BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka Membran PES merupakan salah satu jenis material polimer pembuat membran yang digunakan untuk tujuan pemisahan dan penyaringan. Membran PES memiliki karakteristik sifat kimia dan stabilitas termal yang baik dan dapat dibuat pada suhu ruangan. Selain itu, membran PES tahan terhadap metode sterilisasi, termasuk gas epoxy etana, uap, dan -ray, serta sangat permeabel untuk mendifusikan protein dengan berat molekul yang rendah sehingga mudah diterapkan sebagai membran hemodialisis (Su dkk, 2011). Beberapa peneliti telah mengkaji membran PES pada aplikasi biomedis untuk membuat organ buatan, dan sebagian besar dalam bidang alat-alat kesehatan, membran PES digunakan untuk tujuan pemurnian darah seperti : hemodialisis, hemodiafiltrasi, hemofiltrasi (Tullis, 2002 ; Werner, 1995). Berdasarkan hasil penelitian (To dkk, 2015) mengenai permeabilitas air dari membran PES, hubungan antara konsentrasi larutan PES dan koefisien filtrasi ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Hubungan antara konsentrasi larutan PES dan koefisien filtrasi (To dkk, 2015)
6
7
Berdasarkan garis target (target line) yang terdapat di gambar, nilai yang diperoleh dari seorang dokter memenuhi persyaratan untuk pengobatan hemofiltrasi manusia. Membran PES terbentuk dari casting solution dengan konsentrasi PES 17,5 gram memiliki koefisien filtrasi tertinggi di antara semua membran. Hal ini mempengaruhi nilai permeabilitas air lebih tinggi dari nilai target dan secara eksperimen membuktikan konsentrasi ini memiliki kekuatan mekanikal yang cukup (To dkk, 2015). Akan tetapi material polimer PES bersifat hidrofobik yang menyebabkan adanya penyumbatan. Teknik yang dapat diterapkan untuk mengatasi penyumbatan adalah dengan penambahan zat aditif. PEG adalah zat aditif yang paling sering digunakan dalam metode pemisahan fasa dan dapat merubah sifat material polimer menjadi hidrofilik. Membran yang dibentuk oleh PEG dengan masa molar yang besar memiliki permeabilitas air yang tinggi dan pori – pori yang lebih besar (Chakrabarty dkk, 2008). Perbandingan antara konsentrasi larutan PES dengan PEG sebagai aditif berpengaruh terhadap nilai permeabilitas air. Seperti yang dipublikasikan oleh Chong dkk, (2012) pada penelitian sebelumnya (dalam To dkk, 2015) memaparkan konsentrasi PEG yang lebih sedikit pada membran dengan konsentrasi PES yang rendah maka akan menghasilkan membran dengan lebih sedikit pori. Oleh karena itu, permeabilitas air akan meningkat sesuai dengan besarnya konsentrasi PES. Untuk meningkatkan porositas membran PES, memodifikasi media gelatinisasi adalah yang paling sering digunakan dalam penelitian. Ghosh dkk, (2009) menemukan bahwa menambahkan 3% konsentrasi NMP ke dalam air sebagai media gelatinisasi dapat meningkatkan permeabilitas lebih dari 25 %. Pada penelitian ini, untuk meningkatkan permeabilitas dari membran PES akan dilakukan modifikasi pada konsentrasi casting solution dengan mengacu pada tinjauan pustaka, yaitu PES 17,5 gram, PEG 14,5 gram, dan DMAc 68 gram. Dan sebagai upaya untuk meningkatkan porositas membran PES maka dilakukan modifikasi pada media gelatinisasi dengan menambahkan NMP ke dalam akuades dan divariasikan seperti 1%, 3%, 5%, 7% dan akuades tanpa NMP
8
(0%). Variasi ini dipilih karena pada penelitian sebelumnya penambahan NMP berjarak antara kisaran 1 – 10 %. 2.2. Dasar Teori 2.2.1. Definisi Membran Membran didefinisikan sebagai suatu media berpori, berbentuk film tipis, bersifat semipermeable yang berfungsi untuk memisahkan partikel dengan ukuran molekuler (spesi) dalam suatu sistem larutan. Spesi yang memiliki ukuran yang lebih besar dari pori membran akan tertahan sedangkan spesi dengan ukuran yang lebih kecil dari pori membran akan lolos menembus pori membran (Kesting, 1993). Proses pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya perbedaan ukuran pori, bentuk, serta struktur kimianya. Membran tersebut disebut sebagai membran semipermiable, artinya dapat menahan spesi tertentu, tetapi dapat melewatkan spesi yang lainnya. Fasa campuran yang akan dipisahkan disebut umpan (feed), hasil pemisahan disebut sebagai permeat (Heru pratomo, 2003). Skema pemisahan pada membran dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Membran
C
C
H
H H C
C
H
C H
C
H
C H A
C B
A
H B
Gambar 2.2. Proses kerja membran (material A pindah ke B) (Mulder, 1996)
9
2.2.2. Klasifikasi Membran Membran
yang
digunakan
dalam
pemisahan
molekul
dapat
diklasifikasikan berdasarkan morfologi, kerapatan pori, fungsi, bentuknya dan sistem desain filtrasi. 2.2.2.1. Berdasarkan Morfologinya Dilihat dari morfologinya, membran dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu : a. Membran Asimetrik atau Membran Anisotropik Membran asimetrik merupakan membran yang mempunyai struktur dan pori yang heterogen. Membran ini meng-kombinasikan selektivitas tinggi dari membran rapat dengan laju permeasi tinggi dari membran tipis sehingga membran asimetris terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama merupakan lapisan kulit yang tipis dan rapat dengan ketebalan 0,1 – 0,5 µm. Lapisan kedua adalah lapisan pendukung yang lebih tebal dan memiliki ukuran pori lebih besar dengan ketebalan 50 -150 µm (Mulder, 1996). Kedua lapisan dapat dibentuk dalam satu kesatuan ataupun terpisah. Selektivitas pemisahan dan laju permasi membran ditentukan oleh lapisan permukaan membran sedangkan lapisan pendukung bertindak sebagai pemberi kekuatan mekanik. Tingginya fluks yang dihasilkan menyebabkan hampir semua proses komersial menggunakan jenis membran ini (Baker, 2004). Penggolongan membran dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Penggolongan membran asimetris (Baker, 2004)
10
b. Membran Simetris atau Membran Isotropik Membran simetris merupakan membran yang memiliki struktur pori homogen dengan ukuran pori yang relatif sama pada kedua sisi membran. Ketebalan membran simetris, baik yang berpori atau tidak adalah sekitar 100200 µm (Mulder, 1996). Membran simestris dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu membran rapat, membran mikropori, dan membran bermuatan (Baker, 2004). Perbedaan diantara ketiga membran tersebut, digambarkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Penggolongan membran simetris (Baker, 2004)
2.2.2.2. Berdasarkan kerapatan pori Dilihat kerapatan porinya, membran dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu : a. Membran rapat (Membran tak berpori) Membran rapat ini mempunyai kulit yang rapat dan berupa lapisan tipis dengan ukuran pori dari 0,001 µm dengan kerapatan lebih rendah. Membran ini sering digunakan untuk memisahkan campuran yang memiliki molekul-molekul berukuran kecil dan berat molekul rendah, sebagai contoh untuk pemisahan gas dan pervaporasi. Permeabilitas dan permselektifitas membran ini ditentukan oleh sifat serta tipe polimer yang digunakan (Mulder, 1996). Berikut ditunjukkan pada Gambar 2.5. membran rapat :
11
Gambar 2.5. Membran tak berpori (Mulder, 1996)
b. Membran berpori Membran ini mempunyai ukuran lebih besar dari 0,001 µm dan kerapatan pori yang lebih tinggi. Berdasarkan diameter pori, membran berpori dibagi menjadi tiga, yaitu makropori (diameter pori > 50 nm), mesopori (2 nm < diameter pori < 50 nm), dan mikropori (diameter pori < 2 nm). Membran berpori ini sering digunakan untuk proses ultrafiltrasi, mikrofiltrasi, hiperfiltrasi. Selektifitas membran ini ditentukan oleh ukuran pori dan pengaruh bahan polimer (Mulder, 1996). Berikut ditunjukkan pada Gambar 2.6 :
Gambar 2.6. Membran berpori (Mulder, 1996)
2.2.2.3. Berdasarkan fungsinya Menurut Wenten (1995) proses pemisahan dengan membran dapat terjadi karena adanya gaya dorongan (∆P) yang mengakibatkan adanya perpindahan massa melalui membran. Berdasarkan fungsinya membran dibagi menjadi empat macam, yaitu:
12
a. Reverse Osmosis Reverse osmosis merupakan proses perpindahan pelarut dengan gaya dorong perbedaan tekanan, dimana beda tekanan yang digunakan harus lebih besar dari beda tekanan osmosis. Ukuran pori pada proses osmosa balik antara 1-20 µm dan berat molekul antara 100-1000 dalton. Dengan adanya pengembangan membran asimetris proses osmosis balik menjadi sempurna, terutama digunakan untuk memproduksi air tawar dari air laut. b. Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi mempunyai dasar kerja yang sama dengan osmosa balik, tetapi berbeda dengan ukuran porinya. Untuk ultrafiltrasi ukuran diameter pori yang digunakan yaitu 0,01-0,1 µm dengan berat molekul solut antara 1000500.000 dalton. Proses pemisahannya ukuran molekul yang lebih kecil dari diameter pori akan menembus membran, sedangkan ukuran molekul yang lebih besar akan tertahan oleh membran. c. Mikrofiltrasi Milkrofiltrasi mempunyai prinsip kerja yang sama dengan ultrafiltrasi, hanya berbeda pada ukuran molekul yang akan dipisahkan. Pada mikrofiltrasi ukuran molekul yang akan dipisahkan 500-300.000 dalton, dengan berat molekul solut dapat mencapai 500.000 dalton, karena itu proses mikrofiltrasi sering digunakan untuk menahan partikel-partikel dalam larutan suspensi. d. Dialisa Dialisa merupakan proses perpindahan molekul (zat terlarut) dari suatu cairan ke cairan lain melalui membran yang diakibatkan adanya perbedaan potensial kimia dari larutan. Membran dialisa berfungsi untuk memisahkan larutan koloid yang mengandung elektrolit dengan berat molekul kecil. Proses secara dialisa sering digunakan untuk pencucian darah pada penderita penyakit ginjal. Penggolongan jenis membran berdasarkan ukuran pori dan batas berat molekul dapat dibedakan seperti pada Tabel 2.1. dan penggolongan nilai fluks dan tekanan membran dapat dilihat pada Tabel 2.2.
13
Tabel 2.1. Penggolongan diameter pori dan batas berat molekul yang dapat dipisahkan oleh beberapa jenis membran Berat Molekul Tipe Filtrasi Ukuran Partikel (Dalton) Mikro Filtrasi
≥ 0,1µm
≥ 500.000
Ultra Filtrasi
0,01 – 0,1 µm
1000 – 500.000
Nano Filtrasi
0,001 – 0,01 µm
100 - 1000
Reverse Osmosis
≤ 0,001 µm
≤ 100
(Said, 2009)
Tabel 2.2. Penggolongan nilai fluks dan tekanan pada masing fungsi membran Proses Membran
Tekanan (bar)
Fluks (L/m2h bar)
Rejeksi larutan garam
MWCO (Molecular Weight Cut Off)
Mikrofiltrasi
0,1-2(<2)
>50
sangat kecil
sangat besar
Ultrafiltrasi
1-5
10-50
<5%
>1000
Nanofiltrasi Osmosa Balik
5-20
1,4-12
10-80%
200-1000
10-100
0,05-1,4
90%
50
(Baker, 2004 ; Mulder, 1996)
2.2.3. Sistem Desain Filtrasi Pada Membran Dua jenis sistem desain membran filtrasi yang sering digunakan adalah sistem filtrasi dead-end dan sistem filtrasi cross -flow (Baker, 2004; Mulder, 1996). a. Sistem Dead-end Sistem dead-end adalah sistem desain yang paling sederhana dengan biaya operasional murah. Larutan dialisat diberi gaya dorong tekanan untuk melewati membran dengan arah tegak lurus terhadap membran. Namun, kelemahan proses ini adalah dapat meningkatkan konsentrasi rejeksi komponen dalam larutan dialisat dan menyebabkan kualitas permeat semakin menurun. Hal ini disebabkan terjadinya penyumbatan yang sangat tinggi karena
14
terbentuk cake atau lapisan partikel di permukaan membran. Ketebalan cake akan terus meningkat sehingga nilai fluks menurun. Sistem ini masih sering digunakan dalam proses pemisahan mikrofiltrasi, seperti pada bidang farmasi dan medis. Skema dead-end terlihat pada Gambar 2.7.
Permeat Gambar 2.7. Sistem desain filtrasi membran dead-end (Baker, 2004) b. Sistem Cross-flow Sistem cross-flow merupakan sistem desain yang kompleks dan memerlukan biaya operasional lebih tinggi dari sistem dead-end. Namun pilihan sistem desain membran filtrasi ini banyak diaplikasikan di dunia industri karena memiliki kecenderungan penyumbatan yang relatif rendah. Pada sistem cross-flow, larutan dilisat dialirkan paralel terhadap permukaan membran. Komposisi larutan dialisat dalam modul merupakan fungsi jarak modul, ketika aliran dialisat terbagi menjadi dua, yaitu aliran permeat dan aliran retentat sehingga pembentukan cake akan terjadi sangat lambat karena tersapu oleh gaya geser aliran cross-flow dialisat. Penurunan fluks dapat dikontrol dan disesuaikan dengan menggunakan pilihan modul yang tepat dan kecepatan aliran cross-flow. Skema cross-flow terlihat pada Gambar 2.8.
Permeat Gambar 2.8. Sistem desain filtrasi membran cross-flow (Baker, 2004)
15
2.2.4. Membran Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi adalah suatu proses membran yang sifatnya terletak antara hiperfiltrasi dan mikrofiltrasi. Membran ultrafiltrasi termasuk membran berpori yang mampu menyaring partikel – partikel dengan ukuran 0,01 – 1 mikron. Dimana mampu memisahkan koloid, makro molekul, mikroorganisme, dan partikel penerima yang akan mengalami pengaruh muatan. Mekanisme pemisahan pada proses ultrafiltrasi adalah penyaringan berdasarkan ukuran molekul dengan menggunakan perbedaan tekanan antar membran sebagai gaya dorong. Aliran dari dan ke membran dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan dikedua permukaan membran. Ultrafiltrasi dioperasikan dengan tekanan 1 – 10 atm (Redjeki, 2011). Membran ultrafiltrasi, dapat dibuat dengan menggunakan modul spiral wound, tubular, hollow fiber serta flat frame filter. Karakteristik tiap – tiap modul dan membran ultrafiltrasi dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan 2.4 berikut : Tabel 2.3. Karakteristik tiap –tiap modul
(Drioli dkk, 1990)
16
Tabel 2.4. Karakteristik membran ultrafiltrasi
(Wenten, 2001) Membran ultrafiltrasi diaplikasikan antara lain pada industri makanan yaitu untuk pemekatan susu, pembuatan keju, pengambilan protein whey, klarifikasi juice 32 buah dan alkohol, dan lain - lain. Pada bidang kedokteran, membran ultrafiltrasi digunakan untuk hemodialisis. Membran ultrafiltrasi juga banyak digunakan pada industri obat – obatan, tekstil, kimia, metalurgi, kertas, dan lain – lain (Redjeki, 2011). Ilustrasi proses filtrasi mebran hemodialisis dapat dilihat pada Gambar 2.9. berikut.
Gambar 2.9. Proses filtrasi menggunakan membran berpori pada hemodialisis (Gu dkk, 2007)
17
2.2.5. Metode Pembuatan Membran (Mulder, 1996) mengemukakan ada enam metode yang dapat digunakan dalam pembuatan membran, antara lain : 1. Sintering adalah metode sederhana yang digunakan untuk membuat membran berpori yang terbuat dari bahan organik dan anorganik berbentuk bubuk (powder) dengan cara menekan dan dipanaskan mencapai suhu mendekati titik leburnya sesuai dengan material yang digunakan. Bahan yang umum digunakan dengan metode ini seperti polyethylene, polytetrafluoroethylene, polypropylene), logam (stainless steel, steel, tngsten), keramik (aluminium oksida, oksida zirkonium), grafit (karbon) dan kaca (silika). 2. Stretching adalah metode yang digunakan dalam pembuatan film atau foil dari bahan
polimer
semi
kristal
(polytetrafluoroethylene,
polypropylene,
polyethylene) yang ditarik searah proses ekstrusi sehingga molekul – molekul kristalnya akan terletak paralel satu sama lain. Pori yang terbentuk dari teknik ini dalah 0,1 – 3
. Porositas membran yang dihasilkan dari teknik ini diatas
90 %. 3. Track-etching adalah metode yang digunakan dalam pembuatan film (polycarbonate) yang diberikan radiasi energi tinggi tegak lurus kearah film. Partikel radiasi yang diberikan menyebabkan rusaknya matriks polimer dan membentuk satu lintasan. Film yang dibuat kemudian direndam dalam larutan asam atau akali. Selama proses ini polimer yang akan terbentuk berupa silinder berpori seragam dan distribuusi ukuran pori yang sempit. 4. Template-Leaching adalah metode yang digunakan dalam pembuatan membran dengan cara meleburkan tiga komponen homogen (Na2O – B2O3 – SiO2) pada suhu 1000 – 1500
dan kemudian dikeringkan. Pada proses ini akan
terbentuk 2 fase, fase yang pertana lebih didominasi oleh SiO 2 yang tidak larut dan fase yang kedua adalah fase yang larut oleh asam atau basa dan akan dihasilkan membran yang memiliki ukuran pori 0,005
atau 5 nm.
5. Coating merupakan teknik pembuatan membran komposit sederhana untuk memperoleh lapisan atas padat yang sangat tipis. Proses pembuatannya adalah dengan mencelupkan membran asimetrik ke dalam larutan pelapis yang
18
mengandung polimer, pre-polimer atau monomer dengan konsentrasi padatan dalam larutan rendah (kurang dari 1%). Membran asimetrik dipisahkan dari bak yang mengandung material pelapis dan pelarut, selanjutnya diperoleh lapisan tipis dari larutan yang menempel pada bak. Setelah itu, film dimasukkan ke dalam oven sehingga pelarut akan menguap dan terjadi crosslinking. 6. Phase Inversion adalah suatu metode persiapan membran yang sering digunakan untuk menghasilkan membran asimerik. Metode ini ditandai dengan perubahan polimer dari fase cair menjadi padat. Proses solidifikasi diawali dengan trasnsisi fase cair satu (polimer dan pelarut) dan fase cair dua (polimer dan non-pelarut).
Selama proses pencampuran, salah satu fase cair (fase
polimer konsentrasi tinggi) akan memadat sehingga terbentuk atriks padat. Pengendalian tahap awal transisi fase akan menentukan morfologi membran yang dihasilkan. Konsep dase inversi mencakup berbagai teknik anatara lain penguapan pelarut, presipitasi dengan penguapan terkendali, prespitasi termal, prespitasi fase uap, dan prespitasi imersi. Prespitasi immersi merupakan proses pencetakan
film
tipis
dipermukaan
kaca
gelas
datar,
selanjutnya
mencampurkan casting solution untuk membentuk membran. Proses ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu evaporasi langsung dan perendaman dalam nonpelarut.
2.2.6. Material Membran Ultrafiltrasi Ultrafiltrasi menggunakan membran berpori dan mempunyai stuktur asimetrik. Membran yang paling banyak digunakan secara komersial dalam proses ultrafiltrasi dibuat dengan menggunakan proses inversi fasa. Beberapa material yang sering digunakan adalah : a. Polysulfone/ polyethersulfone b. Polivinilidene flourida c. Polyacrilonitrile d. Cellulosa asetat e. Polyimide
19
Polysulfone dan polyethersulfone mempunyai stabilitas kimia dan termal yang sangat baik dan diindikasikan dengan nilai Tg ( temperatur perubahan keadaan dari sifat karet ke sifat gelas ) yang cukup tinggi yakni sekitar 190ºC dan 230ºC. Polimer – polimer ini banyak digunakan secara luas sebagai membran ultrafiltrasi dan sebagai bahan penopang pada membran komposit. Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai material utama pembuat membran tetapi adanya bermacam – macam sifat fisika dan kimia, sehingga hanya beberapa saja yang bisa digunakan. Batasan pH pada temperatur 25˚C dan temperatur max pada pH 7 untuk polimer membran yang berbeda dan informasi mengenai ketahanan terhadap bahan kimia diperlihatkan pada tabel 2.5 (Redjeki, 2011). Tabel 2.5. Material Membran Material/Polimer
Batasan pH pada 25
Temperatur maksimal pada pH 7
Resistensi Chlorine
Resistensi Pelarut
Cellulose acetate
2–9
50
cukup
Kurang
Polysulphone
0 – 14
8 (100)
cukup
Cukup
Polyethersulphone
0 – 14
8 (100)
baik
2 – 12
60 (80)
cukup
Sulphonated polysulphone Polyvinilidinedifluo
1 – 12
ride Polyamide(
80 (100)
sangat baik
Cukup /Baik Kurang
Baik
2 – 12
60
kurang
Baik
Polyacrylonitrile
2 – 12
50
baik
Cukup
Polyamideimide
2–9
50
kurang
Baik
Polyimide
2–8
50
kurang
fluorocopolymer
0 – 13
80 (100)
sangat baik
aromatik )
(Wenten, 2001)
sangat baik cukup/ baik
20
2.2.7. Polyethersulfone (PES) PES merupakan material polimer yang sangat luas digunakan pada persiapan mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF) dan membran pemisahan gas. Disamping itu, PES memiliki karakteristik temperatur, toleransi pH, ketahanan terhadap chlorine dan mudah dalam fabrikasi membran dengan bermacam – macam variasi bentuk dan modul. PES juga memiliki rentang ukuran pori – pori yang dapat diaplikasikan pada UF dan MF dengan kisaran antara 19 Å sampai 0,2 dan tahan pada bahan kimia seperti aliphatic hydrocarbons, alcohols, dan acids (Cheryan, 1998). Struktur molekul PES dapat dilihat pada gambar 2.10.
Gambar 2.10. Struktur molekul PES yang tersedia secara komersial (Sumitomo Chemical Co.Ltd, 2010)
Polimer PES ini dapat diaplikasikan pada berbagai bidang, seperti sektor pertanian, industri makanan, dan kesehatan (biomedical). PES dengan bentuk serbuk (powder) sangat cocok diaplikasikan pada coating, hollow-fiber maupun sebagai penguat pada compound dan epoxy. Berikut dijabarkan lebih lanjut pada tabel 2.6 dan 2.7
Tabel 2.6. Aplikasi PES Powder
Reduced
Grades
Viscosity
3600P
0.36
Compounds
4100P
0.41
Paint / coating compounds, adhesives
4800P
0.48
Flat films and hollow-fiber membranes, adhesives
5003P
0.50
5200P
0.52
Main Applications
Paint / coating compounds, adhesives, impact modifier for epoxy compound Flat films and hollow-fiber membranes (Sumitomo Chemical Co, Ltd, 2010)
21
Tabel 2.7. Aplikasi Tipe PES Bubuk (powder) Aplikasi Tipe
Reduced
PES
Viscosity
Resin Compound
Coating
Impact Modifier For Epoxy
3600P
0.36
-
4100P
0.41
-
4800P
0.48
-
5200P
0.52
-
5003P
0.50
-
Adhesive
Membrane
-
-
-
-
-
(Sumitomo Chemical Co, ltd, 2010)
Baik
Cukup
- Kurang
2.2.8. Polyethylene Glycol (PEG) PEG termasuk kedalam golongan polimer sintetis. PEG mempunyai kelarutan yang baik dalam air dan kesamaan secara struktur kimia karena adanya gugus hidrosil primer pada ujung rantai polieter yang mengandung oksietilen (CH2- CH2-O-). PEG mempunyai sifat stabil dan mudah larut dalam air hangat, tidak beracun, non-korosif, tidak berbau, tidak berwarna, memiliki titik lebur yang sangat tinggi (580
), tersebar merata, higoskopik (mudah menguap) dan
juga dapat mengikat pigmen. PEG berbentuk putih seperti lilin yang menyerupai paraffin. Berupa bentuk padat dalam suhu kamar, dapat mencair pada suhu 104
) dan memiliki berat molekul rata – rata 1000 (Mitchell, 1972). Penambahan bahan aditif pada membran berguna untuk meningkatkan
atau memodifikasi sifat-sifat mekanik, kimia, dan fisik membran (Kim dkk, 1989). PEG merupakan salah satu diantara zat aditif yang sering ditambahkan pada pembuatan membran yang berfungsi sebagai porogen untuk meningkatkan keteraturan bentuk pori-pori pada membran sehingga struktur pori lebih rapat dan membran yang dihasilkan semakin bagus. Dalam memodifikasi membran, PEG ini berfungsi sebagai zat aditif untuk meningkatkan absorpsi dan disolusi suatu zat aktif yang sukar larut dalam air. Bahan material polimer seperti PES mempunyai
22
kelarutan yang kecil dalam air, sehingga akan mengakibatkan menurunnya aliran water flux karena adanya penyumbatan pada area pori – pori membran selama proses filtrasi (Shargel dkk, 1999). PEG adalah senyawa hasil kondensasi dari oksietilen dan air dengan rumus molekul H(OCH2CH2)nOH, dimana n merupakan bilangan (jumlah) ratarata pengulangan grup oksietilen mulai dari 4 sampai 180. Bilangan yang mengiringi dibelakang PEG menunjukkan berat molekul rata-rata dari pada PEG, seperti PEG dengan n = 80 akan mempunyai berat molekul rata-rata sekitar 3500 Dalton dan dicantumkan sebagai PEG 3500. Sedangkan senyawa dengan berat molekul rendah terdiri dari n = 2 sampai n = 4 seperti diethylene glycol, triethylene glycol, dan tetraethylene glycol, merupakan senyawa-senyawa murni. Senyawa dengan berat molekul rendah sampai 700 bersifat cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau dengan titik beku -10 ºC (diethylene glycol), sementara senyawa-senyawa hasil polimerisasi dengan berat molekul yang lebih tinggi yaitu sampai 1000 berbentuk padat seperti lilin dengan titik didih mencapai 67 ºC untuk n = 180. Sifat-sifat fisika PEG dapat dilihat pada Tabel 2.7 (Wikipedia, 2007). Keistimewaan dari PEG adalah senyawa tersebut bersifat larut dalam air (Chou dkk, 2007). PEG juga larut dalam berbagai pelarut organik dari golongan hidrokarbon aromatik, seperti metanol, benzen, dichlorometane dan tidak larut dalam dietil eter dan heksan. Sifat-sifat lain daripada PEG adalah merupakan senyawa yang tidak beracun, netral, tidak mudah menguap dan tidak iritasi. Pelarut PEG banyak digunakan sebagai emulsifier dan detergen, humectants, dan pada bidang farmasi (Wikipedia, 2007). Berikut ditampilkan pada Tabel 2.8 karakteristik PEG :
23
Tabel 2.8. Sifat –sifat fisika dan kimia PEG PEG (Polyethylene glycol)
Nama Kimia
Polyethylene glycol
Rumus kimia
C2nH4n+6On+2
Berat molekul
44n + 62 g/mol
Bilangan CAS
[25322-68-3]
Densitas
1,1 – 1,2 g/cm
Titik cair
104
Titik lebur
580
Titik api
182 – 287 (Wikipedia, 2007)
Semakin besar nilai berat molekul PEG maka akan semakin padat PEG tersebut dan sebaliknya. PEG berdasarkan molekulnya dibagi menjadi : PEG 200, 400, 600, 1000, 1500, 1540, 3350, 4000, 6000, 8000 dan diatas 100.000 sampai 300.000. PEG dengan berat molekul dibawah 1000 berupa cairan jernih tidak berwarna, PEG dengan berat molekul 1000 – 1500 berupa semi padat. PEG 3000 – 20.000 berupa padatan semi kristalin, dan diatas 100.000 berupa resin pada suhu kamar. Jadi PEG semakin meningkat kekerasannya dengan bertambah besarnya berat molekul. Umumnya PEG dengan berat molekul 1500 – 2000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat. Sedangkan untuk PEG dibawah 1500 digunakan dalam dispersi cair (Leuner dan Dressman, 2000)
2.2.9. N,N-Dimethylacetamide (DMAc) DMAc adalah pelarut yang kuat yang memiliki titik didih tinggi, titik beku dan stabilitas yang baik. DMAc pada dasarnya netral, pelarut dengan konstanta dielektrik yang tinggi. DMAc adalah pelarut yang mudah menguap, bersifat racun dan dapat menimbulkan iritasi pada kulit dan mata. Selain itu
24
pelarut DMAc tidak reaktif dalam reaksi kimia dan juga memiliki konstanta dielektrik yang tinggi, DMAc benar-benar larut dalam air, eter, ester, keton, senyawa aromatik dan senyawa alifatik tidak jenuh. DMAc memiliki kestabilan yang bagus, dan tidak akan mengalami degradasi dan perubahan warna jika dipanaskan dibawah suhu 350 . DMAc memiliki titik leleh 161 titik beku -20
dan memiliki
(Delacourt dkk, 2006). Berikut informasi produk dari DMAc dan
sifat fisik yang dimiliki pada Tabel 2.9 dan 2.10 berikut.
Tabel 2.9. Info produk DMAc
(Merck Schuchardt OHG, 2016)
25
Tabel 2.10. Sifat fisik DMAc
(Merck Schuchardt OHG, 2016) 2.2.10. Proses Pembuatan Membran PES merupakan termoplastik yang dapat membentuk membran yang digunakan untuk tujuan pemisahan dan filtrasi. PES terkenal memiliki permeabilitas dan permseleksitivitas tinggi, stabil secara mekanik dan temperatur dan juga tahan terhadap bahan kimia serta dapat dibuat pada suhu ruangan. Selain itu, PES mempunyai toleransi pada berbagai macam metode sterilisasi dan bersifat permeabel
untuk
mendifusikan
molekul-molekul
seperti
protein
ketika
diaplikasikan untuk membran hemodialisis (Su dkk, 2011). Beberapa peneliti telah menggunakan PES pada aplikasi biomedikal untuk membuat organ buatan, dan dalam bidang alat – alat kesehatan banyak digunakan untuk tujuan pemurnian darah seperti : hemodialisis, hemodialfiltrasi, plasmapheresis dan pengumpulan plasma (Zhao dkk, 2001 ; Tullis dkk, 2002 ; Samtleben dkk ; 2003). Membran ultrfiltrasi yang digunakan terbuat dari campuran PES dengan berat molekul 5200, DMAc, dan PEG 1000 dengan komposisi 17,5%, 14,5%, 68%. Pada penelitian sebelumnya oleh (To dkk, 2015) membran PES dengan komposisi diatas menunjukkan performa terbaik dalam koefisien filtrasi diantara komposisi membran lainnya. Untuk lebih meningkatkan kinerja membran PES seperti cara
26
diatas dapat dilakukan dengan cara memodifikasi membran saat preparasi dan sesudah preparasi. Dalam penelitian ini, dilakukan modifikasi membran saat preparasi (casting solution) yaitu dengan penambahan komposisi zat aditif PEG dan pelarut DMAc dengan metode inversi fase basah, dan modifikasi media gelatinisasi dengan menggunakan NMP. Pemilihan DMAc sebagai pelarut berdasarkan parameter kelarutan (
dimana parameter kelarutan (
yang memiliki polimer
PES hampir sama. Kualitas pelarut akan berpengaruh pada morfologi membran. Pelarut yang baik akan mudah melarutkan polimer sehingga meningkatkan viskositas intrinsiknya. Sedangkan pelarut yang buruk mengakibatkan polimer akan berinteraksi dengan sesamanya dibandingkan dengan pelarut. Viskositas dari larutan polimer sangat penting dalam proses pembentukan membran. Dalam pembuatan membran penambahan aditif merupakan senyawa kimia yang dapat larut dalam pelarut maupun dalam non-pelarut. Maka akan terbentuk ruang kosong yang ditinggalkan, sehinga akan terbentuk pori dalam membran. Masaa molekul relatif aditif akan menentukan besar pori yang terbentuk. Berikut modifikasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya pada tabel 2.11 dan 2.12:
Tabel 2.11. Rasio pencampuran dari PES/PEG/DMAc dan strukturnya PES PEG DMAc 1
10.0
8.3
81.7
Solute
2
12.5
10.4
77.1
PES MW : 4800
3
15.0
12.5
72.5
4
17.5
14.5
68.0
5
20.0
16.7
63.3
6
22.5
18.8
58.7
7
25.0
20.8
54.2
Additive PEG MW : 1000 Solvent DMAc
(To dkk, 2015)
(Wang dan Shi, 2011)
Tabel 2.12. Kondisi persiapan dan performa dari membran ultrafitrasi asimetris
27
28
2.2.11. Media Gelatinisasi 2.2.11.1. Akuades atau Air murni (H2O) Air adalah substansi kimia dengan rumus senyawa kimia H2O satu mulekul air yang tersusun atas dua atom hidrogen tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dab pada temperatur 0
. Air merupakan suatu pelarut universal, karena dapat
melarutkan banyak zat kimia seperti garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak macam molekul organik. Berikut karakteristik fisika dan kimia air dijelaskan pada Tabel 2.13. dan Tabel 2.14 :
Tabel 2.13. Sifat fisika dan kimia air (H2O) Air
Nama sistematis Nama alternatif
Air Aquades, dihidrogen, monoksida, Hidrogen hidroksida
Rumus molekul
H2O
Massa molar
18.0153 g/mol
Densitas dan Fase
0.998 g/cm³ (cariran pada 20 °C) 0.92 g/cm³ (padatan)
Titik lebur
0 °C (273.15 K) (32 °F)
Titik didih
100 °C (373.15 K) (212 °F)
Kalor jenis
4184 J/(kg·K) (cairan pada 20 °C) (Wikipedia, 2016)
29
Tabel 2.14. Karakteristik fisik air pada temperatur tertentu 0 °C
20 °C
50 °C
100 °C
Massa jenis (g/cm3)
0.99987
0.99823
0.9981
0.9584
Panas jenis(kal/g•oC)
1.0074
0.9988
0.9985
1.0069
Kalor uap (kal/g)
597.3
586.0
569.0
539.0
Konduktivitas termal(kal/cm•s•oC)
1.39 × 10−3
1.40 × 10−3
1.52 × 10−3
1.63 × 10−3
Tegangan permukaan(dyne/cm)
75.64
72.75
67.91
58.80
178.34 × 10−4
100.9 × 10−4
54.9 × 10−4
28.4 × 10−4
87.825
80.8
69.725
55.355
Parameter
Laju viskositas(g/cm•s) Tetapan dielektrik
(Wikipedia, 2016) 2.2.11.2. N-Methyl-2-pyrrolidone (NMP) NMP merupakan salah satu senyawa organik yang terdiri atas 5 lactam. NMP berbentuk cair dan sebenarnya tidak berwarna, meskipun pada sampelnya terlihat berwarna kuning. NMP mudah larut dalam air dan pelarut organik lainnya. NMP
juga
termasuk
golongan
pelarut
dipolar
aprotic
sama
seperti
dimethylformamide dan dimethylsulfoxide. NMP umumnya digunakan pada industri pertokimia, industri plastik, pemurnia minyak pelumas, dan sebagai pelarut polimer dalam polimerisasi (Harreus, 2011). Penambahan NMP sebagai pelarut pada media gelatinisasi dengan konsentrasi yang berbeda akan memperngaruhi struktur dari membran PES. Penambahan NMP dengan konsentrasi polimer yang lebih kecil seketika itu juga dapat menghentikan demixing, dengan kelambatan demixing itu akan berdampak pada pembentukan
30
pori – pori membran. (Ghosh dkk, 2008) menemukan dengan penambahan sedikit persentase dari pelarut ke dalam media gelatinisasi (3% NMP ke dalam air) dapat mempengaruhi permeabilitas dari membran lebih dari 25%. Berikut sifat fisika dan kimia NMP ddapat dilihat pada Tabel 2.15 :
Tabel 2.15. Sifat fisika dan kimia NMP NMP (N-Methyl-2-Pyrrolidone)
Nama lain
N-Methylpyrrolidone; NMethylpyrrolidinone; NMP; 1-Methyl-2pyrrolidone; Pharmasolve
Bentuk
Cairan
Berat jenis
99.13 g.mol-1
Ikatan kimia
C5H9NO
Massa jenis
1.028 g/cm3
Mudah larut dengan air
100 %
Titik didih
202 – 204 °C (396 – 399
Titik lebur
-24.4°C (-11
Tekanan uap
3.4
Tingkat penguapan
~100
Titik nyala
346°C
; 249 K)
(Burdick dan Jackson, 2000)
; 475 – 477 K)
31
2.2.12. Pengujian Performa Membran 2.2.12.1. Tes Difusi Tes
difusi
dilakukan
untuk
mengetahui
permeabilitas
dan
biokompatibilitas membran. Prihandana dkk, (2013) mendesain dan merakit miniatur sistem hemodialisis yang dapat dilihat pada Gambar 2.15. Tes difusi dilakukan dengan mengalirkan darah dan larutan dialisat ke dalam dua sisi masuk alat mikrofilter (chamber). Sehingga molekul dengan ukuran pori - pori yang lebih kecil dari pada ukuran pori – pori membran dapat terdifusi melewati membran. Tes difusi dibagi ke dalam dua tipe yang berbeda, yaitu tes difusi jangka pendek dan tes difusi jangka panjang. Untuk tes didifusi jangka pendek memerlukan waktu pengujian sekitar 3 jam dengan menggunakan sistem single pass yang bertujuan untuk menguji nilai permeabilitas dari membran. Sedangkan tes difusi jangka panjang memerlukan waktu pengujian yang lebih lama yaitu sekitar 24 hari dengan menggunakan sistem loop. Dalam tes difusi ini diperlukan adanya larutan yang memiliki konsentrasi molekul yang menyerupai darah dalam sistem hemodialisis. Larutan NaCl dipilih karena merupakan standar kesehatan yang digunakan dalam larutan dialisat. Larutan NaCl dan dialisat akan yang digunakan sebagai media transport. Berikut ditunjukkan pada Tabel 2.16. konsentrasi dari larutan serta Tabel 2.17 nilai elektrolit. Kemudian skema tes difusi dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Tabel 2.16. Konsentrasi Urea, Na, K, Cl dalam defibrinated bovine blood dan dialisat Larutan Defibrinated bovine blood Dialysate
Urea (mg/dL)
Na (mmol/L)
K (mmol/L)
Cl (mmol/L)
100
128
4.4
89
<5
141
2.3
88
(Prihandana dkk, 2013)
32
Gambar 2.11. Tes difusi dengan metode yang berbeda : (a) Tes difusi jangka pendek ; (b) Tes difusi jangka panjang ; (c) Parameter yang digunakan dalam pengukuran koefisien difusi (Prihandana, 2013) Tabel 2.17. Nilai elektrolit sebelum dan sesudah tes difusi pada membran PES Molekul
Sebelum Tes Difusi
Sesudah Tes Difusi
K
148
147
Na
2.3
2.8
Cl
96
93
(Prihandana dkk, 2013) 2.2.12.2. Permeabilitas Membran / Water Flux (WF) Permeabilitas merupakan salah satu kriteria kualitas membran. Membran yang baik
mempunyai
permeabilitas
yang cukup
besar.
Permeabilitas
didefinisikan sebagai suatu ukuran yang menyatakan seberapa banyak suatu penetran dapat melewati membran. Parameter yang digunakan untuk menyatakan
33
permeabilitas membran adalah nilai WF, yang didefinisikan sebagai volune permeat yang melewati satu satuan luas membran dalam waktu tertentu. WF dapat dinyatakan dalam persamaan 2.1. berikut (To dkk, 2015) :
Water Flux
................................................(2.1) : Water Flux (mL/m2.jam.mmHg)
Dimana : Q
: Volume permeat (mL)
A
: Luas area difusi membran (m2)
t
: Waktu pengujian (jam)
P
: Tekanan pembuluh darah arteri (mmHg)
WF merupakan salah satu parameter kinerja membran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (i) parameter operasi seperti konsentrasi umpan, suhu, laju alir, dan tekanan, (ii) sifat-sifat fisik larutan umpan, dan (iii) faktor desain. Kenaikan konsentrasi dialisat menyebabkan fluks akan turun. Perubahan konsentrasi dialisat akan merubah harga viskositas, densitas, dan diffusifitas larutan dialisat. Demikian juga, peningkatan suhu dapat menaikkan fluks baik pada daerah yang dikendalikan oleh tekanan atau yang dikendalikan oleh perpindahan massa. Fluks dapat juga dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas. Nilai permeabilitas membran menunjukkan kemampuan membran dalam melewatkan pelarut. Koefisien permeabilitas untuk membran jenis proses ultrafiltrasi berada pada kisaran 0,5 m3/m2.hari.bar (20 L/m2.jam.bar) – 5 m3 /m2.hari.bar (200 L/m2.jam.bar) (Wenten, 1999).
2.2.12.3. Koefisien Difusi Metodologi untuk menghitung koefisien difusi dari membran telah diuraikan sebelumnya oleh Prihandana (2013). Dalam penelitian ini perhitungan koefisien difusi ditentukan dengan persamaan 2.2. berikut :
34
[
] ..............................................(2.2.)
Dimana : Dc : Diffusion coefficient (mm2/detik) Q
: Flow rate dari larutan NaCl (mL/menit)
H
: Ketebalan membran (µm)
A
: Area difusi membran (mm2)
CA : Konsentrasi awal larutan NaCl (µS) CA’ : Konsentrasi akhir larutan NaCl yang terserap (µS) CB : Konsentrasi awal larutan dialisat (µS) CB’ : Konsentrasi akhir larutan dialisat yang terserap (µS)
2.2.13. Karakterisasi Membran Menurut Mulder (1996), karakterisasi membran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) membran berpori (porous membrane), (2) membran tidak berpori (nonporous membrane). Pada membran berpori, pemisahan terjadi akibat perbedaan ukuran antara partikel/molekul dan pori membran dibantu dengan adanya tekanan trans membran sebagai driving force. Mikrofiltrasi
dan
ultrafiltrasi merupakan jenis membran berpori. Di sisi lain untuk membran tidak berpori, seperti pervaporasi, separasi gas dan dialisis, pemisahan terjadi akibat perbedaan laju kelarutan (solubility) dan/atau perbedaan diffusivitas (diffusivity). Tingkat kelarutan dan diffusivitas ditentukan oleh sifat intrinsik bahan membran. Zhao dkk, (2000) menentukan beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui ukuran pori – pori dan distribusi membran berpori, yaitu : (1). mikroskop elektron, (2). Gelembung udara dan transport gas, (3) mercury porosimetry,
(5)
equilibrium
liquid-vapor,
(6)
liquid-solid
equilibrium
(thermoporometry) dan, (6) gas-liquid equilibrium (permporometry).
2.2.13.1. Scanning Electron Microscope (SEM) Electron Microscopy (EM) adalah salah satu alat yang paling baik yang dapat memberikan informasi dengan lengkap mengenai ukuran pori-pori, bentuk
35
pori-pori, morfologi, dan struktur membran. SEM dan Transmission Electron Microscopy (SEM) adalah dua alat yang paling sering digunakan untuk pengematan langsung dalam metode EM. Perbedan dari TEM dan SEM adalah pada cara bagaimana elektron yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, sampel yang disiapkan sangat tipis dehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil dari tembusan elektron tersebut yang diolah menjadi gambar (Powers dkk, 2006). Kelemahan yang dihadapi adalah karena sampel yang diperlukan sangat tipis, maka kerusakan memerlukan waktu yang lama untuk preparasi dan dikhawatirkan terjadi kerusakan struktur sampel. Sedangkan pada SEM sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh detektor dan diolah. Penggunaan SEM lebih mudah karena sampel yang diperlukan tidak setipis sampel yang digunakan pada TEM. Pori – pori dengan ukuran lebih besar dari 1 nm dapat dilakukan pengujian SEM (Chakrabarty dkk, 2008 ; Yang dkk, 2004). Berikut prinsip kerja SEM dan contoh hasil SEM dilihat pada Gambar 2.12. dan Gambar 2.13. dan Tabel 2.18. teknik analisa yang paling dikenal dari beberapa peneliti sebelumnya :
Gambar 2.12. Prinsip kerja SEM (Mulder, 1996)
36
(a)
(b) Gambar 2.13. Hasil pengujian SEM ; (a) morfologi permukaan atas membran, (b) penampang melintang membran (Prihandana, 2013)
s; t;
p; q; r
m; n; o
j; k; l
g; h; i
d; e; f
a; b; c
(Chakrabarty dkk, 2008(a) ; Idris dkk, 2007(b); Oh dkk, 2001(c); Yang dkk, 2003(d); Perez dkk, 193(e) ; Wang dkk, 2006(f) ; Ochoa dkk, 2001(g); Fan dkk, 2008(h); Chen dkk, 2009(i); Yang dkk, 2007(j); Benavete dkk,1998(k); Campos dkk, 1997(l) ; Kim dkk, 1999(m); Bottino dkk, 2001(n); Khulbe dkk, 2000(o); Wei dkk, 2006(p); Saito dkk, 1998(q); Kazama dkk, 2004(r) ; Ferjani dkk, 2000(s) ; Yang dkk, 2007(t))
Tabel 2.18. Teknik Analisa yang paling terkenal untuk karakterisasi kimia fisik membran
37
38
2.2.13.2. Water Contact Angle (WCA) 2.2.13.2.1. Membran Hidrofilik dan hidrofobik
Gambar 2.14. Ilustrasi WCA pada membran (Wenten dkk, 2015)
WCA adalah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis singgung terhadap cairan pada garis kontak dan sebuah garis yang melalui dasar dari tetes cairan. Secara umum sifat permukaan membran dibagi menjadi dua, yaitu hidrofilik dan hidrofobik. Pada membran hidrofilik, air akan membasahi membran secara spontan. Sedangkan pada membran hidrofobik, pembasahan membran oleh air tidak terjadi (Wenten dkk, 2015). Bentuk profil tetes air dan WCA pada permukaan membran dapat dilihat pada Gambar 2.15. berikut.
Hidrofilisitas Gambar 2.15. Profil tetes air dan WCA pada permukaan membran dengan hidrofilisitas berbeda (Celia dkk, 2013; Drelich dkk, 2015; Roach dkk, 2008)
39
Menurut Albrecht dkk, Material hidropfobik umumnya dibuat dari polimer yang memiliki energi permukaan rendah, seperti: polypropylene (PP), polyethylene (PE), polyvinylidene fluoride (PVDF) atau polytetrafluoroethylene (PTFE) (dalam Wenten, 2015). Berikut beberapa material membran polimerik dan energi permukaannya dilihat pada Tabel 2.19.
Tabel 2.19. Material membran polimerik dan energi permukaannya
(Mulder, 1996 ; Ahmad dkk., 2014) 2.2.13.2.2. Pengamatan dan Pengukuran WCA Diantara bermacam – macam motode untuk pengukuran sudut kontak, metode sessile drop adalah metode yang paling umum digunakan (Adamson, 2007). Metode sessile drop dilakukan dengan meneteskan cairan pada permukaan membran kemudian pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop untuk melihat sudut yang dihasilkan antara cairan dan membran. Maksud dari pengukuran sudut kontak air ini adalah untuk mengetahui sifat membran yang hidrofilik atau hidrofobik. Semakin membran bersifat hidrofilik maka membran akan mudah melarutkan air sehingga berpengaruh pada energi permukaan dan kemampuan rejeksi membran (Nunes dkk, 1992). Pengukuran WCA pada membran harus dilakukan lebih dari 1 area permukaan yang berbeda, kemudian hasilnya adalah rata-rata dari pengukuran di
40
area berbeda tersebut. Berikut tampilan gambar WCA dan hasil pengujian dari peneliti sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 2.16, Tabel 2.20 dan Tabel 2.21.
(a)
(b)
Gambar 2.16. Gambar WCA dari material (a) PVP 0, (b) PVP 8 (Kanagaraj dkk, 2015) Tabel 2.20. Hasil pengujian WCA Kode Membran
WCA (◦)
PVP 0
45.5 ± 0.2
PVP 2
51.0 ± 0.5
PVP 4
55.6 ± 1.2
PVP 6
61.4 ± 1.7
PVP 8
70.2 ± 0.6
(Kanagaraj dkk, 2015)
Tabel 2.21. Hasil pengujian WCA Membran
WCA (◦)
PES PES-PVP PES-PEG PES-Plu
64.5 ± 3.3 64.1 ± 2.9 54.1 ± 1.9 61.7 ± 2.8
PES-PANI (Susanto dan Ulbricht, 2009)
65.2 ± 41.8