EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KECAMATAN SELOPURO KABUPATEN BLITAR Farkhatul Layli Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik lahan dan mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar. Metode penelitian ini adalah metode survei, pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan di lapangan, uji laboratorium, dokumentasi dan pengukuran di lapangan. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan cara tumpang susun (overlay) Peta Jenis Tanah, Peta Kemiringan Lereng, dan Peta Penggunaan Lahan. Metode analisis dalam penelitian ini adalah pembandingan (matching). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik lahan di Kecamatan Selopuro yaitu: temperatur/suhu rata-rata 26,6 oC, curah hujan 2091 mm, lamanya masa kering rata-rata 3,5 bulan, kelembaban 80%, drainase baik, tekstur tanah sedang (lempung, lempung berdebu), halus (liat), agak kasar (lempung berpasir), bahan kasar < 15 %, kedalaman efektif tanah > 100 cm, KTK Liat > 16, kejenuhan basa > 30%, pH tanah 5,9–6,7, C-organik < 0,8%, lereng < 8% , tingkat bahaya erosi sangat rendah/sangat ringan, batuan di permukaan < 5 % dan singkapan batuan < 5 %. Kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman kakao di Kecamatan Selopuro adalah S3 (sesuai marginal) pada semua unit lahan yaitu K.a.3, K.b.1, L.a.2, T.b.1. Kata kunci: evaluasi kesesuaian lahan, tanaman kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara.Mengingat peranan perkebunan kakao yang sangat penting tersebut, maka harus dilakukan peningkatan baik dalam hal produksi maupun kualitas produk yang dihasilkan. Hal tersebut bermanfaat juga untuk mendorong pertumbuhan perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya bagi pekebun kakao. Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 penghasil kakao dengan jumlah produksi pada tahun 2010 sebesar 850.000 ton, namun sebanyak 78,5% kakao yang dihasilkan diekspor dalam bentuk biji kakao yang belum difermentasi, sehingga memiliki kualitas dan harga yang rendah. Salah satu penyebabnya adalah pabrik pengolahan kakao yang ada di Indonesia sangat terbatas. Jawa Timur hanya memiliki satu pabrik pengolahan kakao yaitu di Surabaya, dan masih ada satu pabrik lagi yang sedang dalam tahap pembangunan di Blitar. Pembangunan pabrik pengolahan kakao tersebut memberikan peluang bagi Kabupaten Blitar untuk mengembangkan komoditas kakao. Selain itu dalam rentang dua tahun (2011-2012) Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan menambah area penanaman komoditas kakao seluas 5.000 ha. Pengembangan tersebut difokuskan di wilayah selatan Jawa Timur termasuk Kabupaten Blitar untuk meningkatkan jumlah produksi komoditas kakao. 1
Perkebunan kakao di Kabupaten Blitar sudah dikembangkan dengan total produktifitas kakao di Kabupaten Blitar pada tahun 2010 sebesar 713,02 kg/ha/th dengan luas lahan 2.325 ha. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Wates dengan jumlah produksi kakao tertinggi yaitu 191,7 ton, diikuti Kecamatan Udanawu sebesar 103,9 ton, dan Kecamatan Ponggok sebesar 82,6 ton, sedangkan Kecamatan Selopuro dengan luas wilayah sebesar 39,29 km2 memiliki luas perkebunan sebesar 14 ha dan jumlah produksi kakao sebesar 6,4 ton (Blitar dalam angka, 2010: 280). Perkebunan kakao di Kecamatan Selopuro merupakan perkebunan rakyat dan belum dikembangkan dalam bentuk perkebunan yang lebih besar yaitu hanya ditanam biasa di halaman atau kebun dan tegalan. Pengembangan budidaya kakao ini harus disesuaikan antara syarat tumbuh dengan karakteristik lahan, karena setiap penggunaan lahan memiliki syarat yang berbeda-beda. Tingkat kesesuaian suatu lahan untuk tanaman kakao berpengaruh terhadap produktifitas kakao, dan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesesuaian lahan di Kecamatan Selopuro untuk tanaman kakao perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi kesesuaian lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk penggunaan tertentu, dalam hal ini yaitu untuk pengembangan perkebunan kakao. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kakao digunakan sebagai pertimbangan dalam mengembangkan dan meningkatkan produktifitas kakao di Kecamatan Selopuro. Peningkatan hasil produksi kakao ini sangat penting karena peluangnya sangat besar, mengingat kebutuhan biji kakao dunia belum dapat tercukupi sehingga wilayahwilayah yang berpotensi untuk dilakukan budidaya kakao harus dikembangkan. Penentuan potensi suatu wilayah dalam hal ini adalah potensi pengembangan perkebunan kakao memerlukan penilaian kesesuaian lahan karena perkebunan kakao yang dikembangkan di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar belum berdasarkan kesesuaian lahan. Berlatar belakang dari pengembangan komoditas tanaman kakao di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar dan pentingnya evaluasi kesesuaian lahan maka penelitian ini mengkaji tentang karakteristik lahan di Kecamatan Selopuro dan menentukan tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman kakao di wilayah tersebut. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode survei. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, sedangkan teknik pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi, uji laboratorium, pengukuran di lapangan, dan wawancara. Objek yang digunakan berdasarkan dari hasil tumpang susun (overlay) tiga jenis peta yaitu peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, dan peta jenis tanah. Hasil tumpang susun tersebut akan menghasilkan peta unit lahan. Berdasarkan peta unit lahan dapat ditentukan titik sampel satuan lahan menggunakan teknik purposive sampling. Analisis data yang digunakan adalah pembandingan (matching) antara karakteristik lahan dengan kriteria kelas kesesuaian lahan. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di lahan yang ada di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar yang memiliki luas 39,29 km2. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan antara lain: Software ESRI ArcGIS 9.3, Alat tulis, Plastik, Bor tanah, Meteran, Abney level, Kamera, GPS (Global Posisitioning System). 2
Subyek dan Objek Penelitian 1. Subjek Subjek penelitian ini adalah lahan perkebunan, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar. 2. Objek Objek dalam penelitian ini adalah satuan unit lahan yang didapatkan dari hasil tumpang susun (overlay) tiga jenis peta yaitu peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, dan peta jenis tanah. Hasil tumpang susun menghasilkan peta satuan unit lahan yang dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan Objek penelitian. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Hasil dari overlay dan pengambilan sampel menggunakan purposive sampling terdapat empat unit lahan yaitu unit lahan K.a.3, K.b.1, L.a.2, dan unit lahan T.b.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil dari overlay tersebut didapatkan enam belas unit lahan yang keterangannya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Unit Lahan Wilayah Kecamatan Selopuro No.
Unit Lahan
Jenis Tanah
1 P.a.2 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts 2 P.a.3 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts 3 P.b.1 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 4 P.b.2 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 5 P.c.2 Dystropepts, Tropodults, Troporthents 6 S.a.1 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts 7 S.a.2 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts 8 S.b.1 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 9 S.b.2 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 10 S.c.2 Dystropepts, Tropodults, Troporthents 11 K.a.2 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts 12 K.a.3 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts 13 K.b.2 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 14 T.b.1 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 15 T.b.2 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts 16 L.a.2 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts (Sumber: Analisis Data 2012) Keterangan: P = Permukiman S = Sawah Irigasi K = Perkebunan T = Sawah Tadah Hujan L = Tegalan/Ladang a = Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts b = Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts c = Dystropepts, Tropodults, Troporthents 1 = Kemiringan Lereng 0-2% 2 = Kemiringan Lereng 2-15% 3 = Kemiringan Lereng 15-40%
3
Kemiringan Lereng 2-15 % 15-40 % 0-2 % 2-15 % 15-40 % 0-2 % 2-15 % 0-2 % 2-15 % 2-15 % 2-15 % 15-40 % 2-15 % 0-2 % 2-15 % 2-15 %
Penggunaan Lahan Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Sawah irigasi Sawah irigasi Sawah irigasi Sawah irigasi Sawah irigasi Perkebunan Perkebunan Perkebunan Sawah tadah hujan Sawah tadah hujan Tegalan/ladang
Dari semua unit lahan tersebut dilakukan pemilihan sampel untuk penelitian menggunakan teknik purposive sampling, sehingga diperoleh empat sampel yaitu K.a.1, K.b.3, L.a.2, dan T.b.1, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.2 sebagai berikut: Tabel 1.2 Sampel Penelitian di Kecamatan Selopuro Sampel
Unit lahan
Jenis tanah
Sampel 1 K.a.3 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts Sampel 2 K.b.1 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts Sampel 3 L.a.2 Ustropepts, Tropaquepts, Chromusterts Sampel 4 T.b.1 Dystrandepts, Tropodults, Eutropepts (Sumber: Analisis Data 2012)
1.
Kemiringan Lereng
Penggunaan lahan
15-40 % 0-2 % 2-15 % 0-2 %
Perkebunan Perkebunan Ladang/tegalan Sawah tadah hujan
Titik pengambilan sampel Desa Ploso Desa Popoh Desa Popoh Desa Popoh
Karakteristik lahan di Kecamatan Selopuro Karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karakteristik lahan yang dapat mewakili kualitas lahan yaitu, temperatur (tc), ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), retensi hara (nr), bahaya erosi (eh), bahaya banjir (fh) dan penyiapan lahan (lp). Penentuan nilai-nilai karakteristik lahan yang berhubungan dengan kedalaman tanah seperti tekstur, Kapasitas Tukar Kation (KTK), reaksi tanah atau derajat keasaman (pH), C-organik, dan Kejenuhan basa (KB) disesuaikan dengan kedalaman zone perakaran dari tanaman yang dievaluasi, untuk berbagai tanaman tahunan yang berakar tunggang (dikotil) perlu lebih dalam biasanya sampai kedalaman antara 60 sampai 100 cm (Djaenudin, 2003: 4). Berdasarkan hal tersebut, maka sampel tanah yang diambil dalam penelitian ini adalah tanah yang berada pada kedalaman antara 60 sampai 100 cm, karena tanaman kakao merupakan tanaman tahunan. Berikut ini adalah karakteristik lahan di daerah penelitian:
4
Tabel 1.3 Karakteristik Masing-Masing Unit Lahan di Daerah Penelitian Hasil Pengukuran Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan
K.a.3
K.b.1
L.a.2
T.b.1
Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C)
26,6oC
26,6oC
26,6oC
26,6oC
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Lamanya masa kering (bln) Kelembaban (%)
2093,6 3,5 80
2093,6 3,5 80
2093,6 3,5 80
2093,6 3,5 80
Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Baik
Baik
Baik
Baik
Sedang 0 150
Halus 0 120
Sedang 0 115
Agak kasar 0 167
34,01 43 6,5 0,50
37,06 30 6,6 0,15
17,75 65 5,9 0,68
25,09 34 6,7 0,07
5 Sangat rendah
4 Sangat rendah
5 Sangat rendah
2 Sangat rendah
0 0
0 0
0 0
3 3
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman efektif tanah (cm) Retensi hara (nr) KTK liat (me/100g) Kejenuhan basa (%) pH C-organik (%) Bahaya erosi (eh) Kemiringan lereng (%) Tingkat bahaya erosi Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Batuan tersingkap (%) (Sumber: Analisis Data 2012)
2.
Tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Kecamatan Selopuro Tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Kecamatan Selopuro dapat diketahui setelah dilakukan pembandingan (matching) antara karakteristik lahan di Kecamatan Selopuro dengan syarat tumbuh tanaman kakao. Karakteristik lahan di Kecamatan Selopuro dapat diketahui melalui pengamatan dan pengukuran di lapangan, uji laboratorium, serta melalui dokumentasi. Menurut Rayes, 2006:141, metode matching untuk nilai kesesuaian lahan adalah dengan membandingkan kelas kesesuaian lahan didasarkan pada nilai terendah (terberat) sebagai faktor pembatas dalam evaluasi kesesuaian lahan. Pada metode faktor pembatas, setiap sifat-sifat lahan atau kualitas lahan disusun berurutan mulai yang terbaik (yang memiliki pembatas paling rendah) hingga yang terburuk atau yang terbesar penghambatnya, sehingga faktor pembatas terkecil untuk kelas terbaik dan faktor pembatas terbesar untuk kelas terburuk. Hasil dari pembandingan (matching) tersebut yaitu kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Kecamatan Selopuro adalah S3 (sesuai marginal). Kelas S3 tersebut dapat diartikan bahwa lahan memiliki faktor pembatas yang berat, dan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut memerlukan modal yang tinggi. Perincian mengenai hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Kecamatan Selopuro ada pada Tabel 1.4. 5
Tabel 1.4 Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Kecamatan Selopuro Kelas kesesuaian lahan Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan K.a.3 K.b.1 L.a.2 T.b.1 Nilai Kelas Nilai Kelas Nilai Kelas Nilai Kelas Temperatur (tc) Temperatur rerata (°C) 26,6oC S1 26,6oC S1 26,6oC S1 26,6oC S1 Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Lamanya masa kering (bln) Kelembaban (%)
2093,6 3,5 80
S1 S3 S1
2093,6 3,5 80
S1 S3 S1
2093,6 3,5 80
S1 S3 S1
2093,6 3,5 80
S1 S3 S1
Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Baik
S1
Baik
S1
Baik
S1
Baik
S1
Tekstur
Sedang
S1
Halus
S1
Sedang
S1
Bahan kasar (%) Kedalaman efektif tanah (cm)
0 150
S1 S1
0 120
S1 S1
0 115
S1 S1
Agak kasar 0 167
Retensi hara (nr) KTK liat (me/100g) Kejenuhan basa (%) pH C-organik (%)
34,01 43 6,5 0,50
S1 S1 S1 S3
37,06 30 6,6 0,15
S1 S2 S1 S3
17,75 65 5,9 0,68
S1 S1 S2 S3
25,09 34 6,7 0,07
S1 S2 S1 S3
5 Sangat rendah
S1
4 Sangat rendah
S1
5 Sangat rendah
S1
2 Sangat rendah
S1
Media perakaran (rc)
Bahaya erosi (eh) Kemiringan lereng (%) Tingkat bahaya erosi
S1
S1
S1
S1 S1 S1
S1
Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) 0 S1 0 S1 0 S1 3 S1 Batuan tersingkap (%) 0 S1 0 S1 0 S1 3 S1 Kelas Kesesuaian Lahan S3 S3 S3 S3 Sub Kelas Kesesuaian Lahan S3wa, S3nr S3wa, S3nr S3wa, S3nr S3wa, S3nr Unit Kesesuaian Lahan S3wa-2, S3nr-4 S3wa-2, S3nr-4 S3wa-2, S3nr-4 S3wa-2, S3nr-4 (Sumber: Analisis Data, 2012) Keterangan: S1 : Sangat Sesuai S2 : Cukup Sesuai S3 : Sesuai Marginal S3wa : Kelas sesuai marginal dengan faktor pembatas ketersediaan air S3nr : Kelas cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi hara S3wa-2 : Kelas sesuai marginal dengan faktor pembatas retensi hara untuk lamanya masa kering S2nr-4 : Kelas cukup sesuai dengan faktor pembatas retensi hara untuk C-organik
6
Pembahasan Berdasarkan Tabel 5.19 tersebut dapat diketahui bahwa unit-unit lahan tersebut memiliki tingkat klasifikasi kesesuaian kelas S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan S3 (sesuai marginal). Faktor pembatas dari masing-masing unit lahan antara lain: kejenuhan basa, pH, lamanya masa kering, dan C-organik. Faktor pembatas yang terberat adalah lamanya masa kering, dan C-organik. Berikut adalah penjelasan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di daerah penelitian: 1. Kelas Sesuai Marginal (S3) Unit lahan yang memiliki tingkat kesesuaian kelas sesuai marginal (S3) adalah K.a.3, K.b.1, L.a.2, T.b.1, yaitu dengan faktor pembatas lamanya masa kering dan Corganik. Faktor pembatas tersebut termasuk dalam kualitas lahan ketersediaan air dan retensi hara. a. Faktor pembatas lamanya masa kering Semua unit lahan yaitu K.a.3, K.b.1, L.a.2, T.b.1 memiliki rata-rata lamanya masa kering yang sama yaitu 3,5 bulan. Menurut Djaenudin, 2003:183, lama masa kering antara 3-4 bulan termasuk pada kelas kesesuaian S3 (sesuai marginal). Faktor pembatas lamanya masa kering tersebut dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan selalu beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat (Kabupaten Blitar dalam Angka, 2011: 45). Rupa permukaan daratan (geomorfologi) dan ketinggian tempat (altitude) akan mempengaruhi iklim. Pegunungan dapat berperan sebagai penghalang fisik pergerakan angin. Akibatnya akan terjadi curah hujan yang relatif tinggi pada sisi pegunungan yang menghadang angin (Lakitan, 2002: 22). Kecamatan Selopuro memiliki morfologi dataran dan jauh dari pegunungan. Oleh karena itu Kecamatan Selopuro memiliki masa kering yang cukup panjang. Secara umum, untuk wilayah Indonesia di sekitar garis ekuator dicirikan oleh musim kemarau yang singkat dan musim hujan yang panjang. Musim kemarau secara berangsur-angsur menjadi lebih panjang untuk wilayah yang lebih jauh dari garis ekuator ke arah selatan dan tenggara (Lakitan, 2002: 135). Kecamatan Selopuro memiliki curah hujan rata-rata yang cukup tinggi yaitu 2093,6 mm. Curah hujan tersebut tidak tersebar secara merata pada tiap-tiap bulan, selain itu pengaruh letak Kecamatan Selopuro yang jauh dari garis ekuator juga mempengaruhi lamanya masa kering. Rata-rata Kecamatan Selopuro selama 3,5 bulan mengalami bulan kering atau memiliki curah hujan < 60 mm. Selain itu berdasarkan perbandingan rata-rata bulan kering dengan rata-rata bulan basah menunjukkan bahwa unit-unit lahan tersebut termasuk tipe iklim C, yaitu daerah dengan kriteria agak basah. Berdasarkan tipe iklim, kakao sangat ideal ditanam pada daerah-daerah dengan tipe iklim B menurut Schmidt dan Fergusson (Siregar, 2011: 40). Sehingga faktor pembatas ketersediaan hujan untuk parameter lamanya masa kering diklasifikasikan ke dalam kelas sesuai marginal (S3). b. Faktor pembatas C-organik Faktor pembatas ke dua dengan kategori kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) adalah C-organik. Nilai C-organik menunjukkan kandungan bahan organik dalam tanah, bahan organik berperan dalam menyediakan sumber makanan bagi tumbuhan. Jumlah C-organik berdasarkan hasil uji laboratorium pada semua unit lahan sangat rendah yaitu kurang dari 0,8%. Menurut Djaenudin, 2003:183, C-organik < 0,8% termasuk pada kelas kesesuaian S3 (sesuai marginal). Hal tersebut juga dijelaskan oleh Siregar, dkk, 7
2011:45, yang menyatakan bahwa zat organik pada lapisan tanah setebal 0-15 cm sebaiknya lebih dari 3%. Kadar tersebut setara dengan 1,75% unsur karbon yang dapat menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur. 2. Kelas S2 (cukup sesuai) a. Faktor pembatas kejenuhan basa (KB) Faktor pembatas ke dua adalah kejenuhan basa, unit lahan K.b.1 dan T.b.1 memiliki nilai kejenuhan basa rendah yaitu 30% dan 34% sehingga berdasarkan kriteria kesesuaian Djaenudin, 2003:189, diklasifikasikan ke dalam kategori kelas cukup sesuai (S2). Nilai kejenuhan basa yang rendah menunjukkan tanah memiliki tingkat kesuburan rendah. Berdasarkan hasil uji laboratorium, dapat diketahui bahwa jumlah KB rendah karena memiliki jumlah basa yang rendah. Jumlah KB pada unit lahan K.b.1 dan T.b.1 lebih rendah dibandingkan dua unit lahan lainnya yaitu 11,14 dan 8,45. Faktor yang menyebabkan jumlah basa rendah pada unit lahan K.b.1 adalah jumlah Na yaitu sebesar 0,34 me/100g, sedangkan pada unit lahan T.b.1 adalah K dengan jumlah 0.01 me/100g. b. Faktor pembatas pH Faktor pembatas ke tiga adalah pH yang terdapat pada unit lahan L.a.2 yaitu sebesar 5,9. Sementara besarnya pH yang dikehendaki oleh tanaman kakao menurut Djaenudin, 2003:189 berkisar antara 6 – 7, sehingga diklasifikasikan dalam kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai). Siregar, dkk, 2011: 44, juga mengatakan bahwa tanaman cokelat dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki keasaman (pH) 6-7,5, tidak lebih tinggi dari 8, serta tidak lebih rendah dari 4. Besarnya pH menunjukkan tingkat keasaman tanah, semakin tinggi tingkat keasaman tanah semakin tinggi pula bahan organik. Akan tetapi tingkat keasaman yang terlalu tinggi akan mengurangi kesuburan tanah. Selain menunjukkan tingkat keasaman tanah, pH juga menunjukkan adanya unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Tanah dengan pH yang rendah mengindikasikan tanah tersebut mangandung unsur alumunium yang bersifat racun dan mengikat phosfor sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. pH rendah mengindikasikan bahwa tingkat kemasaman tanah tinggi dan Corganik juga tinggi. Perlu diketahui bahwa besar pH di unit lahan L.a.2 adalah 5,9 dengan jumlah C-organik 0,68%. Jumlah C-organik pada unit lahan ini adalah jumlah yang paling besar di antara unit lahan lainnya. Besarnya jumlah C-organik tersebut menyebabkan tingkat kemasaman semakin tinggi atau pH rendah, karena semakin banyak ion H+ yang dilepas oleh bahan organik yang berasal dari proses dekomposisi bahan organik . Faktor-faktor pembatas pada masing-masing unit lahan tersebut harus diatasi dengan cara dilakukan perbaikan sehingga semua unit lahan dapat digunakan untuk budidaya tanaman kakao. Faktor pembatas yang harus segera diatasi adalah faktor pembatas terberat. Menurut Rayes (2006:186), usaha perbaikan terdiri dari tiga tingkat pengelolaan: a. Tingkat pengelolaan rendah: pengelolaan dapat dilakukan oleh petani dengan biaya yang relatif rendah. b. Tingkat pengelolaan sedang: pengelolaan dapat dilakukan pada tingkat petani menengah, memerlukan modal yang cukup besar dan teknik pertanian sedang.
8
c. Tingkat pengelolaan tinggi: pengelolaan hanya dapat dilakukan dengan modal yang relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar, atau menengah. Berikut ini adalah upaya-upaya untuk mengatasi faktor-faktor pembatas pada masing-masing unit lahan: 1. Usaha perbaikan pada kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) a. Faktor pembatas lamanya masa kering Faktor pembatas lamanya masa kering dapat diperbaiki melalui pembuatan saluran irigasi atau pengairan. Cara ini juga dimaksudkan untuk bisa menjaga ketersediaan air pada bulan-bulan kering, sehingga tanaman kakao tidak mengalami kekeringan. Cara tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari S3 (sesuai marginal) menjadi S2 (cukup sesuai) dengan tingkat pengelolaan sedang. b. Faktor pembatas C-organik Kandungan bahan organik ditentukan berdasarkan jumlah C-organik, bahan organik tersebut sangat berperan secara fisik, kimia, dan biologis dalam menentukan tingkat kesuburan tanah. Faktor pembatas C-organik ini dapat diatasi dengan pemberian bahan organik berupa pupuk organik. Pupuk organik tersebut dapat berupa pupuk kompos dan pupuk kandang. Pupuk kompos berasal dari hasil pengolahan sisa-sisa tanaman yang mengandung banyak mikroorganisme. Sementara pupuk kandang berasal dari hasil pengolahan kotoran hewan. Berdasarkan penelitian Hanafiah (dalam Hanafiah, 2007: 181) bahwa pupuk kandang dari kotoran ayam 20 ton/ha dapat meningkatkan nilai Corganik 0,43%. Usaha meningkatkan kadar zat organik dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan serasah sisa pemangkasan maupun pembenaman buah cokelat. Kulit buah cokelat sebagai mengandung zat organik sebanyak 900 kg/ha, dan dapat memberikan hara yang setara dengan 29 kg urea, 9 kg RP, 56,6 kg MoP, dan 8 kg kieserit. Daun dari tanaman penaung seperti gliricida, juga mampu menambahkan unsur hara. Sebanyak 1.990 kg/ha/tahun daun gliricida yang jatuh memberikan hara nitrogen sebesar 40,8 kg/ha, fosfor 1,6 kg/ha, kalium 25 kg/ha, dan magnesium 9,1 kg/ha (Siregar,dkk, 2011: 46). Pemberian pupuk organik tersebut bermanfaat untuk menggemburkan lapisan tanah di permukaan, meningkatkan populasi jasad renik, dan mempertinggi daya serap dan daya simpan air. Hal tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari S3 (sesuai marginal) menjadi S2 (cukup sesuai) dengan tingkat pengelolaan rendah. Pengelolaan lahan dengan tingkat pengelolaan tinggi dapat meningkatkan dua kelas dari S3 (sesuai marginal) menjadi S1 (sangat sesuai). 2. Usaha perbaikan pada kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) a. Faktor pembatas kejenuhan basa Kejenuhan Basa (% KB) adalah perbandingan antara kadar kation basa dengan KTK efektif (Hanafiah, 2007:147). Usaha perbaikan dalam meningkatkan kejenuhan basa dalam tanah adalah dengan cara menambah unsur asam dalam tanah. Unsur asam dalam tanah dapat ditingkatkan dengan cara pemberian kapur, supaya kejenuhan basa meningkat. Nilai kejenuhan basa yang dibutuhkan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari kelas cukup sesuai (S2) menjadi kelas sangat sesuai (S1) adalah > 35%. Dengan demikian penambahan kapur yang dibutuhkan untuk tambahan 10% 9
kejenuhan basa adalah 1 ton CaCO3 100 ha-1 dengan asumsi tanah 2000 ton/hektar (Hanafiah, 2005: 163). Upaya lain adalah dengan penambahan bahan organik yang didapatkan dari pemupukan, baik pupuk kandang, pupuk hijau atau pupuk kompos. Pemberian bahan organik tersebut dapat meningkatkan jumlah kejenuhan basa karena bahan organik berkaitan dengan KTK, dan KTK juga mempengaruhi besar kecilnya kejenuhan basa. Meningkatnya jumlah kejenuhan basa pada unit lahan K.b.1 dan T.b.1 dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari S2 (cukup sesuai) menjadi S1 (sangat sesuai). b. Faktor pembatas pH Unit lahan L.a.2 memiliki pH sebesar 5,9, dengan pH tersebut tanaman kakao tidak dapat tumbuh dengan baik karena tanaman kakao menghendaki pH antara 6-7. Meningkatkan pH dapat dilakukan dengan cara pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al. Kadar Ca dan Mg dapat dinaikkan dengan memberikan dapat diberikan dolomit, selain meningkatkan pH tanah pemberian kapur juga dapat meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al. Dosis kapur disesuaikan dengan pH tanah, umumnya sekitar 3 ton/ha, berkisar antara 1-5 ton/ha. Kapur yang baik adalah kapur magnesium atau dolomit yang dapat sekaligus menyuplai Ca dan Mg (Maspary, 2011). Meningkatnya pH akan meningkatkan kesuburan tanah karena unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman menjadi menurun. Usaha perbaikan pH tersebut dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan dari S2 (cukup sesuai) menjadi S1 (sangat sesuai) dengan tingkat pengelolaan sedang. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kakao (Theobroma cacao, L) di Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik lahan di Kecamatan Selopuro yaitu: temperatur/suhu rata-rata 26,6 oC, curah hujan 2093,6 mm, lamanya masa kering rata-rata 3,5 bulan, kelembaban 80%, drainase baik, tekstur tanah sedang (lempung, lempung berdebu), halus (liat), agak kasar (lempung berpasir), bahan kasar < 15 %, kedalaman efektif tanah > 100 cm, KTK Liat > 16, kejenuhan basa > 30%, pH 5,9–6,7, C-organik < 0,8%, lereng < 8% , tingkat bahaya erosi sangat rendah/sangat ringan, batuan di permukaan < 5 %, dan batuan tersingkap < 5 %. 2. Kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman kakao di Kecamatan Selopuro pada unit lahan K.a.3, K.b.1, L.a.2, T.b.1 tergolong dalam klasifikasi tingkat kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal). Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka penelitian ini memberikan informasi dan saran untuk pemanfaatan lahan Kecamatan Selopuro khususnya untuk pembudidayaan tanaman kakao, diantaranya sebagai berikut: 1. Melakukan penanganan terhadap karakteristik lahan yang menjadi faktor penghambat bagi pertumbuhan tanaman kakao. 10
2.
3.
Masyarakat dapat memanfaatkan lahan untuk budidaya tanaman kakao dengan tetap memperhatikan pengelolaan lahan yang sesuai dengan kesesuaian lahan. Masyarakat, sebelum melakukan budidaya tanaman kakao hendaknya memperhatikan karakteristik lahan yang sesuai untuk tanaman kakao serta cara pembudidayaan yang tepat. Bagi pemerintah daerah yaitu supaya dapat mendukung kegiatan budidaya tanaman kakao dengan cara memberikan bantuan modal, menyediakan bibit unggul, serta melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yang secara tidak langsung juga dapat meningkatkan pendapatan daerah.
DAFTAR RUJUKAN . 2011. Jatim Kekurangan Pabrik Pengelolah Kakao (Online), (http://mediarakyatonline.com/jatim-kekurangan-pabrik-pengelolah-kakao.html), diakses 08 Januari 2012. ____ . 2011. Jatim Tambah Lahan Kakao Hingga 5.000 hektare (Online), (http://jpmi.or.id/2011/11/12/jatim-tambah-lahan-kakao-hingga-5-000hektare/kebun-kakao/), diakses 08 Januari 2012. ____ . 2011. Tanah-tanah di Indonesia. (Online), (http://fandicka.blog.com/2011/03/25/tanah-tanah-di-indonesia/), diakses 10 Juli 2012. ____ . Kakao (Online), (http://www.disbun.jabarprov.go.id/assets/.../Budidaya%20Tan.%20Kakao.d...), diakses 10 Juli 2012. Abdissalam, dkk. 2009. Identifikasi Gunung Api Purba Karangtengah di Pegunungan Selatan Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Indonesia.(4): 253-267. Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah Dan Air. Bogor: IPB Press. Badan Perijinan Dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Timur. 2009. Prospek Menggiurkan Investasi Budidaya Kakao. Kalimantan Timur. BPS Kabupaten Blitar. 2010. Kecamatan Selopuro dalam Angka 2010. Blitar: Cipta Indah Blitar. Buringh, P. 1991. Pengantar Pengkajian Tanah-Tanah Wilayah Tropika dan Subtropika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Darmawijaya,M. Isa. 1992.Klasifikasi Tanah Dasar. Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Dinas PU Bina Marga dan Pengairan. 2011. Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Blitar Tahun 2001-2011. Blitar: Kantor PU Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Blitar. Djaenudin, Marwan H., H. Subagyo, Mulyani, Anny., Suharta. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Jakarta: Pusat penelitian tanah dan agroklimat, badan pengembangan penelitian dan pengembangan pertanian. Foth, Henry D. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Oleh Endang Dwi Purbayanti, Dwi Retno Lukiwati, Rahayuning Trimulatsih, Editor Sri Andayani B. Hudoyo. Gajahmada University Press, edisi ketujuh, 718pp. Hanafiah, Ali, Kemas. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hardjowigeno, Sarwono. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: CV AKADEMIKA PRESSINDO Kabupaten Blitar Dalam Angka 2011. 2011. Blitar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar. ____
11
Lakitan, benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Maspary. 2011. Mengatasi Tanah Masam dan Basa, (Online), (http://www.gerbangpertanian.com/2011/11/mengatasi-tanah-masam-dan-basa.html), diakses 28 Juli 2012. Mega, I Made, dkk. 2010. Buku Ajar Klasifikasi Tanah dan Kesesuaian Lahan. Denpasar: Universitas Udayana. Mega. 2011. Fotosintesis Tumbuhan C3, C4, dan CAM. (Online), (http://20de.wordpress.com/2011/11/30/fotosintesis-tumbuhan-c3-c4-dan-cam/), diakses 05 Agustus 2012. Narbuko, Kholid dan Achmadi, Abu. 2001. Metodologi Penelitian: Memberikan Bekal Teoritis pada Mahasiswa Tentang Metodologi Penelitian serta Diharapkan Dapat Melaksanakan Penelitian dengan Langkah-Langkah yang Benar. Jakarta: Bumi Aksara. Nasution, S. 2002. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara Nurmaningsih, Mitha rokh, 2010. Evalusi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Sengon (Albizia Falcataria) pada Tanah Regosol di Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM Panduan Praktis Budidaya Kakao (Theobroma cacao). 2008. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian: Bogor. Petunjuk Teknis Konservasi Lahan dan Air. 2007. Balai Besar LITBANG Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Rayes, M. Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: ANDI. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten Blitar Tahun 2008-2028. 2008. Blitar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar. Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Siregar, T.HS., S, Riyadi dan L, Nuraeni. 2011. Budidaya Cokelat. Jakarta: Penebar Swadaya. Sitorus, santun. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito. Tjasjono, Bayong. 2004. Klimatologi Umum. Bandung: Penerbit ITB. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Malang: UM. Viber. 2008. Syarat Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Kakao, (Online), (http://viber.wordpress.com/budidaya-kakao/syarat-pertumbuhan-danperkembangbiakan-kakao/), diakses 19 Juli 2012. Widodo, Wahyu, dkk. Inventarisasi dan Evaluasi Mineral Logam di Pegunungan Selatan Jawa Timur (Kabupaten Pacitan, Dll), (Online), (http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=268& Itemid=30
12
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KECAMATAN SELOPURO KABUPATEN BLITAR
ARTIKEL
OLEH FARKHATUL LAYLI NIM 108821417249
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN GEOGRAFI AGUSTUS 2012 13