II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas Lahan dan Usahatani Kakao Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan produk dari suatu sistem pengelolaan tertentu (Saliba, 1985). Untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao perlu diketahui sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) dan dilakukan pemupukan sesuai dengan kandungan hara tanah serta kebutuhan tanaman. Menurut Jadin dan Snoeck (1985) pemupukan tanaman kakao akan lebih efektif jika ditekankan pada tercapainya perbandingan hara optimal, yaitu untuk K:Ca:Mg adalah 8:68:24. Tanaman kakao diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazone, Amerika Selatan yang dibawa ke Indonesia oleh bangsa Spanyol sekitar tahun 1560 (Wahyudi dan Rahardjo, 2008). Di Indonesia tanaman ini sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat (89,59%), perkebunan besar negara (5,04%) dan perkebunan besar swasta (5,37). Produktivitas hasil kakao rata-rata nasional 945 kg ha-1, dimana produktivitas perkebunan rakyat 952,2 kg ha-1, perkebunan besar negara 861 kg ha-1 dan perkebunan besar swasta 889 kg ha-1 (Deptan, 2007) Secara umum syarat tumbuh tanaman kakao (PPKK, 1977; BBP2TP, 2008) sebagai berikut: (a) daerahnya terletak pada 10o LS-10o LU, (b) ketinggian tempat 0 - 600 m dpl, (c) curah hujan 1500 - 2500 mm th-1 dengan bulan kering kurang dari 3 bulan [< 60 mm bl-1], (d) suhu maksimum 30 - 32oC dan minimum 18 - 21oC,
(e) kemiringan tanah < 45% dengan kedalaman olah < 150 cm, (f)
tekstur tanah terdiri atas 50% pasir, 10 - 20% debu, dan 30 - 40% lempung atau lempung berpasir, (g) sifat kimia tanah pada lapis olah (0 – 30 cm): kadar bahan organik 35%;
> 3,5%; C/N ratio 10 - 12; KTK > 15 me 100g-1; kejenuhan basa > pH (H2O): 4,0 - 8,5 [optimum pH 6,0 - 7,0]; kadar unsur hara
minimum tanah yang dibutuhkan: N = 0,38%; P (Bray 1) = 32 ppm; K tertukar = 0,50 me 100g-1; Ca tertukar = 5,3 me 100g-1; dan Mg tertukar = 1 me 100g-1. 2.2. Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan menggambarkan tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (FAO, 1976). Evaluasi lahan pada tingkat semi detail akan menghasilkan informasi kesesuaian lahan yang dapat diterapkan untuk
14
kebutuhan operasional di lapangan, sedangkan evaluasi lahan pada tingkat tinjau ditujukan untuk arahan, atau informasi awal di tingkat regional (Djaenudin et al., 2000). Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan (maching) antara kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman. Kelas kesesuaian lahan suatu areal atau kawasan dapat berbeda dan bergantung pada tipe penggunaan lahan. Evaluasi kesesuaian lahan berhubungan dengan evaluasi suatu penggunaan tertentu untuk komoditas yang dikembangkan. Penilaian kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya (Djaenudin et al., 2000) yaitu sebagai berikut: (1). Ordo Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Lahan termasuk ordo S adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahan. Ordo N adalah lahan yang mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan secara lestari. (2). Kelas Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Kelas S1(sangat sesuai) Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti untuk penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas tidak berarti dan tidak akan menurunkan produktivitas secara nyata. Kelas S2(cukup sesuai) Lahan mempunyai faktor pembatas agak berat untuk penggunaan berkelanjutan. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan, sehingga diperlukan tambahan input, dan biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.
15
Kelas S3(sesuai marginal) Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat. Faktor pembatas tersebut berpengaruh terhadap produktivitas, sehingga memerlukan tambahan input yang lebih banyak daripada lahan kelas S2. Tanpa bantuan pemerintah atau pihak swasta, petani tidak akan mampu mengatasinya. Kelas N (tidak sesuai) Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan sulit diatasi, sehingga tidak mungkin untuk digunakan. (3). Sub kelas Sub kelas kesesuian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas. Tiap kelas, kecuali S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas bergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditujukkan dengan simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Biasanya hanya satu simbol pembatas di dalam setiap sub kelas, akan tetapi dapat juga dua atau tiga simbol pembatas, dengan catatan jenis pembatas yang paling dominan di tempat pertama. (4). Satuan kesesuaian lahan Tingkat satuan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub kelas. Satuansatuan berbeda antara satu dengan lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan, dan merupakan pembedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas secara detail akan memudahkan penafsiran perencanaan pada tingkat usahatani. Simbol kesesuaian lahan pada tingkat satuan dibedakan dengan angka arab yang ditempatkan setelah simbol sub kelas. 2.3. Kawasan Perbatasan Kawasan atau wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan langsung berhadapan dengan negara lain (UU No 26 Tahun 2007). Wilayah dimaksud adalah bagian wilayah propinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara (wilayah negara tetangga). Menurut UU No 43 Tahun 2008 tentang
16
Wilayah Negara, pada pasal 1 ayat 6, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan. Indonesia memiliki wilayah perbatasan darat (kontinen) dengan beberapa negara seperti Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste, serta yang berbatasan laut (Maritim) di sepuluh negara seperti India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua New Guinea (Bappenas, 2004). Pembangunan di kawasan perbatasan selama ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah (pusat dan daerah) jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang aksesnya lebih mudah, dan juga padat penduduknya. Kondisi tersebut membawa implikasi terhadap kawasan perbatasan yang semakin terisolir dan tertinggal bila dibandingkan dengan wilayah lainnya, baik dari aspek ekonomi maupun sosial. Kawasan perbatasan negara di Kalimantan Timur memiliki arti sangat penting, terutama terhadap aspek ekonomi, dan pertahanan keamanan, karena berbatasan langsung dengan wilayah negara tetangga (Sabah) Malaysia yang memiliki tingkat perekonomian relatif lebih baik. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki di kawasan perbatasan Kalimantan Timur ini cukup melimpah, namun hingga saat ini relatif belum dimanfaatkan secara optimal. Di samping masalah rendahnya dana pembangunan, penyebab utama ketertinggalan kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga adalah akibat dari arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang negara. Sejalan dengan proses globalisasi saat ini, dan sejalan dengan agenda prioritas dari Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) kebijakan tersebut memerlukan koreksi agar menjadi ’outward looking’, sehingga kawasan perbatasan negara harus dimanfaatkan sebagai ’pintu gerbang’ untuk aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Beberapa isu dan permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara (Bappenas, 2004; Bappeda Kaltim, 2006) antara lain:
17
1) Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan tertinggal dan terisolir. 2) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan wilayah perbatasan. 3) Adanya paradigma wilayah perbatasan sebagai halaman belakang. 4) Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga. 5) Sarana dan prasarana umum masih minim (terbatas). 6) Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera. 7) Terisolirnya wilayah perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju wilayah perbatasan. 8) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Wilayah perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur-Malaysia terbentang memanjang dari wilayah timur hingga ke barat. Panjang garis perbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak dan Sabah Malaysia Timur sepanjang + 1.038 km, yang secara administrasi meliputi tiga kabupaten (Nunukan, Malinau dan Kutai Barat) dan mencakup 11 wilayah kecamatan. Pulau Sebatik merupakan salah satu kawasan perbatasan antara Kabupaten Nunukan dengan Malaysia. 2.4. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menurut World Conservation Strategy pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Anonim, 1990). Konsep pembanguan berkelanjutan dapat dipandang dari tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Aspek sosial budaya dalam pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari pembangunan sumberdaya manusia, dimana tujuan dasar pembangunan adalah memperbesar spektrum pilihan manusia. Menurut Firdausy (1998) esensi pembangunan manusia memberikan akses yang sama terhadap kesempatankesempatan pembangunan dan pengembangan, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang. Keterbatasan sumberdaya lahan untuk menyediakan kebutuhan
18
hidup manusia dapat dioptimalkan dengan pembangunan pertanian yang sesuai dengan kondisi biofisik dan daya dukung wilayah setempat. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Menurut Gips (1986) sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria: aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial, manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, dan mudah diadaptasikan. Selanjutnya menurut Sutanto (2002), pertanian berkelanjutan merupakan keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. 2.5. Pendekatan Sistem Sistem adalah suatu perangkat elemen-elemen yang saling berhubungan atau berkaitan yang diorganisir untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan (Manetsch and Park, 1977). Menurut Djojomartono (1993), sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Analisis sistem adalah serangkaian teknik yang mencoba untuk: (a) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan karena adanya interaksi di dalam dan di antara subsistem; (b) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan sebagai akibat adanya masukan; (c) menduga apa yang mungkin terjadi pada sistem bila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah. Elemen dari sistem adalah unsur (entity) yang mempunyai tujuan dan realitas fisik. Pola hubungan antara dua atau lebih elemen menentukan struktur sistem. Oleh karena itu pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem, baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Menurut Soerianegara (1978), jika dibandingkan dengan penelitian eksperimental, maka penelitian dengan menggunakan sistem atau simulasi mempunyai banyak kelebihan, antara lain: (a) dapat melakukan ekperimentasi
19
terhadap suatu sistem atau ekosistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perlakuan terhadap sistem yang diteliti, (b) dapat digunakan untuk menciptakan suatu sistem yang diduga akan lebih baik dari keadaan sistem sesungguhnya yang diteliti, (c) dapat digunakan pada keadaan dimana ekperimen tak dapat dilakukan, (d) dapat melakukan penelitian yang bersifat multidisiplin dan teritegrasi yang seringkali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya, serta (e) dari segi efisiensi dan kelayakan, analisis sistem dapat dilakukan dalam waktu singkat, biaya murah dan dengan hasil meyakinkan. Menurut Eriyatno (1999), metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yaitu (a) analisis kebutuhan, (b) identifikasi sistem, (c) formulasi masalah, (d) pembentukan alternatif sistem, (e) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, serta (f) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Pemodelan dengan interpretasi struktur (Interpretive Structural ModellingISM) merupakan salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning proces), dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang komplek dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat (Eriyatno, 1998 dalam Marimin, 2004). ISM menganalisis sebuah elemen dari beberapa elemen dan menyajikan dalam bentuk grafikal dari setiap hubungan langsung dan tingkatannya. Saxena (1992) dalam Marimin (2004) menyebutkan bahwa sembilan elemen yang dapat dianalisis dengan menggunakan ISM yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang diinginkan, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Suatu kajian menggunkan ISM, analisis dapat dilakukan terhadap semua elemen, atau hanya sebagian elemen saja, bergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan.
20
2.6. Analisis Kelayakan Ekonomi Alat ukur atau kriteria diperlukan untuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Analisis kelayakan usahatani kakao dilakukan untuk membandingkan besarnya investasi yang dikeluarkan dengan manfaat yang diterima. Alat ukur atau kriteria yang biasa digunakan adalah menggunakan Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C) dan Net Present Value (NPV) (Soekartawi, 1988). NPV diartikan sebagai nilai bersih sekarang, menunjukkan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi (proyek). Nilai B/C menunjukkan berapa kali lipat keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya investasi yang dikeluarkan, sedangkan IRR menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh dari usaha tersebut tiap tahun. Nilai IRR menunjukkan kemampuan dari usaha tersebut dalam mengembalikan atau membayar bunga pinjaman. Pengertian yang sederhana tentang kriteria tersebut saling mendukung atau saling melengkapi dalam menunjukkan kelayakan dari suatu usaha.
2.6.1. Benefit Cost Ratio Analisis Benefit-Cost Ratio (B/C) merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menentukan kriteria layak atau tidaknya suatu usaha dijalankan. Bila B/C > 1, menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usahatani suatu komoditas lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (usaha tersebut menguntungkan), sedangkan bila B/C < 1, maka usaha tersebut tidak layak dilaksanakan. B/C dihitung dengan formulasi sebagai berikut: n
Bt
∑ (1 + i)
t
t =0
B/C =
....................……………..…………...... n
Ct
∑ (1 + i)
t
t =0
Keterangan: Bt = manfaat pada tahun t Ct = biaya pada tahun ke-t i = discount rate (%) t = tahun (umur)
(1)
21
2.6.2. Internal Rate of Return (IRR)
IRR menunjukkan persentase keuntungan yang akan diperoleh tiap tahun atau merupakan kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga bank. Hal ini berarti bahwa IRR sama dengan tingkat bunga pada waktu NPV = 0. Perhitungan besarnya IRR dapat dilakukan dengan cara melakukan interpolasi antara tingkat bunga pada saat NPV bernilai positif dengan tingkat bunga pada saat NPV bernilai negatif. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
IRR = i1 +
NPV1 + (i1 − i2 ) NPV1 − NPV2
............................................. (2)
Keterangan: NPV1 = NPV bernilai positif NPV2 = NPV bernilai negatif i1 = tingkat bunga dimana NPV positif i2 = tingkat bunga dimana NPV negatif
Kegiatan investasi dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar daripada Discount Rate yang ditentukan. IRR > tingkat bunga bank, maka usaha tersebut layak dilakukan dan apabila IRR< tingkat bunga bank, maka usaha tersebut tidak layak dilakukan. 2.6.3. Net Present Value (NPV)
NPV adalah keuntungan yang diperoleh atau nilai kini yang ditimbulkan oleh kegiatan investasi. Kriteria nilai sekarang bersih (NPV) didasarkan pada konsep
pendiskontoan
seluruh
arus
kas
ke
nilai
sekarang.
Dengan
mendiskontokan semua arus kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian menghitung kas bersihnya akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama (harga pasar) saat ini. Dengan demikian dua hal telah diperhatikan yaitu faktor nilai waktu dari uang serta selisih besar arus kas masuk dan keluar. Hal ini akan membantu pengambil keputusan untuk menentukan pilihan. Suatu investasi atau usaha layak dilaksanakan jika NPV > 0 dan jika NPV < 0, maka usaha atau investasi tidak layak untuk dilaksanakan. Secara matematis nilai NPV dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: n
NPV =
Bt − Ct
∑ (1 + i) t =0
t
........................................................................... (3)
22
Keterangan: Bt = benefit pada tahun ke-t Ct = biaya pada tahun ke-t i = tingkat bunga yang berlaku n = jumlah tahun t = tahun tertentu
2.7. Analisis Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan dengan model RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries) telah digunakan oleh University of British Columbia, Canada pada tahun 1998 untuk menilai status keberlanjutan sistem usaha perikanan (Alder et al., 2000; Kavanagh, 2001; Fauzi dan Anna, 2005). Metode analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) yang digunakan dalam model RAPFISH
ini
untuk
menilai
indeks
dan
status
keberlanjutan
serta
mengindentifikasi atribut-atribut yang paling sensitif dari masing-masing dimensi keberlanjutan melalui leverage analysis. Dengan analisis RAPFISH tersebut maka sistem perikanan yang komplek dapat dinilai secara cepat dan hasilnya dapat memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif. Analisis dengan RAPFISH, penilaiannya dilakukan melalui pemberian skor (nilai) terhadap atribut-atribut yang telah ditetapkan dan dikelompokkan dalam group evaluation field, dengan skoring 0 atau kondisi buruk hingga skoring 3 atau kondisi berkelanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004). 2.8. Analisis Leverage
Analisis leverage (daya ungkit) digunakan untuk mengetahui efek stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan atau dilakukan ordinasi. Hasil analisis leverage dinyatakan dalam bentuk persentase (%) perubahan root mean square masing-masing atribut jika dihilangkan dalam ordinasi. Atribut dengan persentase tertinggi merupakan atribut atau faktor yang paling sensitif berpengauh terhadap keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004). 2.9. Analisis Monte Carlo
Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Analisis ini merupakan metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek random error pada proses pendugaan dan diperlukan
23
untuk mempelajari efek ketidakpastian dari beberapa faktor yaitu (1) kesalahan pembuatan skoring dalam setiap atribut, (2) dampak keragaman skoring dari perbedaan penilaian, (3) stabilitas MDS dalam running, dan (4) tingginya nilai Sstress dari algoritma ASCAL. Jika perbedaan antara hasil perhitungan MDS dan Monte Carlo kurang dari 1, maka sistem yang dikaji cukup bagus atau sesuai dengan kondisi nyata (Kavanagh dan Pitcher, 2004; Fauzi dan Anna, 2005). 2.10. Analisis Prospektif
Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan skenario arahan kebijakan pada masa yang akan datang, dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Analisis prospektif bertujuan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Tahapan analisis prospektif menurut Bourgeois (2007): (1) menerangkan tujuan, (2) melakukan identifikasi kriteria, (3) mendiskusikan kriteria yang telah ditentukan, (4) analisis pengaruh antar faktor, (4) merumuskan kondisi faktor, (5) membangun dan memilih skenario, serta (6) implikasi skenario.