Warta Konservasi
Lahan Basah Lahan basah (termasuk danau, sungai, hutan bakau, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, laguna, estuarin dan lain-lain) mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya utama pendukung perekonomian dan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Penerbitan Warta Konservasi Lahan Basah ini dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi lahan basah, guna kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.
Secara khusus redaksi mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh penulis yang telah berperan aktif dalam terselenggaranya majalah ini.
○ ○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Ucapan Terima Kasih dan Undangan Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk mengirimkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada wadah pertukaran informasi tentang perlahanbasahan di Indonesia ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 dan hendaknya tidak lebih dari 2 halaman A4.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
○
Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International - Indonesia Programme Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161, PO Box 254/BOO Bogor 16002 tel: (0251) 312-189; fax./tel.: (0251) 325-755 e-mail:
[email protected]
○ ○ ○ ○ ○
Disain dan layout: Triana Foto sampul muka: I Nyoman N. Suryadiputra
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Pendapat dan isi yang terdapat dalam WKLB adalah semata-mata pendapat para penulis yang bersangkutan.
○
○
WKLB diterbitkan secara berkala 3 (tiga) bulan sekali, dan disebarluaskan ke lembaga-lembaga pemerintah, non-pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat yang terlibat/tertarik akan lahan basah.
○
○
○
Warta Konservasi Lahan Basah (WKLB) diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA), Dephut dengan Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP), dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sumberdaya lahan basah di Indonesia.
○
○
○
○
○
○
Mudah-mudahan berbagai informasi yang disampaikan majalah ini dapat memperkuat dan mendukung terwujudnya lahan basah yang lestari melalui pola-pola pemanfaatan yang bijaksana dan berkelanjutan.
DEWAN REDAKSI: Penasehat: Direktur Jenderal PHKA; Penanggung Jawab: Sekretaris Ditjen. PHKA dan Direktur Program WI-IP; Pemimpin Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra; Anggota Redaksi: Triana, Hutabarat, Juss Rustandi, Sofian Iskandar, dan Suwarno 2 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah V o l 1 5 n o . 3, Oktober 2 0 0 7 Dari Redaksi, Perkembangan peradaban manusia yang ditandai oleh pesatnya pembangunan fisik dimana-mana, ternyata tidak selalu mencerminkan meningkatnya kualitas ‘adab’ manusianya itu sendiri. Di saat teknologi semakin berkembang/maju dan pembangunan semakin pesat, justru semakin tampak pula rusaknya alam sekitar kita. Lalu, apak kaitannya? Salahkah?? apa dan dimana letak kesalahannya?? Dengan berfikir jernih dan arif, tentunya kita semua bisa menegaskan bahwa alam dan pembangunan/teknologi adalah hal yg saling terkait satu sama lain. Keterkaitan itu bukanlah seperti dua sisi dari sebuah mata uang, tetapi suatu keterkaitan dalam suatu ikatan solid pada satu garis lurus. Kata kuncinya adalah KESEIMBANGAN. Perkembangan teknologi dan pembangunan bila disertai dengan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian alam sekitarnya, tentunya akan berdampak positif dan lebih baik bagi nilai-nilai ekonomi, ekologi maupun nilai peradaban itu sendiri. Informasi-informasi tentang bagaimana ketidakseimbangan itu terjadi, dapat Anda lihat dalam edisi kali ini. Tidak hanya itu, hubungan harmonis antara manusia dan alam turut dipaparkan di dalamnya. Selamat membaca! ~ Redaksi ~
Daftar Isi Fokus Lahan Basah Strategi Konservasi Rawa Aopa Sulawesi Tenggara Berkolaborasi dengan Masyarakat Lokal Selamatkan Ekosistem Rawa ............................................. 4 Konservasi Lahan Basah Ekowisata Telaga Wasti: Sebuah Lahan Basah dengan Peluang yang Belum Lestari ....................... 6 Berita Kegiatan Program Pesisir Hijau “Green Coast Project” di Aceh-Nias untuk Menghadapi Perubahan Iklim Global ..................................................................................... 9 Kawasan Teluk Belukar, Pulau Nias: Laguna Indah yang Sedang Terancam .................................. 10
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita dari Lapang Sirine Palsu Tsunami dan Pendidikan Interpretasi Lingkungan ...................................................... 17 Mengenal Makroinvertebrata Benthos .......................................................................................... 18 Merenda Harapan Mencapai Teluk Doreri yang Asri .................................................................... 20 Berbagi Habitat antara Manusia dan Burung Air di Perumahan Cemara Asri, Medan .................. 22 Monitoring Burung Pantai dan Burung Air Migran di Rawa Jombor Klaten (2004-2007) ............. 23 Flora dan Fauna Lahan Basah Kerbau Rawa: Bentuk Kearifan Budaya Lokal dan Sumber Pendapatan Masyarakat Kawasan Rawa Lebak ................................................................................................................... 28 Dokumentasi Perpustakaan ........................................................................................................... 31 Kotak Katik Lahan Basah ............................................................................................................. 31
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 3
Fokus Lahan Basah
Strategi Konservasi Rawa Aopa Sulawesi Tenggara Berkolaborasi dengan Masyarakat Lokal Selamatkan Ekosistem Rawa Oleh: Dwi Putro Sugiarto, S.Hut*
B
erkunjung ke Sulawesi Tenggara tak akan lengkap kiranya tanpa singgah di Rawa Aopa. Sebagai perwakilan ekosistem rawa di Sulawesi, Rawa Aopa direkomendasikan untuk dikunjungi para pecinta rawa baik dari dalam maupun luar negeri. Sangat dianjurkan pula terutama bagi pihakpihak yang ingin mempelajari karakteristik/ciri khas rawa Sulawesi untuk datang dan melihat secara langsung keunikannya.
MENCAPAI RAWA AOPA Rawa Aopa secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Dari Kota Kendari, lokasi ini berjarak sekitar 80 km dan dapat ditempuh selama ± 2 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Untuk mencapai Rawa Aopa dapat mengambil rute Kota KendariUnaaha-Rawa Aopa. Aksesibilitasnya cukup lancar karena didukung oleh prasarana jalan raya dari Kota Kendari sampai Rawa Aopa yang semuanya beraspal. Bahkan kualitas jalan yang menghubungkan Kota Kendari-Unaaha termasuk yang terbaik di Provinsi Sulawesi Tenggara.
4 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
NILAI EKOLOGIS RAWA AOPA Rawa Aopa secara total memiliki luas 30.000 ha, dan sekitar 13.269,97 ha diantaranya berada dalam kawasan konservasi (Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai). Tutupan air tersebut termasuk kawasan yang dilindungi menurut ketentuan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Secara ekologis, Ekosistem Rawa Aopa termasuk yang paling unik diantara rawa-rawa lain di Sulawesi. Ekosistem ini menjadi habitat berbagai satwa liar terutama burung air (water bird). Jenis burung yang mendominasi pada umumnya adalah Wilwo (Mycteria cinerea), Bangau (Egretta intermedia), Koak merah (Nyctocorax caledonicus), Pecuk ular (Anhinga melanogaster), Ibis (Dendrocygna arcuata), Mandar dengkur (Aramidopsis plateni), dll. Jenis-jenis ikan yang menghuni rawa adalah Gabus (Chana striata), Lele (Clarias batrachus), Belut (Monopterus albus), Mujair (Tilapia mossambica), Tawes (Barbodes gonionotus), Sepat (Trichogaster trichopterus) dan lain-lain. Kekayaan
flora dicirikan oleh dominasi tumbuhan teratai merah, totole, Uti (Baeckea frutescens), Holea (Callophyllum soulattri), Wewu (Planchonia valida), Sagu (Metroxylon sagoo), dan lainlain. Tutupan badan air yang selalu tergenang luasnya mencapai lebih dari 10.000 ha. Fungsi pokoknya adalah sebagai catchment area (daerah tangkapan air) di musim penghujan. Pada musim kemarau, airnya terus mengalir dan menjadi pemasok utama kebutuhan masyarakat di sepanjang DAS Sampara sampai Kota Kendari. Sebagian lainnya dimanfaatkan oleh PDAM untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat Kota Kendari dan sekitarnya.
Sekelompok burung air terbang dari perairan Rawa Aopa
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
PEMANFAATAN TRADISIONAL Keberadaan Rawa Aopa sangat dirasakan oleh masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan kehidupannya pada sektor perikanan darat. Maklum saja lokasinya berjarak agak jauh dari bibir pantai, sehingga sektor tersebut menjadi tumpuan mata pencaharian disamping usaha pertanian lada. Ikan rawa hasil tangkapan utama adalah ikan gabus (Chana striata) dan karper (Helostoma temminckii). Care International Indonesia (2005) menyatakan bahwa kedua jenis ikan ini telah menyuplai kebutuhan protein bagi lebih dari 2.250 kepala keluarga yang bermukim di 13 desa bagian barat wilayah perairan Rawa Aopa. Terutama pada hari-hari libur sekolah, panorama rawa yang menarik dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mengembangkan usaha pariwisata air. Jenis usaha yang ditekuni antara lain penyediaan fasilitas penyewaan katinting. Katinting adalah perahu mini yang terbuat dari kayu, dirancang sendiri oleh masyarakat lokal sebagai alat transportasi air. Pemilik katinting biasa memasangkan mesin pemutar baling-baling berbahan bakar solar di bagian belakang sebagai alat pendorong perahu. Tarif sewa tergantung jarak tempuh dan kebutuhan bahan bakar selama perjalanan.
Di waktu-waktu senggangnya, masyarakat lokal biasa melakukan pemanfaatan pandan air. Mereka menamakan tumbuhan ini dengan sebutan totole. Totole dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai kerajinan tangan seperti tas, tikar, topi dan beraneka souvenir. Mereka telah menguasai keterampilan menganyam ini secara turuntemurun. Sebagian besar hasil kerajinan masih dikonsumsi sendiri, dan sebagian lainnya dijual ke pasar tradisional Unaaha.
BERSAMA MASYARAKAT MELESTARIKAN RAWA Ekosistem Rawa Aopa menyimpan potensi yang luar biasa secara ekologis, ekonomis, ilmu pengetahuan maupun sosial budaya masyarakat sekitar. Sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk melestarikannya. Dengan difasilitasi Care International Indonesia, Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sebagai instansi pengelola kawasan konservasi Rawa Aopa bergandengan tangan dengan masyarakat lokal dalam upaya penyelamatan rawa. Masyarakat lokal merupakan aset potensial bagi konservasi dan bukan sebaliknya. Terlebih lagi kesadaran konservasi rawa ini sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat sejak lama.
Jasa penyewaan katinting oleh masyarakat lokal
Pengelolaan bersama masyarakat lokal telah dimulai sejak ditandatangani naskah kesepakatan kerjasama (MOU) antara pihak Balai TNRAW dengan AKMAPER (Asosiasi Kerukunan Masyarakat dan Pelestari Rawa Aopa) pada tahun 2005. Dengan masa berlaku selama 3 tahun, kedua belah pihak
Fokus Lahan Basah
berkomitmen untuk menyelamatkan ekosistem rawa dengan prinsip saling memberi kemanfaatan. Masyarakat lokal yang dikoordinir oleh AKMAPER diijinkan untuk memanfaatkan jasa lingkungan Rawa Aopa dan mengambil ikannya secara lestari. Sedangkan untuk menjamin keberlanjutan ekosistem dan pemanfaatannya, maka pihak Balai TNRAW berkomitmen untuk berperan sebagai fasilitator bagi masyarakat lokal dalam Pengamanan Swakarsa (PAM SWAKARSA), rehabilitasi/restorasi di sekitar rawa, sharing informasi serta mendukung penegakan hukum atas pelaku perusakan rawa.
PENEGASAN KOMITMEN BERSAMA Kedua belah pihak yang berkolaborasi bertemu kembali dalam kesempatan regular meeting Forum OPSDA (Organisasi Pengelola Sumber Daya Alam) TNRAW. Pertemuan kedua belah pihak diselenggarakan pada tanggal 2 Juli 2007 memilih lokasi di Rawa Aopa, Kabupaten Konawe. Kepala Balai TNRAW yang baru, Ir. Sri Winenang, M.M., berharap kolaborasi yang sedang dilaksanakan dapat memberikan kontribusi positip bagi keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Tentu saja pernyataan ini disambut hangat para pengurus AKMAPER. Rustamin Laduka, Ketua AKMAPER periode tahun 2007, menegaskan kembali dukungannya atas kolaborasi Rawa Aopa. Beliau berharap Ekosistem Rawa Aopa bisa dinikmati masyarakat sampai beberapa generasi yang akan datang. zz *Mess TN Rawa Aopa Watumohai (E-mail:
[email protected]
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 5
Konservasi Lahan Basah
EKOWISATA TELAGA WASTI “Sebuah lahan basah dengan peluang yang belum lestari” Oleh : Petrus I. Bumbut, S.Hut*
Foto 1. Keindahan Panorama Telaga Wasti
PENGERTIAN EKOWISATA
E
kowisata memiliki pengertian atau definisi yang sangat beragam dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Menurut Fandeli dan Mukhlison (2000), ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi pengembangannya ekowisata
6 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
juga menggunakan strategi konservasi sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan. Tujuan konservasi yang dimaksud adalah 1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan; 2) melindungi keanekaragaman hayati; dan 3) menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya (UNEP,1980 dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000).
PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN EKOWISATA Secara global, sektor pariwisata (termasuk ekowisata) pada saat ini
menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi. Pada saat ini sektor pariwisata telah menjadi industri swasta yang terpenting di dunia. Menurut World Travel and Tourism Council, terbukti pada tahun 1993 pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dengan pendapatan lebih dari US$ 3,5 triliyun atau 6 %. Masalah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan pada saat ini sangat menonjol dan menjadi isu internasional yang mendapat perhatian khusus. Di sisi lain, justru kepariwisataan alam mengalami perkembangan yang meningkat dan signifikan. Kepariwisataan alam
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
kemudian berkembang ke arah pola wisata ekologis yang dikenal dengan istilah ekowisata (ecotourism) dan wisata minat khusus (alternative tourism). Pergeseran dalam kepariwisataan internasional terjadi pada awal dekade delapan puluhan. Pergeseran paradigma pariwisata dari mass tourism ke individual atau kelompok kecil, maka wisata alam sangat berperan dalam menjaga keberadaan dan kelestarian obyek dan daya tarik wisata (ODTW) alam pada khususnya dan kawasan hutan pada umumnya. Pergeseran paradigma tersebut cukup berarti dalam kepariwisataan alam sehingga perlu diperhatikan aspek ekonomi, ekologi, dan masyarakat lokal (sosial)nya (Fandeli dan Mukhlison, 2000).
SEKILAS EKOWISATA TELAGA WASTI Telaga Wasti merupakan salah satu lahan basah pesisir berupa kawasan mangrove yang terdapat di bagian selatan kota Manokwari. Nama kawasan wisata ini berasal dari nama leluhur yang memiliki hak ulayat pada kawasan tersebut dan dipadukan dengan telaga yang berada di antara pepohonan mangrove hijau bagaikan permadani biru. Satu hal yang cukup menarik bahwa kawasan ini ditetapkan oleh masyarakat lokal dan kata ekowisata dicetuskan berdasarkan potret suatu kawasan ekowisata yang ditayangkan melalui salah satu
Konservasi Lahan Basah
layar kaca. Hal ini menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat setempat untuk memfungsikan kawasan mangrove tersebut sebagai obyek dan daya tarik wisata. Kawasan ekowisata ini dibuka untuk masyarakat kota Manokwari pada tahun 2004 dengan pemasangan papan nama kawasan pada jalan masuk ke kawasan tersebut1). Kawasan Ekowisata Telaga Wasti merupakan salah satu kawasan wisata di Manokwari dengan prospek pengembangan ekoturisme yang cukup potensial selain kawasan Pantai Pasir Putih yang sudah terkenal dan memiliki jumlah pengunjung (wisatawan lokal dan mancanegara) yang tinggi.
Foto2. Potensi Mangrove di Kawasan Ekowisata Telaga Wasti 1)
Komunikasi pribadi dengan masyarakat lokal medio Agustus 2007
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 7
Konservasi Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
POTENSI EKOWISATA TELAGA WASTI Telaga Wasti meliputi kawasan hutan mangrove dengan luasan ± 25 ha. Pada kawasan ini ditemukan 8 jenis mangrove yaitu Aegiceras corniculatum, Bruguierra gymnorrhiza, Ceriops decandra, C. tagal, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Xylocarpus moluccensis (Maker, 2007). Kedelapan jenis mangrove tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Telaga Wasti sebagai bahan bakar (kayu bakar), bahan konstruksi bangunan, bahan penunjang nelayan, bahan peralatan rumah tangga, bahan obat-obatan, dan bahan makanan (Ayatanoi, 2007). Selain itu, pada kawasan tersebut terdapat pula telaga yang turut menambah daya tarik dan keindahan (estetika) kawasan tersebut. Potensi dan keindahan Telaga Wasti menjadikannya sebagai obyek dan daya tarik wisata dengan sebutan kawasan Ekowisata Telaga Wasti.
PELUANG DAN HARAPAN PENGELOLAAN Potensi mangrove pada kawasan ekowisata Telaga Wasti dapat dimanfaatkan secara arif dan bijaksana dengan pengembangannya sebagai obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Hasil penelitian Lokra (2007) bahwa masyarakat yang berada di sekitar kawasan Ekowisata Telaga Wasti sangat mendukung (100 %) keberadaan Telaga Wasti sebagai obyek wisata. Kawasan ekowisata Telaga Wasti sangatlah bermanfaat dan hal ini dibuktikan dengan fakta
8 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
bahwa sejak kawasan tersebut ditetapkan dan dikelola sebagai kawasan ekowisata telah mendatangkan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat misalnya melalui pengadaan perahu sewaan, tempat/pondok untuk bersantai, dan penyewaan peralatan sepeda air. Selain itu, manfaat konservasi sumberdaya alam terlihat dari pengelolaan kawasan ekowisata ini sejalan dengan sistem konservasi tradisional masyarakat dimana terdapat tempat/daerah sakral. Pengelolaan Telaga Wasti sebagai kawasan ekowisata perlu mendapat perhatian serius dari berbagai stakeholder baik pemerintah daerah Manokwari dan Dinas Pariwisata, Perguruan Tinggi, LSM dan masyarakat adat. Pengelolaan ini dapat dilakukan melalui promosi kawasan (baik media cetak maupun elektronik), penyuluhan, penataan kawasan, dan lain-lain. Sejauh ini belum ada sentuhan pihak luar untuk melirik keberadaan potensi kawasan ekowisata tersebut. Namun masyarakat lokal di sekitar kawasan tersebut berusaha secara swadaya untuk melakukan penataan kawasan serta menyediakan fasilitas wisata dan mereka sangat memerlukan uluran tangan pihak lain untuk peningkatan fungsi kawasan ekowisata tersebut. Bila pengelolaan kawasan Telaga Wasti dilakukan dengan baik maka tidak menutup kemungkinan sebagai sumber PAD bagi pemerintah Kabupaten Manokwari dan sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Dengan demikian
keberadaan mangrove dapat dilestarikan oleh masyarakat setempat sehingga laju kerusakan hutan mangrove dapat diminimalkan. Beberapa pertanyaan yang dapat menjadi renungan kita dalam menjawab eksistensi kawasan ekowisata Telaga Wasti adalah: “Apakah pariwisata alam (ekowisata) belum waktunya untuk dilirik sebagai sektor andalan di Manokwari? Ataukah harus menunggu sampai Telaga Wasti tidak berhutan mangrove?” zz
DAFTAR PUSTAKA Ayatanoi Agnes. 2007. Pemanfaatan Vegetasi Mangrove Oleh Masyarakat Sekitar Telaga Wasti Sowi IV Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Fahutan Unipa Manokwari (tidak diterbitkan). Fandeli Chafid. 2002. Perencanaa Kepariwisataan Alam. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Fandeli Chafid dan Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Lokra Paulina. 2007. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Kehadiran Kawasan Ekowisata Telaga Wasti Di Kelurahan Sowi Kabupaten Manokwari. Maker Claudius. 2007. Komposisi Jenis Vegetasi Mangrove Di Kampung Sowi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari. Skripsi Sarjana Kehutanan Fahutan Unipa Manokwari (tidak diterbitkan).
*Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua Manokwari 98314 Email :
[email protected]
erita Kegiatan
Berita Kegiatan
Program Pesisir Hijau “Green Coast Project” di Aceh-Nias untuk Menghadapi
Perubahan Iklim Global Oleh: Ita Sualia
A
ceh dan Nias dua kata yang tidak dapat dipisahkan untuk menyebutkan daerah yang terkena dampak Tsunami 2004. Kerusakan ekosistem pesisir di Aceh tidak sepenuhnya diakibatkan oleh Tsunami tapi akibat konversi ekosistem yang telah berlangsung jauh sebelum Tsunami 2004 baik untuk pemukiman maupun usaha tambak. Sebagai ilustrasi hasil identifikasi, Dinas Kehutanan mendapatkan total kerusakan luasan mangrove di Prop NAD sebelum dan sesudah Tsunami seluas ± 105.00ha dan kontribusi kerusakan tsunami menurut
Lapan 2006 hanya ±32.000ha atau hanya sekitar 30% dari total kerusakan. Kerusakan ekosistem pantai khususnya mangrove di Aceh dirasakan oleh masyarakat sangat mengganggu karena tidak ada lagi penahan efektif untuk melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tabel berikut memberikan gambaran kerusakan mangrove di berbagai Kabupaten/ Kota di Prop NAD dan pemanfaatan lahan basah pesisir sebagai tambak ditunjukan pada tabel berikut:
Tabel 1. Luas beberapa ekosistem lahan basah pesisir dan kerusakan akibat Tsunami
No
Kabupaten/Kota
1
Utara (Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang)
2
Timur (Pidie, Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang)
3
Barat (Aeh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Singkil)
4
Simeulue TOTAL
Luas Kawasan Hutan Mangrove
Luas Kerusakan Kawasan Hutan Mangrove selama periode sebelum dan sesudah Tsunami
Luas Kerusakan Hutan Mangrove akibat Tsunami
Luas Tambak sebelum Tsunami
Luas Kerusakan Tambak akibat Tsunam
30,661
19,560
> 165
1758
1758
106,749
65,650
> 26,890
53,971
> 9552
25,160
16,050
1892
> 1471
> 299
6270
4000
3057
na
na
168,840
105,260
32,004
57,200
11,609
(Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan 2005 dan Dinas Kehutanan Prop NAD 2005) ..... bersambung ke halaman 14
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 9
Berita Kegiatan
Kawasan Teluk Belukar, Pulau Nias LAGUNA Indah yang sedang TERANCAM Oleh: Irwansyah Reza Lubis, Iwan Tricahyo Wibisono dan Ferry Hasudungan
berhadapan langsung dengan laut. Hasil pengukuran luasan kawasan menunjukkan kawasan laguna (badan air) seluas ± 47 hektar dan kawasan hutan bakau sekitar 66 hektar.
PROFIL VEGETASI
Citra landsat Laguna Teluk Belukar
P
ada bulan Agustus 2007, sebuah tim kecil dari Wetlands International – Indonesia Programme, telah melakukan suatu kegiatan survey di kawasan laguna dan hutan mangrove Teluk Belukar di Pulau Nias, Kecamatan Gunung Sitoli Utara, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatra Utara. Survey bertujuan untuk mengetahui profil lingkungan kawasan hutan bakau Teluk Belukar. Pekerjaan survey meliputi aspek vegetasi dan rehabilitasi lahan, kualitas air, keanekaragaman hayati, tanah, sosial ekonomi, tipologi lahan basah dan pengelolaan kawasan. Hasil survey sementara menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki keunikan ekosistem yang mungkin tidak dapat diketemukan lagi di daerah lain di Pulau Nias. Keunikan berupa laguna yang sangat indah berbentuk ikan pari berpadu dengan ekosistem mangrove sekunder, dengan pantai berpasir dan vegetasi cemara pantai di bagian yang
10 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Ekosistem Teluk Belukar terdiri dari dua type vegetasi utama yaitu Hutan Mangrove dan Vegetasi Pantai daratan. Hutan mangrove berada di sekeliling laguna dan disepanjang sungai, baik yang menuju ke muara maupun yang menuju ke hulu. Sementara, vegetasi pantai daratan berada di garis depan pantai, tepat di belakang hutan mangrove. Selain dua tipe vegetasi tersebut, juga terdapat vegetasi daratan dan Hutan Rawa Bergambut tipis. Hutan Mangrove Berdasarkan survey vegetasi di sekitar laguna, terdapat setidaknya 20 spesies mangrove (mangrove sejati) dari 48 jenis yang ada di Indonesia. Dari semua jenis mangrove sejati ini, 15 diantaranya adalah jenis pohon sementara 4 jenis lainnya adalah herba. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa jenis-jenis Rhizophora apiculata mendominasi penutupan, terutama di zona depan hingga tengah. Sementara, Xylocarpus granatum sangat banyak dijumpai dizona belakang hutan mangrove (yang menuju darat/inland). Diantara semua jenis mangrove yang ada, Rhizophora mucronata dan Lumnitzera littorea adalah jenis yang sangat jarang. Selama survey dilakukan, team hanya menjumpai 2 pohon
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Rhizophora mucronata dan 3 pohon Lumnitzera littorea. Keberadaan kedua jenis ini sangat terancam seiring dengan meningkatnya kegiatan penebangan kayu di hutan mangrove ini.
Rumah semut Myrmecodia tuberosa banyak dijumpai menempel pada pohon cemara
Berita Kegiatan
Simalambuo (Perupuk darat) Lapophetalum spp merupakan salah satu pohon endemik dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Jenis ini merupakan penghasil kayu utama di seluruh pelosok Nias dengan harga yang tinggi, berkisar antara Rp. 2.400.000-2.600.000,-/m3. Namun sayang, jenis ini belum dibudidayakan secara maksimal.
KEKAYAAN FAUNA Hutan Rawa Bergambut tipis Jenis-jenis mangrove yang dijumpai di Teluk Belukar
Vegetasi pantai Vegetasi pantai tumbuh diatas substrat tanah berpasir disepanjang pantai. Tutupan vegetasi didominasi oleh Cemara Casuarina equisetifolia. Beberapa jenis vegetasi lain yang umum ditemukan antara lain Malapari Pongamia pinnata, Scaevola taccada, Putat laut Barringtonia asiatica, Waru Hibiscus tiliaces, Bintaro Cerbera Manghas, Premna corymbosa, Scaevolia taccada, Gelam tikus Eugenia spicata, Gloichidion spp., Laban Vitex pubescens, Ketapang Terminalia cattapa, Ara Ficus microcarpa, Ficus septica, Dalbergia tamarindifolia, Oncosperma tiggilarium, dan beberapa jenis lainnya. Salah satu hal yang sangat khas dan unik di jumpai di vegetasi pantai adalah ditemukannya Rumah semut Myrmecodia tuberosa (Rubiaceae) dalam jumlah yang cukup banyak. Sebagian besar dari jenis ini menempel pada pohon cemara Casuarina equisetifolia sebagai pohon inangnya.
Dalam survey, tim juga menjumpai Hutan Rawa Bergambut tipis yaitu di sebelah selatan laguna. Beberapa spesies yang umum dijumpai di sini adalah Pulai Alstonia pneumatophora, Ficus microcarpa Jelutung Dyera lowii dll. Sementara di lokasi yang telah terbuka, beberapa jenis herba dan paku antara lain Senduduk Melastoma malabathricum, Paku hurang Stenochlaena palustris, Lygodium scadens, Piokilospermun suavolens umum dijumpai. Beberapa bagian dari hutan rawa gambut ini telah dibuka dan dirubah peruntukannya menjadi kebun karet.
Sekitar 32 species burung tercatat, namun masih memerlukan konfirmasi dan identifikasi lebih lanjut. Termasuk diantaranya tiga burungair, yaitu: Cangak Merah Ardea purpurea, Kareo Amaurornis phoenicurus dan Trinil-pantai Actitis hypoleucos. Beberapa jenis burung yang dilindungi yang teramati antara lain: Elang Bondol Haliastur indus, Cekakak sungai Halcyon chloris serta beberapa jenis burung madu (Nectarinidae).
Vegetasi daratan Tipe vegetasi daratan ini mengacu pada beberapa jenis penutupan lahan antara lain perkebunan, sekitar desa dan pekarangan. Perkebunan didominasi oleh komoditas Karet Havea brasiliensis dan Kelapa Cocos nucifera. Sementara di sekitar desa dan pekarangan, dijumpai bermacam-macam jenis tumbuhan antara lain Oroxylon indica, Simalambua Laphopetalum spp, Mahoni Swietenia mahagony, Kuda-kuda Lannea spp., Belimbing wuluh Averhoea bilimbi, Nauclea spp., Jarak pagar Jathropa curcas, Durian Durio zibethinus, Mangga Mangifera indica dll.
Jenis katak pohon (Rana sp.) yang ditemukan di pinggir sungai sekitar Teluk Belukar
Sementara dari kelompok Herpetofauna 21 species tercatat, termasuk diantaranya 11 species katak/kodok. Dari kelompok Mammalia sementara ini teridentifikasi 3 jenis yaitu: Bajing Kelapa (Callosciurus notatus cf.), Kera ekor-panjang (Macaca fascicularis), dan Babi hutan (Sus sp.). Ketidakhadiran jenis berangberang di lokasi ini sejak dahulu
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 11
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
mencirikan isolasi biogeografi pulau ini dengan Sumatra. Kemungkinan satwa-satwa besar Sumatra seperti harimau, badak, tapir dan gajah tidak survive ketika terjadi pemisahan antara Pulau Nias dan Sumatra bertahun-tahun yang lalu akibat kecilnya pulau. Saat ini, identifikasi ikan-ikan yang bernilai ekonomis yang terdapat di laguna masih dilakukan. Hasil wawancara dengan beberapa nelayan setempat menyebutkan bahwa laguna teluk belukar sangat kaya akan jenis-jenis ikan bernilai ekonomis, hampir 80% dari seluruh jenis ikan yang umum di tangkap di perairan pantai dapat ditemukan di laguna teluk belukar. Melihat kondisi sebagian besar hutan di daerah pesisir di Pulau Nias, dimana gangguan manusia sangat tinggi dan hampir sebagian besar daerah pesisir sudah diokupasi manusia maka sedikit sekali hutan yang tersisa sebagai habitat fauna. Hanya daerah-daerah terpencil di wilayah pegunungan yang sukar dicapai manusia yang menjadi benteng pertahanan akhir fauna asli pulau Nias. Kemungkinan hal ini yang mengakibatkan kurang melimpahnya jenis fauna di Teluk Belukar. Tidak ditemukan ancaman secara khusus dari perburuan, namun penangkapan burung atau satwa lain kadang dilakukan untuk konsumsi atau peliharaan di rumah. Ancaman yang teramati adalah gangguan terhadap habitat, terutama vegetasi mangrove yang tersisa. Secara khusus untuk kelompok herpetofauna, lebih khusus pada katak/kodok potensi ancaman yang terdeteksi adalah limbah domestik (deterjen, dll) yang langsung dibuang ke sungai.
12 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
ANCAMAN DAN TEKANAN TERHADAP KAWASAN Namun demikian, hasil survey menunjukkan bahwa kawasan teluk belukar sedang mengalami tekanan yang cukup besar dari kegiatan manusia baik di dalam kawasan maupun disekitar kawasan. Ancaman dan tekanan terhadap kawasan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Konversi lahan dengan membabat hutan bakau Selama survey terdeteksi adanya beberapa kegiatan pembukaan hutan bakau baik untuk pembuatan tambak atau peruntukan lain yang belum jelas. Faktanya di lapangan ditemukan lahan-lahan bakau yang ditebang sehingga mengakibatkan fragmentasi hutan bakau. Luasan lahan yang dibuka bervariasi, pada suatu tempat terdapat hutan bakau yang dibuka selebar 5-6 meter dan panjangnya 200 meter dari pinggir laguna hingga tembus ke jalan baru yang dibangun menuju TPI (Tempat Pendaratan Ikan). Hasil kunjungan ke Kantor BRR Distrik Nias menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan kawasan TPI dan infrastruktur jalannya dilakukan tanpa melalui proses AMDAL atau UPL/UKL terlebih dahulu.
Foto di atas menunjukkan kawasan hutan bakau yang telah dibabat dari pinggir jalan
Gambar di atas menunjukkan pengambilan batang bakau untuk bahan terucuk pembangunan jalan dan saluran.
2. Pengembangan kawasan yang tidak berwawasan lingkungan Ditemukan beberapa kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berpotensi memberikan dampak negatif kepada kawasan. Yang pertama adalah pembangunan TPI di bagian utara kawasan Teluk Belukar. Pembangunan kawasan yang dibiayai oleh BRR ini memang tidak berdampak langsung kepada kawasan, akan tetapi dengan dibangunnya kawasan ini akan membuka akses lebih besar kepada kawasan. Akses yang lebih besar akan akan mengundang para spekulan tanah untuk menguasai lahan-lahan yang ada dikawasan Teluk Belukar. Informasi dari warga setempat menyebutkan bahwa hampir seluruh kawasan di Teluk Belukar telah di kapling terutama kawasan yang berdekatan dengan akses jalan dan bangunan TPI. Apabila TPI semakin berkembang, maka hal ini akan berdampak kepada pengembangan kawasan, dan dapat diprediksikan tekanan akan semakin besar pula.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Berita Kegiatan
Pembangunan kawasan TPI dan jalan akses di dekat Teluk Belukar
Kegiatan pembangunan lainnya adalah pengembangan kawasan wisata pantai dan laguna. Potensi kawasan Teluk Belukar yang sangat indah merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal, mengingat jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Gunung Sitoli. Saat ini sudah ada dua usaha wisata pantai yang dikelola swasta di sekitar teluk belukar bagian selatan (Wisata Pantai Charlita dan Muara Indah). Di masa mendatang, apalagi dengan adanya pembukaan jalan TPI, maka pantai di bagian timur Teluk Belukar akan sangat potensial untuk di manfaatkan sebagai daerah wisata. Dekatnya lokasi ini dengan Teluk Belukar apabila tanpa perencanaan dan aturan yang jelas dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif seperti pembabatan hutan, limbah dan polusi, gangguan terhadap satwa, ekstraksi hasil alam dll. Walaupun begitu, patut disambut baik upaya Dinas Pariwisata dan kebudayaan Nias yang merencanakan peningkatan kualitas wisata di Muara Indah dengan Wisata Alam. Berdasarkan master plan Wisata Alam yang diperlihatkan, konsep yang direncanakan Dinas Pariwisata nampaknya cukup berwawasan lingkungan, akan tetapi tetap saja pengawasan ke depan perlu dilakukan.
Kegiatan Wisata Pantai yang sedang berkembang pesat di Teluk Belukar
3. Pengambilan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan Saat ini kebutuhan bahan baku berupa kayu sangat tinggi untuk memenuhi permintaan kegiatan rekonstruksi. Di Teluk Belukar
kami menemukan banyak terjadinya pengumpulan kayu batangan dari hutan bakau yang digunakan sebagai bahan cerucuk (pancang) dalam pembangunan saluran dan jalan. ..... bersambung ke halaman 16
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 13
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 9
Program Pesisir Hijau “Green Coast Project” di Aceh-Nias ........... Pemulihan ekosistem (baca: vegetasi) pesisir secara alami di Aceh berlangsung sangat lambat karena pohon induk yang tersisa pasca tsunami sangat terbatas. Oleh sebab itu perlu intervensi kegiatan rehabilitasi eksositem pesisir. Wetlands International Indonesia Programme dengan dukungan dana dari NOVIB – Oxfam Netherlands sejak Agustus 2005 telah mengembangkan kegiatan rehabilitasi dan perlindungan ekosistem pesisir Aceh Nias pasca tsunami yang dikenal dengan nama Green Coast project. Rehabilitasi Ekosistem Pesisir Kegiatan Green Coast melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir berbeda dengan kegiatan serupa apada umumnya karena pelaksanaanya dilakukan dengan menyediakan pinjaman modal usaha tanpa bunga dan tanpa agunan kepada kelompok masyarakat. Sebagai kompensasinya kelompok diwajibkan menanam dan merawat sejumlah tertentu tanaman rehabilitasi (mangrove atau hutan pantai) selama minimal satu tahun. Apabila kegiatan rehabilitasi tersebut berhasil, biasanya dihitung berdasarkan jumlah pohon yang hidup (mencapai 75%) setelah 1 tahun, maka pinjaman tersebut
Sketsa lokasi kegiatan Green Coast di AcehNias. Lingkaran merah adalah lokasi rehabilitasi Green Coast, dimana ukuran lingkarannya menunjukan besaran jumlah lokasi pada masing-masing daerah.
14 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
menjadi hibah grant kepada masyarakat. Jika pohon yang hidup kurang 75% maka pinjaman tersebut harus dikembalikan berdasarkan persentase pohon yang berhasil hidup. Pendekatan ini akan sekaligus meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi yang dilakukannya. Kegiatan rehabilitais yang dikombinasikan dengan peningkatan mata pencaharian ini dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan LSM dan KSM. Hingga saat ini telah terjalin kemitraan dengan 51 LSM lokal untuk melakukan lebih dari 74 kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir di 12 Kabupaten/Kota Aceh dan Nias. Bentuk kegiatan tersebut sangat bervariasi antara lain dengan menanam mangrove dan vegetasi pantai (kelapa, cemara, keutapang), membuat Daerah Perlindungan Laut, dan membantu penyusunan Peraturan Desa yang melindungi wilayah pesisir. Diperkirakan, sampai dengan April 2007 sekitar 1,191,600 tanaman atau 600 ha wilayah pesisir telah diupayakan rehabilitasinya oleh mitra Green Coast dan akan dilanjutkan (s/d 2008) dengan menanam tanaman pantai sebanyak 850.000 pada lahan baru seluas 580ha. Lokasi kegiatan Green Coast di Aceh-Nias ditunjukan pada gambar berikut:
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Tujuan jangka panjang kegiatan rehabilitasi dan perlindungan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pelestarian/penyehatan ekosistem pesisir yang merupakan sumber penting mata pencaharian masyarakat. Ekosistem pesisir yang sehat akan meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap bencana atau proses alam yang merusak, dan mempertahankan kemampuannya sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat pesisir. Vegetasi ekosistem pesisir yang tumbuh sebagai hasil rehabilitasi juga akan menyerap kandungan karbon dari udara sehingga berfungsi untuk meredam (mitigasi) laju perubahan iklim.
Berita Kegiatan
PERBAIKAN MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT
Mudiyarso dkk 2004 mengasumsikan satu hektar lahan pesisir mampu menyerap karbon sebesar 400 ton CO2 selama 15 tahun. Hasil analisa sementara Wibisono, 2007 disalah satu lokasi Green Coast di Desa Kajhu Aceh Besar mendapatkan dalam plot berukuran 20 x 50m terdapat 136 pohon cemara yang berumur 2 tahun (dengan kisaran tinggi antara 4-6 meter).
Pengembangan kegiatan ekonomi melalui pemberian hibah kecil ditujukan agar masyarakat pesisir dapat menjalankan aktivitas ekonomi pasca bencana dan menambah jenis mata pencaharian yang ramah lingkungan. Dukungan terhadap pengembangan mata pencaharian tersebut merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap bencana Tsunami yang terjadi 3 tahun lalu. Lebih jauh, diversifikasi mata pencaharian ramah lingkungan juga merupakan bentuk peningkatan resiliency masyarakat secara ekonomi dalam menghadapi bencana yaitu dengan tidak bergantung pada satu jenis matapencaharian yang mungkin rapuh pada perubahan alam. Hal tersebut sangat penting agar perekonomian masyarakat menjadi lebih siap dan dapat berjalan dalam kondisi pasca bencana. Diversifikasi juga memiliki nilai penting meminimalisasi konflik yang mungkin timbul akibat kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan ruang mengingat jumlah sumberdaya alam yang ada di pesisir semakin menurun sedangkan jumlah populasi yang ada cenderung terus meningkat.
Hasil penimbangan berat basah satu sampel tanaman cemara umur 2 tahun = 20.8 kg/pohon, sehingga total biomassa pohon cemara dalam satu plot berumur 2 tahun adalah 2.838 kg per 0.1 Ha atau setara dg 28.380 kg per Ha. Dapat dibayangkan potensi karbon yang diperoleh dalam 15-20 tahun. Hasil studi WIIP juga menunjukan 1 ha lahan yang ditanami bakau dengan kepadatan 2500 batang akan menyimpan sekitar 140 ton C atau setara 513 ton CO2 pada kurun waktu 15 tahun.
Berdasarkan ilustrasi di atas terlihat bahwa kegiatan Green Coast merupakan bagian penting dalam menghadapi perubahan iklim, sebagai langkah mitigasi dan adaptasi. Lebih jauh, kegiatan Green Coast juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam siklus Disaster Management yaitu pada tahapan disaster preparadnes dan disaster recovery baik dari segi peningkatan resiliensi ekosistem maupun dalam hal peningkatan resiliensi perekonomian masyarakat. zz
Gambar disamping menunjukkan bagaimana posisi Green Coast project dalam Siklus Bencana.
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 15
Berita Kegiatan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 13
Kawasan Teluk Belukar, Pulau Nias ........... Permintaan bukan hanya untuk kegiatan rekonstruksi di sekitar Teluk Belukar tetapi juga untuk daerah lain di Nias, karena sedikitnya daerah di Nias yang memiliki potensi bakau sebanyak di Teluk Belukar.
Kayu trucuk dari batang bakau siap dikumpulkan untuk dijual kepada kontraktor jalan
Aktivitas penebangan bakau dijumpai di beberapa titik. Bahkan, tim menemukan penebangan habis pada beberapa titik di sekitar danau. Pada salah satu titik, telah terjadi penebangan habis hutan bakau dengan lebar 8 m dan panjang 150 m. Berdasarkan informasi di lapangan, penebangan ini dilakukan oleh masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik lahan. Batang bakau ini dijual kepada proyek pembangunan jalan seharga Rp. 6000 (ukuran 4 m) dan Rp. 12.000 (ukuran 8 m). Batang bakau ini digunakan sebagai pondasi dan penguat saluran irigasi di kanan dan kiri jalan. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pekerja proyek pembangunan jalan, diperkirakan pembangunan saluran air ini membutuhkan setidaknya 100.000 trucuk bakau. Hal ini tentunya sangat
16 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
berpotensi menjadi pemicu atas kerusakan hutan bakau di Teluk Belukar. 4. Ketidakjelasan status kawasan Status kawasan Teluk Belukar sampai saat ini merupakan APL (Areal Penggunaan Lain), tetapi status ini hanya diatas kertas saja, tepatnya di peta draft rencana Tata Ruang Kabupaten Nias yang sedang dipersiapkan oleh BRR bersama Pemda Nias. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan di Teluk Belukar telah dimiliki oleh perorangan karena masih dianggap tanah adat oleh masyarakat. Apabila ditilik dari kepentingan dan fungsi ekosistem Teluk Belukar, maka kawasan Teluk Belukar harus dimasukkan sebagai kawasan Lindung karena posisinya yang berada di sempadan pantai dan masih memiliki tegakan bakau yang cukup baik. Kepala SubDinas Kehutanan setempat juga sependapat dengan usulan kawasan ini sebagai kawasan lindung akan tetapi usulan ini terbentur dengan kepentingan pihak-pihak yang tidak ingin kawasan potensial ini menjadi kawasan lindung. Perlu kiranya usulan kawasan lindung ini disertakan dalam Revisi Tata Ruang Kabupaten.
REKOMENDASI 1. Harus ada upaya segera untuk mencegah terjadinya pembabatan hutan bakau
dengan melakukan inspeksi ke lapangan dengan aparat terkait (Join Fact Finding) 2. Memperjelas status kawasan secepatnya, terutama pertimbangan kawasan Teluk Belukar sebagai kawasan lindung yang dituangkan dalam tata ruang kabupaten dan kecamatan. Dilanjutkan dengan program sosialisasi keseluruh lapisan masyarakat 3. Pemerintah setempat mengkoordinasikan kegiatan pembangunan di Teluk Belukar agar tetap terkendali dan berdasarkan kepada suatu perencanaan strategis 4. Membuat suatu rencana strategis pengelolaan multipihak yang melibatkan berbagai komponen termasauk Pemda, masyarakat, swasta dan LSM. 5. Menindak tegas pelaksana kegiatan pembangunan yang memberikan dampak penting kepada kawasan teluk belukar tanpa melalui kajian AMDAL atau UPL/UKL 6. Berdasarkan informasi di lapangan, trend penebangan dikuatirkan akan meningkat dalam skala volume dan jumlah yang lebih banyak. Hal ini terjadi mengingat kebutuhan atas batang bakau akan semakin meningkat. Terkait dengan hal ini, perlu kiranya diambil langkah-langkah pencegahan dengan melibatkan seluruh stake holder yang terkait. zz
Berita dari lapang
Sirine Palsu Tsunami
dan Pendidikan Interpretasi Lingkungan Oleh: ONRIZAL*
J
AMAKNYA, hari senin merupakan awal setiap orang memulai aktivitas setiap pekan setelah liburan di akhir pekan. Biasanya hari pertama setiap pekan tersebut diikuti dengan semangat baru karena pikiran dan tenaga yang telah kembali segar (fresh) untuk menghasilkan karya nyata bagi hidup dan kehidupan. Namun tidak demikian di hari Senin tanggal 4 Juni 2007 bagi warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Saat warga kota Banda Aceh dan sekitarnya memulai aktivitas dengan semangat pada hari Senin itu, baik di kantor, sekolah, pasar maupun yang masih di rumah, mereka dikejutkan oleh raungan sirine. Sirine yang berbunyi bukanlah sirine sebagaimana biasanya, seperti sirine mobil ambulan atau patroli polisi, namun kali ini adalah raungan sirine yang berasal dari
teknologi canggih yang dikenal dengan Early Warning System/ EWS (sistem peringatan dini) tsunami. Teknologi canggih yang dipasang pasca tsunami 26 Desember 2004 lalu antara lain di komplek Masjid kawasan Kajhu (Aceh Besar) dan Blang Oi (Kota Banda Aceh). Dalam rancangannya, jika alat tersebut berbunyi, maka itu adalah tanda bahaya tsunami segera tiba, sehingga siapapun harus segera menyelamatkan dirinya secepat mungkin ke daerah yang lebih aman. Berbagai media, baik media elektronik (TV, radio, internet), maupun media massa cetak merekam kepanikan warga Kota Banda Aceh dan sekitarnya ketika pertama kali mendengar sirine dari EWS tsunami meskipun tidak ada gempa sebelumnya. Trauma akibat tragedi tsunami dua tahun lalu
tersebut kembali hadir ketika raungan alarm yang terpancar dari tower EWS di komplek Masjid Kajhu, sekitar delapan kilometer arah timur Kota Banda Aceh dan sirine Blang Oi. Dalam kepanikan, orang-orang histeris berlarian mencari perlindungan. Jalanan, terutama dari pesisir pantai macet karena semua orang ingin segera menyelamatkan dirinya. Akibat panik, ada yang terluka, ada ibu yang kehilangan anak dan sebagainya. Ya, hari Senin itu bukan hari yang membahagiakan untuk memulai aktivitas di awal pekan bagi warga kota Banda Aceh dan sekitarnya. Namun menjadi hari yang mencekam akibat kesalahan teknologi canggih.
..... bersambung ke halaman 24
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 17
Berita dari Lapang
Mengenal
Makroinvertebrata Benthos Oleh: Daru Setyo Rini, MSi*
M
akroinvertebrata bentos (makrobentos) adalah kelompok hewan tidak bertulang belakang, berukuran lebih besar dari 1 mm yang hidup di substrat dasar perairan. Makrobentos mencakup berbagai jenis hewan seperti cacing, lintah, keong, kijing, udang, yuyu (kepiting air tawar), dan serangga air. Makrobentos berperan dalam menjaga kesehatan ekosistem sungai dengan memakan bakteri dan membantu penguraian jasad tumbuhan dan hewan yang membusuk ataupun bahan organik yang mencemari perairan. Jenis makrobentos yang hidup di perairan dipengaruhi oleh kualitas air perairan yang ditentukan oleh kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen / DO), tingkat pertumbuhan alga, adanya kandungan bahan pencemar dan derajat keasaman (pH). Beberapa jenis makrobentos jenis serangga Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera membutuhkan kualitas air dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi dan keberadaannya menjadi indikasi kualitas air yang masih baik. Jenis makrobentos lainnya dapat bertahan hidup di perairan dengan kandungan oksigen rendah karena mereka dapat berenang naik ke permukaan air untuk menghidup oksigen dari udara karena memiliki saluran pernafasan yang menyerupai “snorkel” dan dapat menyimpan dan membawa gelembung udara atau
18 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
oksigen di dalam tubuhnya atau di bawah bagian sayapnya. Beberapa jenis makrobentos yang mengindikasikan kandungan oksigen yang rendah pada air yang tercemar adalah cacing dan lintah. Siklus hidup makrobentos jenis serangga melewati tahapan metamorfosis dari telur sampai dewasa. Metamorfosis sempurna memiliki 4 tahapan yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sedangkan metamorfosis sederhana memiliki 3 tahap pertumbuhan yaitu telur, nimfa dan dewasa. Larva serangga memiliki bentuk yang berbeda dari bentuk serangga dewasa, sedangkan nimfa serangga bentuknya menyerupai serangga dewasa. Beberapa jenis makrobentos hidup di air pada masa larva dan nimfa, tetapi setelah dewasa hidup di darat misalnya capung dan nyamuk. Akan tetapi, ada pula jenis makrobentos lain yang hidup di perairan sepanjang masa hidupnya seperti kumbang air, cacing, keong, udang dan lain-lain. Panjang siklus hidup makrobentos bervariasi mulai kurang dari 2 minggu (cacing darah atau nyamuk) sampai lebih dari 2 tahun (lalat batu, capung, dan undur-undur). Makrobentos adalah bagian dari rantai makanan perairan sungai. Sebagai pemangsa alga dan dedaunan (segar maupun yg membusuk), mereka selanjutnya
akan menjadi mangsa bagi hewan lain yang lebih besar seperti ikan, dan kemudian ikan menjadi sumber energi makanan bagi hewan lain atau juga manusia. Makrobentos memiliki daya tahan yang bervariasi terhadap pencemaran air. Beberapa jenis makrobentos tidak dapat hidup di air yang tercemar, sedangkan jenis lainnya dapat hidup bahkan mendominasi perairan tercemar. Keberadaan makrobentos pada suatu perairan sungai dapat dijadikan sebagai indikator kualitas air sungai tersebut. Data makrobentos yang dibutuhkan untuk penilaian kualitas air sungai sangat mudah untuk diperoleh tanpa membutuhkan peralatan canggih dan mahal. Data pengamatan diperoleh dengan mengambil sampel makrobentos dari dasar sungai untuk kemudian diamati jenis hewan yang dapat mengindikasikan kualitas air sungai di lokasi pengamatan.
INDIKASI KERUSAKAN LINGKUNGAN PERAIRAN DAN PERUBAHAN POPULASI MAKROBENTOS z Penambahan Kesuburan Air Meningkatnya rasio
perbandingan cacing (Oligochaeta) terhadap serangga air.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Meningkatnya rasio perbandingan cacing darah (Chironomidae) terhadap serangga air.
TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL & ANALISIS DATA MAKROBENTOS
Meningkatnya jumlah serangga Ephemeroptera herbivora dan cacing darah.
Teknik Pengambilan Sampel
Meningkatnya rasio perbandingan cacing darah (Chironomidae) terhadap serangga air.
Pengambilan sampel makrobentos dapat dilakukan menggunakan jaring berdiameter 0,5-1 mm yang dilekatkan pada tongkat kayu. Jaring disapukan ke dasar dan tebing sungai atau di antara tumbuhan air untuk menangkap hewan makrobentos. Hewan dan substrat sungai yang ada dalam jaring kemudian dibersihkan dari kotoran yang ikut terjaring, kemudian dituangkan ke dalam nampan persegi yang diberi sedikit air. Makrobentos yang bergerak-gerak diambil dari nampan menggunakan sendok kecil, pipet atau pinset dan dipindahkan ke Petri dish atau kotak specimen untuk diamati lebih lanjut. Pengambilan hewan makrobentos harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah rusaknya jaringan tubuh makrobentos.
Meningkatnya jumlah kumbang air (Coleoptera) dan kumbang pendayung (Hemiptera)
Analisis Data Makrobentos
z Penurunan Kandungan Oksigen Meningkatnya rasio perbandingan cacing (Oligochaeta) terhadap serangga air. Meningkatnya rasio perbandingan cacing darah (Chironomidae) terhadap serangga air. z Pencemaran Logam Berat Meningkatnya rasio perbandingan cacing (Oligochaeta) terhadap serangga air.
Meningkatnya rasio perbandingan makrobentos predator terhadap makrobentos pemakan tumbuhan (herbivora dan detrivora). z Sedimentasi Menurunnya jumlah serangga Ephemroptera dan cacing darah (Chironomidae). z Penurunan pH Punahnya keong, kerang, remis, serangga Ephemeroptera dan cacing darah z Kenaikan Suhu Air Pelepasan limbah yang panas ke sungai cenderung menurunkan keanekaragaman makrobentos.
Analisis data makrobentos dapat dilakukan menggunakan daftar toleransi untuk menentukan nilai toleransi terhadap pencemaran organik dari tiap famili makrobentos yang ditemukan. Daftar toleransi yang banyak digunakan adalah Indeks Biotik Hilsenhoff dan Indeks Biotik Tingkat Famili (Family Biotic Index). Nilai toleransi berkisar antara 0 (makrobentos yang sangat sensitif terhadap pencemaran organik) sampai 10 (makrobentos yang sangat tahan terhadap pencemaran organik).
Berita dari Lapang
a. Jaring disapukan kedasar atau tebing sungai
b. Substrat dalam jaring dipindahkan perlahan dalam nampan, bilas jaring dengan air sungai dengan perlahan menghindari rusaknya jaringan makrobenthos
c. Pindahkan makrobenthos di nampan kedalam petridish dan amati dengan lup atau mikroskop
..... bersambung ke halaman 26
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 19
Berita dari Lapang
Merenda Harapan Mencapai
Teluk DORERI yang Asri .... Oleh: Freddy Pattiselanno*
MULTIFUNGSI TELUK DORERI
S
ejak dahulu, kawasan perairan Teluk Doreri telah dikenal sebagai pintu masuk kota Manokwari melalui laut. Dalam sejarah kota Manokwari, peranan Teluk Doreri sangat popular, karena tercatat Teluk Doreri merupakan titik awal pekerjaan misi Agama Kristen di Tanah Papua, dimulai ketika kapal zending Eropa merapat di Pulau Mansinam (pulau yang berjarak 15 menit perjalanan motor tempel dari Manokwari). Lebih dari itu, sebagai teluk yang letaknya cukup strategis (00o51’32,5" – 00o52’40,4"LS dan 134o02’57,7" – 134o 05’11,5" BT) Teluk Doreri mempunyai fungsi yang beragam yaitu sebagai tempat bermuaranya beberapa sungai (Sanggeng, Wirsi, Kwawi dan Dingin), pelabuhan laut baik untuk kapal domestik nasional ataupun antar pulau di Papua, tempat kegiatan perikanan
20 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
tangkap nelayan tradisional, serta sebagai areal pemukiman dan tempat rekreasi. Seperti daerah pesisir lainnya, sepanjang kawasan teluk Doreri merupakan areal pemukiman masyarakat dari berbagai lapisan dengan sumber mata pencaharian yang berbeda. Hal menarik yang dapat diamati di sepanjang pesisir teluk ini selain menjadi pangkalan bagi perahu-perahu nelayan tradisional, juga merupakan kawasan usaha peternakan babi rakyat dengan model kandang terapung di atas permukaan laut, “kandang berlabuh” dalam dialek setempat (Pattiselanno dan Iyai, 2005).
INDIKATOR PENCEMARAN DI TELUK DORERI Kualitas perairan serta tingkat pertumbuhan organisme yang hidup di
perairan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya (1) faktor biologis: seperti kelimpahan plankton (mikroalga), (2) fisika: suhu, salinitas, pH dan kecerahan air, dan (3) kimia: kandungan zat hara Nitrat dan Fosfat pada suatu kawasan perairan. Indikator yang ditunjukan oleh ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya, oleh karena itu apabila salah satu faktor melebihi ambang batas yang disarankan maka hal itu akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Perikanan dan Kelautan di Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua, ternyata kawasan Teluk Doreri telah mencapai bahkan cenderung melampaui ambang batas pencemaran.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Secara rinci indikator-indikator hasil pengamatan yang dilakukan di beberapa stasiun pengamatan di sekitar Teluk Doreri disajikan dalam tabel berikut: Suhu (oC)
Salinitas
pH
28,51
34,51
7,91
352
6,32
26,32 29-33,5
3
33-36
3
6,2-7,8
Nitrat (mg/L)
0,0622
Fosfat (mg/L)
0,0322
5,022
Alianto Manuhutu dan Ayhuan (2004) 3 Sabariah dan Pattiasina (2002)
1
2
Rata-rata Fosfat (mg/L) 0,032 masih tergolong baik karena standar perairan 0,02-0,05mg/L. Konsentrasi fosfat di perairan dijadikan indikator untuk menilai tingkat kesuburan perairan guna mendeteksi pencemaran air. Kandungan fosfat yang tinggi biasanya disebabkan oleh banyaknya limbah domestik yang masuk ke perairan akibat tingginya aktivitas manusia. Konsekuensi dari kandungan fosfat terlarut yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan pertumbuhan organisme nabati secara cepat (eutrofikasi). Nilai Biological Oxygen Demand (BOD) adalah jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan organisme hidup untuk memecahkan atau mengoksidasi bahan buangan dalam air. Nilai BOD 5,02 masih baik karena standar di perairan 5-20mg/L (Suratmo, 1998).
buruknya kondisi lingkungan di sekitar mereka tentunya mereka pulalah yang akan merasakannya.
BOD (mg/L)
3
Rata-rata Nitrat (mg/L) 0,062, masih tergolong baik karena standar di perairan menurut Riley (1989) kisaran kandungan Nitrat yang bisa ditolerir 0,03-0,09 mg/L. Aktivitas manusia yang tinggi memungkinkan masuknya limbah organik hasil buangan dari kapal motor dan sampah RT, yang dapat menyebabkan organisme laut seperti fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis dan aktivitas biologi lainnya dengan baik. Nitrat dibutuhkan fitoplankton dalam proses fotosintesis
Berita dari Lapang
PENCEMARAN DI KAWASAN TELUK DORERI …. SALAH SIAPA? Sepanjang kawasan teluk Doreri saat ini telah banyak dimanfaatkan sebagai wilayah permukiman, pelabuhan laut, pasar tradisional, serta tempat pendaratan dan penjualan ikan hasil tangkapan. Dengan tingginya aktivitas masyarakat di sepanjang teluk tersebut, menyebabkan semakin tinggi pula limbah yang masuk ke dalam kawasan teluk. Pencemaran yang dialami teluk Doreri tidak hanya berdampak pada menurunnya kualitas perairan teluk, namun juga akan menyebabkan turunnya/ hilangnya fungsi dan peranan teluk sebagai suatu ekosistem. Pemerintah Propinsi Irian Jaya Barat sebagai pemegang otoritas dan pemangku kebijakan di daerah, sudah selayaknyalah memperhatikan secara serius fenomena yang dialami teluk Doreri. Langkahlangkah konkrit untuk memperbaiki dan mencegah pencemaran lebih jauh, haruslah sesegera mungkin direalisasikan, dengan dibarengi kegiatan penyuluhan atau kampanye lingkungan terhadap masyarakat. Di sisi lain, masyarakat dituntut untuk lebih menyadari akan pentingnya kebersihan kawasan teluk, serta lebih memahami bahwa baik
Rehabilitasi teluk dengan penanaman lamun atau mangrove, merupakan penanganan alternatif yang perlu diperhatikan. Kedua jenis hayati lahan basah ini tidak hanya memiliki fungsi ekologis namun juga ekonomis. Seperti mangrove bila dikelola secara wise-use akan selalu memberikan fungsinya misal mencegah abrasi pesisir, tempat hidup dan berkembangbiak ikan, udang dan burung, dan kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau bahan membuat perahu. Sementara, lamun diketahui dapat berperan sebagai penyaring limbah dan stabilisator pantai, habitat bagi ikan, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk anyaman seperti tikar, dll. Mudah-mudahan dengan langkah yang cepat, tepat dan berwawasan lingkungan, secercah harapan terbentuknya ekosistem teluk Doreri yang lestari dan termanfaatkan secara bijak dan berkesinambungan, dapat cepat terwujud. zz Pustaka: Manuhutu, J.F dan H.V. Ayhuan. 2004. Analisis konsentrasi pigmen klorofil mikroalga dan kualitas air sebagai indikator awal pencemaran di Teluk Doreri, Manokwari, Papua. Lap. Penelitian PDM DIKTI, FPPK UNIPA. Sabariah, V. dan T. Pattiasina. 2002. Kondisi bakteriologis perairan Teluk Doreri, Manokwari, Papua. Laporan penelitian Proyek Kerjasama UNIPANTU-La Troba University.
*Dosen Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 21
Berita dari Lapang
Berbagi Habitat antara Manusia dan Burung Air di Perumahan Cemara Asri, Medan Oleh: Giyanto*
S
elama ini, ada kesan bahwa untuk menikmati dan mengamati burung air kita harus meluangkan waktu khusus untuk perjalanan ke pantai atau lahan basah lainnya yang jauh dari tempat tinggal kita serta harus berperahu atau berjalan-jalan di lumpur. Anggapan tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar karena ada pula lokasi untuk mengamati burung air yang tidak sesulit dan semahal yang dibayangkan kebanyakan orang. Salah satu tempat yang sangat menarik untuk melakukan pengamatan burung air di Medan adalah di kolam buatan (masyarakat menyebutnya danau) yang berada di tengah-tengah Komplek Cemara Asri. Lokasi ini berada tidak jauh dari Kota Medan, tepatnya di Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Karena letaknya yang berbatasan dengan Medan, maka untuk ke lokasi ini dapat dicapai langsung dalam waktu tidak lebih dari 20 menit. Seperti kebanyakan komplek perumahan, Komplek Cemara Asri dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat hunian dan perkantoran. Namun selain sebagai tempat peristirahatan bagi manusia, komplek ini juga dimanfaatkan oleh kawanan burung air untuk tempat beristirahat maupun bersarang. Di areal kolam buatan yang berada di Komplek Cemara Asri kita dapat menjumpai dengan mudah populasi berbiak Kowak-malam kelabu Nycticorax nycticorax dan Cangak Merah Ardea purpurea. Kedua spesies burung air tersebut memanfaatkan perdu yang tumbuh di kolam seluas 5 ha. sebagai tempat berbiak. Beberapa bahkan membuat sarang pada rumput-rumputan di pematang kolam. Selain dua jenis burung air tersebut juga dapat dijumpai Belibis Batu Dendrocygna javanica, Kokokan Laut
Butorides striatus, Bambangan Merah Ixobrychus cinnamomeus dan Burung Kuntul yang sering mengunjungi kolam tersebut untuk sekedar mencari makan.
Cangak Merah dan Kowak-malam kelabu di tengah kolam dengan latar belakang gedung perumahan (Foto: Giyanto/YA)
Perdu di tengah kolam yang dijadikan sebagai tempat bersarang burung Kowak-malam kelabu (Foto: Giyanto/YA) ..... bersambung ke halaman 30
22 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Berita dari Lapang
Monitoring Burung Pantai dan Burung air migran
di Rawa Jombor Klaten (2004-2007) Oleh: A. Fahrudin*
A
lam merupakan suatu kreasi Tuhan yang Maha Sempurna. Seluruh ilmu yang sekarang dipelajari oleh manusia, merupakan hasil kajian dari alam itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa alam merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tiada habisnya. Alam juga memberikan berbagai fenomena yang tidak pernah berhenti. Mulai dari tumbuhan hingga hewan, bahkan dari unsur organel sel hingga multiseluler. Rawa Jombor merupakan kawasan wisata yang berada di wilayah Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Luas kawasan ini adalah 190 ha. Rawa buatan Belanda ini fungsi utamanya dulu adalah sebagai irigasi pertanian di daerah Kecamatan Bayat dan Kecamatan Cawas, tetapi dengan berkembangnya kawasan ini sekarang beralih fungsi menjadi sektor perikanan, bahkan dalam kurun 10 tahun ini dengan semakin berkembangnya tingkat ekonomi masyarakat maka kawasan ini menjadi tempat wisata dengan berbagai fasilitas, salah satunya adalah wisata kuliner dengan dibangunnya puluhan warung yang mengambang di atas rawa (warung apung). Aktivitas penduduk Jombor yang sebagian besar adalah mencari ikan baik dengan cara memancing, menjala, dan menembak Ikan memberikan susana yang berbeda ketika kita berada disana. Keadaan ini berakibat Rawa Jombor tidak
terlepas dari pengembangan kawasan yang semakin meningkat dengan ditambahnya berbagai fasilitas wisata. Bagi kebanyakan orang, Rawa Jombor merupakan tempat wisata kuliner yang menyajikan berbagai menu ikan segar bakar atau goreng. Ribuan pengunjung datang tiap minggu untuk menikmati aneka menu makanan yang disajikan, sambil mancing dan melihat pemandangan rawa. Tapi tidak bagi kami para pengamat burung yang menantikan bulan September sampai bulan April untuk melihat fenomena alam yang terjadi di Rawa Jombor, fenomena itu adalah migrasi burung pantai dan burung air. Pada musim-musim tertentu dijumpai suatu fenomena yang menarik di kawasan ini di mana terdapat sekelompok besar burung-burung migran. Pada umumnya jenis burung migran ini berasal dari belahan bumi utara yang bermigrasi ke daerah tropis untuk mencari tempat yang hangat, namun demikian mereka akan kembali lagi ke daerah asalnya untuk bereproduksi.
di habitat lumpur tersebut. Setelah musim penghujan air di Rawa Jombor kembali penuh dan burungburung pantai migran yang memanfaatkan habitat lumpur tersebut berpindah tempat karena sudah tidak ada lagi habitat lumpur untuk mencari makan, setelah debit air di Rawa Jombor kembali normal sekitar bulan Desember maka datang sekelompok burung air migran.
Musim merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan burung migran di Rawa Jombor, pada waktu musim kemarau debit air rawa menjadi sedikit sehingga rawa menjadi dangkal, hal ini kemudian dimanfaatkan oleh burung-burung pantai migran untuk mencari makan ..... bersambung ke halaman 27
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 23
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 17
Sirine Palsu Tsunami dan Pendidikan Interpretasi Lingkungan ........... TEKNOLOGI EWS: SEJARAH DAN TRACK RECORD-NYA Peluang terjadinya tsunami besar relatif sangat jarang, sebagaimana diungkapkan oleh V.K. Gusiakov yang menjabat sebagai Direktur Laboratorium Tsunami Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia di Siberia. Sehingga sejak lama orang beranggapan tidak perlu mengadakan suatu sistem peringatan dini. Namun setelah beberapa peristiwa tsunami menelan cukup banyak korban jiwa, maka tahun 1949 Coast and Geodetic Survey, US Department of Commerse menbentuk Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) di Honolulu, Hawaii. Pusat peringatan dini tersebut tersambung dengan jaringan pusatpusat pencatat gempa secara internasional, yakni selain di Amerika Serikat sendiri, juga dengan Jepang, Taiwan, Philipina, Fiji, Cilie, Hongkong, New Zealand dan Samoa. Pada tahun 2003, ke dalam sistem pemantauan tsunami tersebut ditambahkan detektor-detektor canggih di lautan yang terpasang pada pelampung-pelampung yang dijangkar ke dasar laut yang secara terus menerus mengirimkan berbagai data metereologi dan tekanan gelombang laut yang terjadi di atasnya ke PTWC. Dalam skenarionya, begitu suatu gempa besar tercatat, hal ini langsung dibertahukan ke PWTC. Apabila berbagai analisis yang dilakukan dalam sekejap waktu mengindikasikan adanya kemungkinan akan terjadi suatu tsunami, PTWC secara resmi mengeluarkan peringatan dan pejabat
24 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
setempat segera mengumumkannya kepada publik lewat radio, televisi dan pengeras-pengeras suara. Dengan adanya tenggang waktu antara saat lahirnya tsunami di lautan dan saat tibanya tsunami di pantai, maka diharapkan orang dapat sempat menyelamatkan diri menjauhi garis pantai menuju ke daratan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, suatu gelombang tsunami akibat suatu gempa di lepas pantai Chile memerlukan waktu sekitar 10 jam untuk mencapai pantai di Hawaii dan waktu tersebut lebih dari cukup untuk mengevakuasi penduduk dari daerah pantai di Hawaii. Sebuah artikel pada majalah TIME 10 Januari 2005 yang ditulis M. Eliot menyajikan data yang sangat mengkawatirkan, dimana selama 56 tahun PWTC beroperasi tingkat keberhasilannya memberikan peringatan akan adanya tsunami ternyata sangat rendah sekali, dimana 75% dari peringatan yang dikeluarkan itu palsu (75% rate of false alarm), artinya tsumani yang dikira akan terjadi ternyata tidak muncul dan evakuasi penduduk (yang biayanya tidak sedikit) menjadi sia-sia.
TEKNOLOGI EWS DI INDONESIA Sementara itu, EWS di Indonesia belum pernah ada sampai peristiwa tsunami besar di akhir tahun 2004, meskipun pelbagai kejadian tsunami sebelumnya telah menelan korban jiwa dan harta yang juga besar. Hasil penelusuran Pratikto dkk (1998) menunjukkan bahwa tsunami yang
melanda Flores pada tahun 1992 memakan 1918 korban jiwa dan kerugian senilai 200 milyar rupiah, dan demikian juga dengan tsunami yang menerpa Biak tahun 1996 yang melenyapkan 104 jiwa meninggal dan 113 milyar rupiah hilang. Selain itu, banyak paper ilmiah dan berbagai workshop penelitian ilmiah yang dilakukan sebelum tsunami di akhir 2004 telah merekomendasikan pentingnya dilakukan upaya mengurangi dampak tsunami mengingat sebagian pantai Indonesia sangat rawan tsunami. Pada tahun 2003, setahun sebelum tsunami besar menerjang Sumatera bagian utara, pantai Asia sampai ke pantai timur Afrika, penulis telah mempublikasikan pada jurnal WKLB yang diterbitkan Wetland International – Indonesia Programme tentang bahaya tsunami dan alternatif pilihan untuk mengurangi dampaknya. Berbagai paper ilmiah dan peringatan ilmuwan baru mendapat respon yang signifikan dari pihak pemerintah Indonesia setelah tsunami 26 Desember 2004 menghancurkan sebagian besar pantai Sumatera bagian utara. Dengan dukungan dunia Internasional, pemerintah Indonesia kemudian membangun teknologi EWS, terutama dimulai dari pantai barat Sumatera. Nah, untuk pertama kalinya sirine dari teknologi EWS di NAD menyalak pada Senin 4 Juni 2007 tanpa ada gempa yang mendahuluinya. Ada apa dengan teknologi canggih tersebut? Kepada Antara beberapa saat setelah raungan sirine tersebut, kepala Stasiun Geofisika Mata Ie Aceh Besar, Syahnan menyatakan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
bahwa “Hingga kini belum diketahui pasti penyebab berbunyinya EWS di Kajhu Aceh Besar, tapi kemungkinan kerusakan jaringan. Kita masih lakukan investigasi”. Hari berikutnya, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof Kusmayanto menyatakan “Kita tidak bisa percaya 100% pada teknologi, namun jika alat tersebut sering-sering demikian, tentu dikhawatirkan masyarakat tidak lagi percaya meskipun benar tsunami akan tiba”, seperti dirilis oleh banyak media. Sampai artikel ini ditulis, penulis belum mendengar hasil investigasi dari pihak berwenang terkait alasan akurat mengapa sirine EWS tersebut meraung tanpa ada gempa sebelumnya.
INTERPRETASI LINGKUNGAN Teknologi EWS hanyalah salah satu alternatif pilihan untuk mengurangi dampak tsunami, bukan teknologi untuk mencegah tsunami. Fakta, seperti ditulis dalam majalah TIME 10 Januari 2005, dan kejadian terakhir di Aceh menunjukkan rendahnya akurasi teknologi canggih EWS. Dengan demikian, kekhawatiran Menristek tentang sirine palsu akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi canggih tersebut amat sangat mungkin terjadi, sebagaimana telah terjadi pada masyarakat Hawaii dan California. Bolt dalam bukunya Eartquake, a primer (1978) antara lain menulis ketika tanggal 22 Mei 1960 gempa besar di lepas pantai Chile dan kemudian PTWC mengingatkan tsunami segera terjadi, namun masyarakat Hawaii mengabaikan dan ternyata 10 jam kemudian gelombang tsunami benar datang, sehingga menewaskan 61 orang. Demikian juga pada tanggal 28 Maret 1964 ketika gempa besar di teluk Alaska, dan PTWC juga memperingatkan akan terjadi
tsunami, namun lagi-lagi masyarakat pantai California juga mengabaikan dan ternyata 4,5 jam berikutnya tsunami menerjang yang menewaskan 120 orang. Hal ini terjadi karena sebelumnya banyak alarm palsu dari PTWC, sehingga masyarakat mengacuhkan peringatan yang diberikan. Tentu hal ini sangat berbahaya, jika gempa memang memicu tsunami, namun masyarakat sudah terlanjur tidak percaya, maka akan menelan korban yang sangat besar. Oleh karena itu, pihak terkait perlu melakukan sosialisasi secara sistematis dengan jangkauan yang luas dan transparan, terutama pada masyarakat pesisir tentang teknologi EWS dengan segala kondisi yang terkait dengannya. Selain teknologi EWS, terdapat teknologi lokal berupa pengetahuan/ kearifan lokal masyarakat pesisir yang telah terbukti menyelamatkan dan mengurangi dampak tsunami. Pengetahuan gejala alam tentang tsunami telah dikenal lama dan secara turun temurun oleh masyarakat pulau Simeulu. Penulis juga menemukan pengetahuan yang sama pada masyarakat Lahewa di pantai utara Nias, sehingga mereka selamat dari hantaman tsunami sebagaimana masyarakat di pulau Simeulu pada tsunami besar di akhir tahun 2004 lalu. Namun ironisnya, pengetahuan tersebut belum dimiliki oleh masyakat di pantai barat Nias, sehingga banyak korban yang menimpa masyakat di pantai barat Nias tersebut, padahal mereka berada dalam satu pulau yang tidak terlalu besar, yakni dengan masyarakat Lahewa. Masyarakat lokal pulau Simeulu dan pesisir utara Nias tersebut amat paham tentang gejala alam yang mendahului tsunami. Tsunami oleh masyarakat utara Nias disebut
Berita dari Lapang
dengan galoro. Ketika gempa besar terjadi, lalu air laut surut dengan cepat maka itu tanda tsunami segera datang. Sehingga tidak ada yang harus dilakukan kecuali segera menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi dan aman dari jangkauan tsunami. Pengetahuan seperti itu dikenal dengan interpretasi lingkungan, yakni mengenal gejala alam dan keterkaitannya sehingga bisa diambil sikap dan tindakan yang tepat. Negeri untaian katulistiwa bernama Indonesia, sebagaimana telah banyak dipublikasikan merupakan kawasan rawan bencana. Dalam hal mengurangi dampak bencana alam di luar ulah tangan manusia, seperti tsunami, selain penataan kawasan pesisir, penulis mengusulkan agar pengetahuan/kearifan lokal terkait interperasi lingkungan secara masif dan sistematis masuk dalam kurikulum pendidikan sejak dini, baik pendidikan formal maupun non-formal. Sementara muatannya disesuaikan dengan objek sasaranya. Cara masyarakat pulau Simeulu dan masyarakat Moawo di pesisir utara Nias dalam mendistribusikan dan menurunkan pengetahuan tentang tsunami perlu dipelajari lalu diadopsi pada daerah lain yang juga rawan dilanda tsunami. Ketika kesadaran dan pengetahuan interpretasi lingkungan menjadi kesadaran dan pengetahuan umum masyarakat, maka dampak bencana, insya Allah, bisa diminimalisir tanpa harus tergantung pada teknologi canggih dan mahal, namun tidak dikuasai. Semoga. zz
* Akademisi bidang Ekologi Hutan pada Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Ketua Umum Asosiasi Akademisi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ASASI) Daerah Sumatera Utara. Email:
[email protected] ;
[email protected]
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 25
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 19
Mengenal Makroinvertebrata Benthos ........... Tabel 1. Indeks Toleransi Makrobentos Perilaku cara makan tiap famili menggunakan singkatan berikut ini c-f: collector-filterer (pengumpul – penyaring); c-g: collector-gatherer (pengumpul – pengais); prd: predator (pemangsa); scr: scraper (pengikis) shr: shredder (pengoyak); par: parasite (parasit); omn: omnivore (pemakan segalanya); pir: piercer (pencacah)
26 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Nilai toleransi dalam tabel di atas berkisar antara 0-10 yang nilainya semakin meningkat untuk tiap famili makrobentos seiring dengan penurunan kualitas air yang dihuninya. Nilai indeks tersebut dibuat oleh Hilsenhoff pada tahun 1988 untuk menunjukkan variasi toleransi makrobentos yang selanjutnya digunakan untuk menghitung Indeks Biotik Famili atau Modified Family Biotic Index (FBI) untuk mendeteksi tingkat pencemaran organik di perairan yang diamati. Rumus yang digunakan untuk menghitung Indeks Biotik Famili adalah:
Dimana: xi
=
jumlah individu makrobentos dari masingmasing famili
ti
=
nilai toleransi masingmasing famili makrobentos
∑x ×t FBI = i
i
nn = jumlah seluruh makrobentos yang dikoleksi (100)
Tabel 2. Penilaian Kualitas Air Menggunakan Family Biotic Index (FBI) Family Biotic Index
Kualitas Air
Tingkat Pencemaran Organik
0.00-3.75
Excellent
Tidak terrcemar bahan organik
3.76-4.25
Very good
Pencemaran organik sangat ringan
4.26-5.00
Good
Pencemaran organik ringan
5.01-5.75
Fair
Pencemaran organik tingkat sedang
5.76-6.50
Fairly poor
Pencemaran organik agak berat
6.51-7.25
Poor
Pencemaran organik berat
7.26-10.00
Very poor
Pencemaran organik sangat berat
Memantau Kualitas Air Sungai di Sekitar Kita Amatilah sungai di sekitar kita untuk memantau setiap perubahan lingkungan sungai yang menjadi sumber penghidupan manusia saat ini dan di masa mendatang. Bentuklah kelompok pelajar pemantau sungai di dalam komunitas sekolah untuk melakukan pengamatan rutin terhadap perubahan lingkungan fisik dan biotik, serta memantau aktivitas manusia
yang mencemari kualitas air sungai. Pemantauan sungai perlu dilakukan untuk mengungkap potensi kekayaan hayati dan fungsi alami sungai yang sangat penting bagi kita semua. Hasil pengamatan dapat dipublikasikan dalam berbagai media sosialisasi, seperti majalah dinding, poster, buletin atau dipublikasikan dalam media massa. zz * Ecoton (Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah) E-mail:
[email protected]
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 23
Monitoring Burung Pantai dan Burung Air Migran ........... Sejak tahun 2004 sampai sekarang kelompok Studi Burung BIONIC (Biologi UNY Ornithology Club) dan RJBC (Rawa Jombor Birdwatching Community) selalu memonitoring burung migrasi tersebut, dari hasil monitoring selama 4 tahun burung migran yang singgah dan tercatat di Rawa Jombor sebanyak 16 jenis (13 jenis burung pantai dan 3 jenis burung air) 13 jenis burung pantai tersebut adalah: Trinil Semak (Tringa Glareola), Trinil Rawa (Tringa stagnatilis), Trinil Pantai (Tringa
hypoleucos), Trinil Kaki Hijau (Tringa nebularia), Cerek Kalung Kecil (Charadrius dubius), Kedidi Leher Merah (Calidris rufficolis), Kedidi Besar (Calidris tenuirostris), Kedidi Golgol (Calidris ferruginea), Cerek Krenyut (Pluvialis fulva), Terik Asia (Glareola maldivarum), Berkik Ekor Lidi (Gallinago stenura), Berkik Rawa (Gallinago megala), dan Burung Sepatu Teratai (Hydrophasianus chirurgus). Sedangkan 3 jenis burung air migran tersebut adalah: Bambangan kuning
(Ixobrychus sinensis), Bambangan Coklat (Ixobrychus cinnamomeus), dan Tikusan Siberia (Porzana paykullii). Terpantaunya burung pantai dan burung air migran di Rawa Jombor berarti menambah keanekaragaman jenis. Selama monitoring diperoleh 70 jenis burung baik penetap maupun migran. zz * Bionic UNY Tim survey AI Yayasan Kutilang Indonesia E-mail:
[email protected]
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 27
Flora dan Fauna Lahan Basah
Kerbau Rawa:
Bentuk Kearifan Budaya Lokal dan Sumber Pendapatan Masyarakat Kawasan Rawa Lebak Oleh: Dr. Ir. Muhammad Noor, MS*
K
erbau rawa (Bubalus bubalis) diduga merupakan binatang introduksi dari daratan Asia yang termasuk liar. Penyebaran kerbau rawa ke wilayah-wilayah rawa lebak diduga dibawa oleh para pengembara atau pedagang Cina pada abad ke 7 atau ke 8 yang memasuki wilayah Asia seperti India, Pakistan, Banglades, Thailand, dan Vietnam, termasuk Indonesia (Mackhinon et al., 2000). Menurut taksiran diperkirakan terdapat sekitar 12.000 sampai 15.000 ekor kerbau rawa yang hidup di rawa-rawa Kalimantan Selatan tersebar di lima kabupaten yaitu Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, dan Tanah Laut. Jumlah populasi kerbau kalang ini diperkirakan sekitar 6.500 ekor terpusat di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada
28 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
tiga kecamatan yaitu Kecamatan Danau Panggang, Sungai Pandan, dan Amuntai Tengah. Di rawa-rawa Kalimantan Timur diperkirakan terdapat sekitar 1.336 ekor yang terpusat di wilayah Mahakam bagian tengah, Kabupaten Kutai antara lain di tiga danau paling luas, yaitu Semayang, Malintang, dan Jempang, Kerbau rawa juga dipelihara di danau-danau Kalimantan Tengah di daerah pegunungan Kerayan dan pesisir antara lain Kecamatan Jenamas, di Kabupaten Barito Selatan. Kerbau Rawa juga didapati di lahan lebak/ danau di Desa Pulau Layang, kecamatan Pampangan, Kab Ogan Komiring Ilir, Sumatra Selatan sekitar 90 km dari Kota Palembang pada areal sluas 200 hektar dengan populasi sekitar 700 ekor.
CIRI DAN SIFAT KERBAU RAWA Ciri dari kerbau rawa, tubuh pendek, tanduk tumbuh horisontal dan melengkung berputar sejalan dengan umur, warna abu-abu gelap (darkness) semakin dewasa, pada umur 1-2 tahun tumbuh bulu jarang berwarna kuning hingga coklat yang panjangnya + 15 cm, bobot lahir 3040 kg, bobot dewasa antara 400-450 kg, betina lebih ringan dari jantan, temperamen jinak kecuali ada serangan gangguan dari luar, birahi bersifat diam (silent heat). Sifat lainnya dewasa kelamin pada umur 2-3 tahun, jarak kelahiran sekali dalam dua tahun, umur melahirkan pertama 4-5 tahun, umur produktif 10-12 tahun.
Flora dan Fauna Lahan Basah
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
SISTEM KALANG Kerbau rawa dipelihara oleh para petani/peternak di rawa lebak secara tradisional dengan sistem kalang. Sistem kalang yaitu sistem pengembalaan setengah liar (wild), pada siang hari kerbau dibiarkan berkeliaran di perairan rawa, dan pada malam hari masuk kandang yang dibangun di atas air yang disebut kalang. Sistem kalang ini diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Kerbau tinggal di kandang/kalang begitu memasuki senja hari, kecuali pada musim kemarau kerbau kadang-kadang tetap tinggal di luar sekitar kandang. Memasuki fajar pagi kerbau keluar kandang secara bergerombol berenang sambil mencari makanan yang tersedia di rawa sampai memasuki senja. Pada musim kemarau saat rawa surut atau kering, para kerbau tetap digembalakan untuk mencari lokasi yang masih berair atau berlumpur. Kalang dibuat dari kayu galam atau bambu dengan luas disesuaikan jumlah kerbau yang ditampung umumnya antara 40-400 meter2. Untuk sekitar 200 ekor kerbau diperlukan luas kalang 4 m x 100 m atau 2 m2 per ekor. Lantai kalang terbuat dari kayu yang harus kuat dan disangga dengan tiang setinggi 4-6 m lebih tinggi dari muka air tertinggi di rawa sehingga lantai selalu kering. Kalang dilengkapi dengan tangga miring dan tidak licin untuk memudahkan kerbau naik atau turun. Pada pinggir kalang dibuat pagar kokoh setinggi 1,00-1,25 meter sehingga kerbau tidak dapat melompat keluar. Pada sudut ujung dibuat tempat khusus untuk perawatan kerbau yang sakit atau induk yang akan melahirkan dan menyusui. Kerbau yang sedang bunting sebaiknya dipisah dari ternak lainnya untuk menghindari gangguan. Apabila memungkinkan lebih baik disediakan kandang atau ruang khusus atau paling tidak pada umur bunting memasuki bulan ke 11. Juga perlu disediakan tempat pakan khusus agar tidak terjadi rebutan dan makanan tidak terinjak-injak. Di Kalimantan Tengah setiap petani mempunyai 1-2 kalang dan setiap kalang menampung 20-40 ekor kerbau. Di Kalimantan Selatan pemilikan lebih besar mencapai ratusan ekor.
SUMBER PAKAN ALAMI Sumber pakan bagi kerbau rawa sangat tergantung pada ketersediaan yang ada di alam rawa. Beragam rumput rawa atau tanaman air merupakan bahan pakan yang disukai kerbau rawa. Beberapa tanaman rawa kurang disukai, namun juga merupakan sumber pakan alternatif dalam keadaan tertentu. Jenis pakan yang disukai (pelateble) kerbau rawa antara lain padi hiyang (Oryza rofipogon), kumpai miring (Paspalum commesonii), kumpai minyak (Sacciolepis interupta), sempilang
(Panicum paludosum), dan purun tikus (Eleocharis dulcis). Jenis sumber pakan lainnya berupa rumput gajah, rumput bale, rumput lapangan, rumput beggal, rumput berachiaris, kacang-kacangan (lamtoro, siartro, stylo, calopogonuium), enceng gondok, campehiring, banta, kayapu, kiambang, tanding, papisangan.
PENDAPATAN PETANI
Harga seekor kerbau rawa sekarang berkisar Rp. 7-8 juta yang beratnya dapat mencapai 300-500 kg/ekor. Hasil analisi ekonomi menunjukkan dengan modal invenstasi 4 ekor kerbau dewasa (nilai per ekor kerbau rawa dewasa Rp. 7.000.000,00) untuk satu keluarga petani dengan masa pemeliharaan 2 tahun dan perolehan anak sebanyak 4 ekor diperoleh pendapatan sebesar Rp. 10.450.000,00 (Tabel 1). Apabila diperhitungkan secara keseluruhan usaha maka sumbangan usaha kerbau rawa terhadap pendapatan petani per tahun mencapai 54,21%, sementara dari usaha tani padi 43,21% dan buruh mencari kayu (galam) sekitar 2,58% dengan total pendapatan sekitar Rp. 9.694.000,00/tahun. Tabel 1. Analisis biaya dan pendapatan pemeliharaan kerbau rawa (skala 4 ekor induk dewasa dalam 2 tahun), Desa Banua Raya, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan (th 2006). Biaya (Rp.000)
Jenis kegiatan • Penyediaan bibit (4 ekor induk)
Peneriman Pendapatan (Rp.000) (Rp.000)
28.000
30.000
1.200
• Pagar kelililing dan pemeliharaan
800
10.000
9.250
• Penindikan/ ciri pemilikan (4-6 ekor anak)
600 150 40.000
10.450
29.550
Jumlah Sumber: Rohaeni et al. (2006)
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah semakin langkanya pakan yang tersedia di alam sehingga perlu upaya pengembangan hijauan baik dalam lingkungan rawa sendiri ataupun di luar sebagai pakan alternatif. Sementara ini sistem penggembalaan atau budidaya yang diterapkan masih bersifat konvensional, padahal potensi kerbau rawa ini dalam memberikan pendapatan cukup besar. * Penulis Buku Rawa Lebak: Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangnnya. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007 E-mail:
[email protected]
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 29
Berita dari Lapang
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
..... Sambungan dari halaman 22
Berbagi Habitat antara Manusia dan Burung Air ........... Keberadaan burung air di kolam pengelola bahkan menaburkan buatan ini menjadi daya tarik bibit ikan untuk makanan burung tersendiri bagi masyarakat serta membuat sarang buatan Medan. Pada hari libur, kolam berupa keranjang yang diisi buatan ini menjadi obyek dengan ranting kering dan kunjungan baru yang banyak menanam bibit pohon peneduh dikunjungi oleh masyarakat di sekeliling kolam. yang sekedar ingin bersantai Meskipun demikian, bersama keluarga sambil kekhawatiran akan gangguan mengamati berbagai tingkah masih tetap ada, terutama dari laku burung air, seperti aktifitas Papan himbauan untuk tidak mengganggu burung gangguan para pengunjung. Hal terbang, beristirahat, membuat (Foto : Giyanto/YAI) lain yang paling dikhawatirkan sarang, mengerami telur dan adalah kemungkinan adanya memberi makan anakan. perubahan kebijakan dari pihak pengelola Pengunjung yang datang memanfaatkan pohon-pohon perumahan untuk merubah peruntukan kolam besar yang berada di sekeliling kolam buatan ini untuk tersebut. Sejauh ini memang belum ada indikasi berteduh sambil memandang kearah kolam buatan tempat kearah tersebut, namun penyadartahuan mengenai dimana ratusan individu burung air berada. Burung Air di nilai tambah yang bisa diberikan oleh kehadiran Komplek Cemara Asri seolah-olah sudah terbiasa dengan burung-burung air di perumahan tersebut kehadiran pengunjung serta lalu lalang kendaraan di nampaknya perlu terus menerus disuarakan, tanpa sekitar tempat mereka beristirahat dan bersarang. harus mengorbankan kepentingan para penghuni Pihak pengelola Komplek Cemara Asri juga sangat perduli komplek tersebut : manusia dan burung. zz dengan keberadaan burung di lokasi ini, dengan membiarkan lokasi ini seperti alaminya dan menindak *(Yayasan Akasia Indonesia) secara tegas segala bentuk aktifitas yang dapat E-mail :
[email protected] mengganggu keberadaan burung di lokasi tersebut. Pihak ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Ceplas ceplos
bang DONG Pantun, sudah dikenal sejak dahulu ... Pendek kata tapi sarat makna .... .. Nah, aye mau pantun-pantunan nih, boleh yee .. Jalan ke Padang berkelok-kelok Sungguhlah enak si buah salak ... Sayang disayang si alam nan elok ... Dahulu indah kini luluh lantak Memanglah enak si buah salak Buah mangga tidak kalah nikmat ... Memanglah rusak si alam nan elok ... akibat ulah manusia bermoral bejat Buah durian buah kedondong Pohon bambu tegak berpotong-potong ... Lestarikan alam kita .. donk .. ... Agar anak cucu kelak turut merasakan .. donk ..
30 z z z Warta Konservasi Lahan Basah
Dokumentasi Perpustakaan
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Departemen Kehutanan Dirjen perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007; Kawasan Konservasi Indonesia 2006, Departemen Kehutanan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 73.
Multidonor Fund/BRR, 2007; Temuan dan Rekomedasi dari Analisis Resiko Ekologi di Kabupaten Aceh Selatan, Propinsi naggroe Aceh Darussalam, PT Hatfield Indonesia, various.
Kuswandi, R., 2006; Petunjuk Teknis Pembuatan dan Pengukuran Petak Ukur Permanen: Untuk Pemantauan Pertumbuhan dan Riap Hutan alam Bekas Tebanagn di Papua, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, iv + 27.
Murdiyarso, D. and L. Lebel, 2007; Mitigation and Adaption Strategies for Global Change An International Journal Devoted to Scientific, Egineering, Socio Economic and Policy Responses to Environmental Change, SPRINGER, 201.
Leppe, D. dan M.J. Tokede, 2006; Potensi Biofisik Kawasan Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja Monokwari, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku, xi + 47.
Rais, S. Y. Ruchiat, A. sartono dan T. Hideta, 2007; 50 Taman Nasional di Indonesia, Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam, xiii + 291. Sartono, A., D. Rukman., E. Sugandi and {et.al}, 2006; Booklet Data Kawasan Konservasi Indonesia Tahun 2006, Departemen Kehutanan Dirjen PKA, 25. Setiadi, B., 2007; AD HOC Team The Ex-PLG Project Central Kalimantan Acceleration of Rehabilitation & Restoration on EX-Peat Area Development in Central Kalimantan, Restorpeat-EU Project 2007, v + 60.
Noordwijk, M.V., S. Suyanto, S. Budidarsono, 2007; Is Hutan Tanaman Rakyat A New Paradigm in Community Based Tree Planting in Indonesia? Working paper., World Agroforestry Centre, 34.
Wosten, H. and B. Radjagukguk, 2005; Proceedings of the Session on the Role of Tropical Peatlands in Global Change Processes during the Open Science Meeting 2005, ALTERRA, Viii + 165.
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Kotak-Katik
Lahan Basah
1
C 2
Isilah kotak-kotak di samping ini : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
United Nations Framework Convention on Climate Change (Singkat) Tempat diselenggarakannya CoP 13 CO2 Pemancaran panas Perubahan es menjadi air Upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak suatu bencana Penghijauan Keadaan udara Yang menyinari bumi kita Negara pencemar udara terbesar di dunia (Bencana) meluapnya air Tanaman pesisir Himpunan negara-negara Asia Tenggara
I 4
A 6
Indonesia diapit Samudera Pasifik dan Samudera .....
2.
Cara berkembang biak penyu
7.
Anak penyu
3.
Tempat bertelur penyu laut
8.
Tapak
4.
Salah satu jenis penyu laut
9.
Hewan pemangsa
5.
Penyu (Bhs. Inggris)
10. Jumlah suatu jenis
E
8
C
9
H
10
A 11
N
12
G 13
E
bang tri’ Okt-07 1
6.
T 7
2
Jenis hewan melata
M
5
Jawaban Kotak-Katik Lahan Basah Vol. 15 No 2 Juli 2007 1.
L
3
B
E 3
4
T
E
M
R
E
P
T
I
L
R
T
E
L
U
R
P
A
N
T
A
I
P 5
A
Y
A
N
T
U
R
T
L
E
N
D
I
6 7
H
I
U
K
I
K
J
E
J
A
K
R
E
D
A
T
O
R
P
O
P
U
L
A
S
T 8
9
P 10
A
I
Vol 15 no. 3, Oktober 2007 z z z 31