TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Kambing PE Kambing merupakan ruminansia kecil berasal dari Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalur utama. Afganistan
Pertama, dari Persia dan
melalui Turkestan ke Mongolia atau China
Utara, yang
dinamakan lintasan Sutera yang terjadi sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi (SM). Kedua, dari anak benua India, kambing ini menyebar kepulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan seterusnya ke Jepang. Kambing asli lndonesia yang dikenal dengan kambing Kacang tersebar dipulau-pulau lndonesia terutama Jawa dan Sumatera (Devendra dan Nozawa, 1976). Rumich (1967), menyatakan bahwa kambing Jamnapari di lndonesia dikenal dengan sebutan kambing Etawah yang diimpor dari India pada permulaan tahun 1920 dan bangsa kambing ini berkembang sangat luas terutama dipulau Jawa. Ciri-ciri kambing Etawah ini adalah mempunyai daun telinga yang panjang dan dapat mencapai 25 sampai dengan 31 cm, dengan tinggi 70 sampai dengan 100 meter dan bobot badan sekitar 40 sampai dengan 45 kg dan kepalanya agak kecil.
Jantan mempunyai
tanduk, pada betina kadang-kadang juga terdapat tanduk. Profil mukanya cembung terutama pada jantan, leher panjang dan tebal, garis punggung lurus atau cembung, pinggulnya lebar dan ekornya kecil dan tegak (Rumich, 1967).
Kambing Etawah dikenal sebagai tipe dwiguna, karena dapat
menghasilkan daging maupun susu dengan produksi per hari 2,2 sampai dengan 2,7 kg. Penyebaran kambing Etawah ini sangat meluas terutama di
Jawa Tengah dan Timur (Sutama, 1995). Adapun maksud dari penyebaran kambing-kambing Etawah ini yaitu supaya terjadi perkawinan silang dengan kambing-kambing lokal (Kacang).
Dengan adanya perkawinan silang ini,
maka diharapkan hasil persilangan ini akan menghasilkan mutu performans produksi dan reproduksi yang lebih tinggi. Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing Kacang (Merkel dan Subandriyo, 1997). Persilangan ini telah berjalan sejak lama akan tetapi tidak diketahui secara jelas seberapa jauh grading up berjalan sehingga terbentuk kambing PE yang
mempunyai
Perbedaan
sifat
sifat-sifat yang
diantara
menyolok
parientainya
pada
kambing
(Rumich, ini
adalah
1967). libido
seksualitasnya yang tinggi (Sitorus dan Triwulaningsih, 1981). Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah merupakan daerah penyebaran dan merupakan sumber utama bibit kambing PE di Indonesia (Sutama, 1995). Lebih lanjut dinyatakannya saat ini kambing PE teiah banyak disebarkan diberbagai daerah dan malahan pada daerah-daerah tertentu sudah sulit ditemukan kambing Kacang murni (Tomaszewska dkk, 1993). Siklus Reproduksi Ternak Kambing Reproduksi dari seekor ternak khususnya betina merupakan suatu proses yang sangat menentukan, sebab dapat mengalami gangguan pada setiap waktu, baik stadium sebelum maupun sesudah siklus estrus atau siklus reproduksinya (Partodihardjo, 1980).
Reproduksi adalah suatu
kemewahan fungsi yang secara fisiologik tidak vital bagi kehidupan individu tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa
ternak (Toelihere, 1981 dan Sutama, 1996).
Lebih lanjut dikatakan oleh
Sitorus dan Triwulaningsih (1981) bahwa penampilan reproduksi dari seekor ternak merupakan suatu ha1 yang sangat penting dalam perbaikan kualitas, karena membantu dalam seleksi untuk mepercepat perbaikan performans. Menurut Setiadi dkk (1985) penampilan reproduksi dipengaruhi oleh iklim dan manajemen seperti pakan, penyakit, pemeliharaan dan penanganan kandang serta umur.
Atau dengan kata lain bahwa penampilan kambing
merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan.
Pubertas Pubertas atau dewasa
kelamin adalah saat dimana
aktivitas
reproduksi dapat berlangsung atau suatu periode dalam kehidupan jantan dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi dan ditandai oleh kemampuan
pertama
memproduksi
benih (Mc Donald, 1989). Pubertas
adalah keadaan mulai berfungsinya alat kelamin dengan normal dan ditandai dengan mulai terlihatnya tanda-tanda estrus (Frost dkk, 1981) serta ovulasi (Hafez, 1993). Umur saat dicapainya pubertas merupakan karakteristik masingmasing spesies.
Kambing PE mencapai pubertas pada umur 10 sampai
dengan 12 bulan (Sutama, 1996).
Pencapaian pubertas dipengaruhi oleh
bangsa dan iklim serta faktor genetik (Hafez, 1993). Lebih lanjut dinyatakan oleh Hafez (1993) bahwa, pencapaian pubertas lebih erat hubungannya dengan bobot badan daripada umur. Jika pertumbuhan dipercepat dengan makanan yang berkualitas baik, maka hewan akan mencapai pubertas pada umur yang lebih awal. Sebaliknya, apabila pertumbuhan diperlambat dengan
mengurangi pemberian makanan, akan mengakibatkan pubertas tertunda. Sutama dkk (1994, 1995) melaporkan bahwa pubertas umumnya dicapai pada berat sekitar 55 sampai dengan 60% sedangkan Broers (1993) 60 sampai dengan 70% dari berat badan dewasa, dan ini erat kaitannya dengan kondisi pakan yang dikonsumsi.
Ternak kambing PE yang diberi pakan
tambahan konsentrat Urea Molases Blok mencapai pubertas 20 hari lebih cepat
dibandingkan
dengan
yang tidak
mendapat pakan tambahan
(Tomaszewska dkk, 199Ia). Sutama dkk (1995) melaporkan bahwa berat badan waktu pubertas kambing PE di stasiun percobaan bervariasi 13,5 sampai dengan 22,5 kg (rataan 18,5) atau 56% dari berat badan dewasa. Toelihere
(1981)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi pubertas diantaranya adalah faktor hereditas dan lingkungan yang meliputi iklim, temperatur dan pakan.
Estrus dan Ovulasi Aktivitas reproduksi ternak betina berlangsung setelah dewasa kelamin dicapai dengan ditandai mulai terlihatnya tanda-tanda estrus. Tanda-tanda estrus yang tampak pada kambing adalah mengembik terus menerus, tidak tenang, ekor digoyang-goyang kesamping, vulva dan vagina merah dan bengkak, keluar cairan, betina siap menerima pejantan untuk kopulasi atau diam bila dinaiki, selera makan berkurang dan produksi susu menurun (Devendra dan Mc Lerol, 1982). Periode estrus merupakan bagian dari siklus yang ditandai dengan keinginan ternak betina untuk menerima pejantan guna melakukan aktivitas kopulasi (Toelihere, 1981), dimana dalam periode ini juga ternak betina menghasilkan sel telur atau ovum yang hidup.
Interval antara saat timbulnya estrus dari satu periode estrus ke periode estrus berikutnya dikenal dengan istilah satu siklus estrus dan sekali dewasa kelamin telah dicapai dan musim bereproduksi telah dimulai maka suatu siklus ritmik yang spesifik akan terjadi pada ternak betina yang tidak bunting (Toelihere, 1981).
Siklus estrus pada kambing menurut Sutama
(1995) 18 sampai dengan 22 hari atau rataan 19 hari sedangkan InterAg (1996) 21 hari (19 sampai dengan 24) dan ovulasi 25 sampai dengan 30 jam sesudah estrus. Namun menurut Howe (1980) sering juga dijumpai ternak mempunyai siklus yang agak panjang (40 hari) dan pendek (8 hari). Camp
dkk (1983) melaporkan hasil penelitiannya dimana dijumpai siklus estrus terpendek yaitu (6.5 2 0.5 hari) pada kambing Nubian. Stagnaro dan Bury (1982) menyatakan bahwa pada kambing muda siklus estrusnya lebih pendek daripada kambing tua ; Siklus estrus pada kambing muda (umur 12 sampai dengan 18 bulan) adalah 19.9 2 3.6 hari sedangkan pada kambing tua adalah 20.6 5 3.6 hari.
Siklus estrus yang pendek ini menurut Hafez
(1993) merupakan ha1 yang abnormal . dan penyebabnya adalah karena terjadinya regresi CL dan ovulasi yang berlangsung prematur. Lebih lanjut dikatakan oleh Camp dkk (1983) abnormal yang terjadi pada siklus estrus ini tidak diketahui dengan pasti penyebabnya. Walaupun setiap spesies mempunyai cici-ciri khas dari pola siklus estrus, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus estrus dilihat dari gejala yang nampak dari luar pada umumnya dibagi atas 4 fase atau periode (Partodihardjo,l980 ; Toelihere, 1981 ; Salisbury dkk, 1985) yaitu : proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Keempat fase ini juga dapat digolongkan kedalam dua fase yaitu folikuler
atau estrogenik (proesterus dan estrus) serta fase luteal atau progestational (metestrus dan diestrus). Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pemacuan pertumbuhan folikel oleh Folicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisa anterior (Salisbury dkk, 1985 dan McDonald, 1989). Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang lebih banyak. Menurut Elmer dkk (1981), cairan folikel menyebabkan ukuran ovum meningkat. Produksi estrogen yang tinggi menyebabkan perkembangan uterus, vagina, oviduk dan folikel-folikel meningkat, serta rneningkatkan suplai darah kedalarn saluran alat kelamin (Elmer dkk, 1981 ; Salisbury dkk, 1985). Pada akhir proses proestrus, estrus dimulai (McDonald, 1989). Fase ini rnerupakan aktivitas penerimaan seksual pada betina (Elmer dkk, 1981), dan lama pelayanan bervariasi (McDonald, 1989). Ovulasi terjadi pada fase ini, CL mulai terbentuk pada saat LH dari hipofisa anterior meningkat dan FSH menurun. Metestrus adalah fase setelah ovulasi, dimana CL mulai berfungsi (McDonald, 1989).
Corpus luteum dipertahankan oleh LTH atau prolaktin
dari hipofisa anterior. sekonyong-konyong.
Metestrus ditandai oleh terhentinya estrus yang Rongga folikel
pengeluaran lendir terhenti.
segera
berangsur
mengecil dan
Selama metestrus, epitel vagina melepaskan
sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dkk, 1985).
Lamanya
fase ini tergantung pada lamanya waktu hipofisa anterior mengsekresikan LTH (Elmer dkk, 1981).
Diestrus adalah periode terakhir dari siklus estrus.
CL berkembang
dengan sempurna, dan pengaruh hormon progesteron tampak pada dinding uterus (Salisbury dkk, 1985). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar uterus meningkat. Kelenjar uterus mengsekresikan cairan yang kental untuk persediaan makanan bagi zigot (McDonald, 1989). Jika terjadi kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dan CL tetap utuh. Kehidupan
CL
selama
kebuntingan
dipertahankan
oleh
LTH
yang
disekresikan oleh placenta. Jika ovum tidak dibuahi dan kebuntingan tidak terjadi, CL akan beregresi (Elmer dkk, 1981).
Regresi CL (luteolisis) terjadi karena
rangsangan bahan luteolitik yang disekresikan oleh hipofisa anterior atau uterus tidak bunting yaitu PGF2a. progesteron segera menurun.
Regresi CL berakibat produksi
Penurunan progesteron menyebabkan
kenaikan FSH. Pertumbuhan folikel dan siklus yang baru dimulai jika musim kawin masih berlangsung dan pada akhir musim kawin ovarium pada hewan yang tidak bunting menjadi tidak berfungsi, begitu juga organ-organ reproduksi lainnya (McDonald,
1989).
Ketika datang musim kawin
berikutnya, ovarium aktif lagi dan siklus yang baru dimulai (Elmer dkk, 1981). Lama estrus kambing menurut Howe (1980) dan Toelihere (1980) serta Hafez (1993) berkisar antara 24 sampai dengan 48 jam.
Sedangkan
menurut Riera (1982) lama estrus berkisar antara 23 sampai 60 jam dengan rataan 36 jam dan Sutama (1995) adalah 25 sampai dengan 40 jam. Lama estrus dari kambing dipengaruhi oleh bangsa, umur, musim dan kehadiran ternak jantan. Estrus berlangsung lebih singkat pada awal dan akhir musim kawin, pada betina muda dan karena adanya pejantan.
Kontrol Hormonal Siklus Estrus Secara umum ada beberapa hormon yang langsung mempengaruhi siklus estrus dari seekor ternak betina yang jika berlebihan atau kekurangan salah satu hormon tersebut, maka akan mengalami gangguan pada siklus tersebut.
Mekanisme hormonal siklus estrus adalah merupakan interaksi
kompleks
dari
berbagai
hormon seperti
gonadotropin,
Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH), prostaglandin, hormon steroid dan faktor-faktor lainnya yang berperan dalam folikulogenesis, ovulasi dan pembentukan CL (Seidel dan Niswender, 1980). Estrus merupakan suatu aktivitas ovarium yang dikontrol oleh kelenjar hipofisa anterior.
Pada prinsipnya siklus estrus terjadi akibat adanya
keseimbangan antara hormon steroid dengan ovarium dan protein serta hormon dari kelenjar hipofisa anterior (Bearden dan Fuquay, 1980). Menurut Lindsay dkk (1982) siklus estrus dikontrol oleh hormon estrogen dan yang berasal dari kelenjar hipofisis yang berfungsi mengontrol kegiatan ovarium. Kontrol siklus ovarium dilakukan oleh hormon FSH dan LH yang dikeluarkan dari kelenjar adenohipofisis dan mempunyai fungsi untuk merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf didalam ovarium (Hafez, 1993). Sedangkan kontrol pengeluaran dari FSH dan LH adalah dari hipotalamus
melalui
Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH)
atau
Luteinizing Hormone-Releasing Hormone (LHRH) yang pengeluarannya dipengaruhi oleh aktivitas faktor internal dan eksternal melalui jalur saraf pusat, yang sistemnya diatur oleh mekanisme umpan balik positif dan negatif dari estrogen dan progesteron yang disekresikan oleh ovarium (Knobil, 1988).
Dibawah pengaruh level basal FSH dan LH, sel granulosa folikel mengsekresikan estrogen utamanya yaitu estradiol 17P.
Meningkatnya
konsentrasi estradiol 17P dalam plasma merupakan signal dari ovarium yang meningkatkan respons gonadotropin adenohipofisis terhadap GnRHILHRH. Kepekaan adenohyphophysa terhadap GnRhILHRH lebih ditingkatkan lagi oleh pengaruh progesteron yang disekresikan oleh ovarium atas respons LH yang dikeluarkan selama permulaanlpersiapan LH surge dan oleh efek priming LHRHIGnRH. Priming-LHRH untuk LH surge dan adanya peningkatan kepekaan
respons adenohyphophysa terhadap LHRH, dua peristiwa "puncak" terjadi pelepasan LH secara optimal (LH surge) dan merupakan bentuk umpan balik positif karena terjadinya atas rangsangan estradiol 17p-surge yang diakhiri dengan terjadinya ruptur folikel dan ovulasi.
Dengan kata lain bahwa LH
pada ternak betina akan bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen. matang
maka
peran
LH selanjutnya
Sesudah folikel menjadi
menyebabkan
ovulasi
menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. kandungan LH dalam darah mencapai puncak tertentu
dengan Jika
maka akan
merespons pelepasan ovum dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya proses ovulasi (Hafez, 1993). Ovulasi atau pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya sel telur secara bersama-sama dengan isi folikel tersebut pada kambing terjadi secara spontan pada tahap mendekati akhir dari sejak masuknya estrus atau sekitar 24 sampai dengan 27 jam akhir estrus dengan mengovulasikan 1 sampai
dengan 2 ova (Hafez, 1993) atau 1 sampai dengan 4 ova per silkus pada kejadian alami atau 9 sampai dengan 19 jam setelah onset estrus (Nalbandov, 1990). Menurut Hafez (1993), lamanya estrus dan waktu terjadinya ovulasi juga merupakan faktor internal dan eksternal, onset estrus dan ovulasi akibat LH surge (interval antara estrus dan ovulasi) panjang atau lamanya sesuai
dengan peningkatan jumlah ova yang diovulasikan. Gelombang Folikel Bartlewski dkk (1980) menyatakan bahwa para ahli lainnya telah melakukan studi tentang tingkah laku kambing selama siklus estrus dan masing-masing menarik kesimpulan yang kontras tentang pertumbuhan dan gelombang folikel yang ada selama siklus (Schrick dkk, 1993 : pertumbuhan kontinyu dan tidak ada gelombang folikel). Tetapi dilain pihak Ravindra dkk (1994) menyatakan bahwa, secara alami terdapat empat gelombang folikel selama siklus estrus dari kambing (Saanen) yang masing-masing muncul pada hari -2 sampai dengan satu (gelombang I ) , hari kedua sampai dengan lima (gelombang 2), hari keenam sampai dengan sembilan (gelombang 3) dan hari kesepuluh sampai dengan 15 (gelombang 4) dan ovulasi lebih umum terjadi pada gelombang I dan 4 daripada gelombang 2 dan 3 walaupun ovulasi selalu terjadi pada gelombang folikel ke 4 yang terjadi secara spontan dengan satu atau lebih folikel.
Pada gelombang 2 dan 3,
masing-masing gelombang berlangsung selama (2,5 antar gelombang adalah 3,4
+ 0,2)
hari dan jarak
+ 0,2 hari untuk gelombang 1 dan 4,3 + 0,2 hari
untuk gelombang 4 dengan antara gelombang dengan gelombang Iadalah
3,4
* 0,8 hari.
Fenomena folikel dominan menurut Ginter (1994),
pada
ternak kambing sulit dideteksi karena kadang-kadang terjadi lebih dari satu folikel besar dalam setiap gelombang dan ha1 ini sudah merupakan ha1 yang umum; Seperti yang disampaikan pula bahwa sering terjadi ovulasi rangkap, dari 20 interval antar ovulasi (siklus) yang diamati, 70% atau 14 kali berovulasi ganda dan 6 kali berovulasi tunggal yang semuanya terjadi pada gelombang ke 4, termasuk fenomena dominan bisa terdapat lebih dari satu, sehingga beranak lebih dari satu pada kambing sudah umum terjadi. Pada gelombang 1 dan 4 merupakan gelombang dengan folikel yang memiliki
*
kemampuan untuk ovulasi dengan diameter maksimum adalah 8,7 0,3 mm untuk gelombang 4, walaupun secara alami setiap gelombang terdapat folikel-folikel berdiameter 3 mm yang bertumbuh mencapai 6 mm pada hari
0, 4, 8 dan 14. Perbedaan dengan sapi yang mempunyai tiga gelombang dan ovulasi terjadi pada gelombang ke 2, dengan suatu tekanan yang dilakukan oleh folikel dominan terhadap perkembangan folikel lainnya, pada kambing sifat penekanan folikel sangat ringan sehingga pada hari ke satu sampai lima saat luteolisis dan perkembangan folikel besar lain masih berlangsung,
terjadi pula perkembangan folikel baru dari gelombang
berikutnya.
Sinkronisasi Estrus Sinkronisasi estrus adalah satu pengendalian siklus estrus yang dilakukan pada sekelompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua atau tiga hari
setelah perlakuan dilepas, sehingga lnseminasi Buatan (IB) dapat dilakukan secara serentak (Toelihere, 1985). Sinkronisasi estrus ini mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi Corpus Luteum (CL) (Hafez, 1993). Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan bahwa ada dua tujuan utama dalam melakukan sinkronisasi estrus yaitu : 1) Mendapatkan seluruh ternak yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang diketahui dengan pasti sehingga masing-masing ternak tersebut dapat di IB dalam waktu bersamaan; 2) Untuk menghasilkan angka kebuntingan yang sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan dengan I 6 atau oleh pejantan. Toelihere (1985) menyatakan bahwa estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan pada hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan sperma dalam
proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan
perkembangan individu baru.
Selanjutnya dikatakan bahwa sinkronisasi
estrus perlu karena umumnya ovum sesudah ovulasi dan umur sperma yang dideposisikan dalam vagina sangat terbatas hanya beberapa jam. Pada
dasarnya
ada
dua
cara
yang
dapat
digunakan
untuk
penyerentakan estrus sekelompok ternak betina. Cara yang pertama adalah dengan cara menghancurkan CL sehingga semua ternak mempunyai fase folikel yang bersamaan. Cara yang kedua adalah menghambat pertumbuhan folikel baru secara farmakologik pada akhir fase luteal, dan yang ada pada awal fase luteal akan berkembang mencapai akhir fase luteal (Hunter, 1980). Hambatan dihilangkan setelah periode perlakuan mencukupi, sehingga ternak mencapai fase folikel secara bersamaan.
Hafez (1993) menyatakan bahwa, penyerentakkan estrus dan ovulasi merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi produksi ternak. Efisiensi meningkat karena kelahiran pertama terjadi pada umur lebih muda, dan interval kebuntingan diperpendek.
Konsentrasi periode estrus dalam dua
tiga hari menghemat tenaga kerja, karena memungkinkan betina dikawinkan atau di IB dalam periode waktu tertentu (Lasley, 1980 ; Beck dkk, 1996). Perkawinan yang serentak memudahkan penyediaan hewan pengganti dan tatalaksananya, meliputi vaksinasi, sistem perkandangan, penggembalaan dan pemasaran. Sistem perkandangan menjadi lebih mudah karena anakanak yang dilahirkan mempunyai umur yang hampir sama, sehingga tidak perlu dipisahkan
menurut kelompok umur selama pertumbuhan dan
penggemukkan. Waktu partus dan pemasaran dapat dikonsentrasikan pada saat tertentu menurut pertimbangan ekonomis (Lasley, 1980 ; Freitas dkk, 1996), antara lain menyesuaikan waktu kelahiran dalam musim-musim dimana makanan sedang berlimpah. Waktu menunggu untuk pengamatan estrus dapat dikurangi, juga sangat penting untuk pengembangan teknik embrio transfer (Partodihardjo, 1980 ; Beck, dkk, 1996). Keuntungan lain yaitu memudahkan pengawasan terhadap penyakit, khususnya sehubungan dengan penggunaan kandang. pengawasan
kelahiran, sehingga
Selain itu juga dapat memungkinkan dapat mengurangi kasus
mortalitas
neonatal dan dapat merawat anak dengan baik (Hunter, 1890). Dilain pihak Sutama, (1996,1997) melihat keuntungan melakukan sinkronisasi estrus dari beberapa segi yaitu :
a. Dari segi manajemen pakan : Dengan sinkronisasi estrus manajemen menjadi lebih mudah. Pemberian pakan menurut status kebuntingannya dapat dilakukan dengan baik dan benar, sehingga ternak akan rnendapatkan pakan sesuai dengan kebutuhannya. b. Dari segi manajemen ternak : Dengan sinkronisasi estrus dapat diketahui bila saatnya ternak akan dikawinkan dan beranak.
Sehingga pada saat itu perhatian dapat
dicurahkan pada kelompok tersebut, sehingga pengaturan tenaga kerja dapat lebih efisien. c.
Dari segi produksi : Dengan sinkronisasi estrus dapat diatur agar ternak dapat beranak pada saat diinginkan, dengan jumlah yang dapat diatur.
Jadi jumlah ternak
diproduksi sesuai dengan permintaan pasar dan umur ternak yang dipasarkan relatif seragam. Metode sinkronisasi estrus dan ovulasi yang sering digunakan adalah metode farmakologik dengan menggunakan hormon yang sangat efektif untuk
suatu
program
perkembangbiakan
dalam
suatu
sentra-sentra
peternakan dengan penjadwalan yang telah ditetapkan terlebih dahulu walaupun metocle ini cukup mahal dan untuk itu harus dikonvensi dengan semen pejantan yang teruji keunggulannya.
Hormon Progesteron Hormon adalah zat kimia yang secara fisiologis diproduksi oleh sel-sel tertentu yang masuk kedalam sistem sirkulasi transportasi dan dapat
merangsang atau menghambat aktifitas suatu target organ (jaringan) (Reeves, 1987). Progesteron adalah nama umum dari steroid yang terdiri atas 21 karbon dan memiliki struktur dasar inti pregnane dengan rumusan empat lingkaran (Turner dan Bagnara, 1988).
Semua hormon-hormon yang
tergolong steroid disintesis dari koenzim A dengan hasil antaranya adalah kolesterol (Djojosoebagio, 1990 ; Stryer, 1995). Jadi progesteron disintesis dari kolesterol dengan bantuan enzim metabolik yang terdapat didalam sel yang menghasilkan hormon steroid. progesteron
merupakan
hormon
Reimers (1982) menyatakan bahwa reproduksi
yang
secara
dominan
disekresikan oleh CL selama fase luteal siklus estrus dan masa kebuntingan. Pada ternak kambing yang bunting progesteron disekresikan oleh plasenta dalam jumlah yang terbatas (Hafez, 1985) dan oleh kelenjar adrenal (Reeves, 1987) yang dialirkan melalui darah karena ikatannya dengan globuli untuk membentuk CL.
Toelihere (1979) menyatakan bahwa
progesteron tidak disimpan didalam tubuh karena hormon ini dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah didalam jaringan tubuh. Fungsi progesteron adalah menyiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Reeves, 1987) Pada hewan betina dewasa, progesteron mengakibatkan penebalan dari
mukosa vagina.
Ciri khas dari
progesteron fase
estrus dapat
dilihat dengan adanya garis-garis lendir dan peninggian dari epitelium
(Cole dan Cupps,
1979). Progesteron sangat berpengaruh terhadap
proliferasi uterus tepatnya dibagian endometrium. luas
dan
besar
bergelombang.
serta
kelenjar
tubulernya
Endometrium menjadi
bertambah
dalam
dan
Sebelum progesteron dihasilkan oleh CL, kelenjar-kelenjar
endometrium ini hanya berupa invaginasi-invaginasi (legokan kecil) yang dangkal.
Karena pengaruh progesteron invaginasi ini maka endometrium
akan menjadi dalam dan berkelok-kelok hingga berbentuk seperti spiral. Selanjutnya progesteron akan bekerja secara sinergis dengan estrogen untuk menstimulir ovulasi dengan menggertak pelepasan LH. Progesteron juga menimbulkan tingkah laku estrus dan penerimaan pejantan.
Apabila
kadar progesteron yang disekresi CL kurang maka ternak akan mengalami ovulasi tapi tidak disertai dengan tanda-tanda estrus atau silent heat.
Oleh
karena progesteron dapat menghambat sekresi FSH dan LH yang berarti tidak
terjadi
perkembangan folikel
yang
menghasilkan
ovum,
maka
progesteron dapat dipakai untuk sinkronisasi estrus. Level progesteron sangat rendah (0.5 nglml) pada saat estrus dan level progesteron menjadi 1 nglml pada hari ke 3 atau 4 siklus.
Level
puncak menjadi 3 nglml pada hari ke 7 dan bertahan sampai hari ke 14 atau selama fase luteal. Pada hewan yang tidak bunting level ini akan menurun secara cepat sampai level basal. Turunnya level progesteron adalah akibat regresinya CL oleh prostaglandin yang secara bertahap diproduksi uterus selama fase luteal. Setelah CL regresi tidak terdapat lagi progesteron yang berarti
tidak
ada
penghambatan
hypothalamus-pituitary
sehingga
terhadap
FSH
akan
GnRH,
FSH,
merangsang
LH
dari
tumbuhnya
gelombang folikel selanjutnya secara cepat (fase folikuler) dan menghasilkan
estrogen yang semakin banyak hingga mencapai 20 nglml pada sekitar 12 jam setelah onset estrus dan ovulasi 1 atau lebih folikel yang mencapai
ukuran diameter siap ovulasi dan ovulasi terjadi pada 20 jam atas rangsangan puncak LH. Umumnya perlakuan progesteron long term dikarakterisasi dengan penggunaan selama 14 sampai dengan 21 hari (Hafez, 1993), akan tetapi hasilnya kurang memuaskan karena fertilitas yang dihasilkan agak rendah meskipun estrus dapat terjadi secara sinkron. Sebaliknya untuk penggunaan progesteron selama 7 hari dikategorikan short term. Penggunaan Hormon Progesteron dalam Metode Sinkronisasi Estrus Program
sinkronisasi
estrus
dengan
menggunakan
metode
progesteron eksogenous akan mengkontrol dua ekspresi yaitu estrus dan terjadinya preovulatory LH surge serta ovulasi. Prinsip sinkronisasi dengan menggunakan preparat progesteron didasarkan pada perpanjangan atau mempertahankan fase CL sehingga semua ternak berada pada periode luteal (Tomaszewska dkk, 199Ib). Progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi estrus dimana hormon tersebut bekerja menghambat sekresi FSH dan LH, sehingga tidak terjadi pertumbuhan gelombang baru dengan cara menekan keluarnya LH melalui mekanisme penghambatan pada hypotalamus-pituitary (Adams dkk, 1994).
Pemberian progesteron secara eksogenous selama
beberapa hari pertama dari siklus akan memperpendek siklus dari hewan yang tidak bunting. Respons estrus tergantung dari lamanya implan progesteron, ha1 ini berkaitan dengan gelombang folikel pada saat perlakuan
dimulai (Bo dkk, 1995). Progesteron mulanya digunakan untuk sinkronisasi estrus pada sapi.
Beberapa metode sinkronisasi dengan menggunakan
progesteron antara lain dapat diberikan melalui : 1) Pakanloral (CAP, MAP, MGA) ; 2) lnjeksi setiap hari ; 3) lntravaginal (PRID dan CIDR) serta
4)
lmplan
secara
subcutan.
Untuk
kemudahan
aplikasi
dan
kesederhanaannya, lebih banyak disukai penggunaan secara intravaginal. Progestagen (progesteron sintetik) yang digunakan pada domba sama dengan yang digunakan pada kambing.
Pemberian tunggal progestagen
untuk sinkronisasi estrus, lama perlakuan harus sesuai dengan umur keberadaan CL (16 sampai dengan 18 hari) untuk mendapatkan sinkronisasi yang efektif pada 2 sampai dengan 3 hari setelah perlakuan dihentikan karena pemberian progestagen akan bereaksi sama dengan CL melalui penekanan pada output gonadotropin dari adenohipofisis, oleh karena itu perlakuan dengan progestagen secara eksogenous tidak akan berpengaruh terhadap fungsi dari CL yang telah terbentuk secara penuh dan perlakuan harus sesuai dengan umur CL (Fukui dkk, 1994). Controlled Internal Drug Release (CIDR-G) adalah suatu alat intravaginal yang melepaskan progesteron untuk stimulasi siklus estrus dan pengendalian daur pada kambing. ClDR yang dibuat oleh Carter Holt Harvey Plastic product (New Zealand) mempunyai rangka dangan tubular T-shape dari bahan dasar nilon dan diselubungi oleh silicon elastomer yang dipergunakan luas pada implan manusia maupun pengobatan hewan. Elastomer bersifat inaktif dan tidak megiritasi membran mukosa yang sensitif seperti epitel vagina. ClDR mengandung 0.33 gram progesteron alami yang dikeluarkan secara bertahap dalam aliran darah melalui difusi dari karet
silicon yang dilapisi nilon dan dicelupkan dalam larutan progesteron, dibentuk disesuaikan untuk diintroduksi kedalam vagina (InterAg, 1996). Tingkat progesteron plasma meningkat setelah pemasukan ClDR dalam vagina, tertinggi pada hari ke 3 kemudian menurun secara bertahap. Prinsip ClDR adalah sebagai sumber progesteron eksogenous yang akan dikeluarkan dan diserap oleh vagina kedalam darah yang akan memelihara level progesteron dalam darah untuk menekan pengeluaran LH dan FSH dari hypothalamus untuk waktu yang direkomendasikan sesuai program,
level progesteron dalam darah akan meningkat mendekati
konsentrasi maksimalnya (2.1 nglml) dalam 24 jam setelah pemasukan alat dan mencapai tingkat tertinggi (4 nglml) pada hari ke 4 untuk kemudian berangsur menurun hingga 1.5 nglml menjelang hari ke 13 dan secara drastis kembali kelevel basal dalam 6 jam setelah perlakuan dilepas dan terjadi pematangan folikel, estrus dan ovulasi. Menurut
InterAg
(1996)
penggunaan
ClDR
pada
kambing
dimaksudkan agar didapatkan hasil yang optimum, CIDR dimasukkan selama 14 sampai dengan 17 hari kemudian diinseminasi 45 jam setelah dilepas (secara laparascopi) atau pada hari ke 15 sampai dengan 16 (inseminasi melalui serviks) atau secara alami.
Ginther dan Kot (1994) menyatakan
bahwa kondisi ini dapat dijelaskan karena terdapat 4 gelombang folikel selama siklus estrus kambing dan pada gelombang 2 dan 3, masing-masing gelombang berlangsung (2.5 f 0.2 hari) dan jarak antar gelombang adalah 3.4 k 0.2 hari untuk gelombang 1 dan 4.3 rt 0.2 untuk gelombang 4 dengan jarak antara gelombang dengan gelombang I adalah 3.4
+_
0.8 hari, sehingga
dengan implan yang dilakukan selama 14 sampai dengan 17 hari, dimanapun posisi reproduksi kambing saat itu maka apabila ClDR dilepaskan maka akan lebih banyak terletak pada posisi gelombang I atau 4 yang merupakan gelombang dengan folikel yang memiliki diameter yang mampu berovulasi dengan diameter maksimum 8.7 9.7
+ 0.3 mm untuk gelombang 4.
_+
0.3 mm untuk gelombang pertama dan
Walaupun secara alami setiap gelombang
terdapat folikel-folikel berdiameter 3 mm yang bertumbuh mencapai 6 mm pada hari ke 0, 4, 8 dan 14. Penggunaan ClDR pada kambing hampir sama dengan pada domba (Fukui, 1994), dimana tingkat kebuntingan dan beranak dari domba yang ditreatment dengan ClDR kemudian diinseminasi dengan semen beku menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan tertinggi pada perlakuan dengan penernpatan ClDR selama 12 hari, yang dideteksi berdasarkan level progesteron yang ada yaitu 91.2%.
Sedangkan pemeriksaan dengan
ultrasonografi pada hari ke 61 adalah 85,3% tidak berbeda nyata dengan tingkat kebuntingan kontrol.
lnseminasi Buatan pada Kambing lnseminasi Buatan (16) sebagai salah satu bioteknologi reproduksi yang oleh masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan kawin suntik adalah merupakan suatu cara rnemasukkan semen kealat reproduksi betina dengan rnenggunakan peralatan khusus.
IB berdampak positif apabila rnampu
meningkatkan produktivitas dan efisiensi reproduksi ternak. reproduksi
pada
ternak
merupakan
suatu
cara
untuk
Efisiensi menentukan
keberhasilan bereproduksi suatu kelompok ternak betina. Parameter yang biasa digunakan untuk menilai keberhasilan IB ditinjau dari segi reproduksi ternak adalah Service per Conception (SIC) dan Conception Rate (CR) serta NR. SC adalah jumlah inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor ternak betina sampai terjadinya kebuntingan (konsepsi), sedangkan CR adalah prosentase ternak betina bunting pada inseminasi pertama dibanding dengan jumlah seluruh betina yang diinseminasi sedangkan Non Return Rate (NR) adalah jumlah ternak yang bunting (tidak kembali estrus pada siklus berikutnya) (Toelihere, 1985). lnseminasi Buatan pada kambing di Indonesia belum begitu popular seperti halnya pada sapi potong (Haryanto dkk, 1997).
Penerapan IB
kambing di Indonesia sampai saat ini masih terbatas dalam taraf uji coba sedangkan hasilnya belum ada yang dilaporkan. Dari berbagai laporan hasil penelitian dari luar negeri menunjukkan angka fertilitas (Conception Rate) yang diperoleh pada kambing Barbari 72 sampai dengan 80% (Prasad, 1981), Angora 67,6 sampai 84% (Ritar dan Salomon, 1983), kambing persilangan Beetal dengan Black Bengal 50,53% (Singh dkk, 1995), kambing Murciano
- Granadino 73,5% (Roca dkk,
1997). Adanya variasi hasil yang
diperoleh kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah spermatozoa, teknik 16, waktu inseminasi, tipe estrus (alam atau dikontrol), umur induk, stress, kematian embrio dan fetus serta higiene (Evans dan Maxwell, 1987). Disamping mutu dan penempatan semen dalam saluran reproduksi, keberhasilan IB juga sangat tergantung dari ketepatan waktu IB karena
proses fertilisasi terjadi dalam periode waktu yang sangat terbatas (Cortell, 1981"). Pelaksanaan IB pada prinsipnya adalah harus mendahului waktu ovulasi. Waktu ovulasi sulit ditentukan secara rutin, karena itu inseminasi selalu harus dihubungkan dengan waktu permulaan munculnya estrus (Toelihere,
1981).
Dikemukakan selanjutnya bahwa inseminasi harus
dilakukan pada bagian kedua periode estrus, yaitu antara 12 sampai dengan 18 jam sesudah onset estrus. Waktu ovulasi pada kambing menurut Devendra dan Burns (1983) terjadi pada saat menjelang akhir estrus, sehingga bila ingin dikawinkan secara alami maupun IB maka harus dilaksanakan selambat-lambatnya 12 jam setelah estrus. Foote (1974) mengemukakan bahwa waktu inseminasi yang terbaik adalah 12 sampai dengan 36 jam setelah pertama kali terlihat estrus dengan dosis 0,5 ml dan mengandung 200 juta spermatozoa motil. Pada kebanyakan kambing ovulasi terjadi sekitar 25 sampai dengan 30 jam setelah onset estrus (Haryanto dkk, 1997).
Oleh karena itu dalam program IB sering dikombinasikan dengan
sinkronisasi estrus untuk memudahkan dan mengurangi waktu dan tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan IB. Pada inseminasi vaginalservik, IB dilakukan 12 sampai dengan 18 jam setelah estrus alami, atau 48 sampai dengan 58 jam setelah spons dicabut (sinkronisasi estrus). Sedangkan jika IB dilakukan secara intrauterin maka dilakukan 60 sampai dengan 66 jam setelah perlakuan dicabut (Evans dan Maxwell, 1994). inseminasi dua kali selama periode estrus tidak praktis pada dornba tetapi mungkin praktis pada kambing (Fraser, 1962) yang disitasi oleh Toelihere (1981).
Metode sinkronisasi dengan menggunakan hormon progesteron waktu terbaik untuk inseminasi adalah 12 sampai dengan 18 jam setelah masuk periode estrus atau menggunakan teori pagi sore dan apabila akan digunakan dua kali IB. IB yang kedua dilakukan 10 jam setelah IB pertama. Untuk inseminasi yang menggunakan semen beku, sebaiknya inseminasi dilakukan mendekati ovulasi atau 18 jam setelah masuk estrus. Jumlah spermatozoa juga haws lebih banyak karena teknologi IB untuk kambing hanya dapat dideposisikan didepan serviks atau mulut serviks karena saluran reproduksinya yang relatif kecil (Cortell, 1981b).
Volume
yang dibutuhkan untuk IB pada kambing yaitu 0.2 ml yang mengandung 50 sampai dengan 150 juta sperma (Toelihere, 1981). Selanjutnya dikatakan oleh Howe (1980) bahwa seekor kambing pejantan dengan teknik IB dapat melayani 30 sampai dengan 40 ekor betina per hari dengan dosis 0.2 ml. Untuk memperoleh efisiensi reproduksi yang mencerminkan keberhasilan atau optimalisasi IB, maka ada berapa faktor yang perlu diperhatikan. Lebih lanjut dikatakan oleh Toelihere (1997) bahwa efisiensi reproduksi dapat dirumuskan dalam persamaan : ER (%) = [J]x[B]x[l]x[P]. Pada persamaan faktorial seperti ini, nilai ER akan tinggi apabila nilai semua faktor tersebut cukup tinggi. Apabila salah satu faktor mempunyai nilai yang rendah maka secara langsung akan mempengaruhi ER.