21
TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya Simonds (1983) mendefinisikan lanskap sebagai suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakter lanskapnya. Karakteristik tersebut dapat digolongkan sebagai keindahan bila memiliki kesatuan harmoni dalam hubungan antar komponen lanskapnya. Menurut Eckbo (1964) lanskap adalah ruang disekeliling manusia yang mencakup segala sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan serta merupakan pengalaman terus menerus disepanjang waktu dan seluruh ruang kehidupan manusia. Elemen lanskap dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu elemen lanskap makro, mikro dan buatan manusia (man made). Elemen lanskap makro meliputi iklim dan kualitas tapak. Elemen mikro meliputi topografi, jenis dan karakter tanah, vegetasi, satwa dan hidrologi. Sementara, elemen lanskap binaan (man made) meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, pola permukiman dan struktur bangunan (Gold, 1980). Nurisyah dan Pramukanto (2001) menyatakan lanskap budaya (cultural landscape) merupakan model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi manusia dan lingkungan yang ada disekitarnya. Lanskap budaya merefleksikan adaptasi manusia serta perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannnya. Bentuk dari refleksi adaptasi tersebut terlihat dalam pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lainnya. Menurut Tisler dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap budaya adalah suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan nilai serta tingkat estetika. Kebudayaan adalah agen atau perantara dalam proses pembentukan suatu lanskap dan kawasan
22
alami/asli merupakan medium atau wadah pembentuknya. Lanskap budaya merupakan hasil atau produk yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaannya baik secara fisik maupun psikis.
Pelestarian Lanskap Budaya Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), pelestarian lanskap budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan sisa-sisa budaya dan sejarah yang terdahulu yang bernilai, dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda atau kawasan yang bernilai budaya dan sejarah pada hakekatnya bukan untuk melestarikannya tapi untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut. Kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah secara lebih spesifik adalah untuk: 1. Mempertahankan warisan budaya atau sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan. 2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan. 3. Kebutuhan psikis manusia untuk melihat dan merasakan eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau - masa kini - dan masa depan yang tercermin dalam objek atau karya lanskap yang selanjutnya dikaitkan dengan harga diri, percaya diri dan sebagai identitas dari suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. 4. Motivasi Ekonomi. Peninggalan budaya dan sejarah dapat mendukung perekonomian kota/ daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural and historical type of tourism). 5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu.
Metode Pelestarian Lanskap Budaya Tindakan pelestarian lanskap sejarah dan budaya dapat dilakukan dengan beragam bentuk dan kombinasi pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut
23
dilakukan terhadap nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki suatu tatanan lanskap serta terhadap bentang alam tersebut secara fisik. Pendekatan umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan dalam proses dinamika lanskap, meliputi aspek kesejarahan, aspek arkeologis, aspek etnografis, serta nilai-nilai desain yang dimilikinya. Ditegaskan oleh Haris dan Dines (1988) bahwa tindakan pelestarian lanskap sejarah tidak hanya untuk memenuhi persyaratan keindahan, tetapi juga persyaratan kultural dan teknologikal yang terdapat atau tersedia dikawasan yang dilestarikan. Kegiatan pelestarian menitik beratkan pada berbagai upaya guna menciptakan pemanfaatan yang lebih kreatif, menghasilkan berbagai produk warisan yang baru, melaksanakan berbagai program partisipasi, melaksanakan analisis ekonomi serta berbagai kegiatan ekonomi dan budaya di kawasan pelestarian tersebut. Dalam kondisi ini, masyarakat yang menghuni kawasan bersejarah merupakan komponen utama untuk dipertimbangkan dalam setiap kegiatan perencanaan dan pengelolaan (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Menurut Nurisyah dan Pramukanto, (2001) dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap terdapat beberapa metode/tindakan teknis yang umum dilakukan, diantaranya yaitu: 1. Adaptive use (Penggunaan Adaptif) Mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasi berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini. Untuk kegiatan model ini perlu pengkajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah, penggunaan. Pengelolaan dan faktor lain yang berperan dalam pembentukan lanskap tersebut. Pendekatan ini memperkuat arti sejarah dan mempertahankan warisan sejarah yang masih ada pada lanskap itu dan mengintegrasikannya dengan kepentingan, penggunaan, dan kondisi sekarang yang relevan. 2. Rekonstruksi Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli, dilakukan pada kondisi:
Tapak yang tidak dapat bertahan lama pada kondisi yang asli atau mulai hancur karena faktor alam.
24
Untuk menampilkan suatu babak sejarah tertentu.
Lanskap yang hancur sama sekali, tidak terlihat kondisi aslinya.
Karena alasan-alasan kesejarahan yang harus ditampilkan seperti arti, simbolis dan wisata.
3. Rehabilitasi Tindakan yang memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini, maka keutuhan lanskap dan struktur/ susunannya secara fisik dan visual serta nilai-nilai yang terkandung harus dipertahankan. Tindakan/metode jenis ini digunakan dengan pertimbangan terhadap faktor kenyamanan lingkungan, sumberdaya alam, dan segi administratif.
4. Restorasi Suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif yaitu pengembalikan penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi karya lanskap tetap ada. Hal ini dilakukan melalui penggantian atau pengadaan elemen-elemen yang hilang atau yang tidak ada, atau menghilangkan elemen-elemen tambahan yang menggangu. Hal ini dapat dilakukan secara keseluruhan (murni) atau hanya pada bagian-bagian tertentu.
5. Stabilisasi Suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya atau objek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (gangguan iklim, deterioration, dan suksesi alami) terhadap tapak.
6. Konservasi Tindakan yang pasif dalam upaya pelestarian untuk melindungi suatu lanskap sejarah dari kehilangan atau pelanggaran atau pengaruh yang tidak tepat. Tindakan bertujuan hanya untuk melestarikan apa yang ada saat ini,
25
mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan dimasa depan. Dasar tindakan yang dilakukan umumnya adalah hanya untuk tindakan pemeliharaan.
7. Interpretasi Merupakan usaha pelestarian yang mendasar untuk mempertahankan lanskap asli/alami secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga dapat menampung kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa ini dan yang akan datang. Interpretasi mancakup pengkajian terhadap tujuan desain dan juga lanskap sebelumnya. Desain yang baru haruslah mampu untuk memperkuat intergritas nilai historis lanskap ini dan pada saat yang bersamaan juga mengintegrasikannya dengan program-program kegiatan tapak yang baru diintroduksikan.
8. Period setting, Replikasi, Imitasi Penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang non-original site. Usaha ini membutuhkan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dan lain-lain yang sama serta berbagai pengkajian akan sejarah tapaknya sehingga pembangunan lanskap tersebut akan sesuai dengan suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya.
9. Release Merupakan strategi pengelolaan yang memperbolehkan adaya suksesi alam yang asli sejauh tidak merusak keutuhan atau merusak nilai historikalnya. Tetapi metode ini memiliki kekurangan yaitu dapat memberikan andil terhadap kemungkinan hilang atau terhapusnya arti dan nilai sejarah dari lanskap dalam sistem budaya.
10. Replacement (Penggantian) Subtitusi atas suatu komuniti biotik dengan lainnya. Contohnya adalah penggunaan jenis penutup tanah untuk menampilkan bentukan lahan.
26
Dalam melakukan kegiatan pelestarian lanskap budaya dibutuhkan data dan alat yang tepat untuk merencanakannya. Menurut Harris dan Dines (1988) data dan alat tersebut dikelompokkan seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Data Pelestarian Tipe data
Informasi
Areal Studi yang terlihat
Untuk prediksi apa yang dapat dilihat dari titik pandang tertentu dalam tapak
Peta Tata Guna Lahan
Untuk pengembangan tata guna lahan tapak pada masa lalu dan saat ini
Vegetasi
Architectural features (non bangunan utama) Sumber : Harris dan Dines, 1988
Pertimbangan kondisi untuk digunakan Ruang terbuka potensial Keragaman topografi Fasilitas yang mengakomodasi kegiatan wisata
Areal yang terjadi perubahan tata guna lahan
Tapak dengan vegetasi penciri yang penting Pola vegetasi kaitannya dengan penggunaan lahan Tapak dengan bentukan arsitektur merupakan penciri yang penting
Aplikasi Untuk memproteksi lingkungan visual pada historical fabric Identifikasi area yang dapat dikembangkan tanpa mengganggu visual Identifikasi zona penyangga dan areal viewing Identifikasi pembatas zonasi Pemahaman lingkungan sejarah Identifikasi TGL saat ini serta kesesuaiannya dengan lingkungan sejarah Identifikasi kesesuaian lahan dengan zonasi Identifikasi kecenderungan penggunaan lahan disekitar tapak Identifikasi vegetasi secara ekologis dan historis memiliki nilai penting Identifikasi vegetasi yang perlu dilindungi/ diganti Untuk menunjukkan keterkaitan lanskap secara arsitektural
Wisata Budaya Menurut Nurisjah (2008), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan diluar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa
27
bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Pendit (2002) mengemukakan wisata budaya adalah wisata yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke suatu tempat, mempelajari keadaan masyarakat, kebiasaan dan adat istiadat, cara hidup, budaya serta seni yang ada dalam kehidupan masyarakat. Perjalanan tersebut disatukan dengan kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan budaya seperti eksplorasi seni atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebaginya. Merencanakan kawasan wisata adalah menata dan mengembangkan area dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisatasehingga kerusakan lingkungan dampak dari pembangunan kawasan dapat diminimumkan. Pada saat yang bersamaan kepuasaan wisatawan dapat terwujud. Gunn (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kawasan wisata adalah ketersediaan obyek dan atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Obyek dan atraksi wisata merupakan andalan utama untuk mengembangkan kawasan wisata.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan pada suatu keadaan awal dan merupakan cara terbaik untuk mencapai suatu keadaan tersebut (Gold, 1980). Proses perencanaan biasanya bersifat holistik dan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Suatu proses perencanaan yang baik merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentuk fisik dan fungsi lahan/tapak/bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisjah,2008) Perencanaan adalah kegiatan mengumpulkan dan menginterpretasikan data, memproyeksikannya ke masa depan, mengidentifikasi masalah, dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Knudson, 1980). Sementara itu, Simonds (1983) menyatakan bahwa proses perencanaan terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap commission
28
(pemberian tugas), research (inventarisasi), analysis, synthesis, construction (pelaksanaan), dan operation (pemeliharaan). Perencanaan lanskap kawasan wisata adalah suatu proses untuk memperoleh tapak yang cukup serta mengembangkan tapak tersebut sehingga dapat memberi pengalamam yang tidak terlupakan bagi pengguna tapak. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata, yaitu kebutuhan pengguna terhadap tapak dan konstruksi tapak yang diperuntukan bagi pengguna tapak (Blom dan Rohlfs, 1966). Menurut Gunn (1994) perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan peka terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan antara komunitas dengan dampak negatif lingkungan yang minimal. Hal ini dapat tercapai dengan perencanaan yang baik yang mengintegrasikan semua aspek dalam pengembangan wisata.
Candi Muara Takus Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Candi digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa. Namun demikian, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala dari masa Hindu-Buddha atau masa Klasik Indonesia yang berupa istana, pemandian/petirtaan, dan gapura juga disebut dengan istilah candi. Suatu candi di masa lampau biasanya berfungsi dan digunakan masyarakat dari latar belakang agamanya, yaitu Hindu-Saiwa, Budha Mahayana, Siwa Buddha dan Rsi. Candi merupakan bangunan suci yang dikembangkan sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha yang berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu
29
sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Candi muara takus berasal dari dua kata “ muara “ dan “ takus “ . “muara” yaitu suatu tempat dimana anak sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar. “Takus” berasal dari bahasa China yaitu ta, ku dan se. Ta berarti besar, ku berarti tua sedangkan se berarti candi. Gabungan arti keseluruhan dari kata Muara Takus adalah : candi tua ( the old temple ) besar atau megah yang terletak di muara sungai (Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar, 2010).