TINJAUAN PUSTAKA Teori Inovasi Pertanian Dalam komunikasi pembangunan pertanian, message atau pesannya haruslah berupa teknologi pertanian. Teknologi pertanian adalah segala sesuatu yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian untuk membantu pengembangan pertanian secara umum (Dilla, 2007). Secara umum teknologi (inovasi) pertanian dapat berupa produk (varietas benih), pengetahuan (knowledge) maupun alat dan mesin pertanian. Ketiga jenis teknologi pertanian ini memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga membutuhkan penanganan strategi penyampaiannya kepada petani dengan tahapan dan teknik yang berbeda pula (IRRI, 1998 dalam Dilla, 2007). Menurut Rogers (2003), inovasi adalah gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang, maka ide tersebut adalah inovasi untuk orang tersebut. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. Secara umum, dalam konsep teori difusi inovasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi tingkat adopsi seseorang secara individu, yaitu: (1) Relative advantage (keuntungan relatif), (2) Compatibility (kesesuaian), (3) Complexity (kerumitan), (4) Trialability (kemungkinan dicoba), dan (5) Observability (kemungkinan diamati). Kekurang-ajekan dalam mengukur tingkat kerumitan suatu inovasi, dikritisi oleh Leeuwiss (2004) dengan mengganti indikator tersebut dengan less complexity. Berikut ulasan lebih detil tentang kelima ciri inovasi tersebut. Relative advantage adalah derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan faktor penting. Semakin besar keuntungan relatif inovasi yang dapat dirasakan, tingkat adopsi inovasi juga akan menjadi lebih cepat. Compatibility adalah derajat dimana inovasi dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dilakukan atau konsisten dengan nilai–nilai yang berlaku, pengalamanpengalaman terakhir dan kebutuhan adopter (pengadopsi). Ide yang tidak sesuai
13
14
dengan nilai-nilai dan norma sistem sosial tidak akan diadopsi secara cepat sebagaimana inovasi yang sesuai. Less complexity adalah derajat kemudahan inovasi untuk dipahami dan digunakan. Ide-ide baru yang lebih sederhana untuk dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mengharuskan adopter mengembangkan keahlian dan pemahaman baru. Trialability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dicoba pada keadaan sumber daya yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba pada sebagian tahapan penanaman secara umum akan lebih mudah dan cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat diuji-cobakan dalam skala yang lebih kecil. Observability adalah derajat kemudahan inovasi untuk dilihat dan disaksikan hasilnya oleh orang lain. Kemudahan dalam melihat hasil inovasi oleh seseorang akan memudahkannya dalam mengadopsi inovasi. Difusi Inovasi dan Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Pertanian Teori utama yang mendasari penelitian survai ini adalah teori difusi inovasi Rogers (2003) tentang proses pengambilan keputusan inovasi pertanian, yang beberapa kasus sudah digunakan oleh misi teknik Taiwan di Indonesia yang merupakan suatu konsep dan
fenomena sosial sehingga perlu
merumuskan
hubungan antar konsep yang sudah dibangun dan meneliti saluran-saluran komunikasi dari tahap knowledge, persuation, decision, implementation sampai confirmation. Menurut Rogers (2003) pada kondisi-kondisi awal ada empat peubah yang mempengaruhi,
yaitu
praktek
kegiatan
sebelumnya,
kebutuhan
yang
dirasakan/masalah-masalah yang dihadapi, kebaharuan/ide-ide yang baru, dan norma sistem sosial. Penelitian ini salah satunya akan lebih menekankan pada norma sistem sosial yang menurut pengamatan awal mempunyai pengaruh cukup kuat. Sistem sosial memiliki pengaruh yang cukup penting dalam difusi ide-ide baru. Inovasi dapat diadopsi (adopted) atau ditolak (rejected) oleh seseorang sebagai anggota dari sebuah sistem atau keseluruhan sistem sosial, dimana keputusan adopsi ditentukan oleh keputusan bersama atau oleh kekuasaan. Dari dua hal tersebut, Rogers (2003) membagi keputusan inovasi menjadi tiga jenis, yaitu:
15
1. Optional innovation-decisions. Pilihan untuk mengadopsi atau menolak sebuah inovasi yang dilakukan oleh seseorang secara bebas terhadap keputusan anggota lainnya dalam sebuah sistem sosial. Dalam kasus ini, keputusan individu kemungkinan dipengaruhi oleh norma dan jaringan komunikasi antar
individu. 2. Collective innovation-decisions.
Pilihan untuk mengadopsi atau menolak
sebuah inovasi yang dilakukan oleh konsensus antara anggota sebuah sistem
sosial/kelompok.
Seluruh
unit
dalam
sistem
sosial
biasanya
harus
mengkonfirmasi terhadap keputusan keputusan yang dibuat oleh sistem sosial tersebut.
3. Authority innovation-decisions.
Pilihan untuk mengadopsi atau menolak
sebuah inovasi yang dilakukan oleh beberapa orang yang relatif sedikit dari sebuah sistem yang memiliki kekuasaan, status atau keahlian teknik. Proses keputusan inovasi adalah proses yang dilakukan oleh seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mulai dari pencarian informasi awal dari sebuah inovasi, penentuan sikap terhadap inovasi, pembuatan keputusan keputusan untuk mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, dan konfirmasi terhadap
keputusan yang sudah diambil. diambil. Rogers (2003) menggambarkan bahwa proses keputusan inovasi terjadi dalam lima tahapan (Gambar 1). Saluran-Saluran Komunikasi Kondisi Awal: 1. Kegiatan sebelumnya 2. Kebutuhan yang dirasakan/masalah 3. Kebaharuan ide (innovativeness) 4. Norma sistem sosial
1.Mengadopsi Karakteristik Pengambil Keputusan: • Karakteristik sosial ekonomi • Peubah individu Persepsi mengenai • Perilaku komunikasi karakteristik inovasi:
• • • • •
Melanjutkan adopsi Mengadopsi kemudian Tidak melanjutkan
2.Menolak
Melanjutkan menolak
Relative advantage Compatibility Complexity Trialability Observability
Gambar 1. Tahapan proses keputusan inovasi (Rogers, 2003) Kelima tahapan proses keputusan inovasi
memiliki ciri yang khusus.
Tahap pertama, pengetahuan (knowledge) terjadi pada saat seseorang atau
16
pengambil keputusan lainnya diterpa informasi mengenai keberadaan sebuah inovasi dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Tahap kedua, bujukan (persuation) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya merasakan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap inovasi. Tahap ketiga, keputusan (decisions) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya melakukan kegiatan yang mengarah pada sebuah pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Tahap keempat, penggunaan (implementation) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan lainnya menentukan untuk menggunakan ide baru tersebut. Tahap yang kelima, konfirmasi (confirmation) terjadi pada saat seseorang atau pengambil keputusan mencari penegasan kembali terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat yang kemungkinannya dapat mengubah keputusan yang telah dibuat jika diterpa informasi yang berlawanan terhadap inovasi. Hasil review teori difusi inovasi Roger tersebut menyatakan bahwa dalam proses
introduksi
teknologi,
teori
difusi
inovasi
secara khusus
dapat
mempengaruhinya dalam tiga proses. Pertama, mengingat adopsi merupakan hal yang kompleks, maka proses pembangunan sosial merupakan hal yang pertama harus dilakukan. Kedua, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda berkaitan
dengan
teknologi
yang
dapat
mempengaruhi
proses
adopsi.
Ketiga/terakhir, keberhasilan pelaksanaan adopsi teknologi harus memperhatikan dengan serius berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kognitif, emosi dan konteks. Sumberdaya Manusia Pertanian Sumberdaya Manusia adalah kekayaan lembaga/institusi yang menjadi faktor penentu keberhasilan aktivitas lembaga. Program yang cemerlang atau sarana prasarana yang canggih tidak akan memberikan manfaat yang berarti bagi lembaga
apabila
tidak
didukung
oleh
ketersediaan
SDM
yang
berkualitas. Sebagai manusia, SDM memiliki pikiran, perasaan dan perilaku tertentu yang melandasi motivasi, sikap, loyalitas, pemahaman peran, komitmen, dan kepuasannya dalam bekerja (Istijanto, 2008). Pembangunan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu kesisteman, dengan melibatkan seluruh sumberdaya pembangunan yang ada.
17
Dengan demikian, salah satu subsistem yang terpenting dari
pembangunan
pertanian adalah "manusia pertanian" (SDM pertanian), sebagai pelaku utama pembangunan, yang merupakan motor penggerak sekaligus pelaksana kegiatankegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian dan perdesaan.
Sumberdaya manusia pertanian secara umum terdiri atas aparatur
pemerintah dan masyarakat tani. Termasuk dalam jajaran aparatur pemerintah untuk SDM pertanian adalah dari pengambil kebijakan level menteri sampai kepada petugas lapangan yaitu para penyuluh pertanian. Adapun masyarakat tani adalah petani dan keluarganya (Deptan, 2005). Aparatur pertanian dipandang bukan hanya sebagai tenaga kerja, tetapi sebagai SDM yang menempatkan aparatur pertanian sebagai manusia seutuhnya yaitu mahluk ciptaan Allah SWT yang ditakdirkan menjadi khafilah di bumi ini. SDM adalah konsep manusia sebagai subyek atau pelaku di muka bumi atau manusia
sebagai pemimpin di muka bumi. Dengan konsep ini manusia
diharapkan memiliki ilmu dan bermartabat tinggi. Jadi pada hakekatnya pengembangan SDM termasuk menuntut ilmu adalah diwajibkan bagi setiap manusia manakala ingin menjadi manusia seutuhnya atau subyek di muka bumi ini. Secara garis besar ada dua jenis SDM pertanian yaitu: (1) SDM yang bekerja di sektor pertanian dan (2) aparatur pertanian yang melayani mereka. Aparatur atau SDM pertanian diharapkan dapat menjadi fasilitator, motivator dan dinamisator pembangunan pertanian agar terjadi gerakan pembangunan pertanian oleh petani, pengusaha pertanian dan pedagang pertanian sebagai subyek dalam pembangunan pertanian itu sendiri. Secara status, aparatur pertanian dibedakan menjadi dua. Pertama, aparatur Departemen Pertanian Pusat yang secara hierarkis dan pembinaan karirnya berada langsung di bawah tanggung jawab dan kewenangan Departemen Pertanian. Kedua, aparatur pertanian daerah, yang secara administrasi dan pembinaan karir sepenuhnya tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah. Departemen Pertanian berkewajiban hanya dalam pembinaan kemampuan teknis aparatur pertanian daerah. Sumberdaya manusia pertanian yang unggul berarti selain memiliki kemampuan teknis juga harus memiliki soft skill yang memadai. Sejalan dengan hal tersebut, Departemen Pertanian, menurut Suryana (2005) telah menetapkan
18
misi pembangunan pertanian di antaranya adalah mewujudkan birokrat yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, baik dalam pembinaan maupun perekrutan sumberdaya pertanian Departemen Pertanian sebagai aparatur pemerintah diarahkan tidak hanya pada kecerdasan intelektualitas, namun juga kecerdasan emosional dan spiritual. Pemberdayaan Petani Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas pemberdayaan berarti proses
peningkatan
kontrol
kelompok-kelompok
terhadap
konsekuensi-
konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al., 1984 dalam Melkote, 2002). Di tingkat individu, Rappaport (1987) dalam Melkote (2002) mendefinisikan pemberdayaan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis, hukum legal.” Isu pemberdayaan dalam pembangunan selama ini, lebih banyak diatasi di tingkat individu daripada di tingkat kelompok atau komunitas. Mengingat penyuluh/pemberdaya masyarakat sebagai pelaku utama dalam komunikasi pembangunan harus mampu beradaptasi dengan lingkungan wilayah kerjanya, maka budaya organisasi yang jelas perlu dikembangkan, misalnya menjunjung nilai (value) berkomunikasi secara asertif, dialogis dan konvergen; mengemban tugasnya secara seimbang, adil dan beradab; berpikir/berorientasi global dalam mengelola sumberdaya lokal; hari esok harus lebih baik dari hari ini, dan sebagainya. Pendampingan/penyuluhan/pemberdayaan masyarakat yang berkiprah di dunia usaha, kewirausahaan yang semakin modern tidak terhindar dari tuntutan kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi para pendamping/penyuluh sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan sasaran pendampingan/penyuluhan komunikasi pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan penetapan standar kompetensi bagi seorang penyuluh, agar kinerja penyuluhan dapat diprediksikan arahnya, dijamin kompetensi dan kinerjanya.
19
Kompetensi diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (standar). Pengertian ini sejalan dengan Gilley dan Enggland (1989) yang menyatakan bahwa kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan tugasnya. Spencer dan Spencer (1993) menyatakan bahwa kompetensi itu harus ada “Kriteria Pembanding” (criterion reference) untuk membuktikan bahwa sebuah elemen kompetensi mempengaruhi baik atau buruknya kinerja seseorang. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Kebutuhan kompetensi bagi penyuluh/pemberdaya setidaknya disusun berdasarkan dua hal, yaitu: (1) kebutuhan pembangunan masyarakat, dan (2) kebutuhan kompetensi berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pendamping/ penyuluh/fasilitator pemberdaya masyarakat. Pengertian Kewirausahaan Kewirausahaan adalah usaha kreatif yang dibangun berdasarkan inovasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru, memiliki nilai tambah, memberi manfaat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan hasilnya berguna bagi orang lain (Soegoto,2009). Adapun kewirausahaan menurut instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 1995 adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi atau memperoleh keuntungan lebih besar (Sekneg, 1995). Wira, berarti: utama, gagah, berani, luhur, teladan, ksatria atau pejuang, Swa berarti: sendiri, Sta adalah: berdiri. Kalau digabungkan maka wiraswasta berarti sifat-sifat keberanian, keutamaan dan keteladanan dalam mengambil resiko yang bersumber pada kemampuan diri sendiri. Soesarsono (1996) lebih menekankan pada aspek wira, yang berarti sikap mental ksatria sehingga tercakup sikap mental yang mulia dan agung, serta berbudi luhur. Seseorang yang hanya menekankan pada sikap usaha bisa saja
20
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Namun dengan sikap wira, maka seorang wirausahawan akan melakukan usahanya dengan penuh kehormatan.
Seseorang yang memiliki sikap mental
wirausaha adalah gambaran seorang yang ideal karena kemampuannya mengejawantahkan sikap wira dalam pemenuhan kebutuhan dan kehidupannya. Kewirausahaan sesungguhnya mencakup beberapa unsur penting yang satu dengan lainnya saling terkait dan tidak lepas dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 1. Unsur kognitif (daya pikir) 2. Unsur psikomotorik (keterampilan) 3. Unsur afektif (sikap mental) 4. Unsur intuitif (kewaspadaan). Keberhasilan hanya akan tercapai apabila pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental positif dilebur menjadi satu. Banyak pengusaha menyatakan bahwa keberhasilannya dalam dunia bisnis adalah karena kuatnya daya intuisinya. Satu hal yang tidak dapat diajarkan adalah passion, seperti bagaimana Wayne Huizenga mengendarai truk sampah ketika mengawali bisnis Waste Management (Soesarsono, 1996). (Dinsi, 2004) dalam bukunya Jangan Mau Seumur Hidup Menjadi Orang Gajian, yang mengajarkan
untuk melawan kebiasaan tradisional yang sudah
mapan di dalam pikiran kita serta mengubah paradigma lama yakni setelah kita lulus bekerja sebagai pegawai seumur hidup berubah menjadi paradigma baru yaitu menjadi seorang wirausahawan. Demikian juga Zimmere dan Scarborough (2002) menyebut seorang pencipta kerja atau seorang wirausahawan sebagai seorang pahlawan. Bill Gates, pendiri Microsoft yang menjadi orang terkaya kedua di dunia adalah mahasiswa yang drop out dari Harvard University bahwa dalam banyak hal seorang entrepreneur mengandalkan intuisinya dalam mengambil keputusan, namun bukan berarti pembenaran meninggalkan pendidikan.
Intuisi muncul
berkat tempaan pengalaman, sedangkan salah satu sumber pengalaman adalah pendidikan (Harera & Siadari, 2007). David McClelland dalam Ciputra (2009) berpendapat bahwa suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai entrepreneur sedikitnya dua persen
21
dari jumlah penduduk, contoh negara Singapura tahun 2005 memiliki jumlah entrepreneur 7,2% dari jumlah penduduknya. Pendidikan kewirausahaan memiliki peranan penting dalam mengembangkan karakter positif secara pribadi dan juga menanamkam nilai kebaikan universal dalam masyarakat.
Peranan
tersebut di antaranya adalah: 1. Menstimulasi kompetensi wirausaha, meliputi mengambil inisiatif, menjadi pro-aktif, menghadapi resiko dan implementasi ide. 2. Menstimulasi kompentensi manajemen, meliputi perencanaan, pengambilan keputusan, komunikasi dan mengambil tanggung jawab. 3. Menstimulasi kompetensi sosial, meliputi kerjasama, membangun jejaring, melaksanakan peran baru. 4. Menstimulasi kompetensi perseorangan, meliputi percaya diri, motivasi untuk berprestasi, berpikir kritis dan belajar mandiri. Pada puluhan tahun lalu pendapat yang diyakini adalah bahwa kewirausahaan tidak dapat diajarkan, namun pada dekade terakhir ini kewirausahaan telah diajarkan di sebagian dunia dan seluruh perguruan tinggi dunia.
Pertumbuhan wirausahawan ini membawa peningkatan ekonomi yang
luar biasa, mereka telah memperkaya pasar dengan berbagai produk berupa barang jasa yang kreatif dan inovatif (Saiman, 2009). Pelaku Wirausaha Richard Cantillon (1755) dalam (Harera & Siadari, 2007) yang dianggap sebagai pencetus istilah entrepreneur menyebutkan inti dari kegiatan entrepreneur adalah menanggung resiko. Menurut Cantillon, entrepreneur adalah mereka yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu untuk kemudian menjualnya dengan harga tidak pasti, sambil membuat keputusan-keputusan tentang upaya mencapai dan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya, dan menerima resiko berusaha. Artinya, tidak ada jaminan esok hari akan memperoleh keuntungan. Oleh sebab itu Cantillon mengatakan bahwa entrepreneur adalah a self-emplayed person with uncertain return. Jean-Babtiste (1810) dalam (Harera & Siadari, 2007) menyatakan bahwa entrepreneur
adalah
seorang
koordinator
produksi
dengan
kemampuan
manajerial. Bisa dikatakan sebagai the pivot on which everything turns, pusat dari
22
bergeraknya segala sesuatu. Di tangan seorang entrepreneur, sesuatu yang masih bersifat abstrak, bisa diwujudkan menjadi sesuatu yang dinikmati orang banyak. Scumpeter (1942) dalam Harera dan Siadari (2007) mendefinisikan entrepreneur sebagai seorang innovator yang kreatif . Sebagai seorang yang kreatif mereka dilihat sebagai seorang yang menyimpang secara sosial. Menyimpang karena memilih cara yang berbeda dengan orang kebanyakan, Ketika orang kebanyakan ingin menjadi pekerja di perusahaaan besar, seorang entrepreneur justru memilih mendirikan bisnisnya sendiri. Mereka ingin berkarya dan menghasilkan yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang menyimpang dalam arti positif, a creative innovator (Harera & Siadari, 2007). Menurut Longenecker et al., (2000), entrepreneur adalah seorang yang memulai atau mengoperasikan sebuah bisnis. Menurut Zimmere dan Scarborough (2002), entrepreneur adalah seorang yang menciptakan sebuah bisnis baru dengan mengambil
risiko
dan
ketidakpastian
demi
mencapai
keuntungan
dan
pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumberdaya yang diperlukan untuk mendirikannya. Adapun terminologi kewirausahaan menurut Hisrich, et al., (2008) adalah proses dinamis atas penciptaan tambahan kekayaan. Kekayaan diciptakan oleh individu yang berani mengambil resiko utama dalam hal modal, waktu, dan atau komitmen karier atau menyediakan nilai untuk berbagai barang dan jasa. Secara ringkas, kewirausahaan berarti proses penciptaan sesuatu yang baru serta pengambilan resiko dan imbal hasil. Zimmere dan Scarborough (2002) menjelaskan bahwa bagi seorang wirausahawan, pekerjaan mereka adalah kesenangan. Memang benar bahwa menjadi orang kaya kita memiliki peluang lebih besar untuk hidup bahagia dibandingkan kehidupan dalam kemiskinan. Longenecker et al., (2000) menuturkan bahwa setiap orang tertarik pada wirausahawan karena adanya imbalan yang kuat. Imbalan kewirausahaan dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori: 1. Laba, bebas dari batasan gaji standar untuk pekerjaan yang distandarisasikan. 2. Kebebasan, bebas dari pengawasan dan aturan birokrasi organisasi.
23
3. Kepuasan menjalani hidup, bebas dari rutinitas, kebosanan dan pekerjaan yang tidak menantang. Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran Dari uraian di atas dalam meningkatan kapasitas kewirausahaan petani sayur setidaknya ada tiga syarat keahlihan yaitu: technical skill, social skill, dan managerial skill. Pada pendampingan misi teknik Taiwan di Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing petani di Indonesia, kapasitas kewirausahaan dapat ditumbuhkembangkan dengan peningkatan technical skill dan soft skill petani melalui pola komunikasi kelompok. Pengertian soft skill dalam literatur pembangunan menurut Patrick (1996) dalam bukunya Making College Count, menyebutkan bahwa soft skill dapat dikategorikan ke dalam tujuh area yang disebut Winning Characteristics, yaitu: communication skills (keahlian berkomunikasi), organizational skills (keahlian dalam berorganisasi), leadership (kepemimpinan), logic (logika), effort (daya upaya/karya), group skills (kemampuan berkelompok), dan ethics (etika). Soft skill merupakan kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan.
Soft skills juga dapat didefinisikan sebagai: “a
sociological term for a person's "EQ" (Emotional Intelligence Quotient), which refers to the cluster of personality traits, social graces, communication, ability with language, personal habits, friendliness, and optimism that mark each of us in varying degrees.” (merupakan istilah sosiologi untuk kecerdasan emosional yang berhubungan dengan serangkaian dari sifat kepribadian, keluwesan sosial, komunikasi, kemampuan berbicara, kebiasaan pribadi, keramah-tamahan, dan optimisme yang menandakan diri kita berada dalam derajat yang beragam). Terdapat enam komponen dalam soft skill menurut de Bono (2008), yaitu: (1) Interpersonal skills (keahlian
(keahlian interpersonal) terdiri atas: listening skill
mendengarkan),
assertion
skill
(keahlian
menyatakan),
dan
collaborative problem solving skill (keahlian pemecahan permasalahan secara kerja sama); (2) Team spirit (semangat untuk bekerja sama); (3) Social Grace (keluwesan sosial); (4) Negotiation skill (keahlian bernegosiasi); (5) Business etiquette (etiket bisnis); dan (6) Behavioral traits (sifat perilaku) yang terdiri atas cara berpikir atau sikap, motivasi, dan pengelolaan waktu.
24
Survei dari National Association of College and Employee (NACE), USA (2002), kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP ≥ 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kelompok soft skill berada di prioritas terdepan dari kriteria kualitas penting seorang juara. Oleh karena itu, telah diakui pentingnya soft skill dalam meraih kesuksesan dalam berkarya. Pasar kerja menganggap bahwa sumberdaya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja, tetapi juga piawai dalam aspek soft skill-nya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan di luar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal. Secara garis besar soft skill dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu: intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup: self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill (improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Adapun interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy) dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy). Pengertian technical skill menurut misi teknik Taiwan di Indonesia adalah:
25
1. Mengembangkan hasil pertanian yang berpotensi besar di pasar, mengarahkan pada teknik produksi pertanian modern, memperbaiki kualitas secara menyeluruh, meningkatkan pendapatan petani. 2. Melaksanakan pelatihan anggota kelompok petani, membantu rencana pemasaran, penyimpanan dan distribusi, membuka pasar, baik dalam maupun luar negeri, membina tenaga manajemen dan pemasaran, membentuk sistem produksi dan pemasaran usaha agrobisnis yang efektif. 3. Mendorong komunikasi, saling tukar-menukar
pengalaman teknis dan
penelitian antar daerah produksi holtikultura dan usaha agribisnis. Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran Sifat perkembangan komunikasi pembangunan ialah responsif terhadap pergolakkan. Sifat responsif dan kritis itu, ditunjukkan oleh Rogers (2003) dalam bukunya “Diffusion of Innovations” yang berisi tanggapan-tanggapannya terhadap para pengritiknya dan bukunya mengenai jaringan komunikasi yang lebih mencirikan proses komunikasi yang lebih konvergen dengan mengajukan konsep jaringan komunikasi. Gambaran pergeseran obyek penelitian komunikasi pembangunan dewasa ini menuntut keberagaman model komunikasi pembangunan (tidak hanya bersifat linier, tetapi yang lebih dinamik) dan paradigma penelitiannya, tidak hanya paradigma penelitian positivistik (tradisi sibernetik), tetapi diperkaya dengan paradigma yang lebih konstruktivis (fenomenologi dan kritis). Dengan semangat dan tradisi yang ada dalam perkembangan ilmu komunikasi yang penuh dengan pergolakkan intelektual yang bersifat multi-paradigmatik akan mendorong perkembangan kajian komunikasi pembangunan lebih dinamis (Sarwititi, 2005). Komunikasi memiliki arti proses penerusan faktor-faktor, kepercayaan, sikap, reaksi emosi atau lain-lain pengetahuan antar individu dalam masyarakat. Komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran dapat berupa gagasan, informasi, maupun opini. Adapun perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, maupun keberanian. Komunikasi akan berhasil apabila pikiran disampaikan dengan perasaan yang disadari, sebaliknya
26
komunikasi akan gagal apabila sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak terkontrol. Pikiran bersama perasaan yang akan disampaikan kepada orang lain dinamakan picture in our head. Inti permasalahan dalam hal ini adalah bagaimana caranya agar gambaran dalam benak dan isi kesadaran pada komunikator, yang oleh Lasswell
(1946) dinyatakan sebagai pesan itu harus dapat dimengerti,
diterima, dan bahkan dilakukan atau diterapkan oleh komunikan. Apabila proses komunikasi yang terjadi dalam setiap aktivitas komunikasi tersebut terjadi seperti itu secara terus-menerus, maka kejadian atau peristiwa komunikasi tersebut sebagai pola komunikasi. Seperti yang diungkapkan oleh Vembrianto (1993) yang mengamati komunikasi keluarga. Beliau mengamati bagaimana proses pembentukkan kepribadian anak dipengaruhi oleh corak pendidikan dan hubungan (pola komunikasi)
antara orangtua dan anak. Corak
komunikasi dalam mendidik anak oleh Vembrianto dibagi menjadi tiga pola yaitu: (1) pola menerima-menolak: pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak, (2) pola memiliki-melepaskan; pola ini didasarkan atas seberapa besar sikap protektif orangtua terhadap anak. pola ini bergerak dari sikap orangtua over protektif dan memiliki anak, sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali, (3) pola demokrasi-otokrasi: pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orangtua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga, walaupun masih dalam batas-batas tertentu. Pola komunikasi yang dilakukan orangtua dalam pengasuhan ternyata beragam. Penelitian Budi (2005) misalnya, menjelaskan bahwa pengasuhan anak pada keluarga nelayan di Kabupaten Pekalongan tidak mempunyai kecenderungan untuk menggunakan salah satu jenis pola asuh saja. Orangtua di keluarga nelayan juragan lebih mengarahkan menggunakan pola asuh demokratis, sedangkan untuk keluarga nelayan pekerja dan nelayan pemilik/miskin menggunakan kombinasi bentuk pola asuh demokrasi dan laissez faire. Pola komunikasi keluarga yang dijelaskan oleh McLeon dan Chafee dalam Reardon (1987) terdiri dari pola laisez-faire, protektif, pluralistik dan konsensual. Keempat pola yang disampaikan McLeon dan Chafee ada pada masyarakat tradisional maupun masyarakat industri.
27
Pola komunikasi yang terjadi pada interaksi di dalam keluarga, bisa juga terjadi di interaksi sesama petani dalam suatu kelompok tani. Mulyana (2005) Pola komunikasi dapat dibagi dalam pola komunikasi terbuka dan komunikasi tertutup. Pola komunikasi terbuka lebih memberikan keluwesan pada aturan yang berlaku. Bentuk komunikasinya lebih banyak memberikan
kesempatan
bagi
anggota
kelompok
untuk
menjelaskan
permasalahan yang muncul dan ada banyak peluang bagi sesama petani anggota kelompok untuk mengekspresikan eksistensinya sebagai bagian dari komunikasi yang berlangsung. Pola komunikasi terbuka lebih memungkinkan anggota kelompok untuk dapat melihat masalah, memecahkan atau mengatasinya, karena ada interaksi dalam komunikasi, tentunya dengan memperhatikan norma-norma dan peranan-status dari masing-masing petani di dalam kelompok mereka. Pola
komunikasi
tertutup,
umumnya
membatasi
ruang
untuk
memperbincangkan atau mendiskusikan sesuatu, dan tidak membolehkan debat dengan pengurus atau ketua kelompok, serta harus melakukan apa yang telah ditentukan. Mulyana (2005) menyebutkan bahwa pola komunikasi tertutup ada persamaannya dengan pola otoriter, di mana ketua kelompok cenderung berbicara sedikit dan dominan memainkan otoritas kewenangan yang ada padanya. Lasswell (1946) menyebutkan pola komunikasi tersebut sebagai model komunikasi satu arah. Pola komunikasi dalam mendukung pengembangan kapasitas SDM yang dirumuskan dan diajukan adalah pola komunikasi interaktif yang lebih dekat dengan model komunikasi konvergen (Kincaid, 1979; Rogers & Kincaid, 1981). Kedudukan komunikasi dan komunikator sama-sama pentingnya, kedua belah pihak saling menghargai aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses komunikasi tersebut, sehingga dengan pola tersebut akan menghasilkan komitmen bersama dan sama tingginya. Pola
komunikasi
konvergen
atau
interaktif
dinilai
layak
untuk
dikembangkan dalam proses pengembangan SDM pertanian karena menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran melalui jalur kelembagaan yang telah mapan, didukung dengan bentuk komunikasi yang konvergen (interaktif), baik vertikal maupun horizontal dengan sistem sosial pertanian.
Bentuk
komunikasi interaktif ini, sejalan dan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku
28
dalam bentuk komunikasi konvergen mencakup: 1) Informasi; 2) Adanya ketidakpastian; 3) Konvergensi kepentingan; 4) Saling pengertian; 5) Persamaan tujuan; 6) Tindakan bersama; dan 7) Jaringan hubungan atau relasi sosial. Suatu fenomena komunikasi
seringkali merupakan hal yang abstrak.
Model merupakan representasi suatu fenomena, tapi model bukanlah fenomena. Model merupakan suatu bentuk gambaran untuk mempermudah kita memahami fenomena, yaitu representasi suatu fenomena, baik nyata ataupun abstrak dengan menonjolkan
unsur-unsur
terpenting
dari
fenomena.
Suatu
model
merepresentasikan secara abstrak ciri-ciri penting dan menghilangkan rincian komunikasi yang tidak perlu dalam dunia nyata. Tubbs dan Moss (2005) mempertegas tiga model komunikasi di atas sebagai: pertama, model komunikasi linier yaitu model komunikasi satu arah (one-way view of communication), dimana komunikator memberikan satu stimulus dan komunikan memberikan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi atau interpretasi. Seperti, teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory), asumsiasumsi teori ini menyebutkan bahwa ketika seseorang memersuasi orang lain maka ia “menyuntikan satu ampul” persuasi kepada orang lain itu, sehingga orang lain tersebut melakukan apa yang dikehendaki. Kedua, model komunikasi dua arah (two-way view of communication) adalah komunikasi interaksional (dyadic), merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini, terjadi komunikasi umpan balik (feedback). Ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons balik terhadap pesan dari pengirim (sender). Komunikasi berlangsung dalam proses dua arah, dengan proses peredaran atau perputaran arah yang saling berganti. Pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya. Ketiga, model komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) di antara dua orang atau lebih. Pola komunikasi ini menekankan pada perilaku komunikatif, dan masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi memiliki konteks pesan yang dibawanya dan saling bertukar dalam transaksi.
29
Berkaitan dengan proses komunikasi yang terjadi, terdapat beberapa teori komunikasi yang mendasarinya sesuai dengan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tentang komunikasi sehingga memunculkan banyak model komunikasi seiring dengan ilmuwan yang mengembangkannya. Berikut disajikan beberapa tipologi model komunikasi menurut Rogers dan Kincaid (1981). Pola Komunikasi Linier (Satu arah) Berdasarkan Pola komunikasi linier (Lasswell, 1946) yang saat ini telah berlaku menjadi komunikasi yang lebih partisipatif, unsur komunikasi ada lima yaitu: komunikator (communicator, sender, dan source), pesan (message), media (channel), komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient), dan efek (effect). Dengan demikian, menurut definisi ini, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Komunikasi akan berhasil apabila pikiran disampaikan dengan perasaan yang disadari, sebaliknya komunikasi akan gagal apabila sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak terkontrol.
Pikiran bersama perasaan yang akan
disampaikan kepada orang lain dinamakan picture in our head. Pokok permasalahan di sini adalah bagaimana caranya agar gambaran dalam benak dan isi kesadaran pada komunikator yang oleh Lasswell (Jahi, 1988) dinyatakan sebagai pesan itu dapat dimengerti, diterima, dan bahkan dilakukan atau diterapkan oleh komunikan. Konsep komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Dalam arti sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami,
30
menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan (Gumilar, 2008). Pola Komunikasi Dua Arah (dialogik) Berbeda dengan pola komunikasi linier, yang melihat aktivitas komunikasi sebagai tindakan satu arah, yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang atau lembaga kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) atau melalui media, seperti surat, surat kabar, majalah, radio dan televisi. Komunikasi dianggap suatu proses linear yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima sasaran dari tujuan. Faktanya pola komunikasi yang berlangsung tersebut tidak selalu linier, melainkan dialogik (komunikasi dua arah). Aktivitas komunikasi seperti ini dikenal sebagai interaksi, mensetarakan komunikasi dengan suatu proses sebabakibat atau aksi reaksi, yang arahnya bergantian (Berlo, 1960). Seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua dan begitu seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi tindakan satu arah. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah adanya umpan-balik (feed back), yaitu apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan. Pola Komunikasi Konvergen Berlo (1960) dan Tubbs dan Moss (2005) melihat bahwa perkembangan dari pola komunikasi interaksional di atas tidaklah sesederhana dengan penerapan teori komunikasi stimulus-respons. Aktivitas komunikasi yang berlangsung adalah sebagai transaksi, komunikasi dianggap telah berkembang apabila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Berdasarkan konseptualisasi ini, komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang secara berkesinambungan mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Menurut pandangan ini maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap pihak dianggap sumber sekaligus juga penerima pesan, yang menurut Schramm (1983) dikenal sebagai komunikasi konvergen.
31
Pola konvergensi komunikasi telah dirumuskan oleh Everet M. Rogers dan D. Lawrence Kincaid (1981) dan pada tahun 1999 telah diuji oleh Sumardjo dalam disertasinya bahwa lebih efektif dan efisien dalam sistem penyuluhan pertanian. Oleh karena itu, pola komunikasi konvergen layak ditempatkan sebagai paradigma dominan dalam komunikasi inovasi dalam penyuluhan pertanian. Hal tersebut diduga dapat dipercepat proses dan konvergensinya dalam skala yang lebih luas apabila didukung oleh aplikasi sistem jaringan teknologi informasi yang handal. Secara paradigmatik, model konvergensi komunikasi inovasi tersebut disajikan pada Gambar 2. Dengan Pola konvergensi komunikasi inovasi ini, terjadi keterpaduan antara kebutuhan petani dengan kebutuhan pihak-pihak terkait yaitu peneliti, penyuluhan pemerintah, dan dunia bisnis. Kesinambungan dalam inovasi pertanian tersebut memacu masing-masing pihak untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara proaktif dan antisipatif melalui berbagi pengetahuan (knowledge sharing) yang saling mendukung dan saling memperkuat upaya pemenuhan kebutuhan masing-masing pihak. Dengan demikian terjadi akselerasi dalam penyediaan dan penggunaan inovasi secara efektif dan efisien. Efektif karena yang dibutuhkan dapat dipenuhi, dan efisien karena tidak memerlukan energi yang berlebihan untuk mencari dan memperoleh inovasi yang bermanfaat bagi masing-masing pihak terkait. Konvergensi Komunikasi Sebuah pola komunikasi tidak akan sempurna apabila pola komunikasi tersebut hanya menyarankan analisis dari sebuah pemahaman pesan dari partisipan tunggal.
Komunikasi selalu terjadi secara terus menerus secara
berkesinambungan dan merupakan sebuah proses berbagi informasi secara menguntungkan antara dua atau lebih orang.
32
KENYATAAN PSIKOLOGIS A
Interpretasi A
KENYATAAN FISIK
KENYATAAN PSIKOLOGIS B
Informasi
Persepsi A
Tindakan A
Persepsi B
Interpretasi B
Tindakan B
Tindakan kolektif
Pemahaman A
Nilai percaya A terhadap B
Nilai percaya B terhadap A
Pemahaman B
Konsensus
Pengertian (ber) sama
Realitas di masyarakat (social reality) hasil konsensus A dan B
Gambar 2. Model komunikasi konvergen (Rogers & Kincaid, 1981) Jaringan komunikasi terdiri atas interkoneksi secara individual yang dihubungkan oleh aliran informasi yang terpola. Seperti berbagi informasi dari waktu ke waktu yang membawa individu untuk memusat atau menyimpang dari saling pengertian masing-masing terhadap realitas mereka. Oleh “realitas” kita tidak mengartikan sebagai realitas yang secara fisik berdiri sendiri, bagi individu mungkin tidak memiliki akses langsung, tetapi lebih pada informasi
tentang
33
realitas fisik. Sebuah interaksi individu dengan lingkungannya dimediasi oleh informasi, banyak yang tidak merujuk pada kenyataan fisik tetapi kepada satuan lain dari informasi. Saling pengertian dan persetujuan tentang informasi simbolik yang diciptakan dan dibagikan adalah sebuah prasyarat untuk aktivitas sosial dan kolektif lainnya (Rogers & Kincaid,1981). Meskipun pemahaman bersama adalah tujuan atau fungsi utama komunikasi, namun tidak pernah dapat dicapai dalam pengertian absolut manapun dikarenakan tidak dapat terpisahkan dengan ketidakpastian dari pertukaran informasi.
Beberapa siklus berbagi informasi (information sharing) tentang
sebuah topik mungkin meningkatkan pemahaman bersama, tetapi tidak bisa sempurna. Oleh karena itu, untuk sebagian besar tujuan, pemahaman bersama yang sempurna tidaklah diperlukan.
Umumnya, komunikasi berhenti ketika
sebuah tingkatan dari pemahaman bersama telah dapat dicapai untuk melaksanakan tugas-tugas yang ada.
Sejumlah pemahaman bersama yang
dihasilkan dapat dilukiskan sebagai seperangkat dari dua atau lebih overlapping lingkaran yang merepresentasikan setiap estimasi partisipan terhadap makna lainnnya sebagai overlapping dengan makna aktual lainnya (Gambar 3).
Pemahaman Partisipan A
Pemahaman bersama A & B
Pemahaman Partisipan B
Gambar 3. Model penciptaan dan berbagi informasi dalam proses pemahaman bersama (Kincaid & Schramm 1975 dalam Rogers & Kincaid, 1981) Konvergensi pemahaman dari tiap partisipan terhadap pemahaman dari partisipan lainnya tidak pernah lengkap, tidak pernah sempurna. Kode-kode dan konsep-konsep yang seseorang akan pahami dipelajari melalui pengalaman, sehingga, sistem konseptual yang partisipan gunakan untuk pemahaman hanya dapat mendekati satu sama lain dalam beberapa keterbatasan terhadap kesalahan atau ketidakpastian (Rogers & Kincaid, 1981).
Adapun model dari proses
komunikasi konvergen sebagai siklus dari pertukaran informasi menuju proses pemahaman bersama.
34
Proses komunikasi pada jaringan komunikasi merupakan suatu proses dua arah dan interaktif di antara partisipan-partisipan yang terlibat. Berlo (1960)
menganggap partisipan-partisipan ini sebagai transciever, karena
keduanya mengirim dan menerima pesan-pesan. Jadi tidak hanya menjalankan satu fungsi sebagai penerima atau pengirim pesan belaka. Model konvergensi proses komunikasi yang terjadi dalam jaringan komunikasi dapat dijelaskan sebagai berikut (Berlo, 1960; Rogers & Kincaid, 1981): 1. Satu informasi bisa mengandung beberapa pengertian bergantung pada konteksnya, dan untuk mengambil pengertian tergantung pada “frame of reference.” 2. Terciptanya kesamaan makna akan suatu informasi antar komunikator merupakan tujuan utama berkomunikasi. 3. Hubungan interaktif antar komunikator menggunakan saluran jaringan komunikasi, yaitu saluran untuk menyampaikan pesan dari satu orang kepada orang lain. 4. Proses komunikasi akan terjadi apabila ada kesamaan pengertian terhadap informasi dari
pelaku-pelaku yang berkomunikasi dengan menggunakan
jaringan komunikasi yang menghubungkan individu dengan individu, atau individu dengan kelompok atau proses komunikasi
untuk
menciptakan
kebersamaan, memunculkan “mutual understanding” dan persetujuan yang sama sehingga terbentuk tindakan dan perilaku yang sama (yang melandasi jaringan komunikasi). 5. Rogers dan Kincaid (1981) menjelaskan bahwa analisis jaringan komunikasi adalah metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, dimana data hubungan mengenai arus komunikasi dianalisis menggunakan beberapa tipe hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Tujuan penelitian komunikasi menggunakan analisis jaringan komunikasi adalah untuk memahami gambaran umum mengenai interaksi manusia dalam suatu sistem. 6. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam analisis jaringan komunikasi adalah: (a) mengidentifikasi klik dalam suatu sistem, (b) mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan komunikasi, misalnya sebagai
35
liaisons, bridges dan isolated, dan (c) mengukur berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi, seperti keterhubungan klik, keterbukaan klik, keintegrasian klik, dan sebagainya. 7. Klik dalam jaringan komunikasi adalah bagian dari sistem (sub sistem) dimana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi (Rogers & Kincaid, 1981). 8. Dalam proses difusi, untuk mendapatkan informasi bagi anggota kelompok, dalam jaringan komunikasi terdapat peranan-peranan sebagai berikut (Rogers & Kincaid, 1981): (1) Liaison Officer/LO, yaitu orang yang menghubungkan dua atau lebih kelompok/sub kelompok, akan tetapi LO bukan anggota salah satu kelompok/sub kelompok; (2) Gate keeper, yaitu orang melakukan filtering terhadap informasi yang masuk sebelum dikomunikasikan kepada anggota kelompok/sub kelompok; (3) Bridge, yaitu anggota suatu kelompok/sub kelompok yang berhubungan dengan kelompok/ sub kelompok lainnya; (4) Isolate, yaitu mereka yang tersisih dalam suatu kelompok/sub kelompok; (5) Kosmopolit,
yaitu
seseorang
dalam
kelompok/sub
kelompok
yang
menghubungkan kelompok/sub kelompok dengan kelompok/sub kelompok lainnya atau pihak luar; dan (6) Opinion Leader, yaitu orang yang menjadi pemuka pendapat dalam suatu kelompok/sub kelompok. Pola komunikasi dalam peningkatan kapasitas SDM pertanian dalam konsep sebagai modal manusia dan sosial yang unggul mengacu pada pola komunikasi interaksional konvergen melalui model berbagi pengetahuan (knowledge sharing model). Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi Berlo (1960) mendefinisikan lingkungan sebagai sebuah situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi, yang menurut beliau minimal ada empat faktor lingkungan yang turut mempengaruhi komunikasi di antaranya adalah lingkungan fisik (letak geografis dan jarak), lingkungan sosial budaya (adat istiadat, bahasa, budaya, status sosial), lingkungan psikologis (pertimbangan kejiwaan seseorang ketika menerima pesan) dan lingkungan atau dimensi waktu (musim, suasana pagi, siang dan malam). Lingkungan secara harfiah diartikan
36
sebagai daerah (kawasan) yang termasuk di dalamnya: golongan, kalangan, kelembagaan, masyarakat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan seseorang atau individu berada. Lingkungan berkaitan dengan karakteristik eksternal responden sebagai obyek penelitian. Dalam hal ini, adalah daerah atau kawasan dimana kondisi petani binaan misi teknik Taiwan tinggal dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Faktor lingkungan luar petani ini, selain menyangkut lingkungan sosial ekonomi, juga berkaitan dengan lingkungan fisik (Slamet, 2003). Lingkungan fisik.-- Menurut Rogers (2003) dalam bukunya Diffusion of Innovations lingkungan fisik terdiri dari infrastruktur/sarana komunikasi dan ciri karakteristik inovasi. Pembangunan pertanian saat ini menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk penyediaan input, pemasaran, dan komunikasi inovasi sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup pertanian individual.
Kecenderungan
adanya persaingan yang semakin ketat di pasar dunia menyebabkan hanya petanipetani yang lebih efisien saja yang mampu bertahan. Hal ini menjadi dasar pentingnya sumberdaya pertanian yang berkualitas, khususnya petani sebagai pelaku utama untuk mewujudkan pertanian yang maju dan tangguh. Petani yang berkualitas adalah petani yang memiliki tingkat keberdayaan atau kemandirian yang tinggi. .-- Menurut Soekanto (2004), lingkungan sosial terdiri dari orang-orang baik individu maupun kelompok yang berada di sekitar manusia, yang saling berinteraksi. Tidak saja interaksi dalam tatanan hubungan sosial antar manusia, melainkan juga aspek kelembagaan dan sistem sosial turut mempengaruhi dan mewarnai kehidupan antara manusia tersebut. Pendapat lain menyebutkan bahwa lingkungan sosial tersebut sering dikaitkan dengan lingkungan sosial budaya, maupun sosial ekonomi. Slamet (2003) mendefinisikannya sebagai segala kondisi sosial (ekonomi) budaya yang berada di sekitar lingkungan organisasi yang dapat mempengaruhi perilaku anggota organisasi sebagai hasil interaksi antara organisasi dengan lingkungan sosialnya.
Hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorang, antara kelompokkelompok manusia, maupun antara orang-perorang dengan kelompok manusia.
37
Kelompok tani merupakan sistem sosial, yang terdiri dari kumpulan petani yang secara kelembagaan bergabung untuk berusaha bersama atau bekerjasama, karena memiliki pandangan dan kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama di mana hubungan satu sama lain bersifat luwes, wajar dan kekeluargaan. Kelompok tani sebagai sistem sosial tentu dapat dianalisis seberapa tinggi tingkat kedimanisan.
Misalnya, bagaimana aktivitas kelompok tani tersebut mampu
menanggapi tugas yang timbul karena adanya tantangan lingkungan dan tantangan kebutuhan, termasuk tuntutan meningkatkan produktivitas usahatani, dan cara berusaha atau bermitra usaha, maupun penerapan berwirausaha syariah. Penyuluh/Pendamping/fasilitator pemberdayaan, advokasi atau apapun bentuknya,
disarankan
mengenali
potensi
energi
sosial
ini,
dan
mengembangkannya. Dengan demikian suatu program pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, didukung secara moral oleh masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat, serta memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Program-program pembangunan seperti itulah yang cenderung
mendapat partisipasi masyarakat yang tinggi dan berdampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sumardjo, 2010). Persoalannya adalah bagaimana gagasan mengenai kesejahteraan bersama itu masih melembaga dalam masyarakat. Dalam beberapa kasus sering ditemukan kesenjangan antara gagasan dengan realitas. Dengan semakin terbukanya desa, kadar solidaritas sosial lokal juga semakin menipis. Namun, di antara kondisi seperti itu, perlu digali adanya solidaritas sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kesenjangan antara gagasan dengan realitas, sehingga dapat terjembatani ide-ide (ideas) kemakmuran bersama di antara warga masyarakat, sehingga menjadi persepsi bersama dan menjadi suatu idealisme bersama (ideals). Apabila di dalam masyarakat telah ada sesuatu kondisi yang diidealkan, maka besar peluang untuk mengembangkan solidaritas sosial dan kerjasama di antara masyarakat (friendships), untuk mewujudkan suatu kondisi idaman bersama tadi. Dalam menyongsong era globalisasi dan era lepas landas, setiap bangsa memerlukan SDM yang memiliki keunggulan prima: manusia yang memiliki kualitas tinggi yaitu di samping menguasai iptek juga harus memiliki sikap mental dan soft skill sesuai dengan kompetensinya. Modal sosial yang besar harus dapat
38
diubah menjadi suatu aset yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Ramli (2010) dalam disertasinya melihat model sosial dari aspek solidaritas keluarga miskin di desa penelitian di Kecamatan Mulak Ulu dan Kecamatan Merapi Timur Kabupaten Pagaralam Provinsi Sumatera Selatan, yang menunjukkan rasa kebersamaan tinggi. Kebersamaan dalam membangun solidaritas, mampu mempererat rasa kekeluargaan mereka. Aspek lain yang diamati sebagai ukuran indikator modal sosial adalah kepercayaan, nilai luhur, dan aspek hubungan timbal-balik. Modal sosial, berupa pengetahuan lokal, nilai-nilai lokal dan keterampilan lokal merupakan aspek kunci dalam pengembangan masyarakat dan dalam pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan. Penyuluh atau fasilitator pemberdaya masyarakat adalah salah satu aktor kunci komunikasi pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat secara partisipatif dan berkelanjutan tersebut. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kemandirian dan proses pemberdayaan.
Partisipasi
masyarakat merupakan jaminan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemberdayaan menyebabkannya lebih mampu secara proporsional memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Semakin tinggi wawasan, keterampilan seseorang, maka semakin termotivasi untuk semakin berpartisipasi dalam pembangunan (Sumardjo, 2010). Petani binaan yang terhimpun sebagai anggota kelompok tani, selalu mempunyai external structure atau sociogroup, di samping faktor internal structure atau psyco-group (Rakhmat, 2007). Faktor eksternal yang menjadi fokus amatan pada penelitian ini, berupa faktor lingkungan fisik: infrastruktur/sarana komunikasi dan ciri karakteristik teknologi; dan faktor lingkungan sosial-ekonomi dengan indikator keluarga, kelembagaan, sistem sosial, mitra usaha, berwirausaha syariah, dan indikator kearifan lokal (termasuk di dalamnya unsur-unsur pengetahuan, nilai, belief dan keterampilan lokal).
39
Dinamika Sosial Komunikasi kelompok adalah komunikasi antara dua orang atau lebih orang-orang lain dalam kelompok, berhadapan satu sama lain sehingga memungkinkan terdapatnya kesempatan bagi setiap orang dalam kelompok untuk memberikan tanggapan secara verbal (Saleh, 2010). Robert F. Bales (Saleh, 2010) melihatnya sebagai sejumlah orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan yang bersifat tatap muka, dimana setiap anggota kelompok mendapat kesan atau peningkatan antara satu sama lainnya yang cukup jelas sehingga anggota-anggota kelompok, baik pada saat timbulnya pertanyaan maupun sesudahnya, dapat memberikan tanggapan kepada masing-masing sebagai perorangan. Definisi komunikasi kelompok ini sejalan dengan Muhammad (2009) yang mengatakan bahwa komunikasi kelompok adalah suatu kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama yang lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka. Lebih jauh diungkapkan oleh Saleh (2010) beberapa karakteristik dari komunikasi kelompok kecil yang disarankan diteliti lebih lanjut, antara lain sarana-prasana yang mempermudah pertemuan, suasana ramah tamah, personaliti kelompok, kekompakkan yaitu daya tarik anggota kelompok satu sama lain dan keinginan mereka untuk bersatu, komitmen terhadap tugas, besaran kelompok, norma kelompok, kekohesivan. Kesemua peubah ini memiliki saling ketergantungan satu sama lain. Beebe dan Masterson (1994) melihat proses komunikasi kelompok sebagai komunikasi tatap muka di antara orang-orang yang memiliki tujuan bersama, orang-orang yang merasa menjadi bagian kelompok, dan orang-orang yang ada di dalamnya saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Secara rinci diuraikan Beebe dan Masterson (1994) bahwa: 1. Komunikasi tatap muka sebagai konsekuensi kelompok kecil, maka komunikasi verbal dan non verbal sebagai bagian emosional untuk saling memahami. 2. Pertemuan dengan sebuah tujuan yang dikehendaki/ditetapkan karena adanya tujuan kolektif yang terus dijaga sampai terwujud.
40
3. Perasaan memiliki (bagian) dari kelompok tersebut berimplikasi pada munculnya kepemilikan identitas pada kelompok. 4. Saling mempengaruhi/saling terkait pada tanggungjawab masing-masing anggota sehingga anggota merasa bertanggung jawab atas perencanaan yang disepakati untuk mencapai tujuan. Dalam situasi kelompok terdapat hubungan psikologis, orang-orang yang terikat dalam hubungan psikologis itu tidak selalu berada secara bersama-sama di suatu tempat; mereka dapat saja berpisah, tetapi tetap terikat oleh hubungan psikologis yang menyebabkan mereka berkumpul bersama-sama secara berulangulang. Bentuk-bentuk komunikasi kelompok antara lain : ceramah, diskusi panel, symposium, diskusi forum, seminar, curah pendapat, sumbang saran dan lain-lain (Effendy, 1999). Berdasarkan beberapa pengertian komunikasi kelompok tersebut di atas jenis komunikasi kelompok yang biasa dilaksanakan dan diikuti oleh kelompok tani adalah rapat, pelatihan, pertemuan anggota, kunjungan pembinaan oleh penyuluh atau change agent dan lainnya. Rakhmat (2007) berpendapat bahwa karakteristik komunikasi kelompok meliputi
ukuran
kelompok,
jaringan
kelompok,
kohesi
kelompok
dan
kepemimpinan. Faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara prestasi dan ukuran kelompok ialah tujuan kelompok. Rakhmat (2007) juga mengutip pendapat McDavid dan Harari, yang mengatakan, bahwa apabila tujuan kelompok memerlukan kegiatan yang konvergen (mencapai satu pemecahan yang benar), hanya diperlukan kelompok kecil supaya sangat produktif, terutama bila tugas yang dilakukan hanya membutuhkan sumber, keterampilan dan kemampuan yang terbatas. Apabila tugas memerlukan kegiatan yang divergen (seperti menghasilkan berbagai gagasan kreatif), diperlukan jumlah anggota kelompok yang lebih besar, lebih banyak kepala lebih baik. Kohesi kelompok dapat diukur dari ketertarikan anggota secara interpersonal pada satu sama lain, ketertarikan anggota pada kegiatan dan fungsi kelompok dan sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan personalnya. Menurut Cartwright dan Zander (1968) dalam bukunya “Group Dynamic” terdapat 6 (enam) ciri komunikasi kelompok yang mempengaruhi bentuk komunikasi, yaitu: (1) Banyaknya anggota kelompok; (2) Ekologi kelompok; (3)
41
Status dan kekuasaan dalam kelompok; (4) Kepemimpinan kelompok; (5) Suasana/Iklim kelompok; dan (6) Jaringan komunikasi tradisional. Mangkuprawira (2008) menyatakan bahwa salah satu soft skill penting adalah dalam melakukan komunikasi antar personal. SDM yang piawai dalam melakukan komunikasi antar personal dicirikan oleh kemampuannya dalam mengarahkan, memotivasi, dan bekerjasama secara efektif dengan orang lain. Selain itu mampu memahami pemikiran orang lain dengan jelas. Semuanya berbasis pada kesadaran diri. Jadi orang seperti itu, sebelum mampu memahami orang lain, seharusnya mampu memahami dirinya, perasaannya, keyakinannya, nilai pribadinya, sikap, persepsi tentang lingkungan, dan motivasi untuk memperoleh sesuatu yang patut dikerjakannya. Hal demikian membantunya untuk menerima kenyataan bahwa tiap orang adalah berbeda dalam hal keterampilan dan kemampuan, keyakinan, nilai, dan keinginannya. Dalam hal ini Kris Cole (2005) dalam Mangkuprawira (2008) merinci inti dari keterampilan komunikasi antar personal meliputi: (1) Komunikasi yang jelas. Gagasan cemerlang dan instruksi-instruksi penting dari seorang manajer menjadi percuma kalau tidak dipahami orang lain. Sementara itu lebih dari 75 persen waktu para manajer dialokasikan untuk berkomunikasi dengan orang lain. (2) Asertif dan empati. Manajer bekerja dengan dan atau melalui orang lain. Jadi setiap pernyataannya harus mudah dipahami dan dimengerti orang lain seperti juga dia mampu melihat sesuatu dari pikiran atau pandangan orang lain tersebut. (3) Integritas. Ciri-ciri orang yang memiliki kemampuan dalam komunikasi antar personal biasanya bekerja dengan jujur dan menghargai orang lain, yang berpegang pada etika, dan sistem nilai. Para manajer dengan integritas tinggi melakukan sesuatu sejalan dengan yang mereka katakan. Satunya kata dengan perbuatan, menghindari kecurangan, dan membangun kejujuran. ”Say what they mean and mean what they say.” Para subordinasi umumnya percaya dengan sifat manajer yang mampu bekerja dengan benar dan akan mengikuti apa yang diarahkan oleh manajer tersebut.
42
(4) Mendorong dan memotivasi. Kemampuan manajer dalam mendorong dan memotivasi serta meningkatkan spirit orang lain dalam mencapai hasil terbaik. Sesuatu yang terbaik adalah aset yang tinggi nilainya. (5) Respek pada orang lain. Manajer yang efektif adalah seseorang yang tidak lalai menghormati orang lain dalam hal perasaan, gagasan, aspirasi, dan kontribusi untuk organisasi dan luar organisasi. (6) Mampu sebagai pemain tim dan bekerjasama secara efektif. Manajer efektif adalah seseorang yang mampu bekerja sama dengan orang lain secara kooperatif di dalam organisasi (manajer lainnya, tim kerja, dan departemen lainnya) dan luar organisasi (publik, pemasok, kontraktor, pekerja musiman, dan pelanggan). Manajer di setiap lini pembangunan pertanian perlu memahami mengapa lembaganya harus siap terhadap perubahan: apakah yang bersifat inovatif maupun strategis. Perubahan inovatif adalah perbaikan secara kontinyu di dalam kerangka sumberdaya yang ada. Sementara perubahan strategis adalah perubahan melakukan sesuatu yang baru. Tiap perubahan tersebut tentunya akan menggunakan pendekatan berbeda. Manajer selayaknya proaktif menjelaskan kepada aparatur pertanian tentang strategi perubahan yang akan dijalankan oleh lembaga di setiap lini pembangunan pertanian. Kearifan Lokal dan Kewirausahaan dari Perspektif Ekonomi Syariah Menurut Didin Hafidhuddin dan Tanjung (2003) dalam bukunya ”Manajemen Syariah dalam Praktik“ diperlukan dalam pengembangan usaha menuju perubahan ke arah yang lebih baik, dengan mempraktekkan kaidahkaidah syariah dalam mengelola usaha. Berdasarkan hasil penelitian Idrus (2002)
mereka yang menguasai
Emotional Quotient (EQ) adalah seseorang yang mempunyai 4 (empat) elemen utama yakni kesadaran tentang diri sendiri (self awareness), pengelolaan diri (self management), kesadaran sosial (social awareness) dan kecakapan sosial atau bermasyarakat (social skill). Demikian juga halnya dengan berwirausaha perlunya kecakapan soft skill tidak saja mengandalkan kecerdasan berbasis intelligence quotient (IQ) serta menguasai Emotional Quotient (EQ), tetapi perlu juga perjuangan moral dalam berwirausaha menegakkan nilai-nilai etika
43
berdasarkan syariah dikenal dengan pendekatan spritual quotient (SQ). Dengan kata lain semua dasar-dasar yang digunakan dalam berwirausaha menggunakan tuntunan syariah dengan harapan semua hasil usahanya halalan thoyibah. Dari konsep SQ ternyata diketahui bahwa konponen yang diindikasikan sebagai penentu SQ terdiri dari: (1) kemampuan bersikap fleksibel; (2) memiliki tingkat kesadaran yang tinggi; (3) kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; (4) kemampuan kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit; (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai; (6) keengganan untuk mengalami kerugian yang tidak perlu; (7) kemampuan untuk melihat keterkaitan berbagai hal; (8) memiliki kecenderungan untuk bertanya “mengapa” atau “bagaimana jika” dalam rangka mencari jawaban yang benar; (9) memiliki otonomi, berdasarkan pada komponen tersebut. Kesembilan spesifikasi komponen kecerdasan spiritual ini tersajikan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Spesifikasi skala kecerdasan spiritual Aspek
Indikator
Kemampuan bersikap fleksibel Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
Kemampuan bersilaturahmi Kesadaran adanya Tuhan Cobaan sebagai ujian Kesabaran Ikhlas/Kerelaan Kemampuan untuk menghadapi dan Tawakal melampaui rasa sakit Kualitas hidup yang diilhami oleh visi Hari ini lebih baik dari kemarin dan nilai-nilai Tujuan hidup Keengganan untuk mengalami kerugian Ghibah/membicarakan orang lain yang tidak diperlukan Mengakhirkan waktu shalat/ibadah Keengganan Berkorban Kemampuan untuk melihat keterkaitan Keterkaitan antar makhluk atau kejadian berbagai hal tentang nasib manusia Memiliki kecenderungan untuk bertanya Mencari jawaban atas sesuatu “mengapa” atau “bagaimana jika” Bertanya pada ulama/buku dalam rangka mencari jawaban yang Mengikuti pengajian/kajian agama benar Memiliki Otonomi Berbuat/beramal tanpa tergantung orang lain
Sumber: Idrus (2002) Sistem perekonomonian dunia dewasa ini telah dikuasai oleh kapitalisme dengan neo liberalismenya, hal ini ditandai dengan jatuhnya Uni Soviet dan para pengikutnya penganut paham sosialis dikenal dengan kelompok Eropa Timur. Secara historis konsep perekonomian Indonesia berdasarkan Undang-Undang
44
Dasar 1945 ”pasal 33 ayat 1” perekonomian disusun berdasarkan azas gotongroyong ”pada ayat 3” bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Namun dalam implementasinya pada masa Orde Baru hingga sekarang ruang gerak perekonomian yang dibangun oleh dulunya oleh Drs. Moh Hatta dengan koperasinya tidak bisa berkembang karena harus bersaing dengan dua sistem usaha yang lain yaitu Swasta dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pada praktek sehari-hari tiga sistem usaha di Indonesia ini Swasta mendapat ruang gerak yang sangat besar disusul BUMN dan terakhir koperasi dan UKM hanya sebagai pelengkap berputarnya sistem perekonomian Indonesia. Hal ini karena tidak terlepas dengan sistem perekonomian dunia yang sudah dikuasai oleh sistem kapitalisme dengan neo liberalismenya. Dari wacana tersebut di atas maka kewirausahaan dari perspektif Ekonomi Syariah /pedekatan Spiritual Quotient (SQ) menjadi salah satu sistem yang ditawarkan untuk mampu menjawab tantangan perdagangan bebas dengan globalisasi ekonomi dunia ke depan. Para ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya, sementara itu tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta. Namun, Ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut. Dari beberapa firman, dalil dan Fatwa perekonomian syariah tersebut di atas sebagai dasar pedoman peningkatan technical skill,social skill dan managerial skill kewirausahaan petani di Indonesia, maka diharapkan menjadi pegangan dalam berbagai aktivitas berwirausaha petani di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Di samping itu konsep berwirausaha yang berdasarkan syariah ini juga diharapkan menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah untuk menjawab kegagalan sistem kapitalisme/liberalisme yang telah gagal menyikapi krisis multi dimensi di dunia khususnya di Amerika dan Eropa akhir-akhir ini. Ujung dari sistem kapitalisme/liberalisme adalah lembaga keuangan non syariah atau konvensional yang sepintas menjanjikan kenyamanan, kemapanan, kemudahan
45
serta kesejahteraan. Jalan ini telah meninabobokan kita seolah-olah bangsa Indonesia tak mungkin melepaskan diri dari gurita sistem kelembagaan yang telah mengepung dan memasuki seluruh ruang kehidupan perekonomian kita tidak terkecuali imbas dan dampaknya juga pada pengembangan kewirausahaan yang harus mengikuti sistem konvensional yang sudah lama mengakar pada sistem perkonomian kita. Pada sisi lain tawaran konsep pengembangan dan peningkatan soft skill kewirausahaan syariah ini nampaknya seperti jalan setapak, terjal, penuh bebatuan, berkelok-kelok mendaki dan pasti akan melelahkan bila dijalani. Sistem kewirausahaan syariah diharapkan bisa berkembang tanpa modal yang dipinjam dari sistem perbankan konvensional yaitu dengan bunga bank (riba) tetapi dengan pola kemitraan yang dibangun oleh para pemegang saham dengan filosofi suka sama suka tidak ada kewajiban membayar bunga tetapi keuntungan diraih berdasarkan sistem bagi hasil. Pola kemitraan pengusaha besar membangun yang kecil/petani dan pengusaha tani untuk mandiri dalam berwirausaha sementara waktu dipandang sebagai suatu yang sulit tetapi perlu dicoba sedikit demi sedikit dan berangsurangsur meninggalkan jalan konvensional yang telah lebih dulu mapan. Pilihan sulit ini sebaiknya diambil karena keyakinan terhadap kebenaran syariah Allah SWT, yang selalu dan pasti mengandung maksud untuk kemaslahatan umat manusia dan alam semesta adalah di atas
segalanya. Kalau sekarang belum
dirasakan manfaat ekonominya karena memang belum banyak yang mencoba, namun ada suatu keyakinan yang suatu saat pasti ditemukan hikmahnya. Sebagai ilustrasi pembanding kewirausahaan syariah adalah
pada praktek perbankan
syariah yang awalnya diragukan dan banyak menuai protes dari berbagai kalangan, sekarang telah membuktikan jati dirinya yang berkembang begitu pesat bahkan banyak perbankan konvensional yang sudah besar ikut berkiprah di dunia perbankan syariah tersebut. Tambahan pengalaman pahit dan getirnya perjuangan mengukuhkan eksistensi kelembagaan
keuangan syariah yang begitu sulit di awal, namun
dengan berbagai pengalaman, ketekunan, kearifan dan cakrawala pemikiran telah mengubah paradigma konvensional ke syariah dan akhir-akhir ini tenaga SDM di
46
bidang kelembagaan syariah telah kian memadai, jumlah lembaga keuangan syariah dari tahun ke tahun terus bertambah, kepercayaan dan partisipasi masyarakat juga terus tumbuh dan berkembang. Dari konsep dasar kearifan lokal ala Rasulullah SAW yang berupa dakwah yang merupakan inti dari empat unsur komunikasi yang terkait yaitu source, message, channel, receiver dan effect perlu dikemas bukan sekedar ceramah (penyampaian informasi) karena ceramah hanya bagian kecil dari dakwah. Dakwah yang benar bukan sekedar penyampaian informasi tetapi harus mampu menciptakan perubahan perilaku sosial, dalam arti memberikan effect kepada perubahan sosial yaitu perubahan perilaku masyarakat yang lebih baik. Dalam konsep sebagai pelaku kewirausahaan menurut Nabi Muhammad yang perlu kita teladani adalah: etos kerja yang tinggi, kreativitas yang tinggi, team work yang solid dengan bentuk-bentuk kemitraan yang kompak, perlunya spesialisasi adanya kelompok usaha dan kelompok pendampingan. Salah saru elemen penting dalam konsep model lima tahap proses pengambilan keputusan inovasi adalah norma dari sistem sosial yang salah satunya adalah belief (keyakinan) merupakan ciri karakter petani yang perlu dirubah. Empat sifat-sifat Rasulullah SAW yang perlu mendasari karakteristik petani ke depan adalah: Jujur ucapan dan tindakannya, benar informasinya (siddiq), dapat dipercaya selalu melaksanakan apa yang diamanahkan/diinformasikan sesuai dengan kaidah yang benar (amanah), menyampaikan perintah/informasi dengan benar (tableqh), dan cerdas (fathonah). Kriteria Pelaku Kewirausahaan Petani yang Berkualitas Slamet (2000) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandiriannya,
petani
perlu
diarahkan
agar
dengan
kekuatan
dan
kemampuannya berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti terhadap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan ketergantungan.
Kemandirian justru
menekankan perlunya kerja sama disertai tumbuh dan berkembangnya: aspirasi, kreativitas, keberanian menghadapi resiko, dan prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan.
Aspirasi adalah dinamika untuk
mencapai sesuatu dengan kerja keras atau ulet. Kreativitas adalah kecepatan
47
menemukan pemecahan baru terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Berani menghadapi resiko adalah ciri petani yang rasional dengan ditandai oleh sifat inovatif yang senantiasa mencari peluang untuk meningkatkan kehidupannya dan memiliki kemampuan mengantisipasi masa depannya. untuk bertindak adalah inisiatif
Adapun prakarsa
untuk memulai suatu kegiatan ke arah
tercapainya tujuan. Marzuki (2001) menyatakan bahwa petani yang berdaya adalah yang (1) mampu memahami diri dan potensinya; (2) mampu merencanakan, mengarahkan dirinya sendiri; (3) memiliki kekuatan untuk berunding atau bargaining power; (4) memiliki kemampuan bersanding dan berbanding dengan kelompok masyarakat lainnya; dan (5) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Analog dengan petani yang mandiri, Abbas dalam Soebiyanto (1998) menyebutkan beberapa ciri petani yang memiliki ketangguhan dalam berusahatani, yaitu: (1) mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan efisien; (2) mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan; (3) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksi, serta mampu menciptakan pasar yang menguntungkan produksinya; (4) berperan aktif dalam peningkatan produks; serta (5) mampu menciptakan pasar yang menguntungkan produksinya. Petani yang mandiri menurut Sumardjo (1999) berarti mampu mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya secara cepat, tanpa harus bergantung atau tersubordinasi oleh pihak lain, mampu beradaptasi secara optimal dan inovatif terhadap berbagai perubahan lingkungan fisik dan sosialnya, serta mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam situasi yang saling menguntungkan sehingga terjadi kesalingtergantungan (interdependency).
Petani mandiri juga
dicirikan oleh perilakunya yang efisien dan berdaya saing tinggi.
Berperilaku
efisien berarti berpikir dan bertindak disertai dengan sikap positif dalam menggunakan sarana secara tepat guna atau berdaya guna. Perilaku berdaya saing tinggi artinya dalam berpikir dan bertindak senantiasa disertai sikap berkarya dalam hidup yang berorientasi pada mutu dan kepuasan konsumen atas produk atau jasa yang dihasilkan.
48
Petani yang memiliki kemandirian, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: a. Kapabilitas (kemampuannya) dengan ciri-ciri: kompeten, inovatif, self reliance dan self confidence atau memiliki kepercayaan pada diri sendiri yang besar. b. Interdependence (kehandalannya) yang merujuk pada trust (kepercayaan) dan pengembangan kapabilitas. c. Jaringan kerjasama (kemitraan) yang bersifat egaliter (kesamaan), bersinergi, dan interdependence. Petani memiliki kemandirian apabila petani bertanggung jawab dan mampu melakukan setiap aspek kegiatannya dengan intervensi yang sangat minim dari pihak luar. Kemandirian petani juga berhubungan dengan pembiayaan kegiatan pertaniannya.
Apabila pada awalnya beberapa dukungan pembiayaan atau
material adalah penting, periode selanjutnya membuat petani mampu lebih menghargai bantuan yang diterimanya dengan meningkatkan pendapatan, sehingga mereka akan mampu menginvestasikannya untuk kegiatan usahatani (Songhai Center, 2009). Berkaitan dengan kualitas petani, Suryana (2005) menyatakan bahwa petani yang berkualitas adalah petani yang amanah, yang di antaranya memiliki ciri: a. Tawadhu atau rendah hati, karena mereka menyadari bahwa keberhasilan dalam mengusahakan kebun, mulai dari persiapan, menanam, memelihara, hingga panen, semuanya merupakan pertolongan Allah SWT; b. Senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya dengan cara mengakui dan menyadari bahwa setiap keberhasilan yang diperoleh berasal dari Allah SWT dan mengoptimalkan karunia dan rahmatnya untuk meningkatkan ketaatan kepada-Nya; c. Menyediakan dengan ikhlas sebagian hasil kebunnya untuk fakir miskin, baik dalam bentuk zakat ataupun shodaqoh; d. Menyadari bahwa seluruh aktivitasnya adalah ibadah, bukan semata-mata untuk memenuhi target keluarga ataupun target pemerintah. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah bekerja keras untuk menyongsong rizki karena Allah SWT. e. Sabar menghadapi ujian dalam kehidupannya.
49
f. Tawakal atas hasil dari setiap aktivitas yang telah diusahakan secara maksimal dengan dilandasi keikhlasan dan disertai do’a, karena ia yakin tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi kecuali atas kehendak Allah SWT. Untuk mewujudkan petani yang amanah, diperlukan upaya pembinaan secara terprogram, intensif, dan terus menerus. Seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, berbagai lembaga kemasyarakatan maupun masyarakat sendiri harus terlibat secara aktif dalam mekanisme pola komunikasi yang dialogis. Karakteristik Petani Menurut Herman Subagio (2008) Kualitas petani yang tinggi akan dapat memanfaatkan ketersediaan inovasi dan akses pada informasi menjadi lebih baik. Indikator kualitas individu Petani ditunjukkan oleh karakteristik pribadi petani tersebut yang terdiri dari: tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, pendapatan, kepemilikan aset, kekosmopolitan, pengalaman berusaha, berani mengambil resiko. Kualitas individu petani yang tinggi dapat meningkatkan kapasitas yang dimiliki dan merupakan sumber kekuatan dalam melakukan usaha pertanian yang berhasil. Pengertian karakteristik petani dalam penelitian ini adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani yang membedakan dirinya dengan orang lain. Sesuai dengan tujuan penelitian, indikator dari karakteristik petani adalah tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, pendapatan, kepemilikan aset, kekosmopolitan dan pengalaman.