9
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Chironomidae Chironomidae merupakan salah satu famili dari serangga Ordo Diptera. Serangga dari ordo Diptera memiliki nama yang berasal dari jumlah sayap (ptera) pada hewan dewasa yang hanya dua (Di-), bukan empat seperti kebanyakan serangga lainnya (McCafferty 1981). Sebagai serangga air, Diptera sangat banyak ditemukan pada berbagai tipe perairan. Larva chironomida dapat ditemukan di daerah litoral maupun profundal perairan tergenang (Hershey & Lamberti 2001). Kebanyakan larva chironomida hidup meliang di dasar substrat, beberapa membentuk tabung pada substrat (Pennak 1978; McCafferty 1981; Pinder 1986). Tidak seperti larva nyamuk yang hidup terutama dekat permukaan air, larva chironomida hidup di dasar atau di atas tumbuhan air dan objek yang tenggelam. Beberapa spesies yang hidup di danau umumnya larva yang berenang bebas, bahkan beberapa spesies yang hidup sebagai benthos memiliki larva yang berenang bebas pada instar awal. 2.1.1. Perkembangan hidup chironomida Chironomida seperti semua Diptera yang memiliki metamorfosis sempurna, memiliki empat stadia hidup, yaitu telur, larva, kepompong, dan dewasa (Pennak 1978; McCafferty 1981).
Biasanya, setelah proses pemijahan, hewan betina
meletakkan massa telur di permukaan air yang akan tenggelam ke dasar perairan, dan selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva (Ciborowski 2002). Siklus hidup sejak dari telur hingga dewasa berkisar antara kurang dari satu minggu hingga lebih dari satu tahun, tergantung dari spesies dan musim. Pada Gambar 2 diilustrasikan siklus Chironomus riparius sebagai contoh siklus hidup dari Famili Chironomidae.
Menurut Hilsenhoff (2001) siklus hidup
Chironomidae bervariasi untuk setiap spesies, dari univoltine (satu generasi dalam setahun) dan banyak yang lain bivoltine (dua generasi dalam setahun) atau multivoltine (lebih dari dua generasi dalam setahun).
10
Gambar 2. Gambar siklus hidup Chironomus riparius. Telur dan larva instar pertama umumnya planktonik, sementara instar-instar yang lebih tua bermigrasi ke sedimen sebagai benthos, dan dewasa hidup di udara. (Sumber: modifikasi Charles et al. 2004). Chironomidae dewasa melakukan perkawinan di udara dalam bentuk gerombolan, akan tetapi beberapa spesies melakukan perkawinan di tanah. Telur terdapat dalam kantung-kantung bergelatin yang merupakan pelindung massa telur yang kompleks, yang diletakkan di air. Massa telur dapat tenggelam ke dasar perairan atau melekat dengan tali jangkar gelatin di tumbuhan atau substrat tenggelam. Beberapa spesies meletakkan telur yang mengapung di permukaan air seperti massa gelatin. Setiap massa telur, tergantung spesiesnya, memiliki kurang dari 100 sampai dengan 2000 butir telur. Telur biasanya menetas setelah 24 sampai 36 jam (Hershey & Lamberti 2001). Larva biasanya berbentuk memanjang, seperti belatung (Gambar 3), berukuran 1–100 mm. Kepala tersusun dari massa sklerotin, ada yang terbentuk dengan baik ada yang tidak. Mata tidak terbentuk dengan baik. Bentuk antenna bervariasi. Bagian mulut banyak yang termodifikasi. Thorax tidak memiliki tiga pasang kaki beruas, meskipun pada beberapa jenis memiliki satu atau dua pasang proleg di bagian anterior. Tidak memiliki bakal sayap. Abdomen 8–10 ruas, beberapa jenis dilengkapi pasangan proleg di ruas tertentu, ujung abdomen ada yang dilengkapi proleg atau tonjolan lain (McCafferty 1981).
11
Gambar 3. Bentuk larva chironomida (Sumber: Hilsenhoff 2001). 2.1.2. Pertumbuhan larva chironomida Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu. Pada serangga pertumbuhan bersifat diskontinyu, terutama karena ada bagian tubuh yang tersusun dari sklerotin, kutikula yang kaku membatasi pembesaran tubuh.
Dalam memperbesar tubuh, serangga harus melakukan
molting, yaitu pembentukan secara periodik kutikula baru yang lebih besar untuk menggantikan kutikula yang lama. Oleh karena itu, pada ruas dan anggota tubuh yang memiliki sklerit, peningkatan ukuran tubuh terbatas pada periode postmolt sesaat setelah molting, sebelum kutikula menjadi kaku dan mengeras (Gullan & Cranston 2005). Kajian mengenai perkembangan serangga melibatkan dua komponen pertumbuhan.
Yang pertama adalah pertambahan karena molting, yaitu
pertambahan ukuran yang terjadi antara satu instar denga instar yang lain. Umumnya peningkatan ukuran dihitung sebagai peningkatan dimensi tunggal (misalnya panjang atau lebar) dari bagian tubuh yang bersklerotin. Pertambahan bobot tidak dapat digunakan sebagai acuan pengukuran karena dapat memberikan informasi yang keliru akibat adanya keragaman makanan dan lingkungan perairan. Komponen kedua adalah periode intermolting, dikenal sebagai stadium atau capaian instar, yang didefinisikan sebagai waktu antara dua molting yang berurutan. Besarnya pertambahan molting dan periode intermolting dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, suhu, kepadatan larva, dan kerusakan fisik (hilangnya anggota tubuh), dan dapat berbeda antara individu jantan dan betina pada spesies yang sama (Pinder 1986). Tipe dan cara makan chironomida ada yang bersifat detrivor, yaitu memakan organisme atau algae yang sudah mati, grazer yaitu memakan algae dan
12 fitoplankton, dan beberapa ada yang bersifat predator atau memangsa avertebrata lain yang lebih kecil (Pinder 1986).
Jenis herbivor dan detritivor memakan
dengan cara grazing partikel halus di atas substrat, beberapa filter feeder yang melengkapi dirinya dengan jaring untuk menyaring air yang dialirkan melalui tabungnya. Kebanyakan larva yang bersifat predator hidup bebas, akan tetapi kebanyakan spesies memiliki tabung yang terbuat dari partikel substrat halus yang direkatkan oleh sekresi air liurnya (Hilsenhoff 2001). Larva Chironomida pada setiap habitat memiliki pola adaptasi yang berbeda pula, khususnya terhadap suhu dan oksigen (McCafferty 1981; Pinder 1986; Frouz et al. 2003). Banyak spesies larva Chironomidae yang tahan terhadap kandungan oksigen yang rendah.
Hal ini berkaitan dengan darahnya yang
mengandung hemoglobin. Beberapa jenis membuat tabung yang menjulang di atas substrat dalam rangka mempertahankan konsentrasi oksigen lebih dari 7 mg/L di bukaan tabung (Pinder 1986). Akan tetapi, kelimpahan larva Chironomida juga menunjukkan korelasi yang negatif terkait keberadaan oksigen. Diduga kondisi ini sebagai korelasi yang positif dengan kandungan bahan organik (Pinder 1986). Dengan demikian, chironomida seringkali menjadi salah satu organisme yang menjadi indikator kondisi perairan. Larva dari salah satu jenis chironomida sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan dan bentuk polusi, sementara chironomida jenis lainnya merupakan jenis yang toleran terhadap perubahan kondisi perairan. Larva chironomida membantu membongkar sedimen organik, yaitu dengan membersihkan air dan memecahkan bahan-bahan yang membusuk. Chironomida memiliki peran penting dalam jala makanan di perairan.
Larva chironomida
memiliki peranan penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan sebagai makanan bagi ikan (Pinder 1986; Batzer 1998; Kakareko 2002; Lobinske et al. 2002; Kamler et al. 2008) dan organisme avertebrata lainnya (Pinder 1986). Di samping itu, chironomida dewasa juga dimakan burung-burung (Pinder 1986). Substrat tempat hidup larva Chironomidae sangat beragam. Beberapa jenis substrat yang sering digunakan larva chironomida, antara lain batu, sedimen lunak, kayu yang tenggelam, dan tumbuhan air. Bahkan beberapa jenis dapat hidup secara epizooik (Pinder 1986). Selain itu Pinder (1986) juga menyebutkan
13 bahwa banyak larva spesies Chironomidae yang cenderung menyukai kedalaman tertentu dari perairan.
Beberapa jenis cenderung berpindah posisi kedalaman
seiring dengan perkembangan siklus hidupnya. 2.2. Produktivitas Sekunder Produktivitas
sekunder
adalah
pembentukan
biomassa
heterotrofik
sepanjang waktu (Downing & Rigler 1984; Benke & Huryn 2007) atau laju pembentukan biomassa baru oleh organisme konsumer. Produktivitas sekunder tahunan, misalnya, adalah jumlah semua biomassa yang diproduksi suatu populasi selama satu tahun.
Termasuk juga sisa produksi di akhir tahun dan semua
kehilangan produksi selama periode ini. Kehilangan tersebut termasuk karena kematian (karena penyakit, parasitisme, kanibalisme, predasi), kehilangan cadangan jaringan (molting, kelaparan), dan emigrasi. Laju produksi sekunder juga dapat diartikan sebagai jumlah jaringan tubuh yang bertambah dari avertebrata air tawar per unit waktu per unit area (Clarke 1946; Waters & Crawford 1973 in Downing &Rigler 1984). Variasi laju pertumbuhan juga berperan dalam membedakan spesies serangga, memisahkan kohort, dan menghasilkan struktur komunitas serangga. Secara fisiologis, suhu dan makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan bagi banyak spesies baik di perairan tergenang maupun mengalir (Hershey & Lamberti 2001). Untuk memahami konsep produktivitas sekunder, perlu dipahami hubungan antara biomassa dan produksi (Benke & Huryn 2007). Biomassa (B) adalah suatu ukuran seberapa besar massa jaringan hidup sebuah populasi disajikan pada suatu waktu tertentu (atau rata-rata dalam beberapa periode waktu) dengan unit massa (atau energi) per unit area (misalnya g/m2). Produksi adalah suatu aliran (misalnya g.m-2.tahun-1). Produksi dibagi biomassa (P/B) adalah suatu nilai, dengan unit per waktu (misalnya tahun-1). Karena setiap unit waktu dapat digunakan sebagai nilai, maka dapat dilakukan penghitungan P/B tahunan, P/B mingguan, P/B harian, dan seterusnya. Nilai P/B pada dasarnya merupakan nilai rata-rata terboboti dari laju pertumbuhan biomassa seluruh individu dalam populasi.
Dengan kata lain, P/B suatu kohort didefinisikan
sebagai produksi dari suatu populasi selama hidupnya dibagi dengan biomassa rata-rata selama periode waktu yang sama. Ciri sederhana dari P/B adalah nilai
14 yang relatif konstan sekitar 5 (dengan rentang nilai biasanya antara 3 sampai 8). Karena dihitung selama suatu periode waktu yang bervariasi (yaitu selama daur hidupnya), lebih merupakan suatu rasio (tidak memiliki satuan) daripada suatu nilai mutlak. Saat suatu kohort tumbuh seiring waktu, terjadi penurunan jumlah individu (N), yang disebabkan oleh kematian, dan peningkatan massa individu (W), terkait dengan pertumbuhan. Hal ini dijelaskan melalui pendekatan populasi serangga sungai pada Gambar 4. Selang produksi (waktu antara dua pengambilan contoh) dapat dihitung dari data lapangan menggunakan metode jumlah-peningkatan (increment-summation method) sebagai hasil dari kepadatan rata-rata antara dua pengambilan contoh dan penambahan massa individu ∆W (N×∆W).
Gambar 4.
Kohort hipotetik dari serangga sungai yang menggambarkan pertumbuhan individu dalam massa (W) dan kematian/mortalitas individu (N). (Sumber: modifikasi Benke 1984 in Benke & Huryn 2007).
Asumsi yang digunakan adalah hanya ada satu generasi setiap tahun, sehingga produksi tahunan dapat dihitug sebagai jumlah dari seluruh perkiraan selang, ditambah biomassa awal, yang memenuhi persamaan: ∑̅ Biomassa awal (
(1)
) menggambarkan pendekatan produksi yang terakumulasi
sebelum waktu pengambilan contoh pertama.
15 Pendugaan produksi pada populasi yang tidak dapat ditelusuri sebagai satu kohort dari data di lapangan harus dilakukan menggunakan metode Non-kohort. Metode ini memerlukan pendekatan bebas dari waktu pertubuhan atau laju pertubuhan biomassa. Pada metode frekuensi-ukuran (size-frequency method), digunakan asumsi bahwa distribusi frekuensi-ukuran distribusi yang ditentukan dari sampel selama setahun mendekati kurva kematian bagi kohort rata-rata (Hynes and Colemen 1968, Hamilton 1969, Benke 1979 in Benke & Huryn 2007). Dengan demikian pada metode ini penurunan jumlah individu dari satu ukuran ke ukuran berikutnya harus dikalikan dengan rata-rata biomassa antara dua selang ukuran.
Hal ini dilakukan karena diasumsikan terdapat perkembangan total
dalam satu tahun dan terdapat kohort dengan jumlah yang sama selama satu tahun saat ukuran dikelompokkan. Kohort P/B memiliki nilai yang sama dengan jumlah kolom biomassa (rata-rata biomassa tahunan) dibagi dengan jumlah kolom terakhir (produksi diasumsikan dalam satu tahun (Benke & Huryn 2007). 2.3. Substrat Buatan Substrat bagi Chironomidae merupakan tempat untuk beristirahat, mendapatkan makanan, bereproduksi dan pertumbuhan (misalnya sebagai tempat menempel kepompong), maupun tempat berlindung dari predator dan kondisi fisik yang tidak nyaman (Hershey & Lamberti 2001). Substrat buatan merupakan sarana yang dibuat dari material alami maupun buatan dengan berbagai komposisi dan konfigurasi, yang ditempatkan dalam air pada kedalaman tertentu selama periode pemaparan, untuk kolonisasi komunitas makroavertebrata (Eaton et al.1995; WDNR 1998; Klemm et al. 1990 in Saliu & Ovuorie 2007). Substrat buatan merupakan manipulasi atau imitasi dari karakteristik substrat alami (Allan 1995 in Saliu & Ovuorie 2007).
Seperti halnya pada substrat alami yang
tenggelam (misalnya ranting kayu), kolonisasi utama pada substrat buatan dilakukan oleh larva serangga air, diikuti oleh crustacea, coelenterata, bryozoan, cacing, gastropoda, dan moluska (Eaton et al.1995, Taylor & Kovats 1995). Kegunaan substrat buatan adalah untuk mendapatkan sampel populasi hewan
avertebrata
bentik,
mengingat
bahwa
habitat
organisme
tidak
memungkinkan bagi suatu alat sampling kuantitatif seperti grabs, dredges, nets, dan alat sejenisnya untuk digunakan pada habitat tersebut (Rosenberg & Resh
16 1982 in Saliu & Ovuorie 2007). Substrat buatan untuk mendapatkan sampel makroavertebrata juga diyakini memberikan nilai keragaman yang lebih rendah dikarenakan substrat buatan memiliki bentuk habitat yang seragam untuk proses kolonisasi. Taylor & Kovats (1995) menyebutkan keuntungan utama dalam penggunaan substrat buatan untuk mendapatkan data makroavertebrata adalah untuk meminimalisasi bentuk variasi fisik seperti jenis substrat, kedalaman, dan penetrasi cahaya.
Alat ini juga dapat digunakan karena tidak menggangu
keberadaan organisme asli di kawasan tersebut. Substrat buatan baik digunakan untuk mendapatkan data mengenai populasi makroavertebrata ketika alat konvensional tidak efisien dan tidak efektif untuk digunakan, khususnya pada perairan yang memiliki karakteristik sebagai berikut. 1.
Sifat badan air yang memiliki kedalaman tinggi dan keruh.
2.
Sifat substrat yang tidak stabil berupa pasir dan lumpur.
3.
Sifat dasar perairan yang berupa bebatuan besar dan keras.
4.
Sifat badan air yang memiliki arus yang kencang. Melalui substrat buatan, habitat yang tidak cocok untuk organisme benthik
dapat diatasi dengan menyeragamkan bentuk dasar dari habitat yang dapat diletakkan pada area mana pun sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Asumsi mengenai hal ini adalah bahwa komposisi dari organisme yang mengalami kolonisasi di substrat buatan dapat digunakan untuk menduga dampak dari kegiatan antropogenik dan merupakan hal yang sama saat menggunakan alat grab (Hellawell 1978 in Saliu & Ovuorie 2007). Flannagan & Rosenberg (1982) membagi substrat buatan menjadi 8 tipe sebagai berikut. 1.
Kontainer berisi macam-macam substrat (containers filled with various substrates);
2.
Multiplate (atau multiple-plate) samplers;
3
Papan, panel, ubin;
4.
Batu bata dan balok;
5.
Lembaran plastik, polyethylene dan kain, tali temali;
6.
Substrat implant;
7.
Substrat organik alami; dan
8.
Beraneka ragam substrat (miscellaneous substrates).
17 2.4. Lingkungan perairan yang mempengaruhi chironomida 2.4.1. Kedalaman Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika perairan yang berkaitan erat dengan intensitas cahaya matahari, tekanan, dan suhu di dalam kolom perairan. Semakin dalam perairan, semakin berkurang intensitas cahaya matahari yang masuk. Semakin besar kedalaman, semakin besar tekanan air. Tekanan pada air berpengaruh terhadap proses osmosis dalam tubuh organisme sehingga organisme akan berusaha agar tekanan osmosis lingkungan sesuai dengan keadaan tubuh dan proses osmoregulasi dalam tubuh organisme. Hal ini berpengaruh terhadap pola penyebaran organisme, khususnya makroavertebrata pada kolom perairan dengan kedalaman yang berbeda (Pinder 1986; Wetzel 2001). Kedalaman juga dapat berpengaruh terhadap stratifikasi suhu dalam kolom perairan berkenaan dengan panas yang diterima pada setiap kolom perairan. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya gaya yang bekerja pada lapisan yang lebih dalam.
Kedalaman merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang
berhubungan dengan banyaknya air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan dan berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan. 2.4.2. Suhu Suhu merupakan parameter penting dalam perairan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di perairan. Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berperan terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air.
Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi
ekosistem perairan.
Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas,
reaksi kimia, evaporasi, dan volatilitas. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Wetzel 2001). Sebagian besar makrozoobenthos dapat mentolerir suhu air di bawah 35 C, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu yang ekstrim panas, misalnya pada sumber mata air panas yang bersuhu 35 C hingga 50 C. Contoh serangga yang dapat hidup pada suhu ekstrim tersebut adalah larva diptera Famili Chironomidae, Culicidae, Stratiomyidae, dan Ephydridae; larva Coleoptera Famili
18 Dytiscidae dan Hydrophylidae; Hemiptera; dan Odonata (Ward 1992). Menurut Casper in Rossaro (1991), suhu, substrat, dan kecepatana arus merupakan factor penentu struktur komunitas chironomida. Suhu adalah salah satu faktor penentu penting bagi laju pertumbuhan dan perkembangan serangga air. Ukuran serangga dewasa sangat tergantung pada suhu perairan yang diterimanya pada saat perkembangan larva di air (Pinder 1986). 2.4.3. Oksigen terlarut Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen yang terlarut bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian, serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut akan semakin kecil (Wetzel 2001). Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter kimia yang lain, terutama pada saat kondisi tanpa oksigen, yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kelarutan beberapa unsur kimia di perairan.
Selain itu, penurunan
konsentrasi DO juga dapat menyebabkan dampak yang kurang baik bagi makroavertebrata
karena
oksigen
terlarut
dibutuhkan
untuk
respirasi
makroavertebrata seperti serangga akuatik sehingga merupakan parameter lingkungan yang sangat penting (Ward 1992).
Beberapa jenis anggota
Chironomidae tahan terhadap kandungan oksigen yang rendah (Pinder 1986). Distribusi dan kelimpahan benthos (misalnya larva serangga, crustacea, dan moluska) sangat dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen dan tipe dasar perairan. Kebanyakan populasinya ditemukan di atas sedimen pada lapisan termoklin dan tepi danau yang mengalami turbulensi oksigen dan yang memiliki makanan melimpah. Pada bagian bawah termoklin, jumlah mereka turun karena terjadi penurunan suhu. Organisme yang memiliki spesialisasi tertentu saja yang dapat mendiami zona profundal danau eutrof yang juga memiliki kandungan oksigen rendah (Goldman & Horne 1983). 2.4.4. Bahan organik Bahan organik dalam bentuk detritus merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik
19 dan industri. Berbagai jenis bahan organik yang terdapat di alam ini dirombak (didekomposisi) melalui proses oksidasi, yang dapat berlangsung dalam suasana aerob (keberadaan oksigen) maupun anaerob (tanpa oksigen). Produk hasil akhir dari dekomposisi atau oksidasi bahan organik pada kondisi aerob adalah senyawasenyawa yang stabil. Sementara produk akhir dari dekomposisi pada kondisi anaerob, selain karbondioksoda dan air, juga berupa senyawa-senyawa yang tidak stabil dan bersifat toksik, misalnya amonia, metana, dan hidrogen sulfida. Keberadaan bahan organik di perairan juga dapat menjadi sumber makanan bagi beberapa kelompok organisme, terutama kelompok organisme pemakan detritus (Pinder 1986). 2.4.5. Nilai pH Puissanced’Hydrogen (pH atau kekuatan hidrogen) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari ion hidrogen (Goldman&Horne 1983). Nilai pH penting untuk mengindikasikan jumlah ion hidrogen bebas yang berada di dalam air karena adanya logaritma negatif (pH= -log10 [H+]). Perkiraan dari alkalinitas, karbondioksida, dan reaksi asam basa diperoleh dengan menggunakan nilai pH. Konsentrasi ion hidrogen juga merupakan salah satu indikator utama untuk evaluasi kualitas air permukaan mengontrol reaksi kimia berbagai nutrien di danau (Goldman & Horne 1983). Derajat keasaman (pH) normal memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH < 7 menunjukkan keasaman. Nilai pH=0 menunjukkan derajat keasaman tertinggi, dan pH 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi.
Umumnya indikator
sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah.
Selain mengunakan
kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit/konduktivitas suatu larutan. Nilai pH bersama suhu perairan, oksigen terlarut, nitrat, alkalinitas, ukuran partikel, dan kandungan bahan organik merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kekayaan
jenis,
kelimpahan,
komposisi,
dan
distribusi
chironomida di ekosistem perairan (Pinder 1986, Rossaro 1991, Lobinske et al. 1996). Woodcock et al. (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada
20 empat genus chironomida yang menyukai nilai pH tertentu.
Genera
Paratanytarsus, Procladius (Psilotanypus), dan Thienemannimyia menyukai pH tinggi; sementara Genus Tanytarsus menyukai pH rendah.