EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) PADA BEBERAPA SATUAN KELAS LERENG (Studi Kasus di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Oleh :
MUHAMAD YUSUF HIDAYAT E14202058
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN Muhamad Yusuf Hidayat. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Pada Beberapa Satuan Kelas Lereng. Di bawah bimbingan Dr.Ir. Basuki Wasis, MS dan Dr. Ir. Sukarman, MS. Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan kayu yang bernilai ekonomis tinggi karena merupakan kayu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, baik sebagai kayu pertukangan maupun sebagai kayu penghara. Namun pengembangan penanaman Sengon dalam skala luas masih membutuhkan adanya informasi mengenai kesesuaian penggunaan lahan serta tindakan pengelolaan yang diperlukan agar hasil serta produktifitas yang diharapkan dapat ditingkatkan. Untuk itu diperlukan adanya evaluasi sumberdaya lahan untuk mengetahuai kemungkinan dapat dikembangkan jenis pohon Sengon tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) pada beberapa Kelas Lereng di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan sistem matching antara persyaratan penggunaan
lahan
atau
persyaratan
tumbuh
tanaman
dengan
data
kualitas/karakteristik lahan dari suatu wilayah. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik (karakteristik/kualitas lahan) pembatas terberat dalam menilai kelas kesesuaian lahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelas kesesuaian lahan aktual tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria). Untuk Satuan Kelas Lereng 1 adalah S3-oa1, nr3, Satuan Kelas Lereng 2 adalah S3-nr3, Satuan Kelas Lereng 3 adalah S3-wa1, oa1, nr3, Satuan Kelas Lereng 4 adalah S3-wa1, nr1, Satuan Kelas Lereng 5 adalah S3-wa1, eh1, eh2 dan Satuan Kelas Lereng 7 adalah S3-nr3 ,eh1, eh2. Secara garis besar menujukan kelas kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3). Lahan memiliki
faktor
pembatas
yang
berat
dan
mempengaruhi
terhadap
produktivitasnya. Sedangkan pada Satuan Kelas Lereng 6 adalah N-eh1, eh2, Satuan Kelas Lereng 8 adalah N-rc3 dan Satuan Kelas Lereng 9 adalah N-rc3, eh1, lp2. Secara garis besar kelas kesesuaian lahan aktual termasuk ke dalam kelas
i
Tidak Sesuai (N). Lahan memiliki faktor pembatas yang berat dan/atau sulit untuk diatasi. Kelas kesesuian lahan potensial untuk Satuan Kelas Lereng 1 dan Satuan Kelas Lereng 2 adalah S2-wa1. Satuan Kelas Lereng 3, Satuan Kelas Lereng 4 dan Satuan Kelas Lereng 5 adalah S3-wa1. Serta Satuan Kelas Lereng 7 adalah S1 Untuk Satuan Kelas Lereng 6 adalah N-eh1, eh2. Satuan Kelas Lereng 8 adalah N-rc3 dan Satuan Kelas Lereng 9 adalah N-rc3, eh1, lp2. Pada ketiga Satuan Kelas Lereng tersebut akan sulit dilakukan perbaikan pada karakteristik lahannya, sebab tergolong ke dalam ordo Tidak Sesuai (N). Lahan memiliki karakteristik lahan yang sangat berat/sulit untuk diatasi. Pada lahan-lahan yang tergolong ordo Sesuai (S), peluang untuk pengembangan jenis tanaman Sengon masih dapat ditingkatkan hasilnya, jika sebelum penanaman dilakukan perbaikan-perbaikan pada karakteristik lahannya. Daerah-daerah yang sesuai untuk pengembangan jenis tanaman tersebut terletak pada kecamatan Cipatat di sebelah tengah dan utara. Antara lain desa Sumurbandung, Nyalindung, Cirawamekar, Kertamukti dan sebagian desa Citatah.
ii
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) PADA BEBERAPA SATUAN KELAS LERENG (Studi Kasus di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh: MUHAMAD YUSUF HIDAYAT E14202058
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
iii
SKRIPSI
Judul Skripsi
: EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN SENGON (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) PADA BEBERAPA SATUAN KELAS LERENG (Studi Kasus di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat)
Nama Mahasiswa
: Muhamad Yusuf Hidayat
NRP
: E14202058
Program Studi
: Budidaya Hutan
Menyetujui: Dosen Pembimbing Ke-1
Dosen Pembimbing Ke-2
(Dr.Ir. Basuki Wasis, MS) NIP.131.950.983
(Dr. Ir. Sukarman, MS) NIP.080.056.207
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
(Prof. Dr .Ir . Cecep Kusmana, MS) NIP.131.430.799
Tanggal Lulus:
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cimahi pada tanggal 24 Juni 1984. Ayah bernama Dr. Ir. H. Achmad Hidayat, MSc dan ibu Ir. Hj Tatit Sugiarti, MS sebagai anak ke empat dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di TK IKAWATI Bogor lulus tahun 1990, SD Negeri Polisi 5 Bogor lulus tahun 1996, SLTP Negeri 4 Bogor lulus tahun 1999 dan SMU Negeri 1 Bogor lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor dan diterima pada Jurusan Manajemen Hutan Program Studi Budidaya Hutan. Selama menempuh studi di Fakultas Kehutanan penulis aktif menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan periode 2003-2004, Kepala Departemen Human Resources Development International Forestry Student Association periode 2004-2005. Selain itu penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum mata kuliah Klimatologi Hutan pada Tahun Ajaran 2004-2005 dan sebagai Asisten Praktikum mata kuliah Kesuburan Tanah Hutan pada Tahun Ajaran 2005-2006.
v
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) Pada Beberapa Satuan Kelas Lereng (Studi Kasus di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS serta Bapak Dr. Ir. Sukarman, MS masing-masing sebagai dosen pembimbing pertama dan dosen pembimbing kedua yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan serta masukan selama penulisan skripsi. Ucapan yang sama disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc selaku penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta Bapak Effendi Tri Bahtiar, S.Hut selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan atas segala saran yang diberikan. Dekan Fakultas Kehutanan Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS yang telah memberikan kesempatan belajar kepada penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan Saudari Teti Suryanti atas bantuan dalam pengolahan data serta penyelesaian penyusunan peta. Pada kesempatan ini pula, ucapan terima kasih dan kasih sayang disampaikan kepada kedua orang tua serta ketiga kakakku yang telah memberikan pengertian dan dorongan, sehingga studi dapat diselesaikan dengan baik. Semoga semua amal kebaikan tersebut mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Juni 2006
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 Tujuan ......................................................................................................... 2 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 3 Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) ............................................ 3 Evaluasi Lahan ........................................................................................... 4 Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan ............................................ 4 Kaidah Klasifikasi kesesuaian Lahan............................................... 5 Prosedur Evaluasi Lahan .................................................................. 6 Kelas Kesesuiaan Lahan .................................................................. 7 Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan ............................................ 7 Kualitas Lahan dan Karakteristik Lahan .......................................... 11 Persyaratan Penggunaan Lahan/Tumbuh ......................................... 11 BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................... 13 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 13 Variabel yang Diamati dalam Penelitian ................................................... 13 Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................... 13 Metode Penelitian ...................................................................................... 14 KEADAAN UMUM WILAYAH ....................................................................... 17 Lokasi Geografis ...................................................................................... 17 Bentuk Wilayah......................................................................................... 17 Penduduk .................................................................................................. 18 Penggunaan Lahan .................................................................................... 18 Iklim .......................................................................................................... 19 Geologi dan Bahan Induk.......................................................................... 21
vii
Jenis Tanah ............................................................................................... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 23 Kualitas dan Karakteristik Lahan .............................................................. 23 Kesesuaian Lahan Aktual .......................................................................... 25 Analisis Karakteristik Lahan .................................................................... 28 Kesesuaian Lahan Potensial ...................................................................... 29 Perbaikan Karakteristik/Kualitas Lahan .................................................... 30 Potensi Pengembangan ............................................................................. 34 Arahan Penggunaan Lahan ...................................................................... 36 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 37 Kesimpulan .............................................................................................. 37 Saran ......................................................................................................... 37 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 38
viii
DAFTAR TABEL teks No
Halaman
1. Kualitas dan Karakteristik Lahan yang Digunakan Sebagai Parameter dalam Evaluasi Lahan................................................................... 12 2. Penggunaan Lahan di Kecamatan Cipatat…………………………............... 18 3. Data Curah Hujan di Daerah Penelitian dan Sekitarnya…………...........….. 20 4. Temperatur Rata-rata, Maksimum dan Minimum Daerah Cirata................... 20 5. Suhu Udara Rata-rata Berdasarkan Rumus Braak (1928).............................. 20 6. Data Karakteristik Lahan (data fisik, kimia, dan lingkungan) dari Setiap Satuan Kelas Lereng yang Diamati.............................................. 24 7. Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Aktual...................................................... 27 8. Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Potensial………………………............... 31
DAFTAR GAMBAR teks No
Halaman
1. Skema Kegiatan-Kegiatan Dalam Evaluasi Lahan......................................... 7 2. Alur Logika Kesesuaian Lahan ...................................................................... 10 3. Parit-Parit untuk Memperbaiki Drainase Tanah ............................................. 30 4. Bentuk Penanaman Countour Strip Cropping…………............……………. 33 5. Bentuk-Bentuk Teras Kredit.………………………………...............…… .. 33 6. Bentuk-Bentuk Teras Bangku…………………………………...............….. 34 7. Bentuk-Bentuk Teras Gulud…………………………………...............….… 34
DAFTAR LAMPIRAN teks No
Halaman
1. Uraian Satuan Kelas Lereng……………………………………….................. 40 2. Data Analisa Kimia Tanah di Daerah Penelitian.............................................. 43
ix
3. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Sengon (Paraserianthes falcataria)............................................................................... 44 4. Peta Administratif Kecamatan Cipatat.............................................................. 45 5. Penggunaan Lahan Kecamatan Cipatat............................................................. 46 6. Peta Kelas Lereng Kecamatan Cipatat.............................................................. 47 7. Peta Kesesuaian Lahan Aktual.......................................................................... 48 8. Peta Kesesuaian Lahan Potensial ..................................................................... 49
x
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kehutanan merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia, karena dari sektor kehutanan memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan nasional. Fungsi dan manfaat yang bisa diperoleh dari sumber daya alam hutan telah menempatkan hutan dalam peranan yang cukup besar dalam perolehan devisa negara, perluasan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan (Burhaman et al., 1990). Salah satunya yaitu perkembangan industri kehutanan baik dalam skala besar maupun dalam skala industri kecil menengah. Adanya perkembangan ini juga diiringi dengan peningkatan kebutuhan akan pasokan kayu yang meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah permintaan dari konsumen. Pasokan kayu yang selama ini diperoleh dari hutan alam menjadi semakin tidak mencukupi dan membutuhkan alternatif lain untuk pemenuhan tersebut. Salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan akan pasokan kayu tersebut yaitu dengan adanya hutan yang dikelola oleh masyarakat, seperti di daerah Jawa Barat yang ketersediaan hutan alamnya sudah semakin terbatas. Menurut Awang (2001) keberadaan hutan rakyat telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit. Setidaknya menurut Yuniandra (1998 dalam Awang, 2001) sekitar 70% konsumsi kayu di Pulau Jawa dipenuhi dari hutan rakyat. Sementara itu menurut Simon (1994 dalam Awang, 2001) disebutkan bahwa sumbangan hutan rakyat terhadap pembangunan masyarakat antara lain peningkatan produksi kayu dan hasil ikutan lainnya. Dari segi ekologi juga meningkatkan proteksi permukaan tanah dari bahaya erosi, menyediakan habitat yang baik bagi satwa, mengurangi kadar CO2 dan polutan lainnya di udara. Pemilihan jenis tanaman untuk ditanam pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan kemudahan pemeliharaan. Salah satu jenis kayu yang ditanam di hutan rakyat yaitu jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria). Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan kayu yang bernilai ekonomis tinggi, karena merupakan bahan yang baik untuk peti kemas, papan dinding, perabot rumah tangga, plywood, kertas, pulp serta kerajinan tangan dan
1
memiliki riap pertumbuhan yang cukup tinggi. Namun pengembangan penanaman Sengon dalam skala luas masih membutuhkan adanya informasi mengenai potensi lahan, kesesuaian penggunaan lahan serta tindakan pengelolaan yang diperlukan agar hasil serta produktifitas yang diharapkan dapat ditingkatkan. Untuk itu diperlukan adanya evaluasi sumberdaya lahan untuk mengetahuai kemungkinan dapat dikembangkan jenis pohon Sengon tersebut, khususnya di Kabupaten Bandung. Pada prinsipnya evaluasi sumberdaya lahan dilakukan dengan cara membandingkan antara persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan karakterisitik sumberdaya yang ada pada lahan tersebut.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan aktual dan potesial jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) pada beberapa Satuan Kelas Lereng di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini berupa tabel dan peta kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) pada beberapa Satuan Kelas Lereng di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Tabel kesesuaian lahan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk pengembangan dan penelitian jenis tanaman Sengon di masa yang akan datang, khususnya pada daerah yang dijadikan sebagai daerah penelitian.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sengon ( Paraserianthes falcataria ) Sengon Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.syn.Albizia falcataria (L) Fosberg dan Albizia falcata Baclur termasuk ke dalam famili Mimosaceae (petepetean). Sengon mempunyai nama daerah bermacam-macam, antara lain Albizia, Jeungjing (Jawa Barat). Di luar Jawa sengon dikenal dengan nama tedehu pute (Sulawesi), di Maluku dikenal dengan nama rawe, selawoku merah, seka, sika, sika bot, sikahm, atau tawasela. Di Irian Jaya terkenal dengan nama bae, bai, wahagon, wai atau wiie (Martawijaya et al., 1989). Berdasarkan habitusnya, Sengon (Paraserianthes falcataria) mempunyai tinggi pohon sampai 40 meter dengan panjang batang bebas cabang 10-30 meter. Diameter rata-rata batang pohon sampai 80 cm dengan kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas dan tidak berbanir (Martawijaya et al., 1989). Kayu sengon termasuk kelas awet IV/V dengan daya tahan terhadap rayap. Kayu kering termasuk kelas III. Selain itu, tingkat ketahanan kayu Sengon terhadap jamur pelapuk kayu termasuk ke dalam kelas II-IV. Selanjutnya Martawijaya et al. (1989) menyatakan bahwa kayu Sengon banyak digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan (papan, balok, tiang, kaso dan sebagainya). Selain itu dapat juga dipakai untuk pembuatan peti, venir, pulp, papan semen, wol kayu, papan serat, papan partikel, korek api (tangkai dan kotak), kelom dan kayu bakar. Sengon dapat tumbuh pada tanah yang tidak subur dan agak sarang, tanah kering , becek atau agak asin. Tanaman muda tahan terhadap kekurangan zat asam sampai 31,5 hari. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah hingga ke pegunungan sampai ketinggian 1.500 m dpl (Martawijaya et al., 1989). Bagian terpenting yang mempunyai nilai ekonomis pada tanaman Sengon adalah kayunya. Pada dasarnya Sengon dapat tumbuh pada sembarang tempat, baik di tanah tegalan atau pekarangan maupun tanah-tanah hutan yang baru dibuka bahkan di tanah tandus pun masih bisa tumbuh. Dari pengamatan di
3
lapangan, tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah Regosol, Aluvial, Latosol. Tanah-tanah tersebut bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dan kemasaman tanah sekitar pH 6-7 (Santoso, 1993).
Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian (Djaenudin et al., 2000).
Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda tergantung daripada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Berbeda dengan evaluasi kesesuaian lahan, evaluasi kemampuan pada umumnya ditujukan untuk penggunaan yang lebih luas seperti penggunaan untuk pertanian, perkotaan, dan sebagainya. Penilaian kesesuian lahan pada dasarnya dapat berupa pemilihan lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu (Sitorus, 1985). Evaluasi kesesuaian lahan mempunyai penekanan yang tajam, yaitu mencari lokasi yang
mempunyai sifat-sifat positif dalam hubungannya dengan
keberhasilan produksi atau penggunaannya, sementara evaluasi kemampuan sering dinyatakan dalam hubungan dengan pembatas-pembatas negatif, yang dapat menghalangi beberapa atau sebagian penggunaan lahan yang sedang dipertanyakan/dipertimbangkan (Sitorus, 1985). Klasifikasi kesesuaian lahan menurut metode FAO (1976 dalam Djaenudin et al., 2000) dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Klasifikasi lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kuantitatif (dengan angka-angka) dan biasanya dilakukan juga perhitungan-perhitungan ekonomi (biaya dan pendapatan), dengan memperhatikan aspek pengolahan dan produktifitas lahan (Hardjowigeno, 2003). Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak
4
dengan angka-angka) dan tidak ada perhitungan-perhitungan ekonomi. Biasanya dengan cara memadankan (membandingkan) kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan karakteristik (kualitas) lahan yang dimilikinya. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik (karakteristik/kualitas lahan) yang merupakan faktor penghambat terberat (Hardjowigeno, 2003).
Kaidah Klasifikasi Kesesuaian Lahan Kaidah klasifikasi kesesuaian lahan adalah aturan yang harus diikuti dalam evaluasi lahan. Aturan tersebut disusun menjadi suatu sistem dalam evaluasi lahan. Sistem yang ditetapkan merupakan kesepakatan tentang kaidah yang akan dipakai dalam evaluasi lahan. Kaidah-kaidah tersebut dapat dirubah, tetapi harus didasarkan pada alasan-alasan yang tepat dan disepakati oleh para pakar evaluasi lahan yang berasal dari beberapa disiplin ilmu seperti perencanaan pertanian, ahli tanah, ahli agronomi, dan lain-lain (Hardjowigeno, 1994 dalam Suprihartono, 2003). Selanjutnya
(Hardjowigeno,
1994
dalam
Suprihartono,
2003)
menyebutkan beberapa kaidah yang perlu ditetapkan dalam evaluasi lahan sebagai berikut: -
Jumlah kelas kesesuaian lahan
-
Pengharkatan masing-masing kelas kesesuaian lahan
-
Jumlah dan parameter yang dinilai
-
Pengharkatan terhadap parameter yang dinilai. Kisaran produksi yang diharapkan dari masing-masing kelas kesesuaian lahan pada tingkat pengelolaan tertentu, serta produksi optimalnya.
-
Sistem dan prosedur dalam evalusi lahan.
-
Asumsi-asumsi (data, tingkat pengelolaan, dan lain-lain) Dalam evaluasi lahan perlu ditetapkan asumsi-asumsi yang menjelaskan
tentang ruang lingkup, kondisi dan tingkat manajemen yang akan ditetapkan serta arah dari evaluasi ( Hardjowigeno, 1994 dalam Suprihartono, 2003). Beberapa hal yang perlu diterapkan dalam evaluasi lahan semi detil antara lain: -
Prosedur evaluasi lahan: secara fisik kuantitatif atau yang lainnya
5
-
Data: merupakan data tapak, atau rata-rata dari Satuan Peta Tanah (SPT)
-
Kependudukan, sosial budaya: tidak diperhitungkan
-
Prasarana dan aksesibilitas: tidak diperhitungkan
-
Pemilikan tanah: tidak diperhitungkan
-
Tingkat pengolahan tanah: dibedakan atas rendah, sedang, dan tinggi
-
Diterangkan kriteria masing-masing tingkat dan usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencapai kesesuaian lahan potensial
-
Aspek ekonomi: hanya dipertimbangkan secara garis besar, termasuk dalam aspek ekonomi adalah aspek pemasaran, nilai input-output, serta keuntungan bersih.
Kegiatan utama dalam evaluasi lahan menurut FAO (1976, dalam Djaenudin et al., 2000) dapat dilihat pada Gambar 1.
Prosedur Evaluasi Lahan Menurut FAO (1976, dalam Djaenudin et
al., 2000) kegiatan utama dalam
evaluasi lahan adalah sebagai berikut: 1. Konsultasi pendahuluan: meliputi pekerjaan-pekerjaan persiapan antara lain penetapan yang jelas tujuan evaluasi, jenis data yang akan digunakan, asumsi yang digunakan dalam evaluasi, daerah penelitian, serta intensitas dan skala survei. 2. Penjabaran (deskripsi) dari jenis penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan dan persyaratan- persyaratan yang diperlukan. 3. Deskripsi satuan peta lahan (land mapping units) dan kemudian kualitas lahan (land qualities) berdasarkan pengetahuan tentang persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dan pembataspembatasnya. 4. Membandingkan jenis penggunaan lahan dengan tipe-tipe lahan sekarang. Ini merupakan proses penting dalam evaluasi lahan, dimana data lahan, penggunaan
lahan
dan
informasi-informasi
ekonomi
digabungkan dan dianalisa secara bersama- sama. 5. Hasil dari butir ke 4 adalah klasifikasi kesesuaian lahan. 6. Penyajian dari hasil-hasil evaluasi.
6
dan
sosial
Konsultasi Pendahuluan - Tujuan - Data dan Asumsi - Rencana Kerja Jenis Penggunaan Lahan - Jenis Umum - Secara Terperinci
Satuan Peta Tanah ( SPT )
Persyaratan tumbuh Masing-masing Penggunaan Lahan
Kualitas Lahan
Perbandingan syarat-syarat penggunaan Lahan dengan kualitas Lahan - Perbandingan - Analisis Sosial Ekonomi - Analisis Dampak
Klasifikasi Kesesuaian Lahan Penyajian Hasil - Peta - Laporan
Gambar 1. Skema Kegiatan-kegiatan dalam Evaluasi Lahan ( FAO, 1976 dalam Djaenudin et al., 2000)
7
Kelas Kesesuaian Lahan Kelas kesesuaian lahan dapat dibedakan menjadi dua, sesuai waktu dan penggunaannya, yaitu kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kelas kesesuaian lahan aktual (saat sekarang), menunjukan kesesuaian lahan terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dalam keadaan sekarang, tanpa ada perbaikan yang berarti. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu yang diperlukan. Dalam hal ini perlu dirinci faktor-faktor ekonomis yang disertakan dalam menduga biaya yang diperlukan untuk perbaikan-perbaikan tersebut. Alur logika penilaian kesesuaian lahan (FAO, 1976 dalam Djaenudin et al., 2000) dapat dilihat pada Gambar 2.
Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan Kerangka evaluasi lahan menurut FAO ini dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia. Struktur dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini terdiri atas kategori-kategori yang merupakan tingkat generalisasi yang bersifat menurun yaitu: Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukkan apakah lahan sesuai atau tidak untuk penggunaan tertentu. Oleh karena itu ordo kesesuaian lahan dibagi dua, yaitu: a) Ordo S : Sesuai (Suitable) Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan. b) Ordo N: Tidak sesuai (Not Suitable) Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.
8
Kesesuaian lahan pada tingkat kelas a) Lahan yang tergolong Sesuai (S) dibedakan antara lahan yang Sangat Sesuai (S1), Cukup Sesuai (S2), dan Sesuai Marjinal (S3). •
Kelas S1, Sangat Sesuai: lahan tidak mempunyai faktor pembatas
yang
nyata
terhadap
penggunaan
secara
berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktifitas lahan secara nyata. •
Kelas S2, Cukup Sesuai: lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini berpengaruh terhadap produktifitasnya, memerlukan tambahan (input) masukan. Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.
•
Kelas S3, Sesuai Marginal: lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini berpengaruh terhadap produktifitasnya, memerlukan tambahan input yang lebih besar dari pada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swasta.
Tanpa
bantuan
tersebut
pertani
tidak
mampu
mengatasinya. b) Lahan yang tergolong Tidak Sesuai (N) •
Kelas N, Tidak Sesuai: lahan yang tidak sesuai (N) karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.
Kesesuaian Lahan pada tingkat sub kelas: kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas terberat bergantung peranan faktor pembatas pada masing-masing sub kelas. Kemungkinan kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan input atau masukan yang diperlukan. Contoh S3oa yaitu termasuk kelas sesuai marginal dengan sub kelasnya oa atau ketersediaan oksigen tidak memadai. Dengan perbaikan drainase yang sesuai akan menaikkan kelasnya sampai kelas terbaik.
9
BMG/GIS
Survei Tanah
Data iklim
Kualitas Lahan
Penelitian Dasar
Data Persyaratan Agroekologi Tanaman
Matching
Kesesuaian Lahan Aktual/fisik Manajemen Produksi
Kendala Agro-ekologi
Kesesuaian Lahan Potensial Pada Tingkat Manajemen Produksi tertentu
Gambar 2. Alur Logika Kesesuaian Lahan (FAO, 1976 dalam Djaenudin et al., 2000)
10
Kualitas Lahan dan Karakteristik Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976 dalam Djaenudin et al., 2000). Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976 dalam Djaenudin et al., 2000). Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Contohnya lereng, curah hujan, tekstur tanah, kapasitas air tersedia, kedalaman efektif dan sebagainya. Setiap satuan peta lahan yang dihasilkan dari kegiatan survei dan/atau pemetaan sumberdaya lahan, karakteristik lahan dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan tanah. Data tersebut digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu (Djaenudin et al., 2000).
Persyaratan Penggunaan Lahan/Tumbuh Tanaman Semua jenis komoditas tanaman yang berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, yang kemudian antara satu dengan yang lainnya berbeda. Persyaratan tersebut terutama yang terdiri atas energi radiasi, temperatur/suhu, kelembaban, oksigen, dan hara. Persyaratan temperatur dan kelembaban umumnya digabungkan, dan selanjutnya disebut sebagai periode pertumbuhan (FAO, 1983 dalam Djaenudin et al., 2000). Persyaratan tumbuh tanaman lainnya yang tergolong sebagai kualitas lahan adalah media perakaran. Media perakaran ditentukan oleh drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah serta kedalaman efektif. Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan oleh masing-masing komoditas (pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan)
11
mempunyai batasan kisaran minimum, optimum, dan maksimum. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan, maka persyaratan tersebut dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan, yang dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan (Djaenudin et al., 2000). Tabel 1. Kualitas dan Karakteristik Lahan yang Digunakan Sebagai Parameter dalam Evaluasi Lahan Simbol Kualitas Lahan Karakteristik Lahan tc
Temperatur
1. Temperatur rerata (o C ) atau elevasi (m)
wa
Ketersediaan air
1. Curah Hujan (mm) 2. Lamanya masa kering (bulan) 3. Kelembaban udara
oa
Ketersediaan oksigen
1. Drainase
rc
Media Perakaran
1. Tekstur 2. Bahan kasar (%) 3. Kedalaman tanah 4 Ketebalan gambut 5. Kematangan gambut
nr
Retensi Hara
1. KTK Liat (cmol(+)/kg) 2. Kejenuhan Basa (%) 3. pH H2O 4. C-Organik
xc
Toksisitas
1. Aluminium 2. Salinitas/DHL (ds/m)
xn
Sodisitas
1. Alkalinitas (%)
xs
Bahaya sulfidik
1. Pyrit (Bahan Sulfidik)
eh
Bahaya erosi
1. Lereng (%) 2. Bahaya erosi
fh
Bahaya Banjir
1. Genangan
lp
Penyiapan Lahan
1. Batuan di permukaan (%) 2. Singkapan batuan (%)
Sumber : Djaenudin et al. (2000).
12
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada beberapa tempat yang berada di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2006 sampai dengan April 2006. Variabel yang Diamati dalam Penelitian Variabel yang diamati dalam penelitian penyusunan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) ini adalah sifat kimia dan fisik tanah daerah penelitian serta faktor lingkungan, yaitu pH tanah, kandungan C-Organik tanah, kandungan P2O5 tersedia, Ca, Mg, K, Na tukar, Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah, Kejenuhan Basa (KB), tekstur tanah, data curah hujan dan temperatur udara daerah penelitian serta kelas kelerengan. Bahan dan Alat Penelitian Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Peta topografi Kabupaten Bandung skala 1 : 25.000. 2. Peta penggunaan lahan (land use) skala 1 : 50.000. 3. Data iklim selama 10 tahun (Data Curah Hujan dan Suhu Udara). 4. Tabel kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria). 7. Data kondisi fisik lingkungan. 8. Literatur-literatur pendukung. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1.
Komputer untuk membantu penyusunan tabel Kelas Kesesuaian Lahan yang dihasilkan dari hasil penelitian.
2.
Blanko isian untuk mencatat hasil pengamatan data primer.
3.
Spidol, alat tulis serta karton untuk membuat labeling.
4.
Bor tanah (auger/core) tipe belgi untuk mengebor tanah dan mengambil sample tanah.
13
5.
Pisau belati untuk membantu dalam pengambilan contoh.
6.
Kamera dan video untuk dokumentasi.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi pengumpulan data yang berkaitan dengan penelitian, seperti penelaahan peta topografi, peta penggunaan lahan, data sekunder seperti data iklim, suhu udara dan hasil survei. Hasil penelaahan ini digunakan sebagai referensi dalam penentuan lokasi yang dijadikan areal pengamatan penelitian. Observasi lapangan secara langsung dilakukan untuk verifikasi lapangan. 2. Tahap Penentuan Areal Pengamatan Penelitian Penentuan lokasi pengamatan dilakukan atas dasar bentuk wilayah/kelas kelerengannya. Tahapan yang dilakukan dalam penentuan titik pengamatan tersebut adalah sebagai berikut: a. Menentukan lokasi yang dijadikan sebagai daerah penelitian. Daerah yang dideliniasi merupakan areal yang ditanami dengan jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria), informasi ini diambil dari peta penggunaan lahan Kabupaten Bandung. b. Hasil dari deliniasi tersebut kemudian dioverlaykan dengan peta topografi untuk mengetahui kelas-kelas lerengnya. c. Kelas lereng ditentukan dari garis kontur pada peta topografi dan pengukuran di lapangan menggunakan ”Abney level” d. Dari hasil overlay tersebut dapat diketahui jumlah kelompok kelas-lereng yang ada, dimana titik pengamatan pada peta penggunaan lahan tersebut ditentukan. 3. Tahap Pengambilan Contoh Tanah Tahapan pemilihan lokasi pengambilan contoh tanah dilakukan mengacu pada Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004).
14
Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara: a. Memperhatikan wilayah sekitar untuk mengenal keadaan wilayah sambil melakukan pemboran untuk mengetahui penyebaran dan homogenitas sifat-sifat tanah dari lokasi tersebut. b. Menetapkan lokasi yang representatif dengan cara melakukan pemboran sedalam 1 m di 2-3 tempat berjarak 1 m di sekitar lokasi/site yang akan diambil contohnya untuk mengetahui kehomogenan tanah. Jika pada 2-3 pengeboran tersebut menunjukkan keadaan yang sama, maka tempat pengambilan contoh tanah sudah dianggap cukup representatif. c. Contoh tanah diambil dari kedalaman 0-25 cm dan 25-50 cm, masingmasing sekitar 1 kg. 4. Tahap Analisis Tanah Analisis tanah dilakukan di laboratorium kimia Balai Penelitian Tanah dan mengacu pada Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanah,(2005). Parameter-parameter yang dianalisis disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu parameter-parameter yang berkaitan dengan kesesuaian lahan. Parameter-parameter tanah yang diamati adalah : a. Tekstur tanah (metode pipet). b. Kemasaman Tanah (pH) terdiri dari pH-H2O dan pH-KCl dengan rasio (1:5) yang diukur dengan pH meter elektrode. c. Carbon organik (C-organik) menggunakan Spektrofotometer. d. Kandungan P2O5 tersedia menggunakan metode Olsen (Fosfat dalam suasana netral/alkali) dan metode Bray-1 (Fosfat dalam suasana asam). e. Penetapan susunan kation, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) ditetapkan dengan pengekstrak NH4OAc pH-7. 5. Tahap Pengolahan Data Tahapan pengolahan data yang dilakukan yaitu: a. Penilaian kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) dilakukan dengan sistem matching antara persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman dengan data kualitas/karakteristik lahan dari suatu wilayah. Kelas kesesuaian lahan
15
ditentukan oleh faktor fisik (karakteristik/kualitas lahan) pembatas terberat dalam menilai kelas kesesuaian lahan. b. Penentuan kelas kesesuaian lahan aktual dilakukan dengan cara: 1. Data karakteristik/kualitas lahan pada masing-masing Satuan Kelas Lereng dihubungkan (matching) dengan data persyaratan tumbuh tanaman yang mengacu pada buku Kriteria Kesesuiaan Lahan Djaenudin et al. (2000). Kemudian masing-masing Satuan Kelas Lereng digolongkan apakah termasuk Ordo Sesuai (S) atau Tidak sesuai (N). 2. Pada masing masing Ordo yang tergolong ke dalam Ordo Sesuai, kemudian ditentukan apakah tergolong ke dalam kelas Sangat Sesuai (S1), Cukup Sesuai (S2) atau Sesuai Marjinal (S3). 3. Masing-masing kelas ditentukan sub kelasnya berdasarkan karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas terberatnya secara berurutan berdasarkan urutan karakteristik lahan pada tiaptiap kualitas lahan. 4. Hasil yang didapatkan dari evalusi kesesuaian tersebut di atas berupa tabel data dan peta kesesuaian lahan aktual yang menunjukan Ordo, Kelas dan Sub kelasnya. c. Untuk mendapatkan data kesesuaian lahan potensial didapatkan dengan cara menentukan upaya-upaya perbaikan karakteristik/kualitas lahan yang diperlukan untuk menaikkan kelas kesesuaian lahannya berdasarkan input/masukan yang diperlukan. Sehingga kelas kesesuaian lahan potensialnya akan meningkat pada kelas yang terbaik, faktor pembatasnya hanya dibatasi oleh faktor permanen yang tidak dapat dilakukan usahausaha perbaikan. 6. Tahap Penyajian Hasil Tahap penyajian hasil berupa tabel data dan peta hasil kelas kesesuaian lahan untuk tanaman Sengon hasil dari sistem matching antara persyaratan penggunaan
lahan
atau
persyaratan
tumbuh
kualitas/karakteristik lahan dari suatu wilayah.
16
tanaman,
dengan
data
KEADAAN UMUM WILAYAH
Lokasi Geografis Daerah Penelitian terletak di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Cipatat terbagi menjadi 12 Desa yaitu Desa Ciptaharja, Cipatat, Rajamandala Kulon, Nyalindung, Kertamukti, Mandalawangi, Gunungmasigit,
Citatah,
Cirawamekar,
Mandalasari,
Sumurbandung
dan
Sarimukti. Secara geografis daerah penelitian terletak antara 06o46’25” – 06o53’28” Lintang Selatan dan 107o19’00” – 107o27’15” Bujur Timur. Sedangkan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Luas daerah penelitian 125,4966 km2 (BPS Kabupaten Bandung, 2001). Batas-batas administratifnya adalah di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cipeundeuy dan Cikalong Wetan, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Padalarang, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatam Batujajar, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kecamatan Cipatat terletak pada wilayah lereng-lereng pegunungan yang membujur dari timur ke barat yaitu Gunung Ketu (561 meter), Gunung Masigit (754 meter), Gunung Halimun (972 meter) serta Gunung Sanghiangtikoro (397 meter).
Bentuk Wilayah Daerah penelitian mempunyai bentuk wilayah datar sampai bergelombang. Ketinggian tempat bervariasi mulai dari ketinggian ± 250 m dpl sampai ketinggian ± 1000 m dpl. Memiliki kelerengan yang bervariasi mulai dari 0-8%, 8-15%, 1525% dan yang memiliki kelerengan curam yaitu lebih dari 45% (Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, 2004). Wilayah-wilayah yang merupakan daerah perbukitan terdapat di Kecamatan Cipatat sebelah selatan yaitu pada wilayah desa Ciptaharja, Citatah, serta Gunung Masigit. Sedangkan pada wilayah Kecamatan Cipatat di sebelah utara pada umumnya mempunyai bentuk wilayah datar, bergelombang, berombak dan
17
berbukit, yaitu pada wilayah desa Sumur Bandung, Nyalindung, Cirawamekar serta sebagian Desa Kertamukti.
Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Cipatat yaitu 99.838 jiwa dan kepadatan penduduk 796 jiwa/km2 (BPS Kabupaten Bandung, 2001). Berdasarkan Monografi Kecamatan Cipatat, (2004) rasio antara jumlah laki-laki dan perempuan wilayah kecamatan Cipatat yaitu, laki laki 48.508 jiwa sedangkan perempuan 51.339 jiwa.
Penggunaan Lahan Tabel 2. Penggunaan Lahan di Kecamatan Cipatat Penggunaan lahan Luas (Ha)
%
Sawah irigasi semi teknis
1
0,012
Sawah irigasi sederhana
217
2,71
Tegalan (palawija)
329
4,11
Kebun campuran (tegalan, pekarangan)
1143
14,28
Kebun campuran (Sengon, bambu, belukar)
2342
29,26
Perkebunan karet
543
6,78
Perkebunan kakao
555
6,93
Perkebunan teh
21
0,26
Kebun campuran dan jati
104
1,29
Jati
130
1,62
Jati dan pisang
403
5,03
Kebun pisang
591
7,38
Semak belukar dan singkapan batuan
176
2,19
Hutan sekunder
150
1,87
Kota, pemukiman pekarangan dan lain-lain
1298
16,21
Jumlah
8003
100
Sumber: Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (2004) Berdasarkan literatur (Tabel 2) serta hasil verifikasi di lapangan, penggunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh kebun campuran. Kebun
18
campuran (Sengon, Bambu, belukar) meliputi 29,26% luas wilayah Kecamatan Cipatat yang tersebar di wilayah sebelah utara, selatan serta timur Kecamatan Cipatat. Kebun campuran (tegalan, pekarangan) meliputi 14,28% luas wilayah. Sedangkan sisanya berupa kota, pemukiman pekarangan, dan lain-lain 16,21%, kebun pisang 7,38%, perkebunan kakao 6,93%, perkebunan karet 6,78%, jati dan pisang 5,03%, tegalan (palawija) 4,11%, sawah irigasi sederhana 2,71%, semak belukar dan singkapan batuan 2,19%, hutan sekunder 1,87%, jati 1,62%, kebun campuran dan jati 1,29%, perkebunan teh 0,26% serta sawah irigasi semi teknis 0,012%.
Iklim Data iklim yang digunakan menggunakan data yang dikumpulkan oleh PT. Pembangkit Tenaga Listrik Jawa Bali Unit Pembangkit Saguling dan Cirata. Untuk wilayah Cirata lama pengamatan selama 11 tahun pengamatan (tahun 1993 – 2003) dan untuk wilayah Saguling selama 5 tahun pengamatan (tahun 1999 – 2003) . Curah hujan Berdasarkan data curah hujan di daerah penelitian, rata-rata curah hujan tahunan bervariasi antara 1.747 sampai 2.954 mm/tahun (Tabel 3). Dimana curah hujan
tertinggi tercatat pada stasiun Cipeundeuy dan terendah pada stasiun
Bandung. Secara keseluruhan curah hujan tahunan pada daerah penelitian memiliki curah hujan yang tinggi (lebih dari 2000 mm/tahun). Temperatur udara Data temperatur udara diperoleh dari stasiun pengamatan Cirata yang tercatat selama periode 1993- 2003 (Tabel 4). Temperatur udara rata-rata tahunan di daerah penelitian ±26oC. Nilai rata-rata temperatur udara tertinggi tahunan tercatat pada bulan September yaitu sebesar 27,2 oC dan terendah pada bulan Januari sebesar 25 oC. Fluktuasi antara rata-rata bulan terpanas dan terdingin sebesar 2 oC. Dalam pendugaan suhu udara pada masing-masing Satuan Kelas Lereng digunakan rumus Braak (1928) dalam Djaenudin et al.(2000) yaitu 26,3oC- (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6oC) (Tabel 5). Dimana suhu udara pada ketinggian
19
± 400 m dpl sebesar 23,60C, pada ketinggian ±700 m dpl sebesar 21,80C dan suhu udara pada ketinggian ± 1000 m dpl sebesar 200C. Tabel 3. Data Curah Hujan di Daerah Penelitian dan Sekitarnya. Bulan Cilakong wetan Cipeundeuy Januari 314 315 Februari 290 356 Maret 296 297 April 246 204 Mei 264 205 Juni 157 231 Juli 100 51 Agustus 175 155 September 185 188 Oktober 246 300 November 284 223 Desember 202 229 Jumlah 2.758 2.954 Ketinggian tempat (m dpl) 650 300 Sumber: Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (2004)
Cirata 259 208 275 233 170 101 69 66 88 177 164 210 2.120 250
Bandung 214 143 277 211 154 62 58 56 48 95 249 181 1.747 700
Tabel 4. Temperatur Rata-rata, Maksimum dan Minimum Daerah Cirata (1000 m dpl). Temperatur (oC) Bulan Rata-rata Maksimum Minimun Januari 25,0 28,5 21,6 Februari 25,1 29,1 21,0 Maret 26,5 30,9 22,0 April 25,5 29,7 22,1 Mei 26,0 30,6 21,8 Juni 25,4 29,9 20,9 Juli 26,1 30,6 21,6 Agustus 26,9 31,9 21,8 September 27,2 32,7 21,9 Oktober 26,3 31,1 21,6 November 26,1 30,5 21,8 Desember 25,7 29,6 21,8 Rata-rata 26,0 30,4 21,7 Sumber: Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (2004) Tabel 5. Suhu Udara Rata-rata Berdasarkan Rumus Braak (1928 dalam Djaenudin et al. 2000). Suhu Udara rata-rata pada ketinggian (oC) 400 mdpl 700 mdpl 1000 mdpl 23,6 21,8 20
20
Geologi dan Bahan Induk Daerah penelitian diliputi oleh dua lembar Peta Geologi Bersistem Indonesia skala 1 : 100.000, yaitu : (1) Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga,1973, dalam Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, 2004). Menurut Silitonga (1973, dalam Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, 2004) secara geologis daerah penelitian disusun oleh lima belas batuan utama, dan dapat dipisahkan menjadi 4 berdasarkan umur pembentukannya. (1). Batuan berumur Holosen (Kuarter) (2). Batuan berumur Pliosen (Tertier akhir) (3). Batuan berumur Miosen (Tertier tengah) (4). Batuan berumur Oligosen (Tertier awal) Bahan induk merupakan bahan anorganik atau organik yang nenurunkan komponen-komponen tanah baik berupa bahan mineral maupun organik. Sebagian besar bahan induk yang menyusun tanah-tanah di daerah penelitian berupa bahan anorganik, berasal dari lapukan batuan induk. Penetapan bahan induk yang menyusun tanah di daerah penelitian didasarkan kepada pola keadaan formasi geologi serta hasil pengamatan di lapangan. Menurut Fakutas Pertanian Universitas Padjajaran (2004) bahan induk di daerah penlitain terdiri dari: (1) Aluvium, (2) Koluvium, (3) Batuan andesit, (4) Breksi, (5) Batuliat, (6) Batugamping/marmer. Keenam jenis bahan induk tersebut dapat hanya terdiri satu macam jenis bahan induk atau berupa gabungan atau kompleks.
Jenis Tanah Menurut Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (2004) tanah-tanah didaerah penelitian sebagian besar didominasi oleh jenis-jenis tanah Ultisols, Mollisols, Alfisols dan Inceptisols.
Tanah-tanah yang berkembang dari batuan andesit cukup luas di daerah penelitian, penyebarannya dijumpai pada relief berombak, bergelombang sampai berbukit yang hampir mendominasi daerah penelitian. Tanah bervariasi dari agak dalam sampai sangat dalam, berdrainase baik, dan reaksi tanah masam sampai agak masam. Diklasifikasikan sebagai tanah Ultisols dan Inceptisols.
21
Tanah-tanah
yang
berkembang
dari
batu
gamping
dan
kapur
penyebarannya di sekitar Cipatat dan Gunung Masigit, pada relief bergelombang sampai berbukit. Tanah bervariasi dari dangkal sampai sangat dalam, berdrainase baik, reaksi tanah umumnya netral sampai basa. Diklasifikasikan sebagai tanah Inceptisols, Alfisols dan Mollisols.
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas dan Karakteristik Lahan Temperatur, Ketersediaan Air serta Oksigen Pada Tabel 6 memperlihatkan karateristik lahan di daerah penelitian bervariasi berdasarkan lokasi serta ketinggian tempat. Suhu udara di daerah penelitian berkisar antara 200C - 23,60C, semakin tinggi ketinggian tempat maka suhu udara menunjukan penurunan. Curah hujan pada daerah penelitian menunjukan variasi yang berbeda-beda yaitu antara 1.747 hingga 2.758 mm/tahun. Drainase tanah pada daerah penelitian sebagian besar memiliki drainase yang baik. Hanya dua Satuan Kelas Lereng yang memiliki drainase terhambat. Media Perakaran Media perakaran pada beberapa Satuan Kelas Lereng banyak dibatasi oleh karakteristik kedalaman tanah (Tabel 6). Kedalaman tanah bervariasi dari tanah dengan kedalaman yang dalam hingga tanah yang dangkal. Sedangkan tekstur tanah pada daerah penelitian secara keseluruhan relatif sama yaitu bertekstur halus. Retensi Hara Retensi hara pada beberapa Satuan Kelas Lereng juga dibatasi oleh pH tanah yang rendah (Tabel 6). pH tanah berkisar antara 4,5 hingga 7,63. pH tanah yang rendah ini terdapat pada delapan Satuan Kelas Lereng. Pada daerah penelitian, KTK tanah dan Kejenuhan Basa memiliki nilai yang sedang hingga sangat tinggi, sedangkan C-Organik memiliki nilai sangat rendah sampai sedang. Bahaya Erosi Kelerengan lahan pada daerah penelitian bervariasi mulai dari kemiringan yang agak landai (0-8%) hingga kemiringan yang sangat curam (>45%) (Tabel 6). Kemiringan lahan ini sangat mempengaruhi adanya bahaya erosi pada daerah penelitian. Daerah-daerah yang memiliki kemiringan lahan yang curam, pada umumnya memiliki bahaya erosi yang cukup besar.
23
Tabel 6. Data Karakteristik Lahan (Data Fisik, Kimia, dan Lingkungan) dari Setiap Satuan Kelas Lereng yang Diamati. Persyaratan Penggunaan/karakteristik Lahan
Satuan Kelas Lereng 1
2
3
4
5
6
7
8
9
0-3 % 250-400 m dpl
8-15 % 250-400 m dpl
3-8 % 400-700 m dpl
8-15 % 400-700 m dpl
15-25 % 400-700 M dpl
>45 % 400-700 m dpl
15-25 % 700-1000 m dpl
15-30 % 700-1000 m dpl
>45 % 700-1000 m dpl
Temperatur rerata (0C)
23,6
23,6
21,8
21,8
21,8
21,8
20
20
20
Ketersediaan air (wa) Curah Hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa)
2.120 -
2.120 -
2.758 -
2.758 -
2.758 -
2.758 -
1.747 -
1.747 -
1.747 -
Terhambat
Baik
Terhambat
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
h >75
h >75
h >75
h >75
h 50-75
h 50-75
h 50-75
h <40
h <40
24,3 72,66 5,43 2,06
20 56 4,5 1,02
16,3 100 7,63 2,4
25,3 63,33 4,76 1,47
20,66 84 6,67 1,68
48,7 100 6,03 0,59
40 100 5,4 0,84
26 83 5,6 2,05
26 83 5,6 2,05
0–3 Sr
8-15 Sd
3-8 r
8-15 Sd
15-25 b
> 45 sb
15-25 b
15-25 b
>45 sb
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
<5
5-15
>25
Temperatur (tc)
Drainase
Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan Kasar (%) Kedalaman tanah (cm)
Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH (H2O) C-Organik (%)
Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi
Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan Batuan (%)
Keterangan: Ketinggian m : meter dpl : diatas permukaan laut Erosi sr : sangat rendah ; r: rendah ; sd: sedang ; b: besar ; sb: sangat besar Tekstur h : halus ; ah: agak halus ; s: sedang ; ak: agak kasar 24
Penyiapan Lahan Di daerah penelitian pada umumnya tidak terdapat singkapan batuan (Tabel 6). Akan tetapi pada beberapa Satuan Kelas Lereng terdapat adanya singkapan batuan yang muncul ke permukaan (Rock Out Crops) yang bervariasi mulai dari 5% hingga yang lebih dari 25% seperti yang terdapat pada Satuan Kelas Lereng 9.
Kesesuaian Lahan Aktual Dari hasil analisis yang dilakukan untuk menilai kelas kesesuaian lahan aktual pada tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) (Tabel 7) secara garis besar memperlihatkan, 6 Satuan Kelas Lereng kelas kesesuaian lahan aktualnya termasuk Sesuai Marginal (S3). Lahan memiliki faktor pembatas yang berat dan mempengaruhi produktivitasnya. Pada Satuan Kelas Lereng 1 kelas kesesuaian lahannya adalah S3-oa1, nr3, untuk Satuan Kelas Lereng 2 adalah S3-nr3, untuk Satuan Kelas Lereng 3 adalah S3-wa1, oa1, nr3, untuk Satuan Kelas Lereng 4 adalah S3-wa1, nr3, untuk Satuan Kelas Lereng 5 adalah S3-wa1, eh1, eh2 dan Satuan Kelas Lereng 7 adalah S3-nr3, eh1,eh2. Pada Satuan Kelas Lereng 1 pembatas utamanya ketersediaan oksigen yang ditunjukkan oleh drainase yang terhambat serta rendahnya kesuburan tanah. Rendahnya kesuburan tanah ini terlihat dari retensi hara yang dispesifikasikan oleh nilai pH tanah yang rendah (5,43). Sedangkan menurut Djaenudin et al. (2000) tanaman Sengon akan tumbuh baik pada kisaran pH 5,8- 7,0 serta pada drainase baik sampai agak terhambat. Pada Satuan Kelas Lereng 2 pembatas utamanya yaitu retensi hara, hal ini terlihat dari nilai pH tanah yang rendah (4,5). Sedangkan pada Satuan Kelas Lereng 3 memiliki pembatas utama ketersediaan air yang dikarakterisasi oleh curah hujan yang tinggi (2.758 mm/tahun), ketersediaan oksigen yang dikarakterisasi oleh
drainase
yang
terhambat
serta
retensi
hara
yang
dikarakterisasi oleh nilai pH yang tinggi (7,63). Pada Satuan Kelas Lereng 4 pembatas utamanya yaitu ketersediaan air yang ditunjukkan oleh karakteristik curah hujan yang sangat tinggi (2.758 mm/tahun) serta retensi hara yang ditunjukkan oleh nilai pH yang rendah (4,75). Menurut
25
Djaenudin et al. (2000) tanaman Sengon akan tumbuh baik pada kisaran curah hujan 1.500 - 2.000 mm/tahun. Pada Satuan Kelas Lereng 5 memiliki pembatas utama ketersediaan air yang terlihat oleh karakteristik curah hujan yang sangat tinggi (2.758 mm/tahun), bahaya erosi yang ditunjukkan oleh kelerengan yang agak curam (15-25%) serta bahaya erosi yang tinggi. Menurut Djaenudin et al. (2000) tanaman Sengon akan tumbuh baik pada kelerengan <8% serta bahaya erosi yang sangat rendah. Pada Satuan Kelas Lereng 7 memiliki faktor pembatas utama retensi hara yang dikarakterisasi oleh pH yang rendah (5,4), faktor bahaya erosi yang dikarakterisasi oleh kelerengan yang agak curam (15-25%) serta bahaya erosi yang besar. Sedangkan 3 Satuan Kelas Lereng secara garis besar kelas kesesuaian lahannya termasuk ke dalam kelas Tidak Sesuai (N) (Tabel 7). Lahan memiliki faktor pembatas yang berat dan/sulit untuk diatasi. Pada Satuan Kelas Lereng 6 kelas kesesuaian lahannya adalah N-eh1, eh2, untuk Satuan Kelas Lereng 8 adalah N-rc3 dan Satuan Kelas Lereng 9 adalah N-rc3, eh1, lp2. Pada Satuan Kelas Lereng 6 memiliki faktor pembatas yang sangat berat, yaitu faktor bahaya erosi yang dikarakterisasi oleh kelerengan yang sangat curam (>45%) dan bahaya erosi yang tinggi. Pada Satuan Kelas Lereng 8 memiliki faktor pembatas yang sangat berat, yaitu faktor media perakaran yang dikarakterisasi oleh kedalaman tanah yang dangkal (<40 cm). Menurut Djaenudin et al. (2000) tanaman Sengon akan tumbuh baik pada tanah dengan kedalaman tanah >75 cm. Sedangkan pada Satuan Kelas Lereng 9 memiliki faktor pembatas yang sangat berat, yaitu faktor media perakaran yang dikarakterisasi oleh kedalaman tanah yang dangkal (<40 cm) serta faktor bahaya erosi yang dikarakterisasi oleh kelerengan yang sangat curam (>45%) dan bahaya erosi yang tinggi.
26
Tabel 7. Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Aktual Persyaratan Penggunaan/karakteristik Lahan
Satuan Kelas Lereng 1
2
3
4
5
6
7
8
9
0-3 % 250-400 m dpl
8-15 % 250-400 m dpl
3-8 % 400-700 m dpl
8-15 % 400-700 m dpl
15-25 % 400-700 m dpl
>45 % 400-700 m dpl
15-25 % 700-1000 m dpl
15-30 % 700-1000 m dpl
>45 % 700-1000 m dpl
Temperatur rerata (0C)
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Ketersediaan air (wa) 1. Curah Hujan (mm) 2. Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa)
S2 -
S2 -
S3 -
S3 -
S3 -
S3 -
S1 -
S1 -
S1 -
S3
S1
S3
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S2
S1 S2
S1 S2
S1 N
S1 N
S1 S1 S3 S1
S1 S1 S3 S1
S1 S1 S3 S1
S1 S1 S3 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S3 S1
S1 S1 S2 S1
S1 S1 S2 S1
S1 S1
S2 S2
S1 S1
S2 S2
S3 S3
N N
S3 S3
S3 S3
N N
1. Batuan di permukaan (%) 2. Singkapan Batuan (%)
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S2
N
Kelas Kesesuaian Lahan Aktual
S3-oa1,nr3
S3-nr3
S3-wa1,oa1, nr3
S3-wa1,nr3
S3-wa1,eh1,eh2
N-eh1,eh2
S3-nr3,eh1,eh2
N-rc3
N-rc3,eh1, lp2
Temperatur (tc)
1.Drainase
Media Perakaran (rc) 1.Tekstur 2. Bahan Kasar (%) 3. Kedalaman tanah (cm)
Retensi Hara (nr) 1. KTK liat (cmol) 2. Kejenuhan Basa (%) 3. pH (H2O) 4. C-Organik (%)
Bahaya erosi (eh) 1. Lereng (%) 2. Bahaya erosi
Penyiapan lahan (lp)
Keterangan: Ketinggian m : meter dpl : diatas permukaan laut
27
Analisis Karakteristik Lahan Pada Satuan Kelas Lereng 3 hingga Satuan Kelas Lereng 5 pembatas karakter curah hujan rata-rata yang tinggi merupakan faktor pembatas permanen dan tidak dapat dilakukan perbaikan-perbaikan. Pada Satuan Kelas Lereng 1 dan Satuan Kelas Lereng 3 memiliki pembatas ketersediaan oksigen. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh genangan sehingga dapat menyebabkan tata udara di dalam tanah menjadi buruk, udara sulit untuk masuk ke dalam penampang tanah. Gejalanya antara lain tanah berwarna pucat, kelabu, atau adanya karatan-karatan. Menurut Hardjowigeno (2003) akibat dari buruknya tata udara di dalam tanah menyebabkan akar tanaman akan dirampas oksigennya, aktivitas bakteri seperti nitrifikasi, fiksasi nitrogen, amonifikasi banyak dihambat. Selain itu terlindinya unsur hara bersama gerakan ke bawah dari air tersebut (Buckman dan Brady, 1982). Pada Satuan Kelas Lereng 8 dan Satuan Kelas Lereng 9 memiliki faktor pembatas media perakaran yaitu kedalaman tanah yang dangkal, yang menyebabkan gangguan terhadap perakaran tanaman. Akar tanaman menjadi sukar untuk melakukan penetrasi air dan unsur hara ke dalam tanah (Hardjowigeno, 2003). Pada tanah-tanah tersebut pada kedalaman >50 cm ditemukan adanya bahan induk batu kapur/marmer. Menurut Djaenudin et al. (2000) kedalaman tanah yang kurang dari 50 cm hanya mampu untuk dikembangkan untuk tanaman semusim atau tanaman lain yang mempunyai zona perakaran yang dangkal. Pada Satuan Kelas Lereng 1, Satuan Kelas Lereng 2, Satuan Kelas Lereng 4, dan Satuan Kelas Lereng 7 memiliki faktor pembatas retensi hara yaitu pH tanah yang rendah, sehingga pH tanah menjadi masam (Tabel 7). Nilai pH tanah yang rendah menyebabkan tanaman menjadi sukar untuk dapat menyerap unsur hara. Sebab pada umumnya tanaman mudah menyerap unsur hara pada pH yang netral (pH 6-7), dimana unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur hara P tidak dapat diserap karena diikat (difiksasi) oleh Al dan Fe. Selain itu, pada tanah-tanah yang masam banyak ditemukan ion-ion Al di dalam tanah, yang selain memfiksasi unsur P juga merupakan racun bagi tanaman. Pada tanah-tanah masam unsur-unsur mikro selain unsur Mo menjadi mudah larut, kandungan
28
unsur mikro yang terlalu banyak dapat menyebabkan keracunan bagi tanaman (Hardjowigeno, 2003). Sedangkan pada Satuan Kelas Lereng 3 memiliki faktor pembatas nilai pH yang tinggi. Nilai pH tanah yang tinggi ini dapat berbahaya bagi tanaman yang mengakibatkan kandungan garam di dalam tanah menjadi terlalu tinggi sehingga menyebabkan keracunan bagi tanaman secara umum. Selain itu nilai pH tanah yang alkalis menyebabkan unsur P terikat oleh Ca++ atau CaCO3 sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada Satuan Kelas Lereng 6 dan Satuan Kelas Lereng 9 memiliki faktor pembatas bahaya erosi yaitu kelerengan yang sangat curam serta bahaya erosi (Tabel 7). Kelerengan yang sangat curam mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan oleh massa tanah, mempengaruhi dalamnya air tanah, serta mempengaruhi besarnya erosi (surface run off). Menurut Hardjowigeno (1993) akibat dari tingginya erosi mempengaruhi ketebalan solum serta tebal dan kandungan bahan organik horison A. Di daerah berlereng curam, yang mengalami erosi terus menerus menyebabkan tanah-tanah bersolum dangkal. Satuan Kelas Lereng 9 memiliki faktor pembatas singkapan batuan yang muncul ke permukaan (Rock Out Crops) (Tabel 7). Singkapan batuan yang besar menyebabkan gangguan dalam perakaran tanaman. Perakaran tanaman akan terhalangi oleh adanya singkapan batuan ini. Selain itu singkapan batuan ini juga mempengaruhi dalam penyiapan lahan.
Kesesuaian Lahan Potensial Guna meningkatkan kesesuaian lahan aktual menjadi kesesuaian lahan potensial dibutuhkan beberapa perbaikan pada kualitas lahan. Sehingga kelas kesesuaian lahan potensialnya dapat meningkat. Pada masing-masing Satuan Kelas Lereng memiliki tingkat perbaikan kualitas lahan yang berbeda-beda tergantung dari tingkat karakteristik lahan yang perlu diperbaiki. Pada Tabel 8 kelas kesesuian lahan potensial untuk Satuan Kelas Lereng 1 adalah S2-wa1. Perbaikan karakteristik lahan yang dilakukan yaitu dengan memperbaiki drainase serta pH tanah. Satuan Kelas Lereng 2 kelas kesesuaian lahan potensialnya adalah S2-wa1. Perbaikan karakteristik lahan yang dilakukan
29
yaitu dengan memperbaiki pH tanah serta kelerengan lahan. Untuk Satuan Kelas Lereng 3 kelas kesesuian lahan potensialnya adalah S3-wa1. Perbaikan karakteristik lahan yang dilakukan yaitu dengan memperbaiki drainase tanah serta pH tanah. Satuan Kelas Lereng 4 kelas kesesuian lahan potensialnya adalah S3wa1. Perbaikan karakteristik lahan yang dilakukan yaitu dengan memperbaiki pH tanah serta kelerengan lahan. Satuan Kelas Lereng 5 kelas kesesuian lahan potensialnya adalah S3-wa1. Perbaikan karakteristik lahan yang dilakukan yaitu dengan memperbaiki kedalaman tanah serta kelerengan lahan. Untuk Satuan Kelas Lereng 7 kelas kesesuaian lahan potensialnya adalah S1, perbaikan karakteristik lahan yang dilakukan yaitu dengan memperbaiki kedalaman tanah, pH tanah serta kelerengan lahannya. Sedangkan Satuan Kelas Lereng 6 kelas kesesuian lahan potensialnya adalah N-eh1,eh2. Satuan Kelas Lereng 8 kelas kesesuian lahan potensialnya adalah N-rc3 dan Satuan Kelas Lereng 9 kelas kesesuian lahan potensialnya adalah N-rc3, eh1, lp2. Pada ketiga Satuan Kelas Lereng tersebut akan sulit dilakukan perbaikan pada karakteristik lahannya, sebab tergolong ke dalam ordo Tidak Sesuai (N). Lahan memiliki karakteristik lahan yang sangat berat/sulit untuk diatasi.
Perbaikan Karakteristik/Kualitas Lahan Karakteristik drainase tanah dapat diperbaiki dengan pembuatan parit-parit yang dalam dan sempit. Biasanya untuk pengendalian hilangnya air dari tanah berat sebelum air masuk ke dalam tanah (Buckman dan Brady, 1982). Bentuk dari parit-parit penyalur dapat terlihat seperti pada gambar 3.
Gambar 3. Parit-parit Untuk Memperbaiki Drainase Tanah. Sumber: Buckman dan Brady (1982)
30
Tabel 8. Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Potensial Satuan Kelas Lereng 1
2
3
4
5
6
7
8
9
0-3 % 250-400 m dpl
8-15 % 250-400 m dpl
3-8 % 400-700 m dpl
8-15 % 400-700 m dpl
15-25 % 400-700 m dpl
>45 % 400-700 m dpl
15-25 % 700-1000 m dpl
15-30 % 700-1000 m dpl
>45 % 700-1000 m dpl
1. Temperatur rerata (0C)
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
Ketersediaan air (wa) 1. Curah Hujan (mm) 2. Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa)
S2 -
S2 -
S3 -
S3 -
S3 -
S3 -
S1 -
S1 -
S1 -
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 N
S1 N
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1 S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
S1 S1
N N
S1 S1
S1 S1
N N
1. Batuan di permukaan (%) 1. Singkapan Batuan (%)
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
S1
N
Kelas Kesesuaian Lahan Potensial
S2-wa1
S2-wa1
S3-wa1
S3-wa1
S3-wa1
N-eh1,eh2
S1
N-rc3,
N-rc3,eh1,lp2
Persyaratan Penggunaan/karakteristik Lahan Temperatur (tc)
1. Drainase
Media Perakaran (rc) 1. Tekstur 2. Bahan Kasar (%) 3. Kedalaman tanah (cm)
Retensi Hara (nr) 1. KTK liat (cmol) 2. Kejenuhan Basa (%) 3. pH (H2O) 4. C-Organik (%)
Bahaya erosi (eh) 1. Lereng (%) 2. Bahaya erosi
Penyiapan lahan (lp)
Keterangan: Ketinggian m : meter dpl : diatas permukaan laut 31
Menurut Suprihartono (2003) karakteristik kedalaman tanah yang dangkal, karena ditemukannya lapisan padas pada lapisan bawah tanah dapat dilakukan perbaikan dengan cara pembongkaran pada saat pengolahan, penambahan bahan organik dan pengapuran. Bahan organik ini selain menambah kandungan unsurunsur hara serta C-Organik dalam tanah juga untuk memperbaiki drainase guna terjaminnya oksigen untuk kelangsungan hidup tanaman. Akan tetapi jika kedalaman tanah yang dangkal akibat ditemukannya hamparan batuan keras (R) maka akan sulit untuk dilakukan perbaikan lahan. Pada karakteristik nilai pH tanah yang rendah dapat dilakukan perbaikan dengan melakukan pengapuran pada lahan. Efek dari pengapuran ini menurut Buckman dan Brady (1982) memberikan efek fisik, kimia, dan biologi. Efek fisik, yaitu meningkatkan pembutiran (granulasi), efek terhadap gaya biotik terutama yang ada hubungannya dengan dekomposisi bahan organik tanah dan sintesa humus. Dalam hubungan ini efek menstimulasi kapur terhadap tumbuh-tumbuhan berakar dalam, terutama leguminose, tidak dapat diabaikan. Efek kimia, yaitu dengan penambahan kapur akan menaikkan nilai pH menjadi lebih sesuai. Dimana konsentrasi ion-ion H akan menurun, konsentrasi ion-ion OH akan meningkat, kelarutan besi, aluminium dan mangan akan menurun, tersediaannya fosfor, kalsium, dan magnesium akan bertambah besar, serta persentase Kejenuhan Basa akan meningkat. Efek biologis yaitu kapur menstimulir organisme tanah heterotrofik. Dengan demikian dapat meningkatkan kegiatan bahan organik dan nitrogen dalam tanah. Selain itu aminifikasi, amonifikasi dan oksidasi sulfur akan dipercepat oleh kenaikan pH. Penurunan pH tanah pada tanah-tanah yang terlalu tinggi nilai pH tanahnya dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik ke dalam tanah. Akibat dari dekomposisi bahan organik dalam jumlah yang besar akan menyebabkan terurainya asam-asam organik dalam tanah dan cenderung menurunkan pH tanah. Selain memperbaiki pH tanah, tanah-tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi juga akan meningkatkan KTK tanah (Hardjowigeno, 2003). Pada karakteristik lereng, perbaikan yang dapat dilakukan menurut Saleh et al. (2000) yaitu dengan melakukan kegiatan teknik konservasi tanah. Untuk
32
kondisi lereng 0-8% teknik yang dapat dilakukan adalah penanaman strip yang digabung dengan penanaman mulsa menurut kontur (Contour Strip Cropping). Penanaman strip dan mulsa dapat menghambat laju erosi. Untuk kondisi lereng 815% teknik konservasi tanah yang dapat dilakukan dengan Countour Strip Cropping, dengan jarak yang lebih pendek, yaitu 5-7 meter. Bentuk dari penanaman strip dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Bentuk Penanaman Countour Strip Cropping. Sumber: Hardjowigeno (2003). Sedangkan menurut Atmosuseno (1999) penanaman Sengon di areal yang berlereng pada lahannya dapat dilakukan perbaikan dengan teknik konservasi pembuatan teras. Teras dapat dibuat beberapa jenis antara lain teras kredit untuk kemiringan
3-10%, teras bangku untuk kemiringan 3-10% dan teras
pematang/guludan (Countour Terrace) untuk kemiringan antara 30-50%. Bentukbentuk gambar teras dapat dilihat pada Gambar 5, 6 dan 7.
Gambar 5. Bentuk Teras Kredit. Sumber: Anonim (2000).
33
Gambar 6. Bentuk Teras Bangku. Sumber: Anonim (2000).
Gambar 7. Bentuk Teras Gulud. Sumber: Anonim (2000).
Potensi Pengembangan Dari hasil penilaian kesesuaian lahan aktual (Tabel 7) dan kesesuaian lahan potensial (Tabel 8) untuk tanaman Sengon diperoleh bahwa pada beberapa Satuan Kelas Lereng masih sesuai untuk dikembangkan jenis tanaman Sengon meskipun tanpa dilakukan perbaikan-perbaikan pada karakteristik lahannya. Akan tetapi hasil yang diperoleh tidak akan maksimal, karena terdapat pembatas-pembatas yang cukup mempengaruhi bagi pengembangan jenis tanaman Sengon pada areal
34
tersebut. Peluang untuk pengembangan jenis tanaman Sengon ini masih dapat ditingkatkan hasilnya, jika sebelum penanaman dilakukan perbaikan-perbaikan pada karakteristik lahannya. Faktor pembatas permanen rerata curah hujan yang terlalu tinggi pada beberapa Satuan Kelas Lereng tidak terlalu berpengaruh bagi jenis tanaman Sengon meskipun setelah dilakukan perbaikan pada karakteristik lahan. Menurut Atmosuseno (1999) Sengon memiliki wilayah hidup pada selang yang lebar, mulai dari ketinggian tempat tempat tumbuh sampai jenis tanah, bahkan iklim yang dikehendaki pun merupakan iklim yang banyak terdapat di wilayah Indonesia. Penanaman tanaman Sengon di areal penelitian memerlukan beberapa perhatian, sebab pada beberapa daerah penelitian bertopografi miring atau bergelombang. Penanaman Sengon pada areal yang bertopogafi miring atau bergelombang menurut Atmosuseno (1999) perlu memperhatikan faktor terpaan angin kencang. Pada daerah-daerah seperti punggung dan lembah bukit, angin akan bertiup lebih kencang dibandingkan dengan areal yang datar. Sehingga diperlukan upaya perlindungan khusus yaitu dengan penanaman secara campuran (heterogen) dengan pohon jenis lain. Pohon pelindung yang dipilih sebaiknya lebih tahan terhadap angin kencang, memiliki perakaran yang lebih kuat, berdaun konifer dan bertajuk tidak rapat. Perbaikan karakteristik lahan pada areal ini sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah, maupun pihak swasta yang berkompeten di bidangnya. Sebab sebagian besar lahan-lahan di daerah ini tergolong Sesuai Marginal (S3). Selain itu, perbaikan lahan yang dilakukan membutuhkan biaya yang tinggi serta perhitungan yang cermat. Contohnya dalam hal perbaikan pH tanah dengan pengapuran. Pemberian kapur ini memerlukan perhitungan yang cermat sebab pemberian kapur ini akan cenderung menjadi suatu pemborosan. Potensi pengembangan Sengon di daerah penelitian juga ditunjang oleh keadaan sosial ekonomi daerah. Daerah Cipatat memiliki potensi jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu sebesar 99.838 jiwa (Biro Pusat Statistik, 2001). Jumlah penduduk yang tinggi merupakan jumlah yang potensial untuk
35
tenaga kerja. Selain itu daerah Cipatat merupakan pusat sentra kerajinan tangan yang sebagian besar menggunakan kayu Sengon sebagai bahan baku. Daerah-daerah yang sesuai untuk pengembangan jenis tanaman tersebut terletak di Kecamatan Cipatat di sebelah Tengah dan Utara. Antara lain desa Sumurbandung, Nyalindung, Cirawamekar, Kertamukti dan sebagian desa Citatah.
Arahan Penggunaan Lahan Untuk ketiga Satuan Kelas Lereng yang termasuk ke dalam kelas kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) (Tabel 8) sebaiknya dijadikan sebagai areal hutan perlindungan. Areal tersebut memiliki kelerengan yang sangat curam serta memiliki kedalaman tanah yang dangkal. Jika dijadikan sebagai hutan produksi atau dijadikan sebagai areal tanaman semusim akan berpotensi terjadi kerusakan pada sumberdaya tanah. Kemungkinan untuk terjadinya erosi semakin besar yang berakibat pada pendangkalan lapisan tanah yang akan semakin intensif. Selain pendangkalan lapisan tanah, kandungan nutrisi tanah pun akan semakin intensif terkuras jika digunakan untuk hutan produksi dan tanaman semusim. Hal ini terjadi akibat eksploitasi keluar unsur hara melalui biomassa tanaman yang dipanen. Selain itu keterbukaan tajuk masih cukup besar dapat menyebabkan terjadinya aliran permukaan (Surface run off). Pada areal lahan tersebut sebaiknya dilakukan penanaman hanya dengan jenis pepohonan secara campuran. Jenis-jenis tanaman yang dipilih diutamakan memiliki tajuk yang besar dan lebar sehingga tercipta struktur tajuk yang menyerupai hutan alam. Adanya struktur tajuk ini dapat mengurangi curahan langsung air hujan (Througfall) mengenai permukaan tanah yang dapat menciptakan terjadinya aliran permukaan (Surface run off). Selain itu perlu diperhatikan pula perakaran jenis-jenis yang akan ditanam. Sebab kedalaman tanah yang dangkal akan sulit jika ditanami dengan jenis tanaman yang memiliki perakaran yang dalam.
36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kelas Kesesuaian Lahan Aktual untuk jenis tanaman Sengon diperoleh enam Satuan Kelas Lereng tergolong kedalam kelas Sesuai Marginal (S3) dan tiga Satuan Kelas Lereng tergolong kedalam Tidak Sesuai (N). 2. Kelas Kesesuaian Lahan Potensial untuk jenis tanaman Sengon diperoleh satu Satuan Kelas Lereng tergolong kedalam kelas Sangat Sesuai (S1). Dua Satuan Kelas Lereng tergolong kedalam Cukup Sesuai (S2). Tiga Satuan Kelas Lereng tergolong kedalam Sesuai Marginal (S3) dan tiga Satuan Kelas Lereng tergolong kedalam Tidak Sesuai (N). 3. Perbaikan pada karakteristik lahan dapat meningkatkan produktivitas hasil yang diperoleh
meskipun perbaikan-perbaikan yang dilakukan pada
karakteristik lahan tersebut membutuhkan masukan yang memadai. 4. Karakteristik curah hujan dalam kriteria kesesuaian lahan yang digunakan merupakan pembatas permanen akan tetapi tidak terlalu berpengaruh bagi produktivitas tanaman Sengon. Sehingga hasil penilaiannya tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.
Saran 1. Kriteria curah hujan untuk penilaian kesesuaian tanaman Sengon
perlu
diperbaiki atau dimodifikasi terutama antara kelas S2 dan S3. 2. Melakukan penanaman Sengon dengan jenis-jenis yang memiliki Genotipe dan Fenotipe yang unggul sehingga produktivitas hasil yang diperoleh dapat lebih ditingkatkan. 3. Salah satu alternatif penanaman yang dapat dilakukan dilapangan yaitu dengan penerapan sistim Agroforestry. Dengan demikian pemilik lahan dapat mendapatkan hasil yang kontinyu dari hasil tanaman semusim disamping tanaman utama yang dipanen pada akhir daur. 4. Dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai jenis-jenis pohon lain yang juga sesuai untuk dikembangkan di daerah penelitian.
37
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2000. Konservasi Lahan. Lembar Informasi Pertanian 02/2000. Atmosuseno, B.S. 1999. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Penebar Swadaya. Jakarta Awang, S.A. et al. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Debut Press. Jogyakarta. Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah. Pusat Penelitan dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor ____________________. 2005. Petunjuk Teknis Analisis kimia tanah, tanaman, Air, dan Pupuk.. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Biro Pusat Statistik. 2001. Kabupaten Bandung Dalam Angka. Buckman, H.O., dan Brady, N. C. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Burhaman, Kayano, P., dan Cece, H. 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. Braak.1928. di dalam Djaenudin, D., Marwan, H., Subagyo, H., Mulyani, A., dan Suharta, N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Djaenudin, D., Marwan, H., Subagyo, H., Mulyani, A., dan Suharta, N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. FAO. 1976. A Frame Work for Land Evaluation [Soil Buletin]. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.Italy. Di dalam: Djaenudin, D., Marwan, H., Subagyo, H., Mulyani, A., dan Suharta, N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. ____. 1983. Guidlines Land Evaluation for Rainfed Agriculture. Di dalam: Djaenudin, D., Marwan, H., Subagyo, H., Mulyani, A., dan Suharta, N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 2004. Identifikasi Potensi Lahan Untuk Pengembangan Pertanian (Agribisnis) Lahan Basah dan Lahan Kering. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.
38
Hardjowigeno, S. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Pertanian. Di dalam: Suprihartono. Evaluasi Kesesuaian Lahan Beberapa Pedon di Kabupaten Probolinggo Untuk Tanaman Mangga (Mangifera indica)[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. . 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Indranada, H.K. 1985. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bina Aksara. Jakarta. Kecamatan Cipatat. 2004. Data Monografi Kecamatan Cipatat 2004. Bandung. Mandang, Y.I., dan Yetty, E. 1990. Jenis-Jenis Kayu Untuk Bahan Baku Hilir. Di dalam: Meningkatkan keterpaduan langkah dalam pembinaan industri kayu sekunder. Prosiding Diskusi Industri Perkayuan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan.hlm 7380. Martawijaya, Kartasujana, A.I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A., dan Kadir, K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor. Saleh, A., Suryani, E., Rochman, A., dan Mulyani, A. 2000. Evaluasi Ketersediaan Lahan Untuk Perluasan Areal Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan dan Agribisnis di Propinsi Sumatra Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Santoso, H.B. 1993. Budidaya Sengon. Kanisius. Yogyakarta. Sitorus, S.R.P. 1985. Analisis Keragaman Tanah Pada Satuan Peta Lahan, Hasil Klasifikasi Lahan Pendekatan Fisiografik Kongres Nasional IV Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Bogor Silitonga. 1973. Hidrogeologi Lembar Bandung. Di dalam Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 2004. Identifikasi Potensi Lahan Untuk Pengembangan Pertanian (Agribisnis) Lahan Basah dan Lahan Kering. Universitas Padjadjaran. Bandung. Suprihartono, D. 2003. Evaluasi Kesesuaian Lahan Beberapa Pedon di Kabupaten Probolinggo Untuk Tanaman Mangga (Mangifera indica)[skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Simon, dan Hasanu. 1995. Hutan Jati dan Kemakmuran Di dalam: Awang, S.A et al. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Debut Press. Jogyakarta. Young, A.1988. Agroforestry for Soil Conservation. International Council for Reseach in Agroforestry. Nairobi.
39
Lampiran 1. Uraian Satuan Kelas Lereng No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 1 : : Typic Endoaquepts dan Vertic Endoaquepts : Terhambat : Dataran alluvial : Datar :0–3% : 0-400 m dpl : aluvium : sawah irigasi teknis, kebun campuran, dan kebun karet
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 2 : : Typic Paleudults dan Typic Rhodudults : Drainase baik : Dataran volkan tua : Bergelombang : 8 – 15 % : 0-400 m dpl : Batuan andesit : perkebunan karet, tegal, kakao dan kebun campuran
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 3 : : Vertic Endoaquepts dan Aeric Endoaquepts : Terhambat : dataran tektonik : berombak : 3– 8 % : 400-700 m dpl : koluvium. : sawah irigasi teknis dan sederhana serta kebun campuran
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 4 : : Typic Argiudolls dan Typic Dystrudepts : Drainase baik : Dataran volkan tua : Bergelombang : 8 – 15 % : 400-700 m dpl : tufacies dan andesit : perkebunan karet dan kebun campuran, sawah dan tegalan
40
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 )
: 5 : : Typic Paleudults, Typic Dystrudepts
Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: Drainase baik : perbukitan volkan tua : berbukit : 15 – 25 % : 400-700 m dpl : tufacies dan andesit : perkebunan karet, kebun campuran, kakao,
dan Typic Hapludults
tegalan dan teh.
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 6 : : Typic Hapludalfs dan Lithic Hapludolls : Drainase baik : perbukitan volkan tua : berbukit : > 45 % : 400-700 m dpl : tufacies breksi dan batu liat. : hutan jati, kebun campuran, pinus dan tegalan.
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 7 : : Typic Eutrudepts dan Lithic Hapludolls : Drainase baik : perbukitan tektonik : berbukit : 15-25 % : 700-1000 m dpl : batu liat dan batu gamping : tegalan dan kebun campuran
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 8 : : Lithic Hapludolls : Drainase baik : perbukitan tektonik kapur : berbukit : 15-25 % : 700-1000 m dpl : batu kapur/ marmer : kebun campuran dan tegalan.
41
No. Satuan Kelas Lereng Klasifikasi Tanah ( USDA 1998 ) Drainase/Permeabilitas Fisiografi / Landform Bentuk Wilayah / Lereng Makro Tinggi Tempat (elevasi ) Bahan Induk Tanah Penggunaan Lahan
: 9 : : Rock Out Crops dan Lithic Hapludolls : Drainase baik : perbukitan tektonik kapur : berbukit : >45 % : 700-1000 m dpl : batu kapur/ marmer : kebun campuran, semak belukar dan tegalan.
42
Lampiran 2. Data Analisis Kimia Tanah di Daerah Penelitian No Satuan Kelas
Profil
Tekstur
Lereng
Pasir
Debu
pH Liat
H2O
C-Org KCL
Olsen
Bray-1
P2O5
P2O5
% 1
2
3
4
5
6
7
NH4-Acetat, pH 7 Ca
Mg
K
Ppm
I
3
18
79
5,7
5,1
2,23
II
3
19
78
5,4
4,8
2,15
51
KB
Na
Jml
KTK
Me/100gr
%
15
4
0
0
20
24
83
1,1
13
4
0
0
18
24
74 61
III
3
19
78
5,2
4,7
1,81
0,3
11
4
0
0
15
25
I
2
11
87
4,5
4,0
1,31
2,4
8
4
0
0
12
22
56
II
3
11
86
4,5
3,9
0,85
2,1
7
4
0
0
11
20
54
III
2
14
84
4,5
4,0
0,92
2,4
7
4
0
0
12
20
58
I
8
39
53
5,4
4,9
2,95
3,8
16
6
0
0
22
28
81
II
3
28
69
4,5
3,8
0,79
0,5
8
6
0
0
14
23
60
III
3
34
63
4,4
3,8
0,67
1,1
7
5
0
0
12
25
49
I
4
17
79
4,7
4,1
0,22
0,3
12
3
0
0
15
28
52
II
1
37
62
7,6
7,3
2,59
65
54
3
0
0
57
17
>100
III
2
33
65
7,7
7,3
2,23
42
56
3
0
0
60
17
>100
I
27
17
56
7,6
7,3
2,59
65
54
3
0
0
57
17
>100
II
31
22
47
7,7
7,3
2,23
42
56
3
0
0
60
17
>100
III
31
21
48
7,6
7,4
2,38
29
52
3
0
0
55
15
>100
I
10
33
57
6,2
4,9
0,86
12
37
24
0
0
61
53
>100
II
5
28
67
6,1
4,7
0,44
10
26
29
0
0
56
47
>100
III
2
33
65
5,8
4,4
0,48
13
24
26
0
0
50
46
>100
I
1
36
63
5,3
4,0
0,63
0,8
19
34
0
0
53
43
>100
II
1
33
66
5,4
4,1
0,88
0,3
17
32
0
0
49
32
>100
III
0
32
68
5,5
4,2
1,03
0,5
17
34
0
0
51
45
>100
8
I
5
15
80
5,6
5,2
2,05
23
17
4
0
0
21
26
83
9
I
5
15
80
5,6
5,2
2,05
23
17
4
0
0
21
26
83
43
Lampiran 3. Persyaratan penggunaan lahan untuk Sengon (Paraserianthes falcataria) Kelas Kesesuaian Lahan
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan
S1
S2
S3
N
20-28
18-20 28-30
16-18 30-38
<16 >38
1500-2000
900-1500 2000-2500 65-75
600-900 2500-3000 75-85
<600 >3000 >85
Baik sampai agak baik
Agak cepat
Terhambat cepat
Sangat terhambat cepat
h, ah, s, ak < 15 > 75
h, ah, s, ak 15-35 50-75
k 35-55 40-50
k > 55 < 50
< 60 < 140 Saprik +
60-140 140-200 Saprik Hemik +
140-200 200-400 Hemik Fibrik +
> 200 > 400 Fibrik
> 16 > 50 5,8-7,0
< 35 > 5,5 >7,5
-
> 0,4
≤ 16 35-50 5,5 -5,8 7,0-7,5 ≤ 0,4
<4
4-6
6-8
>8
-
-
-
-
>100
75-100
40-75
<40
<8 sr
8-16 r-rd
16-30 b
>30 Sb
FO
F1
F2
>F3
<5 <5
5-15 5-15
15-40 15-25
>40 >25
Temperatur (tc) Temperatur rerata (oC) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Curah hujan (mm) Lama bulan kering (bln) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (cm) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) + dengan sisipan/pengkayaan kematangan
<65
Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O c-organik Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Sodositas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan Lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)
Keterangan: Tekstur h = halus ; ah = agak halus ; s = sedang ; ak = agak kasar + = gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral Bahaya erosi sr = sangat ringan ; r = ringan ; sd = sedang ; b = berat ; sb = sangat berat Sumber : Djaenudin et al. (2000)
44