TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Teori Budaya Perusahaan Pada awalnya penemuan teori budaya perusahaan (BP) berdasarkan kajian sosiologi dan antropologi oleh Taylor pada tahun 1877 (Adler dan Doctor, 1990; Pepper, 1995). Pada saat ini kajian BP semakin berkembang pada lingkup ilmu ekonomi, manajemen, teknologi, serta psikologi industri dan organisasi. Menurut Turner (1990) perkembangan kajian teori BP semakin dipertimbangkan untuk perancangan strategi bisnis. Goold dan Quinn (1990) mengatakan bahwa bagian terpenting dari suatu sistem pengendalian terdapat pada nilai-nilai BP yang mempengaruhi pola kerjasama sumberdaya manusia untuk mencapai sasaran perusahaan, sehingga BP merupakan sumberdaya tersembunyi (hidden resources) untuk melaksanakan berbagai kebijakan strategik. Keterkaitan tersebut menunjukkan bahwa pendekatan BP merupakan suatu orientasi baru untuk menerapkan SB, sebab nilai-nilai BP yang dipadukan dengan aspek inovasi, kualitas, efektifitas proses manajemen, pengendalian biaya, fleksibilitas, dan pengelolaan modal, dapat menunjang keberhasilan SB (Quinn, 1995b). Saat ini kajian BP berkembang menjadi 3 kelompok kajian. Kelompok pertama memandang BP sebagai kajian perilaku individu dalam organisasi, menyangkut cara manusia dan organisasi melakukan pembelajaran dan mengelola pengetahuan, misalnya yang dilakukan oleh Edgar H. Schein, Geert Hofstede, Ikujiro Nonaka, dan Peter Senge. Kelompok kedua memandang BP sebagai bagian dari kajian strategi organisasi, misalnya oleh Charles W.L. Hill, Garet R. Jones, Henry Mintzberg, dan Peter F. Drucker. Kelompok ketiga memandang kajian BP sebagai bagian dari pengembangan dinamika organisasi, misalnya oleh Derek Torrington, Donald F. Harvey, dan Donald R. Brown. Selain itu ditemukan juga studi BP dalam perspektif teknologi misalnya oleh Singh (1995) dan McMurray (2003). Perkembangan kajian BP tersebut menunjukkan bahwa saat ini teori dan aplikasi BP sangat berkembang. 11
Manfaat Budaya Perusahaan Saat ini pasar global membuat lingkungan bisnis semakin kompetitif, dinamis, dan bersifat tanpa batas (boundaryless) sehingga organisasi bisnis membutuhkan dukungan internal (Ashkenas et al., 2002). Dukungan internal berupa kesamaan cara pandang, sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata nilai, visi misi, dan sasaran bisnis perusahaan (Davis et al., 1994; Deal dan Kennedy, 1982 dan 1999). Perubahan lingkungan bisnis yang semakin kompetitif mendorong setiap organisasi merekayasa dirinya agar mampu menghadapi tekanan lingkungan eksternalnya (Brickley et al., 1996; Zhu, 2000), dan bentuk perekayasaan tersebut merupakan strategi budaya perusahaan yang mendorong proses pembelajaran sehingga perusahaan kompetitif (Pedler, 1994). Menurut Zhu (2000) bahwa melalui BP, organisasi akan cepat melakukan pembelajaran sehingga kemampuan bersaingnya meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi strategi bisnis akan efektif jika mempertimbangkan nilai-nilai BP. Perubahan lingkungan bisnis menuntut organisasi bisnis dapat melakukan transformasi dengan menggunakan nilai-nilai BP sebagai pengikat keutuhan organisasi untuk melakukan transformasi. Pengalaman BRI sejak berdiri pada tanggal 16 Desember 1895 mampu bertahan sampai saat ini dan pada tahun 2004 berdasarkan survei majalah The Banker (diterbitkan oleh The Financial Times) terpilih sebagai bank terbaik ranking 18 dunia di bidang kemampuan laba atas ekuitas (return on equity) dari 1,000 bank terbaik dunia, hal ini terjadi karena BRI memiliki BP yang memudahkan melakukan transformasi organisasi (Moeljono, 2005a). Menurut Moeljono bahwa saat ini sebagian besar BUMN di Indonesia telah mencatatkan diri memiliki BP, tetapi sebagian besar menunjukkan bukanlah BP melainkan peraturan perusahaan, seharusnya BP merupakan nilai-nilai dan standar perilaku kebersamaan menjadi sumber untuk merancang peraturan. Davis et al. (1994) menjelaskan bahwa peranan SDM sangat penting sebagai aktor BP, dan para manajer harus dapat melakukan perekayasaan nilai-nilai BP melalui formalisasi, orientasi konsumen, kesadaran kualitas, kinerja SDM, hubungan antar manusia, efektifitas pengambilan keputusan,
12
pemberdayaan, serta fokus pada strategi dan struktur organisasi sehingga BP menjadi operasional untuk menunjang proses manajemen organisasi. Sasmojo (1995) mengatakan bahwa proses industrialisasi harus bertumpu pada keterkaitan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu bersaing. Pada sektor pertanian, perekayasaan BP diperlukan untuk memperkecil hambatan-hambatan institusional. Perekayasaan BP tersebut dapat dilakukan melalui sosialisasi nilai-nilai BP sehingga membentuk sikap organisasi, kelompok dan individu yang sesuai dengan visi dan misi (Blunt dan Richards, 1993). Menurut Hofstede (1993) berdasarkan peringkat relatif pada Tabel 1, karakteristik perilaku budaya nasional Indonesia adalah (a) individualisme yaitu perhatian pada diri sendiri berada pada peringkat rendah (6), (b) jarak kekuasaan (power distance) yaitu jarak hubungan hirarkhi kekuasaan antara pemimpin dan bawahan berada pada peringkat tinggi (44), (c) menghindari ketidak-pastian (uncertainty avoidance) yaitu toleransi pada keragaman berada pada peringkat rendah (12), dan (d) maskulinitas (masculinity) yaitu dominasi, menyukai aspek uang dibandingkan manusia, rasional, asertif dan kompetitif berada pada peringkat sedang (22). Tabel 1. Empat dimensi budaya nasional delapan negara berdasarkan peringkat relatif tahun 1987. Negara Indonesia Malaysia Philipina Singapura Muangthai Belanda Amerika Serikat
Individualisme
Jarak kekuasaan
Menghindar ketidakpastian
Maskulinitas
6 17 21 14 13 47 50
44 50 47 40 32 14 16
12 8 10 1 22 18 11
22 27 40 24 10 3 36
Keterangan: Peringkat relatif (1 = rendah; 50 = tinggi). Sumber: Hofstede (1993: 137).
Hasil studi Hofstede di atas tentang gambaran umum budaya nasional Indonesia dapat dijadikan sebagai acuan untuk merumuskan rekayasa BP yang sesuai untuk AKS. Secara umum BP tersebut adalah mendorong keter-
13
bukaan hubungan atas dan bawah, kebersamaan, toleransi pada keragaman kondisi kerja, serta perilaku SDM dan organisasi yang kompetitif. Dasar Teori Budaya Perusahaan Teori Budaya Perusahaan Pengertian budaya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1995), budaya berhubungan dengan pikiran atau akal budi; sedangkan kebudayaan sebagai hasil kegiatan penciptaan akal budi manusia. Adat diartikan sebagai aturan atau perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut The World Book Dictionary (1978) budaya berhubungan dengan perasaan (feeling), pikiran (thoughts), selera (tastes), atau tata-cara berperilaku (manners). Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000) budaya adalah cara hidup yang berhubungan dengan kebiasaan (customs) dan keyakinan (beliefs), seni (art), dan lingkungan sosial organisasi atau kelompok, selanjutnya budaya juga diartikan sebagai keyakinan dan sikap yang secara bersama-sama digunakan oleh orang-orang dalam suatu organisasi atau kelompok. Menurut Taylor dalam Adler dan Doctor (1990: 485) budaya adalah kompleksitas yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, adat istiadat, serta berbagai kemampuan dan perilaku seseorang sebagai anggota masyarakat. Konsep dari definisi ini menunjukkan bahwa budaya merupakan seluruh aspek kehidupan (sikap, tindakan, dan hasil tindakan) anggota masyarakat, dan untuk memahami BP harus dilakukan melalui pemahaman interpretatif terhadap tindakan-tindakan sosial pada lingkungan organisasi berdasarkan penjelasan kausal dari sebab (motive) dan akibat (motion) (Visagie et al., 2003). Pada tinjauan antropologi, Kluckhohn dalam Hofstede (1980: 25) memberi pernyataan konsensus definisi budaya adalah cara berpikir, perasaan dan reaksi, diperoleh dan disebarkan melalui simbol, cara tertentu kelompok manusia mencapai tujuan, terwujud dalam artifak mereka; inti utama budaya terdapat pada pemikiran tradisional dan secara khusus ditetapkan oleh nilainilai mereka. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai berperan penting 14
mempengaruhi cara berpikir, perasaan dan reaksi manusia terhadap lingkungannya. Pada tinjauan teori kepribadian (personality), Hofstede (1980: 25) mengembangkan definisi budaya adalah interaksi agregat dari karakteristik umum yang mempengaruhi respons kelompok manusia terhadap lingkungannya. Hofstede menjelaskan bahwa pemahaman aspek budaya harus dilakukan melalui pengujian kepribadian, sebab memahami bentuk perilaku manusia dapat diketahui nilai-nilai yang diyakininya. Pada tinjauan studi manajemen organisasi, ditemukan budaya organisasi atau budaya perusahaan (BP) memiliki sangat banyak definisi dan pengertian, salah-satu definisi adalah dari Maccoby (2003: 60) bahwa BP adalah reaksi manusia yang terbentuk oleh proses relasi dengan orang lain, peran yang dimiliki, proses pembelajaran dalam organisasi, dan pembentukan nilai karena saling-percaya (trust) yang distimuli oleh pembelajaran. Pada definisi ini, Maccoby menjelaskan bahwa aspek saling-percaya dan pembelajaran merupakan dasar pembentukan nilai-nilai BP. Penjelasan yang bersifat operatif dari Tagiuri dan Litwin di dalam Denison (1990) menjelaskan bahwa BP merupakan bentuk relatif kualitas lingkungan internal organisasi yang terbentuk dari hasil pengalaman konstituen organisasi yang mempengaruhi perilakunya dan membentuk nilai-nilai, dimana nilai-nilai merupakan serangkaian karakteristik organisasi; selanjutya Denison menjelaskan bahwa BP merupakan sistem perilaku yang mempengaruhi efektifitas organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa organisasi akan efektif bilamana nilai-nilai BP dijadikan sebagai identitas organisasi untuk merumuskan berbagai kebijakan manajemen organisasi. Pada berbagai kajian manajemen perilaku organisasi menerangkan bahwa BP merupakan pemahaman bersama (share of meaning) dari setiap konstituen organisasi (Deal dan Kennedy, 1982; Burke dan Litwin, 1989; Hoecklin, 1995; Pascale, 1995; Robbins, 1996; Hellriegel et al., 2001; McShane dan Glinow, 2003). Pengertian ini paling praktis dan umum digunakan pada kajian manajemen organisasi dengan pendekatan perilaku.
15
Laporan-laporan kajian BP dalam perspektif teknologi, menyatakan bahwa BP mempengaruhi pembentukan modal intelektual (intellectual capital) melalui interaksi dari kompetensi dan komitmen (Ulrich, 1998; Zhou dan Fink, 2003), melalui proses pembelajaran sehingga membentuk pengetahuan (Nahapiet dan Goshal, 1998; Burr dan Girardi, 2002; Rastogi, 2003), sehingga membentuk kesamaan nilai-nilai (share values) yang mempercepat adaptasi dan integrasi, invensi, dan inovasi teknologi (Tsai, 2001; McMurray, 2003; Rodgers, 2003; Swart dan Kinnie, 2003). Durheim di dalam Bate (1992) menyatakan semua teori BP menjelaskan bahwa individu konstituen organisasi harus dapat menyamakan persepsinya sebagai bentuk kesadaran kolektif (collective-consciousness). Kesadaran kolektif tersebut kemudian terbentuk budaya sebagai suatu konstruk dan dimensi yang membedakan orang yang berada di luar dan di dalam bentukan budaya karena adanya perbedaan kolektifitas (Hofstede, 1996). Menurut Bandura (1999) pengalaman kognitif seseorang pada lingkungan mempengaruhi sikapnya, sebab hal-hal yang dipelajarinya dari lingkungan sosial menjadi preferensi untuk membentuk sikap. Sikap terbentuk karena individu melakukan pembelajaran sosial (Bandura di dalam Hergenhahn dan Olson, 1997), kemudian individu menerjemahkan kognitifnya dan memutuskan apakah akan mengembangkan berbagai kemampuan dirinya atau tidak (Bandura, 1997 dan 2001a), sehingga faktor pembelajaran sosial merupakan pembentuk kesadaran kolektif (Bandura, 2000). Schein (1985) menjelaskan bahwa BP bersifat kausalitas hasil pembelajaran dari berbagai pengalaman kelompok, dan organisasi akan kompetitif jika memiliki budaya pembelajaran (learning culture). Aspek pembelajaran penting karena sifat BP dan pengertiannya tidak statis dan selalu berkembang, demikian juga artifak BP selalu berevolusi sesuai perubahan lingkungan bisnis (Schein, 2000). Pada penelitian ini digunakan definisi BP dari Schein (1985: 9) yaitu suatu bentuk asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh kelompok sebagai hasil pembelajaran untuk mengadaptasikan
16
masalah-masalah eksternal dan mengintegrasikan masalah-masalah internal. Pada kehidupan organisasi, Schein (2000: xxiii) menyatakan bahwa BP berhubungan dengan asumsi dasar mengenai apa yang dirasakan individu tentang organisasi, sistem kekuasaan, serta tingkat keterlibatan dan komitmen karyawan. Asumsi-asumsi dasar individu atau kelompok sebagai deeper level yang membentuk nilai-nilai dan artifak, kemudian membentuk sistem sosial yang mempengaruhi dinamika kelompok terhadap tujuan organisasi sehingga berperan pada strategi organisasi. Faktor pemimpin dan lingkungan organisasi sangat berperan pada pembentukan asumsi-asumsi dasar sehingga terbentuk nilai-nilai dan artifak BP. Pada teori ini menunjukkan lingkungan dan peran pemimpin merupakan konstrain utama BP (Schein, 1985 dan 2000). Dibandingkan dengan definisi-definisi BP dari berbagai sumber (Lampiran 1), definisi BP dari Schein digunakan sebab menjelaskan peran individu dan kelompok pada pemecahan masalah-masalah organisasi. Peran tersebut dapat terbentuk jika sistem kekuasaan organisasi mengakomodasi keterlibatan dan komitmen karyawan. Pada konteks strategi bisnis, definisi ini menjelaskan bahwa perilaku individu dan kelompok yang turut menyelesaikan permasalahan pada lingkup kerjanya merupakan bentuk perilaku yang menunjang pelaksanaan strategi bersaing. Berdasarkan berbagai definisi dan pengertian pada Lampiran 1, menunjukkan bahwa BP mengandung 10 elemen utama yaitu asumsi dasar, pembelajaran, simbolisasi, keyakinan, norma, standar perilaku, nilai-nilai, sikap, perilaku aktual, dan artifak. Asumsi Dasar (basic assumptions). Asumsi dasar merupakan sesuatu yang diyakini meyangkut hubungan manusia dengan realita lingkungannya (Hatch, 2000: 245), kemudian berproses menjadi model mental yang digunakan manusia sebagai arah untuk menyatakan persepsi dan perilakunya (McShane dan Glinow, 2003: 449). Schein (1985: 85) menjelaskan bahwa asumsi dasar merupakan tingkat terdalam (deeper level) yang mempengaruhi pembentukan nilai-nilai.
17
Pembelajaran (learning). Pembelajaran merupakan proses memperoleh, mengelola, dan menyimpan informasi (Argyris dan Schön, 1996: 3); sehingga merupakan knowledge banking (Hawkins, 1994: 9). Diperoleh dari interaksi sosial (Nonaka, 1994: 15). Pembelajaran mempengaruhi pembentukan BP (Verespej, 1999: 20), dan transformasi personal (Senge, 1994a: 17) sehingga terbentuk transformasi organisasi (Senge, 1990: 7-23). Pembelajaran juga mempengaruhi kualitas SDM (Senge, 1994b: 11), serta dipengaruhi oleh kapasitas individu (Senge, 1991: 7), sehingga dapat meningkatkan daya saing organisasi (Parkhe, 1997). Pembelajaran merupakan kemampuan analitik (Davenport et al., 2001: 117), sehingga terbentuk pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) yaitu pengetahuan yang dapat dideskripsikan, dikodefikasi, dan disebarkan secara formal; serta pengetahuan tasit (tacit knowledge) yaitu pengetahuan yang terdapat pada model mental sebagai pusat diri (inner) sehingga merupakan bagian dari kualitas personal yang sulit diformalisasi dan dikomunikasikan (Polanyi di dalam Nonaka, 1994: 16; Lubit, 2001: 165). Simbolisasi (symbolization). Simbolisasi merupakan hasil interpretasi dan relasi dua arah antara asumsi dasar dan artifak kemudian ditransformasikan dalam bentuk emosi, kognitif, estetik, dan bentuk-bentuk perilaku tertentu (Hatch, 2000: 251). Keyakinan (beliefs). Keyakinan merupakan ide, hasil penyimpulan manusia tentang suatu obyek; serta keyakinan terbentuk karena pengalaman interaksi manusia terhadap lingkungannya (Wood et al., 1998: 144). Norma (norms). Norma adalah formulasi harapan dan aturan-aturan informal yang dinyatakan kelompok untuk mengatur perilaku konstituennya (McShane dan Glinow, 2003: 238). Disebut juga sebagai nilai-nilai yang dapat diidentifikasi (identifiable values), misalnya kerjasama merupakan gambaran nilai tentang saling membagi informasi (Michela dan Burke, 2000: 229). Standar Perilaku (required behavior). Standar perilaku adalah bentuk perilaku anggota yang diharapkan oleh kelompok atau organisasi untuk mencapai kinerja dan kualitas (Sathe, 1985: 35), serta digunakan untuk mem-
18
peroleh efektifitas organisasi (Denison, 1990: 5). Standar perilaku dengan tata nilainya merupakan faktor pembeda antara orang yang berada di dalam dan di luar organisasi (Hofstede, 1996). Nilai-nilai (values). Nilai merupakan gambaran obyek, kualitas, standar, atau kondisi-kondisi tertentu; yang kesemuanya dapat memberikan kepuasan dan menjadi pertimbangan arah mausia bertindak (Kilmann di dalam Stackman et al., 2000: 38). Nilai juga merupakan hasil transformasi kognitif dari asumsi dasar menjadi keyakinan tentang benar-salah sehingga dijadikan validasi sosial atau fisikal (Schein, 1985: 16). Sikap (attitude). Sikap adalah gabungan keyakinan, perasaan, dan keinginan terhadap suatu obyek (McShane dan Glinow, 2003: 107), sehingga merupakan predisposisi (kecenderungan) merespons positif atau negatif terhadap sesuatu di dalam lingkungan. Sikap bersifat tidak dapat dilihat dan disentuh (Wood et al., 1998: 143-144), serta merupakan proses mental evaluatif atau pernyataan mental (mental setting) terhadap suatu obyek (Wiggins et al., 1994). Perilaku Aktual (actual behavior). Perilaku aktual adalah bentuk tindakan nyata sebagai hasil akhir dari sikap (Gordon, 1996: 79). Gagasan atau ide yang berada di dalam mindset individu, merupakan sikap yang mempengaruhi individu melakukan tindakan tertentu sebagai bentuk perilaku aktualnya untuk mengantisipasi lingkungan organisasi. Artifak (artifact). Artifak merupakan simbol yang dapat diintepretasikan (symbolic-intrepretative) sebagai hasil akhir dari dinamika BP (Hatch, 2000: 251). Dikembangkan dari teori Schein (1985) tentang teori dinamika budaya yang pembentukannya dipengaruhi oleh nilai-nilai. Mempelajari BP dengan pendekatan artifak disebut semiotic (Yunani: sēmeîon atau tanda) karena artifak BP memiliki tanda atau simbol yang dapat dipelajari, dicipta, dirubah, diukur, dan dikembangkan. Semua dimensi BP di atas bersifat kausalitas yaitu saling mempengaruhi, dan evolutif yaitu senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan bisnis (Schein, 1985 dan 2000), selanjutnya BP memiliki karak19
teristik secara agregat mengandung perilaku inovasi, kemauan menghadapi resiko, perhatian pada detil pekerjaan, berorientasi hasil, berorientasi manusia, berorientasi kelompok, agresifitas, dan stabilitas (O’Reilly et al., 1991; O’Reilly, 1996; Chatman dan Caldwell di dalam Robbins, 1996). Pengetahuan pihak manajemen tentang karakteristik BP di organisasinya dapat membantu manajemen organisasi melakukan transformasi BP yang sesuai dengan sasaran bisnis. Transformasi BP sangat penting karena menurut Schneider dan Barsoux (1997) dan Bate (1992) persoalan-persoalan BP dapat diatasi dengan melakukan transformasi yaitu konsolidasi perilaku, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, serta asumsi-asumsi dasar. Hal inilah yang dilakukan oleh BRI sehingga transformasi organisasi senantiasa tidak berpotensi disintegrasi organisasi (Moeljono, 2005a). Nilai-nilai (values) Levitin (1973) menjelaskan bahwa Alport dan Vernon yang pertama kali melakukan studi nilai pada tahun 1931 dan menemukan 6 dasar orientasi nilai yaitu: teoritik (berorientasi kebenaran), ekonomik (berorientasi manfaat), estetika (berorientasi keindahan dan harmoni), sosial (berorientasi kepentingan orang lain dan cinta kasih), politikal (berorientasi pada pengaruh dan kuasa), dan religius (berorientasi pada kesatuan/unity). Menurut Budihardjo (2004) keenam orientasi nilai tersebut sebagai nilai dasar dan dianggap sebagai tipe ideal. Rokeach di dalam Levitin (1973) membagi nilai-nilai dalam 2 golongan: (a) nilai instrumental sebagai cara mencapai tujuan, dan (b) nilai terminal sebagai hasil akhir yang ingin dicapai. Pemilihan nilai terminal dan instrumental mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam organisasi, misalnya untuk dapat bersaing (terminal) dikembangkan nilai-nilai berorientasi prestasi (instrumental). Tata nilai merupakan suatu peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip organisasi yang dapat dipelajari dan digunakan untuk memilih alternatif, mengatasi konflik dan membuat keputusan (Rokeach di dalam Budihardjo, 20
2004). Nilai-nilai yang diurutkan berdasarkan tingkat kepentingannya disebut tata nilai (values system) kemudian dijadikan sebagai arah manusia bertindak dan dasar perumusan peraturan dan prinsip-prinsip organisasi (Kilman di dalam Stackman et al., 2000). Stackman et al. (2000) menjelaskan bahwa nilai-nilai BP merupakan identitas organisasi yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan para manager, aktifitas karyawan, tanggung jawab sosial organisasi, hubungan manager dengan karyawan, dan pelaksanaan strategi. Pengertian ini menjelaskan bahwa perilaku organisasi dan konstituennya dipengaruhi oleh nilainilai BP, sehingga organisasi dapat melakukan tranformasi sasaran dan kebijakan bisnisnya dengan cara melakukan transformasi sikap konstituen melalui pemberdayaan dengan pendekatan nilai-nilai BP. Berdasarkan penelitian Dagi pada tahun 1998 dan instrumen nilai yang dikembangkan oleh Pareek (1994), pada penelitian ini menggunakan delapan nilai-nilai BP sebagai berikut: Keterbukaan (openness). Menurut Mink et al. (1994) keterbukaan dibutuhkan oleh individu, kelompok dan organisasi untuk menghadapi perubahan pada lingkungan kerja. Individu membutuhkan informasi umpan-balik secara terbuka, saling menilai dan saling menerima secara terbuka, serta hubungan antar manusia yang saling menghargai sehingga tercapai kepuasan kerja. BP dapat berlangsung efektif jika terdapat keterbukaan dalam hubungan antar manusia (Schein, 1986 dan 1992), sebab keterbukaan dapat mendorong proses komunikasi yang efektif untuk saling berbagi pengetahuan (shared knowledge) dan membantu individu atau kelompok mempersiapkan diri menghadapi perubahan (Trompenaars, 1993). Pembelajaran dapat tercapai jika lingkungan organisasi mengandung unsur keterbukaan dan fleksibilitas sehingga membentuk kreatifitas, mendorong inovasi, dan arus informasi dapat berlangsung cepat (Binns, 1994). Scott (1992) menjelaskan bahwa kriteria pengukuran efektifitas suatu organisasi berdasarkan sejauhmana organisasi dapat menjalankan sistem keterbukaan, sebab keterbukaan membentuk partisipasi semua subsistem sehingga
21
mempercepat proses pembelajaran dan transformasi organisasi (Argyris dan Schön, 1996; Luthans, 1992). Keterbukaan diperoleh jika perusahaan selalu mengkomunikasikan strategi perusahaan, mengembangkan filosofi kerjasama dan kelompok kerja, mendorong proses pembelajaran, menciptakan sistem yang mendukung keterbukaan, dan mengendalikan standar kinerja pada setiap subsistem yang dilakukan melalui proses kepemimpinan yang efektif (Mink et al., 1994). Teori Grida Managerial (managerial grid) dari Blake dan Mouton (1985) menjelaskan bahwa perilaku integratif yaitu keterkaitan manusia dengan tugas yang sesuai dengan standar kinerja (disebutnya sebagai Grida 9,9), akan terbentuk jika ada sistem keterbukaan pada lingkungan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa nilai keterbukaan yang terdapat di dalam suatu organisasi dapat memotivasi individu melaksanakan tugas-tugasnya. Konfrontasi (confrontation). Menurut Ware dan Barnes (1992) terdapat 2 bentuk perilaku konfrontasi yaitu konstruktif (membangun) dan destruktif (merusak). Konfrontasi konstruktif merupakan bentuk komunikasi yang secara serius berusaha mencari pengertian, menggali, serta menyelidiki (explore) berdasarkan persepsi dan perasaan-perasaan orang lain, dan perilaku ini berperan pada pembentukan dan pemeliharaan BP; sedangkan konfrontasi destruktif merupakan bentuk komunikasi kalah-menang (win-lose) dimana salah satu pihak bertujuan melakukan dominasi terhadap pihak lainnya sehingga pihak yang kalah mengalami ketidak-puasan (dissatisfaction). Ware (1992) menjelaskan bahwa perilaku konstruktif pada pemecahan masalah secara relatif membantu menjelaskan kebutuhan organisasi, sedangkan dalam konflik perilaku hal ini dapat menciptakan solusi positif yang mendorong partisipasi dan kinerja. Untuk melaksanakan perilaku konfrontasi konstruktif, individu harus memiliki kemampuan menganalisis informasi terhadap suatu masalah, keinginan mencari tugas menantang, keberanian memberi informasi, dan menghargai orang yang berpikir kritis. Perilaku konfrontasi konstruktif dapat membantu efektifitas kepemimpinan para manager, sebab dapat memper-kecil konflik kepentingan antara manager dan 22
bawahan, serta dapat memberikan solusi positif terhadap tujuan organisasi (Zaleznik, 1992; Yukl, 1994). Whetten dan Cameron (1991) menjelaskan terdapat 3 bentuk kepribadian perilaku konfrontasi konstruktif yaitu: (a) Altruisticnurturing yaitu perilaku yang mementingkan hubungan harmoni yang memberikan kenyamanan bersama, dan tidak terlalu mementingkan hadiah yang akan didapatkannya; karakteristik perilaku ini adalah dapat dipercaya, optimis, idealis, dan loyal, (b) Assertive-direction yaitu perilaku yang mampu menyatakan pendapat secara asertif untuk mejelaskan sesuatu yang dimaksudkan; karateristik perilaku ini adalah percaya diri, mau berusaha, dan mampu meyakinkan, dan (c) Analytic-autonomizing yaitu perilaku yang mementingkan prestasi melalui kemauan memenuhi diri sendiri, mandiri, dan berpikir logik; karakteristik perilaku ini adalah hati-hati, praktis, berorientasi metode, dan memiliki prinsip. Kepercayaan (trust). Kebanyakan para ahli BP memasukkan aspek kepercayaan sebagai nilai utama yang membangun BP. Jeffries dan Reed (2000) menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan faktor penting untuk menjaga kesuksesan hubungan jangka panjang. Menurut Boon dan Holmes di dalam Jeffries dan Reed (2000) kepercayaan adalah keyakinan terhadap pihak lain berdasarkan harapan motif-motif tertentu. Kedua pendapat tersebut menjelaskan bahwa saling-percaya merupakan bentuk perilaku saling memberikan dukungan moral dan bantuan untuk menghadapi masalah untuk kemajuan tugas masing-masing. Inovasi dapat tercapai jika terdapat nilai kepercayaan antara bawahan dan manajer (Kotter dan Sclesinger, 1992). Dalam hal ini, para manager perlu melakukan praktek kepemimpinan yang menunjang tujuan inovasi dengan cara menciptakan kepercayaan dengan subordinasinya sehingga akan memudahkan proses transformasi BP yang mendorong peningkatan inovasi dan kinerja (Yukl, 1994). Menurut Mink et al. (1993) kepercayaan adalah bentuk yang dikembangkan dari berbagai hubungan dengan lingkungan sekitar, bahwa kepercayaan diberikan karena sesuatu dapat diandalkan. Sedangkan definisi kepercayaan dari Robbins (1996) adalah kinerja kelompok meningkat karena para konstituennya saling meyakini integritas, karakter, dan kemampuannya. Menurut Porter (1980) saling percaya merupakan komitmen yang menjamin pencapaian sasaran organisasi.
23
Semua uraian di atas menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan sehingga antar individu terbentuk perilaku saling terandalkan kemudian memberikan integritas, mengembangkan kemampuan dan karakter yang sesuai, selanjutnya terbentuk komitmen pada tujuan bersama atau organisasi. Mink et al. (1993) menjelaskan bahwa kepercayaan mengandung 3 karakteristik yaitu: (a) bersifat kontraktual (contractual trust) yaitu perkataan sesuai dengan yang akan dilakukan, (b) penyingkapan diri (self-disclosure trust) yaitu keterbukaan diri sehingga orang lain percaya, dan (c) bersifat jasmaniah (physical trust) yaitu kepercayaan terbentuk karena secara fisik merasa aman dengan lingkungan sekitarnya. Granovetter (1992) mengatakan bahwa dalam tinjauan ilmu sosial-ekonomi, kepercayaan dan kebenaran dijadikan sebagai tema utama karena merupakan fungsi tindakan ekonomi dan institusi. Aspek ekonomik tidak dapat berkembang jika terdapat unsur pelanggaran (malfeasance) dan tidak ada kepercayaan, sehingga kepercayaan merupakan variabel yang mempengaruhi perkembangan perusahaan. Schindler dan Thomas di dalam Robbins (1996) menjelaskan bahwa kepercayaan dapat terbentuk berdasarkan 5 dimensi dasar yaitu: (a) integritas yaitu kejujuran dan kebenaran, (b) kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan teknikal, dan hubungan antar manusia, (c) konsistensi yaitu dapat diandalkan dan diramalkan karena implementasi sesuai dengan keputusan, (d) loyalitas yaitu kemauan melindungi dan memberikan rasa aman kepada pihak lain, dan (e) keterbukaan yaitu kemauan membagi ide dan informasi. Kegagalan mengembangkan nilai kepercayaan dapat terjadi karena adanya unsur politikal dalam organisasi yang berbeda dengan harapan BP dan subbudaya, dan salah satu pihak lebih mementingkan legitimasi kekuasaan sehingga menurunkan motivasi dan produktifitas pihak lain (Robbins, 1996). Kebenaran (authenticity). Kostenbaum (1991) mengatakan bahwa hakekat kebenaran adalah suatu tindakan, dan kebenaran bukan apa yang Anda katakan, tetapi apa yang Anda lakukan. Menurut Pareek (1994) kebenaran adalah 24
kesesuaian antara harapan dan tindakan, tindakan dan perkataan, harapan dan fakta, serta perasaan dan pendapat yang dapat dinyatakan secara terbuka. Jika teori Pareek ini disesuaikan dengan teori dinamika organisasi dari Sathe (1985), maka menjelaskan tentang aspek kepuasan yaitu konstituen (SDM) menemukan kesuaian antara harapan dengan fakta perilaku aktual dalam organisasi, sehingga terbentuk kepuasan dan motivasi kerja individu konstituen meningkat. Menurut Schneider dan Barsoux (1997) kebenaran merupakan model pengendalian (controlling model) karena individu, kelompok, dan organisasi menggunakan kebenaran (truth) yaitu fakta dan realita sebagai unsur pengendali perilaku yang membentuk BP. Persepsi positif individu terhadap kondisi organisasi karena individu mengukur kesesuain kondisi organisasi dengan harapannya, sehingga manager harus selalu menyampaikan realita organisasi dan melibatkan bawahan pada pengambilan keputusan (Beach, 1993; Ware, 1992). Proaksi (proaction). Menurut Martin (1983) proaksi merupakan perilaku inisiatif, merencanakan tindakan pencegahan, mempertimbangkan dampak sebelum mengambil tindakan, dan selalu mengembangkan diri. Bentuk perilaku ini berorientasi masa depan, berinisiatif melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan proaktif untuk mengantisipasi yang dapat terjadi dikemudian hari. Covey (1989) menjelaskan bahwa proaksi merupakan perilaku inisiatif yang dipengaruhi oleh kesadaran diri (self-awareness) yaitu kesadaran tentang kelebihan dan kekurangan diri serta memiliki tanggung jawab; imajinasi (imagination) yaitu kemampuan mencipta dalam alam pikiran sesuai dengan realita; kata hati (conscience) yaitu kesadaran normatif dalam diri menyangkut salah dan benar; dan hasrat mandiri (independent-will) yaitu kemampuan bertindak yang didasari oleh kesadaran diri serta bebas dari pengaruh-pengaruh lainnya. Menurut Mink et al. (1994) sistem keterbukaan pada suatu organisasi dapat membentuk perilaku proaksi, karena individu dapat melakukan pembelajaran untuk mengetahui apa yang dibutuhkan organisasi, dan organisasi yang dapat mengembangkan sistem keterbukaan yang berorientasi prestasi disebut sebagai strategic-creative karena mendorong kreatifitas individu yang sesuai dengan sasaran strategi.
25
Francis dan Woodcock (1990) menjelaskan bahwa ciri-ciri individu berperilaku proaktif adalah menyukai perubahan, selalu belajar, bertanggung jawab, berinisiatif, komunikatif, terampil mengolah informasi, dan merasa dalam pengendalian dirinya sendiri, sedangkan perilaku reaktif yaitu perilaku yang didasari reaksi fisik yang dilandasi perasaan terhadap lingkungan. Kemandirian (autonomy). Menurut Pareek (1994) kemandirian merupakan kebebasan melaksanakan tanggung jawab dan memiliki kemampuan merealisasikan ide dan konsep-konsep yang sesuai dengan pekerjaan. Kreitner dan Kinicki (1995) menjelaskan bahwa kemandirian individu terbentuk karena adanya aspek moralitas sebagai sistem kontrol dalam dirinya sendiri yang bersifat intrinsik yang dapat diukur berdasarkan ukuran-ukuran pribadi (self-determination). Kebebasan dan keleluasaan yang diberikan kepada individu untuk melaksanakan tanggung jawab pekerjaannya dapat membentuk perilaku mandiri. Individu akan meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja, serta menurunkan tingkat kemangkiran dan pergantian karyawan, bilamana kemandirian diberikan kepada individu sesuai dengan sasaran, tanggung jawab, serta keterampilan pengetahuan yang dimiliki individu (Robbins, 1996; Robbins dan Coultar, 1996). Menurut Nadler (1992) memberikan kemandirian kepada kelompok akan membantu kelompok mengelola dirinya sendiri dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mengembangkan proses kerja menjadi lebih baik sehingga membantu efektifitas kerja manajer. BP yang memiliki nilai kemandirian selain meningkatkan motivasi kerja juga mendorong individu mengembangkan pengetahuan baru sehingga inovasi dapat tercapai (Choo, 1998). Kerjasama (collaboration). Kerjasama merupakan perilaku yang mendorong kebersamaan kelompok, saling membantu antara setiap pengambil keputusan maupun antar karyawan, dan saling membagi pengetahuan dan keterampilan untuk pemecahan masalah (Pareek, 1994). Kerjasama pada BP merupakan media untuk saling membagi nilai, keyakinan, dan norma. Konflik nilai, keyakinan, dan norma, akan sulit terbentuk kerjasama integratif untuk mencapai sasaran BP, sebab kerjasama merupakan teknik solusi integratif untuk mencapai komitmen dan konsensus (Robbins 1996). Konflik dapat dihindari
26
dengan cara meningkatkan kerjasama, sehingga terbentuk kepuasan individu pada pekerjaannya (Robbins, 1996; Whetten dan Cameron, 1991). Menurut Bliss (1992) kerjasama dalam pelaksanaannya sering dianggap menyita waktu, tetapi nilai ini bermanfaat untuk mengembangkan ide-ide baru, sebab dengan kerjasama dapat dikembangkan pemikiran-pemikiran logik terhadap berbagai alternatif-alternatif untuk melaksanakan kebijakan strategik. Kerjasama yang bersifat integratif (kolaborasi) dapat membantu koordinasi antara manajer dan bawahan untuk melakukan inovasi. Dalam hal ini, nilai kerjasama perlu dikembangkan oleh para manajer untuk mendorong inovasi para bawahannya (Mink et al., 1993). Pengkajian (experimentation). Menurut Pareek (1994) nilai pengkajian yaitu menggunakan umpan-balik dari lingkungan untuk perbaikan kualitas kerja, serta mengembangkan pemikiran-pemikiran baru dan kreatifitas. Untuk tujuan inovasi, nilai pengkajian dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran (Argyris dan Schön, 1996; Greenberg dan Baron ,1995; Pearn et al., 1994). Menurut Mink et al. (1994) perilaku yang didasari oleh nilai pengkajian merupakan action reasearch process yang dilakukan melalui PDCA (plan-docheck-action) dengan 2 aktifitas utama yaitu menginvestigasi hubungan kerangka konsep dengan kenyataan, dan mendiagnosis situasi untuk mendapatkan pemecahan masalah, sehingga terbentuk perilaku yang didasari oleh nilai pengkajian yaitu pembelajaran, kreatifitas dan berorientasi tujuan. Gerstein dan Shaw (1992) menjelaskan bahwa perilaku pengkajian dibutuhkan karena situasi lingkungan internal dan eksternal organisasi semakin kompleks karena adanya perkembangan teknologi-teknologi baru, bisnis-bisnis baru, dan pasar-pasar baru, sehingga melalui nilai pengkajian dapat dikembangkan perilaku inovasi untuk perbaikan kualitas masukan, proses, dan keluaran. Kedelapan nilai-nilai BP tersebut oleh Pareek (1994) disingkat sebagai OCTAPACE (octa = delapan, pace = langkah) dan dijadikan sebagai salah satu pendekatan untuk mengetahui nilai-nilai BP pada AKS.
27
Pembentuk Budaya Perusahaan Menurut Schein (1985) konstruk proses pembentukan BP (PBP) diawali oleh asumsi dasar kemudian membentuk nilai-nilai, dan akhirnya membentuk artifak. Asumsi dasar mengandung persepsi individu terhadap lingkungannya setelah melalui proses menyadari (consciousness), menyimak (listening), pembelajaran, dan pengetahuan membentuk nilai-nilai, kemudian mengalami proses yang sama terbentuk artifak sebagai faktor yang dapat diidentifikasi (identifiable), selanjutnya artifak membentuk nilai-nilai dan asumsi-asumsi dasar baru (Gambar 2).
Hasil Karya (Artifacts), Penciptaan (Creations): Teknologi, Produk, Hukum, Seni, ataupun Bentuk-Bentuk Perilaku yang Mantap
Mantap tetapi seringkali dapat terurai kembali
Nilai-Nilai (Values)
Tingkat Kesadaran Tertinggi
Asumsi-Asumsi Dasar
Menerima kebenarannya
Berhubungan dengan lingkungan, Kenyataan dan kebenaran, Sifat alami manusia, Aktifitas manusia, Hubungan antar manusia
Pembelajaran Menyimak Kesadaran awal
Gambar 2. Tingkat Pembentukan Budaya Pola Schein (Diadaptasi dari: Turner, 1990: 22).
Menurut Burke dan Litwin (1989) dan Ashkanasy et al. (2000) iklim organisasi sangat mempengaruhi proses PBP, sehingga rancangan budaya harus mempertimbangkan variabel iklim organisasi. Iklim organisasi yang sesuai dengan BP dapat mendorong proses transformasi sikap konstituen terhadap perubahan, misalnya manajemen Honda memberikan otonomi pada seluruh country manager untuk menciptakan iklim organisasi untuk mempercepat proses perubahan tetapi tetap berpedoman pada karakteristik budaya Jepang yaitu hirarkhi tetapi partisipatif (Setsuo Mito di dalam Joyce dan Woods, 1996; Lincoln, 1996), sehingga di Honda faktor kepemimpinan sangat berperan membentuk BP (Ichikawa, 1996), dan pada budaya Jepang 28
bentuk kepemimpinan berdasarkan persahabatan disebut Oyabum-koyum (Argyle, 1981). Menurut Hill dan Jones (1995) BP terbentuk dan dipengaruhi oleh faktorfaktor pada Gambar 3. Jika faktor-faktor tersebut diterima kebenarannya serta diyakini oleh organisasi dan konstituennya, kemudian dilaksanakan secara konsisten oleh manajemen, maka akan terbentuk BP. Menurut Turner (1990) faktor-faktor PBP tersebut memberi identitas untuk kelangsungan perusahaan dan membantu keseimbangan organisasi melalui proses pembelajaran dari pengalaman, dan BP digunakan sebagai sistem mandiri (self-steering system) karena mengandung proses pembelajaran.
Kiat-kiat sosialisasi
Tanda, simbol, dan riwayat
Tata cara dan upacara
Norma dan nilai
Imbalan organisasional
Budaya Perusahaan
Gambar 3. Faktor-faktor pembentuk BP. (Sumber: Hill dan Jones, 1995: 365)
Penelitian Turner antara tahun 1982 sampai 1986 tentang pengaruh BP terhadap strategi bersaing Volvo di Perancis. Volvo melakukan konsolidasi BP secara tepat kedalam strategi bersaingnya diawali dengan pembentukan philosofi nilai-nilai keunggulan, kerjasama, dan tanggung jawab, kemudian dilakukan sosialisasi untuk menyadarkan setiap orang untuk mengembangkan kapasitas dan tanggung jawab yang sesuai dengan sasaran bisnis Volvo. Kemudian Volvo berusaha membangkitkan kapasitas individu melalui pemberdayaan untuk mengembangkan inisiatif dan ide-ide secara radikal. Volvo juga melakukan desentralisasi wewenang yang luas kepada setiap tingkat organisasi untuk secara bebas berhubungan langsung dengan konsumen. Pendekatan BP tersebut hasilnya adalah motivasi berprestasi karyawan meningkat, serta ikut berpartisipasi mengembangkan perusahaan menghadapi tekanan persaingan bisnis sehingga pangsa pasar Volvo meningkat sebesar 65.4 persen terhadap Mercedes, Datsun, Mazda, Alfa-Romeo dan Toyota. 29
Penelitian Turner di atas menunjukkan bahwa keunggulan bersaiang dicapai dengan cara memadukan nilai-nilai BP dengan strategi bersaing, serta peran pemimpin yang mendorong pembelajaran, melakukan pemberdayaan, dan memberikan peluang seluruh komponen organisasi untuk berkontribusi dan berprestasi. Pada penelitian ini faktor-faktor PBP yang digunakan adalah sebagai berikut: Kepemimpinan (leadership). Roach dan Behling di dalam Hughes et al. (1999) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk berusaha mencapai tujuan. Karakteristik pemimpin yang efektif adalah mampu berkomunikasi dan mengelola kelompok, dapat menjelaskan instruksi dan sasaran sehingga menyadarkan orang lain untuk meningkatkan prestasi, serta dapat memberikan sikap contoh (rolemodels) yaitu kesesuaian antara instruksi yang diberikan pemimpin dengan tindakan yang dilakukannya (Bass, 1990; Kostenbaum, 1991). Menurut Bass (1990), Schein (1985) dan Senge (1985) bahwa pemimpin sebagai pembentuk BP (corporate culture creator), dan pemimpin yang dapat menggunakan kuasa (powers) secara efektif dapat membentuk perilaku konstituen dan BP. Menurut Bass (1990) tipe pemimpin kharismatik mempengaruhi pembentukan sikap, pemimpin transaksional mempengaruhi kinerja tugas operasional, sedangkan pemimpin transformasional mempengaruhi pembentukan ide-ide perubahan BP. Kepemimpinan transformasional dapat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai BP yang sesuai dengan kebijakan strategi organisasi (Charon 2003), dan tipe kepemimpinan ini berperan meningkatkan inovasi dan kualitas melalui sikap contoh yang dilakukannya (Brasseur et al. 2002). Pembentukan tipe kepemimpinan ini merupakan tanggung jawab pemimpin agar organisasi menjadi kompetitif (Pucik 2003). Pemimpin yang memiliki active-role yaitu menyelaraskan gaya kepemimpinan dengan kompetensi bawahan serta situasi dan sasaran organisasi, merupakan pembentuk BP dan iklim organisasi yang berdampak positif pada pencapaian sasaran organisasi (Hughes et al., 1999). Hal ini menunjukkan
30
bahwa keselarasan unsur manusia dan tugas-tugasnya merupakan tugas pemimpin organisasi. Peran utama pemimpin organisasi adalah menyelaraskan dua kepentingan utama yaitu kepentingan tugas (task concerns) dan manusia (people concerns) (Blake dan Mouton, 1985; Birkinshaw et al., 2000; Yukl, 1994). Robby Djohan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia mengatakan bahwa salah satu masalah pokok di BUMN adalah kepemimpinan, karena rekrutmen kepemimpinan lebih didasarkan pada kedekatan dengan kekuatan politik–Presiden dan Menteri terkait–daripada karir dan/atau prestasi, sehingga pemimpin BUMN lebih mementingkan penguasa dari pada kastemernya. Resiko bisnisnya adalah BUMN tidak mampu mencapai kinerja bisnis yang memuaskan sebagai korporasi, selanjutnya gejala khas Indonesia yang muncul di Garuda adalah setiap pemimpin yang baru hadir tidak untuk melanjutkan keunggulan yang diciptakan oleh pemimpin sebelumnya, melainkan mencari-cari kesalahan pendahulunya (Moeljono, 2005b). Menurut Moeljono bahwa faktor kemampuan kepemimpinan (leadership competence) di dalam diri seorang pemimpin menentukan keunggulan kompetitif suatu organisasi. Laporan Gannon dan Sterling (2004) tentang Sargento Foods Inc., USA, bahwa praktek kepemimpinan pada PBP memberi manfaat meningkatkan kapabilitas dan loyalitas dari 1,200 karyawan, menurunkan labor turnover sekitar 6.7%, serta meningkatkan penjualan rata-rata $535 juta per tahun, sehingga menjadi market leader di antara pesaingnya. Pembelajaran (learning). Menurut Kimble di dalam Hergenhahn dan Olson (1997) dampak pembelajaran adalah perubahan perilaku yang bersifat permanen sehingga membentuk persepsi individu tentang pentingnya belajar dari pengalaman, dan keyakinan untuk mencari hal-hal baru yang bermanfaat. Bandura di dalam Hergenhahn dan Olson (1997) menyatakan bahwa individu senantiasa melakukan pembelajaran observasional (observational learning) terhadap hal-hal yang menarik pada lingkungannya. Menurut Bandura (1977) melalui pembelajaran observasional, individu menemukan
31
adanya dorongan (reinforcement) tertentu untuk melakukan respons imitatif. Pembelajaran juga mempengaruhi pembentukan kognitif dan nilai-nilai yang dinyatakan dalam bentuk perilaku (Bandura dalam Hergenhahn dan Olson, 1997). Selanjutnya Bandura (1986 dan 1999) mengembangkan teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa pembelajaran merupakan akuisisi pengetahuan, dan berdasarkan pembelajaran observasional terbentuk 2 tipe perilaku adalah: swausaha (self-efficacy) yaitu individu berusaha untuk mencapai tujuan tertentu (Bandura, 1997), dan kemampuan diri (self-agentic capacity) yaitu individu menggunakan seluruh kemampuannya secara bersamaan untuk memenuhi beberapa hasrat hidupnya (Bandura, 2000, 2001a dan 2001b). Berdasarkan teori kognitif sosial dari Bandura, pembentukan BP diawali dengan individu melakukan pembelajaran observasional pada lingkungan organisasi. Kemudian individu menyimak (listening) lalu melakukan pemaknaan (meaning), selanjutnya membentuk nilai-nilai yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yaitu self-efficacy atau self-agentic capacity. Menurut Choo (1998) pembelajaran berperan pada validasi asumsi dasar sehingga terbentuk kerangka kognitif tentang nilai-nilai, perilaku, dan respons afektif. Pemaknaan sebagai hasil pembelajaran jika disebarkan sehingga membentuk konsensus kemudian dilaksanakan secara konsisten, merupakan aspek kognitif yang mempengaruhi asumsi dasar individu yang selanjutnya membentuk nilai-nilai BP. Schein (1985) menyatakan bahwa organisasi dapat membentuk BP dengan cara membentuk sistem pembelajaran terus-menerus (perpetual learning system). Organisasi yang menggunakan pembelajaran untuk meningkatkan kapabilitas organisasi disebut organisasi pembelajaran (learning organization) yang dapat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai dan artifak, dimana BP dan pembelajaran merupakan dua faktor yang saling mempengaruhi (Argyris dan Schön, 1996). Pembelajaran selain membentuk BP juga berperan meningkatkan kompetensi dan kinerja karyawan sehingga organisasi dapat menghadapi perubahan dan persaingan (Gilley dan Maycunich, 2000; Brasseur et al., 2002), dan
32
pembelajaran pada lingkup BP merupakan suatu media proses transfromasi personal untuk membentuk nilai-nilai dan meningkatkan kompetensi (Senge, 1991 dan 1994a). Menurut Senge (1990) aspek kompetensi dan kinerja dipengaruhi oleh 2 bentuk pembelajaran yaitu pembelajaran generatif (generative learning) berhubungan dengan mencipta (creating), dan pembelajaran adaptif (adaptive learning) berhubungan dengan mengatasi persoalan (coping). Lingkungan organisasi yang mendukung kedua bentuk pembelajaran ini, akan meningkatkan kompetensi dan kinerja organisasi dan individu, sekaligus mendorong terbentuknya BP dan mengefektifkan strategi organisasi (Senge, 1994b). Penjelasan di atas sesuai dengan studi Thomson dan Kahnweiler (2002) yang menggunakan konstruk teori Schein, menyatakan bahwa budaya pembelajaran (learning culture) akan mendorong karyawan berpartisipasi pada proses pengambilan keputusan, dan mempengaruhi pembentukan tata nilai serta membantu organisasi melakukan perubahan secara efektif. Pengetahuan (knowledge). Tinjauan filsafat pengetahuan dari Michael Polanyi mengajukan 2 konsep pengetahuan yaitu fokal (obyektif) dan tasit (subyektif), dan yang terpenting adalah pengetahuan tasit yang menentukan kecerdasan manusia untuk memahami berbagai hal yang kompleks (Polanyi, 1970). Polanyi menyatakan dimensi tasit sebagai “kita dapat mengawali dari fakta yang kita ketahui lebih dari yang kita katakan” (Smith, 2003), dan menurutnya pengetahuan tasit merupakan kemampuan konseptual dan pemilahan informasi (sensory information) yang menentukan kualitas individu untuk mengembangkan model-model atau teori-teori baru (Clark, 2004; Smith, 2003). Menurut Polanyi pengetahuan tasit merupakan pengetahuan pribadi (personal knowledge) yang dapat membantu individu untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan mengelola kecerdasan intelektualnya untuk mengembangkan berbagai asumsi (Mullins, 2005a), dalam hal ini pengetahuan tasit berhubungan dengan realitas (Mullins, 2005b).
33
Sveiby (1997) menguraikan bahwa inti teori pengetahuan dari Polanyi adalah pengetahuan tasit merupakan bagian dari mengelola pengetahuan menjadi modal intelektual (intellectual capital) yang terdiri dari 3 tesis yaitu (a) tidak dapat diartikulasi, (b) dapat dikembangkan oleh individu manusia itu sendiri, dan (c) pengetahuan tasit menjadi dasar dari pengetahuan eksplisit, selanjutnya dasar hirarkhial pengetahuan tasit dan eksplisit adalah: (a) keterampilan: kemampuan melaksanakan peraturan-peraturan berdasarkan umpan-balik dari lingkungan, (b) kecakapan (know-how): kemampuan bertindak pada konteks sosial, dan (c) kepakaran (expertise): kecakapan ditambah dengan kemampuan untuk merefleksikan fenomena. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) dan Krogh et al. (2000) pengetahuan menyangkut keyakinan, komitmen, tindakan, dan cara; serta merupakan proses individual membentuk pengetahuan tasit (bersifat subyektif) dan eksplisit (bersifat obyektif). Pengetahuan dipengaruhi persepsi individu tentang sesuatu hal yang dipandang bermanfaat, keyakinan untuk melakukan aktifitas mencari pemikiran-pemikiran baru, serta pengalaman konstituen terhadap praktek manajemen organisasi yang memberikan apresiasi pada karyawan yang mengembangkan pengetahuan sesuai dengan bidang pekerjaannya. Menurut Nonaka (1994) dan Loermans (2002) interaksi sosial dibutuhkan untuk merubah pengetahuan tasit menjadi eksplisit sehingga terbentuk ide-ide dan konsep-konsep baru, sedangkan lingkungan organisasi harus dapat mendorong komitmen individu mengelola pengetahuan tasit menjadi eksplisit yang berguna untuk organisasi. Menurut Tuomi (1999) pengetahuan sebagai sistem sosial dan merupakan intangible assets, serta berperan pada transformasi nilai-nilai BP. Roy dan Roy (2002) serta Long dan Moeller (2001) menjelaskan bahwa mengelola pengetahuan individu dan organisasi adalah bersifat strategik karena secara nyata berperan meningkatkan kinerja produk dan layanan. Penelitian Soo et al. (2002) pada 317 perusahaan membuktikan bahwa mengelola pengetahuan ternyata berperan pada peningkatan kemampuan analisis masalah, pembentukan pengetahuan baru, inovasi, dan perbaikan kinerja keuangan.
34
Visi-misi (vision-mission). Visi adalah pernyataan umum tentang citacita, filosofi, dan tujuan yang ingin dicapai (Pearce dan Robinson, 1997), dan misi adalah arah dan cara bertindak untuk mencapai tujuan tertentu (Denison, 1990). Menurut Denison (1990) pengalaman individu tentang sosialisasi visimisi, dan perlakuan tertentu dari lingkungan organisasi, akan mempengaruhi partisipasi individu untuk melaksanakan tata nilai BP dan sasaran BP. Denison juga menjelaskan bahwa kejelasan visi-misi dan cara lingkungan organisasi mengapresiasi akan mempengaruhi pembentukan BP yang mendukung strategi bersaing suatu organisasi, dan visi-misi dijadikan sebagai bentuk dasar (basic-patterns) dan peran kelembagaan (institutional roles) untuk membentuk BP dan melaksanakan berbagai kebijakan strategik. Konsistensi (consistency). Menurut Denison (1990) konsistensi merupakan tindakan organisasional yang mendorong perilaku konsensus dan koordinasi konstituen untuk melakukan internalisasi nilai-nilai dan peraturan kedalam proses kerja konstituen. Denison menyatakan bahwa perilaku konsisten membentuk strong culture, sebab konstituen akan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan peraturan jika pengalaman kognitifnya menyimpulkan adanya perlakuan yang konsisten dan positif dari lingkungan organisasi. Pucik (2003) menyatakan bahwa dibutuhkan peran pemimpin untuk membentuk BP yang dapat mendorong perilaku konsisten melakukan mekanisme komunikasi dan koordinasi, mengelola kinerja, dan melakukan pemberdayaan, sedangkan pemimpin mengembangkan gaya kepemimpinan yang mendorong pembentukan dan pelaksanaan nilai-nilai BP secara konsisten. Keterlibatan (involvement). Denison (1990) menyatakan bahwa keterlibatan adalah tindakan manajemen organisasi untuk menyesuaikan nilai-nilai BP dengan tujuan organisasi. Menurut Denison tujuan organisasi dapat tercapai jika adanya keterlibatan manajemen dan partisipasi konstituen, dimana partisipasi konstituen terbentuk karena mereka memperoleh pengalaman tentang perlakuan positif dari manajemen organisasi yang senantiasa terlibat dengan persoalan-persoalan yang dihadapi konstituen dalam bekerja.
35
Sasaran Budaya Perusahaan (SBP) Penelitian Franke et al. (1991) dan Zhu (2000) menyimpulkan bahwa budaya merupakan peubah yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomik sehingga BP dianggap sebagai faktor keunggulan komparatif. Pada penelitian Visagie et al. (2003) membuktikan bahwa faktor BP berperan sebagai stimulator produktifitas. Wilderom et al. (2000) menyatakan bahwa BP merupakan predictor kinerja organisasional, dan BP dibentuk untuk mencapai sasaran organisasi secara efektif (Denison, 1990; Zeits et al., 1997). Rancangan BP harus diarahkan pada pembentukan perilaku yang sesuai dengan sasaran organisasi, sedangkan SBP adalah membentuk perilaku yang berorientasi pada tujuan organisasi. Sasaran organisasi adalah hasil akhir dari kinerja organisasi dan konstituennya, sedangkan SBP adalah perilaku yang mendukung pencapaian kinerja organisasi. Pelaksanaan BP harus dapat membentuk perilaku organisasi dan konstituennya yang sesuai dengan sasaran organisasi, sehingga organisasi berpotensi dapat menghindari dua dampak BP yaitu (a) kelumpuhan budaya (cultural paralysis) yaitu nilainilai BP tidak menunjang pencapaian tujuan bisnis, dan hal ini paling berbahaya sebab sulit disembuhkan jika terjadi pada organisasi bisnis, dan (b) kegagalan budaya (cultural failure) yaitu konstituen tidak berpartisipasi pada sasaran organisasi. Kedua dampak tersebut dapat dihindari dengan cara rancangan BP harus memiliki aspek SBP yaitu perilaku yang berorientasi pencapaian sasaran organisasi. Perilaku orientasi SBP yang dikaji pada pada studi ini adalah efektifitas perusahaan, kualitas, kinerja, inovasi, dan adaptabilitas. Efektifitas Perusahaan. Menurut Denison (1990) dan Schein (1985) BP yang berorientasi efektifitas dapat dibangun melalui: (a) peran kepemimpinan dan praktek managerial yang memberikan pelatihan alih teknologi, (b) konstituen organisasi memiliki keyakinan mengembangkan diri sesuai standar organisasi, dan (c) adanya lingkungan organisasi memberikan perlakuan positif pada konstituen yang bekerja sesuai standar sistem dan prosedur. Zammuto et al. (2000) menyebut ketiga perilaku orientasi efekti-
36
fitas organisasi di atas sebagai rational goal model yaitu model perilaku berdasarkan standar sistem, prosedur, dan perilaku organisasi. Menurut Sathe (1995) standar perilaku dirumuskan berdasarkan konteks organisasi. Kesesuaian antara standar perilaku dengan perilaku aktual konstituen akan meningkatkan efektifitas organisasi, tetapi perilaku aktual konstituen dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, BP, serta sistem dan prosedur (Gambar 4). Hal ini dijelaskan oleh Luque dan Sommer (2000) bahwa perilaku aktual konstituen dipengaruhi oleh kemampuan dan emosi konstituen, serta sikap pemimpin. Kualitas. Menurut Schein (1985) BP harus diarahkan pada pembentukan perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berorientasi kualitas. Tipe perilaku konstituen yang berorientasi kualitas dibutuhkan agar BP bersifat operatif dan strategik, dan karakteristik konstituen yang berorientasi kualitas yaitu: memiliki persepsi positif tentang peningkatan mutu kerja, memiliki keyakinan utama adalah memperbaiki sikap kerja positif, tetapi hal ini dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang menghargai aspek mutu kerja (Deal dan Kennedy, 1999). Menurut Luque dan Sommer (2000) orientasi kualitas merupakan bentuk perilaku evaluatif individu untuk mencapai sasaran tertentu (selfefficacy), dan dipengaruhi oleh hasil pembelajaran observational (Bandura, 1997). Orientasi kualitas dapat juga terbentuk melalui kegiatan kepemimpinan yang bersinergi dengan proses pembelajaran sehingga terbentuk perilaku berorientasi kualitas (Wiley dan Brooks, 2000). Wiley dan Brooks (2000) menyatakan bahwa syarat terbentuknya perilaku berorientasi kualitas jika: (a) manajemen memiliki komitmen menempatkan kualitas sebagai prioritas dan mengarahkan semua tingkat dibawahnya untuk melaksanakan, (b) karyawan yakin bahwa standar kualitas merupakan syarat utama dalam pekerjaannya, dan (c) karyawan melihat kenyataan bahwa aspek kualitas benar-benar dijadikan sebagai prioritas dalam seluruh kebijakan dan kegiatan organisasi.
37
Kinerja. Menurut Denison (1990) serta Deal dan Kennedy (1999) BP yang efektif jika berorientasi hasil. Schein (1985) menyebut kinerja merupakan artifak, dan BP yang beorientasi kinerja jika ada nilai-nilai keterbukaan, kepercayaan, dan kerjasama yang mendukung perusahaan melaksanakan berbagai kebijakan strategi bersaing (Mink et al., 1994). Galbraith dan Lawler (1993) menyatakan bahwa setiap saat organisasi cenderung mengalami peningkatan kompleksitas bisnisnya, sehingga organisasi harus mengarahkan konstituennya berorientasi kinerja. Orientasi kinerja dapat terbentuk jika setiap orang memahami bahwa prestasi sebagai kualitas tanggung jawab pribadi, dan mereka yakin bahwa kualitas hasil kerjanya untuk kemajuan organisasi, tetapi lingkungan organisasi harus memberikan perlakuan positif tentang prestasi dan kualitas hasil pekerjaan. Pembelajaran, visi-misi yang jelas, keterlibatan pada proses manajemen, dan peran pemimpin yang dapat menjelaskan sistem dan prosedur dapat membentuk perilaku berorientasi kinerja (McCall, 1993; Cooke dan Szumal, 2000). Orientasi kinerja juga dapat terbentuk dengan cara melibatkan karyawan pada proses organisasi melalui tindakan: (a) suggestion involvement yaitu memberi kuasa (power) untuk mengembangkan ide-ide perubahan, (b) job involvement yaitu melibatkan karyawan pada perubahan rancangan pekerjaan sehingga mereka dapat menyesuaikan perilaku kerjanya dengan tugas yang harus dilakukannya, dan (c) high involvement yaitu karyawan dilibatkan dalam pengelolaan bisnis setelah mampu melakukan butir (a) dan (b) di atas (Ledford 1993). Inovasi. Amstrong (1988) memberi pernyataan tentang pentingnya inovasi sebagai berikut “inovasi adalah darah kehidupan suatu organisasi, bahwa inovasi harus didukung oleh kreatifitas, pemikiran yang jelas, dan kemampuan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru”. Perilaku inovasi merupakan inisiatif pengembangan sistemik sebagai dimensi dasar manajemen kualitas total, dan dipengaruhi oleh aspek internal dan eksternal, serta mempengaruhi tata nilai BP (Detert et al., 2000), tetapi syarat utama untuk membentuk perilaku ini adalah sistem dan prosedur yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten
38
(West, 2001). Perilaku ini terbentuk jika: (a) prioritas kebijakan organisasi adalah mendorong perubahan sistem dan prosedur, (b) individu menyadari penting membuat hal-hal baru yang bermanfaat untuk organisasi, dan (c) lingkungan organisasi memberi apresiasi terhadap individu yang melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk tugasnya dan organisasi (Senge dan Carstedt, 2001). Perilaku inovatif dipengaruhi oleh motivasi individu, iklim organisasi dan BP yang berorientasi inovasi; sedangkan nilai-nilai BP, norma, kebijakan, sistem dan prosedur merupakan acuan individu (individual preferences) untuk berperilaku inovatif (Michela dan Burke, 2000). Organisasi yang dapat mengelola pengetahuan tasit yang dimiliki individu menjadi pengetahuan organisasi, akan mempengaruhi individu membentuk perilaku inovatif. Pengelolaan pengetahuan tasit tersebut yang mempengaruhi perilaku menjadi faktor keunggulan komparatif yang dapat meningkatkan daya saing organisasi (Bates dan Flyn, 1995; McEvily dan Charavarty, 2002). Adaptabilitas. Definisi Hall dan Mirvis di dalam Major (2000) tentang adaptabilitas adalah kemampuan untuk terbuka dengan perubahan, mengelola hal-hal baru dalam pekerjaan yang sesuai dengan perubahan lingkungan, dan mengembangkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan perubahan. Major menjelaskan bahwa orientasi perilaku ini akan terbentuk jika individu mengalami pembelajaran positif dari lingkungan. Sathe dan Davidson (2000) menyatakan bahwa BP yang mendorong perilaku proaktif untuk belajar dari perubahan lingkungan sebagai adaptive culture yang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: (a) cara organisasi memandang pesaing, konsumen, dan konstituennya, (b) pelaksanaan sistem terbuka, dan (c) peran pemimpin transformasional dalam mengelola perubahan lingkungan. Ketiga faktor tersebut menjelaskan bahwa pengetahuan tentang lingkungan organisasi merupakan pendorong utama terbentuknya budaya adaptif. Hasil Studi Callahan (2002) menjelaskan bahwa faktor emosi mempengaruhi cara individu melakukan reaksi terhadap perubahan nilai-nilai BP, sedangkan praktek kepemimpinan dan manajemen organisasi adalah mem-
39
bentuk reaksi emosi fungsional berupa kesadaran individu untuk selalu belajar dari perubahan lingkungan sebagai bentuk perilaku adaptif terhadap perubahan nilai-nilai BP. Iklim Organisasi Menurut Ashkanasy et al. (2000) iklim organisasi (IOr: organizational climate) dapat mempengaruhi individu konstituen secara komprehensif menggerakkan sikap, nilai-nilai, dan kognisinya untuk melaksanakan BP yang sesuai dengan tujuan organisasi. Kajian ontologi dari Ashkanasy et al. menyatakan bahwa IOr yang dikelola dengan baik akan terbentuk situasi yaitu: (a) konstituen organisasi melakukan kewajiban strukturalnya sesuai dengan realitas organisasi, (b) lingkungan kerja konstituen dan kelompok membentuk konstruksi sosial hubungan antar individu di dalam kelompok, dan (c) struktur, sistem dan proses manajemen dapat terlaksana dengan baik karena konstituen memiliki sikap positif tentang organisasi dan BP. Pada kajian epistemologi dari Ashkanasy et al. menyatakan bahwa IOr yang dikelola dengan baik ternyata terbukti mendorong konstituen organisasi merubah elemen-elemen tasit menjadi eksplisit yang sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai BP serta berpartisipasi pada pencapaian tujuan organisasi. Morrison dan Milliken (2000) menyatakan bahwa IOr berhubungan dengan kesamaan persepsi dari aspek-aspek psikologikal di lingkungan kerja. Schein (2000) membagi dalam 2 bentuk aspek psikologikal pada IOr yaitu: (a) IOr tipe soft stuff menyangkut apa yang dirasakan konstituen tentang organisasi, sistem wewenang, serta tingkat keterlibatan dan komitmen, dan (b) IOr tipe hard stuff menyangkut cara konstituen belajar dan menyesuaikan diri dengan strategi dan struktur organisasi. Schein menjelaskan bahwa IOr merupakan faktor yang berperan membentuk artifak BP serta dipengaruhi oleh nilai-nilai dan asumsi-asumsi tasit yang terbentuk dari interaksi dengan lingkungan fisik, perasaan-perasaan dan pengalaman konstituen. Menurut Schneider (2000) IOr merupakan dasar utama terbentuknya BP, sebab IOr sebagai subyek organisasi yang harus dipertimbangkan untuk membentuk BP dan kebijakan strategi. Pada studi McMurray (2003) menyata-
40
kan bahwa IOr berupa gaya kepemimpinan yang memberikan kemandirian (autonomy) dapat mendorong terbentuknya nilai-nilai, sikap, dan keyakinan. Studi Ashkanasy (2002) menyimpulkan bahwa kognisi dan emosi konstituen tentang lingkungan organisasi terbentuk karena dipengaruhi oleh adanya kejadiankejadian afektif, kecerdasan emosional, persepsi, dan kemampuan individu menjelaskan keadaan berdasarkan atribut yang diyakininya (causal attribution). Hal ini menunjukkan bahwa aspek IOr penting dipertimbangkan dalam merancang organisasi, karena IOr sangat berperan membentuk perilaku. Pada konteks BP, IOr perlu disesuaikan dengan nilai-nilai BP sehingga individu konstituen dapat mengembangkan kompetensinya dengan baik. Studi Stackman et al. (2000) menyatakan bahwa kejadian afektif pada iklim organisasi membentuk orientasi sikap konstituen terhadap obyek dan situasi tertentu, kemudian membentuk nilai-nilai kerja yaitu cara manusia berusaha dan perasaannya menyangkut apa yang seharusnya dilakukan dalam pekerjaannya. Menurut Garcia (2003) aspek afektif yang mendorong sikap kerja positif dan membentuk tata nilai BP disebutnya sebagai spirituality workplace yang dapat berdampak pada kinerja organisasi. Pada studi ini IOr dijadikan sebagai sasaran antara (IO: instrumental objectives) terdiri dari 3 peubah yaitu transfer teknologi, perilaku managerial, dan harga TBS sebagai kejadian afektif, karena ketiga IO tersebut merupakan causal attribution terhadap BP dan kebijakan-kebijakan strategik AKS. Transfer Teknologi. Schein (1985) menjelaskan bahwa penerapan teknologi baru harus memperhatikan perubahan BP, sebab BP mempengaruhi perilaku kerja, nilai-nilai, dan citra-diri (self-image). Menurut Schein kesuksesan penerapan teknologi baru dipengaruhi oleh citra-diri konstituen yaitu konstituen merasa nyaman karena memiliki kompetensi sehingga mengembangkan sikap yang positif terhadap tugasnya, dan penerapan teknologi baru harus memperhatikan aspek-aspek BP yaitu asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan sikap. Schein menjelaskan bahwa IO ini terbentuk dari persepsi konstituen bahwa sikap belajar penting untuk menguasai teknologi, keyakinan konstituen bahwa penguasaan teknologi penting agar perusahaan kompetitif,
41
dan lingkungan organisasi yang memandang penting sikap belajar untuk menguasai teknologi baru. Perubahan teknologi merupakan kejadian afektif yang membentuk sikap terhadap asumsi-asumsi dasar BP, dan mempengaruhi kesuksesan strategi organisasi, sehingga melakukan transfer teknologi merupakan transformasi sikap (Schein, 1985; Ralston et al., 1995). Pada studi Li dan Gima (2001) di China, menyimpulkan bahwa perubahan teknologi menjadi efektif karena IO ini yaitu sikap belajar senantiasa dikembangkan sesuai dengan strategi inovasi produk (differentiation strategy) sehingga kinerja industri China secara progresif meningkat. Sedangkan pada studi McEvily dan Charavarty (2002) menyimpulkan bahwa pengetahuan tasit yang didapatkan dari IOr yang berorientasi teknologi akan membentuk pengetahuan eksplisit untuk mengembangkan teknologi dan nilai-nilai yang sesuai. Semua uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan transfer teknologi merupakan fungsi dari perubahan sikap belajar. Konstituen yang memiliki konstituen sikap belajar positif tentang teknologi, akan memudahkan organisasi melakukan transfer maupun perubahan teknologi secara efektif. Pada konteks ini, pengelolaan teknologi merupakan fungsi dari pengelolaan sikap konstituen, sebab sikap belajar konstituen yang positif sangat berperan pada penemuan dan pengembangan teknologi. Perilaku Managerial. Schneider et al. (2000) menjelaskan bahwa berdasarkan teori X dan Y dari McGregor, manager yang berperan membentuk iklim managerial (managerial climate) menyangkut hubungan antara pemimpin dan bawahan tentang: (a) perilaku kerja yang mementingkan bekerja secara teratur dan memperhatikan target waktu, (b) keyakinan tentang sikap kerja yang mementingkan rencana kerja, dan (c) lingkungan yang menghargai usaha mencapai hasil kerja terbaik. Ketiga bentuk perilaku tersebut merupakan perilaku managerial yang mendorong motivasi berprestasi bawahan. Selanjutnya Schneider et al. (2000) menjelaskan bahwa perilaku managerial ini dibutuhkan untuk memenuhi harapan-harapan (expectations)
42
konsumen, dan melaksanakan pemasaran internal (internal marketing) yaitu layanan yang baik antar departemen dan antar karyawan. Menurut Schein (1985) aspek manajemen yaitu target, sistem kontrol, dan fungsi-fungsi manajemen merupakan bagian dari manajemen BP untuk menunjang efektifitas organisasi, sedangkan perilaku manajerial bersifat kausalitas dengan elemen-elemen BP yaitu asumsi dasar, nilai, dan artifak. Perilaku managerial tersebut memiliki karakteristik yaitu perilaku berorientasi keteraturan, target, dan rencana kerja pada proses organisasi dan berperan pada proses integrasi BP dan pelaksanaan strategi (Mohrman, 1993), sedangkan menurut Subramaniam dan Ashkanasy (2001) perilaku manajerial memiliki karakteristik yaitu sikap kerja berorientasi hasil, perhatian pada detil pekerjaan, partisipasi pada tujua organisasi, dan persepsi tentang inovasi. Pada studi Cable et al. (2000) menyatakan bahwa informasi yang didapatkan dari lingkungan organisasi mempengaruhi keyakinan konstituen tentang perilaku managerial yaitu sikap kerja terhadap resiko, peraturan, dan hasil. Mink et al. (1994) menjelaskan bahwa pengembangan berkelanjutan (continuous improvement) dapat tercapai jika adanya proses integrasi sistem kerja dengan perilaku, serta konstituen organisasi memiliki kemauan melakukan perubahan perilaku managerialnya karena mengalami pembelajaran, perubahan BP, terlibat pada pengambilan keputusan, sasaran-sasaran BP dan kebijakan strategi. Scheneider et al. (2000) mengukur skala IOr berdasarkan perilaku managerial dan menyimpulkan bahwa IOr yang menghargai usaha dan prestasi, ide-ide baru, berorientasi rencana kerja, tanggung jawab pada target/ sasaran, dan kualitas, merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan BP dan kepuasan konsumen sehingga kesuksesan strategi pemasaran dapat dicapai. Harga TBS. Harga TBS (tandan buah segar) merupakan peubah yang mempengaruhi kelangsungan pasokan bahan baku dari petani ke PKS. Pada studi ini ingin dikaji apakah IOr pada AKS memberikan apresiasi pada harga dan keterbukaan informasi harga TBS, sebab kepuasan pemasok (petani) dan
43
perilaku partisipatif pada AKS jika pemasok merasa mendapatkan perlakuan adil (fairness). Gardner (1997) dan Ricciuto (1997) menyatakan bahwa partisipasi petani meningkat karena Pioneer Hi-Bred melakukan keterbukaan informasi harga bahan baku kepada petani, sehingga mendorong DuPont meningkatkan investasinya di Pioneer Hi-Bred. Hal ini menunjukkan bahwa aspek keterbukaan harga sangat penting karena mempengaruhi perilaku partisipasi petani untuk memasok bahan baku berkualitas dan tepat waktu ke sektor agroindustri (Upbin, 1997; Werblow, 1997), sebab aspek keterbukaan harga yang dilakukan kepada petani merupakan model kerjasama petani dan agroindustri (Wall, 1997). Uraian ini menunjukkan bahwa praktek keterbukaan informasi harga bahan baku kepada pemasok dari sektor kebun (on farm) menunjang kelangsungan hidup perusahaan dan menarik investor terlibat pada pengembangan bisnis di perusahaan agroindustri terkait. Budaya Perusahaan dan Strategi Bersaing Menurut Quinn (1995b: 7), strategi adalah “suatu pola atau suatu perencanaan yang mengintegrasikan sasaran, kebijakan, dan tindakantindakan organisasi secara kohesif.” Menurut Porter (1980: xvi-xvii) strategi bersaing (SB) adalah “suatu kombinasi dari berbagai tujuan (ends/goals) yang ingin dicapai perusahaan dan berbagai cara (means) untuk mencapai tujuan,” dan tujuan persaingan adalah secara spesifik untuk mencapai sasaran-sasaran ekonomik dan non-ekonomik tergantung sifat bisnisnya. Aplikasi BP dengan SB yang diadopsi dalam studi ini berdasarkan pengertian dari Mintzberg (1995: 174) bahwa “semua tahu 2 + 2 = 4 tetapi dalam teori sistem yang menerangkan teori sinergi, hal itu dapat saja menjadi 5 karena strategi menggunakan unsur budaya”, pengertian ini menunjukkan bahwa strategi bersaing akan sukses jika memasukkan unsur BP pada perumusan kebijakan strategi. Menurut Porter (1980) SB dapat dilaksanakan jika individu konstituen dan organisasi memiliki perilaku komitmen. Komitmen terbentuk jika nilai-nilai individu sesuai dengan nilai-nilai organisasi (Oliver, 1990; Finegan, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku komitmen terhadap SB merupakan produk BP
44
melalui usaha-usaha penyesuaian nilai-nilai BP dengan nilai-nilai individu, sehingga menjadi perhatian utama dalam studi ini. BP yang sesuai misi perusahaan berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi, sebab misi perusahaan adalah sesuatu yang utama didalam strategi (Kilmann et al., 1985). BP merupakan faktor penting pada SB sebab jika strategi ditambah BP akan mendorong kesuksesan perusahaan menghadapi persaingan (Hickman dan Silva 1984; Lorsch 1986), dalam hal ini BP dijadikan sebagai faktor utama untuk melaksanakan strategi-strategi baru (David, 1997; Harvey dan Brown, 1992; Pearce dan Robinson, 1997). BP merupakan aspek strategik yang mendukung dinamika perusahaan, serta mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk bertahan hidup melalui dukungan para pelakunya, sebab BP membantu organisasi dan konstituennya untuk dapat menghadapi perubahan dinamika lingkungan bisnis (Blunt dan Richards, 1993; Schneider, 2000). Organisasi menjadikan BP sebagai dasar filosofi dan kerangka operatif untuk membentuk cara menghadapi persaingan, untuk itu setiap manager harus mampu melibatkan diri pada penciptaan, perubahan, mengevaluasi, mengarahkan, dan memelihara BP yang sesuai dengan sifat bisnis organisasi yang dikelolanya (Schein, 2000). Studi Tjandradiredja (2002) menerangkan bahwa strategi keunggulan pemasaran dapat tercapai jika ditunjang oleh faktor-faktor sikap kompetitif individu menghadapi persaingan, partisipasi pengambilan keputusan, pandangan harga diri, etika bisnis, dan perilaku investasi. Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai bagian dari BP yang menunjang keunggulan pemasaran, sebab penggunaan faktor-faktor perilaku dan sikap manusia akan membantu penerapan strategi pemasaran. Sifat strategik dari BP dianggap penting sebab hampir semua organisasi bisnis, termasuk agroindustri khususnya kelapa sawit, menghadapi perubahan lingkungan bisnis yang berifat evolutif sehingga membutuhkan kemampuan mempertahankan diri (survival of the fittest). Menurut Brickley et al. (1996) pola ini disebut Economic Darwinism yaitu organisasi bisnis secara keseluruhan merupakan suatu sistem biologikal yang cenderung mempertahankan diri dengan cara melakukan formasi dan reformasi nilai-nilai BP karena selalu mengalami tekanan
45
perubahan dari lingkungan eksternal. Pedler (1994) menyatakan bahwa pola evolusi Darwinisme mempengaruhi cara organisasi melakukan metapora biographikal menyangkut hidup dan mati, umur, periode dan tema organisasi dalam lingkungan bisnisnya, dan BP dibutuhkan untuk melakukan transformasi nilai-nilai melalui suatu proses pembelajaran untuk menghindari dampak fenomena biographikal agar tidak mengganggu kelangsungan organisasi. Tuomi (1999) menjelaskan bahwa untuk menghadapi fenomena evolutif, organisasi harus dapat mengembangkan peran sebagai agen pencerdasan kognitif (intelligent cognitive agent) yang memadukan kemampuan pembelajaran, pengetahuan dan kebijakan strategi untuk menghadapi tekanan lingkungan bisnis. Fenomena evolutif Darwinisme yang dialami organisasi mendorong organisasi harus dapat membentuk BP yang sesuai untuk dapat mempertahankan diri secara dinamis dengan perubahan lingkungan bisnis, dan BP dipandang sebagai suatu cara untuk mempertahankan diri (Perlmutter di dalam Chakravarty dan Perlmutter, 1990). Pada kondisi evolutif tersebut, BP menjadi tanggung jawab seluruh fungsi manajemen untuk mengembangkan nilai-nilai yang dapat mempercepat proses pembelajaran untuk mengefektifkan pelaksanaan strategi (Francis dan Woodcock, 1990). Semua pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Goold dan Quinn (1990) bahwa perubahan lingkungan yang dinamis membutuhkan sistem pengendali-an yang terdapat pada BP melalui kerjasama dari semua bagian untuk mencapai sasaran perusahaan. Goold dan Quinn menyebut faktor BP sebagai hiddenresources yaitu kekuatan strategik yang tidak terlihat tetapi berada dalam cara berpikir dan berperilaku individu, serta visi dan misi organisasi. Laporan Child dan Lu (1993) bahwa China memperoleh peningkatan foreign direct investment di atas US$20 milyar pada 1991 dan cenderung terus meningkat, karena kemampuan China mengembangkan strategi bersaing organisasi-organisasi bisnisnya melalui pengembangan struktur organisasi dan pembentukan BP yang menarik minat investor. Laporan ini menjelaskan bahwa daya saing perusahaan-perusahaan China karena mampu mengintegrasikan strategi organisasi, struktur dan budaya secara efektif sesuai dengan tuntutan perkembangan lingkungan bisnis. 46
Menurut Fedor dan Werther (1996) BP yang sesuai dengan strategi perusahaan dipengaruhi oleh 3 perspektif yaitu: (a) Integrasi (integration perspective) yaitu perhatian pada konsistensi, konsensus, dan kejelasan (clarity) kebijakan-kebijakan organisasi yang mempengaruhi karyawan melibatkan diri pada pemecahan masalah pekerjaan dan organisasi, (b) Differensiasi (differentiation perspective) yaitu perhatian pada kesamaan nilai-nilai budaya organisasi misalnya menyesuaikan antara kebijakan formal dan nilai-nilai operasional, dan (c) Fragmentasi (fragmentation perspective) yaitu perhatian pada perbedaan tata nilai untuk merumuskan sasaran organisasi. Kekuatan budaya justru terdapat dalam ketiga perspektif ini yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan strategi perusahaan, dan untuk melaksanakannya dibutuhkan proses komunikasi dan pengembangan kelompok (Argyle, 1981; Cascio dan Serapio, 1996), saling membagi aktifitas dan tata nilai dari masing-masing unit bisnis (Porter, 1995), serta proses sosialisasi (Pascale, 1995). Pada Gambar 4, Sathe (1985 dan 1986) menjelaskan bahwa strategi dan BP merupakan bagian dari model dinamika organisasi yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Pada model dinamika organisasi dari Sathe tersebut menjelaskan bahwa BP mempengaruhi strategi perusahaan dan efektifitas perusahaan yang ditentukan oleh kesesuaian antara standar perilaku organisasi dengan perilaku aktual konstituen. Simpson (1994) mengatakan bahwa kinerja organisasi akan tercapai jika BP mengandung unsur kualitas total sebagai SBP yang mempengaruhi pelaksanaan SB. Uraian Sathe dan Simpson menunjukkan bahwa mengelola BP merupakan bagian dari manajemen strategi bisnis, karena unsur kualitas total yang terbentuk oleh BP merupakan faktor penting pada SB. Pada model dinamika organisasi (Gambar 4) menjelaskan bahwa SB dipengaruhi oleh masukan (input) sikap dan kompetensi karyawan sebagai faktor yang sangat menentukan. Pada konteks organisasi, faktor-faktor masukan tersebut dipengaruhi oleh aspek kepemimpinan, BP, serta sistem dan prosedur yang bersifat strategik karena berdampak pada strategi perusahaan (Scott, 1992; Trompenaars, 1993).
47
Porter (1994) menjelaskan manfaat BP terhadap formulasi strategi generik, bahwa nilai-nilai BP membentuk perilaku organisasi dan individu yaitu: (a) inovasi, kreatifitas, dan kemampuan menghadapi resiko sehingga strategi diferensiasi dapat dilaksanakan, dan (b) penyederhanaan (simplikasi), perilaku disiplin melaksanakan sistem dan prosedur, dan perhatian pada rincian pekerjaan sehingga strategi keunggulan biaya menjadi efektif. Pengelolaan yang positif tentang BP dan faktor-faktor pendukungnya yaitu kepemimpinan, pembelajaran dan pengetahuan dikelola dengan baik akan memudahkan tranformasi kearah perubahan (Schein, 1985), sebab BP mempercepat proses pembelajaran organisasi yang mengefektifkan implementasi kebijakan strategi (Argyris dan Schön, 1996; Burgoyne, 1994). Semua uraian di atas menunjukkan bahwa peran BP pada pembentukan sikap positif konstituen merupakan pendorong utama keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan strategik suatu organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa analisis BP dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan kesuksesan pelaksanaan kebijakan strategik organisasi. Gaya kepemimpinan
Konteks Organisasi Bentuk organisasi Lingkungan luar Strategi bersaing
Standar perilaku organisasi
Perilaku aktual organisasi
Budaya perusahaan
Karyawan
Sistem dan Prosedur
Sesuai
Sesuai
Organisasi efektif
Kepuasan karyawan
Gambar 4. Model Dinamika Organisasi: Organisasi sebagai unit analisis. (Sumber: Sathe, 1985: 35)
Strategi Integrasi Budaya Perusahaan Ada 2 tipe strategi BP yaitu strategi integratif merupakan sintesis seluruh faktor internal perusahaan untuk membentuk tata nilai yang sesuai, dan strategi
48
adaptif adalah sintesis seluruh faktor yang terdapat pada lingkungan eksternal kemudian disesuaikan dengan tata nilai organisasi (Dagi, 1998). Kedua bentuk strategi BP tersebut dibutuhkan karena BP merupakan solusi masalah-masalah internal dan eksternal, sehingga BP merupakan bagian dari definisi strategi (Schneider dan Barsoux, 1997). Pada konteks ini, untuk melaksanakan BP dan kebijakan strategik membutuhkan komitmen konstituen berupa sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk mencapai sasaran perusahaan. O’Reilly (1996) berdasarkan pengamatannya pada General Motors, Toyota, IBM, dan Pepsico menyimpulkan bahwa komitmen konstituen organisasi merupakan faktor utama BP untuk melaksanakan strategi. Komitmen merupakan proses internalisasi dari seluruh tata nilai individu, kelompok, dan organisasi yang dinyatakan melalui sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Melalui proses internalisasi, setiap konstituen harus dapat bertindak sebagai agen penyebar (deployable agents) tata nilai untuk mencapai sasaran organisasi. Menurut O’Reilly cara ini menjadi ciri khas organisasi Jepang yang melibatkan seluruh konstituen organisasi sebagai deployable agents yang terlibat langsung dalam proses organisasi tetapi tidak mementingkan diri sendiri. Ini sesuai dengan pendapat Nadler dan Limpert (1992) dan Ashkenas et al. (2002) bahwa integrasi sebagai faktor kesuksesan BP pada proses-proses pekerjaan sehingga organisasi menjadi lebih responsif dan bereaksi lebih cepat terhadap kebutuhan konsumen. Pendapat beberapa ahli tentang karakteristik strategi integrasi BP adalah sebagai berikut: a. Fokus pada kebersamaan dalam tindakan dan prestasi aktual yang ingin dicapai organisasi (Schein, 1985; Bate, 1992). b. Mengandung tindakan strategik, memelihara dan memperbaiki bisnis, mengelola transisi, dan adanya dukungan personal (Nadler dan Lampert, 1992). c. Sebagai suatu proses yang digerakkan oleh aspek supervisi, peraturan dan prosedur, serta tujuan dan sasaran (Mohrman, 1993).
49
d. Perhatian pada konsistensi, konsensus, dan kejelasan (clarity) secara praktis, serta kebijakan-kebijakan yang mengarahkan keterlibatan karyawan dalam pemecahan masalah (Fedor dan Werther, 1996). e. Konsistensi internal untuk mewujudkan BP melalui konsensus semua konstituen terhadap nilai-nilai organisasi (Davis et al., 1994; Martin dan Frost di dalam Mills dan Mills, 2000). f. Fokus pada komunalitas (kebersamaan) tentang nilai-nilai sebagai kriteria organisasi yang ingin dicapai dan dievaluasi (Ashkanasy et al., 2000). Menurut Miller (2000) strategi integrasi BP yaitu menyesuaikan nilainilai BP dengan struktur organisasi, sistem operasi, sistem imbalan, dan berbagai issu manusia, serta pelaksanaannya membutuhkan dukungan perilaku konstituen, sistem, dan prosedur. Hal ini menunjukkan bahwa agar strategi integrasi BP dengan SB menjadi efektif, dibutuhkan peran para manager untuk mengembangkan jaringan kerja internal sehingga kebijakan organisasi dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu (Miles dan Snow, 1996). Integrasi BP dengan strategi bersaing ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kepemimpinan, tradisi organisasi, teknologi, produk dan jasa, kompetensi industrial, informasi dan sistem kontrol, prosedur, sistem imbalan, tujuan, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan; selanjutnya faktor-faktor tersebut dijadikan sebagai asumsi-asumsi industrial yang mempengaruhi berbagai keputusan strategik (Drennan, 1992; Parry dan Thomson, 2003). Menurut Birkinshaw et al. (2000) integrasi BP dapat dilakukan dalam 2 bentuk integrasi yaitu integrasi manusia, dan integrasi tugas-tugas. Kedua bentuk integrasi ini berpengaruh nyata meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan (R&D), transfer teknologi, dan posisi pasar, sehingga perusahaan menjadi kompetitif. Franke et al. (1991) mengembangkan faktor integrasi dengan pendekatan broadly integrative sebagai sistem perilaku organisasi yaitu indeks derajat toleransi, harmoni, dan persahabatan ternyata mempengaruhi pertumbuhan ekonomi 20 negara antara tahun 1965-1987. Mintzberg (1995) menyatakan bahwa integrasi BP harus sesuai dengan sistem dan strategi sebab BP yang bersinergi dengan sistem organisasi dapat 50
mendukung sasaran strategi organisasi. Sinergi BP dengan sistem organisasi tersebut harus ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan individu konstituen (Sathe, 1985), serta harus dapat mendorong proses transformasi untuk menciptakan inovasi dan kreatifitas, sedangkan aspek kepemimpinan dibutuhkan agar proses transformasi berlangsung dengan efektif dan manajemen puncak harus dapat mengembangkan kepemimpinan untuk mengelola nilai-nilai BP yang sesuai dengan kebijakan strategik perusahaan (Robbins, 1996; Yukl, 1994). Strategi Bersaing Generik Teori strategi bersaing generik dari Porter (1980: xvi) menyebutkan strategi bersaing sebagai suatu kombinasi berbagai tujuan yang ingin dicapai, dan berbagai kebijakan yang digunakan untuk mencapai posisi relatif organisasi di dalam industrinya. Organisasi harus dapat mengembangkan salah satu pilihan dasar keunggulannya yaitu biaya rendah atau diferensiasi/keunikan (Porter, 1994: 11), tetapi jika organisasi tidak dapat mengembangkan salah-satu dasar keunggulannya disebut terperangkap di tengah (stuck in the middle) yang dapat menyebabkan organisasi tidak memiliki keunggulan bersaing (Porter, 1980: 41). Choo (1998) menjelaskan bahwa aktifitas rantai nilai pada strategi bersaing Porter memberikan dampak terbentuknya pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang efektif suatu rantai nilai memberikan nilai tambah pada organisasi dan sekaligus mempengaruhi pembentukan nilai-nilai BP, sebab proses keterkaitan antara masing-masing titik rantai nilai akan mendorong pembelajaran pada aktor yang melaksanakannya sehingga terbentuk pengetahuan tentang nilainilai BP yang menunjang kebijakan SB suatu organisasi. Ada tiga strategi bersaing generik dari Porter (1980) yaitu: Strategi Keunggulan Biaya (overall cost leadership). Strategi keunggulan biaya yaitu mengutamakan efisiensi berdasarkan kontrol biaya secara ketat untuk mendapatkan laba lebih tinggi dibandingkan pesaingnya pada harga yang sama, atau menetapkan harga lebih rendah dibandingkan pesaing sehingga meningkatkan penjualan atau menciptakan pasar baru dari produk yang dihasilkannya.
51
Strategi Keunikan (differentiation strategy). Strategi keunikan yaitu merancang produk dan layanan yang unik dan sesuai dengan nilai-nilai yang dibutuhkan konsumen, memilih atribut yang unik dan berbeda dengan pesaing, selalu mengamati kebutuhan konsumen lalu memilih atribut yang berbeda dengan pesaing, serta mengembangkan promosi dan saluran-saluran distribusi (distribution channels) yang tepat, sehingga didapatkan konsumen yang loyal, organisasi dapat menjual dengan harga premium, serta dapat menciptakan hambatan untuk pesaing (barrier to entry) masuk kedalam lingkungan bisnis yang sama. Strategi Fokus (focus strategy). Strategi fokus dilakukan untuk memperoleh keunggulan pasar berdasarkan sasaran dan segmen tertentu. Varian strategi ini adalah: (a) Fokus biaya yaitu organisasi berusaha mencapai keunggulan biaya pada segmen sasarannya, dan (b) Fokus keunikan yaitu organisasi berusaha unggul berdasarkan keunikan produk dan jasa pada segmen sasarannya. Pemilihan pada salah-satu varian tersebut tergantung pada karakteristik konsumen pada segmen tertentu, sebab jika pilihan tersebut tepat maka organisasi akan kompetitif dibandingkan pesaingnya. Menurut Porter (1980: 41 dan 1994: 24) pemilihan dan pelaksanaan strategi generik ditentukan oleh aspek kepemimpinan, BP, dan atmosfir organisasi (IOr). Pada konteks BP, Schneider et al. (2000) menjelaskan bahwa pilihan strategi bersaing generik tergantung pada apakah IOr disuatu organisasi memiliki dasar perilaku kompetitif yaitu karyawan dapat mengelola pekerjaannya sesuai dengan tujuan persaingan, dan di dalam organisasi terdapat internal marketing yaitu karyawan dapat mengelola pekerjaannya yang memuaskan karyawan lain pada bidang pekerjaan yang sama atau antar departemen. Kelangsungan strategi untuk jangka panjang dapat tercapai jika lingkungan organisasi sesuai dengan nilai-nilai BP (Banerjee, 2002), dan konstituen organisasi melakukan konformitas kinerjanya dengan kebijakan strategi bersaing (Miller dan Chen, 1995). Strategi pengendalian biaya dan diferensiasi dapat tercapai jika individu memiliki perilaku kerja yang positif serta pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan efisiensi pekerjaan (Grant dan Fuller, 1995; Long dan Moeller,
52
2001), dan organisasi membentuk kebijakan yang mendorong inovasi (McEvily dan Charavarty, 2002). Uraian tentang strategi generik di atas menunjukkan bahwa apapun pilihan organisasi pada SB generik tertentu akan berlangsung efektif jika organisasi memiliki 2 faktor utama yaitu iklim organisasi dan BP yang sesuai. Iklim internal organisasi yang menghargai sikap belajar terhadap perubahan teknologi, sikap managerial yang konsisten dan komitmen pada sistem dan prosedur serta pemberdayaan SDM, serta pengelolaan tata nilai BP secara konsisten untuk meningkatkan efektifitas, kualitas, kinerja, inovasi, dan adaptabilitas organisasi dengan lingkungan bisnis. Kedua faktor tersebut akan berlangsung efektif menunjang pilihan SB jika juga ditunjang oleh praktek gaya kepemimpinan, proses pembelajaran, manajemen pengetahuan, visi misi yang jelas, konsistensi penerapan kebijakan, dan individu konstituen senantiasa diberi peluang untuk terlibat dalam seluruh proses fungsi-fungsi manajemen pada dilingkup kerjanya. Strategi Hibrid Pandangan teori stuck in the middle dari Porter diyakini memiliki dua permasalahan substansial. Pertama, jika organisasi memilih dasar keunggulannya adalah hanya biaya rendah, maka akan sulit untuk menjual, sebab untuk menjual membutuhkan biaya dan inovasi teknik promosi untuk memenuhi kebutuhan konsumen, sedangkan jika dasar strategi adalah harga rendah maka akan sensitif dengan perubahan moneter dan lingkungan ekonomik bisnis sehingga berpotensi menurunkan daya saing. Kedua, jika pilihan dasar keunggulan hanya diferensiasi tanpa diimbangi dengan pengelolaan biaya maka akan sulit mencapai kesuksesan persaingan sebab strategi fokus ini dapat berpeluang menciptakan resiko biaya untuk membuat produk dan jasa yang unik. Pertimbangan dasar dari kedua pandangan di atas berdasarkan fakta bahwa: (a) Toyota berhasil mengembangkan produk berkualitas (diferensiasi) tetapi efisien (keunggulan biaya) dan berharga murah (keunggulan harga) dibandingkan pesaingnya, sehingga Toyota memiliki keunggulan bersaing (McLaughlin, 1994), dan (b) General Electric dengan metode Six Sigma dapat meningkatkan kinerja
53
serta kualitas produk dan layanan sekaligus melakukan reduksi biaya (Ashkenas et al., 2002). Ini menunjukkan bahwa strategi Toyota dan General Electric adalah strategi hibrid (hybrid strategy) yaitu kombinasi diferensiasi dengan kontrol biaya. Hitt et al. (2003) menyatakan bahwa kombinasi dari 2 atau lebih strategi generik dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing perusahaan, sedangkan hasil studi Kim et al. (2004) menyimpulkan bahwa kombinasi tersebut sebagai strategi hibrid secara nyata meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan cyber di Korea Selatan. Beberapa studi strategi yang menggambarkan strategi hibrid adalah: a. China untuk menembus pasar persaingan dengan cara mengembangkan strategi inovasi produk yang diimbangi dengan perbaikan budaya kerja, politikal, faktor-faktor ekonomik sehingga didapatkan industri berbasis kualitas teknologi dan berharga murah (Li dan Gima, 2001). b. Strategi pengembangan teknologi dan menurunkan biaya secara bersamaan ternyata berperan meningkatkan kinerja pemasaran (Afuah, 2001). c. Pengembangan usaha kecil dan menengah dengan cara diferensiasi produk dan jasa sekaligus menurunkan biaya produksi dan meningkatkan produktifitas melalui pengembangan SDM, modal intelektual dan pembelajaran organisasi ternyata meningkatkan kemampuan memperoleh laba (Raymond, 2003). d. Pengembangan usaha kecil dan menengah pada industri mebel dengan menggunakan teknologi berbasis efisiensi (low cost) dan pengembangan produk dan jasa (diferensiasi) secara bersamaan ternyata meningkatkan daya saing produk usaha kecil dan menengah di New Zealand (Vries dan Margareth, 2003). Domain Analisis Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu, dan menggunakan 3 domain analisis yaitu persepsi, keyakinan, dan kognitif. Setiap organisasi memiliki bentuk perilaku yang unik yang terbentuk dari perilaku individu konstituennya, sedangkan perilaku individu terbentuk sebagai hasil interaksi individu konstituen dengan lingkungan organisasi. Pengalaman individu dengan lingkungan organisasi mengenai visi dan misi, kebijakan, sistem dan prosedur, 54
struktur organisasi, manusia, teknologi, serta praktek kepemimpinan, kesemuanya membentuk persepsi, keyakinan, dan kognitif individu sehingga mendorong individu membentuk perilaku tertentu yang mempengaruhi perilaku organisasi. Ketiga domain tersebut merupakan fungsi dari diri individu (self: s kecil) yang menyatakan gagasan/ide (Self: S besar). Ide yang terbentuk dari persepsi, keyakinan, maupun kognitif akan mendorong individu membentuk perilaku tertentu yang menggambarkan predisposisi individu tentang lingkungan organisasi atau lingkungan kerjanya. Persepsi, keyakinan, dan kognitif yang dimiliki individu akan mempengaruhi pembentukan gagasannya untuk memutuskan apakah mau – atau – tidak mau berinteraksi dengan individu lain, kelompok, atau organisasi. Keputusan individu tersebut yang selanjutnya membentuk nilai-nilai. Penghargaan oleh lingkungan organisasi pada nilai-nilai yang terbentuk tersebut, akan mendorong individu menjadikan nilai-nilai menjadi standar perilaku sebagai wujud dari BP. Pada paham revolusi pengetahuan dari John Locke (1632–1704) dengan filsafat teoritisnya menyatakan bahwa pikiran (mind) terbentuk dari ide, dan ide terbentuk dari pengalaman. Budaya dalam suatu kelompok membentuk cara berpikir dan berperilaku manusia. Menurutnya manusia memiliki pikiran yang dibawa sejak lahir (infant mind) yang disebutnya sebagai tabula rasa (Latin) kemudian pengalaman yang mengisinya. Menurut Hergenhahn dan Olson (1997) dan Russel (2002) bahwa Locke menyimpulkan ide datang dari pengalaman, sedangkan berbagai ide (complex ideas) datang dari kombinasi berbagai ide. Persepsi, keyakinan, dan kognitif sebagai aspek pikiran yang dimiliki individu merupakan hasil pembelajaran membentuk ide (innate ideas) dari pengalaman individu terhadap lingkungan, kemudian ide membentuk nalar (meaning) selanjutnya membentuk nilai-nilai sebagai inti dari BP dan perilaku kompetitif yang menunjang strategi bersaing suatu perusahaan. Hal tersebut merupakan dasar filosofi studi ini bahwa orientasi perilaku individu merupakan fungsi ide yang didapatkan individu dari lingkungan organisasi, dan ide tersebut yang berperan sebagai atribut yang mempengaruhi persepsi, keyakinan, dan kognitif individu.
55
Teori atribusi dari Weiner menjelaskan bahwa individu memahami lingkungan melalui proses 3 tahap yaitu : (a) mengamati dan merasakan (tahap persepsi), (b) kemudian membentuk keyakinan (tahap keyakinan), dan (c) selanjutnya individu menentukan untuk membentuk perilaku berdasarkan keyakinannya (tahap kognitif) (Weiner, 1986). Daley (2005) menjelaskan bahwa teori atribusi dari Weiner merupakan teori berbasis persepsi, tetapi hasil risetnya membuktikan bahwa faktor persepsi tidak menjelaskan kognitif tentang realitas sebenarnya. Kesimpulan Daley sesuai dengan aliran filsafat empirisme dari David Hume (1711-1776) yang mengembangkan doktin obyektif bahwa kesan (impression) sebagai persepsi adalah hal yang berbeda dengan gagasan (ideas) sebagai kognitif, keduanya dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi kesan dan gagasan tidak memiliki hubungan kausal (Russel, 2002). Hergenhahn dan Olson (1997) mengatakan bahwa menurut Hume terdapat asosiasi aspek pembelajaran pada lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya ide, sedangkan menurut Bakker (1984) bahwa filsafat empirisme Hume menempatkan kesan, keyakinan, dan gagasan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri serta berperan membentuk perilaku. Berdasarkan teori dari Locke, Hume, dan Daley, individu merupakan aktor penting pada BP yang melakukan respons perilaku membentuk nilai-nilai dari stimuli lingkungan. Respons tersebut diawali oleh persepsi, keyakinan, atau kognitif yang merubah tabula rasa individu, kemudian melalui proses pembelajaran terbentuk nalar dan selanjutnya membentuk gagasan sebagai innate ideas. Gagasan yang dimiliki individu merupakan dasar pengetahuan (knowledge) yang menentukan individu berkehendak (keputusan) melakukan respons perilaku mau atau tidak mau terhadap obyek atau subyek tertentu. Jika individu menemukan kebenaran dari keputusannya, maka keputusan tersebut menjadi nilai yang digunakannya sebagai standar (acuan) berperilaku untuk melakukan atau berkata tentang sesuatu. Nilai-nilai yang dijadikan sebagai sebagai acuan berperilaku dan disinergikan dengan tujuan perusahaan akan terbentuk nilai-nilai BP yang mendukung pelaksanaan berbagai kebijakan strategik suatu organisasi.
56
Berdasarkan pemikiran di atas, metode analisis pada penelitian ini menggunakan domain analisis yaitu persepsi, keyakinan, dan kognitif untuk mengetahui respons perilaku individu terhadap lingkungan organisasi yang mendukung nilainilai BP pada organisasi AKS. Persepsi (perception) Persepsi merupakan pernyataan mental (mental-set) hasil dari proses manusia menerima, mengelola, dan menerjemahkan informasi dari lingkungan (Schiffmann, 1990). Finegan (2000) membuktikan secara empiris bahwa persepsi individu berperan membentuk sikap dan perilaku untuk menyesuaikan diri dengan organisasi (person-organization fit). Perhatian yang diberikan organisasi tentang persepsi individu menyangkut kesejahteraan dan keselamatan kerja, akan mendorong individu berkontribusi pada nilai-nilai organisasi dan memberikan komitmennya. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi harus memperhatikan persepsi karyawan tentang nilai-nilai organisasi, karena persepsi merupakan faktor pembentuk perilaku. Kesesuaian perilaku individu dengan organisasi juga dipengaruhi oleh persepsi tentang resiko (risk perception) yang merupakan karakteristik utama individu untuk membentuk perilaku nilai-nilai budaya, motif-motif enterprenir, dan sikap terhadap organisasi (Petrakis, 2005). Studi Flint et al. (2005) menyimpulkan bahwa respons afektif (affective response) individu terhadap organisasi dipengaruhi oleh persepsi tentang hasil (outcomes) yang dapat diterimanya. Hal ini menunjukkan bahwa atribut persepsi yang mempengaruhi individu membentuk perilaku tertentu. Teori swapersepsi (self-perception theory) dari Daryl Bern menyatakan bahwa individu membentuk sikap, emosi dan bentuk perilaku internal (internal states) tertentu berdasarkan hasil pengamatannya dari kejadian-kejadian yang dialaminya secara langsung. Perasaan terancam yang terdapat di dalam diri individu terancam dan perasaan individu tidak dapat menafsirkan lingkungan, akan berperan terbentuk perilaku individu untuk menghindar terhadap lingkungannya (Bern, 1972). Weiner (1986) menjelaskan keadaan tersebut dengan teori atribusinya (attribution theory) bahwa individu mengembangkan persepsi berdasarkan
57
hal-hal yang dirasakan atau yang diamatinya dengan menggunakan salah satu atau ketiga atribut yaitu pusat kendali diri (LOC: locus of control) internal/eksternal, stabilitas, dan keterampilan yang dapat dikendalikan (controllability). Jika individu merasa penting untuk berprestasi, maka individu akan membentuk LOC internal, mengembangkan kemampuan (stability), dan menggunakan keterampilannya (controllability) sehingga terbentuk motivasi berprestasi. Individu mengembangkan motivasi berprestasi di dalam organisasi dipengaruhi oleh atribut persepsi yang dirasakannya penting dari pengalamannya pada lingkungan organisasi. Atribut persepsi individu tentang struktur organisasi, kemandirian kerja dan kebersamaan (uniform) tentang perilaku dan aktifitas koordinasi dalam organisasi berperan pada pembentukan motivasi dan produktifitas individu sehingga berpeluang pada pengembangan karirnya (Daley, 2005). Studi empiris dari Dressel et al. (2005) menemukan bahwa atribut para mahasiswa tentang konsep diri (selfconcept), harapan untuk sukses, dan ketidakberdayaan (helplessness) sangat berperan pada motivasi mahasiswa untuk mencapai kesuksesan akademik. Pada tinjauan budaya, Lieberman et al. (2005) menjelaskan bahwa faktor situasional mempengaruhi atribut persepsi tentang tujuan, kebiasaan, dan norma sehingga individu melakukan proses adaptif pada keragaman budaya. Semua uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku individu dalam organisasi dipengaruhi oleh atribut persepsi, sehingga individu akan melakukan respons afektif terhadap kehidupan organisasi. Pada studi ini analisis atribut persepsi responden menyangkut nilai-nilai, pembentuk BP, sasaran BP, serta konstrain strategi bersaing yaitu biaya serta keunikan produk dan jasa, sedangkan atribut faktor situasional yang digunakan adalah iklim organisasi yang akan diuraikan pada bab metode penelitian. Keyakinan (beliefs) Keyakinan merupakan ide dari hasil penyimpulan tentang sesuatu obyek (Wood et al., 1994). Keyakinan yang dimiliki individu akan digunakannya untuk melakukan perubahan tergantung pada pernyataan tujuan (goal setting) yang dimilikinya. Pada teori pembelajaran sosial (SLT: social learning theory) dari Bandura menyatakan bahwa keyakinan individu membentuk perilaku tertentu
58
untuk mencapai tujuan tertentu disebutnya sebagai swausaha (self-efficacy) (Bandura, 1977), dan kemampuan diri (self agentic capacity) yaitu perilaku untuk mencapai beberapa tujuan tertentu secara bersamaan (Bandura, 2001a). McDonald dan Siegall (1996) menemukan bahwa mengelola self-efficacy individu ternyata berperan menurunkan reaksi negatif individu dan kelompok pada perubahan teknologi. Pada lingkup organisasi, teori SLT tersebut menunjukkan bahwa pengalaman individu pada lingkungan sosial organisasi merupakan pendorong sikap individu untuk mengembangkan peran tertentu terhadap tujuan organisasi. Studi Eddlestone et al. (2004) menyatakan bahwa keyakinan untuk sukses (efficacy) berperan meningkatkan kesuksesan karir, sehingga keyakinan para manager merupakan faktor untuk meramalkan (predictor) kesuksesan karirnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa keyakinan merupakan modal manusia (human capital) yang berperan meningkatkan motivasi kerja untuk mencapai kesuksesan. Keyakinan self-efficacy individu tentang kualitas tugas sebagai standar norma mendorong individu menyesuaikan tujuan dan komitmen pribadi terhadap tujuan organisasi (Appelbaum dan Hare, 1996) dan komitmen sebagai indikator yang berkorelasi positif dengan kinerja (Meyer dan Allen, 1997), sehingga dengan pendekatan SLT dapat berperan membantu organisasi mengoptimalkan sumber daya manusianya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi dan efektifitas. Pada lingkungan organisasi, aspek etikal merupakan faktor penekan kepada individu untuk membentuk komitmen terhadap organisasi, karena aspek etika merupakan faktor pembelajaran yang mendorong individu untuk membentuk perilaku komitmen terhadap organisasi (Peterson, 2003). Semua uraian di atas menunjukkan bahwa organisasi harus dapat memelihara dan mengelola keyakinan individu untuk membentuk komitmen terhadap organisasi, sehingga individu menjadi sumber daya organisasi untuk melaksanakan strategi bersaing dan mengembangkan BP. Dalam hal ini, jika individu memiliki keyakinan tentang moral dan tujuan organisasi, maka individu akan terdorong untuk berperan pada pemeliharaan nilai-nilai BP dan tujuan persaingan. Pada teori perilaku terencana (TPB: theory of planned behavior) dari Ajzen menyatakan bahwa individu melakukan keputusan rasional dan sistematis
59
berdasarkan informasi yang diterima, kemudian individu melakukan identifikasi dasar-dasar keyakinannya dan membandingkan dengan informasi yang didapatkan untuk melakukan perilaku tertentu (Peach et al., 2005). Menurut Peach et al. sikap individu merupakan fungsi dari keyakinankeyakinan mengenai perilaku nyata (salient behavioral beliefs), atau keyakinan tentang hasil yang akan didapatkan (misalnya biaya dan manfaat) yang berperan membentuk keyakinan untuk bertindak (behavioral beliefs). Identifikasi mengenai keyakinan diperlukan untuk mengetahui sikap karyawan terhadap perubahan serta gagasannya pada norma-norma yang berlaku dan bentuk perilaku yang ada disekitarnya. Pendekatan TPB dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penting yang menjadi dasar keyakinan konstituen dan kesediaan melakukan perubahan (readiness for change) sikap dan perilaku. Pendekatan TPB misalnya dengan cara memberikan bagian kepemilikan saham (employee stock ownership) serta mendorong partisipasi karyawan dan menciptakan lingkungan organisasi yang mendorong kinerja, ternyata secara positif meningkatkan perilaku memiliki (ownership behavior) dan sikap karyawan terhadap tujuan organisasi, sedangkan perilaku memiliki secara positif berperan meningkatkan kinerja finansial organisasi (Wagner et al., 2003). Kedua teori keyakinan dari SLT dan TPB menunjukkan bahwa keyakinan individu merupakan pembentuk perilaku, sehingga kedua teori ini digunakan menjadi acuan dasar konsep keyakinan pada studi ini. Aplikasi dalam studi ini adalah mengkaji sejauhmana keyakinan individu tentang pentingnya peubahpeubah BP, tujuan organisasi, dan lingkungan organisasi yang diukur. Kognitif (cognitive) Tinjauan kognitif dalam psikologi sosial menyatakan bahwa proses kognitif individu dipengaruhi oleh keyakinan yang dimiliki individu seperti yang dinyatakan pada teori disonansi kognitif (CD: cognitive dissonance) dari Leon Festinger di dalam Festinger dan Carlsmith (1959) dan Griffin (1997) bahwa disonansi kognitif terjadi karena individu mengalami perubahan keyakinan tentang apa yang dirasakannya.
60
Griffin tidak setuju dengan teori CD sebab perubahan perilaku pada pengujian hipotesis Festinger tidak menjelaskan keyakinan, tetapi perubahan perilaku tersebut terjadi karena individu mengalami perubahan opini. Pandangan tersebut mendasari konsep studi ini bahwa unsur keyakinan tidak dimasukkan dalam kognitif, tetapi kognitif dipandang sebagai pengetahuan rasional yang telah mengalami analisis untuk menyimpulkan informasi dari lingkungan sehingga individu melakukan sikap dan perilaku yang sesuai dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Kognitif merupakan bounded rationality (Nonaka dan Takeuchi, 1995), berhubungan dengan pengetahuan, pengertian (sense making), dan pemahaman dari pengalaman (construct meaning) (Choo, 1998), bersifat konstruktif dan logik membentuk pengetahuan (tasit dan eksplisit) sebagai hasil pembelajaran dari lingkungan organisasi (Krogh et al., 2000), serta berhubungan dengan merencanakan (arrangements), kemauan (willingness), dan kemampuan (ability) (Mitchell et al., 2000). Pada taksonomi kognitif dari Benjamin S. Bloom pada tahun 1949 menyatakan kognitif sebagai keterampilan mental (mental skill) terdiri dari pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Clark, 2005). Berdasarkan taksonomi kognitif dari Bloom tersebut, kemudian Krathwohl et al. (2000) mengembangkan taksonomi kognitif yang terdiri dari 6 proses dimensi kognitif yaitu mengingat (remember), mengerti (understand), menggunakan (apply), menganalisa (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create). Hasil proses kognitif dari Krathwohl el al. tersebut selanjutnya Pintrich et al. (2000) menyatakan terbentuk 4 tipe pengetahuan (knowledge) yaitu: (a) pengetahuan faktual (factual knowledge) merupakan elemen dasar untuk mengetahui sesuatu atau untuk pemecahan masalah secara sistematis; (b) pengetahuan konseptual (conceptual knowledge) meyangkut pengetahuan mengenai kategori dan klasifikasi dari berbagai bentuk hubungan yang kompleks dan mengelolanya menjadi suatu kerangka pengetahuan baru, menyangkut skema-skema, modelmodel mental, atau secara implisit atau eksplisit menyangkut model-model kognitif psikologikal; (c) pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yaitu
61
pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu, menyangkut tentang keterampilan, algoritma, cara, dan metode, yang secara kolektif disebut sebagai prosedur; dan (d) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) menyangkut kesadaran dan pengetahuan tentang sesuatu yang ada didalam diri sendiri dan yang harus dilakukan. Uraian Krathwohl et al. dan Pintrich et al. di atas menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses kognitif individu yang didapatkan dari lingkungannya. Pada konteks BP, keadaan lingkungan kerja atau organisasi merupakan informasi yang membentuk proses kognitif individu, yang selanjutnya membentuk pengetahuan tentang nilai-nilai BP sebagai bentuk perilaku yang sesuai dan dirasakan penting oleh individu untuk berinteraksi di dalam organisasi. Semua pengertian-pengertian di atas menunjukkan bahwa lingkungan merupakan obyek pembelajaran, sedangkan obyek pembelajaran dari lingkungan yang paling berpengaruh membentuk kognitif adalah perilaku pihak lain yang terlihat (others observed behavior) oleh aktor, selanjutnya aktor mengembangkan konstruksi logik terhadap pengertian dan pemahamannya sebagai batasan rasionalnya untuk membentuk pengetahuan tasit dan eksplisit. Teori kognitif tersebut menunjukkan bahwa kognitif merupakan hasil proses pengolahan pikiran (mind) melalui proses pembelajaran yang menghasilkan sikap dan perilaku. Leslie pada 1988 memperbaiki dan mengembangkan teorinya tentang teori pikiran (theory of mind) yang terdiri dari 2 aspek yaitu teori mekanisme tubuh (ToBy: theory of body mechanism) serta teori mekanisme pikiran (ToMM: theory of mind mechanism) sistem 1 dan sistem 2 (Leslie, 1994 dan 2000). Menurut Leslie sangat sulit membuktikan hubungan keyakinan dengan kognitif, sehingga menurutnya keyakinan adalah keyakinan itu sendiri yang berhubungan dengan hasrat (desires), harapan (hopes), dan berpura-pura (pretends) (Leslie, 2000: 207 – 208). Teori pikiran dari Leslie (1994) menyatakan bahwa reaksi mekanis individu dipengaruhi oleh pikiran yang dibawa sejak lahir (infant mind) (ToBy: mechanical), kemudian individu memilih lingkungan yang sesuai (“intentional” properties) dan melakukan tindakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (ToMM system 1: actional), selanjutnya individu menyatakan sikapnya (mental states) se-
62
bagai bentuk kognitif untuk melakukan perilaku tertentu (ToMM system 2: cognitive). Hasil proses ToMM sistem 2 selanjutnya meningkatkan kompetensi dan kinerja individu, sehingga memilih prosessor yang tepat merupakan cara penyelesaian persoalan kognitif (Roth dan Leslie, 1998: 3). Teori pikiran dari Leslie di atas menunjukkan bahwa kognitif merupakan hasil proses pembelajaran terhadap lingkungan sehingga individu dapat menjelaskan tentang lingkungan yang dihadapinya (disebutnya sebagai “aboutness”). Perilaku yang terbentuk merupakan kognitif individu sebagai proses evaluatif yang menyatakan konstruk pikiran rasional individu. Sjovall dan Talk (2004) menjelaskan bahwa pada lingkup perilaku organisasi, kognitif individu terbentuk berdasarkan reputasi perilaku organisasi. Individu menganalisis reputasi perilaku organisasi misalnya penghargaan pada prestasi, perilaku, dan tangung jawab individu berdasarkan atribut kognitif yang dimilikinya. Jika reputasi tersebut sesuai dengan atribut kognitif individu, maka individu akan memberikan kontribusinya pada tujuan organisasi. Hillman dan Keim (2001) menyebut reputasi perilaku organisasi merupakan konseptualisasi kinerja sosial dari proses ekonomik yang memberikan keuntungan pada perusahaan tertentu. Fombrun et al. (2000) mengatakan bahwa memelihara reputasi organisasi merupakan inisiatif sosial organisasi yang diberikan kepada kelompokkelompok konstituen misalnya karyawan, pelanggan, petugas pemerintah. Hal ini merupakan modal reputasional (reputational capital) yang mendukung efektifitas tujuan organisasi. Semua pendapat ini menunjukkan bahwa reputasi perilaku organisasi merupakan pendorong pembentukan kognitif individu sehingga individu akan mengembangkan perilaku yang sesuai dengan tujuan organisasi. Studi perubahan perilaku dengan menggunakan taksonomi kognitif dari Bloom menunjukkan bahwa kognitif bermanfaat mempengaruhi kemampuan individu untuk melibatkan diri dalam proses manajemen kualitas total (total quality management) (Niehoff dan Whitney-Bammerlin, 1995), dan kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas pada pekerjaannya (Ven dan Chuang, 2005). Berdasarkan semua uraian di atas, penelitian ini membatasi kognitif sebagai pengetahuan individu yang didapatkan dari proses pembelajaran sosial di dalam
63
organisasi, sehingga digunakan pendekatan Sjovall dan Talk (2004) sebagai dasar konseptualisasi studi ini. Aplikasi Budaya Perusahaan pada Agroindustri Organisasi agroindustri sebagai suatu entitas bisnis memiliki manusia yang melakukan teknologi, sistem dan proses, serta interaksi sosial, tetapi manusia sebagai individu memiliki ekspektasi yang mempengaruhi nilai-nilai BP dan strategi bersaing. Agroindustri Secara Umum Laporan studi Hapgood (1995) pada 200 petani di Illinois – USA, menyatakan bahwa melibatkan petani pada aktifitas monitoring hasil dan mengendalikan variabel pengukuran pada manajemen kebun, ternyata memberikan hasil optimal yaitu motivasi dan produktifitas petani meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan agroindustri harus menerapkan strategi organisasi dengan prinsip-prinsip manajemen keterbukaan (open management). DuPont melakukan investasi US$1.7 milyar pada perusahaan joint venture Pioneer Hi-Bred dan DuPont, karena DuPont melihat adanya potensi peluang dari kebijakan Pioneer Hi-Bred yaitu melibatkan petani bekerjasama meningkatkan produktifitas tanaman untuk produk makanan ternak (Gardner, 1997; Ricciuto, 1997). Praktek tersebut memperlihatkan bahwa budaya kerjasama antara petani dan agroindustri sebagai model pola pertanian dan agroindustri untuk abad milenium baru (Wall, 1997). Studi Aleman (2000) menyatakan bahwa reformasi pasar dan pengembangan ekonomi di Chili dilakukan melalui pendekatan model pembelajaran yaitu perusahaan agroindustri melakukan reformasi praktek manajemen yang melibatkan petani pada proses pengambilan keputusan, kemudian petani menyesuaikan perilaku kerjanya dengan standar perilaku yang diinginkan agroindustri. Hasilnya adalah terjadi perbaikan ekonomi petani sekaligus meningkatkan kinerja perusahaan. Di Amerika Latin terutama di Chili dilakukan sosialisasi BP yang menempatkan petani sebagai salah satu konstituen penting pada agroindustri, dan reka-
64
yasa BP dilakukan melalui pengembangan inovasi, eksperimentasi, desentralisasi, dan melibatkan SDM dalam pengambilan keputusan, serta diimbangi dengan kebijakan sistem keuangan, pasar global, transfer teknologi, serta pelatihan dan pengembangan (Berdegué, 2002). Melibatkan petani dan melakukan manajemen keterbukaan pada perusahaan agroindustri di Amerika Latin ternyata meningkatkan partisipasi petani dan produktifitas hasil kebun petani karena mendapatkan jaminan permintaan dan harga jual hasil produknya yang layak, sedangkan perusahaan bertanggung jawab untuk menciptakan pasar (Key dan Runsten, 1999). Prinsip-prinsip kepercayaan dengan pendekatan manajemen keterbukaan pada agroindustri dijadikan sebagai faktor utama untuk mencapai kesuksesan bisnis (Hsu, 1997; Siebert et al., 1997), karena melalui prinsip-prinsip ini mendorong pelaku manajemen agroindustri untuk berani menghadapi resiko moderat (moderate risk taker) dan mengembangkan pengetahuan untuk mengantisipasi faktor-faktor tidak terduga di dalam organisasi (Brown, 1986; Wells, 1996; Alexander, 1999). Prinsip kepercayaan dan keterbukaan yang dilaksanakan pada proses komunikasi dan kerjasama saling berbagi informasi ternyata berperan positif pada penerapan alih teknologi di agroindustri (Melcher dan Burns, 1996; Elorz dan Inchusta, 1999; Finegan, 2000). Prinsip-prinsip kepercayaan dan manajemen pengetahuan (knowledge management) jika dijadikan sebagai faktor pembentuk BP ternyata membentuk respons positif konstituen untuk meningkatkan kinerja (Loermans 2002), misalnya praktek asuransi pertanian pada petani di Nebraska – USA (Jose dan Valluru, 1997). Penerapan nilai kepercayaan dalam manajemen agroindustri di Western Australia ternyata berpengaruh menurunkan peluang konflik sehingga meningkatkan kerjasama dan kepuasan kerja (McNeil dan Wilson, 1997), dan perusahaan agroindustri dan agribisnis perlu melakukan promosi visi misinya untuk meningkatkan minat dan kepercayaan petani sehingga petani termotivasi untuk meningkatkan produktifitasnya dan memasok bahan baku berkualitas ke agroindustri (Upbin, 1997; Werblow, 1997).
65
Moss et al. (1997) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan agroindustri harus dapat mengembangkan tata nilai BP dengan cara mengarahkan SDM memiliki komitmen dan persepsi kompetitif untuk melayani konsumen sehingga terbentuk loyalitas konsumen. Cara tersebut ternyata meningkatan daya saing agroindustri karena memiliki budaya komitmen (commitment culture) yang membentuk tindakan kolektif untuk mendukung nilai-nilai dan tujuan perusahaan (Wells, 1996). Peranan manager agroindustri yaitu mengembangkan pendekatan kerjasama SDM dan mengintegrasikan kebijakan strategi dengan kinerja ternyata membentuk sikap afeksi yang bersifat prestatif, karena SDM percaya pada visi dan misi perusahaan (Katz, 1997). Peran manager agroindustri dilakukan dengan cara mempromosikan nilai-nilai dan ekspektasi perusahaan secara horisontal dan vertikal (Sowell, 1997), kemudian manajemen organisasi melakukan manajemen perubahan dengan cara mengembangkan strategi yang sesuai dengan perubahan lingkungan dan tata nilai perusahaan (Lanyon dan Abdalla, 1997). Praktek ekonomi pertanian di USA menunjukkan bahwa praktek penolakan (thrust) yang dilakukan pemerintah terhadap kebutuhan perubahan di sektor agroindustri, ternyata menunjukkan berdampak negatif terhadap perilaku partisipasi konstituen agroindustri karena praktek tersebut membatasi nilai-nilai kebebasan (freedom) dan membentuk ketidak-pastian (uncertainty) yang sulit diprediksi oleh pelaku agroindustri (Andelman, 1997). Menurut Stride dan Nydam (1999) budaya berorientasi kinerja (performance culture) masih belum berkembang pada perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) termasuk agroindustri di negara-negara Asia, sebab BUMN masih tergantung pada perlindungan regulasi, situasi politik, dukungan bank pada return on assets, bersifat monopolistik dan cash cow, serta memiliki beban sosial yang tinggi sehingga kemampu-labaan dan daya saing menurun. BUMN agroindustri dapat mencapai kinerja positif, bilamana manajemen dapat berperan sebagai commercial governance dan profesional yaitu dapat menjelaskan sasaran kinerja dan keuangannya kepada publik,
66
melakukan praktek transparansi ekonomi, bertanggung jawab, serta menjelaskan ukuran kinerja yang dapat diterima oleh seluruh konstituen. Pada awalnya di China budaya kolektif di sektor pertanian menjadi ciri khas pola pembangunan sosialis-komunis, tetapi saat ini prinsip capital intensive dengan teknologi tinggi di terapkan di sektor pertanian. Sejak tahun 1978 pemerintah China melakukan perubahan struktur kelembagaan dan meningkatkan komitmen pada reformasi harga produk pertanian. Permasalahan managerial di bidang produksi diatasi dengan pendekatan tim (production team), dan nilai-nilai kolektif dipertahankan menjadi suatu kekuatan yang berdaya produktif. Pada tahun 1983 pendekatan production team dilaksanakan 98% dan berdampak pada peningkatan nilai harga produk. Selanjutnya pada tahun 1989 dilakukan strategi integrasi dari nilai-nilai kolektif dengan nilai-nilai efisiensi, kemandirian, kebebasan petani dan perusahaan untuk menentukan sendiri pola menangkap peluang ekonomi (Sung, 1994; Lin, 1994). Pada saat ini semua pemerintah-pemerintah propinsi di China meningkatkan komitmen untuk melaksanakan modernisasi di sektor pertanian melalui pengembangan nilai-nilai berbasis kolektifistik sebagai performance drivers untuk menarik investor asing (Gordon, 1997), dan pada saat ini di China terdapat lebih kurang 3,000 perusahaan agribisnis/agroindustri yang berorientasi pasar, enterprenir, dan ekspor, serta sebagian besar dari perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk mengadopsi teknologi tinggi dengan baik (Helsell, 1997). Di India intervensi pemerintah dilakukan dengan cara memfasilitasi infrastruktur yaitu pengairan, membuka akses pasar, informasi teknologi, dan penelitian. Sejak kemerdekaan India pada tahun 1947 sektor pertanian mendapatkan perhatian utama, dan pada saat ini pengunaan teknologi tinggi diterapkan pada sektor agroindustri. Prinsip koperasi dengan nilai-nilai kerjasama dan kemandirian ekonomik diterapkan sebagai faktor kekuatan di sektor pertanian, sehingga sejak tahun 1949 sampai 1990 produksi pertanian India meningkat drastis. Reformasi kelembagaan dilakukan melalui pen-
67
dekatan koordinasi dan partisipasi sehingga meningkatkan nilai jual produk pertanian dan agroindustrinya (Srinivasan, 1994). Menurut Medich (1995) menerapkan BP merupakan bagian utama dari strategi manajemen SDM pada agribisnis/agroindustri modern untuk menurunkan labor-turnover dan meningkatkan efisiensi operasional. Strategi untuk meningkatkan akuntabilitas dan kreatifitas SDM dilakukan dengan membentuk kemitraan kerja yang mendorong SDM melakukan pembelajaran terhadap informasi dan sumber daya, tetapi konsekuensi dari penerapan kemitraan tersebut adalah perusahaan harus dapat melakukan praktek manajemen keterlibatan (involvement management) yaitu seluruh tingkat manajerial diarahkan untuk selalu melibatkan diri pada setiap persoalan perusahaan (Anderson, 1995; Fischer, 2001). Pada tingkat korporasi agroindustri, strategi kemitraan dilakukan dengan membentuk aliansi berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance yaitu berorientasi komunikasi dan kepercayaan (Segil, 1997). Agroindustri Kelapa Sawit Perusahaan Golden Hope di Malaysia melakukan praktek manajemen dengan pendekatan integratif dan adaptif pada kedua bisnis intinya yaitu kelapa sawit dan karet [Golden Hope, 2000 dan 2002]. Perusahaan ini menerapkan tata nilai sosial, prestatif, keterbukaan dan kerjasama sebagai kekuatannya yang diadaptasikan dengan kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab sosial, sedangkan integrasi dilakukan dengan mengoptimalkan pengetahuan dan keahlian SDM berdasarkan prinsip keterbukaan dan keterlibatan pada sistem pengambilan keputusan [Golden Hope, 2000]. PT. Perkebunan Nusantara I (Persero) di Aceh Timur membentuk BP good corporate governance dengan mengembangkan dan mengsosialisasikan nilai-nilai transparansi, indepedensi, dan akuntabilitas untuk mencapai sasaran strateginya yaitu: (a) menghasilkan devisa maupun rupiah negara, (b) memenuhi fungsi sosial yaitu pemeliharaan dan penambahan lapangan kerja untuk warga negara Indonesia, dan (c) memelihara kekayaan alam
68
berupa pemeliharaan dan peningkatan kesuburan tanah dan tanaman [PTPN I, 2002]. Guthrie MDF Sdn Bhd di Malaysia menetapkan nilai transparansi sebagai nilai utama BP good corporate governance. Perilaku organisasional yang dikembangkan adalah komitmen melindungi lingkungan, kualitas produk, kepuasan konsumen, tanggung jawab kepada pengembangan SDM, dan mengembangkan komunitas [Guthrie, 2002]. Sedangkan Golden Hope Plantation Bhd menyatakan komitmen penuh pada nilai-nilai BP qualitydriven world class yaitu terbaik dikelasnya, kecepatan, kepuasan konsumen, pengembangan SDM, kejujuran, integritas, serta tanggung jawab pada masyarakat, lingkungan, keamanan dan kesehatan lingkungan kerja [Golden Hope, 2002]. Perusahan-perusahaan agribisnis / AKS akan kompetitif jika dapat mengembangkan nilai-nilai yang berorientasi prestasi, sebab nilai-nilai motif berprestasi (achievement motive values) dapat meningkatkan kemampuan bersaing suatu perusahaan (O’Reilly et al., 1991), dan melakukan inovasi yang sesuai dengan tujuan perusahaan (Leonard dan Sensiper, 1998). Peran Petani pada AKS Menurut Rijn (1986) Indonesia sejak tahun 1974 mengembangkan pola inti dan plasma pada perkebunan kelapa sawit, seharusnya melaksanakan tanggung jawab sosial yang memberikan pemerataan distribusi pendapatan, transformasi pertanian tradisional, perubahan kelembagaan, dan mendorong kemandirian di tingkat petani. Petani sebagai subsistem berperan sebagai pemasok bahan baku kepada AKS, sedangkan manajemen organisasi AKS berperan membentuk tata nilai BP yang dapat mendorong perilaku partisipatif petani karena petani percaya bahwa AKS dapat memberikan manfaat sosialekonomi sehingga petani terdorong untuk meningkatkan kinerjanya dan meningkatkan komitmen untuk tetap memasok bahan baku kepada AKS. Menurut Fry (1998) pendekatan-pendekatan manajerial dan pengembangan kelompok-kelompok inovatif penting dilakukan untuk meningkatkan daya saing AKS, dan pendekatan manusia dan sistem dilakukan untuk 69
membentuk BP yang mendorong kerjasama kelompok yang inovatif pada AKS. Paimin (1998) menyebutkan bahwa pendekatan manusia dan sistem sebagai systematic improvement yaitu proses manajemen di AKS dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berorientasi manusia, invensi, adopsi manajemen modern, dan tanggung jawab sosial. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi AKS untuk melibatkan peran petani adalah: a. Petani sulit menyerap alih teknologi karena tingkat pendidikan yang rendah, serta memiliki budaya kerja yang berciri disiplin rendah terutama pada saat panen (Wahyono dan Daswir, 1993). b. Rendah kemampuan kelompok tani PIR-BUN untuk mencari, menyampaikan, memanfaatkan dan menganalisis informasi produksi dan pemasaran hasil (Wahyono, 1996). Kedua masalah di atas merupakan faktor yang menghambat peran petani pada AKS. Hal tersebut menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan BP sebagai tanggung jawab sosial dari AKS untuk melakukan pemberdayaan yang mendorong transformasi sikap dan peningkatan kemampuan manajerial petani. Melalui proses transformasi BP pada petani tersebut, diharapkan petani dapat meningkatkan kontribusinya pada pasokan TBS sehingga kinerja AKS dan pendapatan (income generating) petani meningkat. Usaha-usaha lain yang perlu dilakukan manajemen AKS adalah meningkatkan kompetensi para manager dan pelaksana, untuk para manager dibutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan serta melakukan proses pembelajaran dan manajemen pengetahuan kepada bawahan, sedangkan usaha-usaha untuk meningkatkan kompetensi pelaksana dilakukan menyangkut keterampilan, pengetahuan dan sikap kerja yang positif sesuai sasaran bisnis AKS. Melalui usaha-usaha tersebut, dapat diharapkan terjadi perubahan perilaku manager dan pelaksana secara positif untuk mengembangkan inovasi, kreatifitas, serta kualitas proses kerja dan produk sehingga AKS dapat meningkatkan daya saingnya. Selain itu, kompetensi manager dan pelaksana perlu ditingkatkan untuk menggunakan teknologi serta melaksanakan sistem dan prosedur manajemen organisasi AKS secara efektif.
70