Dari Redaksi ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Ucapan Terima Kasih dan Undangan Kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya kepada seluruh penulis yang telah secara sukarela berbagi pengetahuan dan pengalaman berharganya untuk dimuat pada majalah ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan tidak lebih dari 4 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - IP Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161 tel: (0251) 8312189; fax./tel.: (0251) 832-5755 e-mail:
[email protected]
Salam lestari dan selamat bersua kembali. Sudah cukup lama WKLB hanya terbit dalam versi file elektronik yang kami up-load ke situs website kami. Dengan penuh kesabaran kami terus berupaya agar majalah ini dapat kembali hadir dalam bentuk hard-copy, yang pada akhirnya harapan tersebut terwujud juga. Dengan segala kerendahan hati dan rasa rindu mendalam, kembali kami sapa para pembaca setia WKLB melalui edisi cetak kali ini, yang tentu saja versi file elektroniknya masih dapat juga dibaca melalui situs website kami. Dimulai dengan edisi kali ini, WKLB akan setia dihiasi informasi-informasi seputar Teluk Banten dan Nusa Tenggara Timur, hal ini terkait dengan salah satu kegiatan Wetlands International - IP yang difokuskan pada kedua wilayah tersebut melalui program Partner for Resilience (PfR). PfR merupakan program kerjasama antara The Netherlands Red Cross (NLRC), CARE, Wetlands International dan Red Cross/ Red Crescent Climate Centre, dengan sasaran menciptakan masyarakat yang tangguh terhadap bencana (community resilience). Pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan program PfR ini yaitu integrasi antara Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Adaptasi Perubahan Iklim (API) serta Manajemen Ekosistem dan Restorasi (MER). Selamat membaca.
Daftar Isi ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Fokus Lahan Basah Tanah Timbul-Tenggelam di Cagar Alam Pulau Dua, Banten
3
Konservasi Lahan Basah Membangun Wilayah Pesisir dengan Pertanian: Pembelajaran dari Kepala Burung Papua DEWAN REDAKSI: Pimpinan Redaksi: Direktur Program WI-IP Anggota Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra Triana Ita Sualia “Artikel yang ditulis oleh para penulis, sepenuhnya merupakan opini yang bersangkutan dan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isinya”
4
Berita Kegiatan Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2012 “Lahan Basah dan Pariwisata” di Desa Reroroja, Kec. Magepanda, Kab. Sikka, NTT
6
Siaran Pers: Panitia Bersama - Malam Akustik Lingkungan Kampanye Konservasi Lahan Basah Aceh, 24 Februari 2012
8
Pelatihan “Manajemen Ekosistem dan Teknik Rehabilitasi Lahan Darat dan Perairan” Desa Reroroja, Maumere, NTT
9
Berita dari Lapang 6th Meetings of Partners East Asian - Australasian Flyway Partnership
10
Situs-Situs Ramsar di Indonesia
12
Flora dan Fauna Lahan Basah
2 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Tantangan untuk Konservasi Burung Air Migran di Jalur Terbang
14
Rencana Aksi Internasional bagi jenis terancam punah: Spoon-billed Sandiper
15
Dokumentasi Perpustakaan
19
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Fokus Lahan Basah
TANAH TIMBUL-TENGGELAM di Cagar Alam Pulau Dua, Banten Oleh: Urip Triyanto*
KONDISI UMUM KAWASAN
P
ulau Dua yang sering disebut Pulau Burung, ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tgl 30 Juli 1937 No. 21 Stbl. 474 dengan luas 8 Ha. Terbentuknya tanah timbul di sekitar cagar alam, menjadikan luas kawasan ini bertambah, dan pada tahun 1978 menyatu dengan daratan Pulau Jawa. Untuk menjamin kelestarian ekosistem Pulau Dua, maka terbit SK Menteri Kehutanan No. 253/Kpts-II/1984 tgl 26 Desember 1984 yang menetapkan bahwa tanah timbul di selatan Pulau Dua menjadi bagian dari kawasan cagar alam, sehingga luas cagar alam ini bertambah menjadi 30 Ha. Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) terletak di Teluk Banten, masuk ke Kel. Sawah Luhur, Kec. Kasemen, Kota Serang. Secara geografis CAPD berada pada 106°11’38" - 106°13’14" BT dan 6°11’5" - 6°12’5" LS, dengan topografi kawasan relatif datar pada ketinggian antara 1-3 m dpl. POTENSI BIOTIK KAWASAN CAPD merupakan kawasan dengan tipe ekosistem hutan dataran rendah dan sebagian merupakan tipe ekosistem mangrove. Jenis flora yang terdapat di kawasan ini diantaranya kepuh (Sterculia foetida), ketapang (Terminalia catappa), bangka (Bruguiera sp.), apiapi (Avicennia sp.), dadap (Erythrina variegata), cangkring (Erytrina fusca) dan pace (Morinda citrifolia). Potensi fauna yang menonjol dari CAPD adalah burung air. Dari hasil penelitian Wetlands International - IP
Tanah timbul yang terjadi di CA Pulau Dua (Foto: Urip)
antara 1996 - 2004, ditemukan tidak kurang dari 108 jenis burung, 57 jenis diantaranya merupakan burung air, seperti: Cangak abu (Ardea cinerea), Cangak merah (Ardea purpurea), Cangak laut (Ardea sumatrana), Kuntul putih besar (Egretta sacra), Kuntul perak kecil (Egretta garzetta), Kuntul kerbau (Bubulcus ibis), Pecuk padi (Phalacocoraxs niger), Rokoroko (Plegadis falcinellus), Koak merah (Nyticorax caledonicus) dan Koak maling (Nycticorax nycticorax). Jenis-jenis satwa lain yang juga ditemukan di kawasan CAPD antara lain jenis reptilia: Biawak (Varanus salvator) dan Ular sanca (Phyton reticulatus), dan jenis mamalia yaitu kucing hutan (Felis bengalensis). PERISTIWA TANAH TIMBULTENGGELAM DI CAGAR ALAM PULAU DUA Letak geografis daratan yang berhadapan langsung dengan Laut
Jawa menyebabkan CAPD terpengaruhi dinamika laut dan atmosfer Laut Jawa seperti munculnya gelombang dan arus yang dapat menyebabkan abrasi pantai (pengikisan daratan) dan akresi (endapan sedimen di pantai). Pada masa peralihan musim dari musim Barat ke Timur (Maret-Mei) dan dari musim Timur ke Barat (September-November), pada umumnya arah tiupan angin bervariasi dengan kecepatan relatif rendah sehingga kecepatan arus relatif rendah dan membawa material lumpur. Endapan lumpur tersebut selanjutnya akan membentuk tanah timbul di sepanjang pantai CAPD. Biji-bijian/buah tanaman seperti avicennia, nirih dan ketapang yang terbawa arus gelombang biasanya akan tumbuh berkembang di atas tanah timbul tersebut. Biji-bijan/buah tersebut umumnya berasal dari Pulau Gedang, Pulau Panjang yang ada di Laut Jawa dan dari CAPD itu sendiri. .....bersambung ke hal 16
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 3
Konservasi Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Membangun Wilayah Pesisir dengan Pertanian:
Pembelajaran dari Kepala Burung Papua Oleh: Freddy Pattiselanno1, Nerius Sai2, Leo Warmetan2, Yohan Mofu2, Zulkifli2 & Nixon Karubaba3
D
alam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di Tanah Papua, pembukaan ruas-ruas jalan menuju daerah yang belum terhubung dengan jalan darat menjadi prioritas. Hal tersebut sejalan dengan irama pemekaran wilayah menjadi beberapa Kabupaten baru. Hasil analisis spasial yang dilakukan oleh Anggraeni dan Watopa (2004) mendapatkan bahwa panjang pembangunan jalan di Tanah Papua akan mencapai total sepanjang 2.700 km (Gambar 1). Salah satu pembangunan ruas jalan yang menjadi fokus perhatian dalam RPJP adalah jalan yang menghubungkan Kota Manokwari dan Kota Sorong di Provinsi Papua Barat yang berada di Kepala Burung Papua. Pada bulan Agustus 2011, kami melakukan perjalanan ke Distrik Amberbaken salah satu kecamatan pesisir di Kabupaten Tembrawu yang terletak di antara Kota Manokwari dan Kota Sorong. Kabupaten Tembrawu sendiri merupakan hasil pemekaran dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari, yang disahkan oleh Mentari Dalam Negeri pada Oktober 2008. Akses jalan ke tiap-tiap distrik di Kabupaten Tambrauw sangat lah sulit, perjalanan dari satu distrik ke distrik lainnya ada yang memakan waktu 7 jam perjalanan laut, bahkan ada yang membutuhkan waktu berjalan kaki satu minggu melewati hutan dan gunung. Perjalanan kali ini kami fokuskan untuk mengkaji dampak akses pemanfaan satwa liar terhadap pemenuhan konsumsi protein hewani masyarakat pesisir di Distrik Amberbaken. Hasil wawancara terhadap responden di tujuh desa di Distrik Amberbaken, didapatkan bahwa 87% responden berprofesi sebagai petani atau mempunyai penghasilan utama dari aktivitas pertanian. Pola mata pencaharian demikian mencerminkan bahwa masyarakat di wilayah ini adalah masyarakat peladang dan peramu murni. Kebutuhan hidup baik subsisten maupun sumber penerimaan tunai keluarga bergantung pada hasil pertanian. Walaupun Distrik Amberlaken merupakan suatu kecamatan pesisir, namun ternyata aktivitas melaut atau profesi sebagai nelayan hanya merupakan pekerjaan
4 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Gambar 1. Peta spatial dampak jalan di Papua (Anggraeni dan Watopa, 2004)
sampingan yang berkontribusi sebagai sumber pendapatan alternatif atau tambahan dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian (Gambar 2). Nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan secara tradisional dalam skala rumah tangga dengan mengunakan sampan kecil dan alat tangkap sederhana berupa jaring dan kail.
Gambar 2. Hasil tangkapan nelayan yang ditawarkan dari rumah ke rumah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Konservasi Lahan Basah
Jika dikaitkan dengan dua hipotesis mengenai ketahanan pangan yaitu : Masyarakat yang memiliki akses terhadap sumberdaya perikanan laut yang memadai, maka hasil laut menjadi konsumsi utama atau lebih banyak dibanding sumber protein hewani lainnya. (Hoskins , 1990) Di negara-negara Asia, khususnya di Asia Tenggara yang memiliki wilayah pesisir yang luas, perikanan laut merupakan sumber utama protein masyarakat setempat, juga mensuplai kebutuhan wilayah perkotaan dan berpengaruh signifikan pada ketergantungan terhadap daging satwa atau “bushmeat” (Bennett & Rao, 2002) maka berdasarkan hasil wawancara serta pengamatan selama lebih dari tiga bulan, diketahui bahwa pola konsumsi protein hewani di Distrik Amberbaken tidaklah sesuai dengan kedua pernyataan tersebut di atas. Sebagian besar responden mengkonsumsi daging satwa mamalia seperti rusa, babi, kuskus dan kangguru, dengan frekuensi yang bervariasi dua hingga empat kali dalam seminggu, lebih banyak dari pada frekuensi mengkonsumsi sumber protein dari laut.
MENGAPA DEMIKIAN…..? Sumberdaya laut bukanlah merupakan sumber utama protein masyarakat Distrik Amberbakaen, kondisi ini diduga disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : (1). Perluasan areal industri perkebunan skala komersial dari kelompok bisnis nasional seperti perkebunan kelapa sawit (Gambar 3). Perkebunan sawit tidak hanya berusaha meningkatkan produksi minyak sawit, tapi juga dapat menyerap tenaga kerja yang berasal dari wilayah pesisir khususnya desa-desa terdekat. Bagi masyarakat setempat, perolehan uang tunai sebagai upah tenaga kerja perkebunan sawit akan sangat membantu mereka dalam menghidupi keluarga dan pemenuhan komsumsi rumah tangga.
Gambar 3. Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
(2). Masuknya berbagai program pembangunan di sektor pertanian seperti perkebunan kakao, padi ladang, dan kacang tanah. Walaupun peningkatan produksi pertanian ini belum diikuti dengan tersedianya akses pemasaran yang berkelanjutan, namun dengan tersedianya fasilitas jalan raya telah membuka isolasi akses menuju daerah-daerah tertentu dan turut memotivasi masyarakat untuk mengembangkan usaha pertanian mereka. (3). Potensi ternak khususnya ternak kambing (Gambar 4), memainkan peranan yang sangat penting dalam pemenuhan gizi masyarakat sekaligus ikut meningkatkan pendapatan rumah tangga pedesaan. Hal ini ikut mempengaruhi aktivitas sehari-hari masyarakat melalui kegiatan pertanian dalam arti luas, sehingga mengurangi akses terhadap sumberdaya perikanan yang ada. (4). Latar belakang sosial budaya masyarakat setempat dengan pola hidup meramu dan menggantungkan hidup dari alam, menciptakan ketergantungan yang sangat tinggi dengan cara mengekstrasi sumberdaya yang ada di alam melalui aktivitas perburuan.
.....bersambung ke hal 17
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 5
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2012
“Lahan Basah dan Pariwisata” di Desa Reroroja, Kec. Magepanda, Kab. Sikka, NTT Oleh: Eko Budi Priyanto*
P
eringatan hari lahan basah sedunia tahun 2012 dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2012 bertempat di kawasan Mangrove Desa Reroroja Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka. Kegiatan diikuti lebih dari 80 peserta, meliputi unsur-unsur pemerintahan Kab. Sikka diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kehutanan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Camat Magepanda, Kepala Desa Reroroja, Kepala Desa Done. Acara juga dihadiri oleh perwakilan kelompok masyarakat dari Desa Darat Pantai, Talibura, Nangahale, Reroroja, dan Done, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Nusa Nipa (UNIPA) dan siswa-siswi SMP Santa Immaculata Magepanda. Mitra PfR yang juga ikut menghadiri acara ini yaitu LSM Caritas Maumere dan PMI Sikka. Unsur media yang datang adalah dari Radio ROGATE FM Sikka. Selain dari Kabupaten Sikka, kegiatan juga dihadiri perwakilan dari Kabupaten Ende yaitu Kepala Desa Tou Timur dan Kepala Desa Kota Baru masing-masing bersama dengan perwakilan anggota kelompok penghijauan pesisir. Secara umum tujuan peringatan hari lahan basah sedunia ini adalah untuk : (1) meningkatkan kesadaran berbagai pihak akan nilai dan manfaat penting dari mangrove (sebagai salah satu jenis lahan basah) dalam mendukung matapencaharian masyarakat pesisir (termasuk pariwisata), sebagai benteng daratan/mengurangi dampak bencana dan meredam perubahan iklim (melalui adaptasi dan mitigasi); (2) mengajak berbagai stakeholders (kelompok tani, mahasiswa, pelajar, LSM dan pemerintah) untuk ikut merawat, menjaga dan peduli terhadap wilayah mangrove dengan melakukan penanaman mangrove dan pengenalan berbagai jenis mangrove. Rangkaian kegiatan terdiri dari: (1) presentasi tentang nilai dan manfaat penting mangrove, dari sisi fisik (pencegah/peredam bencana) atau lingkungan dan sosial ekonomi; (2) identifikasi jenis-jenis mangrove di lokasi kegiatan; (3) penanaman mangrove jenis Rhizophora apiculata sebanyak 500 bibit; dan (4) konser musik akuistik bernuansa lingkungan dari Maumere.
6 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
DETAIL KEGIATAN Acara diawali dengan Talk Show di Radio Rogate FM pada tanggal 8 Februari 2012 dengan nara sumber Eko Budi Priyanto selaku project coordinator yang juga perwakilan WI-IP untuk NTT. Pada kesempatan tersebut dibahas mengenai latar belakang diadakannya acara Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia 2012 serta arti penting lahan basah dikaitkan dengan tema “Lahan Basah dan Pariwisata”.
Talk show di Radio Rogate FM
Puncak acara dilakukan pada tanggal 11 Februari 2012, yaitu presentasi, penanaman dan hiburan musik. Acara dimulai dengan pemaparan materi dan pembacaan do’a. Materi pertama dari Eko Budi Priyanto memaparkan sekilas tentang sejarah lahan basah dan mengapa diperingati setiap tahun, nilai penting lahan basah untuk mengurangi bencana tsunami, sebagai tempat hidup ikan, juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata. Dalam sambutannya tersebut, Eko Budi juga menyampaikan program PfR kepada peserta terkait rencana rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir di Kab. Ende dan Sikka.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
Sambutan berikutnya oleh Bapak Jeremias selaku Camat Magepanda. Beliau menyambut dengan terbuka kegiatan yang dilakukan oleh WI-IP dan berharap dapat membangun mangrove lebih dari yang telah dilakukan oleh seorang pegiat mangrove di Desa Reroroja, yaitu Baba Akong yang telah mendedikasikan karyanya sehingga mendapat piagam penghargaan dari pemerintah kabupaten, propinsi dan menerima Kalpataru tahun 2009 serta penghargaan dari Kick Andy’s Hero untuk penyelamat lingkungan mangrove. Acara pertemuan dan presentasi sebelum penanaman
Sambutan ketiga oleh Bapak Cyrilianus Badjo (Kepala Desa Reroroja). Beliau menyampaikan bahwa pemerintahan desa telah membuat peraturan desa tentang pengelolaan pesisir termasuk didalamnya mengatur tentang mangrove. Beliau berpesan bahwa mangrove harus tetap dijaga dan tidak diperbolehkan melakukan penebangan karena akan mendapat sanksi yang tegas dari pihak yang berwajib, termasuk ternak-ternak yang mengganggu tanaman akan dilakukan sanksi berupa denda atau hukuman bagi ternak. Selanjutnya sambutan oleh Victor Emanuel Rayon (atau lebih dikenal dengan Baba Akong), menjelaskan tentang manfaat mangrove sebagai tanaman obat dan makanan. Beliau juga mengajarkan secara singkat tentang bagaimana teknis menanaman mangrove yang benar terutama pada lokasi ekstrim yaitu berpasir. Acara puncak kegiatan peringatan hari lahan basah sedunia ditandai dengan penanaman 500 bibit Rhizophora apiculata oleh seluruh peserta. Bibit-bibit tersebut didapatkan dari persemaian kelompok penghijauan pantai Sabar Subur yang difasilitasi oleh WI-IP melalui program PfR.
Penanaman bibit mangrove oleh seluruh peserta
Setelah penanaman, peserta diajak berkeliling di dalam hutan mangrove untuk lebih dekat mengenal jenis-jenis mangrove dan tipe ekosistem lainnya yang ada di sekitar ekosistem mangrove. Acara ditutup dengan konser musik akuistik dari Maumere dengan lagu-lagu bernuansa Timor dan bertema lingkungan. Sebagian peserta secara spontanitas ikut berpartisipasi menyumbang lagu untuk memeriahkan acara. Di sela-sela konser panitia juga membagikan buku komik Cakra dan poster lahan basah serta sertifikat kepada seluruh peserta. zz * Koordinator proyek PfR di NTT
Pentas musik dari grup musik akuistik Maumere
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 7
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Siaran Pers Panitia Bersama - Malam Akustik Lingkungan Kampanye Konservasi Lahan Basah Aceh 2012 Tanggal 24 Februari 2012
8 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Pelatihan “Manajemen Ekosistem dan Teknik Rehabilitasi Lahan Darat dan Perairan” Desa Reroroja, Maumere, Provinsi Nusa Tenggara Tmur 1 - 2 Maret 2012 Oleh: Eko Budi Priyanto*
LATAR BELAKANG
M
anajemen ekosistem merupakan upaya pengelolaan sumber daya alam yang berfokus pada menjaga kelestarian ekosistem untuk memenuhi kebutuhan ekologi maupun pemenuhan kebutuhan manusia di masa sekarang dan di masa mendatang. Manajemen ekosistem tidak hanya berkutat pada sisi ekosistemnya saja namun juga memperhatikan issue sosial dan ekonomi masyarakat yang berdampak atau terkena dampak dari suatu konsisi ekosistem tertentu. Secara garis besar ekosistem dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: ekosistem darat dan ekosistem perairan. Berdasarkan topografinya, maka dapat dikelompokkan menjadi ekosistem di hulu (dataran tinggi) dan ekosistem di hilir (dataran rendah/ pesisir). Pengelolaan terpadu antara kawasan hulu dan hilir perlu dilakukan agar aktivitas dari hulu tidak mengakibatkan kerusakan di daerah hilir ataupun sebaliknya. Dari sisi manajemen ekosistem, hal sederhana yang dapat dilakukan dalam memperbaiki konsisi ekosistem pada kedua tipe bentang wilayah tersebut yaitu dengan melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi ekosistem di daerah hulu dapat dilakukan dengan cara pengembangan hutan rakyat dan melakukan reboisasi kawasan.
Sedangkan di wilayah pesisir (hilir) upaya rehabilitasi ekosistem yang dapat dilakukan diantaranya dengan cara rehabilitasi mangrove dan hutan pantai.
TUJUAN PELATIHAN Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para peserta terhadap jenis-jenis keanekragaman hayati yang ada pada eksositem darat dan perairan; mengetahui teknik dan praktek rehabilitasi pada daerah hulu dan hilir; serta mengetahui kebijakan pengelolaan ekosistem yang mengarah pada perbaikan lingkungan secara luas.
bencana melalui pendekatan manajemen ekosistem, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan kebijakan. Pelaksanaan Program PfR bekerjasama dengan Care Nederland, Nederland Red Cross, Red Cross Climate Center dan Wetlands International. Mitra pelaksana di Indonesia terdiri dari PMI Jakarta, PMI Sikka dan Lembata, Bina Swadaya, Jaringan INSIST, WI-IP, Karina, Caritas Maumere, Care, PIKUL, OISCA dan YPPL.
PELAKSANAAN PELATIHAN Pelatihan “Manajemen ekosistem dan teknik rehabilitasi lahan darat dan perairan” telah dilakukan oleh WIIP pada tanggal 1-2 Maret 2012 di Desa Reroroja dan Kota Maumere Kabupaten Sikkan Provinsi NTT. Pelatihan ini merupakan bagian dari project Program Partner for Resilience (PfR) yaitu suatu upaya pengurangan risiko
Acara pembukaan oleh BLHD Sikka dan peserta pelatihan yang sedang mengikuti acara .....bersambung ke hal 18
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 9
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
6th Meetings of Partners East Asian - Australasian Flyway Partnership 19-23 Maret, Palembang, Indonesia Oleh: Triana*
B
urung air migran didefinisikan sebagai burung air yang secara ekologis tergantung pada lahan basah, dan memiliki siklus yang teratur dan dapat diprediksi melakukan suatu migrasi dengan menyeberangi satu atau lebih perbatasan suatu negara. Burung air migran ini mencakup kelompok diantaranya Burung Pantai (Shorebirds), Bebek-bebekan (Anatidae), Burung Jenjang (Cranes) dan Burung Laut (Seabird, misalnya: camar dan dara laut).
hayati. Mitra berasal negara-negara, lembaga antar pemerintah, dan NGO.
Selama melakukan migrasi, burung air ini sangat bergantung pada habitat lahan basah untuk beristirahat, makan dan mengumpulkan energi untuk melanjutkan perjalanannya. Lokasi tang dilalui oleh burung migran ini mencakup banyak negara dari belahan dunia utara hingga selatan. Oleh karena itu kerjasama internasional sepanjang jalur migrasi mereka sangat penting, untuk melestarikan dan melindungi burung air migran dan habitat dimana mereka bergantung.
• Pertemuan ke-1 di Bogor,
Hingga saat ini telah diselenggarakan 6 kali pertemuan kemitraan (Meeting of the Pasties/ MoP) guna membahas berbagai persoalan konservasi burung air migran dan pemanfaatan habitatnya secara berkelanjutan, yaitu:
Menteri Kehutanan RI, saat menghadiri acara pertemuan EAAFP ke-6 di Palembang (Foto: Yus R.N.)
Indonesia, November 2006
• Pertemuan ke-2 di Beijing, China,
November 2007
• Pertemuan ke-3 di Incheon,
Republik Korea, November 2008
• Pertemuan ke-4 di Songdo,
Republik Korea, Februari 2010
• Pertemuan ke-5 di Siem Reap,
Kamboja, Desember 2010
• Pertemuan ke-6 di Palembang,
Indonesia, Maret 2012
KEMITRAAN JALUR TERBANG ASIA TIMUR-AUSTRALASIA (EAAFP)
Saat ini tercatat sekitar 700 lokasi yang secara internasional penting bagi burung air migran di sepanjang jalur terbangnya. Sebagian besar EAAFP dibentuk pada bulan November lokasi tersebut berdampingan dengan 2006 di kota Bogor, Indonesia, melalui pemukiman penduduk dan sangat inisiatif informal dan sukarela para rawan terhadap tekanan laju mitra, yang ditujukan untuk pembangunan sosial dan ekonomi. melestarikan burung air migran khususnya pada jalur terbang Asia Jalur Terbang Asia Timur – Timur – Australasia untuk kepentingan Australasia adalah satu dari sembilan masyarakat dan keanekaragaman
10 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
jalur terbang utama burung air migran di bumi dan merupakan habitat bagi sedikitnya 50 juta burung air migran.
TN SEMBILANG JADI PERSINGGAHAN BURUNG MIGRAN KEDUA DI INDONESIA Pertemuan ke-6 EAAFP dilaksanakan pada tanggal 19-23 Maret 2012, di Hotel Aryaduta Palembang, Indonesia, dan diikuti 19 negara mitra mewakili pemerintah, NGO dan para scientist. Acara diisi dengan kegiatan-kegiatan pertemuan dan pada hari terakhir dilakukan kunjungan lapangan ke kawasan Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan. Luas kawasan TN Sembilang sekitar 202 ribu hektare dan memilikii keanekaragaman hayati yang tinggi, diantaranya habitat berbagai jenis burung air dan beberapa spesies langka termasuk harimau sumatera. Informasi menarik
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita dari Lapang
lainnya bahwa kawasan TN Sembilang juga merupakan tempat persinggahan beragam burung air migran yang berasal dari Siberia dan Australia yang sedang mengalami musim dingin, dan akan kembali ke habitat asalnya saat pergantian musim. Pada kesempatan pertemuan ke-6 EAAFP ini, melalui Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan menetapkan TN Sembilang di kawasan Banyuasin, Sumatera Selatan sebagai tempat persinggahan burung migran (flyway network site) kedua di Indonesia (setelah TN Wasur, Papua) dan ke-108 di jalur terbang ini.
Para peserta berfoto bersama (Foto: Yus R.N.)
Menurut Zulkifli, TN Sembilang sangat bagus dikembangkan baik sebagai kawasan konservasi, juga untuk kepentingan wisata. Hal tersebut senada dengan Gubernur Sumsel H Alex Noerdin SH, dimana pernah dicatat ada 114.500 ekor burung migrasi pada jalur penerbangan Asia-Australasia yang mampir ke TN Sembilang ini. “Mampirnya burung migrasi itu ke TN Sembilang merupakan peluang dan potensi wisata khusus di Sumsel. Ini special tourism, bukan wisata biasa,” tuturnya. “Di sana, ada 87 ribu hektare hutan mangrove yang masih utuh, terluas di Indonesia bagian Barat. Keseluruhan, ada 17 spesies mangrove atau sekitar 43 persen dari seluruh spesies mangrove di Indonesia ada di kawasan ini,” papar Alex. Menteri Kehutanan juga mengamanatkan agar potensi wilayah melalui singgahnya burung-burung air migran di kawasan TN Sembilang haruslah memberikan dampak positif bagi perekonomian rakyat. Nilai ekonomi pengembangan wisata khusus sebagai imbas jalur migrasi bisa digali lebih maksimal, selain fungsi konservasi. “Kita ciptakan wisata khusus, ini tantangan buat kita. Jadi jangan diubah fungsi kawasannya, jangan dijadikan sawit,” kata Menteri.
Para peserta saat berkunjung ke kawasan TN Sembilang, diantaranya melakukan pengamatan burung (Foto: Yus R.N.)
Penetapan TN Sembilang sebagai flyway network site, adalah salah satu wujud dukungan Indonesia untuk perlindungan burung bermigrasi secara global. zz * (dari berbagai sumber)
Bangau Tong tong yang teramati (Foto: Yus R.N.)
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 11
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Situs-Situs Ramsar di Indonesia Oleh: Ferry Hasudungan
K
onvensi Ramsar, atau yang secara lengkap disebut Konvensi tentang Pentingnya Lahan Basah secara internasional (The Convention on Wetlands of International Importance), merupakan perjanjian/ kesepakatan antar-pemerintah yang menyepakati kerangka kerja bagi aksi nasional dan kerjasama internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah dan sumber dayanya secara bijak. Inisiasi/ kesepakatan yang telah didiskusikan sejak tahun 1960-an oleh negara-negara dan organisasi non-pemerintah yang peduli pada peningkatan hilangnya habitat dan degradasi lahan basah bagi migrasi burung air, diadopsi di kota Ramsar
danau dan sungai, rawa-rawa, padang rumput basah dan lahan gambut, oasis, muara, delta-delta dan dataran pasang surut, wilayah laut dekat pantai, mangrove dan terumbu karang, serta situs buatan manusia seperti kolam ikan, sawahsawah, waduk, dan tambak garam.
Iran pada tahun 1971 dan mulai berlaku tahun 1975. Konvensi ini menjadi satu-satunya perjanjian lingkungan global yang berhubungan dengan ekosistem tertentu, dan negara-negara anggota Konvensi ini mencakup semua wilayah geografis planet bumi ini. Misi Konvensi ini adalah “konservasi dan pemanfaatan secara bijak semua lahan basah melalui aksi lokal dan nasional serta kerjasama internasional, sebagai kontribusi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia”. Konvensi ini menggunakan definisi yang luas dari jenis lahan basah yang tercakup dalam misinya, termasuk
Indonesia meratifikasi Konvensi Ramsar melalui Keputusan Presiden RI No. 48 pada tahun 1991. Sebagai tindak-lanjut dari keputusan tersebut, Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kawasan lindung menjadi situs Ramsar. Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki enam Situs Ramsar dengan luas areal keseluruhan sekitar 964.600 hektar (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Daftar Situs-situs Ramsar di Indonesia Nama Kawasan
Tanggal
Provinsi
Luas (Ha)
Koordinat Lokasi
Taman Nasional Berbak
08/04/1992
Jambi
162,700
01º24’S 104º16’E
Taman Nasional Danau Sentarum
30/08/1994
Kalimantan Barat
80,000
00º51’N 112º06’E
Taman Nasional Wasur
16/03/2006
Papua
413,810
08°38’S 140°23’E
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
06/03/2011
Sulawesi Tenggara
105,194
04°28’S 121°59’E
Taman Nasional Sembilang
06/03/2011
Sumatera Selatan
202,896
01°57’S 104°36’E
Suaka Margasatwa Pulau Rambut
11/11/2011
DKI Jakarta
90
05°58’28"S 106°41’35"E
12 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berikut dibahas sekilas profil tiga kawasan lindung yang baru didaftarkan menjadi situs Ramsar.
TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI
nasional (terutama Rawa Gambut Aopa) merupakan pengatur air yang penting, dimana berfungsi sebagai reservoir untuk air tawar, sedangkan areal limpasan membantu untuk mengontrol debit air. Rawa Aopa adalah lahan basah rawa gambut satusatunya yang mewakili kawasan Sulawesi. Ancaman terhadap situs ini, antara lain: pembalakan liar, perburuan burung air dan pengumpulan telur.
TAMAN NASIONAL SEMBILANG (Foto: Ditjen PHKA, Kemenhut)
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan salah satu daerah konservasi penting di kawasan Wallacea. Tipe kawasan terdiri dari hutan mangrove, padang rumput, rawa gambut, dataran rendah hutan hujan tropis dan subpegunungan hutan. Situs ini memiliki kanekaragaman-hayati yang besar, tercatat lebih dari 500 spesies flora, 200 jenis burung, 11 jenis reptilia dan lebih dari 20 jenis ikan dan mamalia. Terdapat jenis-jenis endemik dan terancam kepunahan, dengan lebih dari 15 jenis mamalia endemik Sulawesi seperti Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii). TN Rawa Aopa Watumohai juga merupakan persinggahan penting bagi burung air bermigrasi. Rute migrasi burung air melewati Kepulauan Filipina, melalui Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan transit melalui situs ini sebelum memasuki Kalimantan. Kawasan ini juga mendukung populasi lebih dari 170 individu Bangau bluwok (Mycteria cinerea), jumlah tersebut berarti lebih dari 3% dari populasi dunia. Kawasan ini juga memiliki habitat bakau cukup luas yang masih tersisa di Sulawesi Tenggara, yang penting bagi pembibitan, daerah pemijahan bagi ikan, udang dan kepiting. Rawa-rawa di dalam taman
(Foto: Ferry Hasudungan)
Berita dari Lapang
musim dingin di utara, dan hampir 80,000-100,000 burung migran makan dan beristirahat di sini. Situs ini juga mendukung lebih dari 1% dari populasi Bangau bluwok (Mycteria cinerea), Trinil-lumpur Asia (Limnodromus semipalmatus), Trinil Nordmand (Tringa guttifer), Gajahan Timur (Numenius madagascariensis) dan Bangau tongotng (Leptoptilos javanicus). Rawa-rawa dan hutan gambut berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan air tawar, yang pada gilirannya mengisi kembali air tanah yang mengaliri lebih dari tujuh puluh sungai kecil di kawasan ini. Ancaman terhadap situs ini, antara lain: penebangan liar serta perluasan pembangunan (seperti: pembangunan pelabuhan dan kawasan industri). SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT
Taman Nasional Sembilang terletak di Provinsi Sumatera Selatan dengan luas 202.896 ha, mendukung lingkungan muara yang unik yang memiliki formasi mangrove terbesar di Sumatera Timur, di sepanjang bagian barat Indonesia. Kawasan ini juga mendukung hutan pantai, hutan tropis dataran rendah, rawa, dan lahan gambut. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan lebih dari 200 jenis burung, 140 jenis ikan dan lebih dari 50 jenis mamalia, dan menjadi habitat penting dari spesies terancam punah seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus), Bangau-rawa storm (Ciconia stormi), dan Kura-kura Bayuku (Orlitia borneensis). Lebih dari 43% spesies mangrove di Indonesia juga ditemukan di sini.
Suaka Margasatwa Pulau Rambut, terletak di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Situs berupa pulau dengan ciri khas hutan mangrove ini, merupakan habitat berbagai jenis satwa, utamanya jenis-jenis burung air yang secara teratur menggunakan situs ini sebagai areal berbiak. Pada saat musim berbiak, pulau ini dipenuhi oleh puluhan ribu burung air.
Mangrove serta delta aluvial di Taman Nasional Sembilang membuat situs ini menjadi salah satu tujuan/daerah persinggahan bagi burung air bermigrasi di sepanjang Jalur Terbang Asia Timur - Australasia. Sekitar 0,5 hingga 1 juta ekor burung-pantai migran melalui daerah ini selama
Ancaman terhadap SM Pulau Rambut terutama diakibatkan oleh adanya sampah/limbah anorganik, baik berupa limbah padat maupun limbah cair, sebagian besar berasal dari muara-muara sungai di utara pulau Jawa, atau tepatnya di utara DKI Jakarta. zz
(Foto: Yus R.N.)
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 13
Flora dan Fauna Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Tantangan untuk Konservasi
Burung Air Migran di Jalur Terbang* Oleh: Ferry Hasudungan**
KEHILANGAN HABITAT
P
enurunan jumlah populasi burung air di Asia selama beberapa dekade terakhir tercatat sebagai penurunan yang tertinggi di dunia. Kondisi tersebut khususnya terjadi akibat kerusakan dan hilangnya habitat tempat hidup mereka dalam memenuhi kebutuhan ekologisnya. Burung-burung air migran, menjadi sulit menemukan kembali tempat persinggahan di jalur terbang mereka. Hal ini tentu saja menjadi ancaman serius bagi kelestarian burung air migran. Hilangnya habitat burung air migran di jalur terbang, umumnya diakibatkan kegiatan pengalihfungsian lahan oleh manusia. Misalnya: kehilangan habitat yang menjadi tempat berbiak burung air migran akibat intensifikasi pertanian, hilangnya tempat persinggahan burung-burung air migran akibat kegiatan reklamasi pesisir, dan hilangnya wilayah-wilayah non-berbiak yang diakibatkan pengeringan lahan basah. Di banyak pesisir sepanjang jalur terbang, khususnya di wilayah-eko Sungai Kuning wilayah luas hamparan lumpur pasang surut yang kaya hara – wilayah penting untuk mengisi ulang energi burung migran – banyak yang telah dikonversi menjadi wilayah kering dan akhirnya sudah tidak bisa digunakan lagi oleh burung air migran untuk singgah. Habitat air tawar yang sangat penting untuk
Burung-burung air migran (Foto: Ferry Hasudungan)
perkembangbiakan atau pengungsian musim dingin bagi burung jenjang, bebek dan kelompok lainnya, telah menghilang akibat tersebarnya wilayah pertanian atau tidak lagi mendukung hidupan liar akibat semakin meningkatnya kebutuhan manusia terhadap air.
hewan invertebrata yang merupakan makanan bagi burung migran di lahan basah pasang surut.
PERUBAHAN IKLIM
Perubahan iklim yang terus terjadi sangat berpengaruh terhadap kondisi wilayah kutub, tempat dimana banyak burung migran di jalur terbang berbiak. PENURUNAN KUALITAS Habitat yang digunakan untuk HABITAT bersarang kemudian akan berubah sejalan dengan peningkatan suhu, dan Dengan semakin bertambahnya keseimbangan antara burung berbiak populasi manusia di sepanjang jalur dan predator menjadi terganggu. terbang, ditambah pertumbuhan Peningkatan permukaan air laut akan ekonomi yang begitu pesat, menggenangi dan merusak lahan diantaranya telah menimbulkan basah pesisir yang saat ini digunakan dampak menurunnya kualitas habitat oleh burung air migran. Banjir yang burung air migran. Sungai tertutupi oleh tanah dan pasir akibat deforestasi semakin sering dan semakin buruk dan erosi. Lahan basah daratan yang akan mengganggu pola banjir sungai dan akan mengurangi tingkat air pada digunakan oleh burung air semasa danau dan rawa daratan yang musim dingin telah banyak tercemar dibutuhkan oleh burung air. zz oleh limbah-limbah pabrik yang mengandung bahan kimia maupun ** Kemitraan Jalur Terbang Asia Timurlimbah rumah tangga. Limbah beracun Australasia (www.eaaflyway.net) dari kawasan industri sangat * disarikan dari sumber aslinya (Sekretariat berpengaruh terhadap kehidupan EAAFP, Incheon, Rep. Korea)
14 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Flora dan Fauna Lahan Basah
Rencana Aksi Internasional bagi jenis terancam punah:
Spoon-billed Sandiper* Oleh: Yus Rusila Noor**
LANGKAH-LANGKAH YANG DIRENCANAKAN
SATUS DAN EKOLOGI
S
poon-billed Sandpiper (Eurynorhynchus pygmeus) berbiak di wilayah Kutub Rusia, berbiak diatas permukaan tanah, umumnya di semenanjung sempit pinggir laut. Setelah melewati wilayah-eko Laut Kuning mereka menghabiskan musim dingin di pesisir sempit Bangladesh dan Myanmar menuju Thailand dan Vietnam. Ukuran populasi saat ini kurang dari 250 – 500 ekor dan diklasifikasikan sebagai Critically Endangered dalam Daftar Merah IUCN. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, burung ini mencari makan berupa invertebrata kecil yang hidup di hamparan lumpur pasang surut.
ANCAMAN Perubahan jangka panjang pada karakter habitat di lokasi berbiak wilayah kutub bisa berdampak penurunan ukuran populasi. Tentu saja, hilangnya hamparan lumpur pasang surut di sepanjang jalur migrasi mereka dapat disalahkan. Baru-baru ini, survey telah menunjukan adanya kehilangan burung ini dalam jumlah banyak akibat diburu untuk keperluan makanan di bagian barat daya wilayah musim dingin mereka. Ancaman di sepanjang wilayah nonberbiak perlu segera ditangani.
Spoon-billed Sandpiper (© Smith Sutibut)
Anak-anak melepaskan burung yang tertangkap (© Rob Robinson / BTO)
Burung dengan bulu berbiak (© Phil Palmer)
Suatu rencana aksi internasional terkait dengan Spoon-billed Sandpiper telah dipersiapkan oleh ArcCona Consulting dari Cambridge dan BirdsRussia atas nama BirdLife International dan Konvensi Jenisjenis Burung Migran. Beberapa langkah kegiatan saat ini sedang dijalankan oleh Gusus Tugas EAAFP. Rencana tersebut diantaranya menyarankan adanya penelitian yang akurat untuk mengidentifikasi penyebab penurunan populasi serta upaya pemantauan. Kegiatan pendidikan dan penyuluhan telah dimulai di wilayah dimana perburuan menjadi ancaman. Advokasi lebih lanjut dibutuhkan untuk meyakinkan adanya perlindungan hamparan lumpur pasang surut yang tersisa di sepanjang wilayah hidup burung tersebut. Kerjasama internasional dibutuhkan dalam gugus tugas tersebut untuk meyakinkan bahwa pemulihan di satu tempat tidak disisihkan oleh kehilangan di lain tempat. zz
** Kemitraan Jalur Terbang Asia TimurAustralasia (www.eaaflyway.net) * disarikan dari sumber aslinya (Sekretariat EAAFP, Incheon, Rep. Korea)
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 15
Fokus Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 3
Tanah Timbul-Tenggelam di CA Pulau Dua .... Kerapatan tanaman yang tumbuh di atas tanah timbul sekitar 20-40 tegakan/m2. Namun demikian, tidak semua lokasi tanah timbul dapat ditumbuhi tanaman (mangrove). Umumnya tanah timbul yang dekat dengan daratan (10 m dari daratan ke arah laut) saja yang masih dapat ditumbuhi dikarenakan kondisi tanah yang relatif stabil. Pada saat musim Barat (DesemberFebruari), di pesisir utara Teluk Banten arus mengalir ke arah timur disertai dengan kondisi gelombang yang bisa mencapai 2,6m dengan tinggi rata-rata gelombang 1,03m. Selama musim ini, gelombang besar akan menyapu tanah timbul yang terbentuk saat musim peralihan beserta tanaman yang telah ada. Pengalaman penulis, pada saat musim barat, gelombang besar mampu menyapu tegakan mangrove Avicennia sp. setinggi 2m. Tanah timbul-tenggelam di sepanjang pantai CAPD menjadi siklus tahunan yang selama ini dapat diprediksi. Luasan Tanah Timbul yang TimbulTenggelam Tanah timbul yang terjadi disetiap tahunnya, memiliki luasan berbedabeda tergantung arus dan gelombang. Menurut keterangan dari beberapa nelayan yang beraktifitas di sekitar CAPD minimal tanah timbul yang terbentuk di Teluk Banten memiliki luasan dengan panjang 300m dan lebar 15m, yang paling besar dengan panjang 500 m dan lebar 30m. Pada tahun ini tanah timbul yang terbentuk panjangnya sekitar 400m dan lebar 20m. Tanah timbul yang terbentuk selalu berpindah pindah, tidak selalu di lokasi yang sama tergantung arah angin dan arus gelombang.
16 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Status Kepemilikan Tanah Timbul Kejadian tanah timbul sangat sering terjadi di pesisir utara Pulau Jawa, dikarenakan topografi pantai yang landai dan beberapa area membentuk teluk. Di beberapa Kabupaten di sepanjang pesisir Jawa telah memiliki Perda mengenai aturan kepemilikan tanah timbul. Sementara tanah timbul yang terjadi di sekitar CAPD ini belum jelas kepemilikannya karena memang masih belum ada regulasi untuk mengatur hal tersebut. Namun informasi dari jagawana CAPD, yang berlaku adalah bila tanah timbul tersebut berada di bagian utara CAPD yang berbatasan dengan laut maka pengelolaannya saat ini adalah oleh pengelola CAPD. Bapak Madsahi, jagawana CAPD secara aktif dan swadaya telah menanam mangrove di atas tanah timbul tersebut.
oleh Pak Madsahi juga dapat memerangkap ikan, ketika air laut surut Madsahi memanen ikan-ikan yang terperangkap di jaring tegur tersebut. Disamping itu jaring tegur juga dapat menahan sampahsampah plastik yang datang dari arah laut. Kegigihan Madsahi yang dapat dikatakan sudah tidak muda lagi ini patutlah mendapat acungan jempol. Disisa-sisa waktu menjelang purnabaktinya, beliau masih bersemangat untuk terus mempertahankan kehidupan tanaman di atas tanah timbul agar dapat menambah luasan dan kekuatan Cagar Alam Pulau Dua. Semoga zz
PEMASANGAN JARING PELINDUNG Untuk mencegah abrasi pantai dan juga mempertahankan tanah timbul (agar tidak hilang tersapu gelombang) di sepanjang pantai CAPD, Madsahi (petugas jagawana CAPD) berinisiatif memasang jaring pelindung. Ide ini, beliau dapatkan saat melihat nelayan di sekitar kawasan menangkap ikan dengan menggunakan perangkap jaring yg biasa mereka sebut Jaring Tegur. Jaring tegur, dipasang saat air laut pasang sekitar 30m dari bibir pantai membentuk persegi panjang dengan bantuan tiang-tiang bambu atau ranting pohon. Panjang jaring tegur dapat mencapai sekitar 500m dengan tinggi jaring 2m. Selain melindungi daratan dari abrasi, ternyata Jaring Tegur yang dipasang
Tanah timbul ditanami tumbuhan jenis silocarpus granatum (Foto: Urip)
Tanah timbul dipagari ranting (Foto: Urip)
*Community Facilitator of the Banten Bay
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Konservasi Lahan Basah
..... Sambungan dari halaman 5
Membangun wilayah pesisir dengan pertanian ....
Gambar 4. Potensi usaha ternak kambing
MENATA HARI INI UNTUK MASA DEPAN Berdasarkan pola komsumsi masyarakat dan potensi sumberdaya alam yang ada, maka rekomendasi rencana pengembangan dan pembinaan ekonomi masyarakat di wilayah Distrik Amberbaken diarahkan pada
Program pengolahan pasca panen khususnya untuk pengolahan produk perikanan dan peternakan. Hal ini diharapkan mampu memperpanjang masa simpan produk dan peningkatan nilai tambah produksi pertanian yang dihasilkan (Gambar 5). zz
1. Usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan (pertanian lahan kering) 2. Pembinaan daerah-daerah produksi ternak yang sudah terbentuk dan pembentukan daerah produksi peternakan yang baru 3. Pengembangan usaha perikanan tangkap. Hal tersebut sesuai dengan potensi perikanan laut di wilayah Kepala Burung Papua yang kaya akan ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan karang. Allen & Erdmann (2009) menyatakan bahwa kelimpahan dan jenis ikan karang (coral reef fishes) di wilayah Kepala Burung Papua sangat tinggi dan beragam yaitu tidak kurang ditemukan 1.511 spesies yang tergolong dalam 451 genera dan 111 famili. 4. Akses pemasaran yang berkelanjutan, seperti pasar dan sarana prasarananya yang disediakan di tingkat desa. Ketersediaan fasilitas pasar diperlukan guna membantu masyarakat dalam meningkatkan penerimaan tunai dari hasil usaha dan hasil bumi.
Gambar 5. Pengolahan pasca panen (pembuatan dendeng rusa) oleh masayarakat
Staf Pengajar, 2Mahasiswa Fakultas Peternakan Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua, Manokwari, 3 Dinas Pertanian & Tanaman Pangan Kabupaten Manokwari 1
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 17
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 9
Pelatihan “Manajemen Ekosistem .....”, Maumere, NTT Pelatihan diikuti sekitar 62 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, diantaranya: perwakilan instansi pemerintah (tenaga-tenaga penyuluh di lapangan); LSM/ NGO di bidang lingkungan; aparat desa; kelompok masyarakat/tani; dan mahasiswa. Pelatihan dibagi menjadi dua metode, yaitu penyampaian teori di kelas pada hari pertama pelatihan yang diselenggarakan di Hotel Gading Beach Maumere, dan praktek lapangan pada hari kedua yang dilakukan di Desa Reroroja. Pembukaan pelatihan diawali dengan sambutan dari Bapak Constantinus Tupen, SH Kepala Bagian Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Sikka. Dalam sambutannya disampaikan bahwa kerusakan ekosistem yang dialami saat ini lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak bijak dan berlebihan dalam pemanfaatan SDA sehingga menimbulkan permasalahan-permalasahan lingkungan. Selain itu, hal yang dianggap mempengaruhi terhadap kerusakan lingkungan yaitu anggapan umum masyarakat bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, pandangan bahwa lingkungan akan selalu mampu memulihkan daya dukung, daya tampung dan kelestarian fungsinya sendiri. Adanya pandangan demikian menyebabkan masyarakat tidak atau kurang termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam atau lingkungan hidup sekitarnya. Akibatnya adalah persoalan lingkungan hidup makin tidak terselesaikan dan dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah saja. “Fenomena meningkatnya efek rumah kaca, meningkatnya suhu global, banjir dan erosi, kekeringan dan krisis air, sampah berserakan dimana-mana, dan masih banyak masalah lingkungan, semestinya membangkitkan kesadaran kita untuk berperilaku ramah lingkungan”, paparnya. Di akhir sambutannya, Constantinus Tupen, SH, mengajak seluruh peserta untuk membangun budaya mengelola lingkungan, mulai dari kelompok yang paling kecil, sampai pada masyarakat luas untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Diharapkan melalui peningkatan pemahaman dalam pelatihan ini, akan dapat membantu dalam melestarikan ekosistem khususnya di daerah Kabupaten Sikka. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup adalah tanggung jawab bersama dalam memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. zz
18 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Penyampaian materi Rehabilitasi Hutan dan Lahan dari Dinas Kehutanan Sikka
Peserta membawa bibit mangrove dan menuju ke lokasi praktek penanaman
Penjelasan teknikpenanaman mangrove dengan pembuatan lubang tanam selebar 30 cmx 40 cm
Pengenalan berbagai jenis vegetasi dan fauna mangrove yang berada di wilyah hutan mangrove di desa Reroroja
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Anggraeni dan N.E. Lelana. 2011. Penyakit Karat Tumor Pada Sengon. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, xi + 55. Hasudungan, F., Y.R. Noor dan A.SB. Sutito. 2011. Survey Burung Air di Semenanjung Banyuasin Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Dirjen PHKA dan Wetlands International-IP, viii + 14. Mukhtar, A.S., M. Bismark, S.A. Siran dkk. 2011. Sintesis Hasil-hasil Litbang Pengembangan Penangkaran Rusa Timor. Kementrian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, xv + 207.
Priyanto E.B. 2012. Laporan Perkembangan Kegiatan Program Partner for Resilience, Bulan Januari – Maret 2012 di Propinsi Nusa Tenggara Timur (DRAFT). Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
Dokumentasi Perpustakaan
Rahmawati, I., S. Mardiansyah, Nurwita dan L. Widyowati. 2011. Bibliografi Publikasi Ilmiah Badan Litbang Kehutanan Yahun 2010. Kementrian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, vi + 117. Sekretariat Kemitraan Nasional Indonesia. Booklet: Kemitraan untuk Jalur terbang Asia timur – Australasia. Ditjen. PHKA, Kementerian Kehutanan RI. Jakarta, 37.
Rahmawati, I., S. Mardiansyah, A. Padmawijaya dkk. 2011. Kumpulan Abstrak Publikasi Ilmiah Badan Litbang Kehutanan Tahun 2010. Kementrian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, iv + 349.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Mengenal Jenis Mangrove Avicennia alba Masuk dalam Family AVICENNIAE, dengan nama lokal Api-api. Tumbuh menyebar dengan ketinggian dapat mencapai 25m. Memiliki sistem perakaran horizontal dan akar nafas yang rumit. Daun berbentuk lanset kadang elips dengan ujung meruncing, berukuran 16 x 5cm. Permukaan daun halus, bagian atas hijau mengkilat, bawahnya pucat, letaknya berlawanan. Buah seperti kerucut/cabe/mente, berwarna hijau muda kekuningan, ukuran 4 x 2cm. Merupakan jenis tumbuhan pionir pada habitat rawa mangrove di lokasi pantai dan di sepanjang pinggir sungai yang dipengaruhi pasang surut. Akarnya dapat membantu mengikat sedimen dan mempercepat proses pembentukan daratan. Hampir ditemukan di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Batang kayu bermanfaat untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Buah dapat dimakan, sedangkan getahnya dapat digunakan untuk mencegah kehamilan.
Volume 20 No. 2, April 2012 z z z 19