5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanskap Sungai Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu, dimana elemen-elemennya dibagi menjadi elemen-elemen lanskap utama dan elemenelemen lanskap penunjang. Elemen lanskap utama adalah elemen yang tidak dapat diubah atau sukar sekali diubah seperti gunung, lembah, sungai, daratan, pantai, danau, lautan, dan sebagainya. Elemen lanskap penunjang adalah elemen lanskap yang dapat diubah sesuai keinginan perencana atau pemakainya seperti bukit, anak sungai dan aliran air yang kecil (Simonds, 1983). Siti Nurisjah dan Aziz, S. (1989) menyatakan bahwa berdasarkan campur tangan manusia, lanskap dapat berbentuk (1) lanskap alami seperti lanskap pegunungan, rawa, riverscape, (2)
lanskap buatan seperti lanskap kota
(urbanscape), lanskap permukiman penduduk kota, lingkungan pabrik dan (3) perpaduan harmonis antara lanskap alami dan buatan seperti suatu lanskap pedesaan dengan permukiman manusia, terasering persawahan padi dengan pondok pelepas lelah dan sebagainya. Sungai adalah satu elemen lanskap yang merupakan mata rantai hidrologi dengan segala komponen-komponennya dimana terjadi erosi, transportasi, desposisi yang membawa material geologi, dan sedimentasi. Sungai sebagai suatu bentukan lanskap yang dinamis dan hidup memiliki kegunaan bagi manusia dan makluk hidup lainnya. Notodihardjo (1989) mengemukakan kegunaan sungai sebagai berikut: (1) lalu lintas air, (2) pengembangan rekreasi dan pariwisata, (3) pengembangan perikanan, (4) pembangkit listrik tenaga air, (5) persediaan air untuk rumah tangga dan industri, (6) pengendalian kekeringan, (7) irigasi, (8) drainase, (9) pengembangan air tanah, (10) pengendalian intrusi air laut. Sungai dan bantarannya merupakan habitat yang sangat kaya akan flora dan fauna sekaligus sebagai barometer kondisi ekologi daerah tersebut. Sungai yang masih alamiah dapat berfungsi sebagai aerasi alamiah yang akan meningkatkan atau menjaga kandungan oksigen air sungai. Dalam suatu sistem sungai terjadi lalu lintas rantai makanan dari bagian hulu ke hilir yang seharusnya dijaga.
6
Selain itu, sungai merupakan refleksi dari daerah yang dilaluinya. Faktorfaktor seperti kualitas air (unsur kimia dan temperatur), habitat yang ada (flora dan fauna), kondisi hidraulik sungai (debit, muka air, frekuensi aliran dan lainlain) dan morfologi sungai dapat dijadikan sebagai indikator untuk menganalisis kondisi daerah aliran sungai tersebut. Jika di daerah sekitar sungai banyak aktivitas industri dengan kualitas penjernihan air limbah yang tidak memadai, maka kualitas air sungai (terutama sungai kecil dan sedang) tersebut akan terlihat jelas menurun. Jika suatu daerah relatif tandus, maka kondisi tersebut akan direkam oleh sungai kecil yang direfleksikan ke dalam bentuk kurva hidografnya dengan waktu mencapai puncak yang pendek dan debit puncak yang tinggi serta waktu kering yang lama (Maryono, 2008). Dalam proses morfologi pembentukan sungai, sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi dan hidrologi daerah setempat, serta dalam perkembangannya akan mencapai kondisi keseimbangan dinamiknya (Kern dalam Maryono, 2008). Kondisi geografi banyak menentukan letak dan bentuk alur sungai memanjang dan melintang. Ekologi menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor resistensi sungai. Sedangkan hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran air di sungai. Namun ketiga faktor tersebut saling terkait dan berpengaruh secara integral membentuk morfologi, ekologi dan hidraulika sungai alamiah. Morfologi, ekologi dan hidraulika sungai kecil dalam suatu sistem menentukan morfologi, ekologi dan hidraulika sungai orde berikutnya. Dengan demikian kondisi morfologi, ekologi dan hidraulika suatu sungai besar pada umumnya memiliki korelasi dengan kondisi sungai kecil di atasnya (Leopold et al dalam Maryono, 2008). Lanskap Sungai Kelayan merupakan salah satu contoh lanskap sungai kecil yang berada di perkotaan. Dalam Katalog Sungai Kota Banjarmasin, sungai di kategorikan kecil jika memiliki lebar antara 2 m sampai dengan kurang dari 25 m. Sungai kecil merupakan bagian terpenting dari sistem sungai dan padanya tersimpan rahasia kejadian kekeringan, banjir dan kerusakan wilayah keairan secara menyeluruh dari suatu kawasan. Bagi suatu kota, sungai yang melewatinya mempunyai banyak fungsi (Maryono, 2008), antara lain:
7
1. Sebagai pemasok air perkotaan 2. Sebagai pemasok oksigen perkotaan 3. Sebagai tempat rekreasi masyarakat kota 4. Sebagai tempat praktikum, penelitian dan kebutuhan pendidikan lainnya 5. Sebagai sumber inspirasi bidang seni dan kebudayaan 6. Sebagai sarana drainase air hujan kawasan 7. Sebagai kekayaan lanskap 8. Sebagai habitat ekologi yang paling kondusif 9. Sebagai sarana transportasi yang handal Namun fungsi sungai di perkotaan tersebut sangat jarang dipertahankan, justru aktivitas kontra produktif yang dewasa ini berkembang. Misalnya fungsi sebagai pemasok sumber air tidak ada lagi karena pencemaran kualitas air sungai perkotaan yang sudah sangat buruk. Fungsi sebagai pemasok oksigen hancur karena pembabatan vegetasi sempadan sungai. Fungsi sebagai tempat rekreasi hilang karena taludisasi sungai, sehingga sungai menjadi selokan teknis yang tidak menarik. Fungsi sebagai tempat penelitian berkurang karena sungai sudah berubah menjadi selokan, sehingga diversifikasi masalah atau tema penelitian menjadi sempit. Fungsi sebagai kekayaan lanskap dan habitat hancur karena perubahan lanskap dan ekologi yang drastis, sehingga sungai menjadi selokan yang monoton. Fungsi sebagai sarana transportasi lambat laun hilang karena banyak pembangunan jembatan rendah melintang sungai sehingga sungai tidak dapat dimanfatkan (Maryono, 2008). Sungai kecil dan sedang di perkotaan biasanya menjadi keranjang sampah dan saluran comberan kota yang statis, baunya menyengat tanpa adanya penggelontoran. Lebih dari 50 tahun pembangunan fisik Indonesia, khususnya pada pembangunan wilayah keairan, melupakan pengelolaan dan pelestarian sungai kecil. Ribuan bahkan jutaan sungai kecil yang sebenarnya dapat berfungsi untuk menanggulangi kekeringan, mengendalikan banjir, mengkonservasi air dan ekologi suatu kawasan, telah hancur total. Sungai kecil di hampir seluruh daerah perkotaan dan pinggiran telah dirubah menjadi saluran pembuangan limbah cair
8
dan padat. Dengan kondisi sungai kecil di perkotaan dan pinggiran di seluruh Indonesia pada umumnya dan kawasan Sungai Kelayan pada khususnya yang sudah hancur ini, tidak ada upaya lain yang lebih penting untuk dilakukan kecuali memperbaiki kembali kondisi ekologi dan hidrologi sungai kecil tersebut (Maryono, 2008). Sungai Kelayan tergolong dalam segmen hilir (muara) yang terpengauhi oleh komponen hidraulik berupa pasang surut. Pengaruh hidraulik air asin dan sekaligus pasang atau surut dapat menyediakan diversifikasi hidraulik sepanjang sungai. Disamping itu juga berpengaruh terhadap diversivikasi kadar garam (salinitas) yang tentu saja akan berpengaruh terhadap habitat sekitar muara sungai tersebut. Komposisi pasang surut dan komposisi salinitas sangat berperan dalam pembentukan jenis dan jumlah flora dan fauna di sungai yang bersangkutan (Maryono, 2008).
2.2. Kota Pengertian kota sendiri sangat bermacam-macam. Namun secara umum, suatu kota dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan struktur bangunan yang semakin mendekati pusat kota, semakin rapat. Selain itu kota dicirikan oleh adanya sarana perkotaan, seperti bangunan pemerintah, rumah sakit, sekolah, pasar, taman kota, sarana jalan, dan lain sebagainya. Jayadinata (1992) menyatakan bahwa suatu hal yang khas bagi sebuah kota adalah bahwa kota umumnya mandiri atau serba lengkap (self-contained), yang berarti penduduk kota bukan hanya bertempat tinggal di dalam kota, tetapi juga bekerja mencari nafkah di dalam kota itu , sekaligus juga dapat melakukan aktivitas rekreasi di dalamnya. Hal ini berbeda dengan keadaan di pedesaan dimana penduduk desa umumnya pergi keluar desa untuk mencari nafkah. Dengan demikian sebuah kota yang mandiri memiliki fasilitas dan prasarana yang lengkap bagi penduduknya, baik sosial maupun ekonomi. Sehingga segala kebutuhan penduduknya dapat terpenuhi (Jayadinata, 1992). Perkembangan kota-kota di Indonesia terdiri dari beberapa fase. Berawal pada jaman kerajaan Nusantara, pada saat itu pusat-pusat kerajaan terbatas hanya berfungsi sebagai tempat lintas perdagangan atau hanya sebagai pusat
9
pemerintahan atau pusat agama (Marbun, 1994). Berlanjut pada kedatangan Portugis dan Belanda yang menjajah Indonesia, kota-kota di Indonesia kemudian berkembang dengan pola yang merupakan kombinasi dari tiga kebudayaan berbeda, yaitu kebudayaan Indonesia, kebudayaan Belanda dan Asia lainnya yang didominasi oleh bangsa Cina. Peranan yang paling dominan dalam membentuk wajah kota di Indonesia terutama adalah pengaruh gaya Eropa yang dibawa oleh Belanda. Pola ini terlihat pada bagian kota yang teratur, bersih dengan prasarana jalan yang teratur dan pola perumahan yang ideal, yang pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi orang Eropa atau mereka yang disamakan dengan orang Eropa. Daerah kampung di kota yang dihuni oleh masyarakat pribumi cenderung kumuh dan kotor serta kurang teratur, sementara pusat kota atau perdagangan didiami oleh masyarakat Cina atau India dengan pola memagari koridor jalan raya (Marbun, 1994). Pada masa kini, kota menjadi sebuah pusat perdagangan, sebuah tempat sebagai pusat kebudayaan baru dan pencampuran antara kebudayaan Nusantara dan internasional. Lapangan hidup baru tercipta bagi masyarakat pribumi di kota. Berbagai fasilitas, sarana dan prasarana bagi kepentingan permukiman, perdagangan, jasa pelayanan, transportasi dan lain sebagainya mulai dibangun. Akan tetapi pembangunan sarana dan prasarana perkotaan tersebut lebih ditujukan kepada kelancaran arus bahan atau barang hasil jajahan. Sehingga perkembangan kota pada waktu itu dibangun berdasarkan konsep atau model yang ada di Eropa. Pola-pola pengaruh Eropa tersebut dapat dilihat di hampir semua kota besar di Indonesia, seperti Bogor, Palembang, Ujung Pandang, Jakarta, Bandung, dan lainlain (Marbun, 1994). Setelah proklamasi kemerdekaan, masalah mengenai perkotaan di Indonesia dimulai. Hal ini diakibatkan kurangnya pengalaman yang dimiliki orang-orang Indonesia dalam mengatur tata kota, baik dari segi administrasi maupun teknis. Keadaan kota-kota di Indonesia pun kacau, terutama diakibatkan oleh meletusnya perang kemerdekaan. Sehingga pada periode tahun 1945-1950 kota-kota di Indonesia pada umumnya berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Setelah perang kemerdekaan usai pada tahun 1950, penataan kota mulai dilakukan, akan tetapi tanpa persiapan dan ketrampilan administrasi
10
dan pemeliharaan kota yang cukup. Sehingga pada masa itu penempatan lokasi hampir tanpa rencana dan pengalaman. Arus migrasi dari desa ke kota mulai deras, akibatnya banyak kota di Indonesia harus menampung beban berat secara mendadak, mulai dari masalah tempat tinggal, perkantoran, markas tentara, sekolah, rumah sakit, da lalu lintas (Marbun, 1994). Kurangnya kemampuan dan pengalaman pemerintah kota pada masa itu telah menimbulkan masalah tata ruang kota dan pengembangannya. Sementara arsip dan pedoman pemerintah banyak yang hilang sebagai akibat dari perang. Dari sejarah yang ada, kekacauan penataan kota menjadi masalah yang berlanjut hingga kini (Marbun, 1994).
2.3.
Urbanisasi Proses urbanisasi sering disalahartikan sebagai proses perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Istilah urbanisasi dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai pengkotaan. Menurut Warpani (1984), dalam pengertian kependudukan, urbanisasi dapat dilihat sebagai suatu perubahan pola pemencaran penduduk yang menyangkut pertambahan relatif penduduk daerah kota. Lebih lanjut, urbanisasi juga berarti pertambahan jumlah penduduk dan luas perkotaan, dan suatu peningkataan konsentrasi penduduk di tempat-tempat tersebut. Menurut Koyano (1987), urbanisasi merupakan suatu gejala yang terjadi dari perpindahan penduduk dan pemusatan penduduk secara nyata. Perpindahan penduduk ke dalam kota terjadi karena adanya faktor penarik (pull factor) dari dalam kota seperti kesempatan kerja yang lebih besar, pendapatan yang lebih tinggi, fasilitas sosial ekonomi yang lebih baik, dan sebagainya. Sedangkan faktor pendorong (push factor) yang berasal dari desa asal migran seperti kurangnya lapangan pekerjaan, dan pelayanan sosial ekonomi yang buruk (Jayadinata, 1992). Gejala dari bertambahnya penduduk pada suatu wilayah berupa terjadinya pembangunan dan perkembangan sarana dan prasarana wilayah untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah. Proses inilah yang disebut dengan urbanisasi atau pengkotaan, sehingga area yang terurbanisasi juga sering didefinisikan sebagai area terbangun, dimana bangunan, jalan, dan beberapa jenis
11
tata guna lahan yang memiliki fungsi penting bagi suatu kawasan urban mendominasi. Dampak dari pengkotaan yang merubah pola penggunaan lahan terdiri dari dampak langsung dan tidak langsung (De Sherbinin, 2002). Dampak langsung meliputi munculnya permukiman penduduk yang tidak teratur, peruntukan lahan industri dan infrastruktur lain yang mengakibatkan terjadinya konversi lahan, baik sungai, lahan pertanian maupun ruang terbuka hijau. Area terbangun pada kawasan urban memiliki dampak langsung terutama pada siklus hidrologis. Hal ini disebabkan perkerasan dan bangunan akan meningkatkan run-off permukaan dan menurunkan laju infiltrasi air ke dalam tanah. Akibatnya adalah penurunan tingkat ketersediaan air tanah dan terjadinya banjir. Area terbangun juga memiliki kecenderungan untuk menyerap radiasi panas dan menyebabkan terjadinya pulau bahag yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kesejahteraan penduduk urban. Dampak tidak langsung dari pengkotaan juga tidak kalah penting, diantaranya kebutuhan akan pembuangan sampah akhir untuk menampung besarnya volume sampah yang dihasilkan oleh penduduk kota. Selain itu tidak jarang sungai akhirnya menjadi target utama sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini dapat menyebabkan banjir dan sedimen yang terakumulasi yang pada akhirnya dapat menyebabkan sungai tersebut mati.
2.3.1. Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Istilah penggunaan lahan dan penutupan lahan memiliki arti yang berbeda. Menurut De Sherbinin (2002), penggunaan lahan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan tanah oleh manusia atau kegiatan mengubah tutupan lahan. Istilah penutupan lahan mengacu pada penutupan tanah yang menjadi ciri suatu area tertentu, yang umumnya merupakan pencerminan dari bentukan lahan dan iklim lokal. Kebutuhan
manusia
akan
kelangsungan
produktivitas
hidupnya
menyebabkan manusia sebagai aktor utama dibalik terjadinya perubahan penggunaan dan penutupan lahan. Menurut Meyer dan Turner (1994), perubahan penutupan dan penggunaan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Menurut Jayadinata (1992), terdapat
12
nilai-nilai sosial dalam hubungan dengan penggunaan tanah yang dapat berhubungan dengan kebiasaan, sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah, peninggalan kebudayaan, pola tradisional, dan sebagainya. Lebih lanjut Jayadinata (1992) menyatakan bahwa tindakan manusia menunjukkan cara bagaimana manusia atau suatu masyarakat bertindak dalam hubungannya dengan nilai (value) dan cita-cita (ideas) mereka. Nilai dan cita-cita tersebut adalah hasil dari pengalaman manusia dalam perekonomian dan kebudayaan tertentu dan dalam keadaan alam tertentu, dan merupakan pelengkap dari naluri-naluri dasar dalam kehidupan manusia. Tindakan manusia dalam tata guna lahan disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan manusia dalam kehidupan sosial maupun ekonomi. Misalnya kemudahan atau kenyamanan yang sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat, dicerminkan dalam pengaturan lokasi tempat tinggal, tempat bekerja, dan rekreasi. Berkaitan dengan penggunaan lahan, kehidupan kota yang dinamis mengharuskan terjadinya perubahan tata guna lahan dalam rangka pengembangan wilayah kota. Ada perubahan yang paling sering terjadi yaitu konversi lahan konservasi, terutama hutan menjadi area pertanian, permukiman, atau bahkan perdagangan. Kegiatan konversi lahan ini dimaksudkan untuk mendukung tersedianya sarana dan prasarana kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun demikian, perubahan ekosistem yang terjadi sebagai akibat dari perubahan penutupan dan penggunaan lahan
tersebut juga akan mengubah
kemampuan alam dalam mendukung keberadaan manusia diatasnya (De Sherbinin, 2002). Proses perkembangan suatu wilayah yang berkaitan dengan semakin meningkatnya populasi penduduk telah menjadi sebuah masalah global yang perlu mendapat perhatian. Peran ganda manusia sebagai pihak dalam menyebabkan perubahan, sekaligus sebagai pihak yang merasakan pengaruh global dari perubahan tersebut, menekankan pentingnya pemahaman akan interaksi antar manusia dan lingkungan, termasuk didalamnya faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan oleh manusia (De Sherbinin, 2002).
13
2.4.
Kerusakan Lingkungan Sungai di Perkotaan Kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungannya. Antara makluk
hidup dengan lingkungannya selalu terdapat hubungan timbal balik dalam suatu ekosistem, ia dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1987). Kota sebagai suatu bentukan lingkungan hidup dapat dilihat sebagai hasil dari proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia sebagai makluk hidup mempunyai sifat utama yaitu sifat biologis dan budidaya. Kedua sifat ini sangat berpengaruh dalam proses pemanfaatan lingkungan alam untuk menopang kehidupan bersamanya dengan menciptakan lingkungan hidup perkotaan. Penduduk yang berdiam di daerah aliran sungai merupakan faktor penting bagi berhasilnya suatu manajemen daerah aliran sungai yang baik dan sehat. Masyarakat sebagai bagian dari ekosistem daerah aliran sungai berusaha untuk memanfaatkan semua sumberdaya alam yang ada didalamnya. Hasilnya tidak selalu positif dalam arti kata kelestarian, namun kadang-kadang negatif yaitu karena adanya pengurasan sumber daya alam yang ada (Manan, 1984). Dengan semakin bertambahnya kepadatan penduduk di perkotaan dan kurangnya daya resap tanah dan kondisi sampah yang tinggi di sungai, cara-cara pembuangan setempat merupakan hal yang tidak efektif. Air tanah dan air sungai menjadi tercemar dan mengakibatkan polusi terhadap air sumur dan tanah serta air sungai (Atkinson, 1990). Amsyari (1985) menyatakan bahwa pada dasarnya peristiwa pencemaran mempunyai beberapa komponen pokok untuk dapat disebut pencemaran, yaitu : (1) lingkungan yang terkena adalah lingkungan hidup manusia, (2) yang terkena akibat negatif adalah manusianya, (3) di dalam lingkungan tersebut terdapat bahan berbahaya yang yang juga disebakan oleh aktivitas manusia. Menurut Siti Nurisjah dan Aziz, S. (1989), lanskap yang tidak harmonis atau selaras dengan alam lingkungan dan sekitarnya adalah lanskap yang rusak baik secara fisik maupun pemandangan, bahkan beberapa bentukan dan karakter dari lanskap menjadi hilang disebabkan karena penataan awal lingkungan dan lanskap yang tidak dirancang dengan baik atau karena adanya gangguan terutama gangguan fisik terhadap lanskap ini. Pertambahan jumlah penduduk dan teknologi
14
menyebabkan terjadinya perubahan lanskap, hal ini terjadi karena perubahan penggunaan lahan (land use) yang berorientasi terhadap kepentingan manusia yang antara lain digunakan untuk pembangunan, pengadaan pemukiman, sarana dan fasilitas lain yang menunjang kehidupan manusia.
2.5.
Perencanaan Lanskap Menurut Gold (1980), perencanaan lanskap merupakan suatu alat yang
sistematis dan dapat digunakan untuk awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai suatu keadaan tersebut. Nurisjah dan Pramukanto (2008) berpendapat bahwa perencanaan lanskap adalah satu kegiatan utama dalam arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap merupakan kegiatan penataan yang berbasis lahan (land base planning) melalui kegiatan pemecahan masalah dan merupakan proses pengambilan keputusan jangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap yang fungsional, estetik dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan. Menurut Knudson (1980) perencanaan adalah kegiatan mengumpulkan dan
menginterpretasikan
data,
memproyeksikannya
ke
masa
depan,
mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.
2.6.
Revitalisasi Sungai Revitalisasi sungai merupakan suatu usaha untuk mengembalikan fungsi-
fungsi sungai yang meliputi fungsi sebagai saluran eko-drainase, fungsi saluran irigasi, dan fungsi ekologi agar berfungsi sebagaimana mestinya. Revitalisasi sungai merupakan suatu konsep untuk mengkoreksi dari konsep pembangunan sungai sebelumnya (Maryono, 2007). Dalam rangka meminimalisir dampak negatif pembangunan sungai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-20, maka para ahli ekologi-hidraulik mengadakan aktivitas revitalisasi sungai secara besar-besaran (contoh di Jerman, Kanada, Amerika Serikat). Di Indonesia revitalisasi sungai dan eko-hidraulik dewasa ini sudah menjadi konsep baru yang semakin banyak diyakini sebagai
15
konsep yang diperlukan dalam pengelolaan wilayah keairan. Konsep ekohidraulik merupakan suatu konsep pengelolaan sungai yang menfaatkan sungai sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia dan lingkungan secara integral dan berkesinambungan, tanpa menyebabkan kerusakan rezim dan kondisi ekologi sungai yang bersangkutan. Konsep ini akan menjadi pengembangan konsep dalam studi ini. Untuk Indonesia sangat penting kalau masyarakat bisa menjaga kealamihan sungai yang ada, sekaligus mengerem laju pembangunan sungai dan wilayah keairan umumnya yang menggunakan pendekatan rekayasa parsial hidraulik murni tanpa pertimbangan lingkungan ekologi (Maryono, 2007). Berbagai jenis aktivitas dalam revitalisasi sungai telah dilakukan di berbagai tempat seperti di Jerman, Jepang, dan Amerika. Revitalisasi sungai sampai penghujung tahun 2003 belum dapat sepenuhnya menanggulangi dampak negatif akibat dekade pembangunan sebelumnya. Namun secara simultan dilaporkan dapat mengatasi berbagai krisis lingkungan sungai yang sekarang ada. Revitalisasi sungai dilakukan secara selektif, dimulai dari sungai-sungai kecil dan menengah kemudian mengarah ke sungai besar yang dilakukan dengan hati-hati. Masalahnya adalah bahwa dalam revitalisasi sungai diperlukan pemahaman integratif biotik dan abiotik. Kegiatan revitalisasi sungai disini meliputi: (1) meningkatkan daerah retensi sungai baik sungai kecil maupun sungai besar, (2) meningkatkan ruang resistensi bantaran banjir alamiah, (3) mendukung proses dinamik sungai secara alamiah, (4) membelok-belokan sungai yang telah diluruskan, (5) membuka kembali wilayah sungai yang terisolir, (6) menstabilisasi muka air tanah, dan (7) implementasi metode teknik biologi (ekoengineering) dalam pengelolaan sungai (Maryono, 2007). Keterlambatan
revitalisasi
sungai-sungai
yang
telah
mengalami
penyudetan dan pelurusan akan berakibat sangat fatal, karena biaya pemulihan ke kondisi mendekati alur alamiahnya akan memerlukan biaya yang sangat mahal. Biaya tersebut menurut pengalaman negara Jerman dan Jepang terletak pada mahalnya ongkos pembebasan tanah (karena daerah tersebut langsung akan diserbu oleh masyarakat secara ilegal untuk pertanian, industri, perkebunan, dan perumahan), mahalnya biaya pengerukan kembali (karena proses erosi dari daerah sekitar oxbow dan sedimentasi di oxbow berlangsung sangat cepat), alur sungai di
16
bagian hilir akan mengalami sedimentasi secara cepat dan bagian yang diluruskan mengalami erosi intensif. Di samping itu untuk mengadakan revitalisasi semakin lama semakin sulit karena perubahan geografis akan terjadi. Dengan demikian disarankan tidak melakukan sudetan dan pelurusan sungai, karena dampak negatifnya sangat besar. Dana untuk pelurusan dan sudetan dapat digunakan untuk aktivitas reboisasi. Dana untuk reboisasi akan jauh lebih murah dibanding dengan biaya konstruksi sudetan dan pelurusan sungai (Maryono, 2007).