Warta Konservasi
Lahan Basah Lahan basah (termasuk danau, sungai, hutan bakau, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, laguna, estuarin dan lain-lain) mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya utama pendukung perekonomian dan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.
Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini.
○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ucapan Terima Kasih dan Undangan Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk mengirimkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada wadah pertukaran informasi tentang perlahanbasahan di Indonesia ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Programme Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 312-189; fax./tel.: (0251) 325-755 e-mail:
[email protected]
○ ○ ○ ○ ○
Disain dan layout: Triana Foto sampul muka: I Nyoman N. Suryadiputra
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah semata-mata pendapat para penulis yang bersangkutan.
○
○
WKLB diterbitkan secara berkala 3 (tiga) bulan sekali, dan disebarluaskan ke lembaga-lembaga pemerintah, non-pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat yang terlibat/tertarik akan lahan basah.
○
○
○
Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia.
○
○
○
○
○
○
Mudah-mudahan berbagai informasi yang disampaikan majalah ini dapat memperkuat dan mendukung terwujudnya lahan basah yang lestari melalui pola-pola pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan.
DEWAN REDAKSI: Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP; Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno 2 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah V o l 1 5 n o . 3, Oktober 2 0 0 7 Dari Redaksi, Perkembangan peradaban manusia yang ditandai oleh pesatnya pembangunan fisik dimana-mana, ternyata tidak selalu mencerminkan meningkatnya kualitas ‘adab’ manusianya itu sendiri. Di saat teknologi semakin berkembang/maju dan pembangunan semakin pesat, justru semakin tampak pula rusaknya alam sekitar kita. Lalu, apak kaitannya? Salahkah?? apa dan dimana letak kesalahannya?? Dengan berfikir jernih dan arif, tentunya kita semua bisa menegaskan bahwa alam dan pembangunan/teknologi adalah hal yg saling terkait satu sama lain. Keterkaitan itu bukanlah seperti dua sisi dari sebuah mata uang, tetapi suatu keterkaitan dalam suatu ikatan solid pada satu garis lurus. Kata kuncinya adalah KESEIMBANGAN. Perkembangan teknologi dan pembangunan bila disertai dengan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian alam sekitarnya, tentunya akan berdampak positif dan lebih baik bagi nilai-nilai ekonomi, ekologi maupun nilai peradaban itu sendiri. Informasi-informasi tentang bagaimana ketidakseimbangan itu terjadi, dapat Anda lihat dalam edisi kali ini. Tidak hanya itu, hubungan harmonis antara manusia dan alam turut dipaparkan di dalamnya. Selamat membaca! ~ Redaksi ~
Daftar Isi Fokus Lahan Basah Strategi Konservasi Rawa Aopa Sulawesi Tenggara Berkolaborasi dengan Masyarakat Lokal Selamatkan Ekosistem Rawa ............................................. 4 Konservasi Lahan Basah Ekowisata Telaga Wasti: Sebuah Lahan Basah dengan Peluang yang Belum Lestari ....................... 6 Berita Kegiatan Program Pesisir Hijau “Green Coast Project” di Aceh-Nias untuk Menghadapi Perubahan Iklim Global ..................................................................................... 9 Kawasan Teluk Belukar, Pulau Nias: Laguna Indah yang Sedang Terancam .................................. 10
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita dari Lapang Sirine Palsu Tsunami dan Pendidikan Interpretasi Lingkungan ...................................................... 17 Mengenal Makroinvertebrata Benthos .......................................................................................... 18 Merenda Harapan Mencapai Teluk Doreri yang Asri .................................................................... 20 Berbagi Habitat antara Manusia dan Burung Air di Perumahan Cemara Asri, Medan .................. 22 Monitoring Burung Pantai dan Burung Air Migran di Rawa Jombor Klaten (2004-2007) ............. 23 Flora dan Fauna Lahan Basah Kerbau Rawa: Bentuk Kearifan Budaya Lokal dan Sumber Pendapatan Masyarakat Kawasan Rawa Lebak ................................................................................................................... 28 Dokumentasi Perpustakaan ........................................................................................................... 31 Kotak Katik Lahan Basah ............................................................................................................. 31
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 3
Berita dari lapang
Sirine Palsu Tsunami
dan Pendidikan Interpretasi Lingkungan Oleh: ONRIZAL*
J
AMAKNYA, hari senin merupakan awal setiap orang memulai aktivitas setiap pekan setelah liburan di akhir pekan. Biasanya hari pertama setiap pekan tersebut diikuti dengan semangat baru karena pikiran dan tenaga yang telah kembali segar (fresh) untuk menghasilkan karya nyata bagi hidup dan kehidupan. Namun tidak demikian di hari Senin tanggal 4 Juni 2007 bagi warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Saat warga kota Banda Aceh dan sekitarnya memulai aktivitas dengan semangat pada hari Senin itu, baik di kantor, sekolah, pasar maupun yang masih di rumah, mereka dikejutkan oleh raungan sirine. Sirine yang berbunyi bukanlah sirine sebagaimana biasanya, seperti sirine mobil ambulan atau patroli polisi, namun kali ini adalah raungan sirine yang berasal dari
teknologi canggih yang dikenal dengan Early Warning System/ EWS (sistem peringatan dini) tsunami. Teknologi canggih yang dipasang pasca tsunami 26 Desember 2004 lalu antara lain di komplek Masjid kawasan Kajhu (Aceh Besar) dan Blang Oi (Kota Banda Aceh). Dalam rancangannya, jika alat tersebut berbunyi, maka itu adalah tanda bahaya tsunami segera tiba, sehingga siapapun harus segera menyelamatkan dirinya secepat mungkin ke daerah yang lebih aman. Berbagai media, baik media elektronik (TV, radio, internet), maupun media massa cetak merekam kepanikan warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya ketika pertama kali mendengar sirine dari EWS tsunami meskipun tidak ada gempa sebelumnya. Trauma akibat tragedi tsunami dua tahun lalu
tersebut kembali hadir ketika raungan alarm yang terpancar dari tower EWS di komplek Masjid Kajhu, sekitar delapan kilometer arah timur Kota Banda Aceh dan sirine Blang Oi. Dalam kepanikan, orang-orang histeris berlarian mencari perlindungan. Jalanan, terutama dari pesisir pantai macet karena semua orang ingin segera menyelamatkan dirinya. Akibat panik, ada yang terluka, ada ibu yang kehilangan anak dan sebagainya. Ya, hari Senin itu bukan hari yang membahagiakan untuk memulai aktivitas di awal pekan bagi warga kota Banda Aceh dan sekitarnya. Namun menjadi hari yang mencekam akibat kesalahan teknologi canggih.
..... bersambung ke halaman 24
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 17
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 17
Sirine Palsu Tsunami dan Pendidikan Interpretasi Lingkungan ........... TEKNOLOGI EWS: SEJARAH DAN TRACK RECORD-NYA Peluang terjadinya tsunami besar relatif sangat jarang, sebagaimana diungkapkan oleh V.K. Gusiakov yang menjabat sebagai Direktur Laboratorium Tsunami Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia di Siberia. Sehingga sejak lama orang beranggapan tidak perlu mengadakan suatu sistem peringatan dini. Namun setelah beberapa peristiwa tsunami menelan cukup banyak korban jiwa, maka tahun 1949 Coast and Geodetic Survey, US Department of Commerse menbentuk Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) di Honolulu, Hawaii. Pusat peringatan dini tersebut tersambung dengan jaringan pusatpusat pencatat gempa secara internasional, yakni selain di Amerika Serikat sendiri, juga dengan Jepang, Taiwan, Philipina, Fiji, Cilie, Hongkong, New Zealand dan Samoa. Pada tahun 2003, ke dalam sistem pemantauan tsunami tersebut ditambahkan detektor-detektor canggih di lautan yang terpasang pada pelampung-pelampung yang dijangkar ke dasar laut yang secara terus menerus mengirimkan berbagai data metereologi dan tekanan gelombang laut yang terjadi di atasnya ke PTWC. Dalam skenarionya, begitu suatu gempa besar tercatat, hal ini langsung dibertahukan ke PWTC. Apabila berbagai analisis yang dilakukan dalam sekejap waktu mengindikasikan adanya kemungkinan akan terjadi suatu tsunami, PTWC secara resmi mengeluarkan peringatan dan pejabat
24 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
setempat segera mengumumkannya kepada publik lewat radio, televisi dan pengeras-pengeras suara. Dengan adanya tenggang waktu antara saat lahirnya tsunami di lautan dan saat tibanya tsunami di pantai, maka diharapkan orang dapat sempat menyelamatkan diri menjauhi garis pantai menuju ke daratan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, suatu gelombang tsunami akibat suatu gempa di lepas pantai Chile memerlukan waktu sekitar 10 jam untuk mencapai pantai di Hawaii dan waktu tersebut lebih dari cukup untuk mengevakuasi penduduk dari daerah pantai di Hawaii. Sebuah artikel pada majalah TIME 10 Januari 2005 yang ditulis M. Eliot menyajikan data yang sangat mengkawatirkan, dimana selama 56 tahun PWTC beroperasi tingkat keberhasilannya memberikan peringatan akan adanya tsunami ternyata sangat rendah sekali, dimana 75% dari peringatan yang dikeluarkan itu palsu (75% rate of false alarm), artinya tsumani yang dikira akan terjadi ternyata tidak muncul dan evakuasi penduduk (yang biayanya tidak sedikit) menjadi sia-sia.
TEKNOLOGI EWS DI INDONESIA Sementara itu, EWS di Indonesia belum pernah ada sampai peristiwa tsunami besar di akhir tahun 2004, meskipun pelbagai kejadian tsunami sebelumnya telah menelan korban jiwa dan harta yang juga besar. Hasil penelusuran Pratikto dkk (1998) menunjukkan bahwa tsunami yang
melanda Flores pada tahun 1992 memakan 1918 korban jiwa dan kerugian senilai 200 milyar rupiah, dan demikian juga dengan tsunami yang menerpa Biak tahun 1996 yang melenyapkan 104 jiwa meninggal dan 113 milyar rupiah hilang. Selain itu, banyak paper ilmiah dan berbagai workshop penelitian ilmiah yang dilakukan sebelum tsunami di akhir 2004 telah merekomendasikan pentingnya dilakukan upaya mengurangi dampak tsunami mengingat sebagian pantai Indonesia sangat rawan tsunami. Pada tahun 2003, setahun sebelum tsunami besar menerjang Sumatera bagian utara, pantai Asia sampai ke pantai timur Afrika, penulis telah mempublikasikan pada jurnal WKLB yang diterbitkan Wetland International – Indonesia Programme tentang bahaya tsunami dan alternatif pilihan untuk mengurangi dampaknya. Berbagai paper ilmiah dan peringatan ilmuwan baru mendapat respon yang signifikan dari pihak pemerintah Indonesia setelah tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan sebagian besar pantai Sumatera bagian utara. Dengan dukungan dunia Internasional, pemerintah Indonesia kemudian membangun teknologi EWS, terutama dimulai dari pantai barat Sumatera. Nah, untuk pertama kalinya sirine dari teknologi EWS di NAD menyalak pada Senin 4 Juni 2007 tanpa ada gempa yang mendahuluinya. Ada apa dengan teknologi canggih tersebut? Kepada Antara beberapa saat setelah raungan sirine tersebut, kepala Stasiun Geofisika Mata Ie Aceh Besar, Syahnan menyatakan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
bahwa “Hingga kini belum diketahui pasti penyebab berbunyinya EWS di Kajhu Aceh Besar, tapi kemungkinan kerusakan jaringan. Kita masih lakukan investigasi”. Hari berikutnya, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof Kusmayanto menyatakan “Kita tidak bisa percaya 100% pada teknologi, namun jika alat tersebut sering-sering demikian, tentu dikhawatirkan masyarakat tidak lagi percaya meskipun benar tsunami akan tiba”, seperti dirilis oleh banyak media. Sampai artikel ini ditulis, penulis belum mendengar hasil investigasi dari pihak berwenang terkait alasan akurat mengapa sirine EWS tersebut meraung tanpa ada gempa sebelumnya.
INTERPRETASI LINGKUNGAN Teknologi EWS hanyalah salah satu alternatif pilihan untuk mengurangi dampak tsunami, bukan teknologi untuk mencegah tsunami. Fakta, seperti ditulis dalam majalah TIME 10 Januari 2005, dan kejadian terakhir di Aceh menunjukkan rendahnya akurasi teknologi canggih EWS. Dengan demikian, kekhawatiran Menristek tentang sirine palsu akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi canggih tersebut amat sangat mungkin terjadi, sebagaimana telah terjadi pada masyarakat Hawaii dan California. Bolt dalam bukunya Eartquake, a primer (1978) antara lain menulis ketika tanggal 22 Mei 1960 gempa besar di lepas pantai Chile dan kemudian PTWC mengingatkan tsunami segera terjadi, namun masyarakat Hawaii mengabaikan dan ternyata 10 jam kemudian gelombang tsunami benar datang, sehingga menewaskan 61 orang. Demikian juga pada tanggal 28 Maret 1964 ketika gempa besar di teluk Alaska, dan PTWC juga memperingatkan akan terjadi
tsunami, namun lagi-lagi masyarakat pantai California juga mengabaikan dan ternyata 4,5 jam berikutnya tsunami menerjang yang menewaskan 120 orang. Hal ini terjadi karena sebelumnya banyak alarm palsu dari PTWC, sehingga masyarakat mengacuhkan peringatan yang diberikan. Tentu hal ini sangat berbahaya, jika gempa memang memicu tsunami, namun masyarakat sudah terlanjur tidak percaya, maka akan menelan korban yang sangat besar. Oleh karena itu, pihak terkait perlu melakukan sosialisasi secara sistematis dengan jangkauan yang luas dan transparan, terutama pada masyarakat pesisir tentang teknologi EWS dengan segala kondisi yang terkait dengannya. Selain teknologi EWS, terdapat teknologi lokal berupa pengetahuan/ kearifan lokal masyarakat pesisir yang telah terbukti menyelamatkan dan mengurangi dampak tsunami. Pengetahuan gejala alam tentang tsunami telah dikenal lama dan secara turun temurun oleh masyarakat pulau Simeulu. Penulis juga menemukan pengetahuan yang sama pada masyarakat Lahewa di pantai utara Nias, sehingga mereka selamat dari hantaman tsunami sebagaimana masyarakat di pulau Simeulu pada tsunami besar di akhir tahun 2004 lalu. Namun ironisnya, pengetahuan tersebut belum dimiliki oleh masyakat di pantai barat Nias, sehingga banyak korban yang menimpa masyakat di pantai barat Nias tersebut, padahal mereka berada dalam satu pulau yang tidak terlalu besar, yakni dengan masyarakat Lahewa. Masyarakat lokal pulau Simeulu dan pesisir utara Nias tersebut amat paham tentang gejala alam yang mendahului tsunami. Tsunami oleh masyarakat utara Nias disebut
Berita dari Lapang
dengan galoro. Ketika gempa besar terjadi, lalu air laut surut dengan cepat maka itu tanda tsunami segera datang. Sehingga tidak ada yang harus dilakukan kecuali segera menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi dan aman dari jangkauan tsunami. Pengetahuan seperti itu dikenal dengan interpretasi lingkungan, yakni mengenal gejala alam dan keterkaitannya sehingga bisa diambil sikap dan tindakan yang tepat. Negeri untaian katulistiwa bernama Indonesia, sebagaimana telah banyak dipublikasikan merupakan kawasan rawan bencana. Dalam hal mengurangi dampak bencana alam di luar ulah tangan manusia, seperti tsunami, selain penataan kawasan pesisir, penulis mengusulkan agar pengetahuan/kearifan lokal terkait interperasi lingkungan secara masif dan sistematis masuk dalam kurikulum pendidikan sejak dini, baik pendidikan formal maupun non-formal. Sementara muatannya disesuaikan dengan objek sasaranya. Cara masyarakat pulau Simeulu dan masyarakat Moawo di pesisir utara Nias dalam mendistribusikan dan menurunkan pengetahuan tentang tsunami perlu dipelajari lalu diadopsi pada daerah lain yang juga rawan dilanda tsunami. Ketika kesadaran dan pengetahuan interpretasi lingkungan menjadi kesadaran dan pengetahuan umum masyarakat, maka dampak bencana, insya Allah, bisa diminimalisir tanpa harus tergantung pada teknologi canggih dan mahal, namun tidak dikuasai. Semoga. zz
* Akademisi bidang Ekologi Hutan pada Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Ketua Umum Asosiasi Akademisi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ASASI) Daerah Sumatera Utara. Email:
[email protected] ;
[email protected]
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 25