II. TINJAUAN TEORI DAN PUSTAKA 2.1.
Korupsi dan Perilaku Pencarian Rente (Rent Seeking Behaviour) Kata korupsi berasal dari kata Corruptio (dari bahasa Latin), dari kata
kerja
corrumpere
yang
artinya
dusta,
busuk,
rusak,
menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok. Dalam perkembangannya, kata korupsi mengandung makna dan konotasi yang luas, baik secara ekonomi maupun politik. Tranparency
International
(2005)
mendefinisikan
korupsi
sebagai
penyalahgunaan wewenang di pemerintahan untuk keuntungan pribadi
(the
abuse of public office for private gain). Kekuasaan sebagai alat untuk mengatur negara dan melayani publik telah disalahgunakan untuk keuntungan pribadi. Dalam konteks ekonomi, Shleifer dan Vishny (1993) mendefinisikan : corruption as the sale by government officials of government property for personal gain. Sementara Bardhan (1997) mendefinisikan korupsi sebagai : The use of public office for private gains, where an official (an agent) entrusted with carrying out of task by the public (principal) engages in some sort of malfeasance for private enrichment which is difficult to monitor for the principal. Dengan pengertian korupsi sebagaimana dijelaskan di atas, RoseAckerman (1999) menyimpulkan bahwa perilaku korupsi tidak pernah terpisah dengan entitas pemerintah (government). Krueger (1974) mengidentifikasi bahwa perilaku pencarian rente (rent seeking behaviour) merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh badan pemerintah dengan melakukan berbagai hambatan (restriksi)
melalui regulasi sehingga orang per orang harus bersaing untuk
mendapatkan rente tersebut. Kadang-kadang bentuk persaingan dalam pencarian rente (rent seeking) tersebut sangat legal, tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lainnya, seperti penyuapan, korupsi, penyelundupan, dan pasar gelap. Sementara itu, Stevens (1993) mendefinisikan pencarian rente sebagai usaha dengan menggunakan proses politik (political process)
sedemikian sehingga
mengizinkan perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomi
yang melebihi biaya imbangan (opprotunity cost)-nya.
Dengan pengertian seperti ini korupsi terjadi karena
perilaku pencarian rente
15
dari badan pemerintah dan perusahaan yang berusaha membuat regulasi lewat proses politik sehingga menciptakan peluang untuk melakukan korupsi. Karena sangat luasnya pengertian korupsi, pembatasan pengertian korupsi dalam berbagai konteks akan sangat membantu dalam memfokuskan suatu analisis. Sebagai contoh misalnya dalam konteks politik, Rose-Ackerman mengidentifikasi korupsi menjadi empat bentuk yaitu kleptokrasi, monopoli bilateral,
negara yang didominasi mafia, dan suap kompetitif dengan adanya
kemungkinan spiral. Korupsi dalam bentuk kleptokrasi ditandai oleh korupsi yang terpusat pada puncak pemerintahan. Seorang kleptokrat yang kuat yang menghadapi pelaku swasta yang lemah akan berusaha menguras rente dari masyarakat dan swasta dengan mengorganisasikan aktivitas pencarian rente melalui pengaturan negara. Korupsi dalam bentuk monopoli bilateral ditandai oleh sama besarnya kekuatan antara pemerintah dan swasta, sehingga korupsi dilakukan dengan berbagi keuntungan di antara mereka. Di sisi lain, jika pihak swasta yang kuat berhadapan dengan negara yang lemah, maka akan menimbulkan korupsi dalam bentuk negara yang didominasi oleh mafia swasta. Kasus ini ditandai oleh keadaan bahwa dalam setiap hal kekuasaan swastalah (apakah dalam bentuk perusahaan tunggal atau oligarki yang terjalin kuat) yang mendominasi negara dan yang membeli kerjasama petugas pemerintah. Bentuk terakhir dari korupsi menurut konteks politik adalah
suap kompetitif.
Kasus ini ditandai oleh
sejumlah besar pegawai tingkat rendah berhadapan dengan sejumlah besar warga.
Hal ini disebabkan oleh pengawasan yang lemah terhadap korupsi
dimana pertanggungjawaban umum juga sangat kurang. Hal ini banyak terjadi dalam proses pelayanan umum yang diberikan pemerintah, misalnya dalam proses pembuatan KTP, SIM, dan sejenisnya . Sementara itu dalam konteks ekonomi, Rose-Ackerman (1999) mengelompokkan
perilaku korupsi
badan pemerintah ke dalam
aktifitas-
aktifitas berikut: 1. Pembayaran untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan (Payments that equate supply and demand). Pemerintah seringkali menyediakan barang dan jasa untuk dikonsumsi publik secara gratis atau menjualnya di bawah
16
harga pasar. Maka kadangkala terdapat dua harga barang yang berlaku : harga dari pemerintah yang rendah dan harga yang tinggi pada pasar kompetitif. Hal ini membuat perusahaan yang membutuhkan barang dan jasa tersebut membayar agen pemerintah (menyuap) untuk mendapatkan akses terhadap pasokan barang dengan harga di bawah harga pasar (RoseAckerman, 1999). Besarnya suap merupakan keuntungan bagi agen, dan hal ini tercipta dengan adanya pembentukan keseimbangan dari permintaan dan penawaran yang terjadi.
Contohnya, penyelundupan bahan bakar minyak
(BBM) ke industri atau ke luar negeri. 2. Suap yang diterima agen pemerintah sebagai insentif (Bribes as incentive payments for bureaucrats.)
Mengutip dari literatur yang ditulis Rose-
Ackerman (1999):” Since time is money, firms and individual will pay to avoid delay. In many countries a telephone, a passport, or a driver’s license cannot be obtained expeditiously without a payoff. Sometimes the service is avalaible only to the corrupt, but not to the patient but honest citizen”.
Kwik Kian Gie (2003) melihat perilaku korupsi di Indonesia
dengan pemberian insentif sudah terintegrasi dengan pekerjaan agen pemerintah. Pendapatan resmi (official income) yang rendah menyebabkan para agen pemerintah selalu mengandalkan pendapatan di luar pendapatan resmi. Pemberian insentif merupakan aktivitas yang mendominasi di setiap pelayanan pemerintah. Pengurusan perizinan usaha, IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan berbagai pelayanan administrasi publik di Indonesia, tidak pernah dipisahkan dengan fenomena penyuapan (Indonesian Corruption Watch, 2000; Kuncoro 2002; 2004; 2006; Henderson dan Kuncoro 2004; 2005) 3. Suap yang diterima sebagai cara untuk mengurangi biaya (Bribe to reduce cost) yang terdiri dari manipulasi regulasi dan manipulasi pajak. Pemerintah menetapkan regulasi mengenai tingkat pajak. Industri dan perusahaan wajib membayar biaya tersebut. Maka perilaku korupsi dimulai dari intervensi individu dan swasta dalam rancangan regulasi diikuti dengan manipulasi pajak. Regulasi yang akan ditetapkan akan sangat berpengaruh terhadap dunia usaha. Maka swasta menginginkan regulasi yang terbentuk dan dapat
17
diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan mereka. Dan untuk itu para agen pemerintah sebagai otoritas pembentuk regulasi, dapat menjadikan hal ini sebagai upaya untuk memperkaya diri mereka (Rose-Ackerman,1999). 4. Korupsi pada Pejabat Pemerintahan (Corruption of High-Level Official). George Moody-Stuart (1997) pada “Grand Corruption in Third World Development” menulis : “Grand Corruption” occurs at the highest levels of government and involves major government projects and programs. Pemerintah seringkali memberikan manfaat yang besar bagi swasta dalam memberikan kontrak kerja. Perusahaan kemudian berusaha melakukan suap (bribe) untuk mendapatkan kontrak tersebut. Pemberi suap terbesar terhadap pejabat di pemerintahanlah yang biasanya mendapatkan kontrak tersebut (Rose-Ackerman,1999). Korupsi dalam pemberian kontrak swasta oleh pemerintah terjadi di setiap negara. Bahkan menurut Tranparency International (2005) hal ini juga
terjadi
juga
pada
negara-negara
maju
yang
kredibilitas
pemerintahannya tinggi seperti negara-negara Skandinavia, Singapura, Kanada dan Selandia Baru. Di Paraguay suap yang diberikan oleh perusahaan internasional yang memenangkan kontrak selama rezim presiden Alfredo Stroessnes (1954-1989) mencapai 10-20% dari nilai kontrak. Di Indonesia sendiri pada tahun 1970-an dua perusahaan asal Jerman melaporkan memberi suap sebesar 20% dari nilai kontrak kepada pejabat di perusahaan minyak milik negara (Schwarz,1994). Di Zimbabwe kolusi yang dilakukan antara menteri pos dan telekomunikasi dengan perusahaan telekomunikasi Swedia telah membuat spesifikasi tender hanya dimiliki oleh perusahaan tersebut. Tujuan dari korupsi pada pejabat tinggi (high-official) merupakan aktivitas untuk akumulasi kekayaan para pejabat dan para koleganya. Di Indonesia korupsi jenis ini telah menyebabkan kebocoran uang negara mencapai 30%-50% dari APBN setiap tahunnya (ICW,2000; Rosidi , 2006; Nurdjana, 2005).
18
Bentuk dan makna korupsi yang sangat luas dan kompleks tersebut, membuat makna korupsi masih rancu (ambigu) dan sulit dibedakan.
Sebagai
contoh misalnya perbedaan antara korupsi politik (political coruption) dan korupsi ekonomi (economic corruption) masih belum jelas, khususnya apakah usaha untuk keuntungan pribadi termasuk merancang kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan peluang atau kesempatan agar
tetap bertahan di
pemerintahan merupakan bentuk korupsi politik atau korupsi ekonomi. Hal ini masih jadi perdebatan,
walaupun kemudian bentuk korupsi tersebut dapat
dipandang sebagai korupsi ekonomi politik (political economic corruption). 2.2. Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah : Peranan Politik dan Kelembagaan Perkembangan terkini ilmu pembangunan wilayah mengisyaratkan pentingnya peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE). Hal utama yang melatarbelakangi berkembangnya NIE adalah munculnya masalah yang berkaitan dengan aksi kolektif (collective action),
biaya transaksi (transaction cost), rasionalitas
terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, perubahan teknologi dan perilaku pencarian rente (Vipriyanti, 2007). Hayami
(2001)
menunjukkan
bahwa
untuk
mengeksploitasi
komplementaritas antara modal berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible) dalam memaksimalisasikan pertumbuhan ekonomi wilayah, diperlukan desain institusi/kelembagaan yang tepat.
Jadi
pembangunan
ekonomi (economic development) bukan hanya mencakup ekspansi kuantitatif dalam akumulasi kapital, tetapi juga perubahan pada faktor non kuantitatif seperti kelembagaan (institutions), organisasi (organizations) dan budaya (culture) dimana faktor ekonomi beroperasi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak dapat diwujudkan tanpa mempelajari persyaratan-persyaratan perubahan kelembagaan, organisasi sosial dan politik serta sistem nilai (kultur) masyarakatnya. Teori pembangunan ekonomi wilayah yang mencoba memasukkan faktor institusi/kelembagaan sebagai determinan pembangunan ekonomi wilayah adalah teori
Growth Machine Theory (GMT) dan The New
Institutional
19
Economics (NIE) Theory. Dua teori ini tidak lagi semata melihat peranan kapital (modal) dan teknologi, tetapi lebih melihat peranan politik dan lembaga politik (political institution) dalam pembangunan ekonomi. Karena politisi lokal (local politicians) dan
perencana lokal secara langsung mempengaruhi tingkat
pertumbuhan dan lokasi industri melalui peraturan-peraturan, pajak, penyediaan infrastruktur publik, maka teori pembangunan yang mengabaikan dimensi ini adalah keliru.
Pembangunan ekonomi tidak akan berhasil
kelembagaan politik (political institutions) diabaikan,
jika dimensi
walaupun akumulasi
kapital terus berlangsung. Dua teori ini merupakan kritik yang tajam terhadap teori pertumbuhan neoklasik yang selama ini mengabaikan faktor kelembagaan politik dalam model pembangunan ekonomi suatu wilayah atau kawasan. Teori NIE berusaha memasukkan faktor kelembagaan (institusi) dan perubahan institusi dalam teori pembangunan ekonomi.
Proposisi yang
dikembangkan oleh NIE adalah bahwa perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat didekati melalui perubahan kelembagaan (institutional change) dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivatif) dari mazhab institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwa kelembagaan menjadi kata-kunci penting bagi suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Gagasan ini dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisi bahwa kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan beban biaya ekonomi tinggi yang diperlukan untuk memonitor ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang berinteraksi. North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori perubahan dan adaptasi kelembagaan (institutional adaptation and change) yang berbasiskan pada asumsi-kerja bahwa kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan dan dikembangkan guna menekan dilemma biaya transaksi (transaction cost dilemma) yang selalu hadir pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang semakin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan kapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian dan pertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus
20
meninggi perlu diimbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk menangguk keuntungan-keuntungan jangka pendek (Dawkins, 2003 seperti dikutip oleh Putri dan Dharmawan, 2006). Sementara itu, menurut GMT (negara, daerah)
pertumbuhan ekonomi suatu kawasan
dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata
pengaturan administrasi-politik yang secara operasional mampu membangkitkan keputusan–keputusan dan aturan-aturan yang menentukan (decisive) bagi berkembangnya aktivitas ekonomi kawasan tersebut.
Artinya, kekuatan
organisasi pengaturan politik lokal dapat berfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal. Mesin pertumbuhan yang diperkenalkan oleh teori ini menunjuk pada keberadaan sejumlah organisasi sosial lokal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
Berkembangnya aktivitas
ekonomi juga berarti sebuah dorongan bagi pertumbuhan ekonomi suatu kawasan. 2.3. Keterkaitan antara Korupsi dengan Wilayah:Kajian Teoritis dan Empiris
Pembangunan Ekonomi
Kepustakaan tentang kaitan antara korupsi dan pembangunan diwarnai oleh adanya perbedaan dua pandangan. Pandangan pertama mengatakan bahwa dalam kondisi pajak dan aturan-aturan yang berlebihan dan cenderung menghambat aktivitas ekonomi, penyuapan (bribery) dapat menjadi pelumas (grease) dalam perekonomian, karena dengan suap dapat dihindari hambatan dan lambannya birokrasi. Huntington (1968), misalnya, menyatakan bahwa pajak dan regulasi yang berlebihan akan terus menghambat aktivitas ekonomi, jika tanpa penyuapan. Pandangan ini dikenal dengan istilah hipotesis pelumas efisien (efficient grease hypothesis). Kelemahan pandangan ini terletak pada asumsi yang digunakan yakni bahwa distorsi-distorsi regulasi dapat dimitigasi oleh suap menyuap yang bersifat eksogen. Sejalan dengan pandangan ini,
Lui (1985) dengan model antrian
(queuing model) menunjukkan bahwa korupsi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, karena dengan menyuap perusahaan dapat mempercepat urusan yang
21
terkait dengan lambatnya proses perizinan.
Menurut Lui (1985), penyuapan
dapat menjadi pelumas “mesin” birokrasi yang
lambat.
Model ini juga
mengasumsikan bahwa penyuap dan yang disuap masing-masing berlaku jujur dalam antrian dan tidak ada bencana moral (moral hazard). Beck dan Maher (1986) serta Lien (1986) seperti dikutip oleh Bardhan (1997) menunjukkan bahwa pemenang dari tender selalu perusahaan yang berani memberikan uang sogokan tertinggi dan hanya perusahaan
yang biayanya
paling kecil yang berani memberikan suap paling tinggi. Jadi penyuapan membuat perusahaan menjadi lebih efisien. Tentu saja model ini mengandung kelemahan karena model ini mengasumsikan bahwa agen pemerintah hanya mempertimbangkan besaran uang sogokan saja dalam proses tender, penyuap akan memberikan barang yang sesuai dengan kontrak dan tender tidak dibatasi. Padahal dalam kenyataannya banyak proses tender yang diwarnai oleh unsurunsur nepotisme atau kasus penyuap memberikan barang dan jasa yang dibawah kualitas yang disebut dalam kontrak atau dalam kenyataannya penyuapan digunakan untuk membatasi kompetisi dalam tender (Bardhan,1997). Dalam perkembangannya, pandangan hipotesis pelumas efisien mulai dipertanyakan karena sejumlah asumsi yang digunakan dalam analisis hubungan korupsi dan pembangunan yang digunakan sangat lemah.
Sebagai contoh,
misalnya, asumsi bahwa distorsi-distorsi regulasi dapat dimitigasi oleh suap. Asumsi ini kurang mendapat dukungan yang sahih, karena sering kali distorsidistorsi dalam perekonomian dan penyuapan disebabkan oleh faktor-faktor yang sama.
Bardhan (1997) mengeritik teori hipotesis pelumas efisien dengan
mengatakan bahwa distorsi-distorsi tersebut tidak eksogen terhadap sistem, tetapi merupakan bagian yang built-in dalam praktek-praktek korupsi dari sistem politik yang bercirikan hubungan patron-klien. Karena birokrat memiliki kuasa diskresi (discretionary power) dengan suatu aturan tertentu, aturan–aturan yang menghambat secara endogen dibuat oleh pejabat pemerintah yang korup, sedemikian sehingga mereka menyusun bentuk dan sejumlah hambatan terhadap perusahaan agar mereka dapat memperoleh uang sogokan semaksimal mungkin.
Akibatnya perusahaan yang telah membayar uang sogokan lebih
besar, akan tetap harus membayar
uang suap
yang lebih besar lagi.
22
Berdasarkan argumen ini, penyuapan bukannya menjadi pelumas birokrasi yang bekerja lamban, tetapi segala kelambanan birokrasi tersebut sengaja diciptakan agar
birokrasi mempunyai peluang yang lebih banyak
untuk melakukan
korupsi. Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat. Argumen lain yang menolak hipotesis pelumas efisien diberikan oleh Krueger (1974). Menurut Krueger (1974) penyuapan menjadi masalah ekonomi karena ia terdeteksi sebagai perilaku pencarian rente yang dilakukan oleh entitas pemerintah. Berbagai penyebab yang memberikan pengaruh negatif berawal dari perilaku tersebut di pemerintahan. Perilaku pencarian rente membuat agen pemerintah menggunakan sebagian dari waktu potensial yang dimilikinya untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencari pendapatan tambahan (extra income). Pendapatan tambahan ini semula berfungsi sebagai penutup kekurangan kebutuhan minimum, namun kebanyakan kemudian berkembang menjadi upaya untuk memperkaya diri sendiri. Aspek lain bahwa korupsi berdampak negatif bagi perekonomian adalah karena sifatnya yang rahasia (secretive). Tidak seperti pajak, korupsi adalah melawan hukum dan oleh karenanya selalu menghindari pendeteksian. Uang suap sebagai sebuah kontrak tidak bisa dikuatkan di pengadilan.
Dan ini
membuat peluang bagi yang disuap untuk mengingkari dan minta uang suap lebih tinggi. Beberapa pejabat yang terlibat dalam penyuapan mungkin khawatir dengan masalah reputasi, tetapi kebanyakan dari mereka tidak peduli dengan isu-isu jangka panjang. Oleh karena itulah korupsi berdampak negatif dalam perekonomian (Shleifer dan Vishny, 1993). Penelitian empirik yang dilakukan oleh para ahli di berbagai negara berkembang mendukung argumen bahwa korupsi berdampak negatif terhadap ekonomi dan pembangunan.
Paulo Mauro (1995,1998) mendemonstrasikan
bahwa tingkat korupsi yang tinggi berkorelasi dengan rendahnya pangsa tingkat investasi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Bardhan (1987) menyimpulkan perilaku korupsi di pemerintahan telah menurunkan tingkat pertumbuhan (growth) secara signifikan. Berbagai perilaku korupsi para agen pemerintah seperti suap, penggelapan pajak dan pencurian barang dan jasa pemerintah membuat pendapatan pemerintah (government income) menjadi
23
turun. Bila pendapatan pemerintah turun maka dengan dengan sendirinya belanja pemerintah juga akan turun. Investasi yang dilakukan pun sangat kecil pertumbuhannya, besarnya hambatan birokrasi dengan tingginya biaya birokrasi (cost of bureaucracy) menyebabkan rendahnya tingkat investasi sehingga memberikan efek langsung terhadap pertumbuhan. Hal ini memberikan efek terusan dimana penyerapan tenaga kerja (demand of labour) menjadi berkurang sehingga tingkat pengangguran (unemployment) menjadi naik. Hal ini juga yang menjadi dasar dari kesimpulan Gupta, Davoodi dan Rosa (1998)
yang
menyatakan bahwa perilaku korupsi menyebabkan ketidakmerataan (inequality). Lambsdorff (1999) dengan menelaah hasil-hasil kajian empiris tentang keterikatan korupsi dan pembangunan menemukan bahwa korupsi berkaitan dengan keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh dalam sektor swasta, kualitas kelembagaan, dan kurangnya kompetisi, kemiskinan dan ketidakmerataan. Lebih jauh Lambsdorff menjelaskan bahwa korupsi berdampak buruk pada investasi, GDP, belanja pemerintah, Capital Inflow dan FDI, serta perdagangan internasional. Hill (1999) menunjukkan bahwa kekuasaan yang sentralistik dan korupsi pada era Orde Baru menyebabkan bangsa Indonesia sangat rentan terhadap krisis.
MacIntyre (1999) juga menemukan bahwa
perbankan yang sangat rentan akibat kolusi antara
regulasi keuangan dan
bersama dengan krisis pengelolaan perbankan
bankir–pengusaha–birokrat
merupakan faktor utama
hilangnya kepercayaan investor yang memicu terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Kuncoro (2002) menunjukkan bahwa daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai tingkat suap (bribery) yang tinggi akan dijauhi oleh perusahaanperusahaan baru yang kemudian akan berdampak terhadap menurunnya produktivitas secara agregat.
Henderson dan Kuncoro (2004;2005 ) juga
menemukan bahwa bribery (suap) yang diduga bisa mempercepat pengurusan perizinan di berbagai daerah ternyata tidak berlaku.
Pengusaha yang telah
mengeluarkan “uang tambahan” dalam berurusan dengan birokrasi tetap menghadapi lamban dan lamanya berbagai urusan administrasi dengan birokrat. Bahkan banyaknya perilaku pencarian rente di suatu daerah akan cenderung
24
meningkatkan ketidakpastian (uncertainty) dalam melakukan usaha atau berinvestasi di daerah tersebut (Kuncoro, 2005). World Bank (2006) menemukan bahwa maraknya korupsi dalam bentuk suap menyuap, pungutan liar dan sejenisnya membuat iklim investasi sektor non pertanian di perdesaan menjadi terhambat. Hal tersebut menjadi penyebab rendahnya investasi di suatu daerah (KPPOD,2005). Studi yang di lakukan oleh LPEM FEUI (2003) terhadap hambatan perdagangan antar daerah di Indonesia pada era desentralisasi menunjukkan bahwa pungutan-pungutan dan uang suap yang dibayar oleh perusahaan kepada birokrat baik yang terkait dengan proses produksi
dan
pengangkutan
(bahan
baku
dan
produk)
menyebabkan
meningkatnya biaya produksi dan biaya transportasi barang antar daerah meningkat. Akibatnya barang tersebut menjadi lebih mahal ketika sampai ke tangan konsumen. menurun.
Harga yang mahal membuat kesejahteraan konsumen
Biaya transportasi yang meningkat akibat pungutan liar dan
penyuapan menyebabkan produk yang dihasilkan di suatu daerah menjadi tidak kompetitif di pasar tujuan. 2.4. Keterkaitan Korupsi dengan Faktor Budaya : Kajian Empiris Secara faktual nilai-nilai budaya mempunyai pengaruh yang signifikan pada praktek-praktek bisnis di berbagai negara (Hofstede, 1997 dalam Husted, 1999).
Fenomena penyuapan yang melibatkan interaksi antara dua pihak yakni
penyuap dan yang disuap
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang
inheren ada dalam diri penyuap dan yang disuap, serta lingkungan budaya dimana penyuapan muncul
(Husted, 1999).
Oleh karena itu, di samping
ditentukan oleh faktor sosial ekonomi, penyuapan
juga ditentukan oleh faktor
budaya. Myrdal (1970) mengidentifikasi bahwa warisan budaya feodal kerajaankerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client, dimana rakyat biasa atau bawahan berkewajiban memberi upeti,
kemudian berkembang
menjadi suap (uang sogokan) kepada pemegang kekuasaan atau atasan. Tumbuh suburnya perilaku suap-menyuap juga terkait dengan warisan kondisi historis kultural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan oleh penjajah (Alatas dalam Damanhuri, 2006).
Rose-Ackerman (1999) menulis
25
bahwa korupsi merupakan masalah multidimensional yang telah menjadi kultur. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku suap, hubungan patronase, pemberian hadiah yang telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat. Lamsdorff (1999) menunjukkan bahwa kualitas kelembagaan/institusi, sistem penggajian pejabat pemerintah warisan penjajah,
gender dan faktor
kultural yang tercermin dalam kapital sosial merupakan faktor penyebab korupsi. Triesman (2000) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tradisi Protestan dan mewarisi perangkat hukum Inggris memiliki tingkat korupsi yang rendah . Husted (1999) dan Sanyal (2005) menunjukkan bahwa faktor-faktor budaya, di samping faktor-faktor ekonomi mempengaruhi derajat korupsi di suatu negara.
Faktor-faktor budaya yang menurut Husted dan Sanyal yang
menjadi determinan korupsi antara lain (1) power distance ; (2) Individualism ; (3) Masculinity-Feminity ; (4) Uncertainty Avoidance ;(5) Confucian Dynamism. Power distance mengacu pada
hanya sedikit anggota suatu institusi yang
powerful dan organisasi-organisasi di suatu negara berharap dan menerima bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Faktor Power distance ini menghasilkan sistem paternalistik (paternalistic system) yang merupakan ruang subur bagi korupsi karena unsur favoritism dan nepotism. Individualism mengacu pada pengambilan keputusan lebih ditentukan secara individual.
persoalan hidup
Menurut Husted (1999) suatu masyarakat
yang tingkat individualism rendah, akan mengalami tingkat korupsi yang lebih tinggi.
Sementara masculinity mengacu pada dominannya laki-laki dalam
kehidupan masyarakat. Makin besar tingkat masculinity, maka makin besar tingkat korupsi.
Husted (1999) juga mencatat bahwa negara yang mempunyai
karakter kuat sebagai penghindar resiko, cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi. Mas’oed (1994) dalam Dwiyanto, et al (2006) menyatakan bahwa faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi.
Faktor kultural tersebut antara lain, perilaku
feodalistik yang menghinggapi birokrasi di Indonesia. Perilaku feodalistik membawa berbagai konsekuensi yakni tidak adanya akuntabilitas, karena pertanggungjawaban hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya, etos kerja yang
26
hanya berorientasi kepada petunjuk pimpinan, tumbuhnya citra (image) bahwa pimpinan selalu benar, pimpinan tidak dapat disalahkan dan sebagainya . Dwiyanto, et al (2006) menemukan bahwa pengaruh budaya Jawa yang sangat kuat dalam sejarah terbentuknya birokrasi di Indonesia
dari zaman
kolonial sampai saat ini ikut memberikan ruang yang subur bagi korupsi. Budaya Jawa yang mempercayai bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak dapat dibagi dan merupakan wahyu dari Tuhan, sehingga dalam terminologi politik Jawa tidak pernah dikenal konsep akuntabilitas publik. Hal tersebut merupakan ruang subur bagi tumbuhnya perilaku korup di lingkungan birokrasi. Faktor budaya lain yang berperan penting dalam tumbuh suburnya korupsi adalah budaya paternalistik yang terus terpelihara dalam birokrasi di Indonesia (Dwiyanto, et al, 2006). Budaya agraris yang masih dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat dan menghindari konflik, menghindari kritik terhadap pimpinan (atasan),
dan enggan menuntut
haknya atas perlakuan aparat
pemerintah yang merugikan kepentingannya juga menjadi kurang kondusif bagi prinsip-prinsip penadbiran baik (good governance). Hal ini akan berimplikasi pada terbukanya peluang agen pemerintah untuk melakukan korupsi. Sementara itu, Simanjuntak (2005) mengidentifikasi bahwa budaya patrimonial yang hidup subur dibanyak daerah merupakan lahan subur tumbuhnya korupsi.
Budaya paternalistik dan patrimonial tersebut tidak
memberikan iklim yang bersahabat pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Simanjuntak (2005) juga mengidentifikasi bahwa primordialisme yang berkombinasi dengan konstruksi birokrasi lama yang dibanyak daerah masih tetap kokoh, terutama di daerah,
di mana dana-dana pembangunannya
sepenuhnya berasal dari APBD atau bahkan APBN merupakan lahan subur tumbuhnya korupsi saat ini. Melihat perkembangan studi yang mencoba mengaitkan korupsi dan budaya, tampaknya belum banyak studi yang secara khusus melihat bagaimana mekanisme faktor budaya tersebut berinteraksi dalam proses pembangunan sehingga menimbulkan korupsi. Dalam studi ini, kaitan antara budaya dan korupsi dilihat melalui mekanisme faktor budaya dalam mempengaruhi respons
27
pemerintah, masyarakat dan perusahaan dalam menanggapi proses pembuatan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi. Persoalan lain yang perlu dianalisis adalah apakah korupsi sudah membudaya ataukah pernyataan bahwa korupsi sudah membudaya merupakan justifikasi (rasionalisasi) tindakan korupsi dengan memanfaatkan budaya. Mereka yang mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya, karena melihat bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan dan meluas
dalam praktek bernegara
dan berbangsa serta dalam keseharian kehidupan masyarakat. Memang sebagaimana yang dikatakan oleh Bourdieu dalam Sutrisno dan Putranto (2007) bahwa kebiasaan sebagai sesuatu yang penting untuk mengkaji kebudayaan. Menurut Bourdieu kebiasaan merupakan kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup), sebagai motivasi preferensi, cita rasa dan perasaan (emosi) dan sebagai perilaku yang mendarah daging. Sementara itu, Sigmund Freud (1961) dalam bukunya Civilizations and Its Discontents bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh alam sadar dan alam tidak sadar yang tersembunyi. Kedua alam tersebut saling berinteraksi. Yang ada bersama dalam dua alam tersebut adalah id, ego dan superego. Id adalah naluri-naluri primitif yang menuntut pemuasan selekasnya yang terdiri dari naluri untuk hidup dan naluri untuk mati. Ego senantiasa menjaga kestabilan diri manusia dan bersifat adaptif terhadap kenyataan dan ego merupakan wadah bagi rasio dan akal sehat. Sementara superego merupakan wadah suara hati dan moralitas yang keduanya diturunkan dari masyarakat, khususnya dari sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua. Berdasarkan uraian tersebut, patut untuk dikemukakan
pendapat
Koentjaraningrat (2007) yang memberikan kriteria bahwa sesuatu dikatakan telah menjadi nilai budaya (cultural value) jika sesuatu tersebut dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang penting dan berharga dalam hidupnya. Dalam tataran empiris, untuk mengarah kepada jawaban dari pertanyaan di
atas,
dapat
dilakukan dengan
mengelaborasi dan mengevaluasi apakah orang yang melakukan korupsi tidak malu lagi melakukan korupsi, karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan
28
hati nurani serta moralitas sebagian besar masyarakat menilai korupsi bukan sesuatu yang memalukan. Priyono dalam Sutrisno dan Putranto (2007) mengatakan bahwa budayalah yang digunakan sebagai alasan karena beberapa budaya yang jauh dari penadbiran baik (good governance) merupakan patologi yang merusak tatanan ekonomi politik sehingga mempengaruhi peluang terjadinya korupsi. Jadi, secara sederhana budaya dimanfaatkan sebagai justifikasi (rasionalisasi) melakukan tindakan korupsi. 2.5. Berbagai Pendekatan (Model) yang Digunakan dalam Mengkaji Keterkaitan Korupsi dengan Pembangunan Ekonomi Secara umum pendekatan yang digunakan untuk mengkaji kaitan korupsi dengan pembangunan ekonomi dan faktor budaya dikelompokkan menjadi dua yakni penelitian yang bersifat teoritis dan penelitian yang bersifat empiris. Kebanyakan penelitian yang bersifat teoritis membangun model perilaku korupsi pada tingkatan mikro yakni pada level individu.
Biasanya perilaku korupsi
didasarkan pada riset yang dilakukan kepada para agen pemerintah. Sementara studi yang bersifat empiris lebih banyak mengkaji korupsi pada tingkatan antar negara (Chakrabarti, 2001). Penelitian yang bersifat teoritis dipelopori oleh Krueger (1974) dan RoseAckerman (1975) yang mencoba memahami fenomena korupsi dan perilaku pencarian rente. Studi tersebut merupakan awal dari penelitian mengenai perilaku korupsi.
Model teoritis berikutnya
diperkenalkan oleh Edward
Banfield (1975) yang kemudian dikenal sebagai Banfield Model. Pada model ini, perilaku korupsi digambarkan pada sebuah binary choice, yaitu antara melakukan korupsi atau tidak. Kemudian konsekuensi yang dihasilkan dari keputusan yang dipilih. Model berikutnya yang mencoba melihat interaksi antara agen pemerintah dengan individu masyarakat/institusi dalam teori permainan (game theory) adalah Correa Model. Model ini didasarkan pada studi yang dilakukan Hector Correa (2001). Correa Model menggambarkan berbagai kemungkinan dari interaksi antara pemerintah dengan individu/institusi, baik secara legal maupun illegal
dengan menggunakan konsep teori permainan. Correa
29
menggambarkan berbagai konsekuensi dari setiap interaksi ini. Model ini lebih lengkap dari model-model korupsi sebelumnya, karena menjelaskan korelasi dengan masyarakat/sosial. Model-model teoritis yang diuraikan
sebelumnya memang berhasil
menjelaskan perilaku korupsi individu, tetapi belum memasukkan faktor-faktor sosio-kultural sebagai penyebab perilaku korupsi tersebut.
Kajian terhadap
penyebab dan akibat korupsi lebih banyak menggunakan pendekatan studi empiris ketika mulai tersedia data persepsi korupsi antar negara beberapa tahun terakhir ini.
Oleh karena itu analisis yang digunakan biasanya menggunakan
analisis perbandingan antara negara dan berkisar pada analisis regresi dan korelasi. Dengan menggunakan analisis korelasi dan regresi Husted (1999) dan Sanyal (2005) mengkaji keterkaitan korupsi dengan faktor ekonomi dan faktor budaya. Sementara itu studi empiris lainnya yang dikembangkan oleh Kuncoro (2004,2006) serta Henderson dan Kuncoro (2004,2006) mencoba mengkaji fenomena korupsi pasca desentralisasi di Indonesia pada tingkat lokal (kabupaten/kota) dengan menggunakan pendekatan survei lapangan.
Survei
dilakukan dengan menanyakan besarnya biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan ketika berhubungan dengan agen pemerintah untuk mengurus administrasi yang berkenaan dengan perizinan, pajak, retribusi dan sebagainya. Dengan menggunakan pendekatan model mikro perusahaan dalam merespons regulasi yang diberikan oleh agen pemerintah, data survei tersebut digunakan untuk mengestimasi keterkaitan antara penyuapan dengan beberapa variabel seperti besarnya pajak, banyaknya retribusi baru dan berbagai aturan baru sejak desentralisasi. Metode estimasinya menggunakan pendekatan model regresi. Kaitan antara mikro dan makro yakni makro model dari korupsi dengan fondasi mikro model yang kuat coba dikembangkan oleh Chakrabarti (2001). Chakrabarti mengembangkan model yang berusaha melengkapi model yang sudah dikembangkan sebelumnya, yakni dengan menghubungkan studi perilaku korupsi individu dengan perilaku korupsi secara makro antar negara yang selama ini masih merupakan hubungan yang hilang (missing link).
Modelnya
dikenal dengan nama ”Agent Based Model of Corruption” yang menggunakan
30
pendekatan model keseimbangan umum (general equilibrium model). Modelnya terdiri dari static model dan multi-period model. Model Chakarbarti (2002) di rumuskan dalam bentuk persamaan berikut : pi =
1______
(2.1)
2 bi γ2 ki S(1-q) Dari persamaan (2.1) tersebut dapat diketahui bahwa tingkat korupsi individu (dishonesty index, Pi) akan berkurang dengan tingkat penghindaran resiko (bi ), tingkat resiko yang mereka hadapi dari aksi pemberantasan korupsi (γ ), tingkat human capital (ki), kualitas dari social institution (S). Tingkat korupsi individu makin tinggi dengan makin meningkatnya level korupsi secara sosial. Agent Based Model yang dikembangkan oleh Chakrabarti (2001) memang telah berhasil menjelaskan perilaku korupsi dengan lebih baik dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Tetapi model ini sebagaimana juga disadari oleh Chakrabarti belum mampu menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku pengambilan resiko (risk taking) seorang agen dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas institusi. Chakrabarti (2001) juga belum mampu menjelaskan bagaimana faktor-faktor sosio kultural tersebut mempengaruhi perilaku risk taking dan institusi. Secara eksplisit Chakrabarti menyebut bahwa sejarah dan bentuk serta sistem hukum akan mempengaruhi rasio sosial kapital/kualitas institusi (S) terhadap human kapital (K). 2.6. Keterkaitan antara Korupsi dengan Perumusan Regulasi : Tinjauan Teori dan Model-Model Ekonomi Politik dalam Kebijakan Publik Studi-studi terdahulu menyimpulkan bahwa terjadinya korupsi tidak dapat dipisahkan dari proses pelaksanaan regulasi. Johnson, et al (1998) menemukan bahwa negara dengan banyak regulasi cenderung mempunyai tingkat korupsi yang lebih tinggi dan
banyak menumbuhkan aktivitas ekonomi yang tidak
tercatat (unofficial economy activity). SMERU (1999) misalnya yang mencoba menganalisis pengaruh regulasi perdagangan di daerah terhadap perekonomian daerah tersebut menemukan bahwa banyak regulasi/kebijakan yang menyangkut pajak, retribusi dan halangan-halangan dalam tarif dan tata niaga perdagangan untuk melindungi kepentingan usaha atau dagang kelompok yang menyuap
31
birokrat pemerintah daerah tersebut. Dalam hal ini regulasi memicu terjadinya korupsi. Studi yang di lakukan oleh LPEM FEUI (2003) terhadap hambatan perdagangan antar daerah di Indonesia pada era desentralisasi menunjukkan bahwa pungutan-pungutan dan uang suap yang dibayar oleh perusahaan kepada birokrat karena banyaknya regulasi baik yang terkait dengan proses produksi dan pengangkutan (bahan baku dan produk). Henderson dan Kuncoro (2004) menemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001, suap-menyuap pada tingkat Pemerintahan Daerah (Pemda) meningkat sejalan dengan fakta bahwa makin banyaknya aturan-aturan baru pemerintah daerah khususnya pajak, retribusi dan berbagai jenis perizinan serta kebijakan (regulasi) di daerah yang diciptakan sebagai aturan semu (artificial) agar pejabat lokal (birokrasi lokal) bersama dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang mendapatkan rente dari aturan tersebut. Secara teoritis suatu kebijakan publik (regulasi) merupakan hasil keputusan/pilihan bersama (collective choice). Penentuan keputusan kolektif mencoba membuat pengaturan untuk menyediakan dan mencari suatu mekanisme/proses bagi pencapaian tujuan untuk mengagregasikan kepentingankepentingan individu-individu dalam suatu masyarakat.
Aturan yang bisa
dipilih adalah metode dictatorship atau memilih orang yang kompeten dan cakap dalam bidang tersebut, membuat konsensus, melakukan voting, menyerahkan keputusan pada perwakilan, membiarkan keputusan diambil oleh kelompok elite. Sebagaimana dikemukan oleh Olson (1965) bahwa tindakan bersama (collective action)
sangat kurang terorganisir dan adanya konflik
antara kepentingan individu dengan kepentingan bersama sehingga sulit mencapai tingkat optimum sosial yang diinginkan 1 . Buchanan dan Tullock dalam The Calculus of Consent (1962), mengembangkan model yang menyangkut pilihan kelembagaan (institutional choices). Dalam banyak penataan kolektif (collective arrangement), baik itu berbentuk regulasi atau undang-undang akan berakibat terciptanya keuntungan (gains) dan biaya yang masuk dalam “utility calculus” individu. Secara logika, individu akan memilih atau berpindah (migrate) kepada penataan (arrangement) 1
Lihat Mancur Olson (1965), The Logic of Collective Action
32
yang memaksimumkan nilai keuntungan bersih (net gain) bagi dirinya sendiri. Potensi penataan aktivitas tersebut berada dalam spektrum yang luas dimana ada dua ekstrim yaitu kegiatan yang tidak terorganisasi sama sekali (unorganized activity) di satu sisi, dan kegiatan kolektif yang secara komplit diatur pemerintah (completely collective governmental) atau kegiatan kelembagaan sangat tinggi (very high institutional activity), di sisi yang lain. Dalam rezim yang tidak terorganisasi
(unorganized)
akan
dijumpai
biaya
interdependensi
(interdependence cost) dan disekonomi eksternal (external diseconomics) karena kegiatan pribadi (private activity). Hal tersebut diharapkan tereduksi oleh solusi bilateral di luar pasar. Tetapi karena adanya pembonceng (free riders) dan tingginya biaya transaksi, menyebabkan biaya interdependensi dan disekonomni eksternal tetap tinggi, khususnya dalam situasi dimana konsumsi ekonomi dapat dicapai hanya dengan jumlah anggota kelompok masyarakat yang besar . Dalam suatu kelompok tertentu, di suatu lokasi tertentu atau dalam bentuk
institutional
tertentu,
individu-individu
dipandang
selalu
mencari/memaksimalkan keuntungan bersih dari interdependensi sosial (social interdependence).
Oleh karena itu dalam proses pilihan-pilihan kolektif
(collective choices),
misal perumusan regulasi, akan muncul adanya
eksternalitas dan membangkitkan biaya tambahan. Buchanan dan Tullock (1962) dikelompokkan menjadi keputusan (decision making cost)
Biaya tersebut oleh biaya pengambilan
dan biaya eksternalitas politik (political
externality cost). Biaya eksternalitas politik menggambarkan bagaimana proses politik dapat mengakibatkan biaya pada individu yang tidak terwakili. Biaya ini (misal diberi symbol Ci) merupakan fungsi dari keputusan dalam sebuah group dengan ukuran kelompok tertentu atau ditulis Ci = Ci(Na) ; dimana Na < N ; Na = jumlah orang dalam kelompok berukuran N yang dibutuhkan untuk menyetujui (pengambilan keputusan) sebelum tindakan kolektif (collective action) diambil. Dalam kasus Na= N, maka Ci = 0 (biaya eksternal sama dengan nol), karena setiap individu punya kekuatan veto. Jika Na = 1 ; maka Ci akan sangat besar,
33
karena setiap individu secara potensial akan menguasai individu yang lain. Dan Jika Na naik, maka Ci menurun. Biaya yang kedua adalah biaya pengambilan keputusan (decision making cost). Yakni menyangkut waktu dan usaha yang diperlukan untuk mencapai keputusan, dimana Di = Di (Na) dan jika Na naik, maka Di juga akan naik. Misalkan manfaat atau keuntungan (gain) adalah sebesar G. Menurut Buchanan dan Tullock (1962) dalam mengambil keputusan individu akan selalu mempertimbangkan G (gain) dan Biaya (Ci + Di). Diasumsikan kelompok berukuran tetap dan mempunyai derajat preferensi (preference) yang homogen. Model ini dapat digambarkan seperti dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa individu, akan menerima aturan pengambilan keputusan antara Na’ – Na”. Biaya /Manfaat (Gain) Ci + Di Di
G
Ci Na
i
Na
Na
ii
N
Jumlah orang
Gambar 1. Buchanan –Tullock Model
Model Buchanan dan Tullock
memiliki beberapa implikasi penting
salah satunya adalah seseorang dapat memilih peraturan voting yang berbeda untuk situasi yang berbeda, tergantung pada penilaian biaya-biaya yang dihadapi oleh seseorang. Implikasi berikutnya adalah bahwa keputusan yang bulat dapat sangat mahal, sifat kelompok dapat mempengaruhi biaya total dan pemilihan aturan keputusan yang paling efisien. Dalam suatu masyarakat yang saling tidak percaya satu sama lain, mungkin akan lebih menyukai keputusan yang bulat sebagai aturan keputusan, karena biaya eksternalitas politiknya tinggi.
Di sini
34
terlihat bahwa masyarakat dengan trust yang tinggi akan sangat efisien dalam mengambil keputusan kolektif.
Di sinilah terlihat pentingnya modal sosial
(sosial capital) dalam keputusan kolektif. Implikasi lain model Buchanan dan Tullock (1962) adalah aturan mayoritas bukanlah sebuah aturan keputusan yang efisien 2 .
Menurut Stevens
(1993), aturan mayoritas memang memenuhi keadilan, tetapi tidak dapat memenuhi persyaratan konsistensi dan efisiensi serta tidak bisa memperkirakan hasilnya, karena aturan mayoritas bisa menghadapai masalah siklikal (dan mungkin tidak akan menemukan equilibrium) dalam pengambilan keputusan bersama. Hal ini seperti dijelaskan oleh Arrow (1951) bahwa suatu keputusan kolektif yang ideal harus memenuhi lima aksioma kondisi ideal berikut : (1) Pareto optimality
yakni kondisi dimana jika setiap orang lebih menyukai
aternatif x dibandingkan alternative lainnya, maka proses pilihan kolektif seharusnya lebih menyukai x dibandingkan y, (2) Non-dictatorship yakni bahwa tak seorang pun mempunyai kontrol penuh pada proses kolektif, (3)Unrestricted domain yakni proses pilihan kolektif mampu mencapai keputusan kolektif untuk semua kombinasi pereferensi individu yang mungkin, (4) Rationality, bahwa proses pilihan kolektif adalah rasional, (5) Bebas dari alternatif yang tidak relevan (independence of irrelevant alternatives) Berdasarkan hasil analisisnya, Kenneth J. Arrow (1951) menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada aturan (rule) yang akan dapat memenuhi semua persyaratan yang dikemukakan oleh karakter ideal yang diinginkan tersebut. Hal ini karena tidak ada satu cara pun untuk menjumlahkan perferensi individuindividu yang berbeda untuk memuaskan semua karekteristik ideal
yang
diinginkan. Teorema ini dalam public choice disebut sebagai Arrows Imposible Theorem. Aturan mayoritas pada intinya tidak stabil, seperti ditunjukkan empat puluh tahun yang lalu oleh Teorema Arrow. Stabilitas dapat dipulihkan melalui preferensi berpuncak tunggal dan oleh pemilih tengah (median voter),
jika
isunya berdimensi tunggal yaitu, jika mereka tersusun sepanjang bidang spasial. 2
Dalam aturan ini etika egalitarian menjadi faktor penting, dimana setiap individu masyarakat satu orang memiliki satu suara. Jika ini kita kontraskan dengan masyarakat feodalistik dan paternalistik, dimana hanya satu dua elite saja yang menentukan pengambilan keputusan, maka akan sangat jelas hal ini akan menimbulkan biaya ekternalitas politik yang besar.
35
Ideologi, sebagaimana dimanifestasikan melalui spektrum politik liberalkonservatif, menawarkan janji sebuah dimensi tunggal. Kontrol agenda adalah jalan utama kedua untuk memulihkan stabilitas dalam aturan mayoritas. Kedua tipe penstabil-ideologi dan kontrol agenda-ditawarkan oleh perwakilan terpilih yang akan menanggung biaya pembentukan koalisi dengan imbalan suara. Untuk kasus perumusan perda (regulasi) di derah-daerah di Indonesia, terlihat bahwa lima tipe ideal yang disyaratkan oleh Arrow (1951) mustahil diwujudkan. Kontrol agenda juga sangat kurang. Dan tidak adanya ideologi dan platform dari Parpol. Hal ini akan menimbulkan biaya eksternalitas politik dan pengambilan keputusan menjadi sangat mahal. Dari sisi penawaran (supply), perumusan regulasi memerlukan seseorang yang dapat dan mampu mengorganisasikan tindakan kolektif (collective action) guna mewujudkannya.
Stevens (1993) mengemukakan bahwa biasanya
seseorang
yang mampu memimpin dalam mengarahkan tindakan kolektif
(collective
action)
dan
sekaligus
melakukannya
dapat
mengukuhkan
kekuasaannya disebut sebagai politikus, dan aktivitasnya disebut sebagai kegiatan politik. Tingkat imbalan keuntungan yang diperoleh oleh politikus atas jasa tersebut adalah berupa penguatan posisi kekuasaan secara politik, yang biasanya kekuasaan tersebut akan terwujud karena terjadinya dukungan politik (suara) dari masyarakat secara meluas (Stevens, 1993).
Pandangan ini
mengatakan bahwa keputusan kolektif dilakukan dengan memilih orang-orang yang kompeten dan cakap dalam bidang yang dimaksud selanjutnya mereka diberikan kekuasaan dan masyarakat menyerahkan keputusan kolektif pada perwakilan.
Dalam demokrasi langsung yang kecil, ketidaksabaran individu-
individu akan mendominasi pembuatan aturan/undang-undang
(hukum).
Namun secara teoritis, pemerintahan yang mewakili (representative) akan memurnikan dan memperluas pandangan
publik tersebut.
Asumsinya
perwakilan yang dipilih oleh publik lebih bijaksana dan lebih moderat daripada yang diwakilinya.
Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan (leadership)
36
menjadi sesuatu yang sangat krusial dalam membentuk warna pemerintahan yang representatif 3 . Pilihan rasional (rational choice) dalam tindakan kolektif menghadapi berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain bahwa pilihan yang diambil sangat bernuansa konservatif secara politik, didasarkan atas motivasi kepentingan yang sangat sempit, egois dalam menginterpretasikan kebutuhan manusia, bersifat mengejar/mementingkan kepentingan pribadi masing-masing yang mau-tidak-mau akan membawa dampak negatif terhadap masyarakat dan sering gagal dalam meramalkan hasil keputusan karena sangat tergantung pada peran yang melekat pada dirinya, norma-norma (value) dan kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak,
dan juga asumsi pilihan
rasional membawa kepada cara berpikir yang sempit. Berbagai kendala yang melekat tersebut akan sangat menentukan kekuatan politik dan pola relasi serta dominasi antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), baik itu peminta maupun pemasok regulasi (Stevens, 1993).
Hal inilah yang kemudian
melahirkan model-model ekonomi politik dalam pilihan public. Ada empat model umum berkaitan dengan ekspektasi terhadap pemasok politik terpilih (elected political suppliers) yaitu: good fairly model, semi good fairly model , Uncertain World Model, Wicked Witch Model (Stevens, 1993). Anthony Downs (1957) dalam bukunya yang berjudul “An Economic Theory of Democracy“
mengidentifikasi bahwa model yang banyak berlaku adalah
Wicked Witch Model (model tukang sihir yang jahat). Down menjelaskan bahwa kepentingan pribadi partai politik atau pemasok politik terpilih mencoba untuk mengatur negara demokrasi dengan bersaing mendapatkan persetujuan pemilih dalam sebuah sistem aturan mayoritas.
Menurut Down (1957), platform dan
ideologi partai dapat digunakan sebagai acuan pemilih preferensi politik pemilih.
dan penstabilisasi
Tetapi karena kebanyakan Partai politik masih
berorientasi : parties formulate policies in order to win election, rather than win election in order to formulate policies, sehingga hasil yang diperoleh cenderung 3
Dalam konteks demokrasi di Indonesia dimana wakil yang dipilih oleh publik yang duduk dalam lembaga legislatif (DPR, DPRD) dan wakil yang dipilih menduduki jabatan kepala daerah banyak yang tidak memenuhi asumsi ini, sehingga pemerintahan yang terbentuk sangat tidak representatif mewakili kepentingan publik.
37
mendekati model tukang sihir yang jahat (Wicked Witch Model).
Downs (1957)
memandang bahwa partai politik adalah kelompok pemasok regulasi, sehingga mereka bisa mengutamakan kepentingan mereka melalui berbagai regulasi yang disusun oleh wakil mereka di legislatif (DPR, DPRD). Berkaitan dengan peminta (demander) regulasi, perusahaan dan kelompok kepentingan,
yakni masyarakat,
mereka dapat memilih berbagai
tindakan. Bagi masyarakat, mereka dapat berpartisiapsi politik atau melakukan adaptasi pasar. Menurut Breton (1974) dan Stevens (1993), partisipasi politik dapat berupa bergabung pada sebuah kelompok kepentingan, melakukan lobby dan aktivitas personal lainnya, menyumbang uang kepada kandidat atau partai, atau bahkan menjadi kandidat sendiri.
Sedangkan adaptasi pasar terhadap
keputusan politik dapat dilakukan dengan migrasi geografis, kegiatan illegal atau bergabung dengan sebuah kelompok (club). Sementara itu, dalam menghadapi keputusan politik perusahaan dapat beradaptasi melalui proses politik , melalui pasar atau keduanya. Jalur politik yang bisa ditempuh meliputi bergabung dengan kelompok kepentingan (misal asosiasi), melakukan lobi, menyumbang kepada kandidat atau kepada partai (misal dalam Pemilu, Pilkada)
atau bahkan masuk ke dalam partai politik
kemudian menjadi kandidat. Adaptasi politik lainnya yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah melalui jalur pencarian rente (Buchanan, Tollison dan Tullock, 1980). Pencarian rente (rent seeking) adalah sebuah usaha dengan menggunakan proses politik, sedemikian sehingga memungkinkan sebuah perusahaan atau kelompok
perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan
ekonomi yang melebihi biaya oportunitasnya. Bagi kelompok kepentingan, yang umumnya mewakili konsumen, produsen, industri, pemilih, pekerja, pemerintah, dan lain-lain, akan melakukan tekanan-tekanan politik dan lobi
untuk memperjuangkan kepentingan
kelompoknya. Kelompok kepentingan ini jauh lebih berpengaruh karena mereka lebih terorganiasi dalam mempengaruhi kebijakan publik (Beery, 1989). Kekuatan tekanan politik kelompok kepentingan ini tergantung pada ukuran, sumber daya dan juga orientasi politiknya.
Mereka yang tergabung dalam
38
kelompok kepentingan ini pada umumnya karena alasan keuntungan material (Olson, 1965). Interaksi antara pemasok dan peminta regulasi (kebijakan publik) dapat memunculkan beberapa model antara lain : (1) The Stigler Model (1971) di mana model ini berkesimpulan bahwa produsen selalu menang ; (2) The Peltzman Model (1976), di mana baik produsen maupun konsumen dapat menang ; (3) The Becker Model (1983) dimana model ini lebih umum untuk diterapkan. Model Becker mengenali apa yang disebut sebagai kelompok penekan (pressure group) yang disebut sebagai kelompok kepentingan (interest group) yang dapat menggunakan pengaruh pada legislator untuk memperoleh keuntungan atau menghindari peraturan. Tiga model di atas telah mencoba mengkaji teori dan model-model dalam pemerintahan legislatif (legislative governmenti).
Asumsi model-model
tersebut adalah bahwa pemasok politik yang ditunjuk (appointed political supplier) atau birokrat selalu melakukan apa yang dikehendaki oleh pemasok politik yang terpilih (elected political supplier).
Dalam konteks demokrasi,
model-model tersebut merupakan demokrasi parlementer dimana legislatif yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk memilih dan menentukan siapa yang menjalankan kekuasaan (kewenangan) di eksekutif.
Misalnya Kepala
Daerah dipilih oleh DPRD untuk menjalankan kekuasaan eksekutif memimpin birokrasi.
dan
Dalam model ini diasumsikan Kepala Daerah dan
birokrasi di bawahnya selalu menjalankan apa yang diputuskan oleh pemasok politik terpilih yakni DPRD. Dalam konteks riil dan dalam pandangan yang berlaku umum, yang terjadi
adalah para agen pemerintah (eksekutif) atau birokrasi merupakan
monster hydra-terpimpin (Stevens, 1993).
Buchanan (1989) bahkan
mengidentifikasi bahwa ada kecenderungan yang jelas dalam perilaku yang mementingkan diri sendiri dari para aktor pejabat birokrat dalam proses politik yang mengarah kepada suatu keinginan untuk memperbesar kekuasaan pemerintah secara berlebihan dalam sektor publik yang tumbuh seperti ‘leviathan’ (semacam anak ikan paus yang besar).
39
Oleh karena itu, model ekonomi politik yang lengkap akan mencoba mempertimbangkan asumsi bahwa pemasok politik yang ditunjuk (eksekutif) juga akan mementingkan kepentingannya sendiri.
Asumsi umum yang
digunakan adalah bahwa eksekutif akan mencoba memaksimumkan anggaran mereka (Niskanen, 1971). Ada beberapa isu yang perlu dibahas yaitu, pertama munculnya subgoverment dalam government yang dalam hal ini ditandai oleh adanya segitiga besi, di mana agen administratif (birokrasi) sebagai pihak ketiga diantara kelompok kepentingan dengan legislator. Berry (1989) dalam Stevens (1993) menggambarkan bahwa adanya “subgovernment” memberikan suatu “image” partisipasi yang sangat dihambat, stabilitas yang mempertahankan status quo, dan pengambilan keputusan yang terpusat pada birokrasi. Isu berikutnya yang menarik untuk diangkat adalah apa yang dibahas dalam administrasi public (public administration). Dalam konteks administrasi publik, birokrasi dipandang memainkan peranan penting dalam pembuatan kebijakan (policy making).
Pandangan pertama
administratif (administrative government)
tentang pemerintahan
berasal dari Weber (1946) yang
menekankan bahwa organisasi dan otoritas sebagai kunci dalam melaksanakan hal-hal dalam pemerintahan (Stevens, 1993).
Weber percaya bahwa apa yang
seharusnya ada dalam birokrasi adalah bagaimana otoritas tersusun dan bagaimana tugas dilaksanakan.
Dalam terminologi Weber, otoritas dalam
masyarakat modern adalah sah dan rasional jika mengikuti aturan dasar yang berlaku dalam masyarakat dan pemerintahan. Weber mengatakan bahwa untuk mempunyai birokrasi yang baik
dan modern, maka harus ada unsur-unsur
berikut : (1) Suatu pembagian hak hukum/kekuasan/kewenangan yang jelas ; (2) Suatu hierarki vertikal atau rantai komando ;(3) Sebuah aturan dan prosedurprosedur formal ; (4) Pemeliharaan arsip (files) dan dokumen-dokumen lainnya; (5) Pegawai yang profesional. Isu lainnya yang terkait dengan birokrasi adalah model Niskanen’s budget maximization (Niskanen, 1971).
Model ini membahas jalur konflik
antara legislatif dan birokrasi yang kemudian diperluas dan difokuskan pada keterkaitan antara pemasok politik terpilih dengan pemasok politik yang ditunjuk. Ada tiga unsur yang dibahas dalam hal ini, yaitu, monopoli bilateral,
40
informasi asimetrik, dan maksimisasi anggaran.
Menurut model Niskanen
struktur birokrasi yang ada akan menciptakan situasi monopoli bilateral antara eksekutif dan legislatif.
Dalam banyak kasus, karena birokrasi mempunyai
informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan legislatif, maka birokrasi mendominasi legislatif.
Dalam hal maksimisasi anggaran, hipotesis Niskanen
adalah bahwa birokrasi akan mengutamakan kepentingan sendiri dan membuat anggaran secara tidak efisien, apalagi jika mereka muncul sebagai pemenang dalam hubungan monopoli bilateral.
Hipotesis Niskanen ini serupa dengan
model pemerintahan legislatif (Down, 1957 dan Buchanan, 1989), dimana birokrasi bisa menyerupai gaya penyihir yang jahat (Wicked Wicth Model). Dengan penjelasan tersebut dapat dipahami terjadinya kecenderungan penyalahgunaan wewenang.
Oleh karena itu isu penadbiran baik (good
governance) menjadi penting untuk memitigasi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pemasok regulasi. Menurut UNDP (1997) ada sembilan karakteristik yang saling terkait yang menandai
adanya good
governance (prinsip-prinsip good governance) yaitu : 1.
Partisipasi Masyarakat : Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Tegaknya Supremasi Hukum : Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.
Transparansi : tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4.
Peduli pada pemangku kepentingan stakeholder
: lembaga-lembaga dan
seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
41
5.
Berorientasi pada konsensus : tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.
Kesetaraan : Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.
Efektifitas dan Efisiensi
:
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-
lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 8.
Akuntabilitas : Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun
kepada
lembaga-lembaga
yang
berkepentingan.
Bentuk
pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. 9.
Visi Strategis : Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Sebagai catatan akhir bab ini, dapat disimpulkan bahwa studi-studi
terdahulu yang mengkaji keterkaitan antara korupsi dengan pembangunan sebagaimana telah diuraikan, pada awalnya lebih banyak mengupas dampak korupsi terhadap pembangunan ekonomi dan tipologi korupsi. Kemudian studi berikutnya mulai menganalisis keterkaitan antara korupsi dengan faktor ekonomi, politik dan budaya, tetapi pada umumnya kajiannya bersifat teoritis dan mikro didasarkan pada riset yang dilakukan pemerintah (birokrasi).
hanya terhadap perilaku para agen
Sementara studi yang bersifat empiris lebih banyak
mengkaji korupsi antar negara (pada tingkatan makro). Chakrabarti (2001) dan Kuncoro (2004; 2006) serta Henderson dan Kuncoro (2004;2006) memang telah berusaha menjembatani analisis mikro-makro tersebut dengan menggunakan
42
analisis “agent based model” yang mengembangkan model makro dari korupsi dengan fondasi model mikro yang kuat. Tetapi studi-studi tersebut juga belum mampu menjelaskan secara jelas dan rinci bagaimana mekanisme faktor ekonomi politik dan sosio kultural tersebut mempengaruhi korupsi. Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana mekanisme terjadinya korupsi secara mendalam dan mengakar dengan menganalisis fenomena korupsi sejak masih dalam bentuk “bibitnya”. Hal ini dimungkinkan karena, titik masuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme dan proses perumusan regulasi. Titik masuk analisis tersebut juga memungkinkan studi ini menganalisis interaksi antar berbagai pemangku kepentingan (partai politik, DPRD (legislatif), eksekutif, pengusaha, masyarakat dan LSM), di mana faktor ekonomi politik dan budaya
sangat mempengaruhinya.
Dengan
demikian studi ini menganalisis fenomena korupsi pada level mikro (individu), pada tingkatan meso (pengaturan organisasi administrasi politik lokal) dan pada tingkatan makro dalam konteks pembangunan wilayah.
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Konseptual Bab ini akan
menguraikan kerangka konseptual bagaimana perumusan,
pelaksanaan dan pengawasan regulasi dapat memicu terjadinya korupsi. Kerangka analisis akan diawali dengan membahas konsep bagaimana regulasi dirumuskan. Pembahasan selanjutnya difokuskan pada bagaimana perusahaan dan masyarakat bersikap dan bereaksi menghadapi regulasi yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka, instrumen apa yang dapat dipilih oleh masing-masing pihak untuk memperbaiki (redress) situasi
koersif tersebut, serta faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya. Sejalan dengan teori New Institutional Economics (NIE) dan Growth Machine Theory (GMT) yang mengatakan bahwa kelembagaan yang merupakan hasil dari proses tata pengaturan administrasi politik lokal akan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitor ketidakpastian dalam proses transaksi yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang berinteraksi. Munculnya peraturan daerah dan regulasi-regulasi
yang “bermasalah” sehingga menimbulkan korupsi
menandakan bahwa ruang kelembagaan suatu kawasan terdistorsi, sehingga keputusan-keputusan dan aturan-aturan yang dihasilkan dari proses administrasipolitik lokal malahan memicu munculnya dilema biaya transaksi yang selalu hadir pada suatu sistem sosial ekonomi yang berkembang makin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran ekonomi.
Peraturan Daerah yang “bermasalah” tersebut
menunjukkan bahwa perkembangan perekonomian dan transaksi ekonomi di suatu wilayah yang makin kompleks dan meninggi tidak diimbangi oleh pengembangan sistem tata pengaturan kelembagaan yang sesuai. Hal demikian akan menyebabkan munculnya bentuk pemerintahan informal (informal forms of governance) yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk menangguk keuntungan jangka pendek (short-term profits) yang muncul dalam bentuk perilaku pencarian rente dan korupsi.