5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanskap Menurut Simond (2006), karakter lanskap alami dapat terbagi kedalam beberapa katagori, seperti pegunungan, danau, ngarai, kolam, bukit pasir, laut, hutan, padang pasir, padang rumput, anak sungai, sungai, rawa, bukit, dan lembah. Karakter lanskap hutan dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan bentukan lahan, pola bebatuan, bentukan air permukaan, dan pola penanaman. Karakter hutan hujan tropis terlihat jelas pada penutupnya yang mayoritas terdiri dari tanaman berkayu berbentuk pohon (Richard, 1966). Hutan hujan tropis merupakan suatu komunitas yang sangat kompleks dengan ciri utama adalah dominan pepohonan dengan berbagai ukuran. Kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya; cahaya kurang dan kelembaban yang lebih tinggi dengan suhu yang rendah (Whitmore, 1998). Dengan demikian, adanya elemen dan pola desain lanskap yang alami tersebut akan menciptakan suasana natural dan iklim mikro yang nyaman pada kawasan Terminal 3.
2.2 Desain Lanskap Desain adalah ilmu dan seni pengorganisasian ruang dan massa dengan mengkomposisikan elemen lanskap alami dan non alami, serta seluruh kegiatan yang ada didalamnya agar tercipta suatu karya tata ruang yang secara fungsi berdaya guna dan secara estetis bernilai indah, sehingga tercapai kepuasan jasmaniah dan rohaniah manusia, serta makhluk hidup lain di dalamnya (Rachman, 1984). Prinsip-prinsip desain menurut Ingles (2004) yaitu : 1. Balance (keseimbangan) Keseimbangan adalah sesuatu yang bagus dilihat. Apabila tidak seimbang akan merasa tidak nyaman dalam penglihatan. Terdapat tiga macam keseimbangan yaitu symmetric (simetris), asymmetric (asimetris) dan proximal/distal. Keseimbangan simetris (symmetric balance) adalah keseimbangan yang dapat dilihat pada taman formal. Sisi yang satu merupakan cerminan sisi lainnya,
6
dengan
kata
lain
bentuk
antara
kanan-kiri,
depan-belakang
sama.
Keseimbangan asimetris (asymmetric balance) merupakan keseimbangan asimetris, secara visual terlihat berat sebelah pada satu sisi atau komposisi di kedua sisi tidak seimbang, tetapi material yang digunakan dapat berbeda dan bermacam-macam. Keseimbangan asimetris lebih berpotensi untuk lebih banyak menarik perhatian pengunjung karena ada dua sisi yang berbeda sehingga dapat lebih dipertunjukkan. Proximal/distal balance adalah keseimbangan asimetris, namun lebih lanjut dapat dilihat dengan penglihatan kedalam. Selain itu, dalam menyeimbangkan hubungan antara kanan/kiri dalam komposisi lanskap, dibutuhkan keseimbangan dekat/jauh. 2. Focalization of interest (pusat perhatian) Segala sesuatu yang didesain dengan baik menjadi ciri sebagai pusat perhatian, yaitu satu tempat dalam komposisi dimana mencuri penglihatan pengunjung untuk pertama kalinya. Focal points (pusat perhatian) dapat diciptakan dengan menggunakan tanaman, elemen keras, elemen arsitektur, warna, pergerakan, tekstur, atau kombinasi dari beberapa fitur tersebut. 3. Symplicity (Simpel) Seperti keseimbangan, simpel juga dimaksudkan agar membuat nyaman untuk dilihat dalam suatu lanskap. Simplicity bukan berarti sederhana, membosankan, atau kurang imajinasi. Namun, prinsip ini untuk menghindari terlalu banyak penggunaan spesies yang beragam, terlalu banyak warna, tekstur, bentuk, kurva, dan sudut dalam area. 4. Rhythm and Line (ritme dan garis) Ketika terjadi pengulangan terhadap sesuatu dalam waktu tertentu dengan standar jarak dan memiliki interval, maka akan terbentuk rhythm (ritme). Garis tercipta ketika material yang berbeda bertemu. Kesatuan dari dua batas suatu material akan membentuk garis pula. 5. Proportion (proporsi) Proporsi terpusat pada hubungan ukuran antara semua fitur lanskap. Termasuk hubungan vertikal dan horizontal.
7
6. Unity (kesatuan) Kesatuan merupakan sesuatu yang paling mudah untuk diukur jika kelima prinsip desain sebelumnya telah dimasukkan ke dalam desain. Sebuah kesatuan desain adalah satu dari banyak bagian yang berkontribusi untuk mengkreasikan desain keseluruhan. Dahl dan Molnar (2003) membuat prinsip-prinsip sebagai kerangka acuan dalam mendesain, yaitu: 1) Must have a purpose, yaitu desain yang dibuat harus memiliki tujuan yang jelas; 2) Design for people, yaitu desain yang dibuat dapat digunakan oleh manusia, sehingga dapat memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Desain yang dibuat dapat berfungsi secara maksimal; 3) Both functional and aesthetic requirements must be met, yaitu Fungsional dan keindahan harus terdapat dalam suatu desain. Kedua faktor tersebut menyatu sehingga menghasilkan desain yang maksimal dan dapat dinikmati oleh pengguna. Lebih lanjut Dahl dan Molnar (2003) menjelaskan proses desain tapak, yang terdiri dari: 1. Survei (Survey) a) Inventarisasi faktor yang berada di dalam tapak, seperti: elemen konstruksi,
sumberdaya
alam,
kekuatan
alam,
dan
persepsi
karakteristik. b) Inventarisasi faktor yang berada di luar tapak, seperti: pola tata guna lahan, system draenase, visual smells and sounds, karakter estetik, utilitas umum di lokasi dan kapasitas jalan untuk sistem transportasi 2. Analisis (Analysis) a) Program kerjasama b) Diagram hubungan c) Analisis tapak 3. Sintesis (Synthesis) a) Konsep desain (Design concept) 4. Perencanaan akhir (Final plan) 5. Bantuan Komputer (Computer support) Proses desain tapak tersebut merupakan proses yang umum dilakukan oleh para perancang lanskap. Desainer lanskap adalah seseorang yang memiliki
8
keahlian dalam merancang dan memiliki background hortikultur, selain itu juga memiliki dasar dalam pemahaman prinsip-prinsip desain, syarat tanaman dan metode konstruksi lanskap (Hannebaum, 2002). Pemilihan materi atau bahan juga merupakan hal penting dalam perancangan lanskap. Perbedaan materi atau bahan yang digunakan tersebut dapat berguna menjadi fungsi-fungsi tertentu. Begitu pula dengan merancang objek, ruang, dan materi harus didesain seefektif mungkin dalam fungsinya (Simond, 2006).
2.3 Lanskap Bandara Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No.11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, bandara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra antar moda transportasi yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan penunjang lainnya yang terdiri atas bandara umum dan bandara khusus, yang selanjutnya bandara umum disebut dengan bandara. Tatanan kebandarudaraan nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antar moda transportasi, kelestarian Iingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya. Bandara seharusnya direncanakan sebagai suatu pintu gerbang, dimana semua kebutuhan dan karakteristik pesawat diakomodasi. Selain itu, transportasi udara perlu dihubungkan dengan pusat industri dan distribusi. Penumpang pesawat serta pintu gerbang tersebut akan dihubungkan ke pusat penduduk dan aktivitas kota dengan akses sirkulasi jalan yang efisien. Dengan demikian, penumpang dapat langsung datang untuk check in dan check baggage, serta meninggalkan bandara dengan mudah (Simond, 2006). Bandara bertanggungjawab atas polusi udara, polusi air, dan polusi tanah, serta polusi suara sebagai akibat dari pengoperasian pesawat dan infrastruktur
9
bandara sehingga muncul sebuah konsep baru yaitu konsep Eco-Airport. Konsep ini berawal dari kesadaran para pengelola bandara di berbagai belahan di dunia agar pro-aktif dalam merespon isu lingkungan hidup dan mengambil kebijakan yang jelas tentang konsep bandara masa depan yang ramah lingkungan. Dengan demikian, konsep tersebut mampu untuk meminimalisir polusi dan efek pemanasan global dari pengoperasian bandara. Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Udara No. 124/IV 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Bandara Udara Ramah Lingkungan (EcoAirport), Bandar Udara Ramah Lingkungan (Ecological Airport/Environmental Friendly Airport selanjutnya disingkat menjadi Eco-airport) adalah bandara yang telah dilakukan pengukuran yang terukur terhadap beberapa komponen yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan untuk menciptakan lingkungan yang sehat di bandara dan sekitarnya. Tujuan diselenggarakannya ecoairport, yaitu: a. mewujudkan bandara yang mempunyai visi global lingkungan hidup; b. melaksanakan pengelolaan bandara yang terpadu, serasi, dan selaras dengan lingkungan sekitar; c. menyelenggarakan
bandara
yang
dapat
mendukung
tercapainya
pembangunan berkelanjutan (sustainable developoment). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan konsep ini adalah membuat bandara yang sehat dan ramah lingkungan. Berdasarkan hasil keputusan dari konferensi ASEAN-Japan Eco-Airport Guidline terdapat beberapa komponen ecoairport
yang harus diperhatikan dalam pengoperasian sarana transportasi
penerbangan, yaitu: 1. Komponen udara Industri penerbangan rentan menghasilkan berbagai polusi seperti, karbon monoksida, nitrogen oksida, dan debu. 2. Komponen tanah Berbagai tumpahan pelumas yang dihasilkan dalam perawatan pesawat dan kendaraan yang dipakai di bandara dapat mengakibatkan polusi tanah.
10
3. Komponen air Polusi air dan kontaminasi sangat berpotensi terjadi pada air tanah, yang merupakan akibat dari penggunaan air dalam jumlah besar untuk pencucian badan pesawat, air minum, toilet, dan lain-lain. 4. Komponen energi Penggunaan enargi listrik, gas, bahan bakar kendaraan, dan pesawat bekontribusi terhadap efek pemanasan. 5. Komponen limbah Sebagai tempat berkumpulnya manusia, bandara seringkali menghasilkan jumlah sampah yang sangat besar. Hal ini penting diperhatikan untuk mewujudkan eco-airport. Salah satu cara untuk mengatasi limbah tersebut, yaitu dengan mengelolanya secara efektif dan efisien. 6. Komponen lingkungan alami Bandara tidak berdiri sendiri dan membutuhkan dukungan alam sekitarnya, sehingga bandara yang bervisi lingkungan seharusnya tidak merusak lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun fisik. Langkah menuju eco-airport yang sesungguhnya harus memperhatikan setiap komponen tersebut. Jika salah satunya terabaikan, maka sistem pengembangan eco-airport akan mengalami kendala karena setiap komponen saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Selain itu, menurut Narita Eco-Airport Master Plan (2010), pembuatan ecoairport memiliki beberapa ruang lingkup yang harus diperhatikan, diantaranya adalah (1) lingkungan lokal; (2) lingkungan global; (3) sumber daya daur ulang; (4) lingkungan alam; (5) lingkungan komunikasi; (6) aktivitas lingkungan pada kantor NAA; dan (7) manajemen lingkungan. Namun, sesuai dengan batasan dalam penelitian ini, aspek yang diperhatikan dalam mendesain eco-airport hanya empat ruang lingkup, yaitu lingkungan lokal, lingkungan global, sumber daya daur ulang, dan lingkungan alam. Dalam ruang lingkup lingkungan lokal, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi dampak kebisingan penerbangan, mengurangi dampak penurunan kualitas udara pada area lokal sekitar bandara, dan mengurangi dampak pencemaran air. Sedangkan, langkah-langkah yang dilakukan pada ruang
11
lingkup global yaitu, mengurangi emisi polutan atmosfer, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mempromosikan pengurangan konsumsi energi. Selanjutnya, tahapan yang dilakukan pada sumber daya daur ulang adalah mempromosikan hemat penggunaan air dan mempromosikan pengurangan limbah, serta daur ulang limbah. Pada lingkungan alam dilakukan tahapan melestarikan alam disekitar bandara dan bekerjasama untuk merevitalisasi pertanian daerah lokal disekitar bandara. Berdasarkan tinjauan aspek utama dalam tahapan penanggulangan tersebut, terdapat tiga hal yang paling penting untuk diperhatikan, yaitu mengurangi emisi polutan atmosfer, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mempromosikan pengurangan limbah, serta daur ulang limbah.
2.4 Bandara Internasional Soekarno-Hatta Bandara Soetta terletak di Cengkareng, Indonesia. Nama
bandara ini
diambil dari nama Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno dan Wakil Presiden, Mohammad Hatta. Pada awalnya Bandara Soetta terdiri dari dua terminal, yaitu Terminal 1 dan 2. Terminal 1 dan 2 dibagi lagi kedalam tiga subterminal. Terminal 1A, 1B, dan 1C digunakan oleh perusahaan penerbangan dalam negeri untuk jalur penerbangan domestik. Terminal 2D dan 2E digunakan untuk jalur penerbangan internasional. Sedangkan, Terminal 2F digunakan oleh perusahaan penerbangan Garuda Indonesia untuk jalur penerbangan domestik. Terminal 1 Bandara Soetta dibangun pada tahun 1985 dan selesai tahapan pembangunan Bandara Soetta fase kedua (Terminal 2) pada tahun 1992. Kedua Terminal tersebut mempunyai desain arsitektur dengan konsep tradisional, yaitu dapat dilihat pada bentukan atap yang beratap genting merah khas arsitektur bangunan joglo. Pada awal tahun 1990-an Bandara Soetta pernah menerima penghargaan internasional Aga Khan Award sebagai the best landscape airport di dunia. Rancangan induk Bandara Soetta yang dibuat Aeroports de Paris ini terdapat sentuhan gaya arsitektur Prancis yang lebih mengutamakan nilai estetika, seperti Bandara Charles de Gaulle. Hal ini memberi cukup ruang bagi pengembangan bandara ini dalam jangka panjang dan kesempatan untuk menciptakan nilai strategis yang sesuai dengan harapan masyarakat. Cara yang dilakukan adalah
12
dengan menyempurnakan hal-hal yang sudah baik dan memperbaiki kekurangan yang ada. Namun, semuanya harus dilakukan dengan mengacu pada rancangan induk secara terpadu. Ciri gubahan masa sebagai bandara lanskap yang ramah lingkungan dan gaya bangunan tradisional Indonesia mempunyai nilai keindahan tersendiri yang sebaiknya dipertahankan. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No.11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional,penggunaan bandara ditetapkan berdasarkan pertimbangan aspek (ayat 1huruf a), yaitu : a. rencana induk nasional bandara; b. pertahanan dan keamanan negara; c. potensi pertumbuhan dan perkembangan pariwisata; d. kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional serta potensi permintaan penumpang dan kargo; e. potensi pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri; f. potensi kondisi geografis; g.aksesibilitas dengan bandar udara intemasional di sekitamya; h. keterkaitan intra dan antar moda; dan i. kepentingan angkutan udara haji. Rencana induk nasional bandara sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 huruf a, ditunjukkan dengan arah kebijakan nasional bandara. Oleh karena itu, dalam pengembangan bandara dengan mendirikan terminal baru harus mengacu terhadap rencana induk nasional bandara. Sementara itu, Bandara Soetta dikelompokkan kedalam hierarki sebagai bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No.11 Tahun 2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, hierarki bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri atas: a. bandara pengumpul (hub); dan b. bandara pengumpan (spoke). Bandara pengumpul adalah bandara yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi. Bandara pengumpul terdiri atas:
13
a. bandara pengumpul dengan skala pelayanan primer, yaitu bandara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah ≥ 5.000.000 (lima juta) orang per tahun; b. bandara pengumpul dengan skala pelayanan sekunder yaitu bandara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan PKN yang melayani penumpang dengan jumlah ≥ 1.000.000 (satu juta) dan < 5.000.000 (lima juta) orang per tahun; dan c. bandara pengumpul dengan skala pelayanan tersier yaitu bandara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan PKN dan PKW terdekat yang melayani penumpang denganjumlah ≥ 500.000 (lima ratus ribu) dan < dari 1.000.000 (satu juta) orang per tahun. Sedangkan, bandara pengumpan adalah bandara yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal; bandara tujuan atau bandara penunjang dari bandara pengumpul; dan bandara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal.
2.5 Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta Pihak pengelola Bandara Soetta sebagai bandara pengumpul dengan pelayanan primer, dalam meningkatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan penumpang perlu melakukan pengembangan fasilitas-fasilitas bandara sesuai kapasitas penumpang per tahun dan sesuai dengan rencana induk bandara. Oleh karena itu, pihak pengelola saat ini sedang melakukan pengembangan bandara dengan membangun terminal baru, yaitu Terminal 3. Pembangunan Terminal 3 ini menjadikan Bandara Soetta memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan, tidak seperti bandara umumnya di Indonesia yang hanya menjadi tempat kedatangan dan singgah sementara untuk menunggu penerbangan. Saat ini di luar negeri, bandara dipandang sebagai pusat aktivitas strategis yang terintegrasi. Bandara dikaitkan dengan berbagai fasilitas dan jasa non-aeronautical seperti, hotel, pusat hiburan, pusat perbelanjaan, kompleks pameran dan konferensi, pusat perdagangan, gedung perkantoran, ruang logistik, dan zona free-trade. Hal ini disebut dengan aerotropolis.
14
Terminal 3 menggunakan konsep bandara yang modern dan ramah lingkungan. Penekanan bandara dengan konsep ekologis diciptakan dengan memperhatikan
hubungan
manusia
dan
lingkungannya,
dengan
tetap
mempertahankan fungsi keamanan, keselamatan dan kenyamanan bandara. Dengan konsep tersebut, maka perlu didukung dengan desain lanskap yang lebih hijau dengan pepohonan yang ditanam disekitar Terminal 3. Fungsi pepohonan tersebut tidak hanya sebagai peneduh atau penghijauan, tetapi juga menjadi bagian penting dari konsep eco-airport dimana manfaat teknisnya adalah meredam kebisingan suara dan menyerap polutan. Menurut (Harris dan Dines, 1995), pendekatan terhadap kontrol suara ada dua, yaitu acoustical planning, dimana potensi masalah kebisingan diminimalkan dalam sebuh desain sebelum pelaksanaan konstruksi dan retrofitting, dimana masalah kebisingan dimitigasi dengan perubahan pembangunan existing. Menurut Yeang (2008), desain ekologis atau ecodesign adalah penggunaan prinsip dan strategi desain ekologis untuk merancang pembangunan lingkungan, serta tata cara hidup manusia agar terintegrasi dengan lingkungan alam,termasuk hingga biosfer, berisi semua bentuk kehidupan yang ada di bumi. Sedangkan, desain berkelanjutan (sustainable design) dapat didefinisikan sebagai desain ekologis, yaitu memastikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengurangi adanya perubahan pada generasi mendatang, termasuk meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dengan integrasi lingkungan manusia dan alam. Tujuan ini harus menjadi dasar dalam mendesain semua lingkungan buatan manusia. Dasar dalam ecodesign adalah kesehatan manusia dan lingkungannya, bergantung pada udara yang dihirup dan air yang diminum, serta kualitas tanah yang tidak terkontaminasi. Dalam beberapa dekade mendatang kelangsungan hidup manusia akan tergantung pada kualitas lingkungan alam dan kemampuan manusia untuk mempertahankan lingkungan tanpa merusaknya. Menjaga kualitas lingkungan di bandara merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat ditolak lagi. Oleh karena itu, melalui eco-airport berbagai masalah atau isu global tentang lingkungan hidup di bandara (seperti gangguan kebisingan dan gangguan getaran, sampah, penurunan keanekaragaman hayati perairan, penurunan kualitas air tanah dan air sungai) secara sistemik dapat dirancang,
15
diimplementasikan, dipantau, dan dikaji ulang oleh pengelola bandara termasuk stakeholder. Siklus ini terus dilakukan untuk perbaikan mutu lingkungan hidup di bandara. Green design atau ecodesign bukan sekedar hanya tentang desain dengan penggunaan energi yang rendah, ecodesign bukan pula sebuah struktur tunggal dengan sistem dan seperangkat teknologi yang bertema ekologis (Yeang, 2008). Namun, tujuan utamanya adalah mengintegrasi dampak lingkungan yang dibangun dengan lingkungan alamnya. Teknologi tersebut dapat menjadi bagian dalam perlengkapan untuk mendesain yang berwawasan ekologis. Sehingga, dalam melakukan perancangan kawasan Terminal 3 harus memperhatikan lanskap sekitarnya untuk mendukung konsep eco-airport. Selain itu, menurut Yeang (2008), basis dari ecodesign adalah konsep ekosistem, yaitu hubungan antara organisme dengan semua aspek dilingkungan sekitarnya, baik biotik maupun abiotik, serta mempertimbangkan pengaruh organisme terhadap lingkungan tersebut. Semua ekosistem dihubungkan dengan aliran energi dan materi. Pada umumnya, ekosistem bekerja secara berkelanjutan dengan input dan output (energi dan materi) yang seimbang tanpa kehilangan nutrisi, situasi tersebut dapat dikatakan sebagai titik keseimbangan yang dinamis. Hutan merupakan contoh ekosistem alami yang bekerja secara berkelanjutan.