TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Kesesuaian Lahan Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas, dan sementara juga melakukan tindakan konservasinya untuk pengggunaan masa mendatang. Beberapa permasalahan dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup diantaranya adalah kurangnya informasi tentang potensi lahan, kesesuaian penggunaan lahan dan tindakan pengelolaan yang diperlukan bagi setiap areal lahan yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam pemanfaatan areal tersebut (Sitorus 1998). Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno et al. 2001). Sitorus (1998), menyatakan bahwa pada dasarnya evaluasi kesesuaian lahan memerlukan informasi yang menyangkut tiga aspek utama, yaitu: lahan, penggunaan
lahan
dan
aspek
ekonomi.
Keterangan
tentang
syarat-
syarat/kebutuhan ekologis dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari keterangan-keterangan agronomis, kehutanan dan disiplin ilmu lainnya yang sesuai. Manfaat yang mendasar evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Menurut Mitchell (1973) dalam Mahi (1994), sistem evaluasi kesesuaian lahan memiliki beberapa ciri, yaitu: sebagai suatu cara dalam menjadwal permintaan pemakai, sebagai suatu cara pengumpulan, penyimpanan, analisis, penyajian informasi lahan dan potensi penggunaannya, dan sebagai suatu cara pemanggilan kembali dan manipulasi informasi. Pada umumnya si pengevaluasi lahan jarang yang ingin mengembangkan sistem sendiri yang sama sekali baru. Umumnya yang mereka lakukan adalah
memilih dari sistem-sistem yang sudah ada tergantung dari kepentingan evaluasi yang akan dilakukan, dan kemudian memodifikasinya sesuai dengan keadaan setempat dan ketersediaan data (Sitorus 1998). Penataan Ruang Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta melihara kelangsungan hidupnya. Menurut UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang satu dengan lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Menurut Undang-undang No 24 tahun 1992 pasal 9 ayat 1, penataan ruang berasaskan: a) pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; b) keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya sehingga terciptanya pengaturan pemanfaatan ruang yang berkualitas.
Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi (Darwanto 2000). Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2004), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yakni: a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan); dan c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan melainkan alat untuk mencapai
tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti dengan di Perda-kannya rencana tata ruang kabupaten, tetapi penataan ruang harus merupakan aktivitas yang terus menerus dilakukan untuk mengarahkan masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan pokoknya (Darwanto 2000). Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, pantai berhutan bakau, dan sebagainya serta kawasan budidaya seperti industri, pemukiman,
pertanian,
dan
sebagainya,
sedangkan
berdasarkan
aspek
administratif, penataan ruang meliputi ruang wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota yang dalam penyusunannya melalui hierarki dari level yang paling atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu. RTRW Nasional merupakan perencanaan makro strategi jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25-50 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1.000.0000, RTRW Provinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250.000, sementara RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 20.000 hingga 1 : 10.000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian di bawah 1 : 5.000 (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Dalam kerangka penataan ruang secara nasional, ada beberapa permasalahan diantaranya
adalah
terjadinya
tumpang
tindih
penanganan
pemanfaatan
sumberdaya alam yang memicu terjadinya berbagai persoalan lainnya, tingginya alih fungsi (konversi) lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian. Permasalahan tersebut timbul karena masih kurangnya perhatian atau program pembangunaan yang mengarah pada pemanfaataan ruang secara benar dan konsisten serta sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat, potensi sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut UU No 24 tahun 1992, RTRW kabupaten/kota merupakan pedoman yang digunakan untuk perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota untuk mewujudkan keterpaduan, kerterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antara wilayah kabupaten/kota serta keserasian antara sektor, juga menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah. Menurut PP No 16 tahun 2004, penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Perencanaan tata ruang wilayah mengarah dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta indikasi program dan kegiatan pembangunan. Hasil perencanaan tata ruang yang disebut rencana tata ruang sesungguhnya adalah konsep, ide, dan merupakan instrumen pengendalian pembangunan suatu wilayah pemerintahan yang menjadi pegangan bersama segenap aktor pembangunan baik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Idealnya suatu rencana tata ruang disusun berdasarkan aspirasi kebutuhan masyarakat yang dirumuskan dan dianalisis dengan metode dan teknik perencanaan. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (sustainability of development).
Widiarto (2000) dalam Zainuddin (2004)
menjelaskan bahwa tata ruang merupakan suatu bentuk instrumen publik yang bersama-sama dengan bentuk-bentuk instrumen publik yang lain, misalnya kebijaksanaan tentang penganggaran sektor publik dan peraturan perlindungan lingkungan hidup untuk mencapai keadaan publik yang lebih baik.
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW baik Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah. Rencana
pemanfaatan
dan
pengendalian
ruang,
merupakan
suatu
perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Landasan hukum dalam pelaksanaan tata ruang adalah UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, PP No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan PP No 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Pendekatan pembangunan melalui sistem ruang akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam usaha pemanfaatan dan penataan ruang suatu wilayah baik dalam skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, karena dalam penyusunan program-program pembangunan secara konsisten dapat terwujud jika konsep dan penataan ruang dapat diwujudkan dalam struktur yang menggambarkan ikatan pemanfaatan ruang yang terpadu dari berbagai sektor pembangunan (Budiharsono dalam Vincentius 2003). Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pembangunan daerah adalah: sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah, merupakan pedoman untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang yang
dituangkan
dalam
rencana
tata
ruang, dan sebagai alat untuk
mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaaatan ruang bagi kegiatan yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap program antar sektor yang terlibat.
Pada tahap pemanfaatan ruang khususnya di tingkat provinsi masih ditemui berbagai kendala yang diantaranya disebabkan oleh belum adanya persamaan persepsi dalam memahami kebijakan penataan ruang sehingga kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya dapat ditindaklanjuti dalam kebijaksanaan institusi masing-masing. Hal lain adalah ketidakpastian alokasi anggaran daerah dalam rangka mewujudkan apa yang telah direncanakan dari rencana tata ruang (Saromi 2004). Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan.
Sistem
komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukan, menyimpan, memperbarui, memanipulasi, menganalisis, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 1990). SIG saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus & Wiradisastra 2000). Burrough (1986), mendefinisikan SIG sebagai seperangkat
alat
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan,
menyimpan,
menampilkan, mentransformasikan, dan menyajikan data spasial obyek atau aspek permukaan bumi untuk tujuan tertentu.
SIG adalah sistem informasi yang
mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukan, mengelola (memberi dan mengambil kembali), memanipulasi, dan menganalisis data (Aronoff 1989). Analisis SIG dapat dipakai untuk mendukung berbagai aplikasi terhadap fenomena geografis yang penting dalam kegiatan pembangunan, misalnya dalam perencanaan tata ruang (spatial planning). Dalam perencanaan pembangunan tersebut perlu dilakukan analisis spasial dari berbagai kondisi fisik dan sosial ekonomi suatu daerah untuk dapat menentukan pemanfaatan sumberdaya yang
optimal. Disamping itu, di dalam perencanaan yang baik perlu dilengkapi dengan analisis kemungkinan dampak yang timbul dan hasil yag diperoleh dari pemanfaatan tersebut.
Untuk keperluan analisis keruangan tersebut SIG
mempunyai kemampuan yang sangat fleksibel dan akurat. Menurut Gunawan (1998), SIG mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis).
Dengan kemampuan
tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu.
Dengan
demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan terpantau dan terkontrol dengan baik. Selain itu pemanfaatan SIG dapat meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian (akurasi). Konsep dasar SIG merupakan suatu sistem yang mampu mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. Berdasarkan hasil tersebut SIG jelas mempunyai karakterisik sebagai perangkat pengelolaan basis data (data base management system), perangkat analisis keruangan (spatial analysis), sekaligus merupakan proses komunikasi dalam pengambilan keputusan (Gunawan 1998). Berbagai pengertian SIG diatas secara garis besar mempunyai kesamaan, yakni mencerminkan adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus bersifat numerik artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, data lain adalah data atribut (Dulbahri 2003). Secara umum komponen utama SIG dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda-beda dari satu sistem ke sistem lainnya, tergantung tujuan dari dibuatnya SIG tersebut. Kombinasi yang paling tepat antara keempat komponen utama ini akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan SIG dalam suatu organisasi.
Keunikan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengolahan basis data lainnya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama. Sebagai contoh, data SIG penggunaan lahan akan dapat disajikan dalam bentuk batas-batas luasan yang masing-masing mempunyai atribut dalam bentuk tulisan maupun angka.
Informasi yang berlainan tema
umumnya disajikan dalam lapisan (layer) informasi yang berbeda. Oleh karena SIG merupakan penyederhanaan (miniatur) dari fenomena alam/geografi yang nyata, maka SIG harus betul-betul mewakili kondisi, sifat-sifat (atribut yang penting) bagi suatu aplikasi/pemanfaatan tertentu (Raharjo 1996). Dalam SIG, data disimpan dalam dua bentuk yaitu data spasial dan data atribut. Kedua data tersebut terikat pada aspek keruangan-lokasional yang disajikan dalam bentuk peta sebagai basis datanya. Pada analisis spasial dilakukan teknik penampalan (overlay) dari beberapa peta tematik baik bentuk vektor maupun raster. SIG mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan SIG diantaranya adalah : a. Dapat menyimpan data/informasi spasial dan atribut dalam format peta digital. Secara fisik format ini lebih ringkas dan aman dalam penyimpanan dibandingkan dari format peta kerja, data tabuler atau bentuk konvensional lainnya. b. Memiliki kemampuan menyimpan dan mengolah data spasial dalam jumlah besar dalam waktu cepat dengan harga per unitnya lebih murah. c.
Memiliki kemampuan untuk menganalisis berbagai jenis data spasial dan atribut dengan mengintegrasikan berbagai jenis data tersebut dalam satu analisis yang komplek dengan kecepatan tinggi yang tidak mungkin dapat dilakukan secara manual Kelemahan yang paling menonjol dari SIG adalah proses input data untuk
membangun data awal ke dalam format digital yang dapat diolah oleh SIG seringkali merupakan bottle neck (masalah serius). Penyiapan input data awal ini memerlukan biaya cukup besar dan memakan waktu yang cukup lama. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, permodelan perubahan iklim global, dan geologi terutama
dengan menggunakan SIG tiga dimensi. SIG pada dasarnya dapat digunakan oleh lintas disiplin ilmu, misalnya digunakan untuk pengelola di bidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi.
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi saat ini (Rangkuti 2000). Dalam analisis SWOT terdapat dua faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu lingkungan internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) serta lingkungan eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Menurut Pearce II dan Robinson (1991), kekuatan (strengths) adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar; kelemahan (weakness) merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja; peluang (opportunities) merupakan situasi yang menguntungkan, berbagai kecenderungan, peraturanperaturan, dan perubahan teknologi; sedangkan ancaman (threats) adalah situasi yang tidak menguntungkan atau rintangan. Dalam melakukan analisis SWOT dapat ditemukan masalah-masalah yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mempresentasikan hasil analisis SWOT. Menurut Salusu (1996), masalah tersebut adalah sebagai berikut: -
The missing link problem atau masalah hilangnya unsur keterkaitan, yang merujuk pada kegagalan dalam menghubungkan evaluasi terhadap faktor eksternal dengan evaluasi terhadap faktor internal.
-
The blue sky problem, atau masalah langit biru. Para pengambil keputusan bersikap terlalu optimistis dalam melihat peluang, yang berakibat munculnya penilaian atas faktor-faktor internal dan eksternal yang tidak cocok.
-
The silver lining problem, para pengambil keputusan memandang remeh akan pengaruh dari ancaman lingkungan yang sangat potensi yang ditafsirkan sebagai akan mendapatkan keberuntungan.
-
The all things to all people problem, para pengambil keputusan cenderung memusatkan perhatiannya pada kelemahan-kelemahan organisasinya dan kurang melihat potensi kekuatan yang dimilikinya.
-
The putting the car before the horse problem, menempatkan kereta di depan kuda adalah suatu aktifitas terbalik. Para pengambil keputusan langsung mengembangkan strategi dan rencana tindak lanjut sebelum menentukan kebijaksanaan strategi yang akan dijalankan organisasinya. Model Interpretasi Struktural Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan strategis adalah teknik pemodelan interpretasi struktural (Interpretative Structural Modelling-ISM).
Menurut Eriyatno (1999), ISM adalah proses
pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknik ini merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif (Marimin 2004). Pemodelan struktur memberikan bentuk grafis dan perkataan dalam pola yang secara hati-hati memotret perihal yang kompleks. Kuantifikasi matematik dapat untuk membuat gambaran geometris menjadi semi kuantitatif. Akan tetapi proses permodelan struktur menekankan pada pentingnya bentuk geometris daripada aljabar. Oleh karena itu, melalui permodelan struktural, para pengguna model mampu meningkatkan pendalaman yang lebih baik terhadap perilaku dari sistem secara utuh. Dengan demikian, dapat ditetapkan prioritas maupun urutan tahap pelaksanaan kesisteman (Eriyatno 1999). Menurut Marimin (2004), ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki.
Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target
organisasi, faktor penilaian, dan lain-lain.
Hubungan langsung dapat dalam
konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual). Model interpretasi struktural merupakan alat strukturisasi yang popular untuk hubungan langsung. Model struktural mencakup dua tahap. Pada tahap pertama diterapkan suatu alat pembangkit dari sejumlah daftar elemen-elemen yang berhubungan dengan perihal yang ditelaah.
Tahap kedua terdiri atas
pemilihan hubungan-hubungan yang relevan dan suatu alat strukturisasi yang tepat sehingga elemen-elemen tersebut dapat diinformasikan. Alat pembangkit yang dapat digunakan adalah: (1) diskusi ahli, melalui proses musyawarah dan brainstorming ditetapkan daftar elemen-elemen oleh para panelis yang terpilih dengan ketat, (2) survei pakar, melalui in-depth interview dari berbagai pakar lintas disiplin, didapatkan kesimpulan tentang daftar elemen, (3) metode DELPHI, dengan pengumpulan informasi terkendali, iteratif dan berumpan balik, dan (4) media elektronik, seperti computerized conferencing, generating graphics, atau tele-conference.