengan listrik, tetapi hanya boleh dengan bantuan pancing, jala, jaring atau alat sejenisnya dan bahkan hanya dengan tangan. Biasanya saat pembukaan lubuk larangan tersebut, masyarakat dengan antusias mengambil ikan. Selain kesempatan langka juga untuk mendapatkan ikan yang hanya setahun sekali sambil rekreasi bersama keluarga. Berbagai jenis ikan yang ditangkap, meliputi ikan jurung, baung, limbat dan sebagainya. Oleh karena sungai telah ditutup selama 1 tahun, banyak ikan dengan ukuran yang besar didapatkan dengan jumlah tangkapan yang lumayan banyak, yakni berkisar di atas 5 kg tergantung keterampilan dalam menangkap ikan atau tentunya tergantung rizki masing-masing. Uang hasil penjualan kupon, selain dipergunakan untuk pembangunan desa, juga untuk memberi insentif bagi yang bisa membunuh babi karena babi merupakan hama bagi padi sawah atau kebun masyarakat. Dengan demikian, aturan lubuk larangan, selain menjaga sumberdaya perikanan sungai, menyediakan sumberdana bagi pembangunan desa, juga sekaligus dapat mengurangi gangguan hama babi bagi pertanian dan kebun masyarakat sehingga petani dapat menikmati hasil jerih payahnya.
PENUTUP Lubuk larangan hanyalah salah satu contoh kearifan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Mereka memberikan contoh
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
nyata dalam pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan dilakukan secara mandiri. Mereka menjaga sungai yang ada di hulu, sehingga masyarakat di hilir tidak terkurangi haknya untuk mendapatkan sumber kehidupan dari sungai yang airnya terus mengalir.
Mereka melakukan hal tersebut bukan karena pengarahan orang ‘terpelajar’ dari kota, tetapi kedekatan mereka dengan alam menjadikan mereka arif dan bijak, sehingga tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak. Alam telah menjadi guru bagi mereka
Gambar 2. Kondisi umum aliran sungai Aek Batang Gadis yang melintasi Desa Tamiang, Kec. Kota Nopan, Kab. Madina, Sumatera Utara dengan latar belakang berupa hutan yang masih relatif terjaga. Sebagian kawasan hutan ditanami karet secara tradisional dan pada daerah landai di kiri kanan sungai terdapat sawah masyarakat yang mendapat pengairan dari sungai Aek Batang Gadis. (Foto oleh Onrizal, tanggal 2 Februari 2007).
untuk berbuat dan berperilaku. Saatnya bagi kita untuk mengambil pelajaran dari mereka. zz * Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Grup Kajian Lingkungan Asosiasi Akademisi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ASASI) E-mail:
[email protected]
Gambar 3. Jalan lintas tengah Sumatera yang melintasi Desa Tamiang dari kota Bukitinggi menuju Medan. Pada sebelah kanan jalan terdapat permukiman penduduk yang juga berada di bawah kaki pegunungan bukit barisan, dan di sebelah kanan jalan terdapat aliran sungai Aek Batang Gadis (Foto oleh Onrizal, tanggal 30 Januari 2007)
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 21
Kearifan Tradisional: Selamatkan Tumbuhan Obat ...........
Tumbuhan ini umum dijumpai di Bantaran Kali Surabaya, terutama di lahan-lahan terbuka yang terkena matahari, akar dan batangnya ulet, daunnya memanjang bergerigi.
berwarna hijau muda, berbentuk lonjong sebesar ibu jari dan rasanya asam. Buahnya sering di pakai untuk memasak sehingga sering disebut juga belimbing sayur. Daunnya kecil berhadapan, bunga merah muda keunguan.
Sifat dan Khasiat Menurunkan kadar asam urat, memperlancar air kencing, dan meringankan rasa sakit akibat asam urat. Seluruh bagian tumbuhan dapat dimanfaatkan.
Sifat dan Khasiat Belimbing wuluh dapat menurunkan tekanan darah tinggi, diabetes, mengobati gusi berdarah, sakit gigi, dan mampu mengeluarkan dahak serta menurunkan panas.
Sifat dam Khasiat Dapat mematikan kuman karena kandungan Metil asetil ester. Senyawa Moridomnya Soranjidiol berguna melancarkan keluar air seni. Mengkudu juga berkhasiat sebagai obat Cacing, hipertensi, radang usus, hepatitis dan masuk angin. zz
13. Belimbing Wuluh Averrhoa bilimbi
14. Mengkudu Morinda ritricifolia
Informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Tumbuhan berbang keras ini bisa mencapai ketinggian 10 m. Buahnya
Tanaman liar khas Indonesia ini tingginya bisa mencapai 3-8 m.
12. Sidaguri Sida rombofolia
Daunnya tebal dan lebar, letaknya berhadapan. Bunganya kecil berwarna putih. Buahnya berwarna hijau bertutul-tutul, kalau sudah tua menjadi kekuningan dan berbau.
* Manajer Pendidikan Lingkungan ecoton E-mail:
[email protected]
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 25
Flora dan Fauna Lahan Basah
KODOK Perlu Pengendalian
Ekspor Daging
Oleh: Ismu Sutanto Suwelo*
S
alah satu jenis Amphibia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di Indonesia adalah katak/kodok (frog). Pemanfaatan dagingnya telah lama terjadi bahkan kini ekspor daging kodok merupakan komoditi ekspor non migas. Dari rumah-rumah makan di pinggir-pinggir jalan hingga restoran banyak dijumpai makanan yang berasal dari daging kodok. Bahkan pemerintahpun merasa perlu menyediakan bibit kodok untuk dibudidayakan karena permintaan pasar akan daging kodok yang cukup tinggi. Diimporlah kodok berkualitas tinggi dan dikembangkan melalui budidaya penangkaran (captive breeding), bukan penangkapan. Umumnya para stakeholder (pengusaha, pengumpul) menangkapi kodok-kodok langsung dari alam untuk diolah dagingnya menjadi santapan. Padahal ada beberapa jenis yang saat ini ternyata telah langka dan terancam punah akibat eksploitasi berlebihan di habitat aslinya. Bila hal ini tetap dibiarkan tanpa usaha ke arah konservasinya, maka tidak menutup kemungkinan jenis-jenis katak/kodok tertentu yang selama ini dimanfaatan dagingnya akan mengalami ancaman kepunahan. Akibatnya keseimbangan ekosistem di alam terganggu dan pada akhirnya
26 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
manusialah yang akan terkena dampaknya. Katak/kodok dalam ekosistem mempunyai peranan yang penting, misalnya memangsa serangga pengganggu dll.
JENIS YANG DIMANFAATKAN UNTUK DIEKSPOR Beberapa jenis katak/kodok dari Indonesia telah lama diekspor ke mancanegara selain dikonsumsi di dalam negeri. Jenis katak gembong/ katak batu (Giant Javan Frog), Limnonectes macrodon ekspornya mencapai 19%. Jenis yang hidup di aliran air hingga ketinggian 400 meter dpl ini secara global tersebar di wilayah Asia Tenggara. Sementara di Indonesia penyebarannya ada di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sejak tahun 2004 status populasi katak gembong di alam menurut Red Data Book-IUCN adalah V (Vulnerable) yaitu beresiko punah. Jenis berikutnya adalah Fajervarya cancrivora (Crab-eating Frog), dimana ekspor paha/dagingnya dari Indonesia selama ini mencapai 75%. Di tahun 1992 angka ekspor jenis ini mencapai 5.600 ton, sementara sebelumnya yaitu tahun 1969 hanya 28 ton. Katak jenis ini diduga terdapat di Pulau Jawa dan juga telah menurun angka ekspornya.
Jenis lainnya adalah Grass Frog, Fajervarya lamnocharis yang mempunyai penyebaran populasi di Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. Bersama dengan katak gembong dan Crab-eating Frog, katak jenis inipun dimanfaatkan dagingnya (paha dan tubuhnya) setelah ditangkap langsung dari habitat aslinya.
KATAK BUDIDAYA Katak jenis Rana catesbeiana adalah katak budidaya yang pernah diimpor bibitnya oleh Pemerintah (Ditjen Perikanan Deptan) dari Amerika Utara pada tahun 1982-2003, namun ternyata tidak berkembang karena tersaingi oleh katak/kodok lokal yang ditangkapi langsung dari alam. Katak/kodok budidaya yang bernilai tinggi ini (Rana catesbeiana) diternakan (captive breeding) dalam bak/kolam, tidak bisa hidup di alam liar di Indonesia. Pernah menjadi komoditi ekspor yang prospeknya baik, namun karena kurang perlindungan atas kegiatan peternakannya maka ekspornya tersaingi oleh katak/kodok yang ditangkapi dari alam. Selain itu kodok impor ini sering terkena penyakit serta bibitnya yang mahal. Jenis lain yang berasal dari India
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
dan Pakistan (Rana hexadactyla dan R. macrodon) sejak 10 tahun yang lalu telah dilarang oleh Pemerintah India dan Pakistan untuk diekspor karena alasan konservasi. Pengendalian terhadap ekspor daging kodok jenis Limnonectes macrodon, Fajervarya cancrivora, dan F. lamnocharis perlu dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi penurunan jumlah populasi di alam akibat eksploitasi yang berlebihan. Tampaknya ekspor daging kodok/ katak dari Indonesia tidak diatur oleh otoritas pengelola bersama otoritas ilmiah. Hal ini disebabkan karena perdagangan kodok tidak diawasi oleh peraturan CITES.
USAHA KE ARAH PERLINDUNGAN Dalam Lokakarya ”Usulan Jenis Satwa dan Tumbuhan yang Perlu Dilindungi Undang-undang”, diselenggarakan Puslit Biologi LIPI pada tanggal 29 Nopember 2006, Kelompok Herpetofauna mengajukan kodok merah, Leptophryne cruentata yang tercatat dalam Red List IUCN sebagai Critically Endangered, agar direkomendasi LIPI untuk dilindungi UU Konservasi Hayati 1990, ditambahkan dalam daftar lampiran PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa karena populasinya di alam sudah terancam. Sedangkan jenis lainnya yaitu Limnonectes macrodon, Fajervarya cancrivora dan F. lamnocharis yang disebut dalam artikel ”Indonesia’s Exports of Frog Legs”, Traffic Bulletin Vol. 21 No. 1 July 2006, ditulis oleh Mirza D. Kusrini dan Ross A. Alford tidak dibahas, padahal Limnonectes
macrodon (katak gembong, katak batu, Giant Javan Frog) statusnya di alam menurut RDB-IUCN adalah Vulnerable (Terancam punah). Yayasan Nasional Bina Samudra, sebuah LSM Kelautan di Jakarta melalui surat tanggal 5 Desember 2006 No. 46/YNBS.E/XII/2006, ditujukan kepada Kepala Puslit Limnologi LIPI perihal Database Amphibia yang Langka dan Terancam Punah yang ada di Indonesia (I. Katak, Frog) menyarankan kepada Pemerintah cq. Puslit Limnologi LIPI agar jenis katak gembong dan katak merah perlu mendapat perlindungan sehubungan dengan tidak diawasinya perdagangan kodok oleh CITES dan lokakarya tanggal 29 Nopember 2006 yang baru lalu tidak mengusulkannya. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang aspek biologi, sebaran geografi, jumlah populasi dan lain-lain terhadap jenis-jenis Amphibia yang mempunyai nilai ekonomi sehingga dapat ditentukan status hukumnya di Indonesia. Selain itu perlu
Flora dan Fauna Lahan Basah
dikembangkan usaha budidaya (captive breeding) terhadap jenisjenis tersebut agar sumber plasma nutfah tetap tersedia di alam. Banyak diantara jenis-jenis katak/ kodok yang endemik namun belum diketahui kedudukan takson maupun ekosistemnya. Para pakar yang tergabung di dalam Kelompok Herpetofauna Indonesia agar lebih aktif lagi melakukan penelitian mengenai hal tersebut sehingga keberadaan jenis-jenis Amphibia sebagai unsur dari keanekaragaman hayati di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap berpegang pada asas kelestarian alam. Sementara itu katak budidaya, Rana catesbeiana yang diternakkan kembali secara ”captive breeding” agar dikembangkan karena jelas menguntungkan dari segi ekonomi asal tidak tersaing oleh katak/kodok yang ditangkapi dari habitat aslinya di alam. zz * Yayasan Nasional Bina Samudra
Rana catesbeiana, katak budidaya hasil impor, memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, namun ekspornya tersaingi katak yang ditangkapi langsung di alam. Jenis ini memiliki prospek dikembangkan kembali melalui peternakan yang lebih dilindungi
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 27
Berita dari Lapang
Mengenal
Capung*
Oleh: Shanti Susanti
C
apung merupakan serangga yang menarik, memiliki 4 sayap yang berselaput dan banyak sekali urat sayapnya. Bentuk kepala besar dengan mata yang besar pula. Capung memiliki toraks yang kuat dan kaki yang sempurna. Abnomen panjang dan ramping, tidak mempunyai ekor, tetapi memiliki berbagai bentuk umbai ekor yang telah berkembang dengan baik. Mata capung sangat besar dan disebut mata majemuk, terdiri dari banyak mata kecil yang disebut ommatidium. Dengan mata ini capung mampu melihat ke segala arah dan dengan mudah dapat mencari mangsa atau meloloskan diri dari musuhnya, bahkan dapat mendeteksi gerakan yang jauhnya lebih dari 10 meter dari tempatnya berada. Kedua pasang sayap capung berurat-urat. Para ahli capung dapat mengidentifikasi dan membedakan kelompok capung dengan melihat susunan urat-urat pada sayap. Masing-masing susunan memiliki nama tersendiri. Bila diperhatikan, ada dua macam capung dengan perbedaan ukuran yang sangat mencolok yaitu Capung jarum dan Capung biasa. Capung jarum (anak bangsa Zygoptera) ukuran tubuhnya kecil dan ramping seperti jarum. Pada waktu hinggap, sayap capung jarum terlipat/menutup di atas punggungnya. Capung biasa (anak bangsa Anisoptera) tubuhnya lebih besar dan lebih kekar daripada capung jarum, dan umumnya dapat terbang lebih cepat. Sayap capung
28 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
biasa terentang pada waktu hinggap. Kecepatan terbang capung biasa sangat tinggi, bahkan ada jenis yang dapat terbang mencapai 64 km per jam. Daur hidup capung mengalami tiga tahap perubahan bentuk (metamorfosis) yaitu telur, nimfa dan dewasa. Daur hidup ini termasuk dalam metamorfosis tidak lengkap.
Nimfa hidup di dalam air dan bernafas dengan insang. Dalam jangka waktu beberapa bulan hingga lima tahun, bergantung jenisnya, nimfa kemudian akan naik ke permukaan air dengan memanjat daun atau tumbuhan untuk kemudian melepaskan kulit dan menjadi capung dewasa.
PERILAKU MENARIK DARI CAPUNG telur
nimfa
capung dewasa Daur hidup capung
Nimfa capung terkenal sebagai pemangsa yang ganas, mempunyai bibir bawah yang dapat dijulurkan untuk menangkap mangsanya.
Pada beberapa jenis, capung jantan yang siap kawin memiliki kebiasaan untuk menguasai suatu ”wilayah”. Capung jantan umumnya berwarna cerah atau lebih mencolok daripada yang betina. Warna yang mencolok ini membantu menunjukkan wilayahnya kepada jantan lain. Perkelahian diantara capung-capung jantan sering terjadi dalam memperebutkan wilayah masingmasing. Bila ada capung betina terbang mendekati salah satu wilayah, maka jantan penghuni akan mencoba mengawininya. Capung melakukan perkawinan sambil terbang, umumnya di sekitar perairan; dengan menggunakan umbai ekornya, capung jantan akan
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
mencengkeram bagian belakang kepala capung betina. Kemudian capung betina akan membengkokkan ujung perutnya menuju alat kelamin jantan yang sebelumnya sudah terisi sel-sel sperma. Keadaan ini membentuk posisi yang menarik seperti lingkaran yang disebut ”roda perkawinan”. Setelah berhasil, sperma akan memasuki tubuh capung betina dan membuahi telur-telurnya. Capung betina yang siap bertelur, akan meletakkan telur-lelurnya dengan berbagai cara, ada yang menyimpannya di sela-sela batang tanaman air, ada pula yang menyelam ke dalam air untuk bertelur. Oleh sebab itu capung selalu ’terikat’ dengan air, baik untuk meletakkan telur-telurnya maupun untuk kehidupan nimfanya. Pada waktu capung betina meletakkan telur-telurnya, capung jantan melayang-layang di atasnya atau tetap menempel pada tubuh betina dalam posisi berboncengan atau ”tandem”.
Beberapa cara capung bertelur
Capung mempunyai kebiasaan berjemur di bawah sinar matahari untuk menghangatkan tubuhnya dan menguatkan otot-otot sayapnya untuk terbang.
MANFAAT CAPUNG BAGI MANUSIA Bentuk capung yang anggun serta warna yang indah sering menjadi inspirasi bagi para seniman lukis, perancang mode, pembuat hiasan kerajinan tangan, penulis puisi dan lagu. Gerakan terbangnya yang cepat dan dinamis menjadi inspirasi bagi seni tari. Pada jaman dahulu di Madagaskar, Indonesia dan Malaysia, konon capung digunakan sebagai makanan perangsang, dan ada pula yang menggunakannya sebagai obat. Di beberapa daerah di Indonesia, terutama di pedesaan, capung hijau sering digunakan untuk menghentikan kebiasaan mengompol pada anak-anak, dengan cara capung dipegang sayapnya lalu diletakkan di atas pusar si anak sehingga kaki capung akan ’menggelitik’ pusar anak tersebut. Sementara di Jepang, capung dilindungi dan tidak boleh dilukai atau dibunuh, sebab merupakan simbol kejayaan dan semangat serta penghubung jiwa orang yang telah meninggal. Capung ternyata juga bermanfaat langsung bagi manusia, karena nimfa capung memakan berbagai jenis binatang air, termasuk jentikjentik nyamuk yang dapat menyebarkan penyakit malaria dan demam berdarah. Capung dewasa biasanya memangsa lalat, nyamuk dan beberapa serangga hama tanaman. Sebetulnya, baik nimfa maupun capung dewasa biasanya memakan mangsa apa saja yang terlihat paling banyak dan sesuai baginya. Capung dapat mengurangi jumlah serangga pembawa penyakit namun tidak dapat memberantasnya. Pada gilirannya capung dan nimfanya menjadi makanan binatang lain seperti ikan, katak dan burung. Dalam hal ini, capung juga
merupakan bagian penting dari rantai makana, terutama pada habitat perairan. Capung dapat juga disebut sebagai indikator air bersih. Artinya, capung dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas air di sekitar lingkungan hidup kita, karena nimfa capung tidak akan dapat hidup di air yang sudah tercemar atau di sungai yang tidak ada tumbuhannya. Jadi secara tidak langsung kehadiran capung dapat menandakan bahwa perairan sekitar kita masih bersih. Perubahan populasi capung juga dapat menandai tahap awal adanya pencemaran air, disamping tanda lainnya yang berupa kekeruhan air dan melimpahnya ganggang hijau. Namun, untuk memastikan apakah suatu sungai atau badan air tercemar atau tidak, tentu saja harus disertai pula dengan penelitian fisika dan kimia secara akurat.
PELESTARIAN Capung saat ini merupakan salah satu binatang yang terancam punah. Menurunnya jumlah capung disebabkan oleh rusaknya tempat hidup (habitat) akibat kegiatan manusia, seperti pengeringan air sungai atau danau, penggundulan hutan, pencemaran yang berasal dari obat-obat pembasmi hama dalam pertanian, limbah industri serta pembuangan kotoran melalui aliran air dan sebagainya, yang mebahayakan dan memusnahkan nimfa capung. Oleh sebab itu, untuk melestarikan capung, selain tidak ditangkap untuk dimakan atau untuk mainan, juga harus disertai dengan memelihara tempat hidupnya. zz (Sunber: Seri Panduan Lapangan ‘Mengenal Capung’, LIPI/W-IP
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 29
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 23
Mengamati Para Penjelajah Dunia di P. Trisik ........... bulu migrasi yang sedang beralih ke bulu berbiaknya. Ditandai oleh warna bulu pada bagian leher yang telah tampak kemerahan. Nantinya bulu leher, bagian atas kepala dan penutup sayap akan berwarna merah karat. Menandakan bahwa mereka tengah memasuki musim kawin dan siap untuk melanjutkan keturunan.
Kedidi-leher merah yang teramati di laguna P. Trisik (Foto: Aan)
Area persawahan yang membentang di kanan-kiri jalan menuju kawasan pantai menjadi pemandangan awal yang kami jumpai. Tanaman padi yang menguning tampak indah dan menyegarkan mata. Kami memutuskan untuk tidak langsung menuju kawasan pantai, namun menuju muara Kali Progo, yang untuk menuju ke sana perjalanan harus ditempuh dengan melewati jalan berbatu, lurus setelah pertigaan. Beberapa ekor cerek jawa (Charadrius javanicus) menjadi burung pantai pertama yang kami jumpai. Burung tersebut termasuk jenis penetap dan merupakan jenis burung yang persebarannya hanya terbatas Jawa-Bali (endemik). Di kejauhan tampak 6 ekor cangak abu (Ardea cinerea) sedang mencari makan di perairan. Dari muara kami lalu memutuskan untuk berpindah lokasi ke timur menuju laguna. Dua buah laguna yang sebenarnya merupakan daerah genangan air itu biasanya menjadi
30 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
tempat berkumpul (flocking) berbagai jenis burung pantai. Benar saja, tidak lama kemudian kami mencatat kehadiran 9 ekor kedidi leher-merah (Calidris ruficollis). Burung ini merupakan salah satu burung migran dari Siberia dan Alaska yang tercatat bermigrasi hingga Australia. Teman-teman kami yang mengamati di pagi hari menjumpai kehadiran jenis burung migran lain, yaitu beberapa ekor kedidi putih (Calidris alba) dan seekor cerek kernyut (Pluvialis fulva), berkumpul menjadi satu dengan cerek jawa di laguna tersebut. Salah satu keunikan dari burungburung migran ini ada pada perbedaan warna bulu-bulu mereka saat bermigrasi dan berbiak. Saat bermigrasi, bulu-bulu mereka biasanya berwarna campuran antara coklat, putih dan abu-abu, cenderung tidak mencolok. Sedang saat berbiak, bulu-bulu mereka akan mempunyai banyak variasi warna menarik. Kedidi leher-merah yang kami jumpai saat itu menunjukkan
Angin berhembus cukup kencang dengan sinar matahari yang tidak lagi terasa panas menyengat, menjadikan pengamatan sore itu semakin menyenangkan. Kami merasa beruntung karena masih dapat menjumpai burung-burung penjelajah dunia tersebut. Saat itu mereka tengah bersiap untuk menempuh perjalanan panjang kembali ke belahan bumi utara untuk berbiak. Lalu, pada beberapa bulan ke depan, di saat musim dingin di daerah berbiak mereka telah tiba kembali, kelak mereka akan melakukan pengembaraan lagi menuju belahan bumi selatan yang lebih hangat guna menghindari kondisi ekstrim musim dingin tersebut. P. Trisik sebagai salah satu lokasi persinggahan mereka menjadi saksi dari sebuah perjuangan berat, melelahkan dan penuh ancaman, seperti perubahan habitat, iklim global dan perburuan oleh manusia. Dan setiap tahun dalam pengembaraannya, itulah ancaman nyata yang harus dihadapi oleh para penjelajah dunia yang mengagumkan ini. zz * Pengamat burung, anggota Kelompok Studi Burung BIONIC UNY
Dokumentasi Perpustakaan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Gettenlohner, U., S. Lampert and K. Wunderlich. 2007. Mangrove Rehabilitation Guidebook: Publish in the Framework of the EU-Asia Pro Eco II B Post Tsunami Project in Srilanka. Global Nature Fund, 66.
Rivai, S.A., M. Hilman, M.A. Mallolongan dan I. Mawardi. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Departemen Dalam Negeri, xiv + 120.
Indriatmoko, Y., E.L. Yuliani {et.al}. 2007. Dari Desa ke Desa: Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam. CIFOR, 131.
Sari, A.P., Rizka, E.S. 2007. Ringkasan Eksekutif: Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya. Bank Dunia.
Noor, Y.R. dan J. Heyde. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme, xiv + 157.
Sari, N. {et.al}. 2006. Penilaian Data Lingkungan pasca Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Laporan Teknis. Wetlands International - Indonesia Programme, xii + 208.
Sari, N. {et.al}. 2006. Post Tsunami “Green” Environmental Data in the Province Nanggroe Aceh Darusssalam. Laporan Teknik. Wetlands International Indonesia Programme, xiii + 184. Wetlands International - Indonesia Programme. 2007. Lokakarya Perbaikan Penghidupan Masyarakat di Wilayah Yang Terkena Dampak Tsunami Melalui Rehabilitasi dan Pengelolaan Berkelanjutan Ekosistim Pesisir: To Support LocalLivelihoods in Tsunami Affected Areas Through Sustainable Rehabilitation and Management of Coastal, Wetlands International-IP.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Kotak-Katik
Lahan Basah 1
Isilah kotak-kotak di samping ini : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis hewan melata Cara berkembang biak penyu Tempat bertelur penyu laut Salah satu jenis penyu laut Penyu (Bhs. Inggris) Indonesia diapit Samudera Pasifik dan Samudera ... Anak penyu Tapak Hewan pemangsa Jumlah suatu jenis
P
2
E 3
N
4
Y 5
U 6
H
7
I 8
J
9
A 10
U
bang tri’ Jul-07 Jawaban Kotak-Katik Lahan Basah Vol. 15 No 1 April 2007 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Daerah tepi laut Ketam Pencari ikan Perubahan peruntukan Alat pencatat gempa bumi Nama Inggris bagi Burung Raja Udang
1
P
E
S
I
S
I
K
E
P
I
T
I
N
G
N
E
L
A
Y
A
N
K
O
N
V
E
R
S
I
E
I
S
M
O
G
R
A
F
K
I
N
G
F
I
S
H
E
S
I
M
B
I
O
S
I
S M
2
Hubungan erat antara dua jenis mahluk hidup 8. Gelombang laut dashyat akibat gempa di dasar laut 9. Bakau (jenis mangrove) 10. Ikan tambak 11. Pantai Utara Jawa (singkat) 12. Hak masyarakat adat atas sebidang tanah
3
7.
4 5
S 6 7
8 9
R
H 10
11
P
R
T
S
U
N
A
Z
O
P
H
O
R
A
B
A
N
D
E
N
G
A
N
T
U
R
A
U
L
A
Y
A
I
12
R
I
T
Vol 15 no. 2, Juli 2007 z z z 31