EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAHAN BASAH PESISIR INDONESIA
MUHAMMAD ILMAN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya, menyatakan bahwa Tesis Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Maret 2008
Muhammad ILMAN NRP C251 030 191
RINGKASAN MUHAMMAD ILMAN. Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah
Pesisir Indonesia. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan NYOTO SANTOSO. Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di Indonesia, atau disingkat kawasan konservasi, memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai sebuah sistem pendukung kehidupan. Meski demikian, karakteristik biologis dan kepentingan pengelolaannya yang kompleks menyebabkan selama ini kawasan konservasi belum dikelola secara efektif sehingga mengalami kerusakan secara terus menerus. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini pengelolaan kawasan konservasi, efektivitasnya, dan strategi pengelolaannya. Penelitian dilakukan pada 23 kawasan konservasi dengan menggunakan pendekatan Rapid Assessment and Prioritisation of Protected Areas Management (RAPPAM). Hasil RAPPAM menunjukkan bahwa 23 kawasan konservasi yang diteliti memiliki nilai biologis maupun ekonomis tinggi tetapi sebagian besar kawasan konservasi tersebut belum dikelola secara efektif. Beberapa diantara kawasan konservasi tersebut mengalami tekanan dan ancaman yang tinggi yang mengarah pada kerusakan kawasan konservasi dalam jangka panjang. Kondisi ini sulit diatasi karena karakteristik nilai penting ekonomis biologis, efektivitas pengelolaan, dan tekanan dan ancaman yang dialami masing-masing kawasan konservasi berbeda-beda sementara sumberdaya pemerintah sangat terbatas untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh. Penggunaan analisis multivariabel berhasil mengkategorikan kawasan konservasi tersebut kedalam 16 kategori strategi pengelolaan yang merupakan kombinasi strategi internal berupa penguatan kapasitas dan strategi adaptasi eksternal berupa kolaborasi pengelolaan. Strategi yang dihasilkan RAPPAM lebih sesuai untuk kebijakan nasional, Untuk dapat diaplikasikan di tingkat kawasan konservasi masih dibutuhkan analisis lanjutan berdasarkan kondisi masing-masing kawasan sehingga diperoleh suatau strategi yang menjawab kebutuhan lokal kawasan tapi tetap dalam kerangka kebijakan nasional. Kelompok kawasan konservasi rawa dan mangrove terutama Taman Nasional Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur memerlukan kombinasi strategi internal dan eksternal melalui peningkatan sumber-sumber pendanaan dan pengembangan kegiatan rehabilitasi ekosistem berbasis masyarakat. Kelompok terumbu karang terutama Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Karimun Jawa memerlukan strategi eksternal yang kuat dengan membuka ruang dialog lebih luas dengan masyarakat dan pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan. Sebaliknya kelompok hutan pantai terutama Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan Baluran membutuhkan strategi internal yang kuat melalui pengembangan kegiatan wisata ramah lingkungan dan pemanfaatan yang bijaksana hasil hutan non kayu.
ABSTRACT MUHAMMAD ILMAN. Managemenet Effectivennes of Coastal Wetlands Protected Areas of Indonesia. Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO and NYOTO SANTOSO Coastal wetlands protected areas in Indonesia (conservation areas) are very important area since they are functioning as life supporting system. However, its complex ecological characteristics as well as management interests of various stakeholders have resulted ineffective management lead to ever-occur deterioration of the areas. This research was aimed to understand existing condition of conservation areas, its management effectiveness, and options for better management. The research studied 23 conservation areas by using WWF’s Rapid Assessment and Prioritization of Protected Areas Management (RAPPAM). The result of RAPPAM revealed that all 23 conservation areas were having high both ecological and economical value but lack of effective management. The situation is alarming since many of these 23 conservation areas were also facing serious pressure and threat that will have damaging impact. This condition was difficult to overcome due to limited government resources compare to variety and uniqueness of ecological and economical characteristics, management effectiveness, pressure and threats to every conservation areas. Application of multivariable analysis had successfully classified the 23 conservation areas into 16 management strategy categories which determined by combination of two strategies: internal strategy for capacity strengthening and external strategy through collaborative management. The RAPPAM’s recommended strategy is appropriate for national level policy, applying the recommendation in protected area level require further analysis on uniqueness of each protected areas. Therefore there will be new strategy for single protected area that successfully responds to the local needs and still in line with national policy. Management of coastal swamp and mangrove conservation areas group especially Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur National Park, require balance internal and external strategy by increasing fundraising activities and community based ecosystems rehabilitation. Coral reef group especially Teluk Cenderawasih and Karimun Jawa NP, require massive external strategy by providing ample room for dialogue with stakeholders and empowering local community to develop environmentally friendly livelihoods. As for coastal forest group especially Manupeu Tanadaru, Siberut, and Baluran NP, require massive internal strategy by developing ecotourism and wise utilizations of non timber forest product.
iv
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAHAN BASAH PESISIR INDONESIA
MUHAMMAD ILMAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
vi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: - Dr. Ir. Unggul Aktani, MSc - Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
vii
Judul Tesis
: Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia
Nama
: Muhammad ILMAN
NRP
: C 251 030 191
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua
Ir. Nyoto Santoso, MS. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 24 Oktober 2007
Tanggal Lulus:
viii
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas selesainya penulisan Tesis yang berjudul
Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir Indonesia. Penilaian efektivitas dilakukan dengan menggunakan Rapid Assessment and Prioritisation of Protected Areas Management (RAPPAM) terhadap 23 Taman Nasional yang memiliki lahan basah pesisir.
Hal menarik yang diperoleh dari
penelitian ini diantaranya: nilai penting sosial ekonomi dan ekologi kawasan konservasi masih sangat tinggi, efektivitas pengelolaan pada umumnya lemah, dan berhasilnya disusun pilihan strategi pengelolaan kawasan konservasi yang lebih efektif berdasarkan keunikan masing-masing kawasan konservasi. Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Bapak Ir. Nyoto Santoso, MS atas kesabarannya dalam membimbing penulisan tesis ini. 2. Bapak Dibyo Sartono, Bapak Nyoman Suryadiputra dan rekan-rekan kerja di Wetlands International atas suasana kerja yang mendukung. 3. Bapak Abdul Kadir, Ibu Siti Zainab, Kak Ninab, Hira, Hanun, Kioq, dan semua yuniornya di Sulawesi Barat, serta Upik atas dukungan doanya. 4. Ita Sualia atas kesabaran dan motivasinya yang tiada henti. 5. Semua rekan SPL angkatan 10 atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus. 6. Packard Foundation melalui WWF-EFN yang telah memberikan dukungan beasiswa untuk mengikuti S2 di SPL IPB.
Banda Aceh, Maret 2008 Muhammad ILMAN
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Somba, sebuah kota kecil di Kabupaten Majene Sulawesi Barat, merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Kadir dan Ibu Siti Zainab. Pendidikan dasar dimulai di TK Al Hurriyah Somba, SDN 3 Somba, SMPN 1 Somba, dan SMAN 1 Majene lulus tahun 1991. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S1 di IPB Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan lulus tahun 1996. Karir pekerjaan penulis dimulai sebagai Supervisor Aquaculture di PT Wachyuni Mandira antara tahun 1996 hingga 1999, kemudian sebagai Project Manager di PT. Triasta Citarate, Sukabumi antara tahun 1999 hingga 2001.
Kedua perusahaan
tersebut bergerak dalam bidang industri tambak udang. Sejak tahun 2001 hingga saat ini penulis bekerja di Wetlands International, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan kegiatannya pada pemanfaatan secara bijaksana ekosistem-ekosistem lahan basah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sebagian besar pekerjaan penulis berhubungan langsung dengan upaya pengelolaan lahan basah secara terpadu baik sebagai fasilitator masyarakat dalam pengelolaan lahan basah di tingkat desa maupun sebagai wakil Wetlands International dalam berbagai kelompok kerja pengembangan kebijakan dalam pengelolaan lahan basah di tingkat nasional.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL....................................................................................................xii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ xv 1. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Nilai dan Fungsi Lahan Basah .................................................................... 1 1.2 Efektivitas Kebijakan dan Pengelolaan Lahan Basah................................. 2 1.3 Perumusan Masalah .................................................................................... 4 1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 5 1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 5 1.6 Ruang Lingkup Penelitian........................................................................... 5 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6 2.1 Lahan Basah Pesisir .................................................................................... 6 2.2 Kawasan konservasi dan Fungsinya............................................................ 8 2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Lahan Basah Pesisir .. 10 2.4 Efektivitas Pengelolaan............................................................................. 14 2.4.1 Pengertian dan Tujuan..................................................................... 14 2.4.2 Mekanisme Evaluasi ....................................................................... 17 2.4.3 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management .................................................................................... 18 3. METODOLOGI PENELITIAN......................................................................... 22 3.1 Kerangka Pemikiran.................................................................................. 22 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 24 3.3 Metode Penelitian ..................................................................................... 24 3.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 26 3.5 Metode Analisis Data................................................................................ 28 3.5.1 Analisis Tekanan dan Ancaman...................................................... 29 3.5.2 Analisis Nilai Penting Kondisi Biologi, Sosial dan Ekonomi ........ 30 3.5.3 Analisis Efektivitas Pengelolaan..................................................... 32 3.5.4 Analisis Multivariabel..................................................................... 34 3.5.5 Analisis Gerombol .......................................................................... 37 3.5.6 Analisis Diskriminan....................................................................... 38
xi
4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI............................................ 39 4.1 Pengelompokan Kawasan Konservasi Berdasarkan Jenis Ekosistem yang Dominan ........................................................................................... 39 4.2 Karakteristik Biologi................................................................................. 40 4.3 Karakteristik Sosial Ekonomi ................................................................... 48 4.4 Karakteristik Tekanan dan Ancaman ........................................................ 53 4.5 Karakteristik Kerapuhan ........................................................................... 55 5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN............................................... 59 5.1 Perencanaan Kawasan............................................................................... 59 5.2 Masukan .................................................................................................... 62 5.3 Proses Pengelolaan.................................................................................... 64 5.4 Keluaran .................................................................................................... 67 5.5 Akumulasi Komponen Siklus Pengelolaan............................................... 69 6. STRATEGI PENGELOLAAN .......................................................................... 71 6.1 Strategi Nilai Penting VS Tekanan - Ancaman......................................... 71 6.2 Strategi Masukan vs Tekanan - Ancaman................................................. 75 6.3 Strategi Efektivitas vs Tujuan Akhir Pengelolaan .................................... 79 6.4 Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Efektif .............. 83 6.4.1 Strategi Pengelolaan Rawa Pesisir dan Mangrove........................... 87 6.4.2 Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Terumbu Karang.......... 90 6.4.3 Strategi Pengelolaan Hutan Pantai ................................................... 94 SIMPULAN DAN SARAN..................................................................................... 97 Simpulan ................................................................................................................. 97 Saran….................................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 100 LAMPIRAN........................................................................................................... 103
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15.
Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.... 21 Kawasan konservasi yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah pesisirnya.......................................................... 27 Penentuan ranking nilai penting biologis kawasan konservasi berdasarkan kekayaan spesies dan tipe ekosistem. ................................... 30 Matriks data Taman Nasional dan kriteria penilaiannya........................... 35 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem lahan basah yang dominan. ....................................................................... 40 Karakteristik keanekaragaman hayati flora dan fauna 23 kawasan konservasi di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai sumber. .......... 43 Nilai skor kekayaan keanekaragaman hayati 23 kawasan konservasi ...... 45 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan.................... 48 Sebaran taman nasional berdasarkan hasil Cluster dan PCA terhadap kondisi sosek dan biologi. ......................................................................... 73 Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap luas, masukan, tekanan dan ancaman. ............................................................... 78 Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap masukan, proses, keluaran dan perencanaan. ............................................................ 82 Matriks kategorisasi karakteristik dan efektivitas pengelolaan 23 kawasan konservasi di Indonesia .............................................................. 84 Kategori pengelolaan kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove.... 87 Kategori pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang ..................... 91 Kategori pengelolaan kawasan konservasi hutan pantai........................... 94
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia....................................... 12 Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003) ....... 15 Siklus pengelolaan dan evaluasinya (Hockings et. al. 2006) ................. 16 Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi............................................................................................... 23 Gambar 5 Lokasi 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian. .......... 25 Gambar 6 Grafik nilai penting karakteristik biologis kawasan konservasi di Indonesia. ............................................................................................... 41 Gambar 7 Grafik nilai penting karakteristik biologis di 23 kawasan konservasi ... 42 Gambar 8 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan keanekaragaman hayatinya. ............................................................................................... 47 Gambar 9 Grafik nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi. 49 Gambar 10 Grafik nilai penting sosial ekonomi 23 kawasan konservasi. ................ 50 Gambar 11 Jumlah pengunjung turis asing ke 23 kawasan konservasi .................... 52 Gambar 12 Grafik tingkat tekanan dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi............................................................................................... 53 Gambar 13 Grafik nilai tekanan dan ancaman rata-rata kawasan konservasi........... 54 Gambar 14 Grafik nilai beberapa karakteristik kerapuhan dalam pengelolaan kawasan konservasi................................................................................ 56 Gambar 15 Tingkat kerapuhan rata-rata di 23 kawasan konservasi di Indonesia...... 57 Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi............................................................................................... 59 Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi.. ................................. 60 Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi................................................................................ 62 Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi................................................................................ 63 Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi............................................................................................... 65 Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 23 kawasan konservasi....................................................... 66 Gambar 22. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi .............. 68 Gambar 23. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan 23 kawasan konservasi. ........ 68 Gambar 24. Grafik nilai efektivitas pengelolaan di 23 kawasan konservasi ............. 70 Gambar 25 Grafik hasil PCA terhadap 23 kawasan konservasi berdasarkan kondisi umumnya. .................................................................................. 71
xiv
Gambar 26 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, biologi, dan tekanan dan ancaman. ............................. 72 Gambar 27. Grafik sebaran 23 kawasan konservasi dibandingkan dengan masukan (anggaran), luasan dan ancaman masing-masing kawasan konservasi................................................................................ 76 Gambar 28. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik tekanan dan ancaman, luas kawasan, dan besaran anggaran pengelolaan. ........................................................................................... 77 Gambar 29. Grafik hasil PCA terhadap efektivitas pengelolaan 23 kawasan konservasi............................................................................................... 80 Gambar 30. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik efektivitas pengelolaan........................................................................... 81
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 5. Lampiran 6.
Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah ............. 104 Beberapa strategi nasional pengelolaan lahan basah. ....................... 108 Daftar istilah...................................................................................... 109 Nama-nama responden dari setiap kawasan konservasi ................... 117 Hasil responden mengenai karakteristik pengelolaan 23 kawasan konservasi.......................................................................................... 118 Lampiran 7. Hasil analisis diskriminan terhadap pengelompokan kawasan ......... 123 Lampiran 8. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok rawa pantai dan mangrove...…………………………………………………….….. 126 Lampiran 9. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok terumbu karang..….127 Lampiran 10. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok hutan pantai……... 128
1. PENDAHULUAN 1.1 Nilai dan Fungsi Lahan Basah Lahan basah pesisir menurut definisi dalam Konvensi Ramsar adalah daerah di pesisir yang tergenang air baik secara periodik maupun terus menerus termasuk perairan laut hingga kedalaman tidak lebih dari 6 meter saat surut terendah. Berdasarkan definisi tersebut yang termasuk dalam lahan basah pesisir meliputi mangrove, padang lamun, terumbu karang, dataran pasir dan lumpur, pantai berbatu, estuaria, rawa air tawar, rawa gambut pesisir, laguna, dan berbagai jenis lahan basah buatan.
Luas lahan basah pesisir Indonesia yang memiliki nilai penting secara
internasional tidak kurang dari 15 juta hektar, separuh dari luas seluruh daratan Malaysia (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004).
Dengan jumlah
tersebut Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang memiliki lahan basah pesisir terluas di Asia. Lahan basah pesisir memiliki nilai penting secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Secara ekologis, daerah ini kaya akan nutrien yang menyebabkan banyak organisme yang melewati sebagian atau seluruh siklus hidupnya di lahan basah pesisir. Lahan basah pesisir Cagar Alam Hutan Bakau Timor di Jambi misalnya, setiap tahunnya disinggahi sekitar 20.000 burung migran dalam perjalanan migrasinya dari wilayah belahan bumi utara ke Australia dan Selandia Baru (National Wetlands Committee for SCS Project, 2004).
Termasuk diantaranya burung air
langka Trinil Lumpur Asia (Asian Dowitcher) yang dimasukkan dalam kategori jarang dalam daftar International Union on Coservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Secara ekonomi lahan basah pesisir menjadi tempat hidup berbagai spesies yang memiliki nilai ekonomis penting sebagai sumber pangan atau sebagai bahan baku industri. Sebuah studi nilai ekonomis yang dilakukan oleh Wetlands International – Indonesia Programme (WIIP) terhadap Taman Nasional Sembilang menunjukkan bahwa nilai penggunaan langsung kawasan tersebut mencapai US$ 15.000.000 per tahun (Goenner dan Wibowo, 2002). Nilai-nilai ekonomi tersebut juga dapat menjadi
2
lebih penting lagi karena posisinya yang strategis sehingga menjadi jalur pelayaran penting, terutama di daerah estuari. Secara sosial budaya lahan basah pesisir telah menjadi pilihan tempat bermukim masyarakat sejak ratusan tahun silam sehingga masyarakat membentuk karakteristik sosial yang khas untuk beradaptasi dengan lingkungan lahan basah pesisir. Hal tersebut ditunjukkan oleh munculnya berbagai tradisi, kesenian, termasuk cerita rakyat yang berhubungan dengan lahan basah pesisir. Potensi lahan basah pesisir yang dimiliki Indonesia yang sedemikian besarnya tidak lantas menyebabkan upaya pengelolaannya menjadi lebih baik. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang terus menerus terganggu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan pengelolaan tersebut.
Akibatnya lahan basah pesisir
menjadi salah satu daerah yang sangat rentan dalam menghadapi kerusakan alam baik yang disebabkan oleh manusia seperti perubahan iklim, pemanfaatan berlebih, pencemaran dari darat maupun laut dan akibat bencana alam seperti tsunami dan badai (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Kondisi ini jika dibiarkan terus, secara langsung akan menjadi ancaman bagi manusia. Hal tersebut disebabkan oleh karena fungsi dan nilai penting lahan basah seperti yang disebutkan di atas jika mengalami kerusakan akan menyebabkan lahan basah tidak bisa lagi menjadi sistem pendukung kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologis. Sebaliknya, lahan basah pesisir yang sehat akan mendukung penyediaan pangan bagi manusia, menyediakan lingkungan yang sehat, memiliki fungsi mitigasi terhadap bencana alam dan akan membantu manusia dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan global.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perlindungan dan
pemanfaatan secara bijaksana terhadap lahan basah pesisir harus merupakan bagian penting dalam kegiatan manusia. 1.2 Efektivitas Kebijakan dan Pengelolaan Lahan Basah Kebijakan dan pengelolaan lahan basah memiliki kerumitan tersendiri dibandingkan dengan kawasan lain di wilayah daratan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan lahan basah bersifat sangat kompleks yaitu: (1) terdiri dari berbagai
3
tipe ekosistem/habitat; (2) dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan; dan (3) dikelola oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholder).
Lahan basah juga memiliki
keterkaitan ekologis yang mencakup wilayah sangat luas bahkan melintasi batas negara. Akibatnya pengembangan kebijakan harus memperhatikan isu dari skala pengelolaan lokal, nasional, regional, hingga internasional. Menyikapi hal tersebut di atas, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan lahan basah pesisir. Perbaikan pun terus dilakukan untuk menjawab perubahan paradigma pengelolaan dan penemuan terbaru mengenai lahan basah. Salah satu perubahan mendasar kebijakan pengelolaan lahan basah di Indonesia adalah adanya proses desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam termasuk lahan basah. Perubahan tersebut ditandai dengan terbitnya Undang-undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan melalui Undang-undang No 32 Tahun 2004.
Berbagai kebijakan yang diterapkan untuk mengelola lahan basah
pesisir tentu saja berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemampuan lahan basah pesisir dalam dalam mempertahankan nilai dan fungsinya sebagai sistem penunjang kehidupan, pengawetan keaneragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Minat masyarakat umum, LSM, lembaga donor, bahkan pemerintah daerah untuk mengetahui perkembangan pengelolaan kawasan konservasi belakangan ini juga semakin besar.
Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan masyarakat yang
semakin membutuhkan adanya akuntabiltas publik pada berbagai kegiatan yang berdampak pada masyarakat atau lingkungan, termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian multilateral yang berkaitan dengan pelestarian sumbedaya alam seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Ramsar juga mensyaratkan adanya kegiatan penilaian tingkat keberhasilan konservasi dimasing-masing negara anggota.
4
1.3 Perumusan Masalah Wewenang pengelolaan kawasan konservasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia masih didominasi oleh pemerintahan pusat yaitu Departemen Kehutanan. Hingga saat ini, terdapat paling tidak 23 juta hektar luas kawasan konservasi di seluruh Indonesia yang berada dalam kewenangan Departemen Kehutanan. Sejarah keterlibatan negara yang diwakili oleh pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi telah dimulai paling tidak sejak tahun 1714 (Wiratno et.al., 2001). Besarnya kewenangan Departemen Kehutanan dalam kegiatan konservasi secara nasional melahirkan rasa ingin tahu mengenai seberapa efektif implementasi kebijakan pengelolaan yang telah dilakukan selama ini. Hal ini merupakan tuntutan wajar karena minat maupun kesadaran akan hak-hak masyarakat semakin luas untuk terlibat aktif dalam konservasi sumberdaya alam. Sayangnya, hingga saat ini belum ada mekanisme yang memadai dalam mengevaluasi efektivitas kebijakan nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang dihadapi dalam evaluasi kebijakan nasional di kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir di Indonesia atau disingkat menjadi “Kawasan Konservasi” adalah: ”Bagaimana mengukur dan mengetahui efektivitas kebijakan nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi?”. Permasalahan inilah yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian. Penelitian ini bersifat sebagai analisis retrospektif yang berorientasi pada aplikasi atau lebih dikenal sebagai Application Oriented Analysis (Dunn, 2003). Oleh sebab itu penelitian ini tidak akan mengevaluasi dan menguji landasan pelaksanaan kegiatan kawasan konservasi yang telah berjalan hampir 300 tahun lamanya dan kemungkinan konsekuensinya dimasa datang. Analisis yang berorientasi pada aplikasi berusaha untuk menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan publik melalui pemantauan dan evaluasi hasil kebijakan publik.
Hasil analisis selanjutnya dapat digunakan praktisi untuk merumuskan
masalah kebijakan, mengembangkan alternatif dan rekomendasi arah tindakan untuk
5
memecahkan masalah (Dunn, 2003).
Sejalan dengan hal tersebut penelitian ini
difokuskan pada evaluasi hasil kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui status kawasan konservasi berdasarkan kondisi biologi, sosial, ekonomi, dan tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi. 2. Mengkaji efektivitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan nilai penting pada setiap siklus pengelolaan yaitu perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dominan dan mempengaruhi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi nasional yang memiliki lahan basah pesisir. 4. Memberikan rekomendasi strategi yang efektif dalam pengelolaan kawasan konservasi. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran kinerja pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah di Indonesia. Oleh sebab itu penelitian ini dapat membantu dalam melakukan evaluasi secara efektif terhadap pengelolaan sekaligus memberi masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan efektif kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir secara nasional. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini lebih ditujukan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi secara keseluruhan dan tidak dikhususkan pada satu taman nasional tertentu. Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada evaluasi terhadap pengelolaan di tingkat makro dengan menambahkan perhatian pada isu tertentu di tingkat meso. Dengan demikian, hasil evaluasi pada penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan di tingkat makro dengan beberapa rekomendasi khusus ditingkat meso.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Basah Pesisir Terdapat banyak definisi yang dikembangkan untuk menyatakan lahan basah sebagai sebuah kesatuan ekosistem.
Definisi tersebut bisa dibuat oleh pakar di
bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, bisa juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan.
Hampir setiap negara maju
bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan basah menyesuaikan sistim hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang di negara masing-masing. Beberapa definisi yang dibuat oleh para penyusun kebijakan adalah: 1. Amerika Serikat, Clean Water Act no 404 (diamandemen 1977): “Wetlands are areas that are inundated or saturated by surface or ground water at a frequency and duration sufficient to support, and that under normal circumstances do support, a prevalence of vegetation typically adapted for life in saturated soil conditions. Wetlands generally include swamps, marshes, bogs, and similar areas”. (EPA, 2002). 2. Kanada, National Wetlands Working Group (1988): “Wetland in the land that saturated with water long enough to promote wetland or aquatic process as indicated by poorly drained soil, hydrophytic, vegetation and various kinds of biological activity which are adapted to a wet environment.”. (Warner dan Rubec, 1997). Sedangkan definisi lain yang dibuat oleh individu ahli lahan basah antara lain: Hehanussa dan Haryani (2001): ”Daerah tanah basah sepanjang tahun atau lembab yang jenuh air dalam kondisi normal, mampu mendukung kehidupan tanaman hidrofilik” Beranekaragamnya definisi tersebut menunjukkan bahwa lahan basah sangat kompleks dan dapat memiliki nilai dan fungsi yang sangat berbeda tergantung pada sudut pandang setiap orang yang melihatnya. Dengan sendirinya model pengelolaan lahan basah pun bisa menjadi sangat beragam.
7
Istilah ”lahan basah” sebagai terjemahan dari bahasa Inggris ”wetlands” baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990.
Sebelumnya masyarakat Indonesia
menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk atau nama fisik masing-masing tipe lahan basah seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sungai. Istilah standar yang digunakan untuk berkomunikasi secara internasional diperkenalkan oleh sebuah lembaga internasional yaitu Biro Ramsar.
Biro ini
mengorganisasi pelaksanaan Konvensi Lahan Basah yaitu sebuah perjanjian antar pemerintah yang di adopsi pada tanggal 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran. Konvensi ini biasa ditulis sebagai ”The Convention on Wetlands (Ramsar, Iran, 1971)”, tapi lebih dikenal sebagai Konvensi Ramsar. Konvensi ini adalah perjanjian moderen pertama antar pemerintah dalam bidang konservasi dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap sumberdaya alam. Nama resmi konvensi ini adalah – The Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat – yang menunjukkan bahwa awalnya konvensi ini ditujukan untuk melindungi lahan basah yang menjadi habitat burung air. Selama bertahun-tahun konvensi ini kemudian berkembang dan meluaskan cakupan perhatiannya ke seluruh aspek lahan basah setelah disadari bahwa lahan basah sebagai kumpulan ekosistem yang sangat penting bagi konservasi keanekaragaman hayati secara umum, sekaligus penting untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, penyingkatan nama resmi tersebut menjadi hanya “Konvensi Lahan Basah” atau ”Konvensi Ramsar” menjadi lebih relevan karena burung air hanyalah bagian kecil dari isu yang diusung oleh Konvensi Lahan Basah. Dewasa ini terdapat sejumlah 144 negara yang telah menandatangani Konvensi Ramsar (Ramsar Convention, 2006). Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.” Lahan basah ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan basah, dan
8
pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah (Keppres No 48, 1991). Beberapa produk kebijakan dan institusi yang bergerak dalam isu lahan basah sebagai kesatuan ekosistem masih belum menggunakan istilah/definisi lahan basah sebagai mana mestinya. Meski demikian definisi yang paling luas digunakan terutama jika menyangkut kerjasama internasional adalah definisi Konvensi Ramsar (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Salah satu bagian dari lahan basah menurut definisi Konvensi Ramsar adalah lahan basah pesisir dan laut (marine/coastal wetlands) yang terdiri dari 12 jenis. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia antara lain dataran lumpur atau pasir, terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan laguna. Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah mengenai lahan basah pesisir memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup semua jenis lahan basah yang terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir (NWC for SCS, 2004).
Istilah lahan basah pesisir juga
digunakan dalam menjelaskan rawa gambut dan rawa air tawar disepanjang pesisir timur Sumatera dan Pesisir Kalimantan oleh Hisao Furukawa yang menulis buku mengenai “Coastal Wetlands of Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 1994. 2.2 Kawasan konservasi dan Fungsinya Terdapat lebih dari 140 kategori kawasan konservasi yang dipakai di berbagai negara sehingga terdapat kesulitan dalam mengkomunikasikannya dari satu negara ke negara lain (IUCN, 1994). Oleh sebab itu IUCN menyusun pengelompokan kawasan konservasi menjadi enam kategori seperti berikut: 1.
Strict Nature Reserve/Wildernes Area
2.
National Park
3.
Natural Monument
4.
Habitat/Spesies Management Area
5.
Protected Landscape/Seascape
6.
Managed Resource Protected Area
9
Kategori kawasan konservasi yang dikembangkan IUCN ini merupakan hasil dari proses panjang sejak diperkenalkannya definisi Taman Nasional (National Park) pada tahun 1969. Sedikit berbeda dengan pengelompokan kawasan konservasi yang diterapkan dalam IUCN, istilah ”kawasan konservasi” yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada “kawasan pelestarian alam” yang tercantum dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undangundang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan UU tersebut dapat dibuat batasan bahwa kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk memelihara proses alami antara unsur hayati dan non hayati yang merupakan sistem penyangga kehidupan. Kawasan konservasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: (1) kawasan pelestarian alam dan (2) kawasan suaka alam. Secara detail pembagian tersebut berdasarkan UU No 5 tahun 1990 bisa dijelaskan sebagai berikut: 1. Kawasan Suaka Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ada dua macam yaitu (1) Cagar Alam dan (2) Suaka Margasatwa yang biasanya lebih ditujukan untuk perlindungan satwa. 2. Kawasan Pelestarian Alam, merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam ada tiga macam yaitu: (1) Taman Nasional; (2) Taman Hutan Raya; dan (3) Taman Wisata Alam. Ketentuan mengenai kawasan konservasi cukup detail dijelaskan dalam UU No 5 Tahun 1990, tetapi beberapa peraturan perundang-undangan lain membuat klasifikasi atau istilah yang berbeda.
Undang-undang No 41 tahun 1999
menggunakan istilah ”kawasan hutan konservasi” yang dibagi dalam tiga jenis
10
kawasan yaitu: hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undangundang no 24 Tahun 1994 mengenai Penataan Ruang membagi tiga jenis kawasan yaitu (1) Kawasan lindung; (2) Kawasan budidaya; dan (3) Kawasan dengan peruntukan khusus. Istilah yang juga sering digunakan adalah Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 yang menggunakan istilah ”kawasan lindung” dan membaginya dalam 4 jenis yaitu: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya 2. Kawasan perlindungan setempat 3. Kawasan rawan bencana alam 4. Kawasan suaka alam dan cagar budaya. Perbedaan-perbedaan istilah dan definisi tersebut terkadang menjadi kendala tersendiri dalam pengelolaan sebab setiap istilah didukung oleh dasar argumen yang kuat dan implementasinya biasanya dilakukan oleh sektor yang berbeda. Beberapa upaya harmonisasi antar sektor terus dilakukan sehingga dalam beberapa level pemangku kepentingan misalnya di nasional, daerah, atau tingkat program dapat terjadi kompromi. 2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Memiliki Lahan Basah Pesisir Pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir nasional, yang dalam tulisan ini disingkat ”kawasan konservasi”, berada dalam tanggung jawab pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan.
Meski demikian, baik-buruknya
kondisi dan pengelolaan kawasan konservasi juga sangat tergantung pada kondisi diluar kawasan konservasi yang pengelolaannya berada dibawah pemerintah daerah, departemen-departemen sektor lainnya dalam pemerintahan, kalangan swasta, dan masyarakat umum. Dengan demikian tujuan pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa berdiri sendiri tetapi mempertimbangkan kepentingan di daerah-daerah sekeliling kawasan konservasi. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi diturunkan dari kriteria fungsi kawasan yang terdapat dalam Undang-undang No 5. Tahun 1990 yaitu sebagai
11
pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan secara lestari. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi tersebut adalah (Nitibaskara, 2005): 1. Terwujudnya kegiatan pengelolaan kawasan konservasi dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berazaskan kelestarian. 2. Terjaganya fungsi kawasan konservasi yang optimal bagi kemakmuran masyarakat di dalam dan di sekitarnya, 3. Terkendalinya keseimbangan populasi flora dan fauna hidupan liar dan prosesproses alami di dalam maupun di luar kawasan konservasi. 4. Terkendalinya pemanfaatan flora dan fauna hidupan liar, jasa wisata alam dan lingkungan secara bijaksana dan berkelanjutan untuk kepentingan pembangunan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. 5. Terwujudnya pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang terdapat di dalam kawasan konservasi. Selama sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan besar-besaran dalam paradigma pengelolaan sumberdaya alam.
Hal ini antara lain dipicu oleh munculnya issu
pengelolaan yang baru maupun penemuan-penemuan ilmiah berkaitan dengan sifat biosfisik seperti perubahan iklim.
Perubahan tersebut terjadi di semua tingkat
pengelolaan, internasional, regional, nasional, dan daerah (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004). Perubahan signifikan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia terjadi dalam 5 tahun terakhir yaitu melalui proses desentralisasi pemerintahan. Proses ini dengan sendirinya menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani berbagai konvensi internasional. Hal ini antara lain tercermin dalam salah satu semboyan terkenal yang dihasilkan dari Konverensi Rio 1992 adalah ”think globally, act locally”. Artinya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus bisa melakukan harmonisasi kegiatan dalam memasukkan issue global dalam pengelolaan di tingkat daerah (Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah,
12
2004). Secara umum keterkaitan berbagai isu dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi lahan dapat digambarkan sebagai berikut.
Isu Regional dan Internasional
Kebijakan Nasional
Isu Nasional dan Lokal
Departemen Kehutanan
Pemerintah Pusat (Departemen Sektor)
Kawasan konservasi Lahan Basah Pesisir
Pemerintah Daerah
Kawasan Penyangga
Akademisi dan Peneliti
Sektor Swasta
Masyarakat Adat/Lokal
Gambar 1 Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Sumber: Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi Gambar 1 menunjukkan bagaimana isu pengelolaan di tingkat nasional dan internasional dirangkum untuk menjadi kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya hayati (Rudianto dan Sartono, 2004, Komunikasi Pribadi).
Kebijakan tersebut
selanjutnya diadopsi dan dikembangkan menjadi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi oleh Departemen Kehutanan.
13
Gambar 1. juga memperlihatkan bahwa disekeliling kawasan konservasi terdapat berbagai pemangku kepentingan lain yang juga melakukan kegiatan pengelolaan misalnya: masyarakat lokal yang memungut hasil hutan, pemerintah daerah yang membangun pasar, dan departemen sektor dari pemerintah pusat yang membangun instalasi pengairan. Keseluruhan kegiatan tersebut akan berpengaruh baik langsung maupun tidak ke dalam kawasan konservasi.
Oleh sebab itu,
pengelolaan terpadu menjadi hal yang mutlak untuk mencapai keseimbangan antara kegiatan konservasi dan pemanfaatan oleh semua pemangku kepentingan. Kompleksnya persoalan konservasi disikapi pemerintah dengan mengembangkan berbagai kebijakan termasuk pengelolaan lahan basah nasional yang melibatkan banyak pihak.
Penelitian ini akan memfokuskan pada kebijakan yang berkaitan
langsung dengan pengelolaan lahan basah yang menempatkan Departemen Kehutanan menjadi pemangku kepentingan utama. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian ini difokuskan pada ”kawasan konservasi” yang pengelolaannya didominasi oleh pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan.
Kebijakan
nasional yang dimaksud terdiri atas dasar-dasar hukum yaitu paling tidak 10 Undangundang, 12 Peraturan Pemerintah, 4 Keputusan Presiden, 5 kebijakan nasional berupa Strategi dan Rencana Aksi Nasional seperti yang disajikan dalam Lampiran 1 dan 2. Secara struktural organisasi pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No P.03/Menhut-II/ 2007. Posisi tertinggi dalam pengelolaan adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen) dengan dibantu oleh beberapa Direktur yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan makro pengelolaan kawasan konservasi.
Posisi menengah
adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional yang mengeluarkan kebijakankebijakan meso bagi taman nasional masing-masing.
Posisi selanjutnya adalah
Kepala Bidang (Balai Besar) atau Kepala Seksi yang mengeluarkan kebijakan skala mikro mengenai wilayah atau topik kerjanya masing-masing.
14
2.4 Efektivitas Pengelolaan 2.4.1 Pengertian dan Tujuan Istilah ”pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir” atau disingkat pengelolaan kawasan konservasi, merupakan segala upaya sistematis yang dengan sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam mengelola lahan basah pesisir dalam kawasan konservasi.
Kegiatan
pengelolaan bisa merupakan pelaksanaan atau aksi dari sebuah “kebijakan” dalam diagram analisis kebijakan Dunn (2003) yang berorientasi pada masalah. Prosedur analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah menggunakan metode pemantauan dan evaluasi untuk memahami aksi kebijakan dan hasil-hasilnya. Prosedur ini terletak di paruh sebelah kiri dalam diagram analisis kebijakan dan secara umum disebut sebagai analisis kebijakan yang bersifat retrospektif (Gambar 2).
Prosedur pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai bagian dari analisis
kebijakan untuk memahami ”apa yang terjadi dan perbedaan apa yang dibuat” dari sebuah kebijakan (Dunn, 2003).
Hal yang sama dilakukan dalam penelitian ini
dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan. Secara umum, kegiatan pengelolaan sebagai aksi dan hasil-hasil kebijakan dapat digambarkan sebagai sebuah siklus dari 5 isu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3 meliputi: (1) Konteks yang berisi status dan ancaman yang kemudian melahirkan visi pengelolaan; (2) Perencanaan; (3) Masukan; (4) Proses pengelolaan; (5) Keluaran; dan (6) Hasil (Hockings et al., 2006).
Beberapa istilah-istilah
pengelolaan kawasan konservasi dalam tulisan ini seperti konteks, keluaran, dan hasil adalah istilah yang diadopsi dari Bahasa Inggeris. Istilah aslinya bisa ditelusuri dalam Daftar Istilah seperti disajikan dalam Lampiran 3.
Evaluasi efektivitas
pengelolaan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan yang dilakukan telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan sehingga tujuan dapat dicapai atau tidak. Evaluasi dirasakan semakin
15
perlu belakangan ini ketika prinsip akuntabilitas menjadi isu yang tidak terpisahkan dalam hampir setiap kegiatan yang bersinggungan dengan kepentingan publik. Kinerja Kebijakan Evaluasi
Peramalan Perumusan Masalah
Hasil-hasil Kebijakan
Perumusan Masalah
Masalah Kebijakan
Perumusan Masalah
Masa Depan Kebijakan
Perumusan Masalah Pemantauan
Rekomendasi
Aksi Kebijakan
Gambar 2 Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003) Pelaksanaan evaluasi efektivitas pengelolaan bukan hal yang mudah terutama ketika pihak pengelola menganggap proses evaluasi sebagai proses ”penyidikan” (Hockings et.al., 2006). Oleh sebab itu, penting untuk menetapkan tujuan evaluasi sebagai alat untuk membantu pengelola dalam pekerjaannya, bukan sebagai sebuah cara untuk memata-matai atau menghukum para pengelola yang kinerjanya kurang.
16
Konteks (status dan ancaman) Visi - Misi
Hasil (Outcome)
Perencanaan
Evaluasi
Keluaran (Output)
Masukan
Proses Pengelolaan
Gambar 3 Siklus pengelolaan dan evaluasinya (Hockings et. al. 2006) Semua pihak yang terlibat dalam proses evaluasi sebaiknya memahami bahwa evaluasi harus senantiasa dilihat sebagai sesuatu yang positif dan merupakan proses normal untuk mendukung kegiatan pengelolaan.
Bagaimanapun juga, lembaga
donor, LSM, dan masyarakat umum, punya hak untuk mengetahui pencapaian sasaran dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil
evaluasi tersebut juga sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan advokasi (Hockings et.al., 2006). Oleh sebab itu terdapat paling tidak tiga tujuan evaluasi efektivitas pengelolaan yaitu: (1) Mempromosikan pengelolaan yang adaptif; (2) Meningkatkan kualitas perencanaan kegiatan; (3) Mempromosikan akuntabiltas. Ketiga tujuan ini selanjutnya akan diupayakan tercapai secara utuh melalui hasil evaluasi yang dilakukan dengan baik.
17
2.4.2
Mekanisme Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi dilakukan pada semua tahap dalam siklus pengelolaan sehingga dapat menjawab serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan 3 hal yaitu (kotak 4): 1.
Rancangan isu meliputi (1) konteks, di mana saat ini kita berada, dan (2) perencanaan, yaitu dimana kita seharusnya berada.
2.
Kesesuaian sistem dan proses-proses pengelolaan meliputi (1) masukan, apa yang dibutuhkan, dan (2) proses, yaitu bagaimana kita mencapainya.
3.
Pencapaian tujuan-tujuan kawasan konservasi meliputi (1) keluaran, apa yang telah dilakukan dan produk dan jasa yang dikeluarkan, dan (2) hasil, yaitu apa yang sudah dicapai. Evaluasi yang dilakukan berdasarkan pada pencapaian tujuan merupakan
penilaian yang paling bermanfaat untuk menilai langsung tujuan-tujuan nyata pengelolaan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan ditingkat nasional, daerah, dan lokasi.
Sebagai konsekuensinya, penilaian ini membutuhkan informasi jangka
panjang mengenai kondisi keanekaragaman hayati, budaya, sosial, dan dampak pengelolaan pada masyarakat setempat.
Penilaian berdasarkan pencapaian
merupakan ujian yang sebenarnya dalam menilai efektivitas pengelolaan (Hockings et.al. 2006).
Hal yang sama juga dilakukan dalam penelitian ini dengan
memfokuskan penelitian pada penilaian pencapaian tanpa meninggalkan evaluasi terhadap aspek pengelolaan lainnya yang relevan dengan penelitian. Sejak tahun 1990an beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui prosedur penilaian efektivitas pengelolaan. Studi-studi terakhir mengenai hal tersebut antara lain adalah: 1
Ervin (2003) dari WWF menyusun sebuah pendekatan yang disebut Rapid Assesment and Prioritization Protected Area Management disingkat RAPPAM. Pendekatan digunakan secara luas di seluruh dunia terutama karena sifatnya yang praktis. Indikator yang digunakan relatif mudah untuk diadaptasi pada setiap kawasan konservasi meski dengan karakteristik yang berbeda-beda.
18
2
Pomeroy et. al (2004) dari MPA Management Effectivennes Initiative WCPAIUCN (MPA-MEI) mengembangkan metodologi untuk kawasan konservasi laut. Dibandingkan RAPPAM, pendekatan yang digunakan oleh MPA MEI lebih luas dan menyeluruh sehingga cenderung sulit untuk diaplikasikan secara utuh. Studi menggunakan metoda dari MPA-MEI ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Abbot (2003), tapi hanya mengaplikasikan indikator tata laksana yang baik bagi pengelolaan kawasan konservasi laut untuk daerah perlindungan burung di Northern Mariana Island, Pasifik
3
Staub dan Hatziolos (2004) dari World Bank mengembangkan metodologi yang lebih praktis dibandingkan metodologi MPA-MEI IUCN dan RAPPAM.
4
Belfiore et. al (2003), dari UNESCO mengembangkan metodologi untuk menilai efektivitas pengelolaan pesisir.
Aplikasi dan efektivitas metode ini tidak
diketahui secara luas karena tidak ada lembaga khusus yang ”mengawal” studi tersebut hingga tahap ujicoba. Berbagai pilihan pendekatan tersebut diatas memiliki kelemahan dan kekuatan masing-masing sehingga penggunaannya pun tergantung pada kondisi yang ditemui dilapangan. Penelitian ini memilih untuk menggunakan RAPPAM karena dianggap lebih mudah diaplikasikan untuk kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki karakteristik sangat bervariasi. 2.4.3
Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management
Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM) dikembangkan berdasarkan hasil kajian sebuah gugus tugas yang diberi mandat oleh Komisi Kawasan Konservasi Dunia (WCPA) mengenai kerangka kerja umum dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara konsisten. Kerangka kerja umum yang dikeluarkan oleh WCPA didasarkan penilaiannya pada 6 tahapan dalam siklus pengelolaan yaitu: konteks, perencanaan, masukan, proses, keluaran, dan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 sebelumnya. RAPPAM adalah salah satu metodologi yang berusaha menjabarkan secara konkrit kerangka kerja umum yang
19
telah dikembangkan WCPA tersebut.
Kuesioner RAPPAM dapaat dilihat pada
Lampiran 4. Metode ini telah dikembangkan selama periode 4 tahun dan telah diuji dan dipertajam di sekitar 7 negara (Ervin 2003, Goodman, 2003). Sampai saat ini lebih dari 24 negara telah menggunakannya antara lain untuk menguji jaringan kawasan konservasinya seperti Buthan, China, Finlandia, Russia, Kwazulu-Natal. Penggunaan RAPPAM yang semakin meluas di seluruh dunia membuat pendekatan ini menjadi kaya dengan modifikasi-modifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi masing-masing.
Brazil dengan menggunakan RAPPAM berhasil
mengidentifikasi 3 kebijakan umum yang diakui akurat oleh para pengelola kawasan konservasi
yaitu:
(1)
dalam
bidang
pengelolaan/kelembagaan
yang
merekomendasikan restrukturisasi pengelola berdasarkan kompetensi masing-masing staf dan membentuk mekanisme insentive untuk kegiatan yang ramah lingkungan disekitar kawasan konservasi; (2) dalam bidang konservasi direkomendasikan pembentukan patroli bersama dan pemberian insentive untuk pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola secara pribadi; dan (3) dalam bidang keuangan direkomendasikan pembentukan team yang baru untuk pengelolaan kawasan konservasi (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo, 2004). Kamboja adalah salah satu negara yang telah menerapkan RAPPAM untuk mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi di daerahnya. Kamboja menghasilkan 11 rekomendasi kebijakan yang menekankan pentingnya hubungan antar lembaga dan antar wilayah yang sinergi satu sama lain (Lacerda et al. 2004). Ruang Lingkup Rekomendasi RAPPAM Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bisa dibagi ke dalam beberapa tingkatan kebijakan pengelolaan mulai dari tingkat nasional yang mengelola beberapa kawasan konservasi sekaligus hingga tingkat pengelolan spesies dalam sebuah kawasan konservasi. Kebijakan pengelolaan tersebut jika mengacu pada struktur organisasi pengelolaan kawasan konservasi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P. 03/Menhut-II/2007 dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
20
tingkatan makro, meso, dan mikro. Kebijakan operasional tertinggi adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan kebijakan operasional terendah dikeluarkan oleh Kepala Bagian/Seksi Konservasi Balai Taman Nasional. Rincian pembagian tingkatan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan makro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 1. 2. Kebijakan meso adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 2 atau eselon 3. 3. Kebijakan mikro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 3 atau eselon 4. Pendekatan RAPPAM dapat bekerja lebih baik pada penyusunan kebijakan di level makro sebab RAPPAM didesain untuk melakukan pembandingan diantara setiap kawasan konservasi yang beraneka ragam karakteristiknya (Ervin, 2003). Pendekatan RAPPAM membantu kita dengan mudah mengetahui ancaman apa yang dihadapi oleh sejumlah kawasan konservasi dan seberapa serius ancaman tersebut; kawasan konservasi mana yang lebih baik dalam hal infrastruktur dan kapasitas pengelolanya. Kelebihan-kelebihan RAPPAM untuk membantu penyusunan kebijakan di tingkat makro tidak berlaku pada penyusunan kebijakan mikro.
RAPPAM bisa
digunakan untuk mengetahui nilai penting dan efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Meski demikian RAPPAM tidak memadai untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang adaptif terhadap kondisi detail kawasan konservasi yang dinilainya.
Oleh sebab itu maka rekomendasi kebijakan makro yang dihasilkan
RAPPAM harus ditindak lanjuti dengan mengidentifikasi kebutuhan detail masingmasing kawasan untuk peningkatan kapasitas tersebut, misalnya training pengelolaan modal usaha kecil atau magang bagi staf ke luar negeri.
Tabel 1. Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Dasar Evaluasi
Konteks
Perencanaan
Masukan
Proses
Keluaran
Hasil
Penjelasan
Dimana kita saat ini? Menilai tingkat kepentingan, ancaman dan kebijakan lingkungan
Dimana seharusnya kita berada? Penilaian Rancangan dan Rencana Kawasan konservasi.
Apa yang dibutuhkan? Penilaian sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengelolaan.
Bagaiman kita mencapai tujuan? Menilai cara pengelolaan dilakukan.
Apa saja keluaran? Penilaian pelaksanaan program dan aksi pengelolaan; hasil produk dan jasa.
Apa saja yang telah dicapai? Penilaian hasil dan sejauh mana tujuantujuan yang ditetapkan dapat di capai.
Kriteria yang Dinilai
Nilai penting Ancaman Kerentanan Konteks Nasional
Peraturan perundangundangan dan kebijakan. Rancangan sistem kawasan konservasi
Penyediaan sumberdaya lembaga Penyediaan sumberdaya lokasi Mitra-mitra
Kesesuaian prosesproses pengelolaan
Hasil-hasil aksi pengelolaan Jasa dan produk
Dampak: Pengaruh pengelolaan dalam kaitannya dengan tujuan.
Fokus Evaluasi
Status
Kesesuaian
Sumberdaya
Kesesuaian – Efisiensi
Efektivitas
Kesesuaian Efektivitas
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Kerangka Pemikiran Keterlibatan negara yang diwakili pemerintah dalam pengelolaan kawasan
konservasi telah dimulai sejak hampir 300 tahun yang lalu. Hingga saat ini pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan memiliki kewenangan mengelola hingga 23 juta hektar kawasan konservasi diseluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat, isu yang melingkupi kegiatan konservasi pun menjadi sedemikian besar dan kompleks. Isu tersebut berupa isu internasional seperti tanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan global, isu nasional seperti distribusi kewenangan pengelolaan pusat dan daerah, dan isu lokal seperti pemanfaatan sumberdaya kawasan konservasi bagi masyarakat. Berbagai isu yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi harus dikelola secara secara cermat agar fungsi dan tujuan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari dapat tetap dipenuhi. Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi dituntut untuk melakukan implementasi kebijakan yang efektif dan transparan. Oleh sebab itu upaya evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan menjadi sangat penting untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dalam aksi kebijakan dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Hasil evaluasi yang transparan juga akan membantu masyarakat luas yang ingin memberikan kontribusi aktif dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini bisa disajikan menjadi skema seperti dalam Gambar 4.
Kerangka
pemikiran tersebut dimulai dari kenyataan bahwa kebijakan konservasi nasional disusun sebagai respon terhadap berbagai isu.
Kebijakan tersebut kemudian
dilaksanakan antara lain melalui pengelolaan Taman Nasional yang bertujuan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumberdaya hayati, dan menyediakan sumberdaya untuk dimanfaatkan secara lestari.
Evaluasi terhadap
23
efektivitas pengelolaan dilakukan untuk memperbaiki kegiatan pengelolaan maupun kebijakan konservasi nasional.
Isu Internasional Isu Nasional Isu Lokal
Kebijakan Konservasi Nasional
Strategi Pengelolaan Taman Nasional
Informasi Efektivitas Pengelolaan
Rancangan
Kesesuaian
Rapid Assessment of Protected Area Management (RAPPAM)
Pencapaian
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. 2. Pengawetan sumberdaya hayati 3. Pemanfaatan berkelanjutan
Gambar 4
Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi. Tulisan yang ditebalkan adalah kegiatan utama dalam penelitian yaitu mengumpulkan data RAPPAM, menganalisis data untuk mengetahui efektivitas, dan menyusun rekomendasi strategi pengelolaan Kawasan konservasi.
24
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengkaji pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan
basah pesisir dengan pendekatan studi kasus pada 23 Taman Nasional di seluruh Indonesia.
Proses penelitian mulai dari pengisian kuesioner hingga analisis data
dilakukan di Bogor, antara lain di kantor Pusat Informasi Konservasi Alam Departemen Kehutanan dan Wetlands International - Indonesia Programme. Penelitian berlangsung antara tahun 2004 hingga Juni 2006 meliputi 3 kegiatan utama yaitu: (1) Pengumpulan informasi awal di Pusat Informasi Konservasi Departemen Kehutanan tahun 2004; (2) Analisis data antara tahun 2005 hingga Juni 2006; dan (3) Penyusunan laporan Juni hingga September 2006. 3.3
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan kajian deskriptif – korelasional untuk menggambarkan
secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir, 1983 dalam Harahap, 2001).
Fakta-fakta yang terjadi dilapangan
diklasifikasikan dan dicatat sebagai variabel-variabel yang memiliki nilai berupa skala kuantitatif. Metode penelitian ini menggunakan informasi dari 23 Taman Nasional yang mewakili kawasan konservasi lahan basah pesisir di Indonesia seperti disajikan dalam Gambar 5. Pemilihan Taman Nasional ditujukan karena fungsinya yang lebih terpadu dibandingkan kawasan konservasi lainnya (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) yaitu adanya fungsi pemanfaatan secara berkelanjutan. Fungsi-fungsi lain yang diemban Taman Nasional menurut UU No 5/1990 adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Pengumpulan fakta dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan variabel yang telah ditentukan sebelumnya menggunakan kuesioner (RAPPAM) yang dikembangkan oleh World Wildlife Fund for Nature (WWF).
Gambar 5 Lokasi 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian.
25
26
3.4
Metode Pengumpulan Data Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
Data primer diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh Balai Taman Nasioanl dalam bentuk hasil isian kuesioner RAPPAM. Pengisian kuesioner dilakukan pertama kali di masing-masing Balai Taman Nasional.
Hasil isian tersebut kemudian
dievaluasi dan diisi kembali (disempurnakan) oleh masing-masing Balai Taman Nasional dalam sebuah workshop pengelolaan Taman Nasional di BOGOR tahun 2004. Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Balai Taman Nasional atau Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam yang mengelola Taman Nasional yang memiliki lahan basah pesisir.
Jabatan Kepala Balai diisi oleh individual yang terpilih melalui
proses seleksi yang ketat dalam suatu sistem Personnel Assesment Centre (PAC) Departemen Kehutanan (Rudianto dan Sartono, 2007: Komunikasi Pribadi). Kualifikasi individu yang menduduki posisi tersebut antara lain.: -
Masa kerja rata-rata 16 tahun dengan pangkat III C atau III D.
-
Berada pada posisi senior dalam daftar urut kepangkatan
-
Telah lulus dalam kursus dasar konservasi dan kursus pengelolan konservasi
-
Telah lulus dalam diklat pembina administrasi menengah dan madya
-
Pernah menjadi pejabat eselon dibawahnya, termasuk sebagai asisten Park Manager.
Kualifikasi yang disebutkan diatas menyebabkan Kepala Balai memiliki memiliki kompetensi dan memahami dengan baik isu-isu yang berkembang di lokasi kerjanya masing-masing sehingga dapat menjadi responden dalam pengisian kuesioner RAPPAM.
Nama-nama responden setiap kawasan konservasi disajikan dalam
Lampiran 5. Pemilihan kawasan konservasi dalam penelitian ini dibatasi pada kawasan konservasi yang lahan basah pesisirnya memiliki jumlah atau fungsi yang signifikan bagi kawasan konservasi. Untuk itu pemilihan kawasan konservasi didasarkan pada paling tidak dua kriteria utama yaitu:
27
1. Secara kualitatif (kriteria Ramsar): Memiliki ekosistem lahan basah pesisir terutama mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang merupakan perwakilan ekosistem di wilayah kawasan konservasi tersebut berada. Kawasan tersebut juga harus memiliki nilai penting bagi kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dan memiliki nilai penting biologis secara internasional. 2. Kuantitatif: Memiliki garis pantai yang cukup panjang (> 20 km) Tabel 2. Kawasan konservasi yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah pesisirnya. No
Kawasan konservasi
Provinsi
Kekayaan Lahan Basah Pesisir
1
Siberut
Sumatera Barat
Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove
2
Berbak
Jambi
Rawa gambut, mangrove
3
Sembilang
Sumatera Selatan
Rawa pesisir, mangrove
4
Way Kambas
Lampung
Mangrove
5
Ujung Kulon
Banten
Mangrove, terumbu karang, lamun
6
Kepulauan Seribu
DKI
Terumbu karang, padang lamun
7
Karimun Jawa
Jawa Tengah
Terumbu karang, mangrove, padang lamun
8
Baluran
Jawa Timur
Hutan pantai, rawa pesisir
9
Alas Purwo
Jawa Timur
Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove, lokasi selancar dan surving
10
Meru Betiri
Jawa Timur
Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove, lokasi peneluran penyu
11
Bali Barat
Bali
Mangrove, terumbu karang, lamun
12
Komodo
Nusa Tenggara Timur
Mangrove, terumbu karang, lamun.
13
Manupeu Tanadaru
Nusa Tenggara Timur
Pantai berbatu, garis pantai > 20km
14
Tanjung Puting
Kalimantan Tengah
Mangrove
15
Kutai
Kalimantan Timur
Mangrove
16
Gunung Palung
Kalimantan Barat
Mangrove
17
Taka Bonerate
Sulawesi Selatan
Terumbu karang, lamun
18
Wakatobi
Sulawesi Tenggara
Terumbu karang, lamun
19
Rawa Aopa
Sulawesi Tenggara
Mangrove
20
Bunaken
Sulawesi Utara
Terumbu karang, lamun
21
Teluk Cenderawasih
Papua
Terumbu karang, lamun
22
Wasur
Papua
Rawa pesisir, mangrove
23
Lorentz
Papua
Rawa pesisir, mangrove
28
Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 23 kawasan konservasi yang merupakan perwakilan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir di Indonesia yang menyebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Kedua puluh tiga kawasan konservasi tersebut disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder diperoleh dari Laporan Tahunan Balai Taman Nasional yang berisi informasi kondisi biofisik, ancaman kerusakan, dan beberapa data sosial seperti jumlah kunjungan dan kelembagaan mitra Taman Nasional.
Data ini diperoleh dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan.
Data lain adalah Laporan
Akuntabiltas Tahunan PHKA yang berisi evaluasi internal tentang kinerja PHKA diperoleh dari Dirjen PHKA serta data-data laporan proyek mitra Taman Nasional yang memiliki informasi relevan dengan daerah yang diteliti. 3.5
Metode Analisis Data Tahapan penelitian yang dilakukan mengikuti rekomendasi metode RAPPAM
yang dikembangkan oleh WWF.
Metode RAPPAM sebetulnya menggunakan
pemikiran-pemikiran dasar Hocking (2006) dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Hanya saja metode ini membatasi penilaiannya hingga tahap keluaran (Output), dan tidak sampai pada tahap hasil (outcome) sebagaimana yang disarankan oleh Hockings. Tahapan-tahapan RAPPAM tersebut adalah sebagai berikut: Tahap 1. Menentukan cakupan penilaian Tahap 2. Menilai data dan informasi yang tersedia Tahap 3. Melakukan penilaian cepat dan pengisian kuesioner. Tahap 4. Mengkaji hasil temuan. Tahap 5. Menemukan langkah lanjutan dan rekomendasi Dalam penelitian ini, tahap 1, 2, dan sebagian tahap 3 telah mulai dilakukan dalam penyiapan proposal penelitian.
Sehingga inti proses yang akan dilakukan dalam
penelitian ini adalah tahap 3 dan tahap 4. Tahap tiga dilakukan dengan menyusun kuesioner berupa kumpulan indikator yang akan ditentukan nilainya dalam bentuk skor berdasarkan data dan informasi
29
sekunder sedangkan pengisian dilakukan oleh pengelola Taman Nasional. Terdapat 104 butir pertanyaan yang menjadi acuan dalam RAPPAM dalam upaya memahami efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Tahap tiga yang merupakan tahap inti penelitian ini adalah analisis terhadap data dan informasi yang telah disusun berdasarkan kuesioner seperti disajikan dalam Lampiran 6. Selanjutnya, data dan informasi tersebut akan dianalisis sebagai berikut: 3.5.1
Analisis Tekanan dan Ancaman Istilah “tekanan” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hal-hal yang telah
memberikan dampak yang merusak pada keutuhan kawasan konservasi seperti berkurangnya keanekaragaman hayati, terhambatnya kemampuan berkembang biak, dan berkurangnya luas kawasan.
Ancaman didefinisikan sebagai hal-hal yang
mungkin/akan menekan kawasan konservasi sehingga bisa berdampak buruk bagi keutuhan kawasan. Tekanan dan ancaman bisa berupa kegiatan legal maupun ilegal, yang langsung ataupun tidak langsung berdampak pada kawasan konservasi yang. Terdapat 14 jenis kegiatan yang merupakan tekanan dan ancaman terhadap keutuhan kawasan konservasi antara lain perambahan kawasan, penebangan liar, dan pariwisata. Informasi dari penilaian ancaman dan tekanan terdiri dari 4 bagian yaitu: (1) kecenderungan; (2) luasan; (3) tingkatan dampak; dan (4) lamanya dampak. Kecenderungan merupakan indikasi apakah tekanan yang terjadi semakin meningkat atau menurun dalam lima tahun terakhir dan kecenderungan ancaman untuk terjadi sangat mungkin atau tidak. Luasan menunjukkan cakupan dampak terhadap kawasan konservasi seperti menyebar, terpusat, keseluruhan. Tingkatan dan lamanya dampak menunjukkan tinggi rendahnya dampak dan permanen tidaknya tekanan dan ancaman tersebut. Informasi tersebut disajikan dengan menggunakan paling tidak dua grafik yaitu: (1) grafik yang menunjukkan sebaran tingkat tekanan dan ancaman disetiap kawasan dan (2) perbandingan tingkat tekanan dan ancaman pada masing-masing jenis. Tingkat tekanan dan ancaman masing-masing jenis dibandingkan satu sama lain untuk
30
mengetahui dominansi relatif suatu jenis terhadap jenis yang lain dilakukan dengan menggunakan grafik. 3.5.2
Analisis Nilai Penting Kondisi Biologi, Sosial dan Ekonomi Seperti halnya analisa tekanan dan ancaman, informasi mengenai nilai penting
kondisi biologi, sosial, dan ekonomi akan disajikan dengan menggunakan grafik untuk memahami (1) pola tingkatan nilai penting setiap indikator serta (2) penyebarannya disetiap kawasan konservasi. Nilai penting biologi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Jumlah relatif spesies langka, terancam punah, maupun genting; (2) Jumlah relatif keanekaragaman jenis; (3) Keberadaan spesies-spesies endemik; (4) Fungsi kawasan dalam melindungi proses alami sistem pendukung kehidupan; dan (5) Keterwakilan type ekosistem yang langka. Tabel 3. Penentuan ranking nilai penting biologis kawasan konservasi berdasarkan kekayaan spesies dan tipe ekosistem. Kriteria dan Bobot Total Ikan 18% Burung 18% Tanaman 6% Karang 12% Mamalia 6% Reptil - Ampibi 12% Type Lahan Basah 18% Spesies Terancam 10%
Jumlah Jenis dan Bobot Nilai 1-100
101-200
200-400
401-600
>600
4%
7%
11%
15%
18%
1 – 50
51 – 100
101-150
151-250
>250
4%
7%
11%
15%
18%
1 – 100
101 – 200
201-300
301-400
>400
1%
2%
3%
5%
6%
1 – 20
21 – 100
101 – 200
201 – 300
>300
2%
4%
6%
10%
12%
1 – 20
21 – 50
51 – 100
101 – 150
> 150
1%
2%
3%
5%
6%
1 – 20
21 – 50
51 – 80
81 – 110
> 110
2%
4%
6%
10%
12%
1
2
3
4
-
4%
8%
12%
18%
-
1–6
7 – 10
> 10
-
-
5%
10%
-
-
3% Sumber: Modifikasi UNEP SCS 2004
31
Penelitian ini juga menganalisis informasi kondisi biologis 23 kawasan konservasi yang diperoleh dengan mengkompilasi hasil survey-suvey kekayaan keanekaragaman hayati di berbagai taman nasional berupa jumlah jenis flora, fauna, jumlah type ekosistem lahan basah, dan nilai penting internasional kawasan yang diwakili oleh jumlah jenis yang terancam.
Analisis dilakukan untuk menentukan
ranking nilai penting kondisi biologis setiap taman nasional. Penentuan nilai ranking dilakukan dengan menentukan skor nilai untuk setiap kelas jumlah jenis dan jumlah tipe ekosistem. Nilai skor ini kemudian dibobotkan dan diakumulasikan untuk memperoleh ranking setiap taman nasional. Nilai pembobotan yang digunakan mengadopsi metode yang sama yang dilakukan oleh UNEP/GEF South China Sea Project untuk menentukan site lahan basah pesisir prioritas yang berlokasi di Laut China Selatan. Metode tersebut disajikan dalam Tabel 3. Nilai penting sosial ekonomi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Masyarakat sekitar memiliki ketergantungan tinggi pada kawasan konservasi sebaga sumber penghidupan sehari-hari; (2) Kawasan konservasi memiliki nilai spiritual/keagamaan yang tinggi; (3) Kawasan memiliki jenis-jenis satwa atau tumbuhan yang bernilai sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi; dan (4) Kawasan memiliki nilai yang sangat penting bagi kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah. Nilai penting sosial ekonomi lain yang diamati dalam penelitian ini diambil dari data sekunder berupa data kunjungan wisata dan penerimaan devisa negara dari penjualan satwa lahan basah pesisir. Informasi data sekunder tersebut digunakan sebagai bahan pembanding terhadap data yang diperoleh dari kuesioner RAPPAM.
32
3.5.3
Analisis Efektivitas Pengelolaan Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada empat aspek
pengelolaan kawasan konservasi yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Efektivitas diukur berdasarkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh pengelolaan kawasan konservasi pada masing-masing kriteria yang diamati. Efektivitas Perencanaan Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum yaitu: (1) penetapan tujuan; (2) kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan konservasi. Efektivitas penetapan tujuan menilai sampai sejauh mana tujuan penetapan kawasan konservasi telah mencakup semua keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan keunikan tersebut. Efektivitas penetapan tujuan tersebut juga mencakup penilaian tingat pemahaman pengelola kawasan dan masyarakat disekitar kawasan terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi. Efektivitas kepastian hukum antara lain menilai kuat tidaknya dasar hukum penetapan kawasan konservasi, ada tidaknya persoalan berkaitan dengan kepemilikan lahan dan hak ulayat. Kepastian hukum juga menilai sampai sejauh mana pengelola memiliki hak untuk melakukan upaya-upaya penegakan hukum dalam wilayah kawasan konservasi. Efektivitas desain tapak kawasan menilai kesesuaian desain tapak terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi. berfungsinya
upaya-upaya
pengelolaan
Desain tapak juga harus mendukung kawasan
secara
efektif
termasuk
keterkaitannya dengan daerah-daerah sekelilingnya. Efektivitas Masukan Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu: (1) jumlah dan kualitas staff pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3) ketersediaan infrastruktur; dan (4) kecukupan pendanaan pengelolaan. Efektivitas jumlah dan kualitas staf diukur dengan melihat pemenuhan jumlah staf dibandingkan dengan luasan area dan
33
kesesuaian isu. Efektivitas staf juga menilai tingkat pemenuhan kebutuhan staf seperti gaji, fasilitas kerja, prestise, dan peningkatan kemampuan. Efektivitas penyediaan data dan komunikasi mengukur ketersediaan saluran komunikasi yang efektif antara petugas lapangan dan kantor, maupun dengan masyarakat sekitar. Hal lain yang juga diukur adalah mekanisme yang memadai untuk melakukan pengumpulan dan pemrosesan data kawasan konservasi. Efektivitas ketersediaan infrastruktur mengukur ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, bangunan, serta berbagai peralatan lain untuk mengelola kawasan konservasi. Efektivitas intervensi juga mencakup adanya kegiatan perawatan yang memadai terhadap fasilitas yang ada dan ketersediaan fasilitas yang memadai bagi pengunjung kawasan konservasi. Efektivitas pendanaan mengukur pemenuhan kebutuhan pendanaan selama 5 tahun terakhir dan ketersediaan dana selama 5 tahun kedepan. Kestabilan pendanaan dalam jangka panjang dan kesesuaian alokasi pendanaan dan kebutuhan juga menjadi karakteristik yang diukur untuk memahami efektivitas pendanaan. Efektivitas Proses Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria umum yaitu: (1) ketersediaan rencana detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi.
Efektivitas rencana detail strategi
pengelolaan diukur dengan melihat ada tidaknya kajian kondisi terkini kawasan yang kemudian dijadikan acuan penyusunan rencana kegiatan.
Efektivitas juga diukur
dengan melihat apakah hasil monitoring rutin menjadi dasar evaluasi perencanaan. Efektivitas proses pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat transparansi proses pengambilan keputusan internal pengelola kawasan konservasi. Pengambilan keputusan yang efektif juga dinilai dengan melihat sampai sejauh mana masyarakat sekitar kawasan terlibat aktif dalam proses tersebut. Efektivitas kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi diukur dengan melihat apakah dampak kegiatan legal maupun ilegal terhadap kawasan konservasi terdata
34
dengan baik atau tidak.
Kegiatan yang efektif juga ditunjukkan oleh kesesuian
kegiatan penelitian dengan isue-isue ekologi dan sosial ekonomi yang berkembang dalam kawasan konservasi. Hasil-hasil penelitian, monitoring, dan evaluasi juga harus dengan mudah diakses oleh berbagai kalangan untuk tujuan perbaikan pengelolaan kawasan. Keluaran Keluaran pengelolaan kawasan konservasi adalah pencapaian didapatkan selama 2 tahun terakhir melalui kerja keras staf, sukarelawan, dan masyarakat dalam mengelola kawasan konservasi. Pencapain tersebut diukur dengan membandingkan dengan tekanan dan ancaman, tujuan pembentukan kawasan, dan rencana kerja pengelolaan kawasan. Terdapat sepuluh kriteria pencapaian yang diukur antara lain: (1) pencapain dalam mencegah, mendeteksi, dan menegakkan hukum; (2) pencapaian dalam pelaksanaan rehabilitasi dan mitigasi kerusakan; dan pencapaian dalam kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi kegiatan. Informasi efektivitas pengelolaan yang diperoleh dari RAPPAM kemudian disajikan dalam bentuk grafik untuk melihat kecenderungan pencapaian setiap aspek pengelolaan dan penyebaran pencapaian disetiap kawasan konservasi.
Dengan
demikian akan terdapat paling tidak 4 kelompok grafik yang masing-masing menjelaskan kecenderungan masing-masing aspek pengelolaan tersebut dan 1 grafik untuk menjelaskan kumulatif keempat aspek pengelolan tersebut pada setiap kawasan konservasi. 3.5.4
Analisis Multivariabel Salah satu analisis penting yang dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan
penelitian ini adalah analisis multivariabel. Analisis-analisis sebelumnya dilakukan pada ancaman dan tekanan, nilai penting dan kerentanan, dan efektivitas pengelolaan yang dibuat secara terpisah-pisah sehingga belum memadai untuk memahami gambaran umum mengenai faktor-faktor yang dominan mempengaruhi efektivitas pengelolaan sekaligus menilai tingkat efektivitas pengelolaan saat ini. Oleh sebab itu dibutuhkan pendekatan yang dapat memasukkan semua informasi yang diamati secara
35
bersamaan ke dalam satu analisis tunggal untuk melihat hubungan antara informasi tersebut. Analisis multivariabel yang akan digunakan dalam penelitian ini Analisis Komponen Utama (AKU, Principle Component Analysis) yang diambil dari publikasi Ludwig and Reynolds (1988). Penggunaan AKU dapat membantu untuk mereduksi kerumitan dimensi ruang representasi data tanpa harus kehilangan banyak informasi. Analisis komponen utama akan mendeterminasi dimensi ruang yang paling tepat sehingga dapat menyajikan informasi lebih baik. Hasil analisis multivariabel inilah yang antara lain menjadi dasar pemilihan prioritas strategi pengelolaan dengan menyesuaikan pada kondisi terkini kawasan konservasi dan menyelaraskannya dengan berbagai strategi pengelolaan ekosistem yang telah ada. Aplikasi AKU dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengorganisasi data ke dalam 23 kolom j unit taman nasional (TN) dan sebanyak “n” baris i untuk kriteria taman nasional (KTN) seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Matriks data Taman Nasional dan kriteria penilaiannya Kriteria Penilaian Utama Tekanan dan Ancaman
Nilai Penting dan Kerentanan Biologi, Sosial, dan Ekonomi
Efektivitas Pengelolaan
Kawasan konservasi TN 1
TN 2
TN 3
…
TN 23
Total nilai baris (j)
Pencemaran perairan
x1.1
x1.2
X1.3
..
X1.23
r1
Destructive fishing
x2.1
r2
…dst
x3.1
r3
Sub Kriteria
Spesies langka
..
Nilai agama …dst Penegakam hukum Dukungan masyarakat …dst
xi.1
Total nilai kolom (i)
c1
c2
c3
Tahap 2. Menghitung matriks kesamaan TN dan KTN
..
xi.23
Ri
c23
T = ∑c = ∑r
36
Penghitungan matriks kesamaan KTN (mode R) dilakukan dengan mengalikan matriks A dengan matriks transposenya (At) seperti berikut:
RSxS = ASxN A t NxS Sedangkan penghitungan matriks kesamaan TN (mode Q) dilakukan dengan mengalikan matriks seperti berikut:
Q NxN = A t NxS ASxN Matriks kesamaan mode R dan mode Q masing-masing bisa digunakan secara terpisah untuk mengetahui koordinat dan korelasi dalam Analisis Komponen Utama. Hasil yang diperoleh pun sama sehingga dalam penilitian ini digunakan matiks kesamaan mode R.
Tahap 3. Menghitung akar ciri dan vektor ciri R Akar ciri matriks R yang dilambangkan sebagai λ dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut: RSxS − λI SxS
=0
dimana I adalah matriks identitas. Vektor ciri matriks R yang dilambangkan sebagai ui berasosiasi dengan akar ciri dan dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan seperti berikut:
Ru i = λi u i Tahap 4. Normalisasi vektor ciri Normalisasi vektor ciri dilakukan sedemikian rupa sehingga nilai perkaliannya = 1.
utiui = 1 Tahap 5. Menghitung korelasi KTN Korelasi antar kriteria taman nasional atau koordinatnya, v, dapat dihitung dengan membandingkannya dengan vektor ciri, u, seperti berikut:
vi = ui √λi dalam notasi matriks, persamaan diatas bisa dituliskan sebagai berikut:
Vsxs = UsxsΛsxs
37
Dimana V adalah korelasi kriteria taman nasional dengan taman nasionalnya sedangkan Λ adalah matriks dengan nilai λi pada diagonalnya dan nol pada nilai lainnya.
Tahap 6. Menghitung koordinat TN Koordinat KTN diperoleh dengan mengalikan matriks transpose A dengan vektor ciri korespondennya yang dalam matriks notasi dituliskan sebagai berikut: YNx3 = AtNxS Usx3 Dimana baris Y adalah koordinat untuk taman nasional pada 3 sumbu pertama AKU. 3.5.5
Analisis Gerombol Karakteristik yang diamati dalam pendekatan RAPPAM adalah karakteristik
pengelolaan kawasan konservasi secara luas yang terdiri dari beberapa kawasan konservasi. Meski RAPPAM bisa diterapkan pada satu kawasan konservasi tunggal pendekatan RAPPAM tidak dirancang untuk memberikan rekomendasi kebijakan setingkat kawasan konservasi tunggal (Ervin, 2003). Oleh sebab itu rekomendasi kebijakan yang dihasilkan juga bersifat rekomendasi untuk sekumpulan kawasan konservasi yang diamati, tidak dikhususkan pada kawasan konservasi tertentu. Kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini sangat beragam sehingga dilakukan analisis gerombol (cluster analysis) untuk mengelompokkan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik biologisnya. Pengelompokan tersebut selanjutnya digunakan untuk menerjemahkan setiap rekomendasi umum yang diperoleh dari RAPPAM menjadi rekomendasi yang sesuai untuk masing-masing kelompok kawasan konservasi dengan ciri khasnya masing-masing. Analisis gerombol dilakukan dengan mengelompokkan sejumlah pengamatan ke dalam dua atau lebih kelompok berdasarkan jarak euclidean yang diperoleh dengan membandingkan nilai karakteristik masing-masing titik pengamatan (kawasan konservasi). Jarak euclidean antara dua titik pengamatan (p,q) dapat digambarkan sebagai berikut (Ludwig and Reynolds, 1988):
38
Jarak euclidean antara satu pengamatan dengan pengamatan lain kemudian dikelompokkan berdasarkan jarak terdekat. Jarak rata-rata antara kelompok baru ini dengan kelompok lainnya kemudian diukur kembali untuk membuat kelompok baru yang lebih besar. Proses ini disebut penghirarkian yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai tingkat kedekatan setiap kelompok pengamatan (Ludwig and Reynolds, 1988). 3.5.6
Analisis Diskriminan
Pengujian terhadap tepat tidaknya pengelompokan yang dilakukan melalui analisis gerombol dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan. Analisis diskriminan merupakan tehnik yang digunakan untuk mengelompokkan sekumpulan pengamatan kedalam kelas-kelas yang telah didefinisikan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui kelompok sebuah pengamatan berdasarkan sekelompok peubah yang disebut sebagai penduga (predictor) atau variabel input.
Model ini disusun
berdasarkan sekelompok pengamatan yang kelas-kelasnya telah diketahui sehingga bisa dibentuk sebuah fungsi linier dari predictor. Fungsi linier tersebut dikenal sebagai fungsi diskriminan yang bisa dituliskan sebagai berikut:
L = b1x1 + b2x2 + … + bnxn + c dimana b adalah koefisien diskriminan sedangkan x adalah variabel input atau predictor, dan c adalah konstan. Fungsi diskriminan ini digunakan untuk memperkirakan kelas sebuah pengamatan yang belum diketahui kelasnya dengan cara memasukkan variabel input kedalam fungsi diskriminan. Kelas pengamatan akan ditentukan oleh fungsi diskriminan yang memberikan nilai paling tinggi.
4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir yang dalam tulisan ini disingkat menjadi ”kawasan konservasi” bisa ditemui di hampir setiap wilayah Indonesia. Taman Nasional (TN) adalah salah satu bentuk kawasan yang dikelola untuk tujuan konservasi yang hingga tahun 2006 jumlahnya telah mencapai 50 kawasan luas sekitar 16,38 juta ha (Dephut, 2006). Paling tidak terdapat 23 diantara taman nasional tersebut memiliki lahan basah pesisir dengan luasan dan fungsi yang signifikan sebagai sistem pendukung kehidupan bagi wilayah sekeliling taman nasional.
Jumlah 23 tersebut belum termasuk lahan basah pesisir di kawasan
konservasi tipe lainnya seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. Hingga saat ini belum ada informasi atau pemetaan khusus untuk mengetahui luas lahan basah pesisir maupun ekosistem-ekosistem lainnya dalam taman nasional. Kewenangan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dilakukan oleh pemerintah secara terpusat melalui Departemen Kehutanan.
Meski demikian
kebijakan pemerintah lokal dan pemangku kepentingan di daerah dalam mengelola wilayah sekeling kawasan konservasi secara langsung berpengaruh pada kondisi di dalam kawasan konservasi. Kondisi tersebut disikapai oleh Departemen Kehutanan dengan mengembangkan pendekatan pengelolaan kolaboratif sehingga para pemangku kepentingan di daerah bisa mengambil bagian dalam pengelolaan kawasan konservasi (Kepmenhut No P.19/2004). 4.1
Pengelompokan Kawasan Konservasi Berdasarkan Jenis Ekosistem yang Dominan Pengelompokan kawasan konservasi lahan basah pesisir berdasarkan tipe
ekosistemnya merupakan salah satu cara untuk membantu pengelolaan kawasan konservasi
secara
lebih
efektif.
Departemen
Kehutanan
secara
umum
mengelompokkan kawasan konservasi menjadi dua yaitu: Kawasan Konservasi Daratan dan Kawasan Konservasi Laut. Pembagian ini masih sangat umum terutama jika dikaitkan dengan pengeloaan kawasan yang arus berdasarkan ekosistem dominan.
40
Pengelompokan ini juga menjadi hal yang penting dalam menyusun strategi pengelolan berdasarkan hasil-hasil RAPPAM karena RAPPAM sendiri tidak secara khusus melakukan pembedaan tipe ekosistem dalam questionernya. Berdasarkan karakteristik masing-masing kawasan konservasi pada Tabel 2 maka secara kualitatif pengelompokan dapat dilakukan lebih detail berdasarkan tipe ekosistem yang mendominasi suatau kawasan konservasi seperti berikut: Tabel 5. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem lahan basah yang dominan. Kriteria pengelompokan Dominan rawa pesisir
Kawasan konservasi
mangrove,
Berbak, Sembilang, Way Kambas, Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, Rawa Aopa, Wasur, Lorentz
terumbu
Kepulauan Seribu, Komodo, Bunaken, Taka Bonerate, Wakatobi.
Dominan hutan pantai, pantai berpasir, dan tebing pantai berbatu
Siberut, Baluran, Meru Betiri, Alas Purwo, Manupeu Tanadaru.
Gabungan mangrove, terumbu karang
Ujung Kulon, Cenderawasih.
Dominan karang
Karimun
Jawa,
Bali
Barat,
Teluk
Sumber data: Departemen Kehutanan 2007, Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia
Tabel 5 menunjukkan bahwa 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian ini dapat dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan tipe ekosistem yang dominan.
Setiap kelompok memiliki kebutuhan tersendiri dalam pengelolaan
kawasannya sehingga pengelompokan ini selanjutnya akan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam mengidentifikasi isu pengelolaan yang penting beserta alternatif pengelolaannya. 4.2
Karakteristik Biologi Salah satu dasar penetapan sebuah kawasan konservasi adalah berdasarkan
karakteristik-karakteristik biologisnya yang penting seperti kekayaan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, dan fungsi perlindungannya terhadap spesies-spesies terancam punah, bernilai penting, dan khas.
Secara tradisional karakteristik ini
mendominasi dasar penetapan hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
41
Karakteristik biologi yang menjadi perhatian dalam penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi ini dibedakan menjadi 10 macam seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Secara umum terlihat bahwa karakteristik biologi yang paling
menonjol pada kawasan konservasi adalah kandungan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, populasi minimum spesies, dan keterwakilan skala keanekaragaman hayati. Karakteristik biologi yang paling rendah nilai pentingnya adalah tipe ekosistem yang tersisa.
Nilai Penting
5 4 3 2
Tipe ekosistem yang tersisa
Pemeliharaan proses alami
Kesesuaian sejarah
Spesies endemik
Fungsi kritis
Spesies terancam
Skala kehati
Populasi minimum spesies
Keterwakilan ekosistem
-
Kandungan kehati
1
Karakteristik Ekologi
Gambar 6 Grafik nilai penting karakteristik biologis kawasan konservasi di Indonesia. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan konservasi menempatkan kandungan keanekaragaman hayati sebagai bagian yang paling penting untuk menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Kandungan
keanekaragaman hayati dianggap lebih penting dibandingkan keberadaan spesies endemik atau spesies yang terancam punah. Hal ini masih wajar karena kawasan konservasi yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah taman nasional yang peruntukannya sebagai kawasan pelestarian alam, bukan kawasan suaka alam seperti cagar alam dan suaka margasatwa yang lebih ditujukan untuk perlindungan floran dan fauna yang terancam punah. Nilai biologis yang tinggi yang disajikan pada Gambar 6 sebetulnya sejalan dengan hasil survey-survey inventarisasi keanekaragaman hayati yang menunjukkan bahwa kandungan keanekaragaman hayati lahan basah Indonesia adalah salah satu yang terkaya di dunia. Sekitar 8.500 spesies ikan dari 19.000 spesies yang ada di
42
seluruh dunia bisa ditemukan di Indonesia. Sedangkan untuk amphibi, dari 4.200 spesies yang ada di seluruh dunia, sekitar 1.000 spesies bisa ditemukan di Indonesia (Bappenas, 1993). Ikan, amphibi, dan terumbu karang adalah flora dan fauna yang khas hidup di lahan basah. 5
4 3.5 3 2.5
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Sembilang
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
2 Berbak
Nilai Penting Ekologis
4.5
Hutan Pantai
Gambar 7 Grafik nilai penting karakteristik biologis di 23 kawasan konservasi Nilai penting biologis setiap kawasan konservasi cukup bervariasi seperti yang disajikan dalam Gambar 7. Taman nasional yang memiliki nilai penting karakteristik biologi yang tinggi adalah Taman Nasional Sembilang, Ujung Kulon, Karimun Jawa, Meru Betiri, Wasur, Rawa Aopa dan Lorentz. Sedangkan kawasan konservasi yang memiliki nilai yang rendah antara lain Taman Nasional Kepulauan Seribu, Tanjung Puting, Taka Bonerate, Wakatobi, dan Bunaken.
Secara umum terlihat bahwa
kawasan konservasi laut (terumbu karang) dianggap memiliki nilai penting karakteristik biologi yang lebih rendah dibandingkan kawasan konservasi tipe ekosistem lainnya.
Nilai Penting Biologis Berdasarkan Hasil Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Penelitian ini juga menyusun skala proritas pengelolaan yang didasarkan pada data obyektif yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber seperti disajikan dalam Tabel 6 berikut.
43
Tabel 6. Karakteristik keanekaragaman hayati flora dan fauna 23 kawasan konservasi di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai sumber. No
NP
Fish
Birds
Plants
Corals
Mammals
Reptile Amphibi
Wetlands
Migratory
Endemic
Endangered
1
SR
10
134
896
10
31
21
3
nd
36
9
2
BK
116
337
261
0
28
51
4
22
nd
22
3
SL
51
300
20
0
35
19
4
nd
nd
36
4
WK
10
406
35
0
50
3
3
nd
nd
15
5
UK
142
242
700
33
40
81
4
nd
nd
6
6
KS
211
17
32
257
1
5
2
nd
nd
2
7
KJ
290
54
173
90
6
18
3
nd
nd
3
8
BL
10
155
444
10
26
4
3
nd
nd
3
9
AP
33
236
190
10
27
20
3
16
nd
4
10
MB
10
184
518
10
29
11
3
nd
nd
4
11
BB
226
105
175
110
200
4
3
nd
nd
4
12
KM
1000
111
200
260
34
37
3
nd
nd
4
13
MT
nd
87
118
nd
nd
nd
nd
14
nd
14
TP
10
221
20
0
38
7
3
nd
7
5
15
KT
10
215
20
0
74
4
3
nd
nd
5
16
GP
10
248
20
0
140
5
3
nd
nd
5
17
TB
350
2
7
261
3
6
2
nd
nd
3
18
WT
430
11
25
125
9
9
1
nd
nd
1
19
RA
11
163
323
0
18
10
2
nd
37
6
20
BN
1000
81
55
380
15
13
2
nd
nd
5
21
TC
1223
37
46
600
64
4
2
nd
nd
7
22
WS
39
403
20
0
80
21
3
nd
32
2
23 LZ 1000 650 200 0 141 150 3 nd 45 Keterangan: 1. Kolom yang menunjukkan diberi warna gelap menunjukkan angka estimasi untuk memudahkan perhitungan. 2. nd = tidak terdapat data
1
44
Secara umum Tabel 6. sulit untuk memberi kita gambaran kawasan konservasi mana yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang relatif tinggi. Tabel 6 justru menunjukkan bahwa kekayaan keanekaragaman hayati setiap kawasan konservasi memiliki kekhasan jumlah spesies tertentu dan tidak ada yang keanekaragaman hayatinya mendominasi semua kategori spesies. Teluk Cendrawasih (TC) memiliki spesies karang dan ikan paling tinggi, Lorentz (LZ) paling banyak memiliki spesies burung, reptile dan mamalia, Ujung Kulon (UK) untuk spesies tumbuhan, Bali Barat (BB) untuk mamalia, dan Sembilang (SL) memiliki jumlah spesies terancam paling tinggi. Menyikapi kesulitan yang ditemukan dalam memahami sebaran data tersebut maka dilakukan penentuan skor atau pembobotan nilai dalam Tabel 6. Penentuan skor masing-masing kawasan konservasi dilakukan dengan membuat pembobotan pada masing-masing kelompok kriteria keanekaragaman hayati seperti yang disajikan dalam Tabel 7. Lima kawasan konservasi pertama yang memiliki nilai penting biologis yang tinggi adalah: Berbak, Ujung Kulon, Komodo, Sembilang, dan Lorentz. Berbak dan Sembilang terletak di pesisir timur Sumatera merupakan lahan basah pesisir yang dicirikan oleh hutan rawa tawar, mangrove, dan gambut. Kedua kawasan tersebut sudah sejak lama teridentifikasi sebagai kawasan rawa gambut dan rawa mangrove terbaik di Indonesia. Sedangkan Ujung Kulon terletak di Pulau Jawa dan merupakan lahan basah pesisir yang dicirikan oleh adanya spesies badak. Ujung Kulon memiliki nilai strategis karena merupakan salah satu dari sedikit kawasan konservasi yang relatif terjaga kondisi keanekaragaman hayatinya di Pulau Jawa.
Tabel 7. Nilai skor kekayaan keanekaragaman hayati 23 kawasan konservasi di Indonesia Rawa Pesisir dan Mangrove
Taman Nasional BK
SL
WK
TP
KT
GP
RA
WS
LZ
Mangrove - Terumbu Karang UK KJ BB TC
Terumbu Karang KS
Hutan Pantai
KM
TB
WT
BN
SR
BL
AP
MB
Fish
7
4
4
4
4
4
4
4
18
7
11
11
18
11
18
11
15
18
4
4
4
4
Birds
18
18
18
15
15
15
15
18
18
15
7
11
4
4
11
4
4
7
11
15
15
15
Plants
3
1
1
1
1
1
5
1
2
6
2
2
1
1
2
1
1
1
1
6
2
6
Corals
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
4
6
12
10
10
10
6
12
2
2
2
2
Mammals
2
2
2
2
3
5
1
3
5
2
6
6
3
1
2
1
1
1
2
2
2
2
Reptile - Amphibi
6
2
2
2
2
2
2
4
12
10
2
2
2
2
4
2
2
2
4
2
2
2
Wetlands
18
18
12
12
12
12
8
12
12
18
12
12
8
8
12
8
4
8
12
12
12
12
Endan-gered
10
10
10
3
3
3
3
3
3
3
3
3
5
3
3
3
3
3
5
3
3
3
Jumlah
64
55
49
39
40
42
38
45
70
65
47
53
53
40
62
40
36
52
41
46
42
46
Ranking
3
5
9
20
17
14
21
13
1
2
10
6
7
18
4
19
22
8
16
11
15
12
Rata-rata
49.11
54.50
40.00
43.75
Keterangan: 1. Data asli jumlah spesies per kawasan konservasi dikompilasi dari berbagai sumber yaitu: a. Wetlands Data Base, Wetlands International Indonesia Programme b. Important Bird Area (IBA), Birdlife International. www.birdlife.org; www.burung .or.id c. Pusat Informasi Konservasi Alam, PIKA Departemen Kehutanan d. Park of Indonesia, ASEAN sub-regional economic growth area, www.eaga.org.bn e. Operation Wallacea (TN. Wakatobi). www.opwall.com f. Coremap (TN. Takabonerate). www.coremap.or.id g. Komodo National Park (www.komodonationalpark.org) h. 41 Taman Nasional di Indonesia, PHKA-TNC. i. Lumba-lumba Diving, www.lumbalumbadiving.com 2. Penentuan ranking menggunakan metode skoring yang diadopsi dari UNEP SCS Wetlands Sub Component, 2004. 3. Data yang ditebalkan dan diberi bayangan adalah data yang merupakan nilai maksimal. 4.Taman Nasional Manupeu Tanadaru tidak dimasukkan dalam perhitungan karena datanya sangat minim.
45
46
Hasil pembobotan nilai data keanekaragaman hayati kawasan konservasi menunjukkan bahwa terdapat variasi nilai keanekaragaman hayati yang sangat besar antara satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya. Hal ini bisa terlihat pada data skor nilai yang terkecil yaitu TN Wakatobi yang hanya memiliki skor 36 dan TN Lorentz yang memiliki skor 70. Variasi yang besar ini memudahkan kita untuk mengurutkan prioritas pengelolaan 23 kawasan konservasi. Nilai ranking kawasan konservasi yang dilakukan berdasarkan data hasil inventarisasi seperti yang disajikan pada Tabel 7 memiliki kecenderungan kesamaan pada 10 kawasan konservasi prioritas pertama menurut kriteria RAPPAM. Meski demikian, penghitungan korelasi hasil analisis data keanekaragaman hayati dan hasil RAPPAM memberikan angka korelasi yang sangat kecil (<60%).
Hal ini
menyebabkan kesulitan untuk menjadi dasar penentuan prioritas pengelolaan yang didasarkan pada nilai penting biologis. Terdapat dugaan kuat ketidakkonsistenan ini berasal dari ketidakmemadaian data yang tersedia. Data yang berasal dari kawasan konservasi yang menjadi wilayah kerja sebuah proyek khusus –biasanya dilakukan oleh LSM Internasional- akan melimpah sehingga menghasilkan jumlah spesies yang besar. Hal ini dengan mudah terlihat pada data spesies ikan dan karang yang lengkap dari TN Teluk Cendrawasih sebab sebuah proyek yang difasilitasi Conservation International tengah bekerja di sana menginventarisasi ikan dan karang. Kelengkapan data TN Teluk Cenderawasih hanya terjadi pada ikan dan karang, tapi tidak pada spesies burung dan tumbuhan. Ketiadaan data ini tidak berarti TN Teluk Cenderawasih tidak memiliki burung, tapi lebih disebabkan oleh tidak adanya proyek khusus menginventarisasi hal tersebut.
Hal sebaliknya terjadi pada TN
Manupeu Tanadaru, dimana Birdlife International bekerja dengan spesialisasi burung dan preferensi habitatnya. Kondisi ini menyebabkan TN Manupeu Tanadaru memiliki kelengkapan informasi mengenai data burung dan tanaman. Data-data hasil inventarisasi kekayaan sumberdaya hayati kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Tabel 6 dan 7 belum memadai untuk menjadi referensi tunggal penentuan prioritas nilai penting biologis kawasan konservasi. Untuk itu diperlukan upaya terus menerus berbagai pihak untuk melengkapi data tersebut diatas
47
yang kemudian digabungkan dengan informasi-informasi persepsi para pemangku kepentingan yang antara lain bisa diperoleh dari kuesioner RAPPAM. Gabungan informasi tersebut akan memandu kita untuk memperoleh urutan ranking yang mendekati kebenaran mengenai nilai penting biologis setiap kawasan konservasi. Informasi yang disajikan dalam Tabel 6 dan 7 juga memberikan kita peluang untuk melakukan pengelompokan kawasan konservasi dengan menggunakan analisis
gerombol terhadap data keanekaragaman hayati masing-masing kawasan.
Hasil
analisis tersebut disajikan dalam Gambar 8 yang memperlihatkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi yaitu kelompok dominant terumbu karang, kelompok kombinasi hutan pantai dan mangrove, dan kelompok dominan rawa dan mangrove. analisis
diskriminan
terhadap
pengelompokan
tersebut
menunjukkan
Hasil bahwa
pembagian menjadi 3 kelompok sudah tepat berdasarkan data yang tersedia. Dendrogram 35
30
Dissimilarity
25
20
15
10
5
0
Gambar 8 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan keanekaragaman hayatinya. Hasil pendekatan analisis gerombol yang disajikan dalam Tabel 8 disarikan dari Gambar 8 yang memberikan gambaran yang sekilas terlihat berbeda dengan pengelompokan pada Tabel 5 sebelumnya. Meski demikian jika diamati lebih dekat terlihat bahwa pada dasarnya kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dimana
48
analisis gerombol memperjelas kawasan konservasi yang dominan terumbu karang sedang pengelompokan dalam Tabel 8 memperjelas pengelompokan kawasan yang dominan mangrove. Tabel 8. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan Kelompok
Kawasan Konservasi
Jenis Ekosistem
I
Karimun Jawa, Bali Barat, Wakatobi, Kepulauan Seribu, Taka Bonerate, Komodo, Bunaken, Teluk Cenderawasih.
Dominan karang
II
Lorentz, Sembilang
Kombinasi pesisir mangrove
rawa dan
III
Ujung Kulon, Berbak, Siberut, Gunung Palung, Wakatobi, Wasur, Alas Purwo, Meru Betiri, Tanjung Puting, Kutai, Baluran, Rawa Aopa (subgrup 1);
Kombinasi pantai mangrove
hutan dan
terumbu
Pengelompokan pada Tabel 5 yang saling melengkapi dengan pengelompokan Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum kawasan konservasi lahan basah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 4 kelompok besar yaitu: kelompok mangrove, kelompok hutan pantai, kelompok terumbu karang, dan kelompok campuran terumbu karang dan mangrove. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang umumnya ditujukan pada perlindungan fungsi-fungsi biologis sebaiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan spesifik masing-masing kelompok yaitu: mangrove, hutan pantai, terumbu karang, dan kombinasi beberapa type ekosistem. 4.3
Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik lain yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi
adalah nilai penting sosial ekonomi. Karakteristik ini baru disadari nilai pentingnya dalam 20-30 tahun terakhir sebab secara tradisional penetapan suatu kawasan konservasi awalnya lebih didasarkan pada nilai penting biologis. Munculnya berbagai persoalan yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi yang ternyata bermuara
49
pada isu sosial ekonomi membuat karakteristik sosial ekonomi menjadi salah satu bagian penting dalam perencanaan pengelolaan kawasan konservasi. 5 Nilai Penting
4 3 2
Nilai spiritual
Penyedia pekerjaan
Tumbuhan penting
Rekreasi
Panorama
Penyedia sumberdaya alam
Pemanfaatan lestari
Satwa penting
Manfaat dan jasa ekosistem
-
Nilai ilmiah dan pendidikan
1
Karakteristik Sosial Ekonomi
Gambar 9 Grafik nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi. Karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi adalah karakteristik yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Hasil penilaian yang disajikan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi tidaklah begitu tinggi yaitu umumnya di bawah nilai 4. Karakteristik yang relatif tinggi adalah nilai ilmiah dan pendidikan, jasa ekosistem, satwa penting, dan pemanfaatan lestari. Meski demikian, saat ini para pengelola Kawasan konservasi mulai melihat kawasannya sebagai sesuatu yang dapat memberikan keuntungan ekonomis terutama dari jasa ekosistem atau pemanfaatan secara lestari. Beberapa kawasan konservasi bahkan secara serius mengkomersilkan daya tarik khasnya seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Bunaken, dan Bali Barat. Karakteristik sosial ekonomi yang nilainya kecil adalah sebagai penyedia pekerjaan. Lokasi kawasan konservasi yang umumnya jauh dari pemukiman serta adanya batasan untuk merambah kawasan konservasi merupakan salah satu penyebab minimnya aktifitas untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara ekonomis. Kondisi ini tidak terjadi pada beberapa kawasan konservasi seperti yang tersaji dalam Gambar 10. Taman Nasional Komodo adalah salah satu pengecualian antara lain
50
disebabkan adanya LSM Internasional yang mengembangkan usaha pariwisata sehingga memungkinkan tersedianya lapangan pekerjaan. Hal yang sama terjadi pada Taman Nasional Pulau Seribu yang keberadaannya memiliki nilai penting sebagai penyedia pekerjaan karena letaknya tumpang tindih dengan wilayah pemukiman daerah penangkapan ikan dan budidaya laut (marikultur) masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu. Karakteristik sosial ekonomi lain yang memiliki nilai relatif kecil adalah nilai spiritual kawasan. Tujuan awal pembentukan taman nasional lebih didominasi oleh isu keanekearagaman hayati yang dikelola melalui Departemen Kehutanan.
Oleh
sebab itu isu nilai spiritual yang melekat pada suatu kawasan cenderung tidak menjadi perhatian khusus bagi Departemen Kehutanan untuk menjadi dasar pembentukan kawasan konservasi. Perlindungan suatu kawasan yang bernilai spritual umumnya dilakukan melalui otoritas pemerintah yang bergerak dalam isu kebudayaan atau pariwisata. 4.5
3.5 3 2.5 2 1.5
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
1 Sembilang
Nilai Penting Sosial Ekonomis
4
Hutan Pantai
Gambar 10 Grafik nilai penting sosial ekonomi 23 kawasan konservasi di Indonesia. Setiap kawasan konservasi memiliki nilai penting sosial ekonomi dan biologi yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 10. Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya perbedaan letak geografis maupun interaksi antara kawasan konservasi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekelilingnya. Kawasan konservasi yang dinilai
51
memiliki karakteristik sosial ekonomi paling menonjol adalah Taman Nasional Sembilang, Wasur dan Lorentz, Ujung Kuloan, Karimun Jawa dan Bali Barat, Komodo dan Bunaken, Alas Purwo dan Meru Betiri. Karakteristik sosial ekonomi yang menonjol dari keempat kawasan konservasi ini adalah karena memiliki tumbuhan dan satwa penting, panorama yang indah, dan jasa-jasa ekosistem. Kawasan yang memiliki nilai penting ekonomi yang rendah adalah Taman Nasional Kutai. Ditinjau secara kelompok, kawasan konservasi yang didominasi oleh tipe ekosistem hutan pantai cenderung memiliki nilai penting ekonomi yang rendah seperti Siberut, Baluran, Manupeu Tanadaru. Letaknya yang cukup jauh dari aktifitas perekonomian nasional (Siberut dan Manupeu Tanadaru) atau terdapat aktifitas ekonomi yang lebih menarik ketimbang memanfaatkan kawasan konservasi seperti yang terjadi di Baluran dan Kutai yang berada dekat pertumbuhan ekonomi maupun dekat wilayah kaya akan sumberdaya mineral menyebabkan kawasan-kawasan tersebut dipandang sebagai kawasan yang memiliki nilai ekonomi relatif rendah. Anggapan bahwa Taman Nasional Kutai memiliki nilai ekonomi yang rendah mungkin juga menjadi penyebab semakin menyusutnya luasan kawasan konservasi Taman Nasional Kutai. Suaka Margasatwa Kutai ketika ditetapkan pada tahun 1934 luasnya dua juta hektare kemudian berkurang menjadi 306.000 hektare pada tahun 1957, menyusut lagi menjadi 200.000 hektar pada tahun 1971 dan tersisa 198.604 hektare pada tahun 1991 sejak ditetapkan menjadi Taman Nasional Kutai (Rahmiyati, 2006). Secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 9, masih lebih rendah dibandingkan karakteristik biologisnya yang ditunjukkan dalam Gambar 6. Penilaian yang lebih tinggi terhadap nilai biologis dibanding nilai ekonomis ini berkaitan erat dengan tujuan awal pembentukan kawasan konservasi yang lebih memfokuskan pada perlindungan ekosistem seperti yang disepakati dalam kriteria IUCN 1969 (Wiratno et al. 2001). Oleh sebab itu secara tradisional pemangku kepentingan akan menilai kawasan konservasi sebagai tempat yang memiliki nilai biologis yang lebih tinggi dibandingkan nilai ekonomis.
52
Informasi mengenai kekayaan spesies ini memerlukan perhatian sebab kekayaan sumberdaya hayati justru merupakan kekayaan yang bernilai ekonomis yang jika dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Indikasi mengenai hal tersebut ditunjukkan dalam Gambar 15 dimana karakteristik ekonomi yang dinilai tinggi dalam penelitian ini adalah satwa penting dan pemanfaatannya secara lestari. Hal ini ditunjang oleh statistik resmi Departemen Kehutanan (2004) yang memperkirakan perolehan devisa dari ekspor fauna lahan basah pesisir yaitu buaya dan koral lebih dari US$ 550 ribu pada tahun 2004. Sedangkan total devisa negara dari ekspor flora dan fauna adalah US$ 15 juta (Rp 135 miliar). Jumlah ini, walaupun relatif kecil, mengalami peningkatan drastis dari tahun ke tahun yang jika dikelola secara profesional bisa menunjang pengelolaan kawasan konservasi secara mandiri. Sebagai ilustrasi pembanding, realisasi pengeluaran anggaran konservasi alam oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan pada tahun 2003 adalah sekitar Rp 253 miliar.
Jumlah Turis Asing
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 11 Jumlah pengunjung turis asing ke 23 kawasan konservasi. Sumber: Dephut 2004 Kegiatan lain yang menjadi komponen penilaian karakteristik sosial ekonomi adalah pariwisata.
Kegiatan ini sebetulnya salah satu cara paling populer dalam
pemanfaatan secara lestari Kawasan konservasi. Meski demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap nilai penting karakteristik pariwisata masih belum setinggi penilaian karakteristik sosial ekonomi yang lain.
Kecenderungan
jumlah wisatawan asing ke kawasan konservasi yang semakin meningkat
53
menunjukkan adanya peluang pengembangan pariwisata di kawasan konservasi. Gambar 11 memperlihatkan bahwa jumlah wisatawan asing meningkat drastis dari tahun 2000 ke tahun 2001 kemudian menurun drastis pada tahun 2002 - 2003. Jumlah ini kemudian meningkat kembali pada tahun 2004 (Dephut, 2004). Penurunan drastis dari tahun 2001 ke tahun 2003 berimbas dari kondisi keamanan dalam negeri akibat bom Bali tahun 2002 dan situasi dunia yang sedang berperang melawan terorisme.
Meski demikian masyarakat dunia saat ini sudah semakin
beradaptasi terhadap situasi keamanan global dan geliat kebangkitan pariwisata semakin terasa. Oleh sebab itu pengembangan pariwisata di Kawasan konservasi ditahun-tahun mendatang dapat menjadi pilihan pemanfaatan lestari. 4.4
Karakteristik Tekanan dan Ancaman Tekanan merupakan kegiatan-kegiatan atau hal yang telah berlangsung dan
menimbulkan dampak buruk sedangkan ancaman merupakan kegiatan atau hal yang mungkin menimbulkan dampak buruk. Terdapat 14 jenis karakteristik tekanan dan ancaman terhadap kawasan konservasi yang menjadi perhatian dalam penelitian ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 12.
25.0 20.0 15.0 10.0
Pemburu harta karun
Wisata
Spesies invasif
Kebakaran
Polusi
NTFP
Alat tangkap ikan
Pertambangan
Pemukiman
Klaim masyarakat
Pengelolaan kontradiktif
Perburuan satwa
0.0
Perambahan
5.0 Pembalakan
Tingkat Tekanan dan Ancaman
30.0
Gambar 12 Grafik tingkat tekanan dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi.
54
Pengelolaan karakteristik sosial ekonomi dan biologi untuk menghasilkan keuntungan ekonomis dapat juga menyebabkan kerusakan sumberdaya akibat terjadinya pemanfaatan berlebih ataupun pemanfaatan yang ilegal.
Tekanan dan
ancaman yang dianggap relatif kecil pada kawasan konservasi adalah perburuan harta karun dan wisata. Tekanan dan ancaman yang paling besar dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah pembalakan, perambahan kawasan, dan perburuan satwa. Hal ini sangat sulit untuk dihindari karena permintaan yang tinggi terhadap satwa dan tumbuhan liar yang menyebabkan nilai pasarnya menjadi sangat tinggi. Nilai ekonomis dari perdagangan satwa liar yang tercatat di Departemen Kehutanan yang nilainya tidak sampai Rp 150 miliar sebetulnya puncak dari gunung es. ProFauna, sebuah LSM yang bergerak dalam isu perdagangan ilegal satwa liar, memperkirakan nilai perputaran uang dalam perdagangan ilegal satwa liar mencapai Rp 9 trilliun pertahun dan sebagian satwa tersebut berasal dari lahan basah pesisir seperti burung raja udang (Halcyon) dan penyu (Tempo Interaktif, 2006).
300 250 200 150 100
Terumbu Karang
Meru Betiri
Manupeu Tanadaru
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Bunaken
Wakatobi
Komodo
Taka Bonerate
Kepulauan Seribu
Bali Barat
MangroveTerumbu Karang
Teluk Cendrawasih
Ujung Kulon
Karimun Jawa
Lorentz
Wasur
Rawa Aopa Watumohai
Kutai
Rawa Pantai dan Mangrove
Gunung Palung
Way Kambas
Berbak
0
Tanjung Puting
50 Sembilang
Nilai Tekanan dan Ancaman
350
Hutan Pantai
Gambar 13 Grafik nilai tekanan dan ancaman rata-rata pada 23 kawasan konservasi di Indonesia Gambar 13. menunjukkan bahwa tidak satupun kawasan konservasi yang bebas dari ancaman maupun tekanan. Meski demikian, nilai tekanan dan ancaman yang dialami setiap kawasan konservasi bervariasi dari yang paling kecil di kelompok hutan
55
pantai yaitu Alas Purwo, Meru Betiri, dan Lorentz, hingga yang paling besar Kutai, Karimun Jawa, Teluk Cendrawasih, Wasur, dan Rawa Aopa. Secara umum, kelompok hutan pantai mengalami tekanan dan ancaman yang lebih kecil dibanding kelompok tipe ekosistem lainnya. Pembalakan hutan, cenderung dominan di kawasan konservasi yang memiliki wilayah upland seperti Teluk Cendrawasih dan Kutai. Meski pembalakan terjadi jauh ke wilayah upland, akibatnya dapat berdampak langsung terhadap kualitas lahan basah pesisir. Terbukanya tutupan hutan akan menyebabkan mudahnya terjadi erosi pada musim hujan yang menyebabkan wilayah pesisir mengalami penurunan kualitas air. Tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi yang didominasi oleh ekosistem laut seperti Taman Nasional Karimuan Jawa adalah perburuan satwa dan pengelolaan yang tidak terkoordinasi. Tekanan dan ancaman lain yang lazim muncul adalah pemukiman dan penggunaan alat tangkap yang destruktif. 4.5
Karakteristik Kerapuhan Mempertahankan integritas kawasan konservasi bukanlah hal mudah untuk
dilakukan di negara-negara berkembang. Hal yang sama dialami di Indonesia dimana masyarakat masih sangat mengandalkan pendapatannya pada penjualan bahan baku yang dipanen langsung dari sumberdaya alam. Indonesia juga tergolong lemah dalam upaya penegakan hukum dan masih mengalami ketidakstabilan politik. Beberapa karakteristik utama yang merupakan indikator kerapuhan pengelolaan kawasan konservasi disajikan dalam Gambar 14 yang sekaligus menunjukkan tingkat kerapuhan setiap indikator tersebut. Terdapat 3 karakteristrik yang dianggap paling rapuh dalam pengelolaan Kawasan konservasi yaitu: nilai pasar yang tinggi, penyerobotan lahan, dan kesulitan mencari pegawai. Sedangkan karakteristik kerapuhan yang nilainya relatif rendah adalah: suap dan korupsi, ketidakstabilan politik, dan konflik budaya.
56
Tingkat Kerapuhan
5 4 3 2
Ketidakstabilan politik
Suap dan korupsi
Tekanan pada pengelola
Konflik budaya
Kegiatan ilegal
Lemah penegakan hukum
Permintaan sumberdaya kawasan
Kesulitan mencari pegawai
Mudah diserobot
-
Nilai pasar tinggi
1
Karakteristik Kerapuhan
Gambar 14 Grafik nilai beberapa karakteristik kerapuhan utama dalam pengelolaan kawasan konservasi. Nilai pasar yang tinggi berbagai produk kawasan konservasi seperti spesies langka, obat-obatan maupun material berkualitas tinggi sudah sejak lama menjadi tantangan pengelolaan kawasan konservasi.
Nilai pasar yang tinggi tersebut
merupakan awal dari berbagai kegiatan ilegal, antara lain banyaknya pihak yang melakukan kegiatan pengumpulan berbagai spesies atau material dari dalam wilayah kawasan konservasi.
Kegiatan ini sangat marak di berbagai kawasan konservasi
sehingga dapat dimengerti mengapa nilai pasar tinggi menjadi salah satu karakteristik kerapuhan paling tinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Karakteristik
kerapuhan yang tinggi lainnya adalah kondisi kawasan konservasi yang mudah diserobot sehingga memicu kegiatan merusak lainnya seperti perambahan dan perburuan liar. Hal yang unik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa salah satu karakteristik penting dari rapuhnya pengelolaan kawasan konservasi disebabkan oleh faktor kesulitan mencari pegawai. Luas Kawasan konservasi dalam penelitian ini yang berkisar antara 19 ribu ha (TN Bali Barat) hingga 2,5 juta ha (TN Lorentz) menunjukkan adanya kebutuhan pegawai profesional yang sangat besar sesuai kondisi spesifik wilayah masing-masing. Hal ini cukup sulit untuk dipenuhi terutama sekali karena adanya keterbatasan biaya pengelolaan kawasan konservasi dan minimnya
57
minat pegawai pemerintah untuk tinggal dan bekerja di tempat terpencil dalam jangka waktu lama. Isu perambahan, pembalakan, dan perburuan satwa liar hampir tidak mungkin diatasi jika hanya mengandalkan sumberdaya pegawai Departemen Kehutanan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan pegawai dan peningkatan kapasitasnya merupakan bagian yang sangat rapuh dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 14. Data statistik Dephut (2004) menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2004, jumlah total pegawai yang bekerja di unit-unit taman nasional adalah 3.269 orang yang jika dibandingkan dengan luasan taman nasional yang mencapai 16,4 juta ha berarti setiap pegawai harus mengawasi wilayah sekitar 5000 ha. Kerapuhan pengelolaan kawasan konservasi tersebut di atas merupakan gambaran umum pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang hingga kini belum ditangani secara signifikan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan investasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jumlah pegawai dan hal-hal lain yang masih rapuh dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Ilustrasi lain yang
menggambarkan kerugian tersebut disampaikan oleh Jampidsus Agung Prasetyo yaitu bahwa dalam kurun 2003 - 2005 nilai aset yang dijarah dari kawasan hutan Indonesia mencapai 83 trilyun rupiah (Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006). 5 4.5 4 3 2.5 2 1.5 1 0.5
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu karang
Terumbu Karang
Manupeu Tanadaru
Meru Betiri
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Wakatobi
Taka Bonerate
Bunaken
Komodo
Kepulauan Seribu
Teluk Cendrawasih
Bali Barat
Karimun Jawa
Ujung Kulon
Wasur
Lorentz
Kutai
Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai
Tanjung Puting
Way Kambas
Berbak
0 Sembilang
Tingkat Kerapuhan
3.5
Hutan Pantai
Gambar 15 Tingkat kerapuhan rata-rata di 23 kawasan konservasi di Indonesia
58
Gambar 15 memperlihatkan bahwa semua kelompok tipe ekosistem kawasan konservasi memiliki tingkat kerapuhan bervariasi, tidak ada yang menonjol antara satu dengan yang lain. Kawasan konservasi yang paling rapuh dalam penelitian ini adalah TN Siberut, Karimun Jawa, Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, Rawa Aopa, Teluk Cendrawasih, dan Wasur.
Tingkat kerapuhan TN Siberut paling menonjol
dibanding kawasan konservasi lainnya. Letaknya di perairan paling barat Indonesia dimana akses transportasi masih terbatas sehingga pemantauan terhadap aktifitas illegal maupun penegakan hukum menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Oleh sebab itu, hampir semua karakteristik kerapuhan yang menjadi acuan dalam penelitian ini dapat ditemukan dalam skala yang tinggi di TN Siberut. Tingkat kerapuhan kawasan konservasi lain yang tergolong sedang dan yang paling rendah adalah TN Way Kambas dan Manupeu Tanadaru.
Way Kambas
letaknya relatif dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan sehingga dukungan infrastruktur untuk melakukan pemantauan lebih mudah. Sebaliknya dengan Manupeu Tanadaru, persepsi terhadap rendahnya nilai ekonomis kawasan konservasi ini menyebabkan minat masyarakat untuk mengaksesnya menjadi relatif rendah.
5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu. Hasil pengukuran yang diperoleh disajikan seperti berikut. 5.1
Perencanaan Kawasan Terdapat tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur
kekuatan perencanaan kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari masing-masing 5 komponen penilaian.
Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 23
kawasan konservasi di Indonesia disajikan dalam Gambar 16. 5 Nilai Perencanaan
4 3 2
Keterkaitan kawasan lain
Zonasi
Lay out
Kesesuaian tempat
SDM dan keuangan
Ketiadaan klaim lahan
Tata batas
Perlindungan hukum
Resolusi konflik
Kepastian Hukum
Pemanfaatan sekitar kawasan
Tujuan
Dukungan masyarakat
Pemahaman pengelola
Konsistensi
Keterkaitan dengan aset kehati
-
Perlindungan kehati
1
Desain Tapak
Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi Gambar 16 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relatif lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek lebih kecil dari 3. Secara umum nilai perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan aspek kepastian hukum dan desain tapak. Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam
60
penyusunan tujuan kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan dukungan masyarakat masih lemah. Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya, tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan nilai relatif tinggi pada Gambar 16. lebih mengacu pada adanya dasar hukum pembentukan Taman Nasional yaitu Keputusan Menteri, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain. Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak yang sudah relatif lebih baik adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay out kawasan konservasi. Sedangkan zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih relatif lemah. Aspek perencanaan dalam mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya pengelolaan kawasan konservasi.
Lemahnya aspek
perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini.
9
d
6
h
3
t
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Komodo
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu
Bali Barat Teluk Cendrawasih
Ujung Kulon Karimun Jawa
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
0 Sembilang
Nilai Perencanaan
12
Hutan Pantai
Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 23 kawasan konservasi. Huruf “d” merupakan desain kawasan, “h” kepastian hukum, dan “t” untuk penetapan tujuan.
61
Sebagian besar kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini masih lemah dalam hal perencanaan pengelolaan seperti yang disajikan dalam Gambar 17. Kawasan konservasi yang perencanaannya sudah relatif baik yang lain adalah dari kelompok terumbu karang dan kelompok gabungan terumbu karang dan mangrove. Hal ini disebabkan karena kelompok ini telah bisa memformulasi tujuan pembentukan kawasan dengan baik. Sebaliknya kawasan dengan nilai rata-rata perencanaan yang paling lemah adalah kelompok hutan pantai disebab oleh karena lemahnya desain tapak kawasan. Secara individual, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bali Barat, Komodo, Taka Bonerate, dan Wasur adalah kawasan konservasi yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain. Kawasan konservasi yang nilai perencanaannya paling lemah terdapat pada kelompok hutan pantai dan rawa mangrove yaitu masing-masing adalah Taman Nasional Siberut dan Tanjung Puting. Gambaran tersebut diatas sekilas menunjukkan adanya kebutuhan yang berbeda pada masing-masing type kawasan dengan satu satu kesamaan yaitu bahwa formulasi tujuan pembentukan kawasan telah dibuat lebih baik dibandingkan penegakan/ perlindungan hukum dan desain tapak kawasan. Prioritas penanganan lebih lanjut akan sangat bergantung pada seberapa jauh faktor-faktor ini terkait atau mempengaruhi efektifitas pengelolaan secara umum. Hasil RAPPAM di negara tropis berkembang lain memiliki kebutuhan yang cenderung berbeda dalam tahapan perencanaan kawasan. Kamboja misalnya telah cukup memadai dalam menyusun desain tapak kawasan, tapi lemah dalam perencanaan
dimana
pembentukan
kawasan
tidak
sejalan
dengan
kondisi
keanekaragaman hayati, kawasan konservasi lahan basah pesisir tidak mewakili lahan basah pesisir yang ada di Kamboja, dan banyak dari kawasannya belum memiliki kepastian hukum penetapannya (Lacerda et.al. 2005). Kondisi yang relatif lebih baik ditunjukkan oleh hasil RAPPAM di Brazil dimana perencanaan kawasan telah sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan desain tapak dirancang dengan baik sehingga kebutuhan intervensi dalam dua komponen ini relatif kecil (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Perbedaan keduanya terletak pada
62
pemenuhan kebutuhan akan tenaga yang profesional di Kamboja masih relatif rendah dibandingkan di Brazil. 5.2
Masukan Aspek masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala
hal yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuantujuan pengelolaan. Terdapat empat kelompok komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur, dan keuangan.
Nilai masing-masing
kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut.
Nilai Masukan
3 2
Dana 5 tahun terakhir
Dana 5 tahun kedepan
Pengelolaan keuangan
Alokasi
Perawatan peralatan
Fasilitas pengunjung
Fasilitas staf
Transportasi
Peralatan lapangan
infrastruktur
keuangan
Stabilitas jangka panjang
komunikasi
Analisis data
Peralatan survey
Data bio, sosek
Peralatan komunikasi
Jumlah staff
Komunikasi ke masyarakat
staff
Kondisi kerja
Keterampilan
Pelatihan
-
Penilaian kinerja
1
Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20 komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai (nilai>3) untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi.
Kelompok komponen
yang memperoleh nilai paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain adalah kelompok pegawai. Dua komponen yang paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai “modal” suksesnya pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan
63
perawatan terhadap peralatan. Komponen yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah komunikasi dengan masyarakat. Gambaran ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia, sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting karena belum terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah yang menangani isu konservasi.
Meski secara perlahan Departemen Kehutanan mulai menanamkan
pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya dengan memagangkan semua staf baru di kawasan-kawasan konservasi seluruh Indonesia. 12 f
Nilai Masukan
10
i k
8
u 6 4 2
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
0
Hutan Pantai
Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hurup “f” menunjukkan pegawai, “i” untuk infrastruktur, “k” untuk komunikasi, dan “u” anggaran. Gambar 19 menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang nilai masukannya sudah relatif lebih baik dibandingkan kawasan konservasi lainnya adalah dari kelompok terumbu karang. Secara individual Taman Nasional Bunaken, Kepulauan Seribu, Bali Barat, Wakatobi, Alas Purwo, Way Kambas dan Wasur adalah kawasan konservasi yang memiliki nilai masukan yang lebih baik. Kawasan konservasi yang nilai masukannya paling rendah adalah Taman Nasional Lorentz dan Manupeu Tanadaru. Kelima kawasan konservasi pertama yang memiliki masukan relatif baik tersebut umumnya memiliki potensi wisata laut yang terkenal sedangkan dua kawasan
64
konservasi yang masukannya paling rendah adalah taman nasional yang didominasi kawasan upland. Gambar 19 juga menunjukkan bahwa nilai masukan suatu kawasan konservasi tidak ditentukan pada kelompok mana dia berada.
Meski demikian terdapat
kecenderungan bahwa kelompok kawasan konservasi terumbu karang mendapatkan masukan yang lebih baik sesuai yang kebutuhan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa masukan yang tinggi terjadi pada kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif dengan LSM Internasional besar the BiNGOs yaitu WWF, CI, TNC, WCS. Pemenuhan kebutuhan akan “masukan” memiliki isu yang relatif sama di Kamboja (Asia), Brazil (Amerika), Kwazulu Natal (Afrika Selatan) yaitu masih terdapat kekurangan yang luar biasa. Hasil RAPPAM di Brazil menemukan bahwa dari segi jumlah, Brazil hanya memenuhi 17% akan kebutuhan jumlah dan kualitas stafnya dan kurang dari 50% terpenuhi kebutuhan infrastruktur maupun kebutuhan keuangannya (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Hasil RAPPAM Kamboja bahkan mengkategorikan pemenuhan kebutuhan akan komponen masukan (staf, infrastruktur, keuangan) dalam pengelolaan kawasan konservasi di Kamboja sebagai “mengalami kekurangan yang kronis” disetiap level pengelola (Lacerda et. Al. 2005). Hal yang unik terjadi pada Hasil RAPPAM Kwazulu Natal yang menemukan bahwa jumlah staff maupun keahliannya sudah cukup memadai, komunikasi dalam batas sedang, yang masih kurang hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan keuangan pengelolaan (Goodman, 2003) 5.3
Proses Pengelolaan Proses pengelolaan adalah tahapan dalam siklus pengelolaan yang merupakan
tindak lanjut perencanaan dan desain kawasan konservasi berdasarkan kondisi obyektif yang ada. Penilaian proses pengelolaan ditujukan untuk mengetahui apakah proses tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan kawasan konservasi. Terdapat tiga kelompok yang menjadi penilaian terhadap proses pengelolaan yaitu: (1) perencanaan pengelolaan; (2) pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; (3) penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan.
5 4 3 2
perencanaan pengelolaan
praktek-praktek pelaksanaan
Penelitian isu sosek
Akses hasil penelitian
Pemanfaatan monitoring
Pencatatan dampak
Penelitian ekologis
Komunikasi efektif
Partisipasi masyarakat
Kolaborasi dgn masyarakat
Organisasi internal
Keterbukaan
Pemantauan
Rencana kerja detail
Pendataan
-
Analisis ancaman
1 Rencana pengelolaan
Nilai Proses Pengelolaan
65
monitoring evaluasi
Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi Rendahnya nilai pada komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 18 menyebabkan kita sulit untuk berharap bahwa dalam tahapan siklus pengelolaan selanjutnya yaitu “proses pengelolaan” akan diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian terhadap 15 komponen proses yang diamati, ternyata hanya ada 3 komponen yang dinilai cukup memadai yaitu struktur organisasi internal, keterbukaan dalam pengelolaan, dan kolaborasi dengan masyarakat seperti ditunjukkan dalam Gambar 20. Gambar 20 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, komponen-komponen proses pengelolaan memiliki nilai capaian yang sangat rendah dengan nilai dibawah 2 yang berarti bahwa sebagian besar kondisi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. Proses pengelolaan yang relatif lebih baik adalah pada kelompok praktekpraktek pelaksanaan, terutama pada komponen organisasi internal pengelola, keterbukaan dalam pengelolaan, dan upaya-upaya kolaborasi dengan masyarakat. Secara umum, bagian paling lemah dalam kegiatan proses pengelolaan adalah monitoring dan evaluasi terutama pada penelitian-penelitian isu sosial ekonomi. Dua dari tiga kelompok komponen dalam proses pengelolaan yang memiliki nilai yang sangat rendah yaitu kelompok perencanaan dan kelompok monitoring dan
66
evaluasi. Lemahnya proses perencanaan biasanya disebabkan oleh hambatan teknis seperti ketiadaan data dan informasi, pendekatan proyek yang dilakukan oleh konsultan, dan terbatasnya waktu pelaksanaan. Akibatnya banyak kawasan konservasi yang tidak menyelesaikan rencana pengelolaannya, kalaupun ada karena difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, biasanya hanya berupa dokumen yang tersimpan sebagai arsip tanpa adanya upaya implementasi. Bagian lain dari proses pengelolaan yang lemah adalah pada kelompok monitoring dan evaluasi. Saat ini sistem monitoring dan evaluasi yang dikembangkan masih belum memadai. Akibatnya, informasi yang diperoleh dari kegiatan monitoring sulit untuk diakses pihak lain yang berkepentingan dan sering tidak dimanfaarkan untuk menjadi masukan bagi siklus pengelolaan selanjutya. Gambaran ketidakmemadaian ini bisa dilihat pada produk informasi Taman Nasional yang dipublikasikan Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA) Departemen Kehutanan melalui websitenya http://li.defined.net/cgi-bin/pika.exe. Hingga saat penulisan hasil penelitian ini dilakukan (Desember 2006), informasi mengenai taman nasional yang ditampilkan dalam website tersebut praktis masih berupa tabel-tabel yang sebagian besar dalam keadaan kosong. 15 12
m
6
p
3
e
Rawa Pantai dan Mangrove
Mangrove Terumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
0 Sembilang
Nilai Proses
9
Hutan Pantai
Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 23 kawasan konservasi. Hurup “m” pada keterangan gambar menunjukkan rencana pengelolaan, “p” untuk praktek pelaksanaan, dan “e” untuk evaluasi.
67
Seperti halnya dalam siklus-siklus pengelolaan sebelumnya, Taman Nasional Bali Barat, Komodo, Wakatobi, dan Bunaken tetap merupakan kawasan konservasi yang relatif lebih baik dalam proses pengelolaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 21. Sedangkan kawasan konservasi yang proses pengelolaannya masih lemah antara lain Taman Nasional Lorentz, Gunung Palung, Kutai, Baluran, dan Sembilang. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki nilai proses pengelolaan yang lebih baik dibandingkan kelompok kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan konservasi kelompok rawa/mangrove memiliki nilai proses yang lebih lemah dibanding kelompok lainnya. Hasil RAPPAM di tiga negara tropis yang sedang berkembang menunjukkan kesamaan yang dialami di Indonesia.
Kamboja, Brazil, maupun Kwazulu Natal
memiliki kelemahan dalam penyusunan rencana detail pengelolaan, penelitian, monitoring dan evaluasi pengelolaan. Sedangkan praktek-praktek pelaksanaan telah dijalankan dengan baik seperti keterbukaan, kolaborasi dengan masyarakat, dan komunikasi yang efektif. 5.4
Keluaran Penilaian terhadap keluaran dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi
ditujukan untuk mengetahui apakah selama dua tahun terakhir keluaran tersebut konsisten untuk mencapai tujuan-tujuan umum pengelolaan, perencanaan kerja tahunan, dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman yang dialami kawasan konservasi.
Terdapat 10 komponen keluaran dalam siklus pengelolaan
mencakup isu-isu sosial, ekonomi, biologi, dan kelembagaan pengelola seperti disajikan dalam Gambar 22.
68
Nilai Keluaran
3 2
Upaya restorasi
Pengelolaan pengunjung
Pengembangan infrastruktur
Pencegahan ancaman
Habitat dan satwa liar
Perencanaan dan inventarisasi
Hasil penelitian dan monitoring
Manajemen staf
Peningkatan kepedulian
-
Pelatihan staf
1
Jenis-jenis Keluaran
Gambar 22. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi Hasil penilaian terhadap keluaran yang diperoleh dari pengelolaan kawasan konservasi Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua komponen keluaran masih jauh dari memuaskan (nilai<3, Gambar 22). Hasil yang paling lemah adalah upaya restorasi, pengelolaan pengunjung, dan pengembangan infrastruktur.
Sedangkan
komponen keluaran yang relatif lebih baik adalah peningkatan kepedulian.
4 3 2
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Baluran
Siberut
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
0
Berbak
1 Sembilang
Nilai Keluaran
5
Hutan Pantai
Gambar 23. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan 23 kawasan konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing kawasan konservasi memberikan hasil yang bervariasi satu sama lain seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 23. Kawasan konservasi keluaran yang lebih baik dalam pengelolaanya adalah Taman
69
Nasional Bali Barat dan Komodo.
Sedangkan nilai keluaran yang rendah dapat
ditemukan pada Taman Nasional Lorentz dan Rawa Aopa, Gunung Palung, dan Karimun Jawa.
Penyebab perbedaan ini kompleks karena status masing-masing
kawasan konservasi sangat berbeda demikian pula dengan tingkat masukan, proses, dan monitoring pengelolaannya. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki keluaran yang lebih baik dibanding kelompok lainnya dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove memiliki nilai keluaran yang paling rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penilaian terhadap proses pengelolaan seperti disajikan dalam Gambar 21 dimana kelompok terumbu karang umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibanding kelompok lain dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove umumnya memiliki nilai rendah. Nilai keluaran yang diperoleh dari hasil RAPPAM di Kamboja, Brazil, dan Kwazulu Natal juga masih jauh dari memuaskan. Laporan RAPPAM dari ketiga negara tropis sedang berkembang terus meyakini bahwa lemahnya input menyebabkan keluaran yang diperoleh juga menjadi lebih rendah dari tujuan-tujuan pengelolaan (Lacerda et.al. 2005; Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005; dan Goodman 2003). 5.5
Akumulasi Komponen Siklus Pengelolaan Efektivitas Pengelolaan merupakan akumulasi penilaian terhadap seluruh siklus
pengelolaan mulai dari perencanaan, masukan, proses, dan keluaran seperti yang disajikan pada Gambar 24. Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Indonesia sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan sebagian besar masih dikelola dengan tidak efektif yang ditunjukkan oleh nilai dibawah 9. Gambaran ini merupakan pembenaran terhadap isu yang sudah diketahui secara luas oleh publik pemerhati pengelolaan kawasan konservasi bahwa pengelolaan kawasan konservasi secara umum berjalan tidak efektif.
15 12 9 6 3
Rawa dan Mangrove
Mangrove - Terumbu Karang
keluaran
proses
masukan
Terumbu Karang
Manupeu Tanadaru
Meru Betiri
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Wakatobi
Taka Bonerate
Komodo
Bunaken
Kepulauan Seribu
Teluk Cendrawasih
Bali Barat
Karimun Jawa
Ujung Kulon
Lorentz
Wasur
Kutai
Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai
Tanjung Puting
Way Kambas
Sembilang
0 Berbak
Nilai Efektivitas Pengelolaan
70
Hutan Pantai
perencanaan
Gambar 24. Grafik nilai efektivitas pengelolaan di 23 kawasan konservasi Terlepas dari rendahnya nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara keseluruhan, secara umum kawasan konservasi yang nilai efektivitasnya cenderung tinggi dibanding kelompok lain adalah kelompok terumbu karang.
Sebaliknya
kelompok yang nilai efektivitasnya cenderung rendah adalah kelompok rawa dan mangrove. Terdapat paling tidak 2 kawasan konservasi yang pengelolaannya sudah efektif yaitu Taman Nasional Bali Barat, Komodo. Sedangkan Bunaken, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu tergolong dalam kategori pengelolaan yang cukup efektif. Gambar 24 juga memberikan kita informasi bahwa kawasan konservasi yang paling tidak efektif dalam pengelolaannya adalah Taman Nasional Lorentz, Tanjung Puting, dan Rawa Aopa Watumohai.
6.
STRATEGI PENGELOLAAN
Rekomendasi strategi pengelolaan yang efektif diperlukan untuk memudahkan alokasi sumberdaya pemerintah yang terbatas pada kawasan konservasi yang dianggap prioritas dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih terfokus.
Rekomendasi
strategi tersebut diperoleh dengan mengkombinasikan kondisi sosial, ekonomi, dan biologi serta aspek-aspek dalam siklus pengelolaan masing-masing kawasan konservasi. 6.1
Strategi Nilai Penting VS Tekanan - Ancaman Status kawasan konservasi yang digambarkan pada pembahasan sebelumnya
menunjukkan perlunya upaya pembenahan pengelolaan kawasan konservasi sesegera mungkin untuk mengurangi kerugian yang terus menerus terjadi. Meski demikian, pada saat yang bersamaan pemerintah juga mengalami kekurangan sumberdaya yang menyebabkan tidak semua persoalan di setiap kawasan konservasi bisa ditangani secara bersamaan. Biplot (axes F1 and F2: 85.60 %) 3
Tekanan ancaman tinggi
F2 (32.70 %)
2
KJ
TC ancaman
KT
WS KM
RA
1 TP
UK bio lo gi so sek
BK
Sosek – Biologi Tinggi
0 WT TB -1 BL
SR MT
BN
GP
KS WK
SL MB LZ
BB
AP
-2 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
F1 (52.90 %)
Gambar 25 Grafik hasil PCA terhadap 23 kawasan konservasi berdasarkan kondisi umumnya masing-masing.
72
Prioritas pengelolaan harus dilakukan dengan mengacu pada nilai penting isu biologis, sosial ekonomi, tekanan dan ancaman yang dialami oleh masing-masing kawasan konservasi. Penentuan prioritas ini sangat kompleks karena status masingmasing kawasan konservasi berbeda satu sama lain seperti kondisi sosial ekonomi, nilai penting biologi, ancaman dan tekanan, dan efektivitas pengelolaan. Hasil principle component analysis (PCA) terhadap 23 kawasan konservasi yang disajikan dalam Gambar 25 memberikan gambaran yang lebih sederhana mengenai kekompleksan status 23 kawasan konservasi tersebut. Secara umum hasil analisis tersebut menunjukkan adanya kemiripan penilaian status biologi dengan status sosial ekonomi pada kawasan konservasi. Artinya, kawasan konservasi dengan nilai penting karakteristik biologi yang tinggi biasanya juga memiliki nilai karakteristik ekonomi yang tinggi. Gambar 25 juga memperlihatkan bahwa tekanan dan ancaman tidak menunjukkan korelasi langsung antara kondisi sosek dan biologi kawasan konservasi.
Dendrogram 6
5
Dissimilarity
4
3
2
1
0
Gambar 26 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, biologi, dan tekanan dan ancaman.
73
Hasil analisis gerombol disajikan pada Gambar 26. yang mengelompokkan ke 23 kawasan konservasi tersebut ke dalam 4 kelompok yang ciri-cirinya sudah digambarkan sebelumnya melalui analisis komponen utama pada Gambar 25. Pengujian terhadap 4 kelompok tersebut dengan menggunakan diskriminan analisis seperti yang disajikan dalam Lampiran 7. menunjukkan bahwa pengelompokan sudah cukup baik dengan proporsi pengelompokan yang benar sekitar 91%. Pengelompokan kawasan berdasarkan hasil cluster analysis dan principle component analysis disajikan dalam Tabel 9. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil Cluster dan PCA terhadap kondisi sosek dan biologi. Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciri-cirinya
Rawa Pesisir dan Mangrove
Mangrove dan Terumbu Karang
Terumbu Karang Komodo (KM)
1
S-B tinggi T-A tinggi
Wasur (WS)
Karimun Jawa (KJ) Ujung Kulon (UK)
2
S-B rendah, sedang T-A tinggi
Kutai (KT) Rawa Aopa (RA)
Teluk Cenderawasih (TC)
3
S-B sedang, tinggi T-A Rendah
Sembilang (SL) Lorentz (LZ) Gunung Palung (GP) Way Kambas (WK)
Bali Barat (BB)
4
S-B rendah T-A Rendah, Sedang
Tanjung Puting (TP) Berbak (BK)
-
Hutan Pantai
-
-
-
-
Meru Betiri (MB) Alas Purwo (AP)
Kepulauan Seribu (KS) Bunaken (BN) Taka Bonerate (TB) Wakatobi (WT)
Manupeu Tanadaru (MT) Siberut (SR) Baluran (BL)
Keterangan: S-B = Sosial Ekonomi dan Biologi; T-A = Tekanan dan Ancaman
Berdasarkan hasil PCA dan analisis gerombol, kawasan konservasi yang perlu perhatian prioritas adalah kawasan-kawasan yang berada dalam kelompok I. Kelompok kawasan ini letaknya berada di kuadran I dalam grafik PCA (Gambar 25) dicirikan oleh karakteristik sosial ekonomi dan biologi yang tinggi dan pada saat yang
74
bersamaan menghadapi ancaman yang tinggi pula.
Keempat kawasan konservasi
tersebut adalah Taman Nasional Karimun Jawa (KJ); Wasur (WS); Komodo (KM); Ujung Kulon (UK). Keempat kawasan konservasi di kelompok 1 tersebut memerlukan penanganan prioritas karena memiliki nilai penting biologi dan sosial ekonomi yang tinggi dan pada saat bersamaan mengalami ancaman paling besar.
Jika ditinjau lebih jauh,
keempat kawasan konservasi tersebut berdasarkan letaknya dalam grafik cenderung lebih dekat ke koordinat biologi seperti yang disajikan dalam Gambar 25. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa prioritas upaya konservasi (menyelamatkan kondisi biologis) lebih diperlukan pada kelima kawasan konservasi tersebut. Taman Nasional Kutai (KT), Rawa Aopa (RA), dan Teluk Cenderawasih (TC) berada pada kelompok 2 yang merupakan kelompok kawasan konservasi dengan nilai tekanan dan ancaman paling tinggi. Perbedaannya dengan kelompok 1 adalah karena kelompok ini memiliki nilai sosial ekonomi dan biologi dalam kategori sedang. Taman Nasional Sembilang (SL), Lorentz (LZ), Gunung Palung (GP), Way Kambas (WK), Bali Barat (BB), Meru Betiri (MB), Alas Purwo (AP) berada dalam kelompok 3. Letak kelompok ini berada pada kuadran II dalam Gambar 25 yang berarti kelompok ini dicirikan oleh tekanan dan ancaman yang relatif rendah dengan karakteristik sosial ekonomi yang bernilai sedang sampai tinggi. Kawasan konservasi yang masuk dalam kelompok 4 adalah Taman Nasional Tanjung Puting (TP), Berbak (BK), Kepulauan Seribu (KS), Bunaken (BN), Taka Bonerate (TB), Wakatobi (WT), Manupeu Tanadaru (MT), Siberut (SR), dan Baluran (BL). Kawasan ini dicirikan oleh nilai penting karakteristik sosial, ekonomi, dan biologi yang cenderung rendah tetapi menghadapi tekanan dan ancaman yang bernilai sedang hingga tinggi. Berdasarkan fakta-fakat tersebut diatas, prioritas pengelolaan terhadap kawasan konservasi yaitu pada kelompok 1 seharusnya bisa dimulai dengan meningkatkan efektivitas pengelolaan seperti yang disajikan dalam Gambar 24. Meski demikian penelitian ini menunjukkan bahwa hanya satu kawasan konservasi dari kelompok yang rawan tersebut yang telah memiliki perencanaan, masukan, dan proses yang memadai
75
yaitu Taman Nasional Komodo seperti disajikan pada Gambar 24.
Kebutuhan
perlindungan terhadap nilai ekologi maupun sosial ekonomi yang tinggi akibat adanya tekanan dan ancaman pada empat kawasan konservasi lainnya yaitu Taman Nasional Karimun Jawa, Wasur, dan Ujung Kulon belum direspon sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu diperlukan perhatian yang lebih lagi terhadap ke 3 kawasan konservasi yang perencanaannya masih lemah tersebut. 6.2
Strategi Masukan vs Tekanan - Ancaman Secara umum kesesuaian masukan-masukan dalam pengelolaan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan masih belum memadai (nilai<2) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 19.
Salah satu masukan yang relatif lebih baik dibandingkan
komponen masukan lain adalah dalam bidang kepegawaian.
Lebih baik dalam
pengertian ini tidak berarti kebutuhan akan pegawai telah terpenuhi tetapi secara relatif lebih baik dibanding masukan lainnya. Seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa setiap pegawai harus mengawasi Taman Nasional dengan luasan kurang lebih 5.000 ha (Departemen Kehutanan, 2004). Masukan lain yang secara umum juga belum memadai yaitu aspek pendanaan. Anggaran pemerintah secara keseluruhan untuk pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan sebesar USD 2.35 per hektar. Anggaran tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN seperti Thailand, Philippines dan Malaysia. Anggaran pengelolaan kawasan konservasi di Thailand adalah sebesar USD 20.65 per hektar, sementara untuk Amerika Serikat adalah USD 76.12 per hektar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2006).
Jika
menggunakan angka Thailand, berarti terdapat kekurangan anggaran sekitar USD 170 juta. Direktorat Jenderal PHKA yang secara langsung bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi pada tahun 2003 hanya memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 304 miliar. Pemerintah Malaysia Semenanjung mengalokasikan anggaran untuk Dirjen PHKA-nya pada tahun 2003 sebesar RM 31 juta atau sekitar 80 miliar (Perhilitan, 2003). Padahal wilayah yang dikelola oleh Perhilitan kurang lebih separuh dari kawasan konservasi Indonesia di Sumatra.
Keluhan mengenai minimnya
76
anggaran ini telah menjadi pembicaraan umum yang terjadi dari tahun ke tahun dan belum ada jalan keluar yang signifikan seperti yang disampaikan oleh Abdul Halim dari The Nature Conservancy (Tempo Interaktif, 2006).
Ancaman Tinggi
3
ancaman 2.5
Sumbu 2 (34%)
2
KT KJ
TC
1.5
Anggaran Tinggi WS
1
RA KM 0.5
anggaran
UK
BK
0
TP
WT
luas
TB BN WK
-0.5 -1
KS GP SR BL BB MB
LZ
MT SL
-1.5 AP -2 -4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
Sumbu 1 (48%)
Gambar 27. Grafik sebaran 23 kawasan konservasi dibandingkan dengan masukan (anggaran), luasan dan ancaman masing-masing kawasan konservasi. Hasil PCA pada Gambar 27 memperlihatkan bahwa alokasi anggaran tidak dilakukan berdasarkan tingkat ancaman maupun luas kawasan.
Korelasi diantara
kedua komponen tersebut sangat rendah bahkan negatif yang berarti bahwa semakin luas kawasan konservasi alokasi anggarannya justru cenderung semakin rendah. Idealnya, anggaran akan dialokasikan berdasarkan kondisi obyektif yang paling mudah diukur yaitu berdasarkan luas, tekanan, dan ancaman yang dihadapi. Letak yang “relatif” ideal tersebut dilingkari merah yang menunjukkan bahwa semakin tinggi ancaman dan luas kawasan konservasi, semakin besar alokasi anggaran yang dibutuhkan seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 27. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik luas, tekanan dan ancaman, dan anggaran yang dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol
77
menghasilkan 3 kelompok kawasan konservasi.
Pengujian lanjutan terhadap 3
kelompok tersebut dengan analisis diskriminan seperti yang disajikan dalam Lampiran 7. menunjukkan bahwa pengelompokan sudah cukup baik dengan proporsi pengelompokan yang benar sekitar 96%.
Hasil analisis gerombol tersebut disajikan
pada Gambar 28 berikut. Dendrogram -1 -0.8 -0.6
Similarity
-0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Gambar 28. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik tekanan dan ancaman, luas kawasan, dan besaran anggaran pengelolaan. Hasil analisis gerombol menunjukkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi berdasarkan karakteristik tekanan dan ancaman yang dibandingkan dengan luas dan anggaran. Kelompok pertama adalah Taman Nasional Komodo (KM), Ujung Kulon (UK), Gunung Palung (GP), Alas Purwo (AP), Meru Betiri (MB), Way Kambas (WK), Kepulauan Seribu (KS), Baluran (BL), dan Bali Barat (BB). Kawasan konservasi pada kelompok ini menyebar di paruh kiri bawah grafik PCA yang berarti bahwa kelompok ini dicirikan oleh penerimaan anggaran yang relatif besar padahal tingkat ancamannya dan luas kawasannya relatif lebih kecil. Hal unik yang ditunjukkan oleh kelompok ini adalah karena hampir semua kawasan konservasi yang letaknya di Jawa dan Bali kecuali Karimun Jawa (KJ) berada dalam kelompok ini.
Paduan antara alokasi
78
anggaran dengan luas kawasan dan tingkat ancaman pada kawasan konservasi yang cenderung lebih baik di Pulau Jawa dan Bali menunjukkan perlunya pemerintah mereorientasi juga pengelolaan kawasan konservasi di luar Jawa menjadi lebih berorientasi pada kondisi obyektif seperti tekanan/ancaman yang dialami oleh kawasan konservasi. Tabel 10. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap luas, masukan, tekanan dan ancaman. Kelompok dan Ciricirinya
Kawasan Konservasi Rawa Pesisir dan Mangrove
Mangrove dan Terumbu Karang
Terumbu Karang
Hutan Pantai
Ujung Kulon (UK) Bali Barat (BB)
Komodo (KM) Kepulauan Seribu (KS)
Alas Purwo (AP) Meru Betiri (MB) Baluran (BL)
-
Taka Bonerate (TB) Wakatobi (WT)
Manupeu Tanadaru (MT) Siberut (SR)
1
Anggaran Tinggi Wilayah kecil Ancaman Rendah Sedang
Gunung Palung (GP) Way Kambas (WK)
2
Wilayah Luas Anggaran Rendah Ancaman Rendah – Sedang
Sembilang (SL) Lorentz (LZ)
3
Ancaman Tinggi Anggaran Rendah – Tinggi Wilayah KecilLuas
Tanjung Puting (TP) Wasur (WS) Berbak (BK) Rawa Aopa (RA) Kutai (KT)
Teluk Cendrawasih (TC) Karimun Jawa (KJ)-
Bunaken (BN)
-
Kelompok kawasan konservasi kedua memiliki ciri berkebalikan dengan dengan kelompok pertama dimana kawasan kelompok ini memperoleh anggaran yang rendah meski memiliki wilayah yang luas.
Kawasan konservasi kelompok ini adalah
Sembilang (SL), Lorentz (LZ), Taka Bonerate (TB), Wakatobi (WT), Manupeu Tanadaru (MT), dan Siberut (SR). Kebalikan dari kelompok 1 yang umumnya adalah kawasan konservasi yang berada di Jawa dan Bali, kelompok ini justru semuanya berada diluar Jawa dan Bali.
79
Ketidaktepatan alokasi komponen anggaran untuk luar Jawa sebagai bagian dari “masukan” dalam pengelolaan kawasan konservasi bisa jadi merupakan cerminan komponen-komponen masukan lainnya.
Sebagai ilustrasi, hingga tahun 2001
perbandingan antara luas kawasan dan jumlah staf di Jawa adalah 158 ha/staf sedangkan diluar Jawa perbandingannya adalah 3.500 ha/staf di luar Jawa (Wiratno dkk. 2001).
Perbandingan jumlah staf ini semakin timpang pada tahun-tahun
selanjutnya karena adanya pembentukan Taman Nasional baru di luar Jawa yang tidak diikuti oleh pembentukan unit-unit kerja (balai) yang baru. Padahal keberadaan staf dengan jumlah dan keahlian yang memadai adalah salah satu komponen masukan yang penting dalam pengelolaan kawasan konservasi. Tingkat ketidakmemadaian masukan sebagai modal dalam pengelolaan dan kelemahan dalam proses pengelolaan tidak terjadi secara merata di semua kawasan konservasi. Oleh sebab itu adaptasi terhadap permasalahan dimasing-masing kawasan konservasi pun akan berbeda-beda.
Hasil analsis komponen utama dan analisis
gerombol pada komponen masukan, luas, tekanan dan ancaman yang disajikan dalam Gambar 27 dapat memandu kita dalam mengembangkan adaptasi kebijakan yang lebih sesuai. Hasil PCA dan analisis gerombol yang disajikan dalam Tabel 10 belum memberi kita gambaran yang lebih spesifik kawasan konservasi mana yang membutuhkan prioritas peningkatan “masukan” dalam pengelolaan yang berorientasi pada tekanan ancaman. Hal ini disebabkan oleh karena pengelompokan tidak berhasil memisahkan dengan jelas kawasan yang ancamannya tinggi, sedang, atau rendah. Berdasarkan penelusuran pada informasi detail masing-masing kawasan bisa diketahui bahwa beberapa kawasan konservasi yang terletak pada kelompok 2 dan 3 dengan wilayah luas sekaligus ancaman tinggi sehingga membutuhkan prioritas adalah adalah: Wakatobi (WT); Tanjung Puting (TP) dan Teluk Cendrawasih (TC). 6.3
Strategi Efektivitas vs Tujuan Akhir Pengelolaan Kesesuaian antara keluaran pengelolaan dengan “tujuan” kawasan konservasi
tersebut diatas dilakukan dengan mengamati konsistensi 10 komponen keluaran selama dua tahun terakhir terhadap tujuan-tujuan umum kawasan konservasi, rencana tahunan
80
pengelolaan kawasan konservasi dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman. Secara umum keluaran yang diperoleh dari pengelolaan 23 kawasan konservasi belum sesuai harapan (nilai <3) yaitu cenderung tidak konsisten dengan tujuan-tujuan pengelolaan, rencana pengelolaan tahunan, dan tekanan dan ancaman yang dihadapi. Kondisi ini bisa dikatakan wajar oleh karena pada tahapan kegiatan pengelolaan sebelumnya yaitu “masukan” dan “proses” juga memiliki nilai yang rendah yang berarti bahwa masukan dan proses pengelolaan tersebut tidak memenuhi kondisi yang dibutuhkan untuk mengelola kawasan konservasi dengan efektif. 2 LZ
IV
Sumbu 2 (kontribusi 15%)
1.5
I rencana
SL
1
BB TB
0.5
BK
GP
0
WS WK AP
CT TM BL MB
KS keluaran
UK
KM proses
WT -0.5
KT
masukan
RA SR
BN
-1
III
II
KJ TP
-1.5 -4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
Sumbu 1 (kontribusi 73%)
Gambar 29. Grafik hasil PCA terhadap efektivitas pengelolaan 23 Kawasan konservasi. MPK = masukan, proses, dan keluaran; Renc = rencana Penggunaan PCA terhadap nilai 4 siklus pengelolaan kawasan konservasi menunjukkan bahwa “keluaran” paling berkorelasi dengan “proses”, kemudian “masukan”, dan terakhir “rencana”.
Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas
pengelolaan sebetulnya sangat ditentukan pada fase ”proses” terhadap masukan yang diperoleh dalam siklus pengelolaan.
Oleh sebab itu adalah penting untuk
memprioritaskan upaya pembenahan komponen ”proses” dan kemudian “masukan”
81
dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga “keluaran” yang diperoleh bisa lebih baik dan menjamin arah yang benar menuju pencapaian tujuan-tujuan pembentukan kawasan konservasi.
“Keluaran” yang lebih berkorelasi dengan “proses” dan
“masukan” jika dibandingkan dengan “rencana” juga berarti bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi selama ini, rencana yang dibuat belum memadai atau tidak diikuti dengan masukan dan proses pengelolaan yang sesuai. Pengelompokan kawasan yang dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol memperlihatkan adanya 4 kelompok kawasan berdasarkan efektivitas pengelolaan. Hasil pengujian dengan menggunakan analisis diskriminan menunjukkan bahwa proporsi pengelompokan yang benar adalah 100% (Lampiran 7).
Hasil analisis
gerombol disajikan dalam Gambar 30 berikut. Dendrogram 8 7
Dissimilarity
6 5 4 3 2 1 0
Gambar 30. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan karakteristik efektivitas pengelolaan. Berdasarkan hasil analisis gerombol yang disajikan pada Gambar 30 dan digabungkan dengan hasil PCA pada Gambar 29 bisa diperoleh gambaran ciri-ciri masing-masing kelompok kawasan konservasi seperti disajikan pada Tabel 11. Kelompok kawasan konservasi yang memiliki efektivitas pengelolaan paling tinggi adalah kelompok 1 yaitu Taman Nasional Komodo dan Bali Barat.
Sedangkan
82
kawasan yang paling rendah efektivitas pengelolaannya adalah Taman Nasional Lorentz. Tabel 11. Sebaran taman nasional berdasarkan hasil PCA terhadap masukan, proses, keluaran dan perencanaan. Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciricirinya
Rawa Pesisir dan Mangrove
Mangrove dan Terumbu Karang
Terumbu Karang
Bali Barat (BB)
Komodo (KM) Taka Bonerate (TB) Bunaken (BN) Kepulauan Seribu (KS) Wakatobi (WT)
1
Efektivitas Tinggi
2
Efektivitas Sedang
Wasur (WS) Way Kambas (WK)
Ujung Kulon (UK)
3
Efektivitas Rendah
Sembilang (SL) Berbak (BK) Gunung Palung (GP) Kutai (KT) Rawa Aopa (RA) Tanjung Puting (TP)
Teluk Cendrawasih (TC) Karimun Jawa (KJ)
4
Efektivitas Sangat Rendah
Lorentz
-
-
-
Hutan Pantai
Alas Purwo (AP)
Meru Betiri (MB) Baluran (BL) Manupeu Tanadaru (MT) Siberut (SR)
-
Tabel … memperlihatkan bahwa hampir semua kawasan konservasi terumbu karang dikelola dengan efektif. Sebaliknya hampir semua kawasan konservasi hutan pantai dan mangrove dikelola dengan efektivitas yang rendah. Gambaran ini sebetulnya merupakan hal yang sudah diketahui secara umum dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia..
Faktor-faktor yang Dominan dalam Efektivitas Pengelolaan Salah satu informasi penting yang diperoleh dari hasil PCA yang disajikan dalam Gambar 29 adalah bahwa masing-masing kelompok siklus pengelolaan yaitu ”rencana”, ”masukan”, dan ”proses” mempunyai korelasi terhadap pencapaian tujuan.
83
Meski demikian, kelompok yang korelasinya paling tinggi dengan pencapaian tujuan adalah kelompok ”proses”. Sedangkan kelompok yang korelasinya paling rendah adalah kelompok ”rencana” yang terdiri dari komponen penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Dengan menggunakan statistik sederhana diketahui bahwa korelasi antara proses dan keluaran adalah sekitar 82% sedangkan korelasi antara rencana atau masukan dengan keluaran masing-masing sekitar 63%. Informasi tersebut menjukkan bahwa perbaikan dalam ”proses” pengelolaan dapat sangat membantu dalam memperoleh keluaran yang baik. Penelitian ini mengukur tiga kelompok proses pengelolaan kawasan konservasi yaitu: (1) perencanaan detail pengelolaan; (2) pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; (3) penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan. Dari ketiga kelompok tersebut yang paling lemah adalah perencanaan detail dan monitoring evaluasi seperti disajikan dalam Gambar 20 dan 27. Penemuan ini memberikan implikasi bahwa perbaikan proses pengelolaan menjadi prioritas untuk mencapai pengelolaan kawasan konservasi yang lebih efektif. Hasil RAPPAM Brazil, Kamboja, Kwazulu Natal tidak dilanjutkan dengan analisis multivariabel yang memadai sehingga tidak diperoleh gambaran pada tahapan mana dalam siklus pengelolaan yang paling krusial mempengaruhi keluaran. Secara umum terdapat kesimpulan yang terus-menerus ditekankan dalam hasil RAPPAM ketiga negara tersebut yaitu untuk memperbaiki komponen masukan. Hal ini sangat berbeda dengan hasil RAPPAM Indonesia yang justru menemukan bahwa tahapan proses justru paling menentukan baik tidaknya keluaran (hasil) pengelolaan. 6.4
Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Efektif Fakta-fakta yang telah disajikan dalam hasil dan pembahasan di atas membawa
kita pada pemahaman betapa kompleksnya pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia untuk mencapai tujuan-tujuan pembentukan kawasan konservasi.
Oleh
sebab itu pembahasan berikut merupakan strategi umum yang diperoleh dengan menggabungkan hasil-hasil yang telah diperoleh dari analisis komponen utama nilai penting karakteristik kawasan konservasi dan efektivitas pengelolaan.
84
Sebaran 23 kawasan konservasi dalam grafik hasil PCA terhadap karakteristik kawasan yang disajikan pada Gambar 25 dan 27 dapat dibagi menjadi 4 kelompok, sedangkan sebaran kawasan konservasi dalam grafik hasil PCA terhadap efektivitas pengelolaan pada Gambar 29 juga dapat dibagi menjadi 4 kelompok. Kombinasi kedua sebaran tersebut mengkategorikan status dan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi menjadi berbagai kategori efektivitas pengelolaan seperti yang disajikan dalam matriks Tabel 12 berikut.
S-B tinggi, T-A tinggi
S-B rendahsedang T-A tinggi
S-B rendah T-A RendahSedang
S-B sedang, tinggi T-A Rendah
Efektivitas Tinggi
Komodo (KM)
-
Bunaken (BN) Kepulauan Seribu (KS) Wakatobi (WT)
Bali Barat (BB)
Efektivitas Sedang
Wasur (WS) Ujung Kulon (UK)
-
Taka Bonerate (TB)
Alas Purwo (AP) Way Kambas (WK)
Efektivitas Rendah
Karimun Jawa (KJ)
Teluk Cendrawasih (TC) Kutai (KT) Rawa Aopa (RA)
Tanjung Putting (TP) Berbak (BK) Manupeu Tanadaru (MT) Siberut (SR) Baluran (BL)
Meru Betiri (MB) Sembilang (SL) Gunung Palung (GP)
Efektivitas Sangat Rendah
-
-
-
Lorentz
Perbaikan External: Kolaboratif
Keterangan: Nilai masukan dan proses (M/P), perencanaan (R), nilai sosial ekonomi dan biologi (S/E), dan tekanan dan ancaman (T/A).
Peraikan Internal: Penguatan Kapasitas
Tabel 12. Matriks kategorisasi karakteristik dan efektivitas pengelolaan 23 kawasan konservasi di Indonesia
85
Berdasarkan kombinasi pada Tabel 12 tersebut, terlihat bahwa pengelolaan 23 kawasan konservasi di Indonesia menghadapi dua isu pengelolaan yaitu: pengelolaan
kondisi internal dan adaptasi terhadap kondisi eksternal seperti dijelaskan berikut: a. Pengelolaan kondisi internal: Isu ini mengacu pada efektivitas pengelola kawasan konservasi yang meliputi: penyusunan rencana pengelolaan, menerima masukan, dan memproses masukan-masukan tersebut sehingga diperoleh keluaran yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Kebijakan yang bisa diambil untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan secara internal adalah dengan peningkatan kapasitas melalui: (1) Perbaikan ”proses” pengelolaan yaitu perbaikan perencanaan detail, perbaikan struktur organisasi pengelola dan implementasi perencanaan, dan monitoring evaluasi. (2) Penyesuaian “masukan” seperti anggaran, staf, dan infrastruktur. b. Adaptasi terhadap kondisi eksternal: Isu ini mengacu pada kemampuan pengelola kawasan konservasi dalam menghadapi tingkat tekanan dan ancaman yang dialaminya berkaitan dengan status sosek, biologi yang dimilikinya. Kebijakan yang bisa diambil untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan terhadap kondisi eksternal adalah pendekatan kolaboratif melalui: (1) Peningkatan kepedulian para pemangku kepentingan lokal, nasional, dan internasional tentang nilai penting kawasan konservasi. (2) Meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan di tingkat lokal dan nasional melalui pemanfaatan yang bijaksana termasuk mekanisme pendanaan pengelolaan kawasan. Kebijakan yang selama ini diambil oleh pemerintah dalam menghadapi tekanan dan ancaman dari luar kawasan adalah dengan penegakan hukum secara tegas bagi para pelanggar dan pendekatan persuasif melalui kolaborasi pengelolaan.
Hasil
pelaksanaan kebijakan tersebut menunjukkan bahwa upaya-upaya pengelolaan secara kolaboratif lebih efektif dalam menurunkan tingkat tekanan dan ancaman pada kawasan konservasi.
Hal ini sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri
Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 yang mendorong agar pengelolaan kawasan
86
konservasi dilakukan secara kolaboratif. Dengan demikian intervensi kebijakan yang diambil dalam menghadapi kondisi eksternal saat ini telah mengerucut yaitu dengan peningkatan upaya-upaya pengelolaan secara kolaboratif. Intensitas intervensi masing-masing strategi bisa berbeda untuk kawasan konservasi yang berbeda, seperti yang digambarkan dalam Tabel 12. Semakin ke arah kiri dalam baris yang sama (horisontal), semakin besar intervensi yang dibutuhkan kawasan konservasi untuk beradaptasi terhadap kondisi eksternal. Semakin menurun dalam kolom yang sama (vertikal), semakin besar kebutuhan peningkatan kapasitas internal yang dibutuhkan. Kombinasi karakteristik yang ditampilkan dalam Tabel 12 tersebut diatas menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia bisa dilakukan dengan paling tidak 16 strategi berbeda. Pada contoh kasus kawasan konservasi yang dibahas saat ini, keseluruhan 23 kawasan konservasi membutuhkan 12 strategi seperti yang diuraikan berikut.
Ruang Lingkup Pelaksanaan Strategi Hasil pengelompokan baru yang disajikan dalam strategi umum ini merupakan hasil proses panjang dengan bantuan analisis komponen utama, analisis gerombol, dan analisis diskriminan.
Hasil proses ini sedemikian rupa memandu kita untuk
mengetahui kawasan-kawasan konservasi yang membutuhkan prioritas pengelolaan beserta strategi pengelolaannya. Oleh sebab itu hasil analisis ini dapat dengan mudah digunakan sebagai alat bantu penyusunan kebijakan ditingkat makro yaitu pengambilan kebijakan yang mencakup beberapa Taman Nasional sekaligus. Sebaliknya, hasil analisis ini memperlihatkan bahwa rekomendasi yang diberikan tidak bisa dengan serta merta diaplikasikan pada masing-masing kawasan konservasi. Rekomendasi yang dihasilkan cenderung mencakup kelompok-kelompok kawasan yang memiliki karakteristik sama, sehingga diperoleh kawasan atau isu pengelolaan yang menjadi prioritas. Rekomendasi umumnya tidak menyajikan strategi pengelolaan untuk satu kawasan konservasi. Menyikapi fakta diatas pelaksanaan rekomendasi yang dihasilkan dari analisis kuesioner RAPPAM di tingkat kawasan konservasi (meso) hanya bisa dilakukan jika
87
rekomendasi tersebut digabungkan dengan kondisi detail di masing-masing kawasan. Oleh sebab itu strategi yang dihasilkan merupakan gabungan antara kebijakan nasional pengelolaan kawasan konservasi dengan keunikan lokal masing-masing kawasan. Berikut disajikan rekomendasi strategi pengelolaan ditingkat makro yang digabungkan dengan beberapa ciri khas masing-masing kelompok ekosistem dominan kawasan konservasi. 6.4.1
Strategi Pengelolaan Rawa Pesisir dan Mangrove Kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove dapat ditemui di hampir
seluruh wilayah pesisir Indonesia dimana kondisi sosial ekonomi, biologi, tekanan dan ancaman yang dialami juga sangat bervariasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan sangat baik oleh Tabel 13 dimana letak kawasan konservasi dalam tabel menyebar di berbagai kategori pengelolaan sehingga secara keseluruhan strategi perbaikan internal maupun adaptasi kondisi eksternal tidak ada yang dominan satu dengan yang lain. Tabel 13. Kategori pengelolaan kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciricirinya
S-B tinggi, T-A tinggi
S-B rendahsedang T-A tinggi
S-B rendah T-A RendahSedang
S-B sedang, tinggi T-A Rendah
1
Efektivitas Tinggi
-
-
-
Bali Barat (BB)
2
Efektivitas Sedang
Wasur (WS) Ujung Kulon (UK)
-
-
Way Kambas (WK)
3
Efektivitas Rendah
Karimun Jawa (KJ)
Kutai (KT) Rawa Aopa (RA) Teluk Cendrawasih (TC)
Tanjung Putting (TP) Berbak (BK)
Sembilang (SL) Gunung Palung (GP)
4
Efektivitas Sangat Rendah
-
-
-
Lorentz (LZ)
Keterangan: Huruf miring menunjukkan bahwa kawasan tersebut juga masuk kelompok terumbu karang.
Kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove yang memerlukan proritas intervensi pengelolaan yaitu Taman Nasional Wasur, Ujung Kulon, Rawa Aopa, dan
88
Kutai sedangkan kawasan yang relatif rendah kebutuhan intervensinya adalah Way Kambas.
Tekanan dan ancaman utama yang umumnya dialami oleh kelompok
kawasan konservasi ini adalah pembalakan liar mangrove dan hutan rawa pesisir, perambahan kawasan, perburuan liar satwa rawa, dan alat tangkap perikanan yang desktrutif. Strategi pengelolaan kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove adalah: 1. Pemutakhiran data ekologi dan sosial ekonomi termasuk tekanan dan ancaman akibat kegiatan legal maupun ilegal pembukaan tambak, pembalakan mangrove dan hutan rawa, kebakaran rawa gambut, perburuan satwa rawa, dan mengkomunikasikan secara rutin informasi tersebut ke para pemangku kepentingan. Strategi pemutakhiran data ini diprioritaskan pada Taman Nasional Berbak, Teluk Cenderawasih, Lorentz, Sembilang, Tanjung Puting, dan Kutai. 2. Penyusunan atau revisi rencana strategis pengelolaan kawasan berdasarkan data mutakhir
terutama
untuk
mengendalikan
secara
sistematis
pembukaan
pertambakan legal maupun ilegal, pembalakan hutan rawa pesisir dan mangrove, kebakaran lahan gambut, perburuan satwa rawa-rawa seperti buaya muara, buaya sinyulong, burung air, dan penggunaan alat tangkap ikan destruktif. Fokus strategi ini ditujukan untuk Taman Nasional Berbak, Teluk Cenderawasih, Lorentz, Rawa Aopa, Karimun Jawa, Tanjung Puting, dan Kutai. 3. Peningkatan
sumber-sumber
pendanaan
melalui
kerjasama
internasional
perdagangan karbon baik melalui mekanisme protokol kyoto maupun mekanisme
voluntarily untuk reforestasi mangrove dan rawa gambut, Debt for Nature Swapt, pemanfaatan secara berkelanjutan melalui kegiatan ramah lingkungan seperti ekowisata perairan menyusur mangrove dan rawa pesisir, dan memotivasi partisipasi PEMDA dalam pengelolaan kawasan konservasi. Peningkatan dana ini akan diprioritaskan untuk mendukung peningkatan jumlah dan kualitas staf, perbaikan kondisi dan kenyamanan kerja, dan peningkatan fasilitas survey dan pengamanan.
89
Strategi peningkatan pendanaan dan kondisi staf ini diprioritaskan pada Taman Nasional Lorentz dan Sembilang, terutama sekali agar kawasan konservasi ini bisa segera mewujudkan pembentukan Balai Taman Nasional yang mandiri terlepas dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam. 4. Peningkatan peran masyarakat dalam perlindungan kawasan konservasi melalui komunikasi yang intensif, pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan di daerah penyangga terutama aspek pemasarannya seperti usaha madu mangrove, getah jelutung, dan wisata alam.
Hal ini terutama dilakukan untuk menekan
pembalakan liar, perambahan, dan perburuan liar. Strategi diprioritaskan pada Taman Nasional Berbak, Rawa Aopa, Karimun Jawa, Tanjung Puting, Kutai, Wasur dan Ujung Kulon. 5. Bekerjasama dengan masyarakat melakukan kegiatan rehabilitasi mangrove dan rawa pesisir yang mengalami kerusakan akibat pembalakan, pembuatan tambak, pertambangan dan kebakaran dengan mengkombinasikan kegiatan rehabilitasi tersebut dengan pengembangan mata pencaharian ramah lingkungan. Strategi ini diprioritaskan pada Taman Nasional Berbak, Tanjung Puting, Kutai, Rawa Aopa dan Wasur. 6. Bekerjasama dengan masyarakat melakukan kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan membentuk sukarelawan pengendali kebakaran hutan di rawa gambut terutama Berbak dan Sembilang, mempertahankan tinggi muka air di rawa-rawa pesisir dengan menyekat kanal-kanal rawa air tawar dan rawa gambut yang menyebabkan air rawa berkurang.
Strategi ini ditujukan bagi seluruh
kawasan konservasi. Intervensi peningkatan upaya kolaboratif sekaligus peningkatan kapasitas pengelola memerlukan kombinasi yang seimbang dalam pengelolaan kawasan mangrove dan rawa pesisir.
Hal ini disebabkan oleh karena temuan RAPPAM
menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan mengalami tekanan dan ancaman yang besar dan pada saat yang bersamaan kawasan konservasi umumnya belum dikelola dengan efektif. Lokasi kawasan konservasi prioritas untuk kelompok rawa pantai dan mangrove ditunjukkan pada gambar Lampiran 8.
90
Rekomendasi strategi pengelolaan kawasan konservasi mangrove dan rawa pesisir ini sejalan dengan Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah (NSAP) maupun Strategi Keanekaragaman Hayati (IBSAP). Hal ini ditunjukkan oleh karena NSAP dan IBSAP telah menetapkan isu moratorium eksploitasi sumberdaya alam dan no net loss kawasan lahan basah sebagai isu penting dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi yang senantiasa menjadi prioritas. Hasil RAPPAM di negara lain yaitu Kamboja juga menunjukkan bahwa pembalakan liar dan kegiatan eksploitatif sumberdaya alam menjadi tekanan dan ancaman utama.
Hanya saja rekomendasi kebijakannya justru diarahkan pada
peningkatan kerjasama antar kementerian kehutanan (MoF) dan lingkungan hidup (MAFF) dengan kementerian pertahanan. Hal ini disebabkan oleh karena terdapat indikasi kuat bahwa pembalakan liar di Kamboja terjadi terkait erat dengan adanya pos-pos militer didalam atau diluar kawasan konservasi (Lacerda et. Al. 2005). Berbeda dengan hasil RAPPAM di Indonesia, Kamboja, dan kondisi umum dinegara berkembang lainnya, hasil RAPPAM di Brazil dan Kwazulu Natal tidak merekomendasikan pembalakan dan perambahan sebagai tekanan dan ancaman utama yang harus dihadapi (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005; Goodman, 2003).
Meski berbagai temuan menunjukkan bahwa pembalakan dan
perambahan juga berlangsung sangat cepat di Amazon Brasil tapi pembalakan tersebut tidak terjadi karena isu kemiskinan tapi terjadi oleh perusahaan besar, kegiatan pemerintah yang tidak terarah, dan proyek-proyek Bank Dunia yang salah kaprah (Butler, 2007). Sedangkan di Kwazulu Natal perambahan maupun pembalakan sama sekali tidak menjadi isu pengelolaan karena wilayah lahan basah pesisirnya didominasi pantai berbatu dan padang serta memiliki jumlah staff pengawas yang berlebih (Goodman, 2003). 6.4.2
Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Terumbu Karang Kawasan konservasi terumbu karang umumnya ditemui di kawasan tengah dan
timur Indonesia.
Dibandingkan kawasan konservasi lahan basah pesisir lainnya,
kawasan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai lembaga internasional terutama the BiNGOs (WWF, CI, TNC, WCS) yaitu Bali Barat, Bunaken dan Ujung
91
Kulon oleh WWF, Wakatobi oleh TNC dan WWF, Karimun Jawa oleh WCS, dan Komodo oleh TNC. Keterlibatan lembaga-lembaga non profit internasional tidak selamanya berjalan mulus seperti pada kasus kemarahan Nelayan Sape terhadap Balai Taman Nasional Komodo dan TNC akibat penembakan nelayan, dan pengusiran masyarakat lokal dari lokasi kegiatan WWF/TNC di Taman Nasional Wakatobi. Terlepas dari persoalan tersebut, lembaga-lembaga internasional ini telah memberikan investasi yang cukup besar dalam penguatan kapasitas pengelola kawasan konservasi. Investasi tersebut dalam penelitian ini masuk dalam kategori pengelolaan kondisi internal. Tabel 14. Kategori pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciricirinya
S-B tinggi, T-A tinggi
1
Efektivitas Tinggi
Komodo (KM)
2
Efektivitas Sedang
Ujung Kulon (UK)
3
Efektivitas Rendah
Karimun Jawa (KJ)
S-B rendahsedang T-A tinggi -
-
S-B rendah T-A RendahSedang
S-B sedang, tinggi T-A Rendah
Bunaken (BN) Kepulauan Seribu (KS) Wakatobi (WT)
Bali Barat (BB)
Taka Bonerate (TB)
-
Teluk Cendrawasih (TC) Keterangan: Huruf miring menunjukkan bahwa kawasan konservasi tersebut juga bisa ditemukan dalam kelompok mangrove.
Investasi besar dalam penguatan kapasitas internal pengelola menyebabkan kawasan konservasi yang didominasi terumbu karang mengelompok pada kolom sebelah atas dalam Tabel 15. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan kondisi internal yang sudah berjalan saat ini tidak membutuhkan intervensi khusus kecuali pada Taman Nasional Karimun Jawa dan Teluk Cenderawasih.
Lokasi kawasan konservasi
prioritas untuk kelompok terumbu karang ditunjukkan dalam gambar pada Lampiran 9.
92
Pembenahan yang mendesak untuk dilakukan adalah adaptasi yang lebih baik terhadap tekanan dan ancaman utama yaitu: pembangunan pemukiman di Taman Nasional Kepulauan Seribu, Komodo dan Karimun Jawa; penangkapan berlebih, penggunaan alat tangkap yang berbahaya, dan penambangan karang dan pasir dan budidaya perikanan di semua kawasan konservasi, pengelolaan kontradiktif yang mengakibatkan konflik akibat pariwisata di Wakatobi, dan polusi di Kepulauan Seribu. Strategi pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang dapat disarikan seperti berikut: 1. Peningkatan kapasitas internal pengelola untuk mengakomodasi keikutsertaan pemangku kepentingan lokal dalam pengambilan keputusan terutama pada isu yang akan berdampak pada kehidupan pemangku kepentingan tersebut. Prioritas utama kegiatan ditujukan pada Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan selanjutnya ditujukan pada Taman Nasional Taka Bonerate. 2. Memberdayakan masyarakat sekitar kawasan dalam pengembangan mata pencaharian yang ramah lingkungan sesuai dengan karakteristik kawasan dan kebutuhan pasar seperti budidaya ikan konsumsi dan ikan hias, dan pariwisata bawah. Melalui komunikasi yang baik, kegiatan ini akan meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar kawasan untuk secara aktif membantu melindungi kelestarian kawasan sebagai bagian dari penghidupan mereka. Tekanan dan ancaman seperti penambangan pasir dan karang, penangkapan ikan berlebih, dan penggunaan alat tangkap destruktif dapat dikurangi melalui pendekatan ini seperti yang ditunjukkan dalam model percobaan pengelolaan Taman Nasional Bunaken. Prioritas utama kegiatan ditujukan pada seluruh Taman Nasional kecuali Bali Barat dan Kepulauan Seribu. 3. Mengurangi laju kerusakan akibat penambangan karang, penangkapan ikan yang berlebih, dan penggunaan alat tangkap yang merusak melalui komunikasi yang efektif dengan para pemangku kepentingan agar dicapai kesepakatan mengenai batasan jenis dan jumlah komoditas yang diperdagangkan ditingkat pedagang, dan batasan jumlah tangkapan dan jenis alat yang dibolehkan ditingkat nelayan.
93
4. Menjalin kolaborasi pengelolaan yang lebih erat dengan pemangku kepentingan di tingkat provinsi dan nasional. Hal ini ditujukan untuk mengurangi laju kerusakan akibat polusi dari wilayah lain, pengembangan pemukiman dan infrastruktur yang mengancam keutuhan kawasan, dan pengelolaan yang kontradiktif oleh pemerintah maupun swasta. Prioritas kegiatan ditujukan pada Taman Nasional Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, Komodo, dan Teluk Cenderawasih. Seperti halnya kelompok kawasan konservasi mangrove, kelompok terumbu karang juga menghadapi tekanan dan ancaman yang besar. Tekanan dan ancaman utama yang teridentifikasi melalui RAPPAM adalah pembangunan pemukiman, penangkapan berlebih, penggunaan alat tangkap yang berbahaya, penambangan karang dan pasir, budidaya perikanan, dan polusi. Oleh sebab itu, pilihan intervensi berupa peningkatan kegiatan kolaborasi dengan masyarakat merupakan pilihan prioritas sebab cara ini dapat langsung memiliki dampak yang lebih baik. Pilihan pendekatan ini tetap sejalan dengan strategi NSAP, IBSAP dan secara khusus sejalan dengan Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia dimana paling tidak 5 dari 9 strategi memastikan bahwa masyarakat lokal harus jadi pelaku utama pengelolaan (PKSPL 2000). Hasil temuan RAPPAM pada isu tekanan dan ancaman di kawasan konservasi terumbu karang di Indonesia jauh lebih kompleks dibandingkan dengan hasil temuan RAPPAM di Brazil, Kwazulu Natal, maupun Kamboja. Isu yang mengemuka di ketiga negara tropis hanya terbatas pada isu illegal fishing dan pariwisata sehingga rekomendasi penyelesaiannya pun sederhana seperti penataan tata batas di Kamboja, penataan tata batas dan peningkatan patroli di Brazil, dan pemantauan secara rutin di Kwazulu Natal. Kondisi yang relatif mirip dengan Indonesia adalah hasil RAPPAM di New Guinea yang juga menghadapi persoalan kompleks dalam pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang. Isu yang dihadapi relatif sama yaitu tekanan dan ancaman illegal
fishing, over exploitation, pencemaran, pertambangan, dan perambahan kawasan
94
(WWF, 2006). Kesamaan tersebut menyebabkan pendekatan yang relatif sama yaitu dengan membenahi mekanisme pengelolaan bersama dengan masyarakat. 6.4.3
Strategi Pengelolaan Hutan Pantai Kawasan konservasi lahan basah pesisir yang didominasi oleh ekosistem hutan
pantai umumnya berada di daerah yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hal tersebut menyebabkan lahan basah pesisir kawasan ini memiliki pemandangan tebing dan pantai berpasir yang indah.
Gelombangnya yang tinggi juga menarik
banyak pengunjung untuk berselancar. Tabel 15. Kategori pengelolaan kawasan konservasi hutan pantai Kawasan Konservasi Kelompok dan Ciricirinya
S-B tinggi, T-A tinggi
S-B rendahsedang T-A tinggi
S-B rendah T-A RendahSedang
S-B sedang, tinggi T-A Rendah
1
Efektivitas Tinggi
-
-
-
-
2
Efektivitas Sedang
-
-
-
Alas Purwo (AP)
3
Efektivitas Rendah
-
-
Manupeu Tanadaru (MT) Siberut (SR) Baluran (BL)
Meru Betiri (MB)
Secara umum di beberapa tempat kawasan konservasi ini juga memiliki ekosistem lahan basah tipe lain yaitu mangrove dan terumbu karang. Meski demikian jenis substratnya yang dominan berpasir dan kondisi fisik pantai yang dinamis menyebabkan kedua ekosistem tersebut tidak berkembang dengan baik. Kawasan konservasi hutan pantai memiliki tekanan dan ancaman yang relatif rendah dibandingkan dengan kawasan konservasi tipe ekosistem lainnya.
Meski
demikian nilai perencanaan terutama penetapan tata batas, zonasi, dan keterkaitan dengan kawasan lain; nilai masukan terutama kondisi kerja dan stabilitas pendanaan, dan nilai proses meliputi rencana detail dan pemantauan kawasan semuanya bernilai
95
rendah rendah. Hal tersebut menyebabkan secara vertikal hampir semua kawasan terkumpul di bagian bawah dalam tabel yaitu kategori efektivitas rendah. Tekanan dan ancaman yang dihadapi kawasan konservasi hutan pantai relatif bervariasi yaitu perambahan dan pembalakan di Siberut, Meru Betiri, dan Manupeu Tanadaru, Perburuan satwa seperti banteng jawa, penyu, rusa sambar, dan berbagai jenis burung di Baluran dan Manupeu Tanadaru; dan ancaman spesies invasif akasia berduri yang justru merusak ekosistem savana di Baluran. Jika dibandingkan dengan nilai tekanan dan ancaman yang dihadapi kelompok kawasan lainnya maka tekanan ancaman yang dihadapi oleh hutan pantai masih relatif kecil. Hal tersebut ditunjukkan dalam Tabel 16 dimana secara horisontal sebagian besar kawasan konservasi mengelompok di sebelah kanan, kecuali Taman Nasional Alas Purwo. Oleh sebab itu upaya adaptasi kondisi eksternal yang telah berjalan saat ini sudah cukup memadai dan tidak memerlukan intervensi tambahan secara khusus. Strategi pengelolaan kawasan konservasi hutan pantai perlu lebih ditingkatkan pada perbaikan kondisi internal dan peningkatan kapasitas sedangkan kegiatan kolaboratif yang telah dijalankan saat ini tetap dilanjutkan seperti biasa. Dengan demikian strategi pengelolaannya dapat dirumuskan seperti berikut: 1. Pemutakhiran data ekologi dan sosial ekonomi melalui pemantauan rutin, termasuk menganalisis tekanan dan ancaman akibat kegiatan perambahan untuk pemukiman, kebun, maupun infrastruktur jalan, pembalakan hutan pantai, perburuan satwa endemik pulau dan satwa bermigrasi seperti penyu, dan kebakaran hutan dan savana. Informasi tersebut selanjutnya dikomunikasikan secara rutin kepada para pemangku kepentingan. Strategi pemutakhiran data ini diprioritaskan pada Taman Nasional Siberut dan Manupeu Tanadaru. 2. Penyusunan rencana kerja detail berdasarkan hasil pemutakhiran data terutama untuk mengendalikan tekanan dan ancaman terhadap kawasan akibat perambahan, pembalakan, perburuan satwa, spesies invasif, dan pemanenan hasil hutan non kayu. Prioritas pelaksanaan strategi ini ditujukan pada Taman Nasional Siberut, Baluran dan Manupeu Tanadaru.
96
3. Peningkatan upaya-upaya pendanaan pengelolaan kawasan konservasi melalui pengembangan kegiatan ekowisata, lintas alam, susur gua, pemanfaatan kekayaan hutan pesisir non kayu dalam jumlah yang ditetapkan secara ilmiah, dan meningkatkan partisipasi Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana pendukung terutama sekali karena kawasan konservasi hutan pantai adalah penyedia jasa lingkungan berupa ketersediaan air bagi masyarakat sekitarnya. 4. Mempertahankan upaya-upaya kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain baik masyarakat sekitar kawasan, pemerintah, maupun kalangan swasta untuk mengendalikan tingkat perambahan, pembalakan liar, dan pengambilan hasil hutan pantai non kayu terutama di Taman Nasional Siberut. Tekanan dan ancaman yang relatif rendah dialami oleh kawasan konservasi kelompok hutan pantai menyebabkan kebutuhan akan intervensi pengelolaan pada keompok ini menjadi tidak terlalu prioritas. Pengelolaan yang telah dilaksanakan saat ini sudah cukup memadai terutama pada kawasan-kawasan konservasi yang terletak di Pulau Jawa. Dengan kata lain, prioritas pengelolaan kawasan konservasi kelompok hutan pantai adalah dengan melakukan intervensi untuk memenuhi kebutuhan kawasan konservasi di luar Pulau Jawa.
Hal tersebut diperlihatkan dalam strategi yang
direkomendasikan selalu diprioprioritaskan pada Taman Nasional Manupeu Tanadaru dan Siberut. Letak kawasan konservasi prioritas untuk kelompok hutan pantai ditunjukkan dalam gambar pada Lampiran 10. Secara umum, rekomendasi strategi yang dihasilkan dari RAPPAM tetap sejalan dengan strategi umum yang terdapat dalam NSAP maupun strategi regional IBSAP terutama pada region Sumatera dan Region Nusa Tenggara dan Maluku. Strategi regional IBSAP dengan jelas menekankan pentingnya menjaga keutuhan kawasan konservasi pesisir dan laut melalui pemberdayaan masyarakat sekitar.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kawasan konservasi yang dikaji dalam penelitian ini umumnya memiliki nilai penting biologis dan sosial ekonomis yang tinggi. Beberapa diantara kawasan tersebut juga mengalamai tekanan dan ancaman yang tinggi meski dalam intensitas yang berbeda-beda. Tekanan dan ancaman yang paling besar dihadapi kawasan konservasi adalah perambahan, pembalakan, dan perburuan satwa liar. 2. Sebagian besar kawasan konservasi belum efektif dalam melakukan pengelolaan yang ditandai oleh kondisi perencanaan terutama landasan hukum dan desain tapak kawasan yang masih lemah, kekurangan masukan terutama infrastruktur dan keuangan khususnya di kawasan konservasi luar Jawa dan Bali, kelemahan proses pelaksanaan rencana terutama pada komponen monitoring evaluasi khususnya penelitian isu sosial ekonomi. 3. Tahapan dalam siklus pengelolaan yang paling mempengaruhi efektivitas dan keberhasilan pengelola adalah tahapan ”proses”. Tahapan tersebut meliputi: (1) perencanaan detail; (2) mekanisme pengambilan keputusan dan praktek-praktek pelaksanaannya; (3) penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan. 4. Pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan dua strategi prioritas pengelolaan yaitu strategi pengelolaan kondisi internal yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pengelola dan strategi kondisi eksternal yaitu pengembangan kegiatan kolaboratif untuk menurunkan tekanan dan ancaman. Strategi ini masih cenderung berupa strategi makro yang merupakan ciri rekomendasi RAPPAM. Penyusunan rekomendasi strategi pengelolaan ditingkat meso yaitu untuk kelompok kawasan konservasi dengan tipe ekosistem tertentu harus disesuaikan dengan kondisi khusus masing-masing ekosistem. 5. Dengan menggabungkan rekomendasi makro RAPPAM dengan kondisi kelompok kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove diketahui bahwa kelompok ini membutuhkan
kombinasi
peningkatan
kapasitas
dan
penguatan
kegiatan
98
kolaboratif yang seimbang agar berhasil disusun/direvisi rencana pengelolaan yang lebih baik, meningkatnya sumber pendanaan melalui berbagai sumber, dan kerjasama pengelolaan kawasan dengan masyarakat melalui rehabilitasi yang dikombinasi dengan perbaikan mata pencaharian.
Kawasan konservasi yang
membutuhkan prioritas adalah Taman Nasional Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur. 6. Kelompok terumbu karang membutuhkan prioritas strategi eksternal melalui penciptaan terobosan dalam kegiatan kolaboratif dengan masyarakat untuk meredam tekanan dan ancaman yang tinggi. Kegiatan prioritas tersebut adalah berupa penyediaan ruang partisipasi yang lebih luas bagi semua stakeholder dalam pengambilan keputusan pengelolaan kawasan dan pengembangan matapencaharian yang ramah lingkungan.
Kawasan konservasi yang membutuhkan prioritas
pengelolaan adalah Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan Karimun Jawa. 7. Kelompok hutan pantai memiliki ciri kebalikan dengan kondisi kelompok terumbu karang dimana yang justru membutuhkan intervensi peningkatan kapasitas yang besar sedangkan kegiatan kolaboratif seperti pengembangan mata pencaharian alternatif bisa dijalankan dalam intensitas yang telah berjalan saat ini. Prioritas kegiatan adalah penyusunan/revisi rencana pengelolaan kawasan dan peningkatan upaya-upaya pendanaan melalui kegiatan ekowisata pantai, susur gua, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu.
Kawasan yang membutuhkan prioritas
pengelolaan adalah Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan Baluran. Saran 1. Perlu senantiasa dilakukan pemutakhiran data ekologi, sosial ekonomi, dan hasil analisisnya untuk mengetahui status terkini kawasan konservasi di Indonesia, peluang pemanfaatan secara bijaksana dan berkelanjutan agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih efektif. 2. Pemerintah (Departemen Kehutanan) perlu segera memfasilitasi disusunnya peta jalan untuk menjawab kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian besar kawasan konservasi belum efektif dalam pengelolaannya dengan mengembangkan dua
99
strategi prioritas yaitu strategi pengelolaan kondisi internal yang berkaitan dengan peningkatan
kapasitas
pengelola
dan
strategi
kondisi
eksternal
yaitu
pengembangan kegiatan kolaboratif untuk mengurangi tekanan dan ancaman. 3. Kelompok kawasan konservasi rawa pesisir dan mangrove terutama Taman Nasional Ujung Kulon, Kutai, Rawa Aopa, dan Wasur perlu meningkatkan pendanaan untuk menambah jumlah dan meningkatkan kualitas dan fasilitas staff. Kelompok ini juga perlu untuk melakukan rehabilitasi ekosistem yang dikombinasi dengan perbaikan mata pencaharian masyarakat. 4. Kelompok
kawasan
terumbu
karang
terutama
Taman
Nasional
Teluk
Cenderawasih dan Karimun Jawa perlu menyediakan ruang yang lebih luas lagi bagi semua stakeholder untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat disekiling kawasan perlu difasilitasi pengembangan kondisi sosial ekonominya melalui pengembangan mata pencaharian yang ramah lingkungan. 5. Kelompok kawasan hutan pantai terutama Taman Nasional Manupeu Tanadaru, Siberut, dan Baluran perlu untuk menyusun/merevisi rencana pengelolaan kawasan agar lebih efektif dalam upaya-upaya mengembangkan pendanaan melalui pengembangan kegiatan ekowisata pantai, susur gua, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu. 6. Rekomendasi strategi yang dihasilkan dari analisis RAPPAM sebaiknya dilanjutkan dengan analisis kondisi masing-masing kawasan sehingga dapat diperoleh strategi pengelolaan yang menjawab dengan tepat kebutuhan di tingkat kawasan konservasi dengan tetap berada dalam kerangka kebijakan nasional.
DAFTAR PUSTAKA Abbot TE, 2003. An Assesment of 16 Governance Indicator for the Bird Island Sanctuary, Commonwealth of the Northen Mariana Island. Marine Protected Area Management Initiative. IUCN/WCPA. WWF. NOAA. Belfiore S, et al. 2003. A Reference Guide on the Use of Indicator for Integrated Coastal Management. ICAM Dossier 1. IOC Manual Guides and Reference No 45. UNESCO 2003. Bappenas. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. BAPI. Bappenas. Jakarta. Bappenas. 2004. Indonesia Biodiveristy Strategy and Action Plan, IBSAP. Bappenas. Jakarta. Butler
RA. 2007. Deforestation in Amazon. Rainforest Information. MONGABAY.COM. http://www.mongabay.com/brazil.html. [20 Juli 2007]
Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Departemen Kehutanan 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia. Publikasi Bersama Departemen Kehutanan, Lestari Hutan Indonesia, Japan International Cooperation Agency. Departemen Kehutanan. 2005. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2005/PHKA. [1 Des 2006] Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/2004/PHKA. [6 Juni 2006] Departemen Kehutanan. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Publikasi Bersama Departmenen Kehutanan, UNESCO, dan CIFOR. Ervin J. 2003. Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM) Methodology . World Wild Fund for Nature. Gland, Switzerland. Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005. Implementation of Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management by the Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. World Wild Fund for Nature. Brazil. Furukawa H. 1994. Coastal Wetlands of Indonesia: Environment, Subsistence, and Exploitation. Kyoto University Press. Japan. Göenner C, Wibowo P, 2002. Outline of a Valuation Model of Sembilang National Park. Technical Report No 39. The Greater Berbak-Sembilang Integrated Coastal Wetland Conservation Project – GEF MSP. WI-IP. Bogor. Goodman PS. 2003. Assessing Management Effectivenes and Setting Priorities in Protected Areas in KwaZulu-Natal. American Institute of Biological Science. WWF. Gland Switzerland.
101
Hehanussa PE, Haryani GS. 2001. UNESCO, LIPI
Kamus Limnologi (Perairan Darat). IHP,
Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness: A Framework for Assessing Management Effectivenes of Protected Area 2nd Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Harahap MK. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Studi Kasus Desa Karangsong Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Tesis Master Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Jawatan Perlindungan Hidupan Liar dan Taman Negara (Perhilitan) Semenanjung Malaysia. 2003. Laporan Tahunan 2003. Perhilitan. Malaysia. Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Pendanaan Kawasan Perlindungan di http://www.menlh.go.id/bk/news_item.php?NewsID=34. [6 Juni 2006] Komite Nasional Pengelolaan Lahan Basah, 2004. Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Lacerda L, Schmitt K, Cutter P, Meas S. 2004. Management Effectivenes Assessment of the System of Protected Areas in Cambodia using WWF’s RAPPAM Methodology. Ministry of Environment, Biodiversity and Protected Area Management Project, Phnom Penh. Cambodia. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons. New York. National Wetlands Committe (NWC) for SCS Project. 2004. Final Report Coastal Wetlands Subcomponent of Indonesia. South China Sea Project. WI–IP. Bogor. UNEP-GEF SCS Project. Nitibaskara TU. 2005. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam Prosiding Seminar Nasional Membangun Kabupaten Bintuni Berbasis Sumberdaya. Universitas Trisakti Jakarta. The Nature Conservancy SEA CMPA Bali. Universitas Negeri Papua. Pomeroy RS, Parks JE, Watson LM, 2004. How is Your MPA Doing. A Guide Book of Natural and Social Indicators for Evaluating Marine Protected Area Management Effectivenes. IUCN, Gland, Swizterland and Cambridge, UK. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2000. Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Ramsar Convention. 2006. www.ramsar.org [27 April 2007] Rahmiyati. 2006. Social Forestry di Hutan Lindung. http://www.indomedia.com/ bpost/112006/9/opini/ opini2.htm. [27 April 2007]
102
Staub F, Hatziolos ME, 2004. Score Card to Assess Progress in Achieving Management Effectivennes Goals for Marine Protected Areas. The World Bank. Tempo Interaktif. 2006. Pemerintah diminta naikkan anggaran konservasi. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/02/17/brk,2006021774079,id.html. [6 Juni 2006] Tempo Interaktif. 2006. Omzet Perdagangan Satwa Liar Ilegal Rp 9 Trilyun/tahun. http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/19/brk,2006011972553,id.html. [6 Juni 2006] United States Environmental Protection Agency (EPA). 2002. Electronic Clean water Act “Snapshot”. http://www.epa.gov/region5/water/cwa.htm. [10 April 2005] United Nations Environment Programme (UNEP). 2004. Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand. Report of the Fourth Meeting of the Regional Working Group for the Wetlands Sub Compoent. UNEP/GEF Bangkok. Warner BG, Rubec CDA, ed. 1997. The Canadian Wetland Classification System. Wetlands Research Centre, University of Waterloo. Waterloo. Wiratno D, Indriyo A, Syarifuddin A, Kartikasari. 2002. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia. PILI-NGO Movement. Jakarta. WWF. 2006. Evaluating Protected Area Management in New Guinea. http://www.panda.org/about_wwf/where_we_work/asia_pacific/our_solutions/ new_guinea_forests/conservation_new_guinea_forests/protection_forests_new _guinea/protected_areas_new_guinea_forests/protected_areas_establishment/pr otected_area_evaluation_new_guinea.cfm. [10 April 2007]
LAMPIRAN
104
Lampiran 1. Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah nasional No.
Landasan Hukum
Keterangan Sumber Hukum
1.
UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4)
Ayat (3) menekankan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ayat (4) menekankan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan antara lain berdasarkan atas prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.
Undang-Undang 1
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan resapan air, pembentukan wilayah pengelolaan, wilayah perlindungan dan konservasi berdasarkan keberadaan lahan basah di kawasan hutan.
2
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Antara lain menyebutkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam hal pendayagunaan sumber daya alam dan upaya-upaya konservasi. Mengatur distribusi wewenang pengelolaan lahan basah lintas kabupaten, kota, provinsi.
3
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Antara lain berisi tentang asas, tujuan dan sasaran; hak, kewajiban, dan peran masyarakat; wewenang pemerintah; upaya pelestarian fungsi; serta tata-cara penyeselesaian sengketa dan penyidikan kasuskasus mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
4
UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim (United Nation Framewok Convention on Climate Change)
Konvensi ini merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumahkaca gabungan mereka paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Secara tidak langsung Undang-undang ini dapat mendorong perlindungan lahan basah untuk tujuan pengendalian perubahan iklim.
5
UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity/CBD)
Mengesahkan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati yang antara lain berisi tentang tindakan umum bagi konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan; identifikasi dan pemantauan keanekaragaman hayati; serta pengkajian dampak dan pengurangan dampak yang merugikan.
6
UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang (termasuk pemanfaatan ruang kawasan lindung); yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan.
104
105
7
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan usaha perlindungan seperti perlindungan sistem penyangga, pengawetan keanekaragaman jenis, aktivitas apa saja yang dilarang, dan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya,
8
UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nation Convention on The Law of The Sea)
Mengesahkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut. Konvensi ini antara lain menentukan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
9
UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (dalam proses revisi, September 2003)
Mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumber daya ikan termasuk habitatnya.
10
UU No. 7 Tahun 2004
Antara lain berisi tentang hak dan wewenang negara dalam pengelolaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; tata pengaturan air; tata cara pembinaan pengairan; pengusahaan air dan sumber-sumber air; eksploitasi dan pemeliharaan bangunan perairan; perlindungan air, sumber-sumber air, dan bangunan-bangunan perairan; pembiayaan kegiatan pembangunan air; serta ketentuan pidana. Peraturan Pemerintah
1
PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Peraturan Pemerintah ini antara lain membahas tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
2
PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Antara lain berisi tentang wewenang pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air; rencana pendayagunaan air; klasifikasi dan kriteria mutu air; kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan retribusi pembuangan air limbah; tata cara melaporkan pelanggaran; hak dan kewajiban masyarakat; persyaratan pemanfaatan dan pembuangan air limbah; serta sanksi-sanksi.
3
PP No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Antara lain berisi tentang kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan; baku mutu pencemaran; tata laksana pengendalian; wewenang pengendalian kerusakan; pengawasan; pelaporan; peningkatan kesadaran masyarakat; keterbukaan informasi dan peran masyarakat; pembiayaan; sanksi administrasi; ganti rugi; serta ketentuan pidana. Pada peraturan ini telah diatur batas-batas kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
105
106
4
PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
Menerangkan secara rinci kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Kewenangan tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa bidang, antara lain yaitu: bidang pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, penataan ruang, pertanahan, dan lingkungan hidup.
5
PP No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Antara lain berisi tentang kewajiban melakukan AMDAL bagi setiap jenis usaha/kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar/penting terhadap lingkungan hidup; cara kerja komisi penilai AMDAL; tata cara pembuatan AMDAL, pembinaan, dan pengawasan; serta keterbukaan informasi dan peran masyararakat.
6
PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
Antara lain berisi tentang baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut, dan status mutu laut; pencegahan pencemaran laut; pencegahan kerusakan laut; penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut; pemulihan mutu laut; pengawasan; serta pembiayaan.
7
PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Mengatur masalah pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, yang antara lain meliputi: pengkajian, penelitian, pengembangan, penangkapan, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan, pengiriman dan pengangkutan, serta sanksi.
8
PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Antara lain berisi tentang definisi, asas, tujuan, serta kriteria Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (kecuali pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa serta kegiatan kepariwisataaan di zona pemanfaatan).
9
PP No. 35 Tahun 1991 Tentang Sungai
Antara lain berisi tentang penguasaan sungai; fungsi sungai; wewenang dan tanggung jawab pembinaan; perencanaan sungai, pembangunan bangunan sungai; eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai; pembangunan, pengelolaan, dan pengamanan waduk; pengamanan sungai dan bangunan sungai; kewajiban dan larangan; pembiayaan; serta ketentuan pidana.
10
PP No. 27 Tahun 1991 Tentang Rawa
Lingkup pengaturan rawa dalam Peraturan Pemerintah ini adalah penyelenggaraan konservasi rawa yang meliputi perlindungan, pengawetan secara lestari dan pemanfaatan rawa sebagai ekosistem sumber air.
11
PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan
Mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan kawasan hutan, perlindungan tanah hutan, perlindungan terhadap kerusakan hutan, perlindungan hasil hutan, pelaksanaan perlindungan hutan, dan ketentuan pidana.
12
PP No. 2 Tahun 1982 Tentang Pengaturan Tata Air
Antara lain berisi tentang asas dan landasan hak atas air; pola tata pengaturan air; koordinasi tata pengaturan air; penggunaan air dan/atau sumber air; perlindungan air; eksploitasi dan pemeliharaan bangunan pengairan; pengawasan; serta ketentuan pidana.
106
107
Keputusan Presiden 1
Keppres No.48 Tahun 1991 Mengenai Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat
Konvensi ini berisi tentang ketentuan konservasi lahan basah dan situs-situs lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional. Pada pengesahan tersebut Pemerintah RI telah mengajukan Taman Nasional Berbak di Jambi sebagai lahan basah yang memiliki nilai penting secara internasional untuk dilindungi.
2
Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Menerangkan tentang ruang lingkup kawasan lindung; pokok kebijaksanaan kawasan lindung (meliputi kriteria jenis-jenis kawasan lindung dan tujuan perlindungannya); tata cara penetapan kawasan lindung; serta upaya pengendalian kawasan lindung.
3
Keppres No. 26 Tahun 1989 Mengenai Pengesahan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia.
Konvensi ini antara lain berisi tentang definisi warisan budaya dan alam, upaya-upaya perlindungan di tingkat nasional dan internasional, pembentukan komite antar negara untuk upaya perlindungan, pendanaan bagi kegiatan perlindungan, tata cara memperoleh bantuan internasional untuk upaya perlindungan, serta kewajiban bagi negara-negara peserta konvensi untuk melakukan programprogram pendidikan dan penyebaran informasi mengenai pentingnya warisan budaya dan alam kepada masyarakat.
4
Keppres No. 43 Tahun 1978 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Punah (Convention on International Trade of Endangered Species of wild Plants and Animals/ CITES)
Berisi tentang pembatasan, pelarangan, dan pemantauan terhadap jenis flora dan fauna (terutama yang terancam punah). Konvensi ini terdiri dari tiga lampiran; Lampiran 1 berisi tentang kategori spesies yang terancam punah yang kemungkinan besar disebabkan karena adanya perdagangan spesies tersebut; Lampiran II berisi tentang daftar semua spesies yang masuk dalam kategori tidak benar-benar terancam punah, namun akan menjadi terancam jika perdagangan spesiesnya tidak dikontrol dengan ketat; dan Lampiran III berisi tentang kategori spesies di mana suatu negara menganggapnya perlu untuk diatur dalam yurisdiksinya dengan tujuan mencegah atau membatasi eksploitasi.
107
108
Lampiran 2. Beberapa strategi nasional pengelolaan lahan basah yang menjadi acuan dalam penelitian ini. No
Nama Strategi
Keterangan
1.
Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Basah (NSAP) 1996 yang kemudian direvisi pada tahun 2004
Strategi ini dikeluarkan oleh Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil institusi pemerintah, peneliti dan akademisi, masyarakat sipil, dan pihak swasta. Penyusunannya sendiri difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan sehingga meski tidak memiliki baju hukum, Strategi Nasional ini dapat menjiwai kebijakan operasional yang dikembangkan oleh paling tidak dua kementerian sektor tersebut.
2.
Strategi dan Rencana Tindak untuk Keanekaragaman Hayati tahun 1993 (BAPI) yang kemudian direvisi tahun 2003 (IBSAP ).
Strategi ini diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui konsultasi publik yang diikuti oleh berbagai perwakilan pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan peneliti. Seperti halnya NSAP 2004, IBSAP 2003 juga tidak memiliki baju hukum. Pelaksanaan Strategi Nasional ini didukung oleh sumberdaya Bappenas yang besar sehingga diperkirakan program-program nasional yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berada dibawah koordinasi Bappenas akan mengacu pada IBSAP 2004.
3.
Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia tahun 2005 saat ini dalam proses revisi.
Penyusunan Strategi Nasional Mangrove difasilitasi oleh Departemen Kehutanan dan LSM Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Strategi Nasional ini direncanakan akan memiliki baju hukum agar pelaksanannya menjadi bersifat wajib bagi instansi pemerintah terkait. Tanpa baju hukum Strategi Nasional ini akan tetap dapat menjadi acuan berbagai pemangku kepentingan, minimal bagi Departemen Kehutanan.
4.
Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia tahun 2000.
Strategi ini merupakan dokumen ilmiah yang dapat digunakan sebgai acuan bagi para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam mengelola sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Penyusunan strategi ini merupakan hasil kerjasama antara Pusat Kajian dan Seumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) – Institut Pertanian Bogor dengan COREMAP – LIPI.
5.
Nasional Forest Program
National Forest Program (NFP) ini merupakan kerangka kerja yang sedang disusun oleh Departemen Kehutanan sebagai acuan bagi pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan, dan pembangunan seluruh tipe hutan. Pelaksanaan National Forest Program akan berjalan lebih efektif di Departemen Kehutanan dibandingkan jika Strategi Nasional lainnya tidak dilengkapi baju hukum. Hal ini disebabkan oleh karena NFP adalah produk internal Dephut yang mengikat ke dalam.
108
109
Lampiran 3. Daftar istilah Achievement Assesment Awareness
Coastal wetlands Conservation area Context Effect Effectivenes Endangered Good governance Impact Indigenous people Management Objective Outcome Output
Planning Policy Protected area
Rare Result Sanctuary Score card Stakeholder Vulnerable
Pencapaian, istilah dalam siklus pengelolaan. Penilaian, istilah dalam siklus pengelolaan. Kepedulian, sering juga diterjemahkan “peningkatan kepedulian”. Tidak menggunakan terjemahan “penyadaran” karena dianggap melecehkan masyarakat oleh beberapa kalangan penggiat pemberdayaan masyarakat. Lahan basah pesisir Kawasan konservasi Konteks, istilah dalam siklus pengelolaan Pengaruh, istilah dalam siklus pengelolaan. Efektivitas Genting, istilah IUCN Tata Laksana yang baik, terjemahan ini dipakai di Kementerian Lingkungan Hidup. Dampak, diambil dari terjemahan EIA menjadi AMDAL Masyarakat adat Pengelolaan Tujuan, istilah dalam siklus pengelolaan. Hasil, istilah dalam siklus pengelolaan. Terjemahan ini digunakan dalam Laporan Akuntabilitas Dirjen PHKA Keluaran, istilah dalam siklus pengelolaan. Terjemahan ini digunakan dalam Laporan Akuntabilitas Dirjen PHKA Perencanaan, istilah dalam siklus pengelolaan Kebijakan Kawasan konservasi, kecuali jika kalimat aslinya merujuk pada kawasan yang ditujukan semata-mata sebagai kawasan yang dilindungi, terjemahannya menjadi ”kawasan lindung”. Jarang, istilah IUCN Hasil, istilah dalam siklus pengelolaan Daerah perlindungan Kartu nilai, istilah penilaian efektivitas pengelolaan Pemangku kepentingan, terjemahan ini banyak digunakan di Kementerian Lingkungan Hidup Rentan, istilah IUCN
110
Lampiran 4. Kuesioner RAPPAM KUESIONER PENILAIAN CEPAT DAN PENENTUAN PRIORITAS PENGELOLAN KAWASAN KONSERVASI (RAPPAM) 1. Latar Belakang Informasi a. Nama Kawasan Konservasi b. No dan tanggal SK penunjukan kawasan No dan tanggal SK penetapan kawasan c. Luas kawasan d. Nama responden e. Tanggal pengisian kuesioner f. Realisasi anggaran dalam satu tahun g. Mitra utama (non pemerintah) dan jenis kegiatannya h. Tujuan pengelolaan secara spesifik i. Kegiatan paling kritis dalam pengelolaan kawasan
2. TEKANAN DAN ANCAMAN DI KAWASAN KONSERVASI Jenis tekanan ...(1) ٱMengalami Tidak Mengalami Selama lima tahun Bentuk tekanan selama lima tahun terakhir kegiatan Luas Dampak Permanen ٱMeningkat tajam Keseluruhan (>50%) ٱSangat tinggi ٱPermanen (>100 th) ٱMeningkat sediki ٱMenyebar luas (15ٱTinggi ٱJangka panjang (20-100 th) 50%) ٱTetap ٱTersebar (5-15%) ٱModerat ٱJangka menengah (5-20 th) ٱMenurun sedikit ٱTerpusat setempat ٱRingan ٱJangka pendek (<5 th) (<5%) ٱMenurun tajam Ancaman... (1) Akan menjadi ancaman Tidak akan menjadi ancaman lima tahun kedepan Kemungkinan terjadi Kemungkinan gangguan ancaman lima tahun mendatang ancaman ٱSangat tinggi Luas Dampak Permanen ٱTinggi ٱKeseluruhan (>50%) ٱSangat tinggi ٱPermanen (>100 th) ٱMedium ٱMenyebar luas (15ٱTinggi ٱJangka panjang (2050%) 100 th) ٱRendah ٱTersebar (5-15%) ٱModerat ٱJangka menengah (520 th) ٱSangat Rendah ٱTerpusat setempat ٱRingan ٱJangka pendek (<5 th) (<5%)
111
2. TEKANAN DAN ANCAMAN DI KAWASAN KONSERVASI Jenis tekanan ...(2) ٱMengalami ٱTidak Mengalami Selama lima tahun Bentuk tekanan selama lima tahun terakhir kegiatan Luas Dampak ٱMeningkat tajam ٱKeseluruhan (>50%) ٱSangat tinggi ٱMeningkat sediki ٱMenyebar luas (15ٱTinggi 50%) ٱTetap ٱTersebar (5-15%) ٱModerat ٱMenurun sedikit
ٱTerpusat setempat (<5%)
ٱMenurun tajam Ancaman.... (2) Akan menjadi ancaman Kemungkinan terjadi ancaman ٱSangat tinggi ٱTinggi ٱMedium ٱRendah ٱSangat Rendah
ٱRingan
Permanen ٱPermanen (>100 th) ٱJangka panjang (20100 th) ٱJangka menengah (520 th) ٱJangka pendek (<5 th)
Tidak akan menjadi ancaman lima tahun kedepan Kemungkinan gangguan ancaman lima tahun mendatang Luas ٱKeseluruhan (>50%) ٱMenyebar luas (1550%) ٱTersebar (5-15%)
Dampak ٱSangat tinggi ٱTinggi
ٱTerpusat setempat (<5%)
ٱRingan
ٱModerat
Permanen ٱPermanen (>100 th) ٱJangka panjang (20100 th) ٱJangka menengah (520 th) ٱJangka pendek (<5 th)
3. KEPENTINGAN BIOLOGIS – KONTEKS Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. Kawasan konservasi terdiri dari sejumlah spesies langka, terancam punah, dan kondisi genting dalam jumlah yang relatif tinggi b. Kawasan konservasi berisikan keanekaragaman hayati dalam jumlah relatif tinggi c. Kawasan konservasi memiliki endemisitas yang relatif tinggi d. Kawasan konservasi mengandung fungsi bentang alam yang kritis, seperti habitat hidupan liar langka/kunci, migrasi satwa liar, dll e. Kawasan konservasi memiliki keanekaragaman satwa dan tumbuhan dalam skala luas f. Kawasan konservasi secara nyata mendukung keperwakilan sistem kawasan konservasi g. Kawasan konservasi melestarikan populasi layak minimum dari spesies kunci h. Struktur keanekaragaman kawasan konservasi sejalan dengan norma sejarah i. Kawasan konservasi meliputi ekosistem yang wilayahnya berdasarkan nilai historisnya secara luas telah mengalami kerusakan j. Kawasan konservasi mempertahankan secara penuh proses alami dan gangguan regime
Catatan
112
4. KEPENTINGAN SOSIAL DAN EKONOMI – KONTEKS Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Catatan
Kawasan konservasi merupakan sumber penting bagi mata pencaharian masyarakat setempat Kawasan konservasi merupakan sumberdaya tempat bergantung bagi kehidupan masyarakat setempat Kawasan konservasi memberi peluang pengembangan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya secara lestrai Kawasan konservasi mempunyai nilai-nilai yang berarti bagi kepercayaan agama atau spritual Kawasan konservasi mempunyai bentuk keindahan alami yang luar biasa Kawasan konservasi mempunyai jenis-jenis tumbuhan bernilai tinggi bagi kepentingan sosial, budaya, dan ekonomi Kawasan konservasi mempunyai jenis-jenis satwa bernilai tinggi bagi kepentingan sosial, budaya, dan ekonomi Kawasan konservasi mempunyai nilai rekreasi tinggi Kawasan konservasi mendukung layanan ekosistem secara nyata dan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat Kawasan konservasi mempunyai nilai-nilai pendidikan dan ilmiah yang tinggi
5. KERAPUHAN - KONTEKS Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. Kegiatan illegal dalam kawasan konservasi sulit dilakukan pemantauan b. Penegakan hukum lemah dilaksanakan di wilayah yang bersangkutan c. Terjadi suap dan korupsi di wilayah yang bersangkutan d. Terjadi ketidaknyamanan dan ketidaksetabilan politik di wilayah yang bersangkutan e. Terjadi konflik praktek budaya, kepercayaan, dan pemanfaatan tradisional dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi f. Kawasan konservasi memiliki sumberdaya yang bernilai tinggi di pasaran g. Kawasan konservasi memiliki akses yang memudahkan terjadinya kegiatan illegal h. Kuatnya permintaan terhadap sumberdaya kawasan konservasi yang rapuh i. Pengelola kawasan konservasi berada dalam tekanan terhadap permintaan eksploitasi atas sumberdaya kawasan konservasi j. Kesulitan untuk melakukan penggantian dan penerimaan pegawai secara langsung
Catatan
113
6. TUJUAN – PERENCANAAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi
Catatan
a. Tujuan pengelolaan kawasan konservasi adalah untuk kepentingan perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati b. Spesifikasi keanekaragaman hayati berkaitan dengan tujuan pengelolaan dan dinyatakan secara jelas dalam rencana pengelolaan c. Kebijakan dan perencanaan pengelolaan harus konsisten dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi d. Pegawai dan pengelola harus memahami dan mengerti tujuan dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi e. Masyarakat setempat harus mendukung keseluruhan tujuan pengelolaan kawasan konservasi 7. KEAMANAN HUKUM – PERENCANAAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a.
Catatan
Kawasan konservasi harus memiliki status hukum perlindungan jangka panjang
b. Di dalam kawasan konservasi tidak dijumpai adanya tuntutan kepemilikan lahan dan hak milik dari pihak lain c.
Batas kawasan cukup untuk pencapaian tujuan pengelolaan kawasan konservasi
d. Sumberdaya manusia dan keuangan memadai untuk terlaksananya penyelenggaraan aktivitas penegakan hukum yang penting e. Konflik-konflik dengan masyarakat lokal dapat diselesaikan dengan adil dan efektif 8. PERENCANAAN DAN DESAIN TAPAK – PERENCANAAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. Kedudukan kawasan konservasi konsisten dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi b. Letak dan konfigurasi kawasan konservasi optimal untuk konservasi keanekaragaman hayati c. Sistem zonasi kawasan memadai untuk mencapai tujuan pengelolaan kawasan konservasi d. Tata guna lahan di sekitar kawasan memungkinkan pengelolaan kawasan konservasi secara efektif e.
Kawasan konservasi terhubungkan dengan kawasan lain yang dikonservasi atau dilindungi
Catatan
114
9. STAF – MASUKAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. b. c. d. e.
Catatan
Jumlah staf memadai untuk pengelolaan kawasan konservasi secara efektif Memiliki staf berketerampilan untuk melaksanakan aktivitas pengelolaan yang penting Terdapat peluang pelatihan dan pengembangan yang memadai dengan kebutuhan staf Dilakukan kajian secara periodik terhadap kemampuan dan kemajuan staf terhadap target yang ditentukan Kondisi penggajian dan penugasan terhadap staf memadai untuk pencapaian kualitas staf yang tinggi
10. KOMUNIKASI DAN INFORMASI – MASUKAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. b. c. d. e.
Catatan
Terdapat peralatan komunikasi yang memadai untuk komunikasi antara staf lapangan dan kantor Tersedia data ekologi dan sosial ekonomi yang memadai untuk perencanaan pengelolaan kawasan konservasi Terdapat peralatan yang memadai untuk pengumpulan data baru Terdapat sistem yang memadai untuk memproses dan menganalisa data baru Terjalin adanya komunikasi efektif dengan masyarakat setempat
11. INFRASTRUKTUR - MASUKAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi
Catatan
a. Infrastruktur transportasi memadai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan yang penting b. Peralatan lapangan memadai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan yang penting c. Fasilitas staf memadai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan yang penting d. Pemeliharaan dan perbaikan peralatan memadai untuk penggunaan jangka panjang e. Fasilitas pengunjung memadai untuk tingkat penggunaan oleh pengunjung 12. KEUANGAN - MASUKAN Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a.
Pendanaan selama lima tahun terakhir memadai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan yang penting b. Pendanaan selma lima tahun mendatang memadai untuk melkasanakan kegiatan pengelolaan yang penting c. Praktek pengelolaan keuangan memungkinkan
Catatan
115
pengelolaan kawasan konservasi secara efisien dan efektif d. Alokasi pembiayaan sesuai dengan prioritas dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi e. Posisi keuangan jangka panjang memadai untuk stabilitas pengelolaan kawasan konservasi 13. PERENCANAAN PENGELOLAAN - PROSES Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. b. c. d. e.
Catatan
Adanya rencana pengelolaan yang komprehensif dan relatif baru Adanya inventarisasi sumberdaya alam dan sumberdaya budaya yang komprehensif Adanya analisis dan strategi untuk mengatasi ancaman dan tekanan terhadap kawasan konservasi Rencana pengelolaan yang detil dan mengidentifikasi target spesifik untuk mencapai tujuan pengelolaan Hasil dari penelitian dan monitoring diintegrasikan secara rutin kedalam perencanaan
14. PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN – PROSES Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi
Catatan
a. Adanya organisasi internal yang jelas b. Pengambilan keputusan pengelolaan secara transparan c. Staf pengelolaan kawasan konservasi secara berkala berkolaborasi dengan mitra, masyarakat setempat, dan organisasi-organisasi lainnya d. Masyarakat setempat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka e. Terdapat kominikasi secara efektif antara seluruh tingkatan staf pengelolaan dan administrasi kawasan konservasi 15. PENELITIAN, MONITORING DAN EVALUASI – PROSES Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. Dampak penggunaan kawasan konservasi secara legal dan illegal dipantau dan dicatat secara akurat b. Penelitian isu ekologi kunci dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi c. Penelitian isu-isu sosial kunci dilaksanakan sejalan dengan kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi d. Staf pengelola kawasan konservasi mempunyai akses reguler terhadap penelitian ilmiah dan pendapatpendapat terbaru e. Penelitian dan monitoring penting untuk kepentingan identifikasi dan penentuan prioritas
Catatan
116
16. KELUARAN – KELUARAN Dalam dua tahun terakhir, keluaran (output) berikut konsisten dengan tekanan dan ancaman, tujuan pengelolaan kawasan konservasi dan rencana kerja tahunan Y
U/Y
U/T
T
Kondisi di kawasan konservasi a. Pencegahan terhadap ancaman, deteksi dan penegakan hukum (law enforcement) b. Upaya penangulangan dan restorasi kawasan c. Pengelolaan satwa liar dan habitat d. Upaya penyadaran dan pendidikan terhadap masyarakat e. Pengelolaan pengunjung dan wisata alam f. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur g. Rencana pengelolaan dan inventarisasi h. Pemantauan, pengawasan, dan evaluasi staf i. Pengembangan dan pelatihan staf j. Keluaran hasil penelitian dan pemantauan
Catatan
117
Lampiran 5. Nama-nama responden dari setiap kawasan konservasi No
Taman Nasional
Responden
1 Siberut
Tri Prasetyo
2 Berbak
Istanto
3 Sembilang
Dulhadi
4 Way Kambas
Bintoro
5 Ujung Kulon
M. Awriya Ibrahim, MSc.
6 Kepulauan Seribu
Sumarto MM
7 Karimun Jawa
Puspa D Liman
8 Baluran
Hendrik Siubelan
9 Alas Purwo
M.Z Hudiyono
10 Meru Betiri
Siswoyo
11 Bali Barat
Soedirun Dartosoearno
12 Komodo
Matheus Halim
13 Manupeu Tanadaru
Bambang Darmadja
14 Tanjung Putting
Lusman Pasaribu
15 Kutai
Agus B. Sutito
16 Gunung Palung
B. Prabani Setiohindrianto
17 Taka Bonerate
Harianto
18 Wakatobi
Syihabuddin
19 Rawa Aopa Watumohai
Ridwan
20 Bunaken
Luther Tato Papalangi
21 Teluk Cendrawasih
M.G. Nababan
22 Wasur
B.G. Saroy
23 Lorentz
B.G. Saroy
118
Lampiran 6. Hasil responden mengenai karakteristik pengelolaan 23 kawasan konservasi Karateristik Nilai Penting Biologis Spesies terancam
Kawasan konservasi SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
3
3
5
3
5
3
5
1
0
5
5
5
3
3
5
3
3
3
5
3
3
3
5
Kandungan kehati
5
5
5
3
5
3
5
1
5
5
3
5
5
3
3
5
5
5
3
5
5
5
5
Spesies endemik
5
3
5
5
3
1
1
1
0
5
5
5
5
5
3
5
1
1
5
1
3
5
5
Fungsi kritis
1
3
5
3
5
5
5
5
0
5
3
3
3
3
3
3
3
3
5
3
3
5
5
Skala kehati
5
1
5
3
5
3
5
5
5
5
3
5
1
3
3
5
3
1
5
3
3
5
5
Keterwakilan ekosistem
3
5
5
3
5
1
5
5
5
5
3
5
3
1
3
5
3
5
5
3
5
5
5
Populasi minimum spesies
3
3
3
5
5
3
5
3
5
5
5
5
5
3
3
5
3
3
3
1
3
5
5
Kesesuaian sejarah
5
3
5
5
3
3
5
5
5
5
3
3
3
1
3
1
0
0
1
1
1
3
5
Tipe ekosistem yang tersisa
0
3
3
1
3
3
3
1
0
3
3
3
3
3
1
3
0
0
3
3
1
1
1
Pemeliharaan proses alami
1
1
3
1
3
1
5
1
5
3
3
3
3
1
3
1
5
5
3
3
5
1
3
Nilai rata-rata
3.1
3
4.4
3.2
4.2
2.6
4.4
2.8
3
4.6
3.6
4.2
3.4
2.6
3
3.6
2.6
2.6
3.8
2.6
3.2
3.8
4.4
Nilai Penting Sosial Ekonomi
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Penyedia pekerjaan
1
3
3
3
3
5
1
1
1
3
1
5
3
1
0
1
1
1
1
3
1
1
1
Penyedia sumberdaya alam
5
5
5
3
3
3
5
3
1
3
1
5
1
1
1
1
3
3
5
3
5
5
5
Pemanfaatan lestari
3
3
5
3
3
5
5
1
3
5
3
3
1
3
1
3
3
3
5
5
5
3
3
Nilai spiritual
0
1
3
1
3
1
1
1
5
3
3
1
1
0
0
1
0
1
1
0
1
3
3
Panorama
0
0
3
1
3
1
3
3
5
5
5
5
1
3
1
3
5
3
1
5
5
5
5
Tumbuhan penting
1
3
5
1
3
1
5
1
5
5
3
1
1
1
3
3
3
0
1
1
3
5
3
Satwa penting
0
3
5
3
5
3
5
0
5
5
5
5
1
3
1
3
3
5
3
3
5
5
3
Rekreasi
0
0
3
5
3
5
1
1
5
3
5
3
1
5
1
3
1
3
3
5
0
5
5
Manfaat dan jasa ekosistem
1
5
5
3
5
3
5
0
5
5
3
5
1
3
3
5
5
3
5
3
1
5
5
Nilai ilmiah dan pendidikan
3
3
3
5
5
5
5
3
5
5
3
3
1
3
5
5
3
5
3
5
3
5
5
1.4
2.6
4
2.8
3.6
3.2
3.6
1.4
4
4.2
3.2
3.6
1.2
2.3
1.6
2.8
2.7
2.7
2.8
3.3
2.9
4.2
3.8
Nilai rata-rata
118
119
Kerapuhan
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Kegiatan ilegal
5
3
1
0
1
3
3
3
3
3
1
1
1
3
3
3
3
1
1
1
3
3
3
Lemah penegakan hukum
5
3
3
1
1
5
3
1
1
3
1
1
1
1
3
5
3
1
3
1
3
3
3
Suap dan korupsi
5
3
1
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
3
3
1
1
1
1
1
3
1
Ketidakstabilan politik
5
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
3
3
1
0
0
1
0
0
1
3
Konflik budaya
5
0
1
0
0
0
3
3
0
1
3
3
1
3
3
1
1
1
5
1
3
1
1
Nilai pasar tinggi
5
5
3
1
3
3
1
5
5
5
3
3
5
5
5
3
3
1
3
5
5
3
Mudah diserobot
5
3
1
1
3
5 5
5
5
3
3
3
3
1
5
3
5
5
5
5
5
5
5
1
Permintaan sumberdaya kawasan
5
0
0
1
0
5
5
5
0
5
3
5
0
5
5
3
1
0
5
3
3
3
1
Tekanan pada pengelola
5
0
1
1
0
0
5
1
0
0
3
1
1
0
1
1
1
3
3
3
3
3
3
Kesulitan mencari pegawai
5
5
1
0
5
3
3
5
5
5
0
3
3
5
3
5
5
5
5
5
5
3
1
Nilai rata-rata
5
2.2
1.2
0.6
1.4
2.7
3.1
2.5
1.8
2.5
1.9
2
1.1
3.1
3.2
3.2
2.3
2
3
2.3
3.1
3
2
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
3
3
3
5
3
5
3
3
3
3
5
5
1
3
5
3
5
5
5
5
5
5
5
Tujuan Perlindungan kehati Keterkaitan dengan aset kehati
3
3
5
5
5
5
3
5
5
1
5
5
3
3
3
3
5
5
3
3
3
5
0
Konsistensi
5
3
1
3
3
3
3
3
3
3
5
3
1
1
3
3
3
3
1
3
3
3
1
Pemahaman pengelola
3
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
5
1
3
1
3
3
3
3
1
3
1
Dukungan masyarakat
3
3
3
3
3
1
1
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
1
3
3
1
1
Nilai rata-rata
3.4
2.6
3
3.8
3.4
3.4
2.6
3.4
3.4
2.6
4.2
3.8
2.6
2.2
3
2.6
3.8
3.8
2.6
3.4
3
3.4
1.6
Kepastian Hukum
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Perlindungan hukum
3
3
5
5
3
5
3
3
3
3
5
5
3
1
3
1
5
5
5
3
3
5
5
Ketiadaan klaim lahan
0
5
3
0
1
5
3
1
5
1
5
3
3
1
1
3
0
0
0
0
1
1
3
Tata batas
1
3
3
5
1
3
1
1
1
3
3
3
3
1
3
3
0
0
1
1
1
5
3
SDM dan keuangan
1
1
1
1
3
1
1
3
3
3
3
0
1
1
1
1
3
3
1
3
1
1
5
1
1
3
3
3
3
1
3
3
3
3
1
3
1
1
1
3
3
1
3
3
3
5
1.2
2.6
3
2.8
2.2
3.4
1.8
2.2
3
2.6
3.8
2.4
2.6
1
1.8
1.8
2.2
2.2
1.6
2
1.8
3
4.2
Resolusi konflik Nilai rata-rata
119
120
Desain Tapak
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Kesesuaian tempat
3
3
3
5
3
5
5
3
3
3
5
5
3
3
3
3
5
5
5
5
5
3
5
Lay out
3
3
3
3
5
3
3
3
5
3
3
5
3
5
3
5
5
3
5
3
5
3
5
Zonasi
1
3
1
3
3
5
1
3
1
3
3
3
0
1
1
1
1
1
0
3
1
3
1
Pemanfaatan sekitar kawasan
0
1
1
1
3
1
1
1
3
3
3
3
3
1
1
1
5
3
1
3
3
1
1
Keterkaitan dengan kawasan lain
0
5
5
0
0
0
0
0
0
0
5
0
3
0
1
5
3
3
0
3
1
5
0
Nilai rata-rata
1.4
3
2.6
2.4
2.8
2.8
2
2
2.4
2.4
3.8
3.2
2.4
2
1.8
3
3.8
3
2.2
3.4
3
3
2.4
Pegawai
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
0
3
1
3
1
5
1
1
3
1
3
3
1
1
1
1
1
1
3
5
1
5
0
Jumlah staff Keterampilan
5
1
1
3
3
1
1
1
3
1
3
1
3
1
3
1
3
3
3
3
1
3
0
Pelatihan
3
3
1
5
3
1
1
1
3
3
3
1
1
3
3
1
3
3
3
3
1
1
0
Penilaian kinerja
3
1
1
1
1
3
3
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
0
Kondisi kerja
0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
0
Nilai rata-rata
2.2
1.6
1
2.6
1.8
2
1.4
1
2.2
1.8
2.6
1.8
1.8
1.8
2.2
1.4
2.2
2.2
2.2
3
1.4
3
0
Komunikasi
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Peralatan komunikasi
3
1
0
3
1
1
3
3
3
0
5
3
0
1
3
3
3
3
1
5
1
1
0
Data bio, sosek
1
1
1
1
3
3
1
1
5
1
1
1
1
1
1
3
3
5
1
5
1
3
1
Peralatan survey
1
1
3
3
1
1
1
1
3
1
3
3
0
1
1
1
3
3
1
3
1
3
0
Analisis data
1
1
1
1
3
1
1
1
1
1
1
0
0
3
1
1
1
1
1
3
1
1
0
Komunikasi dengan masyarakat
3
1
3
1
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
1
1
3
5
3
5
3
3
3
Nilai rata-rata
1.8
1
1.6
1.8
2.2
1.8
1.8
1.8
3
1.2
2.6
2
0.4
1.8
1.4
1.8
2.6
3.4
1.4
4.2
1.4
2.2
0.8
Infrastruktur
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Transportasi
1
1
0
3
1
3
1
3
3
0
3
1
0
1
1
1
3
5
1
5
1
3
0
Peralatan lapangan
1
3
0
1
1
3
3
1
1
1
3
3
0
1
1
1
1
1
1
3
1
1
0
Fasilitas staf
0
3
1
1
1
1
3
0
1
0
3
3
0
1
1
3
1
1
1
1
1
1
0
Perawatan peralatan
0
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1 1
Fasilitas pengunjung Nilai rata-rata
0
0
0
1
1
3
1
3
3
1
1
1
0
1
3
1
1
1
0
3
0.4
1.6
0.4
1.4
1
2.2
1.8
1.4
1.6
0.6
2.2
1.8
0
1
1.4
1.4
1.4
1.8
0.8
2.6
1
0
1.4
0
120
121
Anggaran
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Dana 5 tahun terakhir
0
1
0
3
3
3
3
1
3
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
1
1
0
Dana 5 tahun kedepan
0
1
1
3
1
3
1
1
1
1
1
5
3
1
1
1
3
3
3
1
1
1
1
Pengelolaan keuangan
0
1
3
3
3
5
1
1
3
3
3
1
1
1
1
1
1
1
3
1
1
3
1
Alokasi
1
3
1
1
3
5
3
1
3
3
3
1
3
1
1
1
3
3
1
3
3
3
1
Stabilitas jangka panjang
0
1
1
3
1
3
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
3
3
1
1
1
1
Nilai rata-rata
0.2
1.4
1.2
2.6
2.2
3.8
1.8
1
2.2
2.2
1.8
1.8
1.6
1
1
1
1.8
2.2
2.2
1.8
1.4
1.8
0.8
Perencanan Pengelolaan
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Rencana pengelolaan
3
1
5
5
3
3
3
3
3
3
3
5
0
1
1
1
3
3
1
5
3
3
0
Pendataan
3
1
1
1
3
3
1
1
3
3
5
3
3
1
1
1
3
3
1
3
3
1
1
Analisis ancaman
1
1
3
3
3
3
3
1
1
3
3
3
3
1
1
1
3
5
1
3
3
3
0
Rencana kerja detail
1
1
0
3
1
1
3
1
1
1
3
3
0
0
1
0
5
3
1
3
3
5
0
Pemantauan
1
1
1
1
3
3
3
0
0
0
3
5
1
0
3
0
3
3
1
3
3
1
0
Nilai rata-rata
1.8
1
2
2.6
2.6
2.6
2.6
1.2
1.6
2
3.4
3.8
1.4
0.6
1.4
0.6
3.4
3.4
1
3.4
3
2.6
0.2
Praktek Pelaksanaan
WT 5
RA
BN
TC
WS
LZ
3
5
3
5
0
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
Organisasi internal
5
3
1
5
3
5
5
3
3
1
5
5
5
5
3
3
5
Keterbukaan
5
3
3
3
5
5
5
5
5
5
5
5
5
3
3
5
3
5
3
5
3
5
0
Kolaborasi dengan masyarakat
5
3
3
3
3
3
3
1
1
3
5
5
5
3
5
3
1
3
5
3
1
5
3
Partisipasi masyarakat
1
3
3
1
3
3
3
1
1
3
5
3
3
3
1
1
1
3
3
3
1
3
3
Komunikasi efektif
1
3
0
3
0
3
3
3
3
0
5
5
0
1
1
3
3
3
3
3
1
1
0
Nilai rata-rata
3.4
3
2
3
2.8
3.8
3.8
2.6
2.6
2.4
5
3.6
3
2.6
3
2.6
3.8
3.4
3.8
1.8
3.8
1.2
Monitoring dan Evaluasi
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Pencatatan dampak
5
1
1
1
3
1
1
1
3
1
3
5
1
1
1
1
1
1
1
3
1
5
1
Penelitian kondisi biologis
1
1
1
3
3
3
1
3
3
1
5
5
5
1
0
1
1
3
1
3
1
1
1
Penelitian isu sosek
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
5
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Akses pada penelitian terbaru
1
3
1
1
3
1
3
1
1
1
5
5
3
1
1
1
1
1
1
3
1
1
0
1
1
1
3
3
3
3
1
0
1
3
5
1.8
1.4
1
1.8
2.6
1.8
1.8
1.4
1.6
1
3.8
Pemanfaatan hasil monitoring Nilai rata-rata
1
3
1
1
1
3
1
3
1
3
0
2.2
1.4
0.8
1
1
1.8
1
2.6
1
2.2
0.6
121
122
Keluaran
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
Pencegahan ancaman
0
0
3
1
1
3
1
1
5
1
3
5
3
3
0
0
3
3
1
3
1
1
LZ 0
Upaya restorasi
1
1
3
1
3
3
0
3
3
3
3
3
0
1
0
0
0
0
0
3
1
0
0
Habitat dan satwa liar
1
1
1
1
3
3
1
1
3
1
5
5
5
1
1
1
1
3
1
3
1
1
0
Peningkatan kepedulian
3
3
3
1
3
3
3
3
5
5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
5
3
1
1
Pengelolaan pengunjung
1
0
0
3
3
3
1
3
3
1
5
3
0
1
1
1
3
1
0
3
0
1
0
Pengembangan infrastruktur
1
0
0
3
3
3
1
3
1
1
5
5
0
1
3
1
1
3
1
1
1
1
0
Perencanaan dan inventarisasi
3
1
1
3
3
3
1
3
1
1
5
5
0
1
3
1
3
3
1
3
3
3
0
Manajemen staf
3
3
1
3
3
3
3
3
3
3
5
5
1
3
1
3
3
5
1
3
3
3
0
Pelatihan staf
3
3
3
3
3
3
1
1
3
1
3
5
3
3
3
3
5
5
1
3
3
3
1
Hasil penelitian dan monitoring
3
1
1
3
5
1
1
5
3
3
5
5
5
0
3
1
3
3
1
3
1
3
3
Nilai rata-rata
1.9
1.3
1.6
2.2
3
2.8
1.3
2.6
3
2
4.2
4.4
2
1.7
1.8
1.4
2.5
2.9
1
3
1.7
1.7
0.5
Tekanan dan Ancaman
SR
BK
SL
WK
UK
KS
KJ
BL
AP
MB
BB
KM
MT
TP
KT
GP
TB
WT
RA
BN
TC
WS
LZ
Perambahan
16
13
18
21
24
8
0
14
0
0
0
0
10
16
80
2
6
16
72
2
66
0
0
Pembalakan
35
39
24
20
24
0
4
0
0
12
6
4
35
54
72
96
0
0
66
16
76
16
0
Kebakaran
0
14
0
24
2
0
3
20
0
2
4
6
6
30
48
2
0
0
0
1
0
0
0
Pertambangan
0
0
0
0
12
20
54
0
0
0
0
0
0
27
36
0
18
16
36
4
0
27
18
Perburuan satwa
0
20
4
18
24
0
54
24
1
4
16
16
16
4
6
12
35
16
24
20
0
42
0
Pemukiman
0
0
8
0
2
0
54
0
0
6
0
54
0
6
80
1
0
39
0
26
0
0
0
NTFP
30
30
8
0
2
0
6
0
2
16
3
24
1
5
0
0
0
24
18
1
0
16
18
Wisata
0
0
0
0
2
20
9
1
0
2
0
8
0
0
0
0
14
4
0
30
0
0
0
Spesies invasif
0
0
0
0
0
0
0
24
0
0
2
54
0
0
0
0
0
0
0
2
0
63
0
Klaim masyarakat
20
0
0
12
0
0
9
0
4
0
2
10
14
24
0
8
27
6
6
31
54
32
18
Pengelolaan kontradiktif
12
30
0
0
0
1
54
0
4
8
8
36
0
36
0
0
12
20
3
3
27
45
0
Polusi
0
36
6
0
8
40
6
0
0
0
16
0
0
0
0
0
0
12
0
1
42
0
0
Alat tangkap ikan
0
0
0
0
48
18
54
0
0
0
16
0
0
0
0
0
39
16
0
16
60
0
0
Pemburu harta karun
0
0
0
0
18
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
0
0
0
113
182
68
95
166
107
308
83
11
50
73
212
82
202
322
121
151
169
225
161
325
241
54
Nilai Total
122
123
Lampiran 7. Hasil analisis diskriminan terhadap pengelompokan kawasan konservasi dengan menggunakan software Minitab. Diskriminan Analisis Karakteristik Biology Linear Method for Response: C1 Predictors: fish Birds Plants Group Count
1 8
2 13
Corals
Mammals
Amphibian
3 2
Summary of Classification Put into Group 1 2 3 Total N N Correct Proportion N =
23
....True Group.... 1 2 3 8 0 0 0 13 0 0 0 2 8 13 2 8 13 2 1.000 1.000 1.000 N Correct =
23
Proportion Correct = 1.000
Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.000 34.834 170.628 2 34.834 0.000 119.851 3 170.628 119.851 0.000 Linear Discriminant Function for Group 1 2 3 Constant -16.329 -14.006 -80.444 fish 0.853 -0.283 1.030 Birds -0.310 1.872 4.601 Plants -0.299 0.782 -3.040 Corals 1.536 0.527 -0.933 Mammals 0.360 0.395 2.396 Amphibian -0.775 0.298 9.137 Wetlands 1.258 -0.215 -5.247
Discriminant Analysis Anggaran – Luas - Ancaman Linear Method for Response: Predictors: Anggaran Luas Group Count
1 9
Kawasan Ancaman
2 6
3 8
Summary of Classification Put into Group 1 2 3 Total N N Correct Proportion N =
23
....True Group.... 1 2 3 8 0 0 0 6 0 1 0 8 9 6 8 8 6 8 0.889 1.000 1.000 N Correct =
22
Proportion Correct = 0.957
Wetlands
124 Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.0000 7.5912 11.7148 2 7.5912 0.0000 6.9577 3 11.7148 6.9577 0.0000 Linear Discriminant 1 2 Constant -1.5272 -1.1949 Anggaran 2.2034 -1.4296 Luas -0.1261 0.8073 Ancaman -2.1807 -0.7837
Function for Group 3 -1.6992 -1.4066 -0.4637 3.0410
Summary of Misclassified Observations Observation
True Group 1
1 **
Pred Group 3
Group
Squared Distance 4.213 7.726 2.800
1 2 3
Probability 0.313 0.054 0.633
Discriminant Analysis Perencanaan - Masukan - Proses - Keluaran Linear Method for Response: Predictors: C2 C3 C4 C5
C1
Group Count
3 12
1 2
2 8
Summary of Classification Put into Group 1 2 3 Total N N Correct Proportion N =
22
....True Group.... 1 2 3 2 0 0 0 8 0 0 0 12 2 8 12 2 8 12 1.000 1.000 1.000 N Correct =
22
Proportion Correct = 1.000
Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.000 42.026 112.215 2 42.026 0.000 27.373 3 112.215 27.373 0.000 Linear Discriminant Function for Group 1 2 3 Constant -34.295 -3.957 -3.099 C2 7.206 2.459 -2.642 C3 2.205 4.442 -2.567 C4 12.959 1.718 -2.607 C5 11.551 2.813 -2.999
Discriminant Analysis Sosial/Ekonomi – Ancaman - Biologi Linear Method for Response: Predictors: C2 C3 C4 Group
1
2
C1 3
4
125 Count
4
3
7
9
Summary of Classification Put into Group 1 2 3 4 Total N N Correct Proportion N =
23
....True Group.... 1 2 3 4 1 0 0 2 0 0 0 6 0 0 1 4 3 7 4 2 6 1.000 0.667 0.857 N Correct =
21
4 0 0 0 9 9 9 1.000
Proportion Correct = 0.913
Squared Distance Between Groups 1 2 3 1 0.0000 8.2490 15.5731 2 8.2490 0.0000 27.3653 3 15.5731 27.3653 0.0000 4 21.3763 15.1561 10.0156
4 21.3763 15.1561 10.0156 0.0000
Linear Discriminant Function for Group 1 2 3 4 Constant -4.3307 -5.0875 -2.3390 -1.6120 C2 3.4010 0.8792 0.7699 -2.4035 C3 4.2540 6.1936 -3.4998 -1.2332 C4 1.4604 -1.2593 1.3095 -1.2478 Summary of Misclassified Observations Observation 6 **
True Group 2
Pred Group 1
13 **
3
4
Group 1 2 3 4 1 2 3 4
Squared Distance 2.723 2.975 14.114 11.645 19.230 20.725 3.379 1.966
Probability 0.527 0.465 0.002 0.006 0.000 0.000 0.330 0.670
126
Lampiran 8. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok rawa pantai dan mangrove
Keterangan: Warna merah adalah kawasan prioritas untuk intervensi pengelolaan yaitu Ujung Kulon, Kutai, dan Rawa Aopa
126
127
Lampiran 9. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok terumbu karang
Keterangan: Warna merah adalah kawasan prioritas untuk intervensi pengelolaan yaitu Karimun Jawa, dan Teluk Cenderawasih
127
128
Lampiran 10. Kawasan konservasi prioritas untuk kelompok hutan pantai
Keterangan: Warna merah adalah kawasan prioritas untuk intervensi pengelolaan yaitu Siberut. Baluran, dan Manupeu Tanadaru
128