Bab II
Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dijelaskan sejarah perkembangan kota Bandung, perkembangan permukiman di Bandung, arsitektur kolonial Belanda, upaya pemugaran bangunan-bangunan kolonial Belanda di Bandung, fasade bangunan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein, serta kajian teori karakter kawasan dan fasade bangunan.
II.1
Sejarah Perkembangan Kota Bandung
Berdasarkan pernyataan yang tertulis pada buku “Ciri Perancangan Kota Bandung” karya Djefry W. Dana, dinyatakan bahwa awal mula berdirinya kota Bandung tidak lepas dari jasa Wiranatakusumah II yang menjadi Bupati Kabupaten Bandung pada tahun 1794 hingga tahun 1829. Pemerintah Hindia Belanda, yang saat itu menguasai Nusantara, khususnya Jawa, dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memiliki rencana membuat Groote Postweg (Jalan Raya Pos) yang membelah Pulau Jawa sepanjang kira-kira 1000 kilometer. Jalan ini menghubungkan Anyer di ujung barat dan Panarukan di ujung timur. Hal ini bertujuan untuk mempermudah hubungan antara daerah-daerah yang berdekatan serta dilalui jalan tersebut. Atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, sejak tanggal 25 Mei 1810 ibukota Kabupaten Bandung yang semula berada di Krapyak (sekarang Dayeuh Kolot) berpindah mendekati Jalan Raya Pos. Atas persetujuan sesepuh serta tokoh-tokoh dibawah pemerintahannya, Bupati Wiranatakusumah II memindahkan ibukota Kabupaten Bandung dari Krapyak ke daerah yang terletak diantara dua buah sungai, yaitu Cikapundung dan Cibadak, daerah sekitar alun-alun Bandung sekarang, yang dekat dengan Groote Postweg (Jalan Raya Pos). Daerah yang tanahnya melandai ke arah timur laut tersebut dianggap cocok dengan persyaratan kesehatan maupun kepercayaan yang dianut pada saat itu. Sungai-sungai yang mengapitnya juga dapat berfungsi sebagai sarana utilitas kota10.
10
Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 13.
13
Berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Bandoeng, Beeld van een stad” karya Robert P.G.A. Voskuil, masa kekuasaan Verenigne Oostindische Compagnie (VOC) di Bandung ditandai dengan munculnya budidaya kopi pertama di Bandung pada tahun 1718 sampai tahun 1725. Kemudian VOC memonopoli perdagangan dengan seringnya membeli hasil panen kopi dengan harga yang murah untuk kemudian dijual di Eropa dengan harga yang tinggi. Masa kekuasaan VOC berakhir pada awal tahun 1796. Pada saat itu VOC berada dalam pengawasan Pemerintah Belanda. Setelah habisnya hak monopoli yang ada, akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bangkrut dan resmi dibubarkan11.
Berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Bandoeng, Beeld van een stad” karya Robert P.G.A. Voskuil, masa kekuasaan Bataafsche Republiek (Republik Batavian / Pemerintah Hindia Belanda) di Bandung tidak lepas dari kepemimpinan Herman Willem Daendels di Bandung. Pada bulan Januari 1807 Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Asia. Sebelum berangkat Daendels dianugerahi pangkat “Marsekal Negeri Belanda” oleh Raja Lodewijk Napoleon. Daendels dilahirkan di Hattem Belanda pada tahun 1762. Pada tahun 1787 sebagai patriot muda Daendels melarikan diri ke Perancis, kemudian kembali ke Belanda pada tahun 1795 sebagai jenderal dalam pasukan Pichegru. Daendels ditugaskan oleh untuk mempertahankan Jawa terhadap Inggris. Dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Daendels, Groote Postweg (jalan raya Pos) dibuat dengan alasan untuk kepentingan ekonomi dan militer. Jalan ini menghubungkan Anyer di ujung barat dengan Panarukan di ujung timur, yang membentang sepanjang kira-kira 1000 kilometer. Atas perintah Daendels, sejak tanggal 25 Mei 1810 ibukota Kabupaten Bandung yang semula berada di Karapyak dipindahkan mendekati Jalan Raya Pos. Daendels meninggal dunia pada bulan Mei 1818 di St.George del Mina, ibukota pantai barat Afrika11.
Menurut Djefry W. Dana, untuk mengatur pembangunan kota Bandung akibat bertambahnya jumlah penduduk, maka disusun Plan der Negorij Bandoeng 11
Voskuil, Robert P.G.A. (1996), Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 26-32.
14
(Rencana Kota Bandung) dengan tujuan agar pembangunan kota lebih terarah dan terkendali. Pada tahun 1850 dibangun Masjid Agung dan Pendopo Kabupaten serta ruang terbuka / alun-alun di pusat kota Bandung sekarang. Pada tahun 1866 dibangun beberapa bangunan sekolah seperti Sekolah Guru / Sekolah Raja (Kweekschool) di Jalan Merdeka sekarang dan Sekolah Pangereh Praja / Sakola Menak (OSVIA) di daerah Tegallega. Pada tahun 1867 dibangun Gedung Karesidenan yang terletak di Jalan Otto Iskandardinata sebagai tempat tinggal Residen Priangan yang bernama Van der Moore. Sekitar tahun 1890 dibuat beberapa taman kota serta fasilitas-fasilitas penunjang kota lainnya. Dengan demikian, Bandung berkembang dari kota kecil menjadi sebuah permukiman kota dengan segala sarana pelengkapnya12.
Menurut Djefry W. Dana, meskipun Groote Postweg (Jalan Raya Pos) telah dibuat, keberadaannya tidak cukup kuat untuk melindungi Belanda dari tentara Inggris yang kemudian datang ke Indonesia pada tahun 1811 dibawah pimpinan Thomas Stamford Raffles. Selain itu, menurut Robert P.G.A. Voskuil, masa kekuasaan Inggris di Bandung ditandai dengan diterapkannya Cultuurstelsel (Undang-undang Tanam Paksa) di Jawa pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Tanam Paksa dilakukan hampir sama dengan kerja paksa seperti pada zaman VOC, tetapi kali ini berdasarkan pajak bumi dari Raffles13.
Menurut Robert P.G.A. Voskuil, masa kolonial modern di Bandung ditandai dengan adanya het Decentralisatiebesluit (Keputusan Otonomi) pada tahun 1905 yang secara hukum menciptakan banyak peluang bagi Batavia, Meester Cornelis dan Buitenzorg menjadi kota-kota di Jawa yang mendapat status gemeente (Kotapraja). Hal ini diikuti oleh sejumlah kota lain pada tanggal 1 April 1906, termasuk Bandung. Sejak saat itu, kota Bandung mengalami perkembangan pesat di segala bidang13.
12
Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 13-16. 13 Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 36-49.
15
Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa pada tahun 1918 het Departement van Gouvernementsbedreijven (Departemen Perusahaan Pemerintah) ditetapkan berkedudukan di Bandung termasuk berbagai dinas yang berada dibawah kekuasaan pemerintah seperti kereta api, trem, pos telegram telepon dan pertambangan.
Pemindahan
tersebut
menyebabkan
aktivitas
membangun
disepanjang batas kota, disebelah Utara Jl.Riau meningkat sejak 1920. Melihat perkembangan kota yang cepat, maka pada tahun 1917 Kotapraja memiliki Rencana Pengembangan Bandung Utara yang disusun oleh arsitek F.J.L. Ghysels dari het Algemene Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA) dari Jakarta. Biro ini dipilih pada tahun 1920 untuk menjadi Departemen Perencanaan yang menangani semua pembangunan kantor pemerintah di kawasan timur laut. Tetapi pada kenyataannya, proyek yang terlaksana hanya dua bangunan kantor, sehingga lahan peruntukannya tidak dibangun hingga bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan kerugian
yang
cukup
besar
bagi
Kotapraja14. Berikut ini merupakan
perkembangan kota Bandung jika digambarkan dalam bentuk diagram :
Tjitaroem Plein
U Gambar II.1
Diagram Peta Perkembangan Kota Bandung
Sumber : Siregar, Sandy Aminuddin (1990), Bandung, The Architecture of A City in Development, Departement Architectuur Katholieke Universiteit Leuven
14
Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 57-63.
16
Berikut ini merupakan perkembangan kota Bandung yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Tjitaroem Plein
U Gambar II.2
Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1906
Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18
Tjitaroem Plein
U Gambar II.3
Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1911
Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18
17
Tjitaroem Plein
U Gambar II.4
Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1916
Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18
Tjitaroem Plein
U Gambar II.5
Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1921
Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18
18
Tjitaroem Plein
U Gambar II.6
Peta Perkembangan Kota Bandung Tahun 1931
Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18
Tjitaroem Plein
U
Gambar II.7
Peta Perkembangan Kota Bandung Sejak Tahun 1942
Sumber : Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 17-18
19
Berdasarkan gambar peta perkembangan kota Bandung tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan perumahan di Bandung (terutama di kawasan perumahan Tjitaroem Plein) tidak sekaligus dibangun pada satu periode, melainkan berangsur-angsur, sehingga bentuk dan fasade bangunan-bangunannya tidak selalu sama.
II.2
Perkembangan Permukiman di Bandung
Pertambahan penduduk yang cepat dalam dekade pertama abad keduapuluh memerlukan penanganan yang tepat oleh aparat perencana Kotapraja. Tempat harus disiapkan untuk pembangunan kawasan perumahan dan kantor yang baru. Menurut Robert P.G.A. Voskuil, Bagian Perumahan Kotapraja adalah instansi yang pertama kali memenuhi permintaan akan adanya rumah kecil dan sederhana. Selama Perang Dunia I, penambahan jumlah rumah di Bandung terlalu sedikit. Sejalan dengan kenaikan sewa, maka berkurang pula minat para warga yang lemah modal, sehingga banyak yang kemudian terpaksa tinggal di rumah kampung yang sederhana dengan kondisi rumah yang kurang menyenangkan dan kesehatan lingkungan yang tidak memadai15.
Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa pihak swasta kurang berminat untuk membangun rumah kecil sederhana dengan harga murah. Akhirnya pada tahun 1919 Dewan Kotapraja membangun perumahan sederhana tersebut dengan Ir. A. Polderwaart sebagai pelopornya, kemudian diikuti oleh Ir. Heetjans sebagai Direktur Pekerjaan Kotapraja. Pada awalnya bangunan ini terbuat dari kayu berdinding bilik atau anyaman bambu. Biaya perawatan yang cukup tinggi menyebabkan bangunan seperti ini ditinggalkan, kemudian dicoba menggunakan bahan bangunan tembok. Pada tahun 1920 proyek pertama dicoba rumah model kampung di daerah Astanaanyar, kemudian pada tahun 1921 di Cihapit dibangun 127 rumah dan 12 toko. Sampai awal tahun 1930-an, ketika keadaan krisis ekonomi dunia tidak memungkinkan lagi untuk membangun, telah berdiri 800 rumah untuk dihuni. Pada tahun 1927, barulah dibuat Kerangka 15
Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 57-63.
20
Pengembangan Kota bagian Selatan yang akan diperuntukkan bagi penduduk pribumi16.
Berikut ini merupakan gambar perumahan kecil Kotapraja di Cihapit pada tahun 1921 :
Gambar II.8
Perumahan Kecil Kotapraja di Cihapit pada Tahun 1921
Sumber : Voskuil, Robert P.G.A. (1996), Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 62
II.3
Arsitektur Kolonial Belanda
Menurut Sandy Aminuddin Siregar dalam disertasinya yang berjudul “Bandung, The Architecture of A City in Development”, sejarah suatu bangsa dapat dikategorikan berdasarkan tiga aspek, yaitu : masa religi-politiknya, bentuk etnisnya dan kolonialnya17. Dalam hal ini, aspek kolonial adalah aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini.
16
Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 57-63. Siregar, Sandy Aminuddin (1990), Bandung, The Architecture of A City in Development, Departement Architectuur Katholieke Universiteit Leuven, 19-20. 17
21
II.3.1 Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia
Berdasarkan pernyataan yang tertulis dalam buku “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” karya Yulianto Sumalyo, sejarah dunia memasuki masa kolonialisasi pada abad XVII. Masa kolonialisasi di Indonesia juga dimulai dari abad XVII hingga pertengahan abad XX, tepatnya pada tahun 194518. Menurut Sandy Aminuddin Siregar dalam disertasinya yang berjudul “Bandung, The Architecture of A City in Development”, berdasarkan sejarahnya, Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia. Hubungan antara penjajah dan yang dijajah inilah yang menyebabkan adanya perkembangan arsitektur di Indonesia. Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa setelah Portugis datang ke Indonesia pada tahun 1498, pada akhir abad ke-16 barulah Belanda datang ke Indonesia. Pada awalnya, Belanda memulai penjajahan dengan membangun benteng di Batavia (Jayakarta). Setelah dua abad kemudian barulah Belanda dapat menguasai beberapa kota di Indonesia19.
Menurut Djefry W. Dana, tidak semua orang-orang Belanda mendukung penjajahan di Indonesia, terutama para arsitek Belanda yang tinggal di Indonesia. Mereka menginginkan bangsa Indonesia maju dalam segala aspek, terutama perkembangan arsitekturnya. Bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia setelah tahun 1900 merupakan arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada saat yang bersamaan, yang disesuaikan dengan iklim tropis basah di Indonesia. Beberapa bangunan mengambil elemen-elemen tradisional setempat untuk diterapkan pada bentuk arsitekturnya. Dengan demikian, maka muncul langgam arsitektur yang disebut “Indo Europeeschen Architectuur Stijl”, yaitu langgam arsitektur perpaduan arsitektur Eropa dan tradisional Indonesia, dengan atap tropis (atap perisai dan pelana) sebagai ciri khasnya. Langgam arsitektur ini banyak diterapkan pada bangunan-bangunan kolonial di Indonesia20.
18
Sumalyo, Yulianto (1993), Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 8. 19 Siregar, Sandy Aminuddin (1990), Bandung, The Architecture of A City in Development, Departement Architectuur Katholieke Universiteit Leuven, 19-32. 20 Dana, Djefry W. (1990), Ciri Perancangan Kota Bandung, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 22.
22
II.3.2 Arsitektur Kolonial Belanda di Bandung
Didalam buku “Bandoeng, Beeld van een stad” karya Robert P.G.A. Voskuil, dinyatakan bahwa tahun 1920 hingga tahun 1930-an adalah periode ketika keadaan sangat baik untuk pembangunan tempat tinggal dan tempat kerja ideal untuk para warga Eropa di daerah tropis, termasuk kota Bandung. Berbagai bangunan Pemerintah dibangun dengan gaya Neoklasik, seperti tempat kediaman Residen dan Sekolah Guru Pribumi, yang sekarang merupakan tempat kediaman Gubernur dan Kantor Polisi Kota Jl.Merdeka. Hal tersebut tampaknya diilhami oleh gaya Yunani dan Romawi Kuno berbentuk fasade yang selama berpuluhpuluh tahun disukai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam dekade pergantian abad, arsitektur Eklektik cukup populer, yang ditandai dengan adanya kombinasi elemen-elemen yang asal dan waktu terciptanya berbeda-beda21.
Salah satu faktor pembentuk fasade bangunan adalah langgam arsitekturnya. Banyaknya tipe atau jenis bangunan-bangunan rumah tinggal kolonial Belanda menyebabkan adanya tipologi bangunan rumah tinggal kolonial Belanda dalam arsitektur. Berbagai literatur selalu menjelaskan arsitektur modern sebagai langgam Art Nuoveau, International Style, Art and Craft Movement, atau yang paling dikenal adalah Art Deco. Berdasarkan laporan penelitian yang dilakukan oleh Indah Widiastuti yang berjudul “Kajian Tipologi Fasade Bangunan Rumah Tinggal Kolonial di Bandung; Studi Kasus : Kawasan Permukiman Uitbreidingensplan Bandoeng Noord”, dinyatakan bahwa Hellen Jessup mendefinisikan 3 langgam bangunan rumah tinggal kolonial (Dutch Indische), yaitu : 1. Imperial Style (berlandaskan aturan-aturan klasik); 2. Indische Style (perpaduan gaya Eropa dan tradisional); 3. International Style (mengikuti selera modernisme yang anti historis)22.
21
Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 64-65. Widiastuti, Indah (2001), Kajian Tipologi Fasade Bangunan Rumah Tinggal Kolonial di Bandung; Studi Kasus : Kawasan Permukiman Uitbreidingensplan Bandoeng Noord, Laporan Penelitian Institut Teknologi Bandung, Bandung, 37.
22
23
Didalam buku “Bandoeng, Beeld van een stad” karya Robert P.G.A. Voskuil, dinyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota Bandung yang cepat didukung oleh semangat Pemerintah kota yang ingin maju kemudian membuat para ahli bangunan dan para arsitek tertarik untuk berkarya ke kota Bandung. Beberapa dari mereka antara lain : Ir. J. Gerber, Ir. Henri E. Maclaine Pont, A. F. Aalbers dan Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Keempat arsitek tersebut memiliki ciri khas gaya membangun yang berbeda-beda23.
Ir. J. Gerber memiliki gaya membangun dengan mencoba menggabungkan gaya barat dan timur. Contoh hasil karyanya yang terkenal adalah Gedung Sate yang dibangun pada tahun 1924. Ir. Henri E. Maclaine Pont memiliki gaya membangun dengan gaya Indische atau gaya setempat, baik secara arsitekturnya maupun penggunaan materialnya, yaitu kayu dan bambu. Contoh hasil karyanya yang terkenal adalah gedung aula Institut Teknologi Bandung. A. F. Aalbers memiliki gaya yang sangat berlawanan dengan gaya membangun Ir. Henri E. Maclaine Pont. Hasil karyanya dapat dinilai sebagai ungkapan representatif dari bangunan modern tahun 1930-an di Hindia Belanda. Bangunan-bangunan yang dibuatnya membuat kota memiliki bentuk yang baik, modern dan berskala internasional, yang sangat kontras dengan lingkungan sekitarnya. Adapun beberapa contoh hasil karyanya, antara lain : Gedung Denis (1935), Pension de Driekleur / Gedung Triwarna (1938), Hotel Savoy Homann (1939), dan Societeit Concordia / Gedung Merdeka (1940). Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker memiliki gaya membangun dengan mempertahankan
gaya Neo Gothic
tradisionalnya. Jika dilihat dari cara mengatur bangunan dan ornamennya, dapat dilihat bahwa ia terpengaruh oleh gaya Art Deco. Contoh hasil karyanya yang terkenal adalah Villa Isola (1933) yang dimiliki oleh Dominique Berretty23.
23
Voskuil, Robert P.G.A. (1996),Bandoeng, Beeld van een stad, Asia Maior, Purmerend, 64-65.
24
Gambar II.9
Villa Isola, Rumah Tinggal Kolonial yang Terkenal di Bandung
Sumber : Akihary (1996), Ir. F.J.L. Ghijsels Architect in Indonesia, Seram Press, Netherlands, 109
25
II.4
Upaya Pemugaran Bangunan-bangunan Kolonial Belanda di Bandung
Berdasarkan tata guna lahannya, kawasan perumahan Tjitaroem Plein merupakan kawasan dengan fungsi hunian24. Meskipun demikian, masih banyak bangunan yang fungsinya telah berubah seiring dengan berjalannya waktu. Pada masa sekarang ini bangunan-bangunan kolonial Belanda tersebut dilestarikan dengan tujuan untuk menambah nilai kesejarahan kota Bandung sekaligus mengenang kota Bandung tempo dulu. Meskipun demikian, tidak ada peraturan baku yang mengaturnya.
Didalam buku “Architecture in Context” karya Brent C. Brolin, dinyatakan bahwa ada beberapa cara untuk mencapai hubungan yang simpatik dengan lingkungan sekitarnya, yaitu : mengambil motif-motif desain yang sudah ada; menggunakan
bentuk-bentuk
dasar
yang
sama
tetapi
kemudian
memanipulasikannya sehingga nampak berbeda; mencari bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual yang serupa atau setidaknya mendekati bentuk lamanya; dan mengabstraksikan atau mentransformasikan bentuk aslinya25.
Menurut yang tertulis pada Burra Charter atau Piagam Burra pada tanggal 19 Agustus 1979 di Burra, Australia Selatan, perubahan pada bangunan-bangunan kolonial dapat berupa konservasi, preservasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi. Konservasi
adalah
seluruh
proses
pemeliharaan
sebuah
tempat
untuk
mempertahankan signifikansi budayanya). Preservasi adalah mempertahankan bahan sebuah tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat pelapukan. Restorasi adalah mengembalikan bahan eksisting sebuah tempat pada keadaan semula sebagaimana yang diketahui dengan menghilangkan tambahan atau dengan meniru kembali komponen eksisting tanpa menggunakan material baru. Rekonstruksi adalah mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula sebagaimana yang diketahui dan dibedakan dari restorasi dengan menggunakan
24
(2001), Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2001-2010, P.T. Surya Anggita Sarana Consultant & Pemerintah Kota Bandung, Bandung. 25 Brolin, Brent C. (1980), Architecture in Context, Van Nostrand Reinhold Company, New York, 140.
26
material baru sebagai bahan. Adaptasi adalah memodifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan dengan pemanfaatan eksisting atau pemanfaatan yang diusulkan. Dengan demikian, bangunan-bangunan kolonial di Bandung diharapkan agar dipertahankan dengan tujuan untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahan kota Bandung.
II.5
Fasade Bangunan di Kawasan Perumahan Tjitaroem Plein
Menurut yang tertulis pada buku “Webster’s Third New International Dictionary” karya Philip Babcock dan Merriam Webster, yang dimaksud dengan fasade bangunan adalah bagian muka dari bangunan, wajah eksterior bangunan, yang secara arsitektural merupakan bagian depan, dan kadang-kadang berbeda dari bagian depan bangunan lainnya karena detail arsitektural atau ornamennya26. Didalam buku “Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design” karya Matthew Carmona, Tim Heath, Taner Oc. dan Steven Tiesdell, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan detail adalah bagian dari fasade bangunan yang menjadi fokus perhatian mata yang memiliki keteraturan (order). Didalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa keteraturan (order) berkaitan dengan simetris, keseimbangan, repetisi atau pengulangan, grid atau pola dan lainlain. Selain itu, dinyatakan pula dalam buku tersebut beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mencapai keharmonisan bangunan yaitu letak bangunan, massa bangunan, skala, proporsi, irama dan material. Letak bangunan merupakan posisi bangunan terhadap lingkungan. Massa bangunan merupakan volume atau bentukan bangunan secara tiga dimensi. Skala merupakan perbandingan bangunan dengan objek disekitarnya. Proporsi merupakan hubungan antara elemen-elemen atau bagian-bagian bangunan. Irama merupakan susunan dan ukuran elemenelemen atau bagian-bagian penting pada fasade bangunan. Aspek material meliputi bahan, tekstur dan warna27.
26
Gove, Philip Babcock, Webster, Merriam (1981), Webster’s Third New International Dictionary, G & C Merriam Company Publisher, Springfield. 27 Carmona, Matthew, Heath, Tim, Oc., Taner, Tiesdell, Steven (2003), Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design, Architectural Press, Oxford, 150-156.
27
Bangunan-bangunan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein didominasi oleh langgam “Indo Europeeschen Architectuur Stijl”, yaitu langgam arsitektur perpaduan arsitektur Eropa dan tradisional Indonesia, dengan atap tropis (atap perisai dan pelana) sebagai ciri khasnya. Atap seperti ini merupakan bentuk adaptasi bangunan dengan iklim tropis basah di Indonesia. Beberapa bangunan mengambil elemen-elemen tradisional setempat untuk diterapkan pada bentuk arsitekturnya.
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, berdasarkan gambar peta perkembangan kota Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan perumahan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein tidak sekaligus dibangun pada satu periode, melainkan berangsur-angsur, sehingga bentuk dan fasade bangunanbangunannya tidak selalu sama. Meskipun demikian, karakter fasade bangunan dapat diketahui dengan menggunakan metoda tipologi dan statistika (kuantitas), lalu ditentukan karakter fasadenya berdasarkan kriteria tertentu.
II.6
Kajian Teori Karakter Kawasan dan Fasade Bangunan
Penelitian ini bertujuan untuk mengatur atau menata fasade bangunanbangunan rumah tinggal di kawasan Tjitaroem Plein Bandung. Oleh karena itu, teori-teori yang digunakan untuk menyelesaikan penelitian ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan karakter kawasan dan fasade bangunan. Kedua teori ini dipilih karena keterkaitannya satu sama lain.
II.6.1 Kajian Teori Karakter Kawasan
Menurut yang tertulis pada buku “Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design” karya Matthew Carmona, Tim Heath, Taner Oc dan Steven Tiesdell, karakter adalah identitas suatu tempat28. Selain itu, didalam buku “Genius Loci” karya Christian Norberg-Schulz, dinyatakan bahwa karakter adalah konsep umum yang bersama-sama dengan tempat menyusun konsep place atau 28
Carmona, Matthew, Heath, Tim, Oc., Taner, Tiesdell, Steven (2003), Public Places-Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design, Architectural Press, Oxford, 11.
28
tempat29. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan dengan mencari karakter atau sesuatu yang menjadi identitas / ciri khas kawasan perumahan Tjitaroem Plein. Salah satu unsur yang dijadikan elemen pembentuk karakter kawasan adalah fasade bangunan-bangunannya.
Teori karakter kawasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Karakter Kawasan yang dikemukakan oleh Matthew Carmona dalam bukunya “Housing Design Quality, Through Policy, Guidance and Review”. Didalam buku tersebut dinyatakan bahwa karakter kawasan terbentuk oleh unsur-unsur : garis sempadan bangunan, massa bangunan, besaran bangunan, skala, proporsi, roofscape, corner-focalpoint, elemen vertikal dan horizontal30. Unsur-unsur tersebut bersifat tangible / nyata, sehingga dapat dilihat secara langsung. Oleh karena itu, teori ini serupa dengan Teori Pendekatan dalam Menelusuri Karakter Kawasan melalui pengamatan bentuk fisik dan unsur-unsurnya yang bersifat tangible / nyata (dapat dilihat secara langsung) yang dikemukakan oleh Yoshinobu Ashihara dalam bukunya “The Aesthetic Townscape”31.
II.6.2 Kajian Teori Karakter Fasade Bangunan
Adapun teori karakter fasade bangunan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Penataan Fasade Bangunan yang dikemukakan oleh Ian Bentley dalam bukunya yang berjudul “Responsive Environments”. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa dalam hubungan penataan fasade bangunan, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai keserasian visual, yaitu32 : 1. Menggambarkan seluruh permukaan (fasade / tampak bangunan); 2. mencari
petunjuk
visual
yang
menyangkut
makna
tempat
tertentu
(kontekstual) dan yang berkaitan dengan penggunaan, sehingga desain fasade yang direkomendasikan dapat mengakomodasi kebutuhan penggunanya;
29
Norberg-Schulz, Christian (1984), Genius Loci, Rizzoli International Publication Inc., New York, 13. 30 Carmona, Matthew (2001), Housing Design Quality, Through Policy, Guidance and Review, Spon Press, London. 31 Ashihara, Yoshinobu (1983), The Aesthetic Townscape, The MIT Press, Cambridge. 32 Bentley, Ian (1985), Responsive Environments, The Architectural Press, London, 79-87.
29
3. menganalisis karakter visual konteks dalam hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, dalam hal ini perlu diperhatikan elemen (detail dinding, jendela dan pintu) dan hubungan antar elemen (irama horizontal dan vertikal); 4. menganalisis desain baru yang terpadu dengan bangunan disebelahnya; 5. mensintesa petunjuk yang bersifat kontekstual dengan yang bersifat penggunaan.
Teori ini dianggap sebagai teori yang pantas untuk dijadikan sebagai metoda penelitian, dengan pertimbangan : 1. Dengan menggambarkan seluruh permukaan (fasade / tampak bangunan), maka objek penelitian dapat dengan mudah dianalisa; 2. pencarian petunjuk visual yang menyangkut makna tempat tertentu (kontekstual) tidak dilakukan karena penelitian ini lebih mengutamakan petunjuk visual yang berkaitan dengan penggunaan; 3. analisa elemen-elemen fasade bangunan (detail dinding, jendela dan pintu) dan hubungan antar elemen (irama horizontal dan vertikal) sangat dibutuhkan untuk menganalisa bangunan lebih spesifik; 4. bangunan-bangunan disebelahnya berperan dalam membentuk karakter / kekuatan tempat di kawasan perumahan; 5. proses sintesa petunjuk yang bersifat kontekstual dengan yang bersifat penggunaan tidak dilakukan karena penelitian ini lebih mengutamakan petunjuk visual yang berkaitan dengan penggunaan.
Salah satu elemen / bagian dari fasade bangunan yang berperan menentukan karakter fasade bangunan adalah ornamen. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tidak semua ornamen dirancang untuk tujuan fungsional, tetapi semua ornamen pasti berfungsi sebagai elemen estetis yang dapat memperindah bangunan. Dengan demikian, ornamen dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat memperindah (hiasan); dekorasi33. Menurut Cliff Moughtin, Taner Oc. dan Steven Tiesdell dalam buku “Urban Design : Ornament and Decoration”, nilai estetis ornamen ditentukan oleh empat 33
Brolin, Brent C., Richard, Jean (1982), Sourcebook of Architectural Ornament, Van Nostrand Reinhold Company, New York, 14.
30
faktor. Pertama, kualitas ruang dimana ornamen tersebut ditempatkan. Kedua, bentuk dan pola ornamen tersebut. Ketiga, lingkup area yang dapat menikmati ornamen tersebut. Keempat, cara agar ornamen tersebut dapat dinikmati oleh orang lain yang melihatnya”34.
Setelah pada bab ini dijelaskan tentang sejarah perkembangan kota Bandung, perkembangan permukiman di Bandung, arsitektur kolonial Belanda, upaya pemugaran bangunan-bangunan kolonial Belanda di Bandung, fasade bangunan di kawasan perumahan Tjitaroem Plein, serta kajian teori karakter kawasan dan fasade bangunan, bab selanjutnya menjelaskan tentang analisa karakter fasade bangunan. Seluruh analisa karakter fasade bangunan dilakukan berdasarkan kajian teori karakter kawasan dan fasade bangunan. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan penelitian, yaitu memahami karakter fasade bangunan-bangunan rumah tinggal kolonial di kawasan perumahan Tjitaroem Plein Bandung.
34
Moughtin, Cliff, Oc., Taner, Tiesdell, Steven (1995), Urban Design : Ornament and Decoration, Butterworth-Heinemann Ltd., Oxford, 4.
31