KAJIAN KESESUAIAN LAHAN TANAMAN CENGKEH (Eugenia aromatica L.) BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DAN KELAYAKAN EKONOMI (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan)
ANISA ISNAENI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2
ABSTRACT
ANISA ISNAENI. Crop Land Suitability Study Clove (Eugenia aromatica L.) Based on Agroclimate aspects and Economic Feasibility (Case Study of South Sulawesi Province). Supervised by YON SUGIARTO and UJANG SEHABUDIN. Indonesian plantations are increasingly expanding and making progress so as to support the government programs in Indonesia agricultural development is necessary, especially the plantation area of clove plantations which have many benefits and uses for the community. The development of this commodity area should be done in the Eastern region of Indonesia because the area still has a lot of potential land that has not been optimized. The development of this area should be determined by using several parameters and technology. Parameters used by each researcher vary, depending on the point of view of researchers in view of the scope of the commodity in question. In this study, researchers used four parameters in determining the suitability of the clove plantations of rainfall, air temperature, soil depth, and slope with technological applications using Arcview software. This areas aiming to find out the suitability of the clove crop land in South Sulawesi province and the level of effectiveness in investing in land. The method used in this study is data from the study area of research (South Sulawesi) matched with other data (rainfall, air temperature, soil depth, and slope) and land that has the potential for clove plants are matched with land cover conditions that are in the study area, and at the final stage, which can be developed land is assessed value of its economic feasibility. The results of analysis of this study indicate that the region of South Sulawesi, there are three land suitability, land suitability among the S1, S2, and S3. Total area fitness area has potential for extension based on the suitability of clove plants Agro-climate and the closure of its land in the amount of 26.743 km2. Size is divided into three parts namely S1 registration area 1.897 km2, S2 area of 23.120 km2, and S3 registration area 990 km2. In addition, the region still has the potential areas of land for plantation development is a form of forest land with an area of 8.694 km2. These three land suitability has feasibility of investment in net profit in the S1 field with the present value of Rp 26.841.000/ha, 30,1% IRR, and BCR of 2,16. Net profit in the land S2 Rp 16.864.000/ha, 24% IRR, and BCR of 1,73%, while net profit on the land S3 Rp 2.723.000/ha. Areas of land which became the main development priorities with high-priority land present in six districts namely Wajo, Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Barru, and Bone. Keywords: Suitability of land, clove, South Sulawesi
3
ABSTRAK ANISA ISNAENI. Kajian Kesesuaian Lahan Tanaman Cengkeh (Eugenia aromatica L.) Berdasarkan Aspek Agroklimat dan Kelayakan Ekonomi (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan). Di bawah bimbingan YON SUGIARTO dan UJANG SEHABUDIN. Perkebunan Indonesia semakin hari semakin meluas dan mengalami kemajuan sehingga untuk mendukung program pemerintah dalam memajukkan pertanian Indonesia maka perlu dilakukan pengembangan wilayah perkebunan khususnya perkebunan cengkeh yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan bagi masyarakat. Pengembangan wilayah komoditas ini sebaiknya dilakukan di daerah Kawasan Timur Indonesia karena pada daerah tersebut masih memiliki banyak potensi lahan yang belum dioptimalkan. Pengembangan wilayah ini harus ditentukan dengan menggunakan beberapa parameter dan teknologi. Parameter yang digunakan oleh setiap peneliti berbeda-beda, tergantung pada sudut pandang dari peneliti dalam memandang ruang lingkup dari komoditas yang diteliti. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan empat parameter dalam menentukan kesesuaian lahan perkebunan cengkeh yaitu curah hujan, suhu udara, kedalaman tanah, dan kelerengan dengan aplikasi teknologi yang mengunakan software Arcview. Pewilayahan ini memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan dan tingkat keefektifan dalam menginvestasi pada lahan tersebut. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah data dari daerah kajian penelitian (Provinsi Sulawesi Selatan) dicocokan dengan data lainnya (curah hujan, suhu udara, kedalaman tanah, dan kelerengan) kemudian lahan yang memiliki potensi untuk ditanami tanaman cengkeh dicocokkan dengan kondisi penutupan lahan yang terdapat pada daerah kajian, dan pada tahap akhir, lahan yang dapat dikembangkan tersebut dikaji nilai kelayakan ekonominya. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada wilayah Sulawesi Selatan terdapat tiga kesesuaian lahan, diantaranya yaitu kesesuaian lahan S1, S2, dan S3. Total luas kesesuaian wilayah tersebut memiliki potensi untuk ekstensifikasi tanaman cengkeh berdasarkan kesesuaian agroklimat dan penutupan lahannya yaitu sebesar 26.743 km2 . Luas tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu luas S1 sebesar 1.897 km2, luas S2 sebesar 23.120 km2, dan luas S3 sebesar 990 km2. Selain itu, wilayah yang masih memiliki potensi lahan untuk pengembangan area perkebunan adalah berupa kawasan hutan dengan luas lahan sebesar 8.694 km2. Ketiga kesesuaian lahan tersebut memiliki kelayakan investasi dengan keuntungan bersih pada lahan S1 yaitu dengan nilai sekarang sebesar Rp 26.841.000/ha, IRR sebesar 30.1%, dan BCR sebesar 2.16. Keuntungan bersih pada lahan S2 sebesar Rp 16.864.000/ha,IRR sebesar 24%, dan BCR sebesar 1.73%, sedangkan keuntungan bersih pada lahan S3 sebesar Rp 2.723.000/ha. Wilayah yang menjadi prioritas lahan pengembangan utama dengan prioritas lahan tinggi terdapat pada enam kabupaten yaitu Kabupaten Wajo, Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Barru, dan Bone. Kata kunci : Kesesuaian lahan, cengkeh, Sulawesi Selatan
4
KAJIAN KESESUAIAN LAHAN TANAMAN CENGKEH (Eugenia aromatica L.) BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DAN KELAYAKAN EKONOMI (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan)
ANISA ISNAENI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada program Studi Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
5
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Kajian Kesesuaian Lahan Tanaman Cengkeh (Eugenia aromatica L.) Berdasarkan Aspek Agroklimat dan Kelayakan Ekonomi (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Nama
: Anisa Isnaeni
NIM
: G24050367
Disetujui,
Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc NIP 19600305 198703 2 002
Ir. Ujang Sehabudin NIP 19680301 199303 1 003
Diketahui,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP 19740604 199803 1 003
Tanggal Lulus :
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan nikmat-Nya. Karya ilmiah dengan judul ”Kajian Kesesuaian Lahan Tanaman Cengkeh Berdasarkan Aspek Agroklimat dan Kelayakan Investasi (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan)” merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan sebagai tugas akhir dari program studi Mayor Meteorologi Terapan FMIPA IPB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus 2009. Karya ilmiah ini disusun menjadi lima bab, yaitu bab (1) pendahuluan, yang menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, dan asumsi dari penelitian. Bab (2) tinjauan pustaka, yang menjelaskan teori-teori dari beberapa literatur, bab (3) bahan dan metodologi yang menjelaskan bahan dan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian, bab (4) hasil dan pembahasan, dan bab (5) kesimpulan yang merupakan hasil inti dari penelitian. Penulis menyadari bahwa dalam karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan, namun penulis berharap bahwa tulisan ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, civitas program studi Mayor Meteorologi Terapan, dan pihak-pihak yang terkait. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc sebagai dosen pembimbing pertama dan Ir. Ujang Sehabudin sebagai dosen pembimbing kedua yang telah mebimbing dan memberikan saran selama penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sutrisno, Ibu Tini Muslimah, dan Fajar Pamuji selaku keluarga penulis serta Haviez Ockshandika Pratama yang telah memberikan banyak dukungan baik moril maupun materi kepada penulis. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman angkatan 42, yaitu Devita, Indah, Lisa, Ningrum, Veza, Tanjung, Wita, Nancy, Dewy, Rifa, Cici, Hertaty, Hengky, Ari, Heri, Dhani, Robet, Yudi, Victor, Ghulam, Ivan, Hardi, Franz, Indra, Anton, Irfan, Wahyu, Aan, Galih, Budi, Tumpal, Tigin, Singgih, terutama Gito, Dori dan Zahir atas kerjasamanya. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih banyak kepada Kakak Getsa, Adi, Samba, Benny, dan Kiki atas bantuan dan dukungannya serta rekan-rekan di program studi Mayor Meteorologi Terapan dan penghuni Andika House Bateng 2007-2008, yaitu Heni, Metri, Yuni, Siti, Cici, Irni, Febri, Eka, Ella, Tsani, Desi, Rosi, Dilla, Uti, Pipit, Wani, dan Wery yang telah memberikan semangat kepada penulis.
Bogor, Oktober 2009
Anisa Isnaeni NIM G24050367
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 1987 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Sutrisno dan Tini Muslimah. Jenjang pendidikan penulis dimulai ketika penulis memasuki Taman Kanak-Kanak Kartika Patria di Tangerang yang diselesaikan pada tahun 1993. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dasar Negeri Kartika Putra I, Tangerang dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1999 kemudian pada tahun yang sama, penulis memasuki Sekolah Menengah Pertama Negeri 178 Jakarta yang lulus pada tahun 2002. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Umum Negeri 47 Jakarta dan lulus pada tahun 2005, di tahun yang sama, penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan satu tahun kemudian penulis diterima di Program Studi Mayor Meteorologi Terapan serta minor Matematika Keuangan & Aktuaria, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa kependidikan di Program Studi Mayor Meteorologi Terapan, penulis juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi dan Geofisika (HIMAGRETO). Penulis pernah menjabat sebagai staff Ketatalaksanaan Kegiatan Khusus (K3) HIMAGRETO pada tahun 2006-2007 dan pada masa kepengurusan HIMAGRETO 2007-2008, penulis menjabat sebagai Koordinator Lembaga Keuangan HIMAGRETO.
8
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i DAFTAR ISI ................................................................................................................................. ii DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... iii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan .............................................................................................................................. 1 1.3. Asumsi ............................................................................................................................. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah penyebaran cengkeh........................................................................................... 2 2.2. Botanis tanaman cengkeh ............................................................................................... 2 2.3. Tipe cengkeh .................................................................................................................. 3 2.4. Teknik budidaya tanaman cengkeh................................................................................. 4 2.4.1. Persemaian dan pembibitan ................................................................................. 4 2.4.2. Penanaman di lapangan ....................................................................................... 5 2.4.3. Pemeliharaan ....................................................................................................... 5 2.4.4. Panen dan pascapanen ......................................................................................... 5 2.5. Hama dan penyakit ......................................................................................................... 6 2.6. Produksi cengkeh ........................................................................................................... 6 2.7 Kesesuaian agroklimat tanaman cengkeh ....................................................................... 7 2.7.1. Iklim .................................................................................................................... 7 2.7.2. Tanah ................................................................................................................... 7 2.8. Manfaat cengkeh ............................................................................................................ 7 2.9. Kondisi provinsi sulawesi selatan ................................................................................... 8 2.10. Kesesuaian lahan ............................................................................................................ 8 2.11. Analisis kelayakan usaha ................................................................................................ 8 III. METODOLOGI 3.1. Alat dan bahan ................................................................................................................. 10 3.2. Waktu dan tempat ............................................................................................................ 10 3.3. Metode ............................................................................................................................. 10 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan umum provinsi sulawesi selatan ....................................................................... 13 4.1.1. Iklim ..................................................................................................................... 14 4.1.2. Tanah .................................................................................................................... 14 4.1.3. Penutupan lahan ................................................................................................... 14 4.2. Identifikasi ....................................................................................................................... 15 4.2.1. Identifikasi kesesuaian iklim ................................................................................ 15 4.2.1.1. Identifikasi kesesuaian curah hujan ............................................................. 16 4.2.1.2. Identifikasi kesesuaian suhu udara ............................................................... 16 4.2.2. Identifikasi kesesuaian tanah ................................................................................ 17 4.2.2.1. Identifikasi kesesuaian kedalaman tanah ..................................................... 18 4.2.2.2. Identifikasi kesesuaian kelerengan............................................................... 18 4.2.3. Identifikasi kesesuaian agroklimat ....................................................................... 18 4.2.4. Identifikasi kesesuaian penutupan lahan .............................................................. 20 4.2.5. Identifikasi kesesuaian kelayakan ekonomi ......................................................... 22 4.2.6 Wilayah prioritas lahan pengembangan cengkeh ................................................. 23 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 26 5.2 Saran ................................................................................................................................. 26 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 27 LAMPIRAN .................................................................................................................................. 28
9
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Nilai produksi cengkeh Sulawesi Selatan ............................................................................... 1 Nilai produksi cengkeh di Indonesia ....................................................................................... 6 Kriteria kesesuaian tanaman cengkeh ..................................................................................... 11 Perhitungan penumpangsusunan parameter curah hujan dengan suhu udara .......................... 11 Perhitungan penumpangsusunan parameter kedalaman tanah dengan kelerengan ................. 11 Perhitungan penumpangsusunan faktor iklim dengan tanah ................................................... 12 Asumsi harga barang ............................................................................................................... 12 Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya ........................ 13 Luas wilayah berdasarkan kesesuaian iklim di tiap kabupaten Sulawesi Selatan ................... 16 Luas wilayah berdasarkan kesesuaian tanah di tiap kabupaten Sulawesi Selatan ................... 17 Luas wilayah berdasarkan kesesuaian agroklimat di tiap kabupaten Sulawesi Selatan .......... 20 Nilai ekonomi pada tiap kesesuaian lahan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan ... 22 Nilai luas wilayah kesesuaian agroklimat dan penutupan lahan serta akses pendukung di tiap kabupaten ..................................................................................................................... 24
10
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Tanaman cengkeh ................................................................................................................ 2 2. Bunga cengkeh .................................................................................................................... 3 3. Bagan alir penelitian ............................................................................................................ 10 4. Peta dasar sulawesi selatan .................................................................................................. 13 5. Grafik CH dan suhu rata-rata bulanan di Sulawesi Selatan ................................................ 14 6. Pola curah hujan Indonesia .................................................................................................. 14 7. Peta kesesuaian iklim........................................................................................................... 15 8. Peta kesesuaian tanah .......................................................................................................... 18 9. Perbandingan luas kesesuaian S1, S2, S3, dan N dengan luas tiap kabupaten .................... 19 10. Peta kesesuaian agroklimat .................................................................................................. 19 11. Peta potensi lahan pengembangan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan ............ 21 12. Grafik perbandingan luas kesesuaian agroklimat yang belum dikonversi dengan yang telah dikonversi lahan ................................................................................................. 21 13. Peta aksesibilitas jalan ......................................................................................................... 23 14. Peta kabupaten prioritas pengembangan cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan ................. 23 15. Produksi cengkeh di setiap kabupaten Sulawesi Selatan ..................................................... 25
11
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data rata-rata curah hujan tahunan di tiap stasiun pos hujan beserta kordinatnya ............. 28 2. Tabel kesesuaian lahan untuk tanaman cengkeh ................................................................ 30 3. Peta penyebaran lokasi pos hujan di Provinsi Sulawesi Selatan ........................................ 31 4. Peta peta isohyet Provinsi Sulawesi Selatan ...................................................................... 32 5. Peta kesesuaian curah hujan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan .................... 33 6. Peta kesesuaian suhu udara tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan ..................... 34 7. Peta kesesuaian kedalaman tanah tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan ............ 35 8. Peta kesesuaian kelerengan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan ..................... 36 9. Peta penutupan lahan di Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................... 37 10. Data ekonomi tanaman cengkeh di Maluku ....................................................................... 38 11. Data jumlah produksi di Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................... 39
12
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cengkeh merupakan salah satu komoditas hasil perkebunan Indonesia yang memiliki nilai daya jual yang cukup tinggi. Komoditas tersebut memiliki banyak kegunaan, diantaranya sebagai bahan baku pembuatan vanilin, industri makanan, kosmetik, farmasi, dan rokok. Banyaknya kegunaan dari komoditas tersebut menyebabkan nilai jual dan kebutuhan masyarakat akan komoditas tersebut meningkat. Selain itu, cengkeh juga memiliki peranan dalam penyediaan lapangan pekerjaan, mulai dari perkebunan hingga industri yang menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan baku sehingga hal itu dapat meningkatkan pendapatan negara. Prospek yang baik ini harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik pula. Salah satu bentuk pengelolaan tersebut dapat berupa kebijakan penentuan wilayah yang tepat dalam pembudidayaan tanaman cengkeh. Bila ditinjau dari sejarah cengkeh, maka sering ditemukan kejadian dimana kebutuhan masyarakat dalam negeri terutama cengkeh melebihi jumlah produksi yang terjadi di dalam negeri. Kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab perkebunan cengkeh harus dikembangkan. Tabel 1. Nilai produksi cengkeh Sulawesi Selatan Produksi (ton) Sulawesi Selatan
Indonesia
Kontribusi Sulsel (%)
2004
11,117
73,837
15.1
2005
12,090
78,350
15.4
2006
13,013
83,782
15.5
Tahun
(sumber : BPS 2008) Pengembangan cengkeh dapat dilakukan dengan cara memperluas area perkebunan pada daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah dan Indonesia juga memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2005), luas lahan pertanian Indonesia sekitar 70,2 juta ha dan sebagian besar berupa lahan perkebunan (18,5 juta ha), tegalan 14,6 juta ha, lahan tidur 11,3 juta ha, dan sawah 7,9 juta ha (Mulyani dan Las 2008). Wilayah pertanian khususnya perkebunan di Indonesia pada umumnya berada pada daerah bagian
barat Indonesia sedangkan pada wilayah bagian timur Indonesia masih sangat sedikit lahan yang digunakan untuk area perkebunan, padahal pada wilayah tersebut juga memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang perkebunan. Kondisi ini memungkinkan untuk pengusahaan pengembangan perkebunan cengkeh. Salah satu daerah yang diperkirakan memiliki potensi dalam pengembangan perkebunan cengkeh di wilayah Indonesia bagian timur adalah daerah Provinsi Sulawesi Selatan karena kondisi iklim dan topografinya yang sesuai untuk komoditas tersebut serta kelengkapan beberapa data dari Provinsi tersebut yang dapat mendukung penelitian mengenai wilayah pengembangan cengkeh. Penentuan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan ini juga dapat dibuktikan dengan jumlahnya produksi cengkeh pada wilayah tersebut yang mencapai 15 % dari total produksi Indonesia (Tabel 1). Perkiraan mengenai daerah pengembangan perkebunan cengkeh tersebut sebaiknya juga didukung dengan penelitian lebih lanjut pada daerah ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pewilayahan komoditas cengkeh pada daerah tersebut dan pengkajian mengenai kelayakan dalam melakukan investasi pada daerah ini. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat mengetahui dan mengoptimalkan wilayah-wilayah yang berpotensi besar untuk perkebunan cengkeh sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah dan penyediaan lapangan pekerjaan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Mengkaji tingkat kesesuaian lahan dan kelayakan ekonomi pengembangan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan 2. Mengkaji wilayah prioritas kabupaten utama pengembangan tanaman cengkeh 1.3 Asumsi Penelitian ini memiliki asumsi, sebagai berikut : • Parameter yang mempengaruhi kesesuaian lahan cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan mencakup curah hujan, suhu udara, kelerengan, dan kedalaman tanah • Aspek ekonomi yang diperhitungkan hanya aspek kelayakan finansial dengan menggunakan indikator kelayakan investasi: NPV, BCR, dan IRR • Wilayah Sulawesi Selatan yang digunakan belum terjadi pemekaran. • Penelitian ini tidak dilakukan observasi ke lapangan (data sekunder)
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Penyebaran Cengkeh Terdapat beberapa pendapat mengenai negara asal mula cengkeh, yaitu menurut Wiesner, cengkeh berasal dari Filipina, sedangkan menurut Rumphius, tanaman cengkeh berasal dari Pulau Makian, Maluku Utara, dan menurut Toxopeus, cengkeh berasal dari Irian. Pada abad ke-18, hanya Maluku yang menjadi satu-satunya produsen cengkeh (Hadiwijaya 1983). Penyebaran cengkeh ke luar Maluku telah terjadi dari beberapa abad sebelumnya, yaitu : Tahun 1769, seorang Kapten Perancis telah menyelundupkan beberapa pohon cengkeh (bibit) yang berasal dari Pulau Gebe dan Seram ke Reunion kemudian disebarkan ke Zanzibar, Pemba, dan Madagaskar. Tipe cengkeh yang dikenal di Indonesia sebagai tipe ”Zanzibar” sebenarnya berasal dari Indonesia (Maluku). Tahun 1800, terdapat 15.000 pohon cengkeh yang tersebar ke Penang. Tahun 1870, penyebaran cengkeh dari Maluku ke Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan telah dimulai. Tahun 1950, penyebaran cengkeh telah hampir tersebar di seluruh Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan. Fakta yang terjadi, terutama sejak berkembangnya industri rokok kretek di tahun 1930, Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor cengkeh utama hingga akhir abad ke-18 akan tetapi semuanya telah berubah, dan Indonesia berubah menjadi negara pengimpor terbesar cengkeh. Tahun 1975 dan 1976, Indonesia mengimpor cengkeh sebesar 10.000-20.000 ton dari Zanzibar dan Madagaskar namun setelah tahun 1977, jumlah impor cengkeh negara Indonesia telah berkurang, dan hingga kini Indonesia masih berupaya untuk mencapai taraf swasembada cengkeh (Hadiwijaya 1983). 2.2 Botanis Tanaman Cengkeh Cengkeh merupakan tanaman yang memiliki nama latin Eugenia aromatica L. dan termasuk ke dalam famili Myrtaceae yang sekerabat dengan jambu air (Eugenia jambos). Selain itu, cengkeh juga memiliki nama latin lainnya, yaitu : Eugenia caryophyllata, Thunb. Caryophyllus aromaticus, Linn. Jambosa caryophyllus, Spreng. Tanaman ini memiliki ± 3.000 jenis yang tersebar di daerah tropik dan subtropik. Kedudukan tanaman cengkeh dalam
sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Klas : Dicotyledoneae Sub-klas : Dialypetales Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae : Eugenia/Syzygium Marga Jenis : Eugenia aromaticum L.
Gambar 1. Tanaman cengkeh Pohon cengkeh memiliki kayu yang sangat keras, cabang yang padat, kuat, dan tegak lurus, serta ranting yang tidak berserak, sehingga pohonnya menyerupai semak dan tajuk daunnya berbentuk kerucut (Kanisius 1990). Pada umumnya, tanaman cengkeh memiliki batang yang bercabang panjang dan kuat, hal ini berguna untuk mempertahankan hidupnya dari tiupan angin. Kulit kayu pada batang tanaman cengkeh bersifat kasar dan berwarna coklat keabuan hingga putih, sedangkan kulit kayu pada cabangnya sangat tipis dan sukar dilepas. Tanaman ini memiliki ketinggian hingga mencapai 20-30 m dan dapat mencapai umur lebih dari seratus tahun. Daun cengkeh biasanya berbentuk bulat panjang, tebal, dan kuat dengan panjang sekitar 7-13 cm dan lebar 3-6 cm. Warnanya beraneka ragam, mulai dari kuning atau hijau muda (siputih) helaiannya besar hingga hijau tua kehitam-hitaman (Sikotok) dengan helaian lebih kecil. Pada umumnya, permukaan daun berwarna lebih tua dan mengkilap, hal ini menunjukkan bahwa pada permukaan daun mengandung banyak zat minyak sedangkan warna di bawah permukaannya lebih kelam. Daun yang masih muda berwarna kemerahmerahan, sedangkan daun yang sudah tua berwarna gelap. Tangkai daun dari tanaman cengkeh biasanya bersifat agak panjang, yaitu ¼ dari panjang daunnya. Tangkai daun yang memanjang merupakan tulang daun yang utama dan biasanya terlihat jelas serta tebal kemudian dari tulang daun utama ini akan tumbuh beberapa cabang yang disebut tulangtulang cabang atau urat daun yang akan
14
terbentuk menjadi kerangka daun. Posisi daun umumnya saling berhadapan dan beraroma. Pada simpul-simpul daun akan tumbuh tunastunas yang menjadi cabang pertama kemudian pada cabang tersebut akan tumbuh tunas baru yang akan menjadi cabang kedua dan seterusnya hingga terbentuklah ranting-ranting yang kemudian akan ditumbuhi bunga.
Gambar 2. Bunga cengkeh Sistem pembungaan pada tanaman cengkeh bersifat terminal, yaitu bunga-bunga terbentuk pada ujung kuncup. Pembentukan bakal bunga ditandai dengan pembentukan tunas-tunas ujung yang tumpul dan berwarna hijau (primordia). Bakal bunga ini dalam waktu 1-2 bulan akan membentuk cabangcabang (tandan), dan enam minggu kemudian sudah terbentuk bunga cengkeh. Bunga dan buah cengkeh akan muncul pada ujung ranting daun dengan tangkai pendek serta bertandan. Pada saat tanaman masih muda, bunga cengkeh berwarna keungu-unguan kemudian berubah menjadi kuning kehijau-hijauan dan berubah lagi menjadi merah muda apabila sudah tua sedangkan bunga cengkeh kering akan berwarna coklat kehitaman dan berasa pedas sebab mengandung minyak atsiri. Bunga cengkeh umumnya bergagang pendek, berkelompok dalam satu tandan dan setiap tandan terdiri dari 4-10 tangkai dan tiaptiap tangkai mempunyai 1-3 bunga sehingga satu tandan terdapat 5-25 bunga atau lebih. Bunga bersifat komplit, pada tiap bunga terdapat bakal buah dan banyak benang sari. Mahkota bunga berjumlah empat berbentuk bulat dan kelopak empat yang berdaging serta membentuk tabung dengan bagian bawah menyempit (Kanisius 1990). Buah cengkeh dapat dikatakan matang apabila pembuahannya telah membesar dan kelopak telah menutup. Buah akan matang fisiologi ± 3 bulan setelah pembuahan. Daging buah relatif tebal, berwarna hijau kemerahan pada waktu muda dan berwarna merah tua keunguan bila sudah masak. Buah cengkeh biasanya berbentuk agak bulat, bulat telur, hingga lonjong dengan ukuran panjang 2,5-3,5 cm dan diameter 1-2 cm (Hadipoentyanti 1997).
Biji dari cengkeh biasanya agak memanjang dengan panjang ± 1,5-2 cm dan lebar ± 0,8 cm. Biji cengkeh tidak melekat pada daging buah dan memiliki dua keping lembaga (dicotyl) yang tebal. Pada waktu muda, biji berwarna hijau kekuningan dan bila telah masak berwarna hijau kemerahan, hal ini tergantung dari varietasnya. Akar tanaman cengkeh umumnya berwarna coklat kekuningan. Akar tunggangnya ini memiliki 2-3 akar utama yang tumbuhnya vertikal yang dapat mencapai kedalaman tiga meter. Pada tahun pertama, akar tunggang dan akar utama ini akan ditumbuhi akar-akar lateral yang tumbuh horizontal dengan cepat sehingga pada tanaman dewasa dapat mencapai panjang 10 m. Pada akar lateral ini akan tumbuh akar vertikal sekunder yang fungsinya sama dengan akar tunggang. Akar lateral ini selain menjadi media tumbuhnya akar-akar sekunder, akar ini juga akan menjadi media bagi pertumbuhan akar-akar cabang dan rambut (Purseglove et al. 1981 dalam Hadipoentyanti 1997). Pada dasarnya, pohon cengkeh mempunyai susunan akar sebagai berikut : Tudung akar : bagian yang melindungi akar ketika menembus tanah Akar tunggang : akar yang lurus masuk ke dalam tanah yang dalam dan berguna untuk tegaknya tanaman serta menolong bila terjadi kekeringan. Akar tunggang palsu : akar yang dibentuk dari akar lebar. Akar serabut : akar halus yang membentuk suatu masa yang rapat, yang tumbuh dari akar tunggang. Akar lebar : akar-akar serabut yang telah membesar. Letaknya mendatar di bawah permukaan tanah, dimana akar-akar ini banyak ditumbuhi akar-akar serabut. Bulu akar : bagian akar yang halus dan banyak sekali jumlahnya, bulu akar ini berguna untuk menghisap unsur-unsur makanan. 2.3 Tipe Cengkeh Cengkeh yang terdapat di Indonesia memiliki bermacam-macam tipe dengan berbagai kriteria yang berbeda. Rumphius (1741) dalam Hadipoentyanti (1997), membedakan tipe-tipe cengkeh yang terdapat di Ambon ke dalam tiga kelompok yaitu cengkeh berbunga merah, cengkeh berbunga merah tua, dan cengkeh hutan, sedangkan menurut Brinkgreve (1933) dalam Hadipoentyanti (1997) menyatakan bahwa tipe cengkeh yang terdapat di Sumatera terbagi menjadi empat tipe, yaitu cengkeh bergagang
15
panjang, cengkeh bergagang pendek, cengkeh bergagang menengah, dan cengkeh setro atau cengkeh berbunga kecil. Selain itu, Rahayu (1974) dalam Hadipoentyanti (1997) mengemukakan pula bahwa terdapat enam tipe cengkeh yang ada di kebun koleksi Sukamantri dan koleksi Balittro di kebun Cimanggu yaitu Zanzibar, Sikotok, Simenir, Siputih, Ambon, dan Sihutan. Pada umumnya, penggolongan tipe ini didasarkan pada salah satu sifat morfologinya, misalkan didasarkan pada bentuk daunnya, percabangan atau warna bunganya. Banyak penggolongan mengenai cengkeh, namun pada dasarnya cengkeh yang lebih dikenal dan banyak dibudidayakan di Indonesia ada tiga tipe, yaitu tipe Zanzibar, Sikotok, dan Siputih. Hal ini menyerupai pernyataan yang dikemukakan oleh Hadiwijaya (1983), yang menyatakan bahwa cengkeh terbagi menjadi tiga tipe dasar yaitu tipe Bungalawangkiri, Sikotok, dan Siputih namun kini tipe cengkeh lebih dikenal dengan tipe Zanzibar, Sikotok, dan Siputih yang merupakan hasil silang alami antara ketiga tipe dasar tersebut. Pembagian kriteria ketiga tipe dasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: • Tipe Zanzibar Pucuk daun berwarna merah, gagang daun dan cabang muda berwarna merah, daun hijau tua menghitam dan berukuran kecil serta mengkilap, pohon sangat mengkilap, jumlah bunga per tandan melebihi 15 bunga, dan bunga berwana merah. • Tipe Sikotok Pucuk daun berwarna kuning agak kemerahan, gagang daun dan cabang muda berwarna hijau, daun hijau tua, berukuran kecil dan sedikit mengkilap, pohon sangat rindang, jumlah bunga per tandan melebihi 15 bunga, dan warna bunga kuning, terkadang sedikit merah dipangkalnya. • Tipe Siputih Pucuk daun berwarna kuning, gagang daun dan cabang muda berwarna kuning/hijau, daun hijau muda, berukuran besar, hampir tak mengkilap, pohon tidak rindang, jumlah bunga per tandan kurang dari 15 bunga, warna bunga kurang kuning, dan bunga berukuran besar. Ketiga tipe hasil persilangan alami di atas, menunjukkan bahwa tipe cengkeh yang paling baik adalah tipe Zanzibar karena memiliki pohon yang sangat rindang dengan produktivitas tinggi dan memiliki akar-rambut yang lebih banyak sehingga lebih responsif terhadap pemupukan. Cengkeh tipe Zanzibar biasanya mulai berbunga pada umur 4,5 tahun
sejak biji disemai sehingga pada umur 5 tahun, cengkeh sudah dapat dipanen atau umumnya tanaman cengkeh pertama kalinya berbuah pada umur 4-7 tahun (Hadiwijaya 1983). 2.4 Teknik Budidaya Tanaman Cengkeh 2.4.1 Persemaian dan Pembibitan Pemilihan bibit yang ditanam akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu tanaman (Kanisius 1990). Bibit yang baik akan menghasilkan tanaman yang baik asal syarat-syarat pemeliharaanya terpenuhi dengan baik, namun sebaliknya bila suatu bibit yang baik tetapi tidak didukung dengan terpenuhinya syarat-syarat penanamannya maka tanaman tersebut akan merana. Pemilihan biji untuk benih cengkeh yang baik sebaiknya dilakukan pada buah-buah cengkeh yang telah masak sehingga bijinya pun telah masak secara fisiologis. Menurut Tim LPTIIPB (1970) dalam Tarigan (1997) menjelaskan bahwa bila ditinjau dari daya kecambah dan kecepatan benih maka benih yang paling baik diperoleh dari buah cengkeh yang telah masak sempurna dengan warna coklat kehitaman. Semua biji yang telah dipilih kemudian dikuliti dan disemai karena bila tidak segera disemai maka biji tersebut akan rusak. Proses penyemaian biji cengkeh memiliki beberapa ketentuan yang harus terpenuhi agar proses tersebut dapat berjalan dengan baik, ketentuan tersebut yaitu : • Pemilihan tempat persemaian yang baik Tempat persemaian sebaiknya memiliki sifat tanah yang gembur dan subur, letak tanah yang miring agar drainase berjalan baik, dekat dengan sumber air dan pemukiman agar pengawasan dapat dilakukan lebih intensif, serta terdapat pohon peneduh untuk mengurangi dampak tiupan angin yang kencang dan sinar matahari yang terik. • Kriteria bedengan yang akan dijadikan tempat persemaian Bedengan yang digunakan dibuat selebar 1,5 m dengan dibatasi selokan pembuangan air untuk menghindari penggenangan. Jarak tanam dalam bedengan 20 x 20 cm hingga 30 x 30 cm. • Peletakkan biji jangan sampai terbalik Bagian biji yang mendatar menghadap ke bawah sedangkan bagian biji yang runcing menghadap ke atas. Bila peletakkan biji keliru maka akan menyebabkan akar cengkeh membelok sehingga pohon menjadi kerdil. Waktu terbaik ketika memindahkan bibit dari persemaian ke pembibitan pemeliharaan
16
adalah saat bibit telah mencapai umur satu hingga dua bulan atau ketika jumlah helai daun mencapai empat hingga tujuh helai (LPTI 1970 dalam Tarigan 1997). Lokasi yang baik untuk pembibitan adalah lokasi yang bebas dari serangan hama dan penyakit. Pembibitan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu : (1) penanaman di tanah tanpa kantong plastik, (2) pembibitan di keranjang bambu, dan (3) di kantong plastik. Pada dasarnya, pembibitan yang paling murah adalah pembibitan di tanah tanpa kantong palstik, namun kelemahannya yaitu bibit lebih beresiko terkena serangan hama penyakit sehingga untuk menghindari serangan hama penyakit biasanya digunakan kantong plastik. 2.4.2 Penanaman di Lapangan Proses pemindahan bibit untuk ditanam di lapangan biasanya membutuhkan waktu kurang dari satu tahun atau ketika tinggi bibit telah mencapai 75 cm dengan panjang perakaran vertikal dan horisontal mencapai 42 dan 27 cm (Tarigan 1997). Sebelum melakukan penanaman bibit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti pemberian pupuk hijau di sepanjang area penanaman. Pupuk ini selain berguna untuk kesuburan tanah juga berguna untuk pembasmian rumput liar. Pembuatan jarak tanam dari bibit tersebut juga harus diperhatikan. Pada umunya, jarak tanam tersebut berkisar antara 8x8 m hingga 6x6 m. Pembuatan teras pada lahan yang miring juga perlu dilakukan untuk mengurangi dampak erosi dan pembuatan lubang-lubang bakal bibit yang akan ditanam dari 2-3 bulan sebelumnya. Hal ini dilakukan agar lubanglubang tersebut mendapat sinar matahari dan gas asam arang (CO2). 2.4.3 Pemeliharaan Pemeliharan tanaman cengkeh harus dilaksanakan setelah penanaman agar tanaman tersebut dapat bertahan hidup dan berproduksi lebih lama. Proses pemeliharaan yang harus dilakukan tersebut yaitu : • Penyulaman Arti penyulaman dalam proses pemeliharaan ini adalah pemeriksaan tanaman yang mati dan tumbuh kurang baik. Tanaman tersebut kemudian segera digantikan dengan tanaman cengkeh yang baru. Penyulaman ini sebaiknya dilakukan beberapa hari setelah dilakukan penanaman. • Penyiraman Tanaman cengkeh yang masih muda sangat sensitif terhadap ketersediaan air sehingga penyiraman pada tanaman ini
sebaiknya dilakukan secara cermat dan secukupnya, terutama ketika musim kemarau. Penyiraman yang baik cukup dilakukan 2 hingga 3 kali sehari. Waktu yang tepat untuk melakukan penyiraman adalah sore hari tepatnya setelah pukul 15.00 WIB karena pada saat itu, keadaannya sejuk dan penguapan telah terhenti. Penyiraman ini sebaiknya dilakukan bila luas tanaman kecil namun bila luas tanaman besar sebaiknya menggunakan hujan buatan. • Peneduh Tanaman cengkeh yang masih muda sangat rentan terhadap sinar matahari yang terik sehingga fungsi peneduh sangat diperlukan. Peneduh yang digunakan dapat terbuat dari peneduh alam maupun peneduh buatan. • Penyiangan/Penggemburan Tanah Rumput-rumput yang tumbuh di sekitar tanaman harus dicabut dan dibersihkan sehingga rumput-rumput itu tidak akan mengganggu tanaman pokok (cengkeh). Penggemburan tanah dilakukan ketika tanah sudah mulai mengeras dan perlu diperhatikan akar-akar dari tanaman cengkeh tersebut sehingga jangan sampai merusaknya. • Pemberantasan hama penyakit Pencegahan tanaman cengkeh terhadap serangan hama penyakit dapat dilakukan dengan melakukan penyemprotan pestisida. 2.4.4 Panen dan Pascapanen Waktu yang paling baik untuk memungut bunga cengkeh adalah sekitar enam bulan setelah bakal bunga muncul, yaitu setelah satu atau dua bunga pada tandan mekar dan berwarna kuning kemerahan. Waktu pemungutan ini sangat berpengaruh terhadap rendemen minyak cengkeh. Panen yang telalu dini atau ketika bunga belum masak dapat menyebabkan cengkeh berkerut, rendemen rendah, dan berbau langu serta dapat menurunkan produksi tanaman pada tahun berikutnya sedangkan bila waktu panen terlambat atau ketika bunga telah mekar, maka akan menghasilkan mutu dan rendemen yang rendah pula. Proses pemetikan bunga, sebaiknya bunga cengkeh dipetik ketika bunga tersebut benarbenar matang atau ketika kepala bunga kelihatan sudah penuh tetapi belum membuka, agar mutu yang diperoleh baik. Bunga cengkeh dari setiap tanaman yang telah panen, tidak selamanya mengalami pematangan yang serempak sehingga proses pemetikan bunga
17
cengkeh harus dilakukan setiap 10-14 hari selama 3-4 bulan. Bunga cengkeh dipetik per tandan tepat di atas buku daun terakhir. Bunga yang telah dipetik kemudian dimasukkan ke dalam keranjang/karung kecil dan dibawa ke tempat pengolahan. Produk utama tanaman cengkeh adalah bunganya yang pada waktu dipanen mengandung kadar air sebesar 60-70 %. Se bagian besar bunga cengkeh digunakan dalam bentuk kering yaitu untuk campuran di dalam pembuatan rokok kretek dan sebagai bumbu masak. Proses pengolahan bunga cengkeh hingga mendapatkan bunga cengkeh yang kering memerlukan beberapa tahap, yaitu panen, perontokan (pemisahan gagang dan bunga), pemeraman, pengeringan, dan sortasi. 2.5 Hama dan Penyakit Pengaruh hama dan penyakit terhadap jumlah produksi tanaman cengkeh cukup besar. Tanaman cengkeh cukup peka terhadap serangan hama dan penyakit sejak mulai persemaian. Jenis-jenis hama dan penyakit yang mengganggu tanaman cengkeh cukup beranekaragam, yaitu : 1. Hama • Penggerek Batang : Nothopeus spp. (Coleoptera : Cerambycidae), dan Hexamitodera semivelutina Hell. (Coleoptera : Cerambycidae) • Penggerek Cabang : Xyleborus sp. (Coleoptera : Scolytidae), dan Arbeda sp.(Lepidoptera : Arbelidae) • Penggerek Ranting : Coptocercus biguttatus Donov. (Coleoptera : Cerambycidae)
• Perusak Pucuk: Cocus viridis • Perusak Daun : Athriticus eugeniae Hergr., Carea angulata, dan Attacus atlas Linn. • Perusak akar : Lundi / uret dan rayap 2. Penyakit • Penyakit Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh : Pseudomonas syzygii • Penyakit Mati Bujang • Penyakit Cacar Daun Cengkeh • Bercak Daun Coniella • Bercak Daun Botryodiplodia • Bercak Daun Alga • Bercak Daun Pestalotia • Bercak Antraknosa • Akar Merah • Busuk Basah pada Daun • Gugur Daun Cengkeh • Embun Jelaga 2.6 Produksi Cengkeh Nilai dari produksi cengkeh tiap tahunnya cukup bervariasi. Nilai ini mengalami naik dan turun. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor iklim. Bunga cengkeh akan keluar bila terjadi suatu musim yang agak kering tanpa hujan dan penyinaran matahari yang agak terik. Musim kemarau yang tegas di Indonesia terjadi 2-4 tahun sekali sehingga panen raya cengkeh juga terjadi 2-4 tahun sekali (Ruhnayat 2002). Kondisi tersebut yang menyebabkan nilai produksi cengkeh antara tahun 2000-2006 mengalami peningkatan dan penurunan.
Tabel 2. Nilai produksi cengkeh di Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Ekpor
Produksi 59878 72685 79009 76471 73837 78350 83782
Impor
ton 4,655 6,324 9,399 15,688 9,060 7,680
US $ 8,281 10,670 25,973 24,929 16,037 14,916
ton 20,873 16,899 790 172 9 1
US $ 52,390 17,365 653 151 8 1
No data
No data
No data
No data
(sumber : BPS 2008) Ruang lingkup penggunaan komoditas cengkeh cukup luas, mulai dari dalam hingga luar negeri seperti India, Taiwan, Hongkong, dan Vietnam. Cengkeh yang dihasilkan Indonesia hampir seluruhnya digunakan untuk industri rokok di dalam negeri. Menurut data GAPPRI (2005) penggunaan cengkeh tahun 2000-2004 berkisar antara 85 ribu sampai 96 ribu ton, dengan rata-rata 92.133 ton/tahun dan
trend konsumsi cengkeh untuk rokok kretek pada tahun 1983-2004 meningkat sebesar 1,90% (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2009). Kebutuhan yang cukup tinggi terutama dalam negeri ini yang menyebabkan pemerintah mencangkan program Pelita agar Indonesia menjadi negara swadaya, salah satunya cengkeh. Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi cengkeh hingga kini mengalami
18
peningkatan produksi dan hal ini baik bagi upaya pemerintah dalam mensukseskan Indonesia untuk menjadi negara swadaya cengkeh, bila produksi ini dapat terus ditingkatkan maka kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri akan komoditas ini dapat teratasi. 2.7 Kesesuaian Agroklimat Tanaman Cengkeh 2.7.1 Iklim Faktor iklim merupakan faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan, pembungaan maupun produktivitas pada tanaman cengkeh (Ruhnayat dan Wahid 1997). Hubungan iklim dengan pembungaan terjadi karena untuk inisiasi pembungaan diperlukan hormon florigen (hormon yang pembentukkannya dirangsang oleh faktor iklim). Tanaman cengkeh akan berbunga lebat apabila sebelumnya mengalami periode kering selama dua sampai empat bulan, diikuti oleh curah hujan yang cukup selama pembentukkan primordial bunga (Dainum dan Wit dalam Ruhnayat dan Wahid 1997). Cengkeh dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki ketinggian antara 700800 meter dari permukaan laut akan tetapi cengkeh tipe Zanzibar masih dapat berbunga lebat pada ketinggian 1.200 m dpl, seperti di Sumatera Utara dan Jawa Tengah yang dipengaruhi udara panas yang ditiupkan dari angin laut (Hadiwijaya 1983). Cengkeh tidak dapat hidup pada daerah yang beriklim sangat kering karena pada daerah tersebut, tanaman cengkeh akan mengalami kekurangan air, namun kondisi tersebut dapat diatasi dengan pemberian air yang cukup (irigasi yang baik). Cengkeh juga tidak dapat hidup pada daerah yang beriklim basah karena dapat menghambat matangnya bunga dan mempersulit pengeringan cengkeh. Iklim yang basah juga dapat menyebabkan penggenangan pada akar sehingga dapat mengakibatkan kebusukkan pada akar dan kematian. Menurut Hadiwijaya (1983), kualitas cengkeh yang tumbuh di daerah yang beriklim basah lebih rendah dibandingkan dengan kualitas cengkeh yang tumbuh pada daerah beriklim kering. Suhu udara yang ideal untuk pertumbuhan tanaman cengkeh berkisar antara 25o–28oC dan curah hujannya sebesar 1500–2500 mm/tahun (Djaenudin et al. 2003). Suhu udara yang terlampau tinggi (≥ 34oC) dapat berpengaruh buruk bagi pertumbuhan tanaman cengkeh karena pada suhu tersebut dapat menyebabkan stress pada tanaman
(Hadiwijaya 1984 dalam Ruhnayat, A. dan P. Wahid 1997). Suhu yang terlampau rendah (≤19oC) juga dapat menyebabkan bunga yang telah muncul berubah menjadi daun (kegagalan bunga). Kegagalan bunga ini biasanya terjadi pada daerah dataran tinggi dan di daerah-daerah yang mengalami curah hujan tinggi disertai suhu udara yang rendah pada malam hari serta suhu udara yang rendah dapat pula menyebabkan penurunan kualitas dari cengkeh (Kanisius 1989 dalam Ruhnayat, A. dan P. Wahid 1997). 2.7.2 Tanah Cengkeh dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur (struktur baik) dengan lapisan tanah liat yang mengandung humus tinggi. Menurut Hadiwijaya (1983), tanah yang miring lebih baik dari tanah yang datar, akan tetapi bila lahan yang tersedia berupa tanah yang datar maka dapat diatasi dengan pembuatan drainase yang dalam (1-1,5 meter) dan airnya dapat disalurkan ke saluran yang lebih rendah. Tanah yang cocok dengan kondisi tanaman cengkeh termasuk ke dalam jenis latosol, podsolik merah, mediteran (kedalaman 3-4 meter), dan andosol (Ruhnayat 2002). Tanah yang dangkal memiliki arti bahwa batas antara lapisan permukaan tanah dengan lapisan tanah yang berpadas (sulit ditembus akar) sangat kecil jaraknya. Kecilnya jarak ini dapat menyebabkan penggenangan pada akar bila terjadi musim penghujan dan bila hal ini terjadi secara berkepanjangan maka dapat menyebabkan kebusukkan pada akar sehingga dapat menyebabkan kematian pada tanaman cengkeh. Selain itu, tanah yang dangkal juga dapat berdampak buruk pada tanaman cengkeh yaitu dapat menghambat pergerakan akar dalam mencari unsur hara dan air. Akan tetapi, hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dengan menanam cengkeh di lahan yang miring sehingga sistem drainasenya dapat berjalan dengan baik dan tidak menyebabkan kebusukkan pada akar. Selain itu, pengaruh kedalaman yang dangkal juga dapat diatasi dengan pemberian pupuk pada tanaman cengkeh. 2.8 Manfaat Cengkeh Cengkeh memiliki banyak kegunaan. Beberapa bagian dari tanaman cengkeh yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia adalah bunga, tangkai bunga, dan daunnya. Penggunaan cengkeh telah beranekaragam sejak abad ke-20, mulai digunakan untuk pengobatan dan pemeliharaan gigi, menanak
19
nasi, hingga sebagai bahan periang (rokok, sirih) bagi masyarakat India, Pakistan, Bangladesh, maupun Indonesia). Hasil panen dari cengkeh Indonesia, hampir sebagian besar diolah untuk industri rokok karena perusahaan rokok terutama di Indonesia tumbuh dengan pesat akan tetapi cengkeh juga dapat diolah menjadi produkproduk lain yang memiliki peluang pasar yang cukup baik seperti sebagai bahan baku pembuatan vanilin, parfum, industri makanan, minuman, farmasi, dan kosmetik. Produk tersebut merupakan hasil pengunaan cengkeh yang telah diolah menjadi minyak (eugenol dan atsiri) maupun oleoresin (ekstrak bunga cengkih kering) cengkeh. Pembeningan preparat agar mempermudah melihat objek penelitian di bawah mikroskop juga dapat dilakukan dengan menggunakan cengkeh serta kayunya juga dapat dijadikan untuk peti kamper dan melindungi pakaian terutama bahan wol dari serangan insekta dengan menggunakan minyak cengkeh yang dihasilkan dari kayu cengkeh. Selain itu, tanaman cengkeh juga dapat menyerap karbon antara 23,21 – 29,76 ton C/ha (Yanto 2008). 2.9 Kondisi Provinsi Sulawesi Selatan Kondisi topografi dari provinsi ini cukup bervariasi, mulai dataran rendah hingga bukitbukit. Daerah ini memiliki kawasan pegunungan pada bagian utara wilayah Sulawesi Selatan seperti gunung Kambuno, Telondokalondo, Gandadiwata, Rantemario (gunung tertinggi di provinsi Sulawesi Selatan), dan lainnya (Imam Soedjono, T., B. Permadi, dan I. Salyadi 2001). Posisi yang strategis di Kawasan Timur Indonesia memungkinkan Sulawesi Selatan baik bagi kawasan timur Indonesia maupun untuk skala internasional. Pelayanan tersebut mencakup perdagangan, transportasi darat, laut maupun udara, pendidikan, pendayagunaan tenaga kerja, pelayanan dan pengembangan kesehatan, penelitian pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut, air payau tambak, pariwisata, bahkan potensial untuk pengembangan lembaga keuangan dan perbankan. Jumlah penduduk yang terdaftar hingga tahun 2006 pada provinsi ini mencakup 7.520.204 jiwa, dengan pembagian 3.602.000 laki-laki dan 3.918.204 orang perempuan. 2.10 Kesesuaian Lahan Pewilayahan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan penilaian kesesuaian lahan dari beberapa parameter. Kesesuaian lahan yang dimaksud yaitu kecocokan suatu lahan untuk penggunaan
tertentu, misalnya perkebunan (Djaenudin et al 2000). Ada beberapa cara dalam penilaian kesesuaian lahan, diantaranya dengan perkalian parameter, penjumlahan, atau menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan (matching) antara kualitas dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman. Penilaian kesesuaian lahan tersebut dibedakan menjadi dua tingkatan, yaitu ordo dan kelas. Tingkat ordo, kesesuaian lahan hanya dibedakan menjadi lahan sesuai (S) dan lahan tidak sesuai (N). Tingkatan kelas dibedakan menjadi lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Penilaian pada tingkatan kelas didasarkan pada faktor pembatas yang mempengaruhi kelanjutan dari penggunaan lahan. Kelas sangat sesuai (S1) merupakan suatu kelas yang pada lahannya tidak memiliki faktor pembatas yang berarti terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Kelas sesuai (S2) merupakan suatu kelas dengan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitasnya dan memerlukan input tambahan. Kelas sesuai marjinal (S3) yaitu kelas dengan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang berat sehingga dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman dan memerlukan data input tambahan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan lahan pada kelas S2. Kelas tidak sesuai (N) yaitu kelas dengan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat sulit diatasi. 2.11 Analisis Kelayakan Ekonomi Pewilayahan berdasarkan agroklimat akan lebih bagus jika didukung dengan faktor ekonominya. Komoditas yang akan dikembangkan berdasarkan aspek ekonomi harus memiliki manfaat atau keuntungan bagi pemilik usaha perkebunan. Pertimbangan dari aspek ekonomi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara dan salah satunya yaitu dengan menggunakan analisis kelayakan usaha. Analisis kelayakan usaha merupakan analisis yang mengkaji tentang berhasil atau tidaknya suatu proyek atau usaha investasi apabila dilaksanakan. Salah satu analisis yang dapat digunakan dalam mengkaji aspek kelayakan usaha adalah analisis finansial dengan indikator investasi sebagai berikut: net present value (NPV),
20
benefit cost ratio (BCR), internal rate of return (IRR). Net Present Value (NPV) adalah nilai pendapatan sekarang di akhir usaha dikurangi nilai biaya sekarang. Suatu proyek/usaha dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan apabila NPV > 0 dan tidak layak bila NPV < 0. Nilai NPV ini menunjukkan nilai uang saat ini dari keuntungan di masa yang akan datang dari usaha perkebunan yang akan dilakukan. Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat pengembalian internal yaitu kemampuan suatu proyek menghasilkan return (satuannya %). Apabila sebuah proyek memiliki IRR ≥ tingkat discount rate maka proyek tersebut dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan dan begitu pula sebaliknya. Nilai IRR menunjukkan nilai dimana usaha perkebunan yang dilakukan akan bernilai menguntungkan hingga suku bunga pinjaman maksimal mencapai nilai IRR. Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan perbandingan antara nilai pendapatan sekarang dibagi dengan nilai biaya sekarang dan suatu proyek dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan apabila nilai BCR ≥ 1. Nilai BCR menjelaskan mengenai satuan profit bila nilai pendapatan saat ini dibagi dengan nilai biaya yang dikeluarkan selama usaha perkebunan yang dijalankan dan usaha dikatakan layak bila nilai BCR ≥ 1 (Soeharto 1997).
21
5. Peta kedalaman tanah pada daerah Sulawesi Selatan dengan skala 1:1.000.0000 tahun 2008 (Puslittanak) 6. Peta pengunaan lahan daerah Sulawesi Selatan tahun 2008 (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ; http : // upload .to/ file/rqq5hd/sulawesi.zip) 7. Seperangkat komputer dengan program Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Arc View GIS 3.3
III. METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan alat dan bahan sebagai berikut : 1. Data curah hujan bulanan dari 67 stasiun pos hujan di Sulawesi Selatan, dari tahun 1950 - 2003 selama 10-30 tahun (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika 2009) 2. Data input (bibit, tenaga kerja, perlengkapan pemeliharaan) dan output (produksi & harga jual komoditas cengkeh) selama 30 tahun di Maluku (Survey 2006) dan (BPS 2008) 3. Peta administrasi Provinsi Sulawesi Selatan skala 1:1.000.000 tahun 2008 (Bakosurtanal) 4. Peta topografi daerah Sulawesi Selatan dengan skala 1:50.000 tahun 1998 (Bakosurtanal)
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Agustus 2009 di laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB. 3.3 Metode Penelitian ini dilakukan menggunakan beberapa tahap, yaitu :
IKLIM
dengan
TANAH
Curah Hujan
Suhu Udara
Kedalaman Tanah
Kelerengan
Tutupan Lahan
Klasifikasi
Klasifikasi
Klasifikasi
Klasifikasi
Klasifikasi
Peta kesesuaian curah hujan
Peta kesesuaian suhu udara
Peta kesesuaian kedalaman tanah
Peta kesesuaian kelerengan
Peta kesesuaian tutupan lahan
Peta kesesuaian iklim
Peta kesesuaian berdasarkan kedalaman tanah dan kelerengan
Peta kesesuaian agroklimat
Peta potensi lahan pengembangan
Analisis kelayakan ekonomi
Peta aksesibilitas jalan Peta kabupaten prioritas pengembangan
Gambar 3. Bagan alir penelitian 1. Pengumpulan Data Data-data yang digunakan pada tahap ini diperoleh dari berbagai macam sumber. Data
curah hujan dan suhu udara yang digunakan pada tahap ini menggunakan data rata-rata tahunan selama 10-20 tahun. Data suhu udara
22
yang digunakan diperoleh dari hasil pendugaan berdasarkan topografi Sulawesi Selatan. Pendugaan tersebut menggunakan persamaan FAO (1976), yaitu : Tav = 27.0 - 0.08E ; Elevasi 0 - 500 m Tav = 25.9 - 0.00586E ; Elevasi 501-2140 m Tav = 22.2 - 0.00421E ; Elevasi > 2141 m Selain data suhu, data yang menggunakan nilai pendugaan yaitu data kelerengan. Proses
ini dilakukan dengan menggunakan salah satu aplikasi dari software Arcview yaitu dengan menggunakan derive slope. 2. Klasifikasi Setiap Parameter Tahap ini, klasifikasi yang dilakukan pada setiap parameternya menggunakan tabel persyaratan kesesuaian tanaman cengkeh menurut Djaenudin et al (2003), seperti berikut ini :
Tabel 3. Kriteria kesesuaian tanaman cengkeh Persyaratan
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 28 - 32 32 - 35 < 20 1.250-1500 2.500-3.000 3.000-4.000
S1
Suhu (oC)
25 – 28
N > 35 20 - 25 <1.250 >4.000
Curah Hujan(mm)
1.500-2.500
Kedalaman Tanah (cm)
<50
50-75
75-100
>100
Kelerengan (%)
0-8
8-16
16-30
>30
(Sumber : Djaenudin et al. 2008 , Departemen Pertanian) Hasil dari pengklasifikasian yang telah diperoleh kemudian diberi nilai pembobot yaitu nilai 4 untuk S1, nilai 3 untuk S2, nilai 2 untuk S1, dan nilai 1 untuk N. Tahap ini akan menghasilkan peta kesesuaian pada masingmasing parameternya. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 100% untuk nilai produksi dari lahan S1 (produksi maksimal), 80% untuk nilai produksi dari lahan S2, 60% untuk nilai produksi dari lahan S3, dan 40% untuk nilai produksi dari lahan N (produksi minimal). 3. Tumpangsusun Parameter Tahap ini dilakukan sesuai dengan bagan alir yang terdapat pada Gambar 3. Penumpangsusunan parameter yang dilakukan adalah parameter curah hujan dengan suhu udara, dan kedalaman tanah dengan
kelerengan. Proses ini menggunakan perkalian antara nilai pembobot dari hasil tahap 1 dengan nilai pembobot pada tiap parameternya. Nilai pembobot parameternya yaitu 30% untuk parameter curah hujan dan suhu udara, 25% untuk parameter kedalaman tanah, dan 15% untuk parameter kelerengan. Penilaian pembobot parameter memiliki alasan yang dapat dilihat pada bab hasil dan pembahsan. Hasil dari perkalian dari tumpangsusun tersebut kemudian diklasifikan menjadi S1, S2, S3, dan N dengan menggunakan nilai rentang tertinggi pada masing-masing kelas kesesuaiannya. Peta yang akan dihasilkan pada tahap ini berupa peta kesesuaian iklim dan peta kesesuaian tanah.
Tabel 4. Perhitungan penumpangsusunan parameter curah hujan dengan suhu udara PARAMETER (BOBOT) CH (0,30)
S1 (4 X 0,3) = 1,2 S2 (3 X 0,3) = 0,9 S3 (2 X 0,3) = 0,6 N (1 X 0,3) = 0,3
S1 (4 X 0,3) =1,2 2,4 2,1 1,8 1,5
SUHU (0,30) S2 (3 X 0,3) =0,9 S3 (2 X 0,3) =0,6 2,1 1,8 1,5 1,8 1,5 1,2 1,2 0,9
N (1 X 0,3) =0,3 1,5 1,2 0,9 0,6
Tabel 5. Perhitungan penumpangsusunan parameter kedalaman tanah dengan kelerengan parameter curah hujan dengan suhu udara KELERENGAN (0,15) PARAMETER (BOBOT)
KEDALAMAN TANAH (0,25)
S1(4X0,25)=1,00 S2-S3 (3X0,25)=0,75 N (2X0,25)=0,50
S1(4X0,15)=0,6
S2(3X0,15)=0,45
S3(2X0,15)=0,30
N(1X0,15 =0,15
1,6
1,45
1,3
1,15
1,35
1,2
1,05
0,9
1,1
0,95
0,8
0,65
23
4. Tumpangsusun Peta Hasil dari Tahap2 Tahap ini tidak jauh berbeda dari langkah yang dilakukan dari tahap 2. Peta kesesuaian iklim dan tanah yang telah diklasifikasi kemudian ditumpangsusunkan, setelah itu diklasifikasikan kembali berdasarkan nilai rentang tertinggi pada masing-masing kelas
kesesuaiannya. Hal yang sedikit berbeda pada tahap ini hanya perhitungan yang dilakukan tidak menggunakan perkalian namun penjumlahan pada masing-masing kesesuaian iklim maupun tanah. Hasil peta pada tahap ini berupa peta agroklimat.
Tabel 6. Perhitungan penumpangsusunan faktor iklim dengan tanah IKLIM
TANAH
AGROKLIMAT
S1
2,4
1,6
4
S2
1,8 ≤ X < 2,4
1,2 ≤ X < 1,6
3≤X<4
S3
1,2 ≤ X < 1,8
1,05 ≤ X < 1,2
2,25 ≤ X < 3
N
0,5 ≤ X < 1,2
0,65 ≤ X < 1,05
1,25 ≤ X < 2,25
5. Tumpangsusun Peta Agroklimat Dengan Penutupan Lahan Tahap ini dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih nyata. Tujuan dari tahap ini untuk mendukung hasil pengolahan data yang telah diperoleh dengan kenyataan yang terdapat di lapangan karena tidak semua lahan yang cocok untuk tanaman cengkeh dapat dikembangkan untuk area perkebunan cengkeh. Hasil dari tahap ini yaitu peta ekstensifikasi tanaman cengkeh yang merupakan lahan yang dapat dijadikan area pembukaan baru untuk kawasan cengkeh. 6. Analisis Kelayakan Ekonomi Tahap ini merupakan tahap penyempurnaan dari tahap 4. Lahan yang telah dipeoleh pada tahap 4 kemudian dikaji lebih dalam mengenai kelayakan untuk menjalankan usaha perkebunan di wilayah tersebut. Analisis kelayakan usaha yang dilakukan menggunakan batasan analisis finansial dengan indikator investasi berupa Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan B/C Ratio (BCR). Menurut Soeharto (1997), indikator investasi tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: 1. Perhitungan NPV :
(C )t − (Co)t (1 + i )t t =0 n
∑
2. Perhitungan IRR : n
n (C )t (Co)t = ∑ ∑ t t t =0 (1 + i ) t =0 (1 + i )
3. Perhitungan BCR :
( PV ) B ( PV )C
Keterangan : (C)t : Aliran kas masuk tahun ke- t (Co)t : Aliran kas keluar tahun ke- t n : umur unit usaha hasil investasi t : waktu i : arus pengembalian (diskonto) (PV)B: nilai sekarang benefit (PV)C: nilai sekarang biaya Analisis yang digunakan pada faktor ekonomi dibatasi dengan nilai ekonomi yang bersifat dinamis. Asumsi untuk beberapa harga barang yang berhubungan dengan pembiayaan perkebunan cengkeh dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 7. Asumsi harga barang Barang
Satuan
Harga
Bibit
batang
Rp 11.000
Saprotan (Sarana Produksi)
paket
Rp250.000
Tenaga kerja
paket
Rp200.000
kg
Rp 35.700
-
15%
Cengkeh kering bunga pinjaman bank
(sumber : BPS 2008 & survey di Maluku 2006)
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0o12’ – 8o Lintang Selatan dan 116o48’ – 122o36’ Bujur Timur dengan Makassar atau Ujungpandang sebagai ibukotanya. Wilayah ini memiliki batasan-batasan secara administrasi, diantaranya yaitu pada bagian utara, wilayah ini dibatasi dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, pada bagian timur dibatasi dengan Sulawesi Tenggara, pada bagian barat dibatasi dengan Selat Makassar, dan pada bagian selatan dibatasi dengan Laut Flores.
Gambar 4. Peta dasar sulawesi selatan (sumber : Bakosurtanal) Luas peta dasar Provinsi Sulawesi Selatan yang diperoleh dari proses perhitungan menggunakan Arcview berbeda dengan luas wilayah sebenarnya. Luas peta dasar Sulawesi Selatan yang diperoleh dari proses perhitungan yaitu sebesar 62,875 km2 sedangkan luas wilayah Sulawesi Selatan sebenarnya adalah 62.903,64 km2 atau 42% dari luas seluruh pulau Sulawesi dan 4,1% dari luas seluruh Indonesia (Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan 2004). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak terdapat pada peta dasar khususnya pulau-pulau kecil yang terdapat pada bagian pinggir wilayah Sulawesi Selatan. Provinsi ini memiliki 21 kabupaten secara administrasinya (Kabupaten Bantaeng, Barru, Bone, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Jeneponto, Kodya Barru, Luwu, Majene, Mamuju, Maros, Pangkajene Kepulauan, Pinrang, Polewali Mamasa, Selayar, Sindengreng Rappang, Sinjai, Soppeng, Tana Toraja, Takalar, Wajo) sebelum terjadi pemekaran wilayah pada tahun 2004.
Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya Kabupaten Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Majene Mamuju Maros Pangkajene Kep. Pinrang Polewali Mamasa Selayar Sindenreng Rappang Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Wajo TOTAL
ha 41.651 130.596 443.422 113.542 173.321 184.908 75.947 1.829.452 106.289 1.086.166 166.481 101.921 187.003 475.834 121.985 190.160 83.447 135.243 62.714 336.336 241.129 6.287.546
Luas km2 417 1.306 4.434 1.135 1.733 1.849 759 18.295 1.063 10.862 1.665 1.019 1.870 4.758 1.220 1.902 834 1.352 627 3.363 2.411 62.875
% 0,7 2,1 7,1 1,8 2,8 2,9 1,2 29,1 1,7 17,3 2,6 1,6 3,0 7,6 1,9 3,0 1,3 2,2 1,0 5,3 3,8 100
Bila ditinjau dari aspek luas wilayahnya maka kabupaten yang memiliki area paling luas adalah kabupaten Luwu dengan luas wilayah sebesar 18.295 km2 atau 29,1 % dari luas wilayah Sulawesi Selatan (gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Luwu memiliki potensi untuk pengembangan tanaman cengkeh yang cukup besar bila ditinjau dari luas wilayahnya, namun demikian hal tersebut perlu didukung dengan potensi kesesuaian lahan yang sesuai untuk tanaman cengkeh dan penggunaan lahan yang dapat dikonversi untuk perkebunan cengkeh serta akses yang terdapat pada wilayah tersebut. Selain itu, terdapat pula beberapa kabupaten yang memiliki luas area yang cukup besar sehingga berpotensi untuk pengembangan cengkeh, seperti Kabupaten Mamuju, Polewali Mamasa, Bone, dan Tana Toraja. Luasan lahan sebenarnya bukan merupakan hal yang utama dalam penentuan untuk pengembangan tanaman cengkeh namun luas lahan yang besar dapat mendukung upaya pengembangan perkebunan cengkeh. Pada luas lahan yang tidak terlalu besar, namun bila pada lahan tersebut memiliki potensi kesesuaian lahan yang sesuai untuk tanaman cengkeh dan pada lahan tersebut dapat dikonversi menjadi area perkebunan cengkeh, maka pada lahan tersebut dapat dijadikan sebagai daerah untuk pengembangan tanaman cengkeh dan memiliki kemungkinan untuk menjadi daerah centra cengkeh di Sulawesi
25
Selatan. Oleh karena itu, sebaiknya dalam penentuan area untuk pengembangan perkebunan, selain aspek luas wilayah perlu didukung pula dengan potensi kesesuaian lahan untuk tanaman cengkeh dan penggunaan lahan yang dapat dikonversi menjadi area perkebunan cengkeh serta kelayakan dalam berinvestasi di lahan tersebut. 4.1.1 Iklim Provinsi Sulawesi Selatan memiliki curah hujan rata-rata tahunan sekitar 1427-4.404 mm/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran curah hujan di Sulawesi Selatan cukup beragam, mulai dari daerah yang memiliki curah hujan rendah seperti di daerah sekitar pos hujan Malanroe, Kabupaten Soppeng hingga daerah dengan curah hujan tinggi seperti di daerah sekitar pos hujan Malino, Kabupaten Gowa. Rendah dan tingginya curah hujan di wilayah ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu topografinya. Hal ini didukung dengan pernyataan yang menyatakan bahwa pola umum curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor geografisnya, diantaranya yaitu curah hujan yang terdapat di Indonesia semakin bertambah dengan meningkatnya ketinggian tempat (Kadarsah 2009). Daerah di sekitar pos hujan Malanroe, Kabupaten Soppeng memiliki ketinggian yang rendah sehingga curah hujan yang terjadi juga rendah sedangkan pos hujan Malino, Gowa memiliki ketinggian yang tinggi karena adanya Gunung Lompobatang sehingga pada daerah tersebut curah hujannya juga tinggi. Grafik CH dan Suhu rata-rata di Sulawesi Selatan 350
27.8
CH Suhu
27.6
300
27.4 27.2 27.0
200
26.8 150
26.6
Suhu (oC)
CH (mm)
250
26.4
100
26.2 50
26.0
0
25.8 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Waktu (bulan)
Gambar 5. CH dan suhu rata-rata bulanan di Sulawesi Selatan tahun 1950-2003 (sumber data : BMKG) Curah hujan rata-rata per bulan yang terjadi pada wilayah Sulawesi Selatan pada umumnya memiliki pola curah hujan monsun. Tipe curah hujan ini bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau). Bulan-bulan lainnya disebut sebagai musim peralihan. Maju atau mundurnya musim hujan dan musim kemarau
sangat di pengaruh oleh berbagai fenomena meteorologi diantaranya El Nino, dan La Nina (Kadarsah 2009). Pola curah hujan yang diperoleh dari hasil perhitungan ini dapat dibuktikan dengan hasil dari disertasi Dr. Edvin Aldrian dalam Kadarsah (2009) yang terdapat pada Gambar 6. Gambar tersebut menjelaskan bahwa Sulawesi Selatan termasuk ke dalam wilayah A yang memiliki pola hujan monsun yang berbentuk huruf U (kiri bawah).
Gambar 6. Pola curah hujan Indonesia (sumber : Kadarsah 2009) Suhu rata-rata tahunan yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan berkisar antara 22oC hingga 28oC. Perbedaan suhu ini disebabkan oleh topografi yang terdapat di Sulawesi Selatan. Suhu di pegunungan akan lebih rendah dibandingkan dengan suhu di pesisir pantai. Pola suhu udara yang terdapat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada bulan Desember dan Januari yang memiliki nilai curah hujan yang tinggi, suhu udara yang terjadi cukup rendah sedangkan pada bulan Agustus-Oktober yang memiliki curah hujan yang rendah memiliki suhu udara yang tinggi. 4.1.2 Tanah Karakteristik tanah yang akan dikaji dalam penelitian adalah kedalaman tanah dan kelerengan lahan. Kedalaman tanah yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan cukup beragam, mulai dari kedalaman tanah di bawah 50 cm hingga di atas 200 cm. Selain itu, kelerengan lahan yang terdapat di provinsi ini juga cukup beragam, mulai dari daerah dengan kelerengan 0 % hingga 70 %. Hal ini menunjukkan bahwa topografi yang terdapat di Sulawesi Selatan juga cukup beragam, yaitu mulai dari dataran yang datar hingga bukit dan pegunungan. 4.1.3 Penutupan Lahan Provinsi Sulawesi Selatan merupakan suatu provinsi yang belum terlalu pesat dalam
26
hal pengembangan kota. Hal ini ditunjukkan dengan sangat kecilnya pemukiman, kawasan industri, dan masih banyak daerah kawasan hutan serta semak belukar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa daerah provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki lahan-lahan yang masih dapat dioptimalkan dengan cara mengkorversikan lahan yang belum dioptimalkan menjadi lahan produktif seperti perkebunan khususnya dalam hal ini perkebunan cengkeh. 4.2 Identifikasi Identifikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengkategorian wilayah Sulawesi Selatan berdasarkan persyaratan dari setiap parameter yang digunakan dalam mengkaji tingkat kesesuaian lahan cengkeh. 4.2.1 Identifikasi Kesesuaian Iklim Peta kesesuaian iklim yang terdapat pada Gambar 7 menunjukkan bahwa penyebaran
iklim yang cocok untuk tanaman cengkeh di Sulawesi Selatan cukup beragam. Kesesuaian iklim tersebut meliputi kesesuaian iklim S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan S3 (sesuai marginal) namun kesesuaian iklim yang dominan terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan adalah kesesuaian iklim S2 dengan luas wilayah sebesar 42.107 km2 atau 70 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat diketahui pada Gambar 7, dengan simbol warna hijau yang tersebar luas di bagian utara dan selatan. Wilayah kesesuaian iklim lainnya yang ditunjukkan pada Gambar 7 yaitu kesesuaian S1 dengan simbol warna biru dan kesesuaian S3 dengan simbol warna kuning. Luasan wilayah ini tidak sebesar luas wilayah S2. Luas S1 yang terdapat pada daerah ini sebesar 18.640 km2 dan luas S3 sebesar 1132 km2. Kesesuaian iklim yang terdapat pada wilayah Sulawesi Selatan dapat dikatakan baik karena tidak terdapat lahan N.
Gambar 7. Peta kesesuaian iklim Tabel 5. menjelaskan tentang nilai luasan wilayah kabupaten berdasarkan kesesuaian iklimnya. Kabupaten yang memiliki luas wilayah S1 paling besar berdasarkan kesesuaian iklimnya adalah Kabupaten Bone dengan luas lahan S1 sebesar 2.994 km2 atau 67% dari luas kabupatennya atau 4,7% dari luas Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Kabupaten Bone memiliki potensi besar untuk ditanami cengkeh berdasarkan iklimnya. Kabupaten lainnya yang sangat berpotensi besar dalam memiliki luasan lahan yang sangat sesuai (S1) adalah
Kabupaten Luwu dan Wajo. Kabupaten Wajo merupakan kabupaten yang memiliki iklim yang paling baik bila dikaji berdasarkan kesesuaian iklim tanaman cengkeh karena sebesar 2.244 km2 atau 93% dari total luas kabupatennya merupakan lahan S1. Tabel 5. juga menunjukkan bahwa kabupaten yang memiliki potensi kesesuaian lahan dengan tingkat S2 (cukup sesuai) paling luas bila dikaji dalam lingkup luas seluruh Provinsi Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Luwu dengan luas sebesar 15.476 km2 atau 85% dari total luas Kabupten Luwu atau
27
24,6% dari luas Sulawesi Selatan, akan tetapi bila dikaji dalam ruang lingkup luas per kabupatennya maka kabupaten yang paling luas memiliki potensi kesesuaian lahan dengan tingkat S2 berdasaran kesesuaian iklimnya adalah Kabupaten Sinjai yaitu dengan luas sebesar 831 km2 atau 96% dari luas Kabupaten Sinjai sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Sinjai dapat dikatakan cocok ditumbuhi tanaman cengkeh bila dikaji dari aspek iklimnya. Total luas Sulawesi Selatan yang diperoleh dari peta kesesuaian iklim menunjukkan bahwa terdapat 996 km2 wilayah yang tidak memiliki data curah hujan ataupun suhu udara. Tabel 9. Luas wilayah berdasarkan kesesuaian iklim di tiap kabupaten Sulawesi Selatan Kabupaten Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Majene Mamuju Maros Pangkajene Kep. Pinrang Polewali Mamasa Selayar Sindenreng Rappang Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Wajo Total
S1 82 485 2.994 797 1.650 120 2.362 221 1.733 1.063 643
1.878 1.344 215 809 2.244
Luas (km2) S2 S3 329 813 1.432 325 7 83 1.586 103 753 15.476 420 830 10.638 142 1.661 3 895 133 3.512 173 21 23
N -
-
-
831 1 8 324 2.271 283 163 61.879
-
4.2.1.1 Identifikasi Kesesuaian Curah Hujan Tingkat kesesuaian curah hujan yang terdapat di lahan Provinsi Sulawesi Selatan cukup beragam, mulai dari S1 (sangat sesuai) hingga N (tidak cocok). Djaenudin et al. (2003) menyatakan bahwa tanaman cengkeh sangat sesuai ditanam pada lahan yang memiliki tingkat curah hujan tahunan sekitar 1500-2500 mm/tahun. Berdasarkan peta kesesuaian curah hujan yang tertera pada Lampiran 6, maka dapat dikatakan bahwa pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kriteria kesesuaian curah hujan dengan tingkat sangat sesuai tersebar di wilayah bagian tengah Provinsi ini, tepatnya terdapat pada lahan di Kabupaten Enrekang,
Wajo, Pinrang, Soppeng, Sindenreng Rappang, Selayar, dan sebagian di Kabupaten Luwu, Tana Toraja, Majene, Gowa, Barru, Bone, Bulukumba, Bantaeng, Takalar, dan Polewali Mamasa. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kesesuaian yang sangat sesuai di Provinsi Sulawesi Selatan cukup menyebar di berbagai wilayah kabupaten sehingga bila dikaji menurut aspek kesesuaian curah hujannya maka wilayah yang cocok untuk ditumbuhi tanaman cengkeh cukup menyebar luas di sepanjang Provinsi Sulawesi Selatan. Faktor curah hujan merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhannya (Ruhnayat 2002). Wilayah yang memiliki curah hujan yang rendah tidak akan cocok ditumbuhi tanaman cengkeh karena iklim yang sangat kering tidak disenangi oleh tanaman ini dan dapat menyebabkan kematian terutama pada tanaman muda (1-2 tahun). Curah hujan yang sedikit akan berdampak buruk pada tanaman cengkeh karena dapat menyebabkan ketersediaan air di dalam tanah menjadi berkurang sehingga pada tanaman muda yang belum memiliki sistem perakaran yang begitu berkembang dan dangkal, belum dapat memanfaatkan air tanah yang dalam. Selain itu, wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi, seperti di bagian kecil Kabupaten Bone tidak dapat ditumbuhi tanaman ini karena iklim yang sangat basah dapat menyebabkan penggenangan akar dan pembusukkan akar sehingga dapat menyebabkan kematian terutama pada tanaman dewasa. Curah hujan yang tinggi juga dapat menyebabkan hama dan penyakit berkembang pada lahan cengkeh sehingga hal ini dapat merugikan petani. 4.2.1.2 Identifikasi Kesesuaian Suhu Udara Kajian menurut kesesuaian suhu udara di Provinsi Sulawesi Selatan maka dapat dikatakan bahwa tanaman cengkeh dapat tumbuh dengan baik hampir di seluruh wilayah ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan peta kesesuaian suhu udara yang terdapat pada Lampiran 7. Suhu udara yang baik untuk ditanami tanaman cengkeh berkisar antara 2528 oC karena pada dasarnya tanaman cengkeh ini sangat sensitif dengan suhu udara yang terlalu rendah ataupun tinggi (Hadiwijaya 1984 dalam Ruhnayat, A. dan P. Wahid 1997). Tanaman cengkeh ini termasuk ke dalam kategori tanaman yang manja dalam arti memerlukan lingkungan yang khusus dan pemeliharaan yang intensif. Wilayah yang memiliki suhu rendah kurang cocok untuk ditumbuhi tanaman cengkeh karena produktivitas yang akan dihasilkan akan sangat minim akibat dari bakal bunga yang
28
sedikit muncul pada suhu rendah sedangkan wilayah yang memiliki suhu tinggi dapat menyebabkan kekeringan dan stress pada tanaman cengkeh. 4.2.2 Identifikasi Kesesuaian Tanah Tabel 10. Luas wilayah berdasarkan kesesuaian tanah di tiap kabupaten Sulawesi Selatan Luas (km2)
Kabupaten S1 Bantaeng
S2
S3
N
20
335
0
60
Barru
123
892
2
384
Bone
423
3.012
497
492
-
1.098
-
31
105
1.061
15
553
Gowa
81
1.356
-
373
Jeneponto
42
685
-
27
2.401
12.145
109
3.595
7
651
-
396
Bulukumba Enrekang
Luwu Majene Mamuju
2.345
5.748
36
2.655
Maros
190
1.069
33
372
Pangkajene Kep.
119
718
-
68
Pinrang
442
1.040
-
384
Polewali Mamasa
137
3.477
1
1.140
Selayar Sindenreng Rappang
-
662
-
2
390
1.302
-
210
Sinjai
104
579
1
148
Soppeng
257
765
67
264
Takalar
59
469
-
11
-
2.553
-
810
744
1.660
-
-
Tana Toraja Wajo Total
61.898
Peta kesesuaian tanah untuk tanaman cengkeh menunjukkan bahwa pada wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kesesuaian tanah paling dominan adalah wilayah dengan potensi lahan S2. Hal ini ditunjukkan dengan warna coklat muda pada Gambar 8 (Lampiran 11) yaitu dengan luas wilayah sebesar 41.277 km2 atau 66 % dari luas Sulawesi Selatan. Wilayah lainnya seperti S1, S3 dan N juga cukup tersebar, namun wilayah yang dimiliki tidak sebesar wilayah S2. Wilayah ini ditandai dengan warna coklat tua, kuning, dn orange. Luas wilayah S1 di Sulawesi Selatan berdasarkan kesesuaian tanahnya yaitu sebesar 7.989 km2, luas S3 nya sebesar 761 km2, dan luas N sebesar 11.875 km2.
Kabupaten yang memiliki nilai kesesuaian N yang paling luas adalah Kabupaten Luwu yaitu dengan nilai sebesar 3.595 km2 atau 6% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan atau 20% dari luas Kabupaten Luwu. Wilayah kabupeten lainnya yang juga memiliki nilai kesesuaian tanah N adalah Kabupaten Mamuju, dengan nilai sebesar 2.655 km2. Kedua kabupaten tersebut masih memiliki kemungkinan untuk dijadikan lahan sesuai dengan menggunakan teknologi. Selain itu, kedua wilayah tersebut juga memiliki luas wilayah yang besar sehingga bila terdapat wilayah yang kurang sesuai untuk tanaman cengkeh berdasarkan aspek tanahnya maka masih terdapat luas lahan lainnya yang cukup besar dan berpotensi untuk ditanami cengkeh. Luas wilayah kesesuaian tanah bila dikaji dari lingkup luas tiap kabupatennya maka kabupaten yang memiliki luas kesesuaian tanah S1 paling besar yaitu Kabupaten Wajo dengan luas 744 km2 atau 31 % dari total luas kabupatennya, sedangkan kabupaten yang memiliki luas kesesuaian tanah S2 paling besar yaitu Kabupaten Bulukumba dengan luas sebesar 1.098 km2 atau 97% dari luas total kabupatennya walaupun bila dikaji dari lingkup total luas provinsinya lebih besar Kabupaten Luwu. Luas kesesuaian tanah S3 terbesar terdapat pada Kabupaten Bone yaitu dengan nilai sebesar 497 km2 atau 11% dari luas kabupatennya dan luas kesesuaian tanah N terbesar terdapat pada Kabupaten Majene dengan 37% dari luas kabupatennya atau 396 km2.
29
Gambar 8. Peta kesesuaian tanah 4.2.2.1 Identifikasi Kesesuaian Kedalaman Tanah Faktor kedalaman tanah merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman cengkeh. Menurut Djaenudin et al. (2003), kedalaman tanah yang sangat sesuai (S1) untuk ditumbuhi tanaman cengkeh minimal 100 cm. Kedalaman tersebut baik untuk pertumbuhan akar tanaman cengkeh, selain akar tidak akan tergenang ketika musim hujan, pergerakan akar dalam mencari unsur hara juga dapat bebas bergerak. Berdasarkan peta kesesuaian kedalaman tanah yang terlampir pada Lampiran 9, maka dapat diketahui daerah yang sesuai untuk ditumbuhi tanaman cengkeh berdasarkan aspek kesesuaian kedalaman tanahnya adalah wilayah di sekitar kabupaten Luwu, Wajo, Bone, Mamuju, Sindenreng Rappang, Soppeng, Pinrang, Takalar, Barru, dan Maros. Faktor ini cukup mempegaruhi pertumbuhan tanaman cengkeh terutama ketika tanaman masih berusia muda. Tanaman yang muda masih melakukan pertumbuhan khususnya dengan akar yang semakin memanjang dan menguat. 4.2.2.2 Identifikasi Kesesuaian Kelerengan Faktor kelerengan lahan pada tanaman cengkeh tidak terlalu besar dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitasnya namun faktor ini merupakan
salah satu pendukung dalam keberhasilan produksi cengkeh. Menurut Hadiwidjaya (1983), tanah yang miring lebih baik daripada tanah yang datar. Hal ini disebabkan karena pada lahan yang miring, drainase akan berjalan dengan baik dan kemungkinan untuk tergenang air sangat kecil sehingga kebusukan pada akar dapat diatasi. Kelerengan yang sangat sesuai untuk tanaman cengkeh menurut Djaenudin et al. berkisar di bawah 3%. Kelerengan yang tidak terlalu besar ini juga menghindari terjadinya erosi. Berdasarkan gambar yang terdapat pada Lampiran 10, maka dapat diketahui bahwa wilayah yang sangat sesuai (S1) untuk ditanami cengkeh bila ditinjau dari kelerengannya hampir tersebar di seluruh bagian Provinsi Sulawesi Selatan. 4.2.3 Identifikasi Kesesuaian Agroklimat Kesesuaian agroklimat yaitu kesesuaian lahan berdasarkan penumpangsusunan faktor iklim dan tanah. Faktor iklim dan tanah saling mempengaruhi proses pertumbuhan serta produksi dari tanaman cengkeh sehingga kedua faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam penentuan wilayah tanaman cengkeh. Wilayah yang memiliki kesesuaian tanah sangat sesuai untuk tanaman cengkeh namun tidak sesuai dalam kesesuaian iklimnya maka pada wilayah tersebut belum tentu tanaman cengkeh dapat berproduksi optimal.
30
Grafik Kesesuaian Agroklimat dengan Luas Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan 20000 18000 Luas Luas Luas Luas
Luas (km2)
16000 14000 12000
S1 S2 S3 Kabupaten
10000 8000 6000 4000 2000 Wajo
Takalar
Tana Toraja
Soppeng
Sinjai
Sindenreng Rappang
Selayar
Polewali Mamasa
Pinrang
Pangkajene Kep.
Kabupaten
Maros
Mamuju
Luwu
Majene
Gowa
Jeneponto
Enrekang
Bone
Bulukumba
Barru
Bantaeng
0
Gambar 9. Perbandingan luas kesesuaian S1, S2, S3, dan n dengan luas tiap kabupaten di provinsi sulawesi selatan
Gambar 10. Peta kesesuaian agroklimat Peta kesesuaian agroklimat tanaman cengkeh yang terdapat pada Gambar 10 dan Tabel 7 menunjukkan bahwa wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi untuk ditanami tanaman cengkeh berdasarkan aspek agroklimatnya memiliki luas
lahan sebesar 61,826 km2 atau 98% dari total wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas S1 sebesar 3.063 km2 atau 4,8%, luas S2 sebesar 54.059 km2 atau 86%, luas S3 sebesar 4.704 km2 atau 7,5%.
31
Wilayah yang sangat sesuai (S1) untuk tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan cukup sedikit. Wilayah tersebut terdapat pada beberapa kabupaten, diantaranya yaitu Kabupaten Luwu, Bone, Sindenreng Rappang, Barru, Polewali Mamasa, Enrekang, Pinrang, Wajo, dan Soppeng. Luas S1 terbesar yang terdapat pada Provinsi Sulawesi Selatan berada pada wilayah Kabupaten Wajo yaitu dengan luas wilayah sebesar 682 km2 atau 28% dari luas kabupatennya atau 1% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah Kabupaten Wajo terdapat potensi lahan yang cukup besar untuk pengembangan tanaman cengkeh. Penyebaran kesesuaian agroklimat ini dapat dilihat pada Gambar 10 dengan petunjuk warna hijau tua melambangkan lahan S1, hijau muda untuk lahan S2, dan putih untuk lahan S3. Kesesuaian yang paling dominan berdasarkan agroklimat tanaman cengkeh adalah kesesuaian lahan S2. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan cukup sesuai untuk ditanami tanaman cengkeh berdasarkan aspek agroklimatnya (iklim dan tanah). Tabel 11. Luas wilayah berdasarkan kesesuaian agroklimat di tiap kabupaten Sulawesi Selatan Kabupaten Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Majene Mamuju Maros Pangkajene Kep. Pinrang Polewali Mamasa Selayar Sindenreng Rappang Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Wajo
S1 0 20 432 0 105 6 0 536 7 0 0 0 441 129 0
Luas (km2) S2 S3 411 4 1.275 3 3.826 165 1.119 7 1.621 7 1.543 259 752 0 16.117 1.584 727 315 9.904 864 1.327 336 828 64 1.423 0 4.024 599 658 0
N -
390
1.512
0
-
0 257 58 0 682
810 1.095 480 2.887 1.720
21 0 0 476 0
-
4.2.4 Identifikasi Kesesuaian Penutupan Lahan Kesesuaian penggunaan lahan pada penelitian ini dilakukan untuk upaya ekstensifikasi atau pembukaan area baru untuk tanaman cengkeh sehingga lahan-lahan yang
kurang optimal dalam penggunaannya dapat dikonversi menjadi area perkebunan cengkeh. Lahan-lahan yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan cengkeh adalah hutan non konservatif, ladang, tanah terbuka, perkebunan, dan semak belukar sedangkan lahan yang tidak dapat dikonversi adalah pemukiman, tambak, tubuh air, sawah, dan hutan konservatif. Gambar 11. merupakan peta hasil penumpangsusunan peta agroklimat dengan peta penutupan lahan. Peta tersebut menjelaskan bahwa potensi lahan untuk ekstensifikasi tanaman cengkeh yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan masih cukup besar bila dikaji dari lahan yang dapat dikonversi. Warna hijau menunjukkan lahan yang dapat dikonversi untuk lahan perkebunan cengkeh sedangkan warna merah menunjukkan lahan yang tidak dapat dikonversi dan warna orange untuk daerah kawasan hutan. Daerah kawasan hutan ini dipisah dari kategori konversi dan non-konversi karena pada peta penutupan lahan yang digunakan pada penelitian ini, klasifikasi hutannya masih sangat umum atau kurang detail dalam penentuan jumlah lahan yang dapat dikonversi dengan yang tidak dapat dikonversi sehingga luasan hutan yang ada akan dikurangi luasan hutan konservasi berdasarkan yang diperoleh dari literatur.
32
Gambar 11 . Peta potensi lahan pengembangan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 12. Grafik Perbandingan Luas Kesesuaian Agroklimat yang belum dikonversi dengan yang telah dikonversi lahan Berdasarkan Gambar 12 maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara lahan yang belum diklasifikasi dengan lahan yang telah diklasifikasi berdasarkan kesesuaian lahan untuk dikonversi cukup berbeda. Hal ini disebabkan kawasan hutan yang masih belum diketahui penentuan konversinya memiliki luas yang cukup besar di tiap kabupatennya. Namun demikian, pada wilayah di sekitar Provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki potensi yang besar dalam upaya ekstensifikasi perkebunan cengkeh. Luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi untuk ektensifikasi perkebunan cengkeh (berupa ladang, kebun,
tanah terbuka, dan semak belukar) yaitu sebesar 26.743 km2. Luas tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu luas S1 sebesar 1.897 km2, luas S2 sebesar 23.120 km2, dan luas S3 sebesar 990 km2. Luas tersebut belum termasuk lahan hutan yang masih memiliki potensi untuk dapat dikonversi. Permasalahan yang terdapat pada penelitian ini adalah data penutupan lahan hutan yang terklasifikasi masih umum yaitu hanya jenis hutan dan hutan mangrove, sedangkan bila klasifikasinya berupa hutan lindung, suaka alam, dan hutan produksi akan memiliki nilai yang lebih akurat.
33
Hasil pengolahan dari data penutupan lahan menunjukkan bahwa luas penggunaan hutan yang terdapat pada Sulawesi Selatan berjumlah 23.115 km2. Hal ini menunjukkan bahwa pada lahan hutan tersebut masih terdapat potensi untuk dikonversi karena masih memiliki kemungkinan ada lahan hutan produksi di dalamnya. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dalam anonim (2009) menyatakan bahwa luas wilayah hutan lindung dan suaka alam yang terdapat pada wilayah tersebut sebesar 14.421 km2. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa luas hutan yang masih memiliki potensi untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan cengkeh di Sulawesi Selatan sebesar 8.694 km2. 4.2.5 Identifikasi Kelayakan Ekonomi Kajian kelayakan ekonomi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan batasan analisis kelayakan investasi dengan tiga indikator, diantaranya yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), dan BCR (Benefit Cost Ratio). Suatu usaha dikatakan layak untuk dilakukan investasi apabila nilai NPV > 0, IRR > tingkat discount rate, dan BCR > 1. Berdasarkan hasil perhitungan, penilaian kelayakan investasi untuk perkebunan cengkeh pada lahan S1 (sangat sesuai) memiliki nilai yang sangat baik yaitu nilai NPV sebesar Rp 26.841.000, IRR sebesar 30,1 %, dan BCR sebesar 2,16 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa apabila pada saat ini, lahan kesesuaian S1 ditanami tanaman cengkeh pada lahan satu hektar dan suku bunga pinjaman yang berlaku sebesar 15,5 % maka keuntungan yang akan didapat pada 30 tahun mendatang bernilai Rp 26.841.000 pada nilai uang saat ini. Usaha perkebunan ini masih dapat dikatakan layak karena nilai IRR (30,1%) melebihi nilai suku bunga pinjaman yang berlaku saat ini (15,5%). Nilai BCR yang dihasilkan pada lahan S1 bernilai 2,16. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 1 satuan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan benefit sebesar 2,16. Tabel 12. Nilai ekonomi pada tiap kesesuaian lahan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan Indikator Ekonomi
Kesesuaian lahan
NPV
IRR
BCR
S1
Rp 26.841.000
30,1 %
2,16
S2
Rp 16.864.000
24,0 %
1,73
S3
Rp 2.723.000
5,9 %
1,12
Cengkeh yang akan ditanami pada lahan kesesuaian S2 juga masih dapat dikatakan baik, akan tetapi tidak sebaik pada lahan S1. Keuntungan yang dapat diperoleh per hektarnya bila usaha ini dilakukan adalah Rp 16.864.000 pada nilai sekarangnya. Nilai ini merupakan 63% dari total keuntungan S1. Nilai suku bunga maksimal yang terdapat pada lahan ini juga dikatakan baik karena nilai IRR (24,0% ) yang dihasilkan lahan S2 melebihi nilai suku bunga pinjaman bank. Cengkeh yang ditanam pada lahan kesesuaian S3 masih dikatakan cukup baik namun hasil yang diperoleh tidak sebaik dan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan cengkeh yang ditanam di lahan S1 dan S2. Faktor pembatas yang dimiliki lahan ini lebih besar dibandingkan lahan S1 dan S2 sehingga hasil yang diperoleh juga lebih kecil, yaitu keuntungan maksimal yang akan diperoleh pada masa produktif tanaman cengkeh ini (NPV) sebesar Rp 2.723.000 dan perkebunan ini termasuk kategori kurang layak digunakan karena nilai IRR yang dihasilkan sebesar 5,9% dan nilai ini dibawah nilai suku bunga pinjaman bank yang berlaku. Gambar 13. menggambarkan tentang ketersediaan jalan yang menjadi hal penting dalam pengembangan tanaman cengkeh. Warna merah yang terdapat pada peta tersebut menjelaskan bahwa ketersediaan panjang jalan per luas kabupatennya di daerah utara Provinsi Sulawesi Selatan kurang baik, sedangkan pada wilayah bagian Selatan Provinsi ini lebih sangat baik. Peta tersebut menjelaskan bahwa wilayah yang memiliki panjang jalan yang baik terdapat pada area di sekitar Kabupaten Sinjai, Jeneponto, Gowa, dan Takalar. Wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam kriteria agroklimat tanaman cengkeh harus diimbangi dengan panjang jalan yang ada pada kabupaten tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas pengembangan cengkeh yang baik berdasarkan aspek kemudahan dalam akses jalannya lebih baik dilakukan pada daerah bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan.
34
Gambar 13.Peta aksesibilitas jalan
Gambar 14. Peta kabupaten prioritas pengembangan cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan 4.2.6 Wilayah Prioritas Lahan Pengembangan Cengkeh Gambar 14. menunjukkan bahwa wilayah prioritas pengembangan cengkeh dominan berada pada bagian selatan Provinsi Sulawesi
Selatan. Wilayah-wilayah tersebut memiliki akses jalan yang cukup baik dibandingkan dengan wilayah kabupaten lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mobilisasi yang terdapat pada wilayah-wilayah di bagian selatan
35
Provinsi Sulawesi Selatan cukup baik sehingga bila dilakukan usaha pengembangan tanaman cengkeh di wilayah tersebut dapat menguntungkan petani khususnya dalam proses pemasaran cengkeh. Faktor pendukung lainnya yang dapat digunakan dalam proses penentuan lahan pengembangan cengkeh yaitu letak pelabuhan. Pelabuhan merupakan suatu media perantara antara petani cengkeh dengan pembeli sehingga berhasil atau tidaknya pemasaran cengkeh salah satunya ditentukan dengan keberadaan pelabuhan. Wilayah yang dekat dengan pelabuhan akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari pelabuhan karena dapat menghemat biaya transportasi pemasaran cengkeh.
Wilayah-wilayah yang menjadi prioritas lahan pengembangan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan aspek agroklimat, penutupan lahan, akses jalan, dan kedekatan dari pelabuhannya dapat dilihat pada Tabel 13. Penentuan prioritas lahan pengembangan tanaman cengkeh tersebut didasarkan pada hasil perhitungan yang dapat dilihat pada bab metodologi. Wilayah yang memiliki prioritas lahan tinggi untuk dilakukan pengembangan cengkeh menunjukkan bahwa pada lahan tersebut sangat baik untuk dilakukan investasi budidaya cengkeh. Wilayah-wilayah tersebut terdapat di enam kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Barru, Bone, Bulukumba, Jeneponto, Sinjai, dan Wajo.
Tabel 13. Nilai luas wilayah kesesuaian agroklimat dan penutupan lahan beserta akses pendukung di tiap kabupaten Luas (km2) Kabupaten Bantaeng
S1
S2
S3
N
Hutan
Akses Jalan
Pelabuhan
Prioritas Pengembangan
0
263
0
-
0
baik
ada
Sedang
Barru
10
663
3
-
0
cukup
ada
Tinggi
Bone
296
2.743
87
-
507
cukup
ada
Tinggi
Bulukumba
0
499
2
-
0
baik
ada
Tinggi
Enrekang
91
865
7
-
0
cukup
tidak
Sedang
Gowa
5
1.034
195
-
0
baik
tidak
Sedang
Jeneponto
0
647
0
-
0
sangat baik
ada
Tinggi
Luwu
180
3.538
43
-
no data
kurang
ada
Sedang
Majene
7
475
51
-
no data
kurang
tidak
Rendah
Mamuju
0
2.724
83
-
no data
kurang
ada
Sedang
Maros
0
718
132
-
41
cukup
ada
Sedang
Pangkajene Kep.
0
552
27
-
0
cukup
ada
Sedang
Pinrang
230
879
0
-
0
kurang
ada
Sedang
Polewali Mamasa
118
2.265
211
-
no data
kurang
ada
Sedang
0
179
0
-
75
cukup
ada
Sedang
264
441
0
-
103
kurang
tidak
Rendah
0
400
1
-
0
sangat baik
ada
Tinggi
Soppeng
237
687
0
-
11
cukup
tidak
Sedang
Takalar
41
178
0
-
0
sangat baik
tidak
Sedang
Tana Toraja
0
1.945
148
-
0
cukup
tidak
Rendah
418
1.425
0
-
0
cukup
ada
Tinggi
Selayar Sindenreng Rappang Sinjai
Wajo Total
26.743
36
Gambar 15. Produksi cengkeh di setiap kabupaten Sulawesi Selatan Wilayah-wilayah prioritas lahan pengembangan cengkeh yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dibandingkan dengan kondisi produksi cengkeh yang terdapat pada tiap kabupatennya. Wilayah yang memiliki prioritas lahan tinggi dalam pengembangan cengkeh seperti Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bone, dan Barru diikuti dengan kondisi produksi cengkeh yang tinggi pula di lapangannya. Hal ini menunjukkan bahwa hasil prioritas lahan yang dihasilkan pada penelitian ini didukung dengan kondisi di lapangan yang cukup baik. Proses investasi dalam mengembangkan cengkeh memerlukan beberapa hal yang perlu diperhatikan atau dapat dilakukan dengan beberapa strategi, seperti berikut ini : 1. Pilih lahan yang sesuai Penentuan dalam memilih lahan tersebut harus didasarkan pada aspek kesesuaian agroklimatnya. Utamakan wilayah yang memiliki lahan S1 ataupun S2. 2. Pilih lahan yang dapat dikonversi Pemilihan tesebut bertujuan agar potensi lahan yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal yaitu dengan merealisasikannya menjadi lahan perkebunan cengkeh. Lahanlahan yang dapat dikonversi sebaiknya dipilih wilayah yang sudah berusia tua dan kurang produktif.
3. Pilih lahan yang memiliki fasilitas pelabuhan dan akses jalan yang baik Akses jalan dan fasilitas pelabuhan merupakan beberapa faktor yang penting dalam usaha pengembangan tanaman cengkeh. Kemudahan dalam akses jalan dan adanya pelabuhan dapat memudahkan petani cengkeh dalam memasarkan hasil panennya sehingga hal ini dapat menguntungkan petani cengkeh.
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Provinsi Sulawesi Selatan memiliki tiga klasifikasi kesesuaian lahan dalam pengembangan tanaman cengkeh. Ketiga kesesuaian lahan tersebut. Lahan S1 dengan luas 1.897 km2 memiliki keuntungan bersih Rp 26.841.000/ha, IRR sebesar 30,1%, dan BCR sebesar 2,16. Lahan S2 dengan luas 23.120 km2 dapat menghasilkan keuntungan Rp 16.864.000/ha, IRR sebesar 24,0%, dan IRR sebesar 1,73. Lahan S3 dengan luas 990 km2 memiliki keuntungan yang tidak sebesar lahan S1 maupun S2 yaitu Rp 2.723.000/ha dengan IRR seebesar 5,9%, dan BCR 1,12. Wilayah yang menjadi prioritas kabupaten pengembangan tanaman cengkeh di Sulawesi Selatan terbagi menjadi tiga macam yaitu prioritas utama, prioritas sedang, dan prioritas rendah. Kabupaten yang menjadi prioritas utama dalam pengembangan cengkeh yaitu Kabupaten Wajo, Sinjai, Bulukumba, Bone, Barru, dan Jeneponto. 5.2 Saran Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam keakuratan data ekonomi di lapangannya. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan survey terhadap kondisi di lapangan agar hasil yang diperoleh dapat lebih akurat dan penggunaan peta penutupan lahan yang lebih detail dalam klasifikasi lahan konversi.
38
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Hutan Sulsel Harus Dijaga 800 Polhut. [www. antara. co.id / arc / 2009/1/17/hutan-sulsel-harus-dijaga800-polhut/] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2009. Data Curah Hujan Tahunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2000. Kesesuaian Tanaman di Sulawesi. Prosiding. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh. [www.litbang.deptan.go.id/special/komo ditas/files/104CENGKEH.pdf] Badan Pusat Statistik. 2008. Provinsi Sulawesi Selatan dalam Angka. Tabel Jumlah Petani Tanaman Cengkeh. Direktorat Jenderal Perundng-undangan. 2004. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. [diakses melalui internet; 26 Agustus 2009; www.djpp.depkumham.go.id] Djaenudin et al. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Djaenudin et al. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dinas Pertanian. Bogor. Hadipoentyanti, E. 1997. Tipe dan Karakteristik Cengkeh. Monograf Tanaman Cengkeh. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hadiwijaya, T. 1983. Cengkeh, Data dan Petunjuk ke arah Swasembada. Jakarta: PT Gunung Agung. Imam Soedjono, T.,B. Permadi, dan I. Salyadi. 2001. ATLAS Edisi Terbaru Indonesia & Dunia untuk Sekolah Lanjutan. Jakarta : Titik Terang. Kadarsah. 2009. Tiga Pola Curah Hujan Indonesia.[www.kadarsah.wordpress.co m/2006/12/03/pola-umum-curah-hujandi-indonesia/] Kanisius. 1990. Bagaimana Menanam Cengkeh. Yogyakarta : Kanisius. Mulyani, A dan I, Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi
Pengembangan Komoditas Penghasil Bioenergi di Indonesia. [www. pustaka deptan.go.id/publikasi/p3271085.pdf] Ruhnayat, A. 2002. Memproduktifkan Cengkih,Tanaman Tua dan Tanaman Terlantar. Jakarta : Penebar Swadaya. Ruhnayat, A dan P, Wahid. 1997. Aspek Iklim terhadap Pertumbuhan, Pembungaan, dan Produksi Cengkeh. Monograf Tanaman Cengkeh. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Sitaniapessy, P.M. 1984. Klasifikasi Indonesia. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Soeharto, I. 1997. Manajemen Proyek: dari Konseptual sampai Operasional/Iman Soeharto; editor, Yati Sumiharti.-Cet.3.-- Jakarta: Erlangga. Tarigan, D.D. 1997. Persemaian dan Tanaman Cengkeh. Pembibitan Monograf Tanaman Cengkeh. Bogor : Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Yanto, J. 2008. Fungsi, Struktur Vegetasi dan Potensi Penyerap Karbon. Bandung : UNPAD.
39
LAMPIRAN
40
Lampiran 1. Data rata-rata curah hujan tahunan di tiap stasiun pos hujan beserta kordinatnya BUJUR
LINTANG
CH tahunan
BPP PALANRO
STASIUN
119.64
-4.17
2472.24
BPP JAMPUE
119.62
-4.39
2453.09
BPP TANETE
119.61
-4.48
2344.26
BPP SUMPANG BINANGAE
119.62
-4.41
2971.90
PG CAMMING
120.09
-4.86
2137.95
LANCA
120.24
-4.05
2314.53
MACOPE
120.35
-4.50
1828.19
TALLUNGE
120.23
-4.56
2124.31
BATUKARO
120.17
-5.42
1997.78
BULO2
120.14
-5.33
2159.04
KAJANG
120.36
-5.36
1393.99
TANAHKONGKONG
120.18
-5.56
951.78
BARAKA
119.86
-3.41
1466.85
ENREKANG
119.77
-3.58
1919.03
BELAJEN
119.82
-3.32
1459.65
BARENBENG
119.42
-5.35
1571.53
BPP.BONTO-BONTO
119.57
-5.29
4251.53
MALINO
119.85
-5.25
3977.00
BPP.MALAKAJI
119.85
-5.43
2288.12
STA.GEOFISIKA
119.47
-5.22
2801.43
BENTENG
119.56
-5.57
1018.92
BONTOMATENE
119.79
-5.59
1171.44
PAKATERENG
119.59
-5.59
752.16
SUB BALITKORTI
119.85
-5.50
1703.62
BATUSITA
120.09
-2.85
2008.25
BEUMA
120.19
-3.14
1773.31
LAROMPON
120.37
-3.54
1784.42
PSAPPA
120.31
-3.52
1129.64
SEPPONG
120.39
-3.40
1754.43
DESAMALI
120.31
-2.64
2130.25
METMASAM
120.33
-2.43
3605.00
SMPKBONE
120.54
-2.56
2243.21
MAJENE
118.97
-3.56
1970.28
SENDANA
118.88
-3.01
3066.19
BAROMBONG
119.40
-5.22
2087.83
BAWIL IV
119.46
-5.13
2551.21
KLIMAT PANAKUKKANG
119.49
-5.18
2745.94
BABANA
119.41
-2.22
2481.41
BINANGA
119.30
-2.70
2488.12
BALITJAS/STAKLIM
119.57
-5.00
3174.25
BATUBASI
119.66
-5.02
3482.32
MINASABA
119.63
-5.01
3566.89
BALLEANG
119.74
-4.90
3128.63
BPP MA'RA
119.58
-4.70
2674.00
MATTAMPA
119.66
-4.77
2762.28
AWANG2
119.64
-3.79
2608.05
LANGNGA
119.53
-3.84
1805.38
41
MANANRANG
119.64
-3.84
1577.13
PAKABATA
119.53
-3.64
2051.20
TIROANG
119.74
-3.83
1841.15
PANA
119.55
-3.05
3304.33
BENTENG
120.46
-6.12
1512.83
BTMATA
120.47
-5.91
1180.95
BTSUNGGU
120.44
-6.19
1760.92
JAMPEA
120.49
-6.08
1235.29
MATTALAN
120.45
-6.15
1320.04
PARIANGA
120.49
-6.27
1349.79
ALLAKUAN
119.79
-3.97
1364.74
BERANTI
119.77
-3.85
1657.82
LAWAWOI
119.70
-3.93
1710.28
LAJONGA
119.85
-4.06
1430.21
LAINUNGA
119.69
-3.95
1771.53
ASKA
120.20
-5.21
3379.31
BIKERU
120.15
-5.23
3222.18
BIRINGERE
120.24
-5.14
2423.80
MANIPI
120.01
-5.21
2759.23
PASIR PUTIH
120.06
-5.32
2292.85
MALANROE
119.92
-4.35
1350.20
MARIORIW
119.95
-4.45
1042.15
WATAN SOPPENG
119.89
-4.35
1429.54
PAJALESANG
119.96
-4.34
1269.10
GALESONG
119.36
-5.35
2003.00
PATTALLASANG
119.44
-5.42
2278.81
PG.TAKALAR
119.50
-5.36
2552.32
BITUANG
119.68
-2.90
2523.71
LEON
119.87
-3.06
1488.00
MEBALI
119.88
-3.22
2328.54
PANGALLA
119.76
-2.86
2619.29
TO'AO
119.83
-3.12
1855.44
TOMBANGKALUA
119.71
-3.16
2643.67
ANABANUA
120.06
-3.94
1756.26
BONTOUSE
120.03
-4.05
1572.23
BPP KERA
120.34
-3.84
2335.24
PENEKI
120.29
-4.18
1765.64
SAKKOLI
120.22
-3.96
2065.48
PLANE SITE
121.28
-2.97
2614.31
(Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika 2009)
42
Lampiran 2. Tabel kesesuaian lahan untuk tanaman cengkeh
Kelas Kesesuaian Lahan Persyaratan S1 (Sangat Sesuai)
S2 (Sesuai)
S3 (Cukup Sesuai)
28 - 32 o
Suhu ( C)
25 - 28
> 35 32 - 35
< 20
Curah Hujan (mm)
1.500 - 2.500
N (Tidak Sesuai)
20 - 25 1.250-1500
< 1.250
3.000 - 4.000
> 4.000
2.500 3.000
Kedalaman Tanah (cm)
<50
50-75
75-100
>100
Kelerengan (%)
0-8
8-16
16-30
>30
[sumber : Djaenudin et al (2003) Puslitbangtanak, Bogor ]
43
Lampiran 3. Peta Penyebaran Lokasi Pos Hujan di Provinsi Sulawesi Selatan
44
Lampiran 4. Peta Isohyet Provinsi Sulawesi Selatan
45
Lampiran 5. Peta Kesesuaian Curah Hujan Tanaman Cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan
46
Lampiran 6. Peta Kesesuaian Suhu Udara Tanaman Cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan
47
Lampiran 7. Peta Kesesuaian Kedalaman Tanah Tanaman Cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan Peta Kesesuaian
48
Lampiran 8. Peta Kesesuaian Kelerengan Tanaman Cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan
49
Lampiran 9. Peta Penutupan Lahan di Provinsi Sulawesi Selatan
50
Lampiran 10. Data ekonomi tanaman cengkeh di Maluku Parameter
Input
Macam/jenis Satuan ukuran Satuan Harga (Rp)
Input & Output Tahun
Output
Bibit
Saprotan
Upah kerja
Biji kering
Pohon
paket
paket
kg
Rp 11.000
Rp 200.000
Rp 150.000
Rp 35.700
Tahun Ke-1
140
15
30
Tahun Ke-2
0
1
4
Tahun Ke-3
0
1
5
Tahun Ke-4
0
1
5
Tahun Ke-5
0
1
5
Tahun Ke-6
0
2
10
Tahun Ke-7
0
2
10
Tahun Ke-8
0
2
10
Tahun Ke-9
0
2
10
Tahun Ke-10
0
2
10
Tahun Ke-11
0
2
10
Tahun Ke-12
0
2
10
Tahun Ke-13
0
2
7.5
Tahun Ke-14
0
2
7.5
Tahun Ke-15
0
2
7.5
Tahun Ke-16
0
3
7.5
Tahun Ke-17
0
3
7.5
Tahun Ke-18
0
3
7.5
Tahun Ke-19
0
3
7.5
Tahun Ke-20
0
3
7.5
Tahun Ke-21
0
3
7.5
Tahun Ke-22
0
3
7.5
Tahun Ke-23
0
3
7.5
Tahun Ke-24
0
3
7.5
Tahun Ke-25
0
3
7.5
Tahun Ke-26
0
3
7.5
Tahun Ke-27
0
3
7.5
Tahun Ke-28
0
3
7.5
Tahun Ke-29
0
3
7.5
Tahun Ke-30
0
3
7.5
0 0 0 0 0 300 300 375 375 450 450 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600 600
(Sumber : Survey 2007)
51
Lampiran 11. Data jumlah petani di Provinsi Sulawesi Selatan Nama Kabupaten Wajo Tana Toraja Takalar Soppeng Sinjai Sidenreng Rappang Selayar Polewali Mamasa Pinrang Pangkajene Kepulauan Mamuju Majene Luwu Jeneponto Enrekang Bulukumba Bone Barru Bantaeng Maros Gowa
Produksi Cengkeh (kg/ha) 1,22 0,74 0,00 0,38 19,07 1,71 1,87 0,21 0,45 0,02 0,24 1,83 2,02 0,72 1,30 29,25 3,91 5,24 7,25 0,01 1,04
(Sumber : Badan Pusat Statistik 2008)