TINJAUAN PUSTAKA Desain Lanskap Vernakular Lanskap merupakan suatu bentangan alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia. Semakin jelas harmoni dan kesatuan antara seluruh elemen lanskap, maka semakin kuat karakter lanskap tersebut (Simonds 2006). Karakter yang kuat tersebut kemudian melahirkan bentuk – bentuk spesifik dalam konteks lingkungan sehingga menghasilkan suatu lanskap budaya (cultural landscape). Setiap bentangan lanskap memiliki karakter yang berbeda satu dengan lainnya sehingga menghasilkan budaya yang berbeda pula. Rejeki, Nindya, dan Haryadi (2007) menyebutkan bahwa pertumbuhan lanskap budaya cenderung mengarah pada sifat vernakular atau tradisional. Salah satu contoh sifat vernakular dalam lanskap budaya adalah adanya pola permukiman tradisional yang linier atau konsentris sebagai konsep ruang permukiman (Fitri 2006). Aspek vernakular tidak hanya tampak pada bentukan lanskap, namun juga tampak pada produk–produk arsitektur. Saat ini tengah berkembang topik mengenai arsitektur vernakular. Menurut Arboleda (2006) arsitektur vernakular merupakan istilah untuk struktur yang dibuat oleh masyarakat tradisional tanpa adanya intervensi dari arsitek profesional. Secara umum arsitektur vernakular mengacu pada konsep arsitektur ekologis dimana pembangunan tempat tinggal sebagai kebutuhan manusia dalam ekosistem tetap mengutamakan keselarasan dengan alam (Frick dan Suskiyanto 2007). Menurut Rejeki et al. (2007) perencanaan dan perancangan arsitektur harus menyesuaikan kondisi lingkungan setempat, baik dalam hal penataan ruang, tipologi bangunan, maupun dalam pemilihan bahan bangunan.Sebagai contoh adalah rumah masyarakat tradisional yang memiliki kearifan lokal tertentu sesuai dengan keadaan alam masing–masing (Sardjono 2010).
6
Rumah dan Halaman Pengertian rumah tinggal bagi suatu keluarga adalah meliputi ruang yang ada didalam dan ruang di luar rumah (halaman). Hubungan halaman dengan rumah tinggal ini sangat erat kaitannya sebab didalamnya terdapat hubungan timbal balik yang selaras bagi kehidupan pemilik tempat tinggal dan manusia pada umumnya (Sardjono 2010). Adapun peran halaman berbeda–beda menurut letaknya, yaitu : 1. Halaman depan Halaman depan merupakan ruang pengenal yang memberikan informasi secara umum tentang tampilan rumah. Halaman ini bersifat terbuka bagi orang luar baik dari segi fungsi maupun visual 2. Halaman samping Halaman samping bersifat lebih privat namun terkadang masih menyediakan akses dari halaman depan. Pada halaman samping anggota keluarga dapat beraktivitas tanpa terganggu oleh pihak luar. 3. Halaman belakang Halaman belakang biasanya merupakan area servis untuk kegiatan pelayanan dalam rumah seperti mencuci, menjemur, kamar mandi, kandang hewan ternak, atau kebun rumah.
Taman Rumah Taman dapat diartikan sebagai ruang luar dari tempat yang kita tinggali. Menurut Arifin (2007) taman merupakan bagian integral dari sebuah rumah tinggal yang dapat melengkapi fungsi rumah dalam memenuhi kebutuhan fisik dan jiwa penghuni rumah. Secara umum, taman tidak hanya memberikan keindahan visual namun juga memiliki fungsi baik secara fisik maupun ekologis. Stevens dan Buchan (1994) menyebutkan bahwa di dalam taman manusia dapat melakukan banyak hal seperti memanen tanaman pangan, membuang sampah, menjemur benih, bermain bersama keluarga dan sebagainya. Oleh karena itu taman dapat dilengkapi dengan fasilitas untuk mengakomodasi aktivitas– aktivitas tersebut. Sulistyantara (2002) dan Arifin (2007) Fungsi taman antara lain adalah :
7
1. Secara ekologis taman dapat membersihkan udara yang kotor karena polusi, meresapkan air ke dalam tanah, mencegah erosi, bank plasma nutfah, dan menjadi habitat berbagai macam satwa 2. Secara estetik taman berperan dalam menambah keindahan rumah dan berkontribusi bagi kesehatan pemiliknya dari bahaya stres akibat aktivitas yang melelahkan 3. Secara sosial taman berperan sebagai tempat bersosialisasi, bermain, dan berekreasi bagi pemiliknya. Fungsi dan peranan taman tersebut menjadi alasan kuat pentingnya keberadaan taman bagi rumah tinggal.
Elemen Taman Elemen taman merupakan unsur–unsur pembentuk taman yang berpengaruh terhadap penampilan dan kualitas taman rumah (Sulistyantara 2002). Simonds (2006) menyebutkan bahwa taman juga merupakan lanskap berskala mikro, sehingga elemen pembentuk taman dapat disamakan dengan elemen pembentuk lanskap. Secara umum terdapat 6 elemen dasar pembentuk desain lanskap (Booth 1988) : 1. Bentukan lahan (landform) Lahan sebagai bidang dasar merupakan elemen penting dalam desain lanskap. Bentukan lahan atau topografi dapat menciptakan kesatuan dalam lanskap dan dapat pula menjadi pemisah antar lanskap yang berbeda (Gambar 2). Selain itu keberadaan landform juga berfungsi dalam menciptakan sensasi ruang, pegaturan iklim mikro, serta pemanfaatan secara fungsional. Tipe landform dapat dibagi menjadi lima menurut bentuknya, yaitu : a. Lahan datar (level landform) Lahan datar cenderung bersifat stabil dan netral. Pada lahan dengan bentukan datar biasanya pandangan akan meluas sebatas horizon sehingga tidak tampak adanya ruang pribadi. Semua ruang terbuka dan tanpa perlindungan. Oleh karenanya pembentukan ruang pada lahan datar perlu menggunakan elemen lainnya (Gambar 3).
8
Gambar 2 Fungsi topografi dalam lanskap (Sumber: Booth 1988)
Gambar 3 Sifat lahan datar (Sumber: Booth 1988)
Pembentukan setting pada lahan datar dengan penekanan bentuk horizontal dapat menciptakan kesan harmonis antara elemen dengan lingkungan sekitarnya (Gambar 4a). Sebaliknya, penekanan bentuk vertikal pada lahan datar akan menciptakan kesan focal point (Gambar 4b). Pada setting netral, lahan datar memungkinkan adanya pergerakan ke dan dari segala arah sehingga elemen yang ada menjadi pusat dalam lahan (Gambar 4c).
9
a
b
c
Gambar 4 Setting pada lahan datar (Sumber: Booth 1988)
b. Lahan cembung (convex landform) Lahan dengan bentuk cembung cenderung bersifat kuat, agresif dan dinamis. Bentuk lahan yang cembung dapat memiliki berbagai fungsi diantaranya membatasi ruang dan pandangan ( Gambar 5).
10
Gambar 5 Fungsi lahan cembung (Sumber: Booth 1988)
Lahan cembung yang dipadukan dengan lahan datar akan membentuk aksen berupa focal point. Kualitas focal point ini dapat diperkuat dengan menempatakan elemen lain untuk mempertinggi kecembungannya (Gambar 6).
Gambar 6 Penguatan aksen pada lahan cembung (Sumber: Booth 1988)
c. Punggung bukit (ridge) Punggung bukit memiliki bentuk lahan yang mirip dengan lahan cembung, namun terdiri atas beberapa titik yang terhubung secara linier. Setiap terminal dari titik tersebut berpotensi memberikan posisi visual yang bervariasi.
11
Pemanfaatan punggung bukit sebagai tempat peletakan bangunan yang mengarahkan pandangan ke luar tapak menjadi keuntungan utama bentukan lahan seperti ini. Selain itu punggung bukit juga menunjang drainase yang baik serta mengatur arah aliran air hujan sehingga membagi area menjadi beberapa daerah aliran sungai (Gambar 7).
Gambar 7 Pembagian DAS oleh punggung bukit (Sumber: Booth 1988)
d. Lahan cekung (concave landform) Lahan cekung biasanya terdapat diantara dua bukit atau lebih. Bentukan lahan seperti ini biasanya cenderung menghalangi pandangan kearah samping sehingga menciptakan kesan terisolasi dan privat (Gambar 8). Selain itu bnetuk cekungan pada lahan juga mengarahkan pandangan ke dalam sehingga dapat pula dimanfaatkan sebagai panggung untuk pertunjukan.
12
Gambar 8 Kontrol visual pada lahan cekung (Sumber: Booth 1988)
e. Lembah (valley) Lembah merupakan area yang terletak diantara beberapa bukit. Bentuk lahan berupa lembah umumnya sangat menguntungkan karena ruang yang terbentuk merupakan ruang positif yang di dalamnya dapat dilakukan berbagai aktivitas (Gambar 9).
Gambar 9 Ilustrasi pemanfaatan lembah (Sumber: Booth 1988).
2. Material Tanaman (Plant material) Tanaman berperan dalam memberikan unsur kehidupan dalam lanskap dalam satuan waktu yang terus berubah. Selain itu tanaman juga memiliki fungsi secara arsitektural dan karakter visual yang memperindah lanskap. Secara
13
arsitektural, penggunaan material tanaman berpengaruh terhadap bidang tanah, bidang vertikal, maupun bidang atap. Sehingga penataan terhadap ketiga komponen tersebut dapat membentuk berbagai macam ruang luar. Ruang luar yang dapat dibentuk oleh tanaman yaitu ruang terbuka, ruang semi-terbuka, ruang berkanopi, penutupan ruang oleh kanopi pohon, dan ruang vertikal (Gambar 10).
Gambar 10 Macam ruang yang dibentuk tanaman (Sumber: Booth 1988)
Selain itu tanaman juga memiliki fungsi sebagai penghubung sequence ruang, meniadakan atau mengaksentuasi lanskap, membagi ruang, penutupan ruang, penghubung antar bangunan, pemberi aksen dan elemen dominan dalam lanskap, menyaring cahaya matahari, pengarah menuju focal point, menjadi focal point, pembentuk setting latar belakang objek, dan menyatukan elemen (Gambar 11).
14
3. Bangunan (Building) Bangunan dalam lanskap berperan sebagai salah satu elemen keras. Bangunan seringkali menjadi objek tunggal dalam taman atau dapat pula disusun berkelompok sehingga terbentuk ruang antar bangunan. Dalam lanskap, bangunan berfungsi dalam membentuk ruang, kontrol visual, rekayasa iklim mikro, dan kontrol organisasi ruang.
Gambar 11 Fungsi arsitektural pada material tanaman (Sumber: Booth 1988)
15
Kelompok bangunan dapat membentuk berbagai jenis ruang menurut pola penataannya. Kelompok bangunan dapat membentuk ruang terbuka ditengahtengah ketika beberapa bangunan diletakkan melingkar (Gambar 12). Tipe ruang yang dibentuk biasanya cenderung mengarahkan orientasi ke dalam ruang. Jenis ruang lain yang dapat dibentuk oleh kelompok bangunan adalah ruang terbuka memusat. Ruang ini terbentuk dari susunan bangunan yang melingkar/melingkupi ruang namun terbuka di satu sisinya sehingga memungkinkan pandangan ke luar komplek bangunan (Gambar 13).
Gambar 12 Ruang terbuka di tengah kelompok bangunan (Sumber: Booth 1988)
Kelompok bangunan yang disusun secara linier juga dapat membentuk ruang seperti saluran memanjang. Susunan bangunan yang demikian dapat mengarahkan perhatian pada batas ruang (Gambar 14). Ruang linier yang berpola organik dapat terbentuk oleh kelompok bangunan yang tersusun saling tumpang tindih sehingga perhatian selalu berubah setiap bergerak dalam ruang (Gambar 15). Pola ruang ini memungkinkan untuk menyediakan surprise atau focal point di tiap sudut bangunan. 4. Pavemen (Pavement) Pavemen merupakan perkerasan yang diterapkan pada bidang tanah sehingga dapat mengakomodasi penggunaan bidang lantai secara lebih intensif.
16
Pavemen berfungsi dalam mengarahkan sirkulasi, mempengaruhi skala tapak, menyatukan tapak, dan menciptakan karakter khusus.
Gambar 13 Ruang terbuka memusat (Sumber: Booth 1988)
Gambar 14 Ruang linear menyalur (Sumber: Booth 1988)
Gambar 15 Ruang linear organik (Sumber: Booth 1988)
17
Dalam
mengakomodasi
arah
sirkulasi,
pavemen
dirancang
dengan
mempertimbangkan arah masuk utama pada tapak sehingga jalur sirkulasi yang terbentuk merupakan refleksi dari hubungan antar ruang dalam tapak (Gambar 16). Ukuran dari suatu pavemen juga dapat mempengaruhi skala tapak. Ruang luar yang luas dapat terbentuk melalui ukuran pavemen yang besar, sementara ruang sempit terbentuk dari ukuran pavemen yang kecil.
Gambar 16 Arah sirkulasi yang dibentuk pavemen (Sumber: Booth 1988) Elemen dalam lanskap seringkali tidak saling terhubung karena perbedaan bentuk ataupun material. Hal ini mengakibatkan keberadaan elemen tersebut menjadi tidak harmonis dengan lingkungan di sekitarnya. Adanya pavemen yang menjadi dasar dalam penempatan elemen akan menyebabkan elemenelemen yang ada berada pada satu ruang yang sama sehingga tercipta kesatuan dalam desain lanskap (Gambar 17). Pavemen merupakan elemen yang paling mudah dilihat saat manusia melakukan pergerakan. Oleh karena itu desain pavemen yang menarik dapat menjadi keindahan visual tersendiri. 5. Struktur Tapak (Site structure) Struktur dalam lanskap tersusun atas elemen yang berhubungan dalam memudahkan pengguna untuk menikmati lanskap secara optimal. Dalam
18
jumlah massal, struktur ini termasuk elemen keras dengan kualitas arsitektural yang menguatkan susunan spasial dan fungsi lanskap. Contoh struktur dalam lanskap antara lain : tangga, ram, dinding, pagar, dan bangku taman.
Gambar 17 Penyatuan elemen oleh pavemen (Sumber: Booth 1988) Pagar dan dinding pembatas biasanya digunakan untuk membentuk ruang pada lanskap. Pagar atau dinding yang tinggi bersifat lebih privat dan cenderung menutup akses visual ke arah luar, sebaliknya pagar/dinding rendah membentuk ruang semi privat dan memberikan akses visual ke arah luar lebih mudah (Gambar 18).
Gambar 18 Fungsi pagar sebagai kontrol visual (Sumber: Booth 1988)
19
6. Elemen Air (Water) Air memiliki karakter khas dalam lanskap yang memberikan daya hidup bagi lingkungan di sekitarnya. Air dapat menjadi elemen statis yang memberikan keteduhan dan kenyamanan, atau menjadi elemen dinamis yang menarik perhatian. Air memiliki sifat plastis dan berubah-ubah bentuk sehingga bentuk air ditentukan oleh bentuk penampungnya. Secara umum air dapat juga digunakan sebagai pengontrol iklim dan suara bising. Sebagai pengontrol iklim, air dimanfaatkan untuk mendinginkan udara yang bertiup kearah lahan darat disekitarnya (Gambar 19).
Gambar 19 Fungsi air sebagai kontrol iklim (Sumber: Booth 1988) Tanaman sebagai softmaterial Tanaman merupakan material lanskap yang hidup dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, setiap pertumbuhan tanaman akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas suatu ruang terbuka sesuai karakteristik tanaman tersebut. Menurut Carpenter et.al (1933) tanaman memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut : 1. Bentuk (Form) Tanaman memiliki berbagai bentuk tajuk yang cenderung sesuai dengan kontur alami habitatnya. Misalnya pada lanskap pegunungan, pohon-pohon yang tumbuh cenderung memiliki tajuk yang runcing, demikian pula sebaliknya pada lanskap yang konturnya relatif datar. Carpenter et.al (1933) mengelompokkan bentuk tajuk pohon dalam tipe oval, kolumnar, V, piramida, menjurai, dan membulat. Ilustrasi bentuk-bentuk tajuk dapat dilihat pada
20
gambar 20. Pola percabangan dan pertumbuhan pohon maupun semak akan menentukan elemen bentuk. 2. Tekstur (Texture) Tekstur merupakan karakteristik permukaan yang dapat dirasakan sebagai halus atau kasar. Tekstur pada tanaman dihasilkan oleh bentuk dan ukuran daun. Karakter yang dibuat oleh tekstur ini mampu membentuk kesan kasar/halus, dekat/jauh, dan sebagainya. 3. Warna (Colour) Tanaman memiliki berbagai macam warna. Warna-warna tersebut dapat diklasifikasikan menjadi : a. Warna hangat : kuning, oranye, dan merah; b. Warna dingin : hijau, biru, ungu; c. Warna analog : kuning-oranye; d. Warna komplemen : ungu-oranye; Ciri-ciri fisik tersebut perlu dirancang sehingga dapat menghasilkan desain penanaman yang estetik menurut prinsip unity, simplicity, variety, repetition, balance, dan emphasize. Selain membentuk estetika, tanaman sebagai softmaterial juga memiliki nilai fungsional sebagai kontrol visual, kontrol iklim, kontrol erosi, dan habitat satwa liar. Booth (1988) mengemukakan bahwa tanaman dapat pula dimanfaatkan dalam menimbulkan kesan arsitektural dalam pembentukan ruang, pentabiran, dan kontrol ruang pribadi. Prinsip Desain Taman Taman memiliki bentuk dan fungsi yang spesifik. Bentuk dan fungsi ini sangat berhubungan erat dengan ekspresi desainer, keinginan pemilik, dan pemanfaatan bagi penggunanya (Arifin 2007). Nilai keindahan sebuah taman sangat ditentukan oleh pemiliknya (Ingels 1997). Desain taman memang sangat beraneka ragam, namun demikian setiap desain yang ada hampir dapat dipastikan memiliki karakter yang umum. Dalam desain taman dalam lanskap terdapat beberapa prinsip yang secara konstan diterapkan (Motloch 1991 dan Crowe 1981). Vanderzanden dan Rodie (2008) menyebutkan bahwa prinsip tersebut terdiri dari :
21
Gambar 20 Bentuk tajuk pohon (Sumber : Hannebaum 2002)
1. Prinsip batasan desain (overarching principle) Prinsip overarching memberi batasan kerja pada kualitas desain secara umum. Overarching meliputi penerapan konsep : a. Kesederhanaan (simplicity), yaitu aktualisasi desain dalam bentuk-bentuk yang sederhana baik secara fisik maupun visual. Bentuk sederhana dapat dicapai melalui pengelompokan elemen secara linier dan pengulangan elemen pada jarak tertentu.
22
b. Mengkombinasikan bentuk dan fungsi (blending form and function), yaitu mendahulukan pertimbangan fungsi suatu elemen pada taman dan kemudian mengembangkan estetikanya. c. Menampilkan
elemen
lokal
(reflecting
local
element),
yaitu
mengkombinasikan elemen arsitektural dan unsur kesejarahan pada tapak dengan elemen lanskap alami disekitarnya sehingga memperkuat karakter lokal tapak. 2. Prinsip Estetika (aesthetic principle) Prinsip-prinsip
estetika
terdiri
dari
kerangka
desain
(order),
repetisi/pengulangan (repetition), irama (rhythm), kesatuan dalam desain (unity), keseimbangan (balance), proporsi dan skala (proportion and scale), serta penekanan (emphasize). Kerangka desain merupakan penataan elemenelemen dalam suatu lanskap menurut tema yang konsisten, misalnya tema formal atau informal. Selain itu order dapat pula dicapai dengan menghubungkan secara fisik kelompok elemen lunak dan elemen keras. Repetisi atau pengulangan elemen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpotensi menimbulkan kemonotonan. Penataan elemen secara berulang dalam desain dapat diterapkan pada elemen warna, bentuk, atau tekstur baik secara individu maupun kelompok elemen. Irama atau rhytm merupakan perubahan elemen dalam suatu pergerakan atau waktu tertentu yang konstan. Penataan elemen yang berirama dapat dicapai melalui perubahan elemen warna, bentuk, dan ukuran secara bertahap. Secara visual, irama dapat dilihat secara vertikal dan horizontal. Irama vertikal dapat muncul dari perbedaan strata tanaman yang di tata pada suatu lanskap, sedangkan irama horizontal dapat pula dimunculkan melalui perubahan elemen secara konstan. Kesatuan dalam desain menciptakan keterikatan antara satu elemen dengan elemen lainnya sehingga timbul keserasian dan keharmonisan dalam lanskap. Unity atau kesatuan dalam desain dapat dicapai dengan mengkombinasikan unsur-unsur pembentuk desain. Pemilihan elemen dan tata letak sangat menentukan apakah suatu desain berada dalam kesatuan atau tidak. Apabila desain menerapkan elemen dengan keragaman tinggi atau penekanan yang
23
terlalu banyak akan merusak kesatuan dalam lanskap. Oleh karena itu perlu adanya keseimbangan dengan penerapan unsure desain lainnya. Sebagai contoh, penerapan kontras pada bentuk, warna, atau tekstur dapat diseimbangkan dengan penerapan kontinuitas atau kemiripan elemen. Keseimbangan dalam desain dibentuk oleh keberadaan elemen-elemen pembentuknya. Berdasarkan pola yang dibentuk, balance dibagi menjadi tiga, yaitu keseimbangan simetri, asimetri, dan radial. Keseimbangan simetri dicapai melalui pola penataan elemen yang tepat sama di setiap sisi menurut sebuah poros sedangkan keseimbangan asimetri dicapai melalui penempatan elemen yang memiliki bobot berbeda di setiap sisi (Gambar 21).
Gambar 21 Pola keseimbangan pada desain (Sumber: Hannebaum 2002) Prinsip proporsi dan skala mengacu pada ukuran elemen dalam lanskap. Proporsi tidak memiliki aturan yang baku namun merupakan prinsip yang absolut. Secara umum, dikenal dua jenis skala, yaitu : a. skala relatif berhubungan dengan ukuran suatu elemen dikaitkan dengan elemennya dalam desain. Pada skala yang lebih luas, skala relatif berhubungan dengan keserasian elemen desain dengan lingkungan disekitarnya; b. skala absolut berkaitan dengan ukuran suatu elemen desain dengan manusia, misalnya ergonomi untuk tangga, ram, bangku taman, dan sebagainya. Objek yang baik memiliki skala yang normal relatif terhadap manusia. Pada skala yang lebih dari normal biasanya cenderung membuat manusia takut,
24
sebaliknya pada skala yang lebih kecil, cenderung membuat manusia merasa berkuasa atas suatu elemen. Emosi yang dapat ditimbulkan oleh perbedaan skala ini menyebabkan proses lanskaping lebih banyak disesuaikan dengan ukuran manusia. Emphasis merupakan penekanan elemen yang penting dalam desain lanskap yang bertujuan untuk menarik perhatian. Umumnya emphasis pada suatu elemen menyebabkan elemen menjadi focal point dan menjadi kontras terhadap elemen desain lainnya. 3. Aplikasi prinsip estetika (application of aesthetic principle) Prinsip estetika memadukan setiap elemen dengan karakternya masing-masing sehingga tercipta tatanan lanskap yang harmonis. Penerapan prinsip estetika dalam desain lanskap bertujuan untuk : a. Menghubungkan struktur/bangunan dengan lanskap disekitarnya sehingga berkesan harmonis. b. Membentuk ruang dengan menyusun elemen melingkupi suatu area. c. Mengarahkan pengguna tapak pada lokasi tertentu d. Merancang ruang luar yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna. 4. Prinsip Fungsional (functional principle) Selain
bersifat
estetik,
desain
juga
harus
mampu
menjawab
kebutuhan/permasalahan. Menurut Rutledge (1985) desain diciptakan untuk memudahkan manusia sehingga desain haruslah fungsional. Prinsip fungsional dalam desain dapat dicapai dengan : a. Menyesuaikan dengan kondisi topografi tapak b. Menciptakan ruang luar yang bermanfaat c. Mempertimbangkan aspek pemeliharaan elemen d. Menyediakan kebutuhan irigasi e. Mempertimbangkan aspek keberlanjutan f. Menyediakan habitat satwa liar
25
Madura Lanskap Pulau Madura Pulau Madura terletak di sebelah timur laut Pulau Jawa, tepatnya pada 7° Lintang Selatan dan 113°-114° Bujur Timur. Pulau Madura dan Pulau Jawa di pisahkan oleh Selat Madura dengan lebar ± 4 km. Secara umum, Pulau Madura tergolong kecil. Panjangnya sekitar 160 km dan jarak terlebarnya 55 km sehingga luas totalnya 5.304 km2. Pantai utara membentuk garis memanjang yang hampir lurus dari barat ke timur. Pantai selatan bagian timur memiliki dua buah teluk besar yang terlindung oleh pulau–pulau, gundukan pasir, dan batu karang. Selain itu, di sebelah timur Pulau Madura terdapat gugusan Kepulauan Sapudi dan Kepulauan Kangean yang juga termasuk dalam administrasi Madura. Keseluruhan pulau itu terdiri dari hampir tujuh puluhan pulau yang berpenghuni dan yang tidak berpenghuni. Secara geologis, Madura merupakan kelanjutan sistem Pegunungan Kapur Utara di dataran Jawa. Hal ini menyebabkan tulang punggung Pulau Madura adalah perbukitan berkapur dengan puncak tertingginya Gunung Tembuku pada ketinggian 471 meter di atas permukaan laut. Bagian terbesar dari pulau ini adalah bukit–bukit cadas yang tinggi dan punggung–punggung kapur yang lebar diselingi bukit–bukit bergelombang. Hamparan dataran rendah banyak dijumpai di bagian selatan, sedangkan di sebelah timur laut dapat ditemukan formasi gundukan pasir laut membukit dengan tinggi mencapai 15 meter yang membentang sejauh 50 kilometer. Bukit pasir ini merupakan objek alam yang unik dan langka karena bentangannya termasuk yang terpanjang di dunia (de Jonge 1989; Rifai 2007). Iklim Pulau Madura bercirikan dua musim, musim barat atau musim hujan dan musim timur atau musim kemarau. Musim hujan selama 6 bulan biasanya hanya terjadi di daerah pedalaman yang tinggi. Di lereng–lereng gunung yang lebih rendah, musim hujan hanya berlaku selama 3–4 bulan saja. Sementara di sepanjang pantai utara dan daerah paling selatan, hujan hanya turun saat masa awal tahun. Suhu udara pulau ini tergolong tinggi. Suhu saat musim barat rata– rata mencapai 27°C, sedangkan pada musim timur mencapai 35°C. Komposisi tanah dan dan curah hujan yang tidak merata menyebabkan tanah Madura relatif kurang subur. Sebagian besar tanah yang diolah merupakan tanah
26
tegalan, sedangkan lahan–lahan yang sama sekali tidak subur di bagian selatan umumnya dimanfaatkan untuk pembuatan garam (de Jonge 1989). Ketandusan tanah dan iklim yang gersang menyebabkan jenis vegetasi yang ada di pulau ini hanya terdiri dari tumbuhan daerah beriklim kering saja sehingga keanekaragamannya tidak terlampau tinggi. Akan tetapi pulau Madura masih memiliki satu jenis tumbuhan gulma endemik, yaitu sejenis pacar air (Semeiocardium arriensii–Balsaminaceae) yang tergolong langka dan unik (Rifai 2007).
Kependudukan dan Mata Pencaharian Suku bangsa Madura mendiami Pulau Madura dan sebagian Jawa Timur bagian utara. Menurut sebuah jejaring berkala 1 , saat ini populasi suku Madura mencapai kisaran 10 juta jiwa yang tersebar di berbagai daerah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura yang terdiri dari beberapa dialek, yaitu kangean, sumenep, bangkalan, probolinggo, bondowoso, dan situbondo. Mata pencaharian masyarakat Madura relatif beragam. Hal ini disebabkan keadaan alamnya yang cenderung kering dan panas sehingga kebanyakan masyarakat lebih memilih merantau keluar pulau Madura (Hasan 2008). Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat Madura adalah bercocok tanam tanaman pangan, berdagang, nelayan dan berternak (Hidayah 1996; Rifai 2007). 1. Masyarakat Madura sebagai petani Sadik (1996) menjelaskan bahwa keadaan lanskap yang tandus dan kering menyebabkan petani tradisional Madura harus bekerja keras dalam mengolah tanah untuk menghasilkan jagung dan ketela pohon. Alat yang digunakan oleh petani relatif masih sederhana yaitu, pacul, linggis, arit, dan bajak. Hasil pertanian sangatlah terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat Madura sendiri. Hal ini menyebabkan Madura selalu bergantung pada Pulau Jawa, terutama bagi kalangan menengah ke atas, sementara bagi kalangan menengah ke bawah berusaha bertahan dengan hasil ladang yang diperoleh yaitu tenggang (ketela pohon), jagung, dan padi gogo.
1
www.kabarmadura.com [diakses pada 19 Maret 2010]
27
Sejak tahun 1952 pemerintah mulai mencanangkan program penghijauan. Sejak itu muncul beberapa jenis komoditas yang berpotensi untuk di kembangkan. Salah satu komoditas yang dibudidayakan di seluruh Madura adalah pohon siwalan (Borasus sondicus). Pohon ini merupakan komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan dalam pembuatan gula. Selain itu, biasanya daun siwalan juga dimanfaatkan sebagai pembungkus tembakau (bal– balan/gulu’an) sebelum dikirim ke gudang atau pabrik rokok. Tembakau juga merupakan salah satu komoditi yang cukup potensial di Madura. Namun, penanaman tembakau hanya terbatas di daerah Pamekasan dan Sumenep. Hal ini disebabkan lahan pertanian Madura sangatlah terbatas sehingga sebagian lahan digunakan untuk pembudidayaan pangan. 2. Masyarakat Madura sebagai pelaut Masyarakat Madura yang hidup di pesisir pantai umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan atau pelaut (de Jonge 1989). Ada berbagai jenis perahu yang biasa dipakai masyarakat Madura saat berlayar antara lain eder, pegon, lete–lete, lete’an, lo-molowan, parao kaci’, janggolan, sampan keteran, dan jukong. Biasanya semua jenis perahu tersebut dibuat sendiri (Sadik 1996). Menurut Rifai (2007) nelayan Madura dapat tinggal berhari-hari di lautan hanya dengan perahu mayang. Hasil tangkapan didistribusikan secara bertahap pada perahu penghadang dan perahu penjemput untuk kemudian dijual di pesisir.Selain mengusahakan hasil laut berupa ikan, penduduk daerah pesisir juga
mengusahakan
tambak.
Tambak–tambak
ini
menentukan
posisi
permukiman yang nantinya dibuat oleh masyarakat Madura pesisir (Citrayati et al. 2008). 3. Masyarakat Madura sebagai pengrajin Mata pencaharian lain yang diusahakan di Madura adalah berbagai keterampilan tertentu yang menghasilkan kerajinan tangan. Salah satunya adalah pengrajin bambu yang menghasilkan anyaman bilah bambu seperti gabag (langit–langit rumah), tabing (gedeg/ dinding), nyiru, cobbu’ (bakul), dan lain–lain. Hanya saja saat ini kerajinan anyaman bambu ini tidak terlalu berkembang sebab telah digantikan oleh barang–barang serupa yang terbuat dari plastik.
28
Komoditas potensial dari kerajinan tangan lainnya adalah batik Madura. Penghasil batik Madura adalah kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Kabupaten Bangkalan dikenal sebagai penghasil batik pesisir yang dikenal sebagai batik Tanjungbumi. Ciri khas daerah pesisir tampak jelas pada ragam corak batik jenis ini. Ragam hiasnya besar dengan warna merah menyala atau biru tua, hitam, dan putih. Penataan yang sedemikian rupa menyebabkan batik Tanjungbumi dikenal sebagai batik yang berani dan ekspresif. Pola yang digambarkan mengungkapkan bentuk alam pesisir seperti laut, perahu, kerang, udang, tumbuhan menjalar, dan serangga (Sadik 1996). Kerajinan tangan yang juga dikembangkan adalah seni ukiran kayu. Biasanya rumah adat dan perkakas rumah tangga dihias dengan ukiran yang sangat rapi dan indah. Bentuk ornament yang biasa dibuat adalah ukiran bunga, awan, dan naga. Namun sejak Islam berkembang di Madura, ukiran dengan bentuk mahluk bernyawa tidak di dapatkan lagi sebab ajaran islam melarang melukis mahluk bernyawa termasuk dalam seni ukir (Sadik 1996). Menurut Rifai (2007) ukiran Madura sangat khas karena hampir selalu dipahatkan tegak lurus pada bidang ukiran sehingga terkesan kaku dan berani, kasar, dan primitif namun tetap menyampaikan ekspresi tertentu. 4. Masyarakat Madura sebagai peternak dan pedagang Usaha peternakan termasuk usaha yang relatif baru di Madura. Meskipun demikian, potensinya cukup baik. Usaha yang cukup berhasil adalah peternakan ayam buras petelur dan pedaging sehingga menyebabkan Madura terhindar dari kekurangan telur dan daging ayam. Akan tetapi, usaha peternakan yang paling tua dikembangkan di Madura adalah peternakan sapi dan diikuti juga dengan jual beli sapi. Sejak dahulu Madura dikenal sebagai penghasil sapi. Bahkan ras sapi Madura tidak pernah dikawinkan dengan sapi ras luar Madura untuk menjaga keaslian ras. Sapi Madura dikenal bersifat tenang tapi kuat dan agresif serta cepat bergerak. Jenis sapi ras Madura adalah hasil persilangan antara sapi zebu (Bosindicus) yang merupakan sapi Bali dengan Banteng. Komoditi lain yang juga di usahakan adalah ternak kambing dan itik. Namun kedua komoditi ini belum berkembang dengan pesat (Rifai 2007).
29
Sektor perdagangan telah berkembang di Madura sejak sebelum peternakan berkembang. Kesenangan berdagang ini menyebabkan orang–orang Madura merantau ke berbagai daerah di seluruh nusantara. Menurut Rifai (2007), kebanyakan pedagang Madura adalah pedagang perantara yang menyediakan komoditas yang tidak diproduksi di Madura. Pada umumnya, orang Madura terlibat di perdagangan kelas bawah seperti pedagang kaki lima. Pedagang Madura terbagi dalam dua daerah, yaitu pedagang yang beroperasi di pedesaan dan pedagang yang beroperasi sampai keluar Madura. Komoditas yang dijual bervariasi mulai dari hasil pertanian, peternakan, hingga hasil laut (Sadik 1996).
Upacara Tradisional Masyarakat Madura Upacara adat dalam tradisi masyarakat Madura umumnya berkaitan dengan agama Islam (Sadik 1996). Hari–hari besar seperti Maulud Nabi, Isra’Mi’raj, Nuzulul Qur’an, dan Idul Fitri selalu diperingati secara besar–besaran. Idul Fitri sendiri dibagi dalam dua masa, yaitu tellasan agung (lebaran besar) dan tellasan topa’ (lebaran ketupat). Tellasan agung merupakan masa lebaran untuk sanak keluarga. Pada masa ini para perantau Madura akan kembali ke kampung halamannya masing–masing. Seminggu kemudian baru dilaksanakan tellasan topa’, yaitu saat dimana semua rumah Madura tidak menanak nasi, melainkan membuat ketupat atau lontong (Rifai 2007). Upacara adat lainnya dilaksanakan oleh tiap keluarga dengan mengundang tetangga dan kerabat sekitar. Upacara–upacara ini selalu diakhiri dengan doa menurut ajaran agama. Beberapa ritual upacara yang menjadi tradisi masyarakat tersebut antara lain sebagai berikut (Jordaan 1979; Sadik 1996; Rifai 2007) : 1. arasol adalah perayaan Maulud nabi. Pada ritual ini disediakan beberapa jenis bubur yang disebut tajhin sanapora, tahjin sora, tahjin sappar,dan tahjin somsom; 2. upacara Khataman Qur’an adalah upacara yang dilaksanakan dengan mengarak anak yang bersangkutan keliling kampong dan memasak makanan ponar (ketan kuning) berlauk sekkol (parutan kelapa tua yang digoreng); 3. upacara memperingati orang mati berupa acara tahlilan yang dilaksanakan sejak hari pertama peristiwa meninggalnya seseorang kemudian dilanjutkan
30
dengan peringatan hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu, dan selanjutnya diperingati setiap tahun (hol); 4. upacara daur hidup adalah upacara yang dilaksanakan sepasang suami istri dalam menyambut generasi baru dalam keluarga. Upacara ini terdiri dari ritual nandhai (member tanda pada awal kehamilan), pellet pertama, pellet betteng, kelahiran, copla’bujjel, toron tana, dan sonat; 5. rokat merupakan ritual doa bersama yang dipimpin seorang kiai. Rokat dilaksanakan untuk memenuhi nadzar/janji, mengajukan permintaan pada Tuhan, atau menolak bala; 6. upacara membangun rumah merupakan ritual yang dilakukan sebelum membangun rumah berupa penentuan hari baik, selamatan di tempat yang akan dibangun, dan mendirikan empat tiang utama. Pada umumnya upacara adat dilaksanakan di halaman dengan memanfaatkan bangunan-bangunan tertentu, sehingga pelaksanaan upacara ini berpengaruh terhadap pola bangunan permukimannya (Citrayati et al. 2008). Pada upacara perkawinan, masyarakat Madura juga membuat hiasan bunga yang disebut du'remmek. Hiasan bunga ini terbuat dari bunga cempaka gading dan kumpulan melati. Rangkaian bunga melati juga seringkali digunakan pada upacara kematian (Rifai 2007).
Karakteristik Masyarakat Madura Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki gaya bicara yang khas dengan karakter dominan keras dan mudah tersinggung. Walaupun demikian, masyarakat Madura juga merupakan pribadi yang hangat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura tampak selalu ceria, lugu, suka berterus terang, dan apa adanya. Namun, citra sifat kaku dan kasar masih melekat karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya berasal dari daerah pedesaan. Orang Madura juga dikenal mempunyai kesetiaan pada sistem dan pranata yang mengayominya. Ketekunan dan etos kerja yang tinggi menyebabkan mereka tidak takut melakukan pekerjaan apa saja (Rifai 2007). Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius. Ketaatan dan kepatuhan orang Madura terhadap ajaran Islam dapat di sejajarkan dengan orang
31
Aceh, Minang, Sunda, dan Bugis. Keinginan mereka dalam menuntut ilmu agama sangatlah besar. Itulah mengapa seorang kiai haji sebagai panutan dan guru keagaman mendapat tempat yang terhormat di mata masyarakat lingkungannya. Dapat dikatakan ajaran islam secara kental telah mewarnai budaya dan peradaban Madura (Rifai 2007; Hidayah 1996). Secara umum, Rifai (2007) menyebutkan bahwa karakter orang Madura adalah ego tinggi, kaku dan kasar, pemberani, teguh pendirian, apa adanya, tulus setia, tertib, pamer, keras kepala, responsif, ulet, berjiwa wirausaha, suka berpetualang, hemat dan cermat, dan agamis. Masyarakat Madura termasuk masyarakat yang menganut hubungan kekerabatan bilateral patrilineal (Hidayah 1996). Hubungan kekerabatan ini memperhitungkan garis keturunan laki–laki dan perempuan secara sama dan setara sehingga sebutan kekerabatan bagi keluarga pihak laki–laki tidak berbeda dengan sebutan untuk keluarga pihak perempuan (Rifai 2007).
Permukiman Masyarakat Madura Tempat tinggal masyarakat Madura biasanya berkelompok dengan pola keruangan tertentu berdasarkan teritorial tiap keluarga. Keluarga inti dalam satu keturunan membuat tempat tinggal yang mengelompok. Sejumlah kelompok kemudian membentuk kampung berdasarkan jumlah generasi yang ada di dalamnya. Permukiman Tradisional Madura umumnya merupakan kumpulan rumah yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Biasanya letaknya berdekatan dengan lahan garapan, mata air, atau sungai. Lahan garapan dan kompleks rumah dibatasi oleh tanaman hidup atau guludan tanah yang disebut galengan. Susunan rumah disusun menurut hierarki keluarga. Keluarga paling tua berada berada di sebelah barat dan keluarga paling muda di sebelah timur. Di ujung paling barat terdapat langgar yang menjadi orientasi permukiman secara keseluruhan (Tulistyantoro 2005). Sebuah tempat permukiman keluarga tidak terbentuk dari sebuah rumah, melainkan terdiri dari beberapa rumah yang mengelompok dan biasanya merupakan satu keluarga (Sadik 1996; dan Rifai 2007). Pada umumnya, di sekeliling komplek permukiman tersebut diberi pagar dengan tanaman pepohonan
32
(pagar hidup) baik berupa bambu atau tanaman keras lainnya yang ditanam sangat rapat. Bahkan terkadang tanaman pohon tersebut masih diikat dengan bilah–bilah bambu. Bagi masyarakat Madura permukiman adalah sebuah benteng bagi penghuninya. Sehingga pagar yang mengelilinginya haruslah dapat menahan ancaman dari luar seperti musuh atau binatang buas (Sadik 1996). Menurut Hastijanti (2005), terdapat dua jenis pola permukiman di Madura, yaitu kampung mejhi dan taneyan lanjhang (Gambar 22). Kampung mejhi merupakan kelompok permukiman yang terisolasi dalam jarak 1-2 km dan dikelilingi oleh pagar bambu. Antarkelompok biasanya dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak. Sebuah kampung mejhi biasanya terdiri dari 4-8 rumah tinggal yang dibangun berjajar dari barat ke timur. Bentuk kampung mejhi ini banyak terdapat di pedesaan. Rumah-rumah dalam kampung mejhi dapat pula berjumlah lebih dari delapan. Jika rumah terlalu banyak dan lahan tidak mencukupi, rumah berikutnya akan dibangun secara melingkar. Umumnya setiap rumah dihuni oleh
satu
keluarga atau lebih. Sebuah rumah dalam kampung mejhi dapat dihuni oleh orang tua dan anak perempuannya yang telah menikah (Wiyata 2002). Sementara pola taneyan lanjhang merupakan kelompok permukiman yang dibangun oleh keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi dan memiliki banyak anak perempuan. Jumlah taneyan lanjhang di tiap desa amat sedikit (0-3 taneyan lanjhang/desa). Sebuah taneyan lanjhang biasanya disusun oleh beberapa bangunan dengan fungsi yang spesifik. Permukiman dengan pola taneyan lanjhang atau kampung mejhi dapat berjumlah puluhan sampai ratusan dalam satu desa. Letaknya dapat sangat berdekatan, tetapi dapat pula berjauhan. Apabila antara satu taneyan dengan taneyan yang lain berjarak cukup jauh, seringkali yang tampak hanyalah pagar hidup yang mengelilingi permukiman sementara rumah–rumah di dalamnya sama sekali tidak terlihat. Kelompok permukiman yang terpisah–pisah inilah yang menyusun pedukuhan dan kemudian membentuk desa sebagai satuan administrasi pemerintahan formal terkecil di Indonesia (Sadik 1996; Rifai 2007).
33
rumah
rumah
langghar
rumah
Dapur dan kandang
rumah
Kampong mejhi
Taneyan lanjhang
Gambar 22 Pola permukiman masyarakat Madura
Taneyan Lanjhang Aksesibilitas Salah satu pola permukiman masyarakat Madura adalah taneyan lanjhang. Taneyan dalam bahasa Madura berarti halaman yang dikelilingi oleh rumah dan bangunan yang lain. Selain itu ada pula istilah pamengkang (pekarangan) yang diperuntukkan bagi tanah disekitar hunian dan yang sering ditanami pohon buah– buahan atau tanaman belukar. Sementara istilah taneyan lanjhang dipakai saat terdapat komplek perumahan yang terdiri dari beberapa rumah tinggal. Taneyan lanjhang sendiri berarti halaman panjang (Jordaan 1979). Citrayati (2008) mengemukakan bahwa taneyan lanjhang merupakan ciri masyarakat agraris Madura. Lokasi pembangunan taneyan lanjhang disesuaikan dengan letak tegalan/tambak milik keluarga. De Jonge (1989) menyebutkan bahwa sebuah taneyan lanjhang dikelilingi pagar hidup dan dilengkapi dengan pintu masuk utama (Gambar 23). Pintu masuk ini merupakan satu-satunya akses menuju taneyan lanjhang. Apabila ada tamu yang memasuki taneyan (halaman) tanpa melalui pintu masuk akan dianggap tidak sopan dan melecehkan harga diri pemilik taneyan sehingga dapat memicu terjadinya perkelahian yang disebut carok atau tokar (Sadik 1996; Hastjanti 2005).
34
Gambar 23 Aksesibilitas taneyan
Hierarki Pada umumnya taneyan lanjhang dihuni oleh tiga generasi, yaitu pasangan suami istri tertua yang memulai generasi pertama, anak perempuan yang menikah dengan suaminya sebagai generasi kedua, dan anak dari keturunan berikutnya sebagai generasi ketiga. Bagi penghuninya taneyan lanjhang adalah tempat tujuan pulang dari bekerja, bepergian, atau merantau (pamolean) (Rifai 2007). Sampai pada tingkat generasi tertentu, susunan keluarga penghuni taneyan dapat diketahui dari cara pekarangannya dibangun. Anak perempuan akan tetap tinggal di pekarangan orang tuanya meski telah menikah, sementara anak laki–laki akan pindah ke pekarangan mertuanya. Pola ini mencerminkan kombinasi uksorilokalitas dan matrilokalitas yakni suami tinggal di rumah istri yang ikut ibunya (de Jonge 1989). Anak perempuan yang akan menikah dibuatkan rumah oleh orang tuanya di sebelah timur rumah induk, begitu pula dengan anak perempuan kedua akan dibangunkan rumah di sebelah timur rumah kakaknya (Gambar 24), dan begitu seterusnya sehingga akan terbentuk rumah–rumah yang berjejer sesuai jumlah anak perempuan pemilik taneyan (Rifai 2007). Konsep permukiman taneyan lanjhang ini sebenarnya merupakan bentuk perlindungan orang tua terhadap anak–anaknya, khususnya anak perempuan (Sadik 1996).
35
Gambar 24 Hierarki hunian dalam taneyan lanjhang
Jika keluarga induk membangun rumah untuk anaknya yang telah menikah, rumah baru tersebut hampir selalu diletakkan di sebelah timur/kiri roma tongghu (rumah induk). Bagi masyarakat Madura arah kanan dan kiri mengandung makna art superioritas (kedudukan yang lebih tinggi) yang ditunjukkan oleh roma tongghu dan inferioritas (kedudukan yang lebih rendah) yang ditunjukkan oleh rumah tambahan (Joordan 1979). Susunan taneyan lanjhang tersebut secara umum menggambarkan konsep mandala, yaitu panduan barat dan timur bermakna kematian (barat) dan kelahiran (timur). Hal inilah yang menyebabkan rumah induk berada di sebelah barat dan diikuti rumah–rumah lain di sebelah timurnya. Sumber kehidupan berada di tangan generasi muda yang ada di sebelah timur, sementara sebelah barat mengarah pada kematian (semakin tua). Pola seperti ini terus dipertahankan oleh masyarakat Madura (Jakub 2002 dalam Tulistyantoro 2005).
Zonasi dalam Taneyan lanjhang Dalam membangun taneyan lanjhang terdapat aturan yang harus diikuti. Arah langghar di sesuaikan dengan arah kiblat. Dalam satu taneyan hanya
36
terdapat satu buah langghar, sehingga langghar dapat menjadi pemisah antara taneyan yang satu dengan taneyan yang lain. Menurut Jordaan (1979) Rumah tinggal masyarakat Madura dibangun menurut aturan modjur are (kayu bubung lurus dengan arah timur–barat) atau malang are (kayu bubung lurus dengan arah utara–selatan). Apabila rumah tongghu dibangun menurut aturan modjur are maka ketika ada anak yang dikawinkan, rumah baru akan dibangun di sebelah kiri rumah yang ada. Dengan demikian rumah–rumah akan berderet rapi ke arah timur. Apabila pembangunan kearah timur sudah tidak memungkinkan karena keterbatasan ruang, maka rumah berikutnya akan dibangun di sebelah selatan taneyan dengan aturan pembangunan yang sama. Hal ini menyebabkan taneyan meluas kembali ke arah barat (Gambar 25).
Gambar 25 Pola pembangunan modjur’are
Penempatan sumur dalam tanean juga menunjukkan adanya tempat yang cocok dan tidak cocok. Umumnya masyarakat Madura memilih empat sudut halaman untuk menempatkan sumur (Gambar 26). Masing–masing tempat memiliki namanya sendiri menurut keberuntungan dalam penempatannya.
37
1. Pancoran mas Sumur di letakkan pada arah timur–utara. Pancoran mas berarti “air yang mengalir mas”. Beberapa daerah di Madura menamai sudut ini dengan nama soghi (kekayaan). Sudut halaman ini merupakan sudut yang paling disukai. 2. Beras nompa Sumur diletakkan pada arah timur–selatan. Beras nompa memiliki makna “beras jatuh” sehingga sudut ini merupakan pilihan kedua karena dianggap agak bagus. Pada beberapa daerah sudut ini dinamai soka (suka). 3. Dangdang ngellak Sumur diletakkan pada arah barat–selatan. Dangdang ngellak merupakan bahasa Madura yang berarti “burung gagak dengan paruh terbuka”. Di daerah lainnya, sudut ini dinamakan dengan pate (mati). 4. Paku wesi Sumur diletakkan pada arah barat–utara. Paku wesi tidak memiliki arti khusus selain bermakna kurang baik/buruk. Bagi beberapa daerah sudut ini disebut lara (penyakit). Terdapat perbedaan pembahasan mengenai kepercayaan tersebut. Menurut Sadik (1996), istilah pancoran mas diperuntukkan bagi lahan yang menjadi tempat mengalirnya air, yaitu di atas tanah yang agak miring kearah timur laut sehingga orang yang membangun rumahnya di lahan tersebut akan hidup makmur. Selain itu, masyarakat Madura juga memiliki dua pantangan dalam membangun rumah : 1. tanah “nombak lorong” yaitu lahan yang berhadapan lurus dengan jalan umum. Menurut kepercayaan masyarakat, posisi semacam ini dapat menyebabkan kegoncangan bagi penghuninya; 2. tanah “nombak tabun” yaitu rumah yang pintu pekarangan atau pintu rumahnya menghadap lurus dengan pematang sawah atau ladang. Hal ini dikarenakan rumah dengan posisi demikian dapat menyebabkan penghuninya terserang penyakit.
38
1
2
4
3
Gambar 26 Penempatan sumur dalam taneyan lanjhang
Tata Letak Elemen Taneyan lanjhang Komposisi ruang taneyan lanjhang terdiri dari roma di sebelah utara, langghar di sebelah barat, kandang di sisi selatan, dan dapor berada di depan rumah. Menurut Jordaan (1979), bangunan–bangunan yang terdapat dalam taneyan lanjhang tidak hanya digunakan untuk mengerjakan aktivitas tertentu, tetapi juga setiap bentuk dan susunan bangunan memperlihatkan ciri dan aturan tertentu yang berlaku di masyarakat. Roma (rumah tinggal) menurut Tulistyantoro (2005) merupakan ruang utama yang terdiri dari satu pintu utama, satu ruang tidur, dan dilengkapi dengan sebuah serambi. Ruang bagian belakang atau atau ruang dalam bersifat gelap dan tertutup. Ruang dalam ini merupakan ruang tunggal yang berfungsi mewadahi aktifitas tidur bagi perempuan dan anak–anak. Sebaliknya ruang serambi bersifat terbuka dan berfungsi sebagai ruang penerimaan bagi tamu perempuan.
39
Rumah tinggal dalam taneyan lanjhang dibagi menjadi rumah induk dan rumah anak perempuan yang telah menikah. Rumah induk atau rumah utama dinamakan roma tongghu. Rumah ini ditinggali oleh suami istri yang membangun taneyan bersama anak–anak perempuan mereka yang belum menikah. Bagi yang sudah menikah, biasanya orang tua akan membuatkan rumah baru di sebelah rumah induk (Jordaan 1979). Anak laki-laki, diatas umur 10 tahun tidak diperkenankan untuk tinggal bersama orang tuanya, melainkan tinggal di langghar. Setelah menikah, anak laki-laki akan ikut ke taneyan mertuanya. Konsep ini disebut dengan konsep uxorilokalitas. Rumah tinggal dibangun di sisi utara taneyan dan menghadap ke arah selatan (Gambar 27). Tata letak ini merupakan suatu bentuk penghormatan kepada pantai selatan dan mulai berlaku sejak Madura dikuasai oleh Mataram Hindu (Sadik 1996). Umumnya masyarakat Madura membangun rumah tinggalnya dalam beberapa bentuk. Menurut Murwandani tipe-tipe rumah ini merupakan turunan dari rumah joglo di dataran Jawa yang diadaptasi sesuai dengan kondisi geografis Madura.
Gambar 27 Tata letak rumah tinggal
40
Langghar merupakan tempat ibadah penghuni dan pusat orientasi taneyan. Seringkali langghar menjadi pembatas antara taneyan yang satu dengan yang lain sehingga setiap taneyan lanjhang pasti memiliki sebuah langghar (Cahyo, Silas, dan Sri 2010). Umumnya langghar berukuran relatif lebih kecil dari rumah induk dengan bahan utama dari kayu dan bambu (Tulistyantoro 2005). Cahyo et al. (2010) menyebutkan bahwa langghar di bangun lebih tinggi 80 sentimeter dari permukaan tanah dengan lantai dari bahan papan atau bambu. Fungsi utama langghar adalah sebagai pusat aktivitas laki–laki dan pusat transfer nilai–nilai religius kepada generasi yang lebih muda. Menurut Sadik (1996) dan Wiyata (2002) langghar memegang peranan penting dalam menjaga kelangsungan taneyan. Segala keputusan dari orang tua akan keluar melalui musyawarah yang dilakukan di bangunan ini. Langghar juga berperan dalam mencegah terjadinya kekerasan (carok) dalam taneyan. Tulistyantoro (2005) dan Cahyo et al. (2010) menjelaskan aktivitas yang dilakukan dalam taneyan : a. beristirahat setelah bekerja di lading, b. sholat berjamaah seluruh penghuni taneyan, c. bermusyawarah, d. menerima tamu diluar kerabat, dan e. bercengkrama dan sosialisasi. Posisi langghar biasanya berada di ujung barat dengan bangunan terbuka ke arah timur (Gambar 28). Langghar hampir selalu dibangun berhadapan lurus dengan pintu masuk. Hal ini berfungsi untuk memudahkan pemilik taneyan dalam mengawasi anak keturunannya. Di dekat langghar juga terdapat paddasan, yaitu tempat untuk mengambil wudhu. Dapor dan kandang umumnya berada di sisi selatan rumah induk dan menghadap ke utara (Gambar 29). Menurut Jordaan (1979) kadangkala dapor dan kandang berada dalam satu bangunan, baik dilengkapi dengan dinding pemisah maupun tanpa dinding pemisah. Namun, menurut Tulistyantoro (2005) kandang tidak memiliki posisi yang pasti. Apalagi saat ini tidak banyak masyarakat yang memiliki ternak sehingga jarang ada yang memiliki kandang pada taneyan. Sementara dapur biasanya ditempatkan di samping langghar atau di belakang rumah. Cahyo (2010) bahkan menyebutkan bahwa dapur dibangun di
41
tempat yang mudah melihat ke langghar untuk memudahkan dalam menyediakan hidangan bagi tamu yang datang. Dapur merupakan pusat aktivitas perempuan. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat mempersiapkan makanan dan menyimpan bahan makanan (Tulistyantoro 2005)
Gambar 28 Tata letak langghar
. Gambar 29 Posisi dapor dan kandang
42
Taneyan merupakan ruang utama di tengah–tengah permukiman. Fungsi utama taneyan adalah sebagai ruang terbuka yang menjadi pusat sosialisasi antar anggota keluarga, tempat bermain, menjemur hasil panen, dan aktivitas lain yang melibatkan banyak orang. Taneyan bersifat terbuka dengan pembatas yang tidak permanen, namun ketika memasukinya harus melalui pintu yang tersedia (Tulistyantoro 2005).
Material Penyusun Taneyan lanjhang Taneyan lanjhang merupakan pola permukiman yang telah menjadi tradisi masyarakat Madura. Warisan budaya yang turun temurun ini dikembangkan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Madura sendiri. Oleh karenanya bahan baku penyusun elemen, utamanya bangunan, dibuat dengan bahan-bahan alami. Saputro (2009) menyebutkan bahwa bangunan tradisional Madura biasanya terbuat dari bambu dan tidak berpaku. Tulistyantoro (2005) bahkan secara lengkap menyebutkan bahwa bahan bangunan rumah Madura terdiri dari lantai tanah/pasir, dinding kayu, tabing, atau bidik, dan atap ilalang atau nipah. Seiring perkembangan zaman, taneyan lanjhang mengalami banyak perubahan dalam penggunaan material. Penelitian yang dilakukan oleh Saputro (2009) dan Cahyo et al.(2010) menemukan bahwa rumah-rumah dalam taneyan lanjhang saat ini telah terbuat dari material modern seperti genteng, tembok, dan rangka
bangunan
kayu
(Gambar
30).
Secara
khusus
Saputro
(2009)
mengelompokkan jenis material rumah Madura menurut perbedaan mata pencahariannya. a. Rumah tembok Material pembentuk rumah tembok terdiri dari pasir, semen, dan batu gamping. Rumah jenis ini biasanya dimiliki oleh petani dan nelayan. b. Rumah keramik Keramik dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk lantai pada rumah masyarakat. Selain itu saat ini keramik juga digunakan sebagai penghias dinding agar tampak lebih menarik. Umumnya jenis rumah ini dimiliki oleh karyawan atau pedagang.
43
c. Rumah bambu Sesuai dengan namanya, material utama pembentuk rumah ini adalah bambu. Material ini digunakan untuk seluruh bagian baik pasak, tiang, maupun dinding. Rumah dengan bahan bambu biasanya memiliki arsitektur tradisional dan umumnya dimiliki oleh orang tua, janda, atau duda.
Gambar 30 Material bangunan taneyan lanjhang