3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Evaluasi Lanskap Evaluasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menelaah atau menduga hal-hal yang sudah diputuskan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan suatu keputusan. Selanjutnya ditentukan langkah-langkah alternatif bagi kelemahan tersebut. Porteus (1983), menyatakan bahwa evaluasi lanskap merupakan salah satu metode statistika lanskap kuantitatif yang menyertakan tenaga ahli. Dasar pemikiran evaluasi adalah bahwa seseorang dapat melakukan penilaian estetika lanskap yang berharga, fungsional, dan dapat diterima oleh umum. Evaluasi melibatkan penjelasan sejumlah faktor yang mungkin mempengaruhi variasi kualitas lanskap, skala untuk mengukur faktor tersebut dan mengembangkan suatu sistem pembobotan untuk menentukan bermacam-macam penekanan pada faktor yang berbeda-beda. Rossi dan Howard (1993) menyatakan bahwa evaluasi merupakan suatu aplikasi penilaian yang sistematis terhadap konsep, desain, implementasi, dan manfaat aktivitas dan program dari suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk menilai dan meningkatkan cara-cara dan kemampuan berinteraksi instansi pemerintah yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Dalam berbagai hal, evaluasi dilakukan melalui monitoring terhadap sistem yang ada. Tanggung jawab pelaksanaan evaluasi bukan pada apakah informasi yang disediakan itu benar atau salah, atau sesuai tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, tetapi lebih diarahkan pada perbaikan implementasi kegiatan untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Arifin, Munandar, Arifin, Pramukanto dan Damayanti (2008) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menaksir kinerja dan keluaran yang dihasilkan oleh suatu program. Evaluasi dilakukan untuk menentukan keputusan apakah akan melanjutkan suatu program yang dinilai sukses atau apakah akan menghentikannya. Tujuan evaluasi adalah untuk mengkoreksi dan menampilkan informasi yang diperlukan dalam mendukung pengambilan kesimpulan dan keputusan tentang suatu program serta nilainya.
4
Lanskap yang berbeda akan menimbulkan efek visual yang berbeda pula. Evaluasi visual suatu lanskap didasarkan pada standar-standar estetika yang merupakan fungsi dari nilai-nilai sosial, moral, dan ekologi dari kelompok pembuat evaluasi tersebut. Evaluasi kualitas estetik dapat menggunakan tiga kriteria estetika yaitu kesatuan, variasi, dan kontras. Kesatuan adalah kualitas total elemen yang terlihat menyatu dan harmonis yang merupakan ekspresi dari tipe komposisi lanskap. Salah satu tipe komposisi lanskap adalah pemandangan yang dominan. Variasi adalah banyaknya jenis elemen dalam tapak dan hubungan antar elemen yang berbeda. Kontras adalah perbedaan antar elemen yang terlihat menonjol tetapi tetap harmonis. Kontras dapat berupa perbedaan warna, tekstur, atau bentuk elemen.
2.2. Integritas Lanskap Menurut Simond (1983) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia dengan karakter yang menyatu secara alami dan harmonis untuk memperkuat karakter lanskap tersebut. Dalam hal ini manusia memegang peranan penting dalam merasakan suatu lanskap. Lanskap sebagai wajah karakter lahan atau tapak dan bagian dari muka bumi ini dengan segala sesuatu dan apa saja yang ada didalamnya, baik bersifat alami maupun buatan manusia yang merupakan total dari bagian hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat menangkap dan membayangkan (Rachman, 1984). Integritas lanskap pada hakekatnya adalah kejujuran dan kepolosan karakter dan sifat lanskap, satu-kesatuan lanskap yang menampilkan karakter asli dari lanskap tersebut. Menurut Simonds (1983) integritas lanskap adalah keutuhan dan sifat (nature) lanskap. Dalam hal ini ada tiga elemen penyusun lanskap tersebut, yaitu form, forces dan features. Bentukan (forms) merupakan elemen mayor bentuk gunung, lembah, bukit, sungai, mata air, pantai; maupun elemen minor. Daya (forces): musim, udara dan iklim atau cuaca, angin, dinamika (fisik dan sosial) dan fitur (features) adalah nilai pemandangan (view, vista),
5
experience. Satu-kesatuan lanskap ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
2.3. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Arifin dan Arifin (2005) menyatakan bahwa pengelolaan merupakan upaya
manusia
untuk
lanskap/lingkungan
mendayagunakan,
agar
memperoleh
memelihara,
manfaat
yang
dan
melestarikan
maksimal
dengan
mengusahakan kontinuitas kelestariannya. Pengelolaan lanskap adalah upaya terpadu
dalam
penataan
dan
pemanfaatan,
pemeliharaan,
pelestarian,
pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup sehingga tercipta lanskap yang bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Menurut Sternloff dan Warren (1984), pemeliharaan lanskap dimaksudkan untuk menjaga dan merawat areal lanskap dengan segala fasilitas yang ada di dalamnya agar kondisinya tetap baik atau sedapat mungkin mempertahankan pada keadaan yang sesuai dengan rancangan atau desain semula. Perencanaan yang baik merupakan titik tolak bagi keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi, tetapi hanya merupakan alat bagi pengelolaan. Perencanaan merupakan suatu proses yang berjalan terus, meliputi perumusan, penyerahan dan persetujuan dari tujuan pengelolaan, bagaimana hal ini dapat dicapai dan standar pembanding untuk mengukur keberhasilan. Perencanaan yang baik mengarah pada keberhasilan yang baik, perencanaan yang buruk menghalangi keberhasilan. Bagaimanapun bagusnya penyajian suatu perencanaan, tidak akan berarti bila perencanaan tersebut tidak praktis atau tidak menghasilkan suatu tindakan yang efektif (MacKinnon et al. 1993). Setiap kawasan konservasi perlu memiliki suatu rencana pengelolaan sebagai prinsip dasar pengelolaan. Rencana pengelolaan membimbing dan mengendalikan pengelolaan sumberdaya kawasan konservasi, pemanfaatan kawasan serta pengembangan fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatannya. Pokok dari rencana adalah suatu pernyataan mengenai sasaran dan tujuan yang dapat diukur, yang memandu pengelolaan kawasan tersebut. Sasaran dan tujuan ini membentuk kerangka untuk menentukan
6
tindakan yang diambil, kapan tindakan tersebut dilakukan serta dana dan tenaga yang diperlukan untuk mencapainya. Suatu rencana pengelolaan merupakan alat yang berguna untuk mengidentifikasi
kebutuhan
pengelolaan,
menetapkan
prioritas
dan
mengorganisasikan pendekatan itu ke masa mendatang. Rencana pengelolaan juga dapat berfungsi sebagai alat komunikasi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat umum maupun pejabat pemerintah yang relevan. Rencana pengelolaan adalah dokumen yang mengemukakan pendekatan dan tujuan, bersama dengan kerangka kerja bagi pembuatan keputusan, untuk diaplikasikan dalam kawasan konservasi selama periode waktu yang diberikan (Thomas and Middleton, 2003). Rencana pengelolaan harus berupa dokumen ringkas yang mengidentifikasikan fitur kunci atau nilai dari kawasan konservasi, secara
jelas
menetapkan
tujuan
pengelolaan
yang
ingin
dicapai
dan
mengindikasikan tindakan yang akan dilaksanakan. Rencana juga harus cukup fleksibel untuk memenuhi kejadian yang tidak terduga yang mungkin timbul selama rencana berlaku. Bagaimanapun rencana pengelolaan merupakan dokumen utama darimana rencana lainnya berjalan, dan biasanya harus diutamakan apabila terjadi pertentangan. Baik rencana sederhana maupun kompleks, prinsip perencanaan yang logis harus dipakai untuk memandu proses perencanaan dan memastikan bahwa rencana pengelolaan yang sempurna adalah dokumen yang cermat dan berguna. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) merupakan rencana unit pengelolaan yang bersifat indikatif perspektif dan kualitatif-kuantitatif yang meliputi suatu unit pengelolaan kawasan taman nasional untuk jangka waktu 25 tahun. Oleh karena itu sifatnya yang komprehensif dan menyeluruh, RPTN merupakan rencana jangka panjang yang menjadi rencana dasar pengembangan taman nasional dan menjadi acuan bagi Rencana Karya Lima Tahun (RKL), Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam (RPPA), dan rencana-rencana operasional lainnya. RPTN memuat rencana dan arahan program baik yang akan dilaksanakan di dalam kawasan taman nasional maupun di luar kawasan taman nasional yang menjadi tanggung jawab dan wewenang pengelola taman nasional (Departemen Kehutanan, 1993).
7
2.4. Taman Nasional Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam (Widada, 2008). Taman nasional merupakan tanah yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman nasional merupakan kawasan yang dilindungi (protected area) oleh World Conservation Union Kategori II. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, zona taman nasional terdiri dari: 1. Zona inti, memiliki kriteria antara lain: -
mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
-
mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya
-
mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia
-
mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami
-
mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi
-
mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
2. Zona rimba/Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan, memiliki kriteria antara lain: -
kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi
-
memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan
-
merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
3. Zona pemanfaatan, memiliki kriteria antara lain:
8
-
mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik
-
mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam
-
kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
4. Zona lain, antara lain: zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus. Menurut Soewardi dalam Samsudin (2006), kawasan taman nasional dibagi atas dasar zona-zona sesuai dengan fungsi zona itu sendiri. Atas dasar itu taman nasional dapat diartikan sebagai kawasan areal yang cukup luas yang tersusun atas: (1) Daerah yang mutlak harus dilindungi (Strict nature reserves = preservation zone), dimana pengunjung dilarang sama sekali memasukinya. (2) Daerah “berimba” yang luas (wilderness areas = Conservation zone), dimana tidak diperkenankan adanya bangunan-bangunan atau kegiatan pengembangan dan hanya dapat dimasuki oleh pengunjung dengan jalan kaki (hiking) atau dengan alat-alat angkut yang sederhana misalnya berkuda, bersampan, dan berperahu dengan tenaga motor. (3) Daerah yang dapat dipergunakan secara intensif (intensive use area = Natural environment zone), misalnya untuk camping ground dan fasilitasfasilitas lainnya yang tidak cocok apabila dibangun dibuat di luar jalur kawasan taman nasional. Daerah ini diperuntukkan bagi para pengunjung yang untuk beberapa hari ingin dekat dengan keadaan alami. (4) Daerah yang terbuka untuk umum (Mass tourism areas = Outdoor recreation zone), dimana para pengunjung dapat mencapainya dengan mempergunakan kendaraan umum (bus dan lain-lain) dan juga dengan mobil pribadi. Pada beberapa lokasi yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk biasanya dibentuk zona penyangga yang berfungsi sebagai pelindung kawasan taman nasional dari berbagai gangguan yang disebabkan oleh manusia
9
dan juga sebagai pelindung kehidupan manusia dari berbagai macam gangguan oleh satwa yang berasal dari kawasan taman nasional. Batasan definisi taman nasional menurut Sumardja (1980) dalam Wiratno et al. (2004) adalah satu atau beberapa ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia, dimana tumbuhan, spesies hewan, dan habitatnya juga tempat-tempat yang secara gemorfologis secara khusus memiliki nilai ilmiah, pendidikan dan daya tarik rekreasi/yang memiliki lanskap alami yang demikian indah. Secara simultan taman nasional tetap dituntut selalu memberikan manfaat sosial-ekonomi yang kongkrit dan lestari, minimal manfaat itu dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar secara legal (Wiratno, 2004). Secara umum kriteria suatu kawasan ditetapkan menjadi taman nasional adalah kawasannya luas yang relatif tidak terganggu, mempunyai nilai lain yang menonjol dengan kepentingan yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut (MacKinnon, 1993). Menurut MacKinnon et al., (1993), seleksi kawasan yang perlu dilindungi bagi pelestarian fungsi hidrologi bergantung pada empat pertimbangan utama, yaitu: a. Kepekaan kawasan tangkapan terhadap erosi b. Kepekaan sungai terhadap banjir c. Ketersediaan air musiman d. Kepentingan sosial-ekonomi aliran sungai tertentu. Taman nasional berfungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaannya adalah terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional, potensi, keragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta optimalnya manfaat taman nasional untuk penelitian, pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budaya, budaya dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat (Direktorat Jenderal PHPA, 1996).
10
Menurut Siswanto (1998) zonasi Taman Nasional dibagi menjadi 7 zonasi antara lain: 1. Zona inti, adalah bagian dari kawasan yang mutlak dilindungi, tanpa aktivitas manusia. Pada zona inti terletak keaslian, keunikan, dan kelangkaan wilayah taman nasional. 2. Zona rimba, berada di antara zona inti dengan zona pemanfaatan dan/atau zona lainnya dan berfungsi sebagai zona peralihan. Dalam zona rimba, proses alami tetap menjadi prioritas namun aktivitas manusia diperkenankan secara terbatas. 3. Zona pemanfaatan (intensif/wisata), adalah kawasan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Kegiatan dan perubahan di zona ini relatif paling longgar walaupun kegiatan yang bersifat ekstraktif tetap dilarang. 4. Zona pemanfaatan tradisional, adalah kawasan kegiatan traditional penduduk setempat untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati untuk pemenuhan kebutuhannya sehari-hari dan bersifat non-komersial. 5. Zona pemanfaatan khusus, adalah kawasan yang karena kondisi lingkungan dan potensinya oleh masyarakat telah dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang bersifat khusus dengan pengaturan yang bersifat khusus pula. 6. Zona situs budaya, adalah kawasan lokasi kegiatan manusia di masa lalu dan meninggalkan karya budaya yang mempunyai nilai sejarah. Lokasi dimaksud termasuk yang masih sering dikunjungi oleh masyarakat. 7. Zona rehabilitasi adalah kawasan yang mengalami kerusakan dan perlu direhabilitasi dengan jenis tanaman setempat. Zona rehabilitasi yang telah dipulihkan dapat diubah menjadi zona rimba atau zona lainnya sesuai dengan perkembangan kondisinya. Kriteria penetapan zonasi taman nasional menurut Siswanto (1998) terbagi menjadi 13 kriteria. Kriteria tersebut antara lain, keperwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumber daya/kawasan, luasan, keindahan alam, kenyamanan, kemudahan pencapaian, nilai sejarah, dan ancaman manusia (Tabel 1).
11
Tabel 1. Kriteria penetapan zonasi (Siswanto, 1998) No
Zona *
Kriteria 1
2
3
4
5
6
7
1
Keperwakilan (representation)
√ √
2
√ √ √
3
Keaslian (originality) dan kealamian (naturalness) Keunikan (uniqueness)
√ √ √
4
Kelangkaan (rarity)
√ √
5
Laju kepunahan (rate of exhaustion)
√ √
√
√
6
√ √
√
√
√ √
√
√
√
8
Keutuhan ekosistem (ecosystem integrity) Keutuhan sumber daya/kawasan (intactness) Luasan (area/size)
9
Keindahan alam (natural beauty)
√
10
Kenyamanan (amenity)
√
11
Kemudahan pencapaian (accessibility) Nilai sejarah (historical value)
7
12
√ √ √ √
√ √
√
√
√
√
√
Ancaman manusia (threat of human √ √ √ interference). *Keterangan zona: (1) inti, (2) rimba, (3) pemanfaatan (intensif/wisata), (4) pemanfaatan tradisional, (5) pemanfaatan khusus, (6) situs budaya, dan (7) rehabilitasi.
13
2.5. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tahun 1980 dengan luas ± 15.000 Ha (Sumardjo, 1997 dalam Wiratno et al., 2004). Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango mencakup tiga wilayah pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur. Pada tahun 2003, TNGGP diperluas menjadi 22.851,782 ha sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-11/2003.
12
Total lahan kritis pada areal perluasan kawasan TNGGP 928,50 ha, terdiri dari areal tanah kosong, eks perambahan, eks PHBM, dan eks hutan produksi yang perlu di rehabilitasi. Adapun areal perluasan yang termasuk dalam program RHLP (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif) di Resort Gunung Putri seluas 50 ha (BTNGGP, 2004). Fungsi Taman Nasional Gunung Gede-Pagrango adalah (1)
perlindungan
terhadap
sistem
pendukung
kehidupan/ekosistem,
(2)
pengawetan keanekaragaman jenis plasma nutfah dan tata lingkungan, (3) pelestarain dan pemanfaatan jenis serta tata lingkungan, (4) wadah kegiatan penelitian dan pendidikan, (5) objek wisata dan pelestarian budaya bangsa.
2.6. Interpretasi 2.6.1. Pengertian Interpretasi Interpretasi adalah suatu proses komunikasi yang dirancang untuk mengungkapkan makna dan hubungan dari kebudayaan dan warisan alam dengan melihat langsung obyek, artifak, lanskap dan tapaknya. Menurut Sharpe (1982), interpretasi adalah suatu rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada. Istilah interpretasi bermula dari pemikiran para pengelola “kawasan yang dilindungi” sebagai konsep dan ekosistemnya dengan maksud agar lebih memahami dan menghargai lingkungan alam. Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan pengunjung dapat mengambil bagian dalam usaha-usaha perlindungan dan pelestarian lingkungan alam kawasannya. Menurut Tilden (1957), dalam Interpreting Our Heritage menyatakan bahwa interpretasi merupakan suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan mengungkapkan arti dan hubungan melalui pemanfaatan obyek asli, melalui pengalaman
langsung
dan
media
ilustrasi,
bukan
hanya
sekedar
mengkomunikasikan informasi faktual. Menurut Muntasib (2003), interpretasi merupakan suatu upaya untuk menjelaskan misteri alam, seni dan budaya kepada pengunjung baik secara langsung (melalui interpreter) maupun tidak langsung (melalui poster, slide, film, foto ataupun alat peraga lainnya), berupa seni yang menarik dan merupakan penggabungan berbagai pengetahuan yang terkait (flora, fauna, sejarah, geologi dan sebagainya). Jadi interpretasi merupakan media komunikasi antara suatu objek dengan pengunjung melalui perantara interpreter.
13
Selain itu interpretasi bukan sekedar informasi, bukan mengenai umur, objek wisata, interpreter dan sebagainya, tetapi interpretasi merupakan suatu seni yang menggabungkan berbagai potongan informasi dan menghubungkannya dengan suatu setting atau pengalaman sedemikian rupa sehingga hal tersebut lebih berarti dan menyenangkan. Interpretasi yang baik tidak hanya memperkaya pengalaman pengunjung, tetapi juga mendukung tujuan lain, misalnya meminimalkan dampak kegiatan manusia terhadap sumberdaya dan meningkatakan persepsi publik.
2.6.2. Tujuan Interpretasi Tujuan interpretasi secara umum yaitu untuk memenuhi kebutuhan pengunjung akan pengetahuan, pembelajaran, dan pengalaman baru, juga sebagai proses
unutk
menumbuhkan
pengertian,
pemahaman
dan
penghargaan
pengunjung terhadap nilai-nilai substansif sumber-sumber suatu kawasan dan pada akhirnya ikut melindungi kawasan tersebut. Menurut Sharpe (1982), tujuan pokok interpretasi yaitu: 1. Membantu pengunjung membangun kesadaran, penghargaan dan pengertian tentang kawasan yang dikunjungi agar kunjungan kaya akan pengalaman dan kenyamanan. 2. Membantu pihak pengelola untuk mencapai tujuan pengelolaan karena interpretasi dapat mendorong pengunjung menggunakan sumberdaya dengan baik serta memperkecil dampak manusia yang merusak lingkungan. 3. Meningkatkan pengertian masyarakat umum terhadap sasaran dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu instansi/institusi, dengan jalan memasukkan perasaan-perasaan dalam program interpretasinya.
2.6.3. Prinsip Interpretasi Menurut Tilden (1957) ada 6 prinsip interpretasi yaitu: 1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara apa yang diperagakan atau diuraikan dengan apa yang dialami atau kepribadian personalitas para pengunjung akan merupakan hal yang sia-sia. 2. Informasi, penerangan atau materi yang sejenis dengan itu saja bukanlah interpretasi.
14
3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni, baik bersifat ilmiah atau arsitektur, atau seni yang pada suatu tingkatan dapat diajarkan kepada orang lain. 4. Cara mengutarakan interpretasi bukanlah dengan suatu perintah melainkan dengan pancingan atau persuasif/dorongan). 5. Interpretasi bermaksud mempertunjukkan secara jelas dan bukan sebagiansebagian. 6. Interpretasi yang ditujukan pada anak-anak tidak dapat dipakai untuk orang dewasa karena masing-masing mempunyai pendekatan yang berbeda.
2.6.4. Tipe-tipe Interpretasi Tipe interpretasi berdasarkan obyek yang diinterpretasikan (Aldridge, 1972 dalam Muntasib, 1999): 1. Interpretasi tempat sejarah Interpretasi ini adalah seni dalam menjelaskan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan sejarah masa lampau atau berhubungan dengan keadaan budaya suatu masyarakat yang sudah turun-menurun. Kegiatan ini dilakukan dengan membuat suatu program yanng mempertunjukkan gambar-gambar, slide, film dan media lainnya di sentral pengunjung dan bisa berbentuk cerita dengan tema tertentu. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran pengunjung akan sejarah tempat yang dikunjunginya sehingga dapat memahami atau lebih lanjut dapat ikut serta melestarikan tempat tersebut. 2. Interpretasi tempat alami Interpretasi ini adalah seni dalam menjelaskan atau mengungkapkan karakteristik suatu daerah dengan mengembangkan kondisi tanah atau batuan yang ada dengan tanaman yang tumbuh ataupun dengan binatang yang hidup di dalamnya juga dengan kehidupan manusia pada kondisi aslinya. Kegiatan ini bisa dilakukan kepada pengunjung dengan menunjukkan tempat-tempat sebenarnya, bisa didahului dengan suatu cerita atau tema yang menarik. 3. Interpretasi lingkungan hidup Interpretasi ini adalah seni dalam mengungkapkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Kegiatan ini tidak harus menunjukkan tempat-tempat
15
sebenarnya tetapi dapat berupa cerita yang berdasarkan pengalamanpengalaman yang kemudian disusun menjadi suatu cerita atau tema tertentu dengan menggunakan media slide, film, video, foto atau contoh-contoh hasil pengaruh manusia terhadap lingkungan. Dapat dilakukan pada ruang tertutup, di kelas, dalam diskusi atau juga pada tempat aslinya. Tujuan dari tipe interpretasi ini adalah untuk meyakinkan masyarakat betapa pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannnya dan sedapat mungkin membangkitkan keinginan untuk ikut melestarikan hubungan tersebut. 4. Pendidikan pelestarian Pendidikan pelestarian merupakan suatu seni dalam memberikan pelajaran atau menciptakan situasi belajar yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Sasaran dari pendidikan pelestarian ini adalah bukan hanya pelajar, tetapi orang-orang yang dianggap harus mengetahui dan ikut melestarikan lingkungan hidup. Bentuk kegiatannya dapat berupa kursus, penyuluhanpenyuluhan dan pelatihan-pelatihan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesadaran, memberikan pengertian tentang lingkungan hidup dan lebih jauh lagi ikut serta melestarikan dan menyelamatkan lingkungan hidup.
2.7. Persepsi dan Preferensi Persepsi merupakan pengertian serta interpretasi seseorang terhadap suatu objek terutama bagaimana orang menghubungkan informasi yang diperolehnya dengan diri sendiri dan lingkungan dimana dia berada (Eckbo, 1964). Penilaian kita terhadap suatu ruang ditentukan oleh kualitas fisik ruang yang bersangkutan dan kualitas psikologis dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami oleh seseorang (Laurie, 1975). Persepsi dan penilaian seseorang akan mempengaruhi preferensi seseorang. Porteous (1977) mendefinisikan persepsi sebagai suatu respon berbentuk tindakan yang dihasilkan dari kombinasi faktor eksternal dan internal manusia. Persepsi yang berulang-ulang akan membentuk preferensi, yaitu suatu bentuk keputusan mental untuk lebih menyenangi, tertarik dan memilih sesuatu dibandingkan dengan yang lainnya.
16
Persepsi dan preferensi diukur dengan metode semantik diferensial. Semantik diferensial merupakan metode untuk memberikan penilaian karakter dalam bentuk pasangan kata sifat suatu lanskap berdasarkan persepsi pengamat. Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner (Heise, 1970). Skala differensial yaitu skala untuk mengukur sikap, tetapi bentuknya bukan pilihan ganda atau checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak dibagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak dibagian kiri garis atau sebaliknya. Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala semantik differensial adalah data interval. Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang.
2.8. Semantic Differential (SD) SD merupakan metode untuk memberikan penilaian karakter suatu lanskap berdasarkan persepsi pengamat. Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kuisioner (Heise, 1970). Skala diferensial yaitu skala untuk mengukur sikap yang tersusun dalam satu garis kontinum dimana jawaban yang sangat positif terletak di bagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis atau sebaliknya. Biasanya skala ini digunakan untuk mengukur sikap atau karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang. SD dibagi menjadi 2 kriteria diantaranya membandingkan sikap dan evaluasi kinerja. Dalam membandingkan sikap, semantik diferensial diaplikasikan dalam analisis perilaku user untuk membandingkan sikap atau persepsi terhadap kualitas lanskap tertentu, dan ditunjukkan dalam bentuk gambar atau peta, sedangkan kinerja atau kualitas lanskap dicerminkan dengan melihat kinerja sekelompok atribut, kemudian atribut tersebut dibandingkan dengan lanskap lain karena dalam bentuk gambar, dan ditarik kesimpulan. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah per atribut dan tidak bisa disimpulkan secara umum.