7
BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Hutan Mangrove dan Ekosistem Mangrove Secara ekologi, mangrove dapat didefinisikan sebagai sekumpulan
vegetasi tropis yang hidup di zona intertidal pesisir. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, atau juga hutan payau. Istilah lain yang sering digunakan untuk hutan mangrove ini adalah hutan bakau, meskipun istilah ini terkadang bisa menimbulkan salah pengertian, karena tidak hanya jenis tumbuhan bakau (Rhizophora spp) saja yang hidup di hutan ini, melainkan banyak jenis tumbuhan lain yang ada di dalamnya. Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefenisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang, namun bebas dari genangan pada saat surut, serta memiliki komunitas tumbuhan yang bertoleransi terhadap garam. Ekosistem
mangrove
adalah
suatu
sistem
di
alam
tempat
berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam kaitan tersebut, diantara mahluk hidup itu sendiri terdapat di wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Fitriadi, 2004). Secara ringkas ekosistem mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. Berkaitan dengan definisi ekosistem mangrove, maka Saenger, dkk (1983) dalam Anwar (1984), Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
8
mengusulkan agar di dalam definisi tersebut, ekosistem hutan mangrove harus mencakup empat hal, yakni: 1. Memiliki satu atau lebih jenis pohon mangrove yang khas; 2. Setiap jenis pohon yang tidak khas tumbuh bersama jenis pohon yang khas 3. Terdapat biota di dalamnya seperti hewan daratan atau laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lainnya yang hidup menetap
atau
sementara, atau sekali-sekali atau biasa, kebetulan, atau khusus hidup di daerah tersebut. Terjadi proses-proses yang penting untuk mempertahankan ekosistem ini baik yang ada di daerah bervegetasi atau di luarnya. 2.2.
Kondisi Lingkungan Hutan Mangrove Hutan mangrove yang biasanya juga disebut hutan bakau mempunyai
kerakteristik yang khas, mengingat hidupnya berada di daerah ekotone yaitu perairan dan daratan . Kerakteristik mangrove ini terutama mampu berada pada kondisi salin dan tawar. Hutan mangrove terdapat didaerah pasang surut pantai berlumpur yang terlindungi dari gerakan gelombang dan dimana ada pasokan air tawar dan partikel-partikel sedimen yang halus melalui air permukaan (Kusmana,1997). Dalam pertumbuhan mangrove memerlukan suatu kondisi lingkungan tertentu. Kondisi lingkungan ini sangat mempengaruhi komposisi dan distribusi serta bentuk pertumbuhan mangrove. Kondisi lingkungan tersebut menurut Kusmana (1997), adalah sebagai berikut : 2.2.1. Kondisi Fisik Hutan Mangrove Menurut Kusmana (1997) kondisi fisik yang jelas nampak di daerah mangrove adalah gerakan air yang minim. Adanya gerakan air yang minim mengakibatkan partikel-partikel sedimen yang halus sampai di daerah mangrove cenderung mengendap dan mengumpul didasar berupa lumpur halus. Hasilnya berupa lapisan lumpur yang menjadi dasar (substrat) hutan . Sirkulasi air dalam dasar (substrat) yang sangat minimal, ditambah dengan banyaknya bahan
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
9
organik dan bakteri penyebab kandungan oksigin didalam dasar juga sangat minim, bahkan mungkin tidak terdapat oksigin sama sekali di dalam substrat. Gerakan yang minim dalam hutan mangrove bertambah lebih kecil lagi oleh pohon-pohon mangrove. Hal ini dikarenakan terdapat jenis-jenis mangrove yang mempunyai sistem perakaran yang khas berupa akar-akar penyangga yang memanjang ke bawah dari batang pohon. Jumlah akar yang demikian banyak dan padat didalam hutan mangrove sangat menghambat gerakan air. Kondisi ini mengakibatkan partikel-partikel akan mengendap disekeliling akar mangrove. Sekali mengendap, sedimen biasanya tidak dialirkan lagi oleh gerakan air dalam hutan mangrove. Dengan cara inilah terjadi “tanah timbul“ di pinggir laut yang berbatasan dengan hutan mangrove, Selanjutnya tanah timbul tersebut dikolonosasi oleh hutan mangrove. Jadi pada kondisi alam tertentu, hutan mangrove dapat menciptakan tanah baru dipinggir laut. Faktor berikutnya yang berpengaruh adalah sirkulasi air dalam hutan mangrove. Pola sirkulasi air alamiah perlu diperhatikan dan sejauh mungkin dipertahankan. Aliran air ini mengantarkan oksigin dan zat-at hara. Terputusnya suatu bagian dari hutan mangrove dari sirkulasi air dapat berarti bahwa kolom air diatas substrat kekurangan oksigen dan berkurangnya zat-zat hara dalam substrat, yang keduanya dapat mengganggu pertumbuhan pohon mangrove. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pasang surut air laut. Pada waktu air pasang , melalui arus pasang masuklah air laut dan menyebabkan meningkatnya salinitas air hutan mangrove. Pada waktu air surut melalui arus surut, air dalam hutan mangrove mengalir keluar dan mengalirnya air tawar melalui air permukaan dan menurunkan salinitas air dalam hutan mangrove. Dengan perkataan lain pasang surutnya air dari hutan mangrove, tetapi juga mengakibatkan berfluktuasinya salinitas air di dalam hutan mangrove. Pada keadaan demikian dimana fluktuasi alami ini jelas dapat ditoleransi oleh pohonpohon mangrove asal salinitasnya tidak melebihi ambang batas yang diperlukan untuk pertumbuhan pohon-pohon mangrove.
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
10
2.2.2. Struktur dan Adaptasi Pohon Mangrove Pada kebanyakan spesies pohon mangrove terdapat ciri-ciri khas yang memberikan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang pada substrat yang terdiri dari sedimen halus yang sering anoksis (tidak mengandung oksigen) dan bersifat asam. Untuk mengadaptasikan dirinya pada substrat seperti ini kebanyakan spesies mangrove : - Dilengkapi dengan struktur perakaran yang khas. - Menerapkan cara-cara khas untuk mendapatkan oksigen serta mencegah masuknya garam dalam jaringan pohon atau mengeluarkan garam yang masuk kedalam jaringan pohon. Adaptasi terhadap substrat lunak yang jelas tidak mampu menopang pohon terlihat pada sistem perakaran pohon mangrove. Terdapat dua tipe perakaran,
yaitu
tipe
perakaran
cakar
ayam
bercabang
dan terdapat
pneumatofora yang menembus permukaan substrat dan tipe perakaran penyangga ganda dimana beberapa akar penyangga tumbuh dari batang pohon menembus substrat, membentuk suatu struktur yang menyerupai payung. Dari akar-akar penyangga utama tumbuh akar-akar penyangga sekunder menembus permukaan substrat (Kusmana, 1997). 2.3.
Floran dan Fauna Mangrove Secara umum hutan mangrove meliputi tumbuhan yang berbentuk
pohon-pohon dan semak. Hutan mangrove digolongkan pada delapan famili, dan terdiri atas 12 jenis tumbuhan berbunga, yaitu : Avicennia, Sonneratia, Rhyzopora,
Bruguiera,
Ceriops,
Xylocarpus,
Lummitzera,
Laguncularia,
Aegiceras, Aegitalis, Snaeda dan Conucarpus (Bengen, 2000). Di dunia terdapat lebih dari 20 famili flora mangrove, yang terdiri dari 30 genus dan 80 spesies. Hutan mangrove di Indonesia memiliki kira-kira 89 jenis tumbuhan mangrove, namun hanya terdapat ± 47 jenis tumbuhan saja yang betul-betul hidup di hutan mangrove. Oleh karena itu, tumbuhan di hutan mangrove dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu mangrove sejati dan mangrove ikutan (LPP Mangrove, 2006). Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
11
Mangrove sejati adalah sebutan untuk kelompok tumbuhan yang hidup hanya di daerah mangrove, sedangkan di luar kawasan mangrove kelompok ini tidak dapat tumbuh. Contoh kelompok tumbuhan ini adalah api-api (Avicennia Marina), gogem, prepat (Sonneratia alba), bakau, bakau besar (Rhizophora mucronata), bakau merah (Rhizophora stylosa), lenro, bakau kecil (Rhizophora Apicula), tancang (Bruguira gymnoriza), nipah (Nypa frutican), drujon (Acanthus ilicifolius), gedangan (Aegiceras corniculatum), panggang (Exoecaria agallocha), dan dungun (Heritiera littoralis). Mangrove ikutan adalah sebutan untuk kelompok tumbuhan yang hidup tidak hanya di kawasan hutan mangrove, tetapi juga sering dijumpai di luar kawasan mangrove. Secara umum kelompok tumbuhan mangrove ikutan terdiri dari empat jenis: 1. Pohon-pohonan, contohnya pohon butun, kebern, (Barringtonia asiatica), nyamplung, bintang laut (Calophyllum inophyllum L), ketapang, kemiri cina, binong laut, bintaro, dadap laut, malapari, kipahang, waru, jati pasir, mengkudu, pace, cangkudu, buah upas, upas biji, kanyere laut, sentigi, cantigi, kayu wesen, bidara laut, beruntas, seruni, dan kawista. 2. Semak-semak, contohnya adalah daun katang-katang, kacang laut, dan Canavalia maritime. 3. Rerumputan, contohnya rumput lari-lari, rumput tembaga, teki laut, gliting segara, dan akar wangi. 4. Perdu, contohnya adalah jeluntung laut, legundi, gabusan, babakan, Tournafortia argentea, bakung, pandan dan kaktus. Berdasarkan jenis-jenis pohon dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu: 1) Asosiasi Avicennia; 2) Asosiasi Rhizophora; 3) Asosiasi Sonneratia; 4) Asosiasi Bruguiera; 5) Asosiasi Nipah (LPP Mangrove, 2006). Pada gambar 2.1. ditampilkan berbagai jenis flora mangrove berdasarkan zona habitatnya.
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
12
Gambar 2.1. Jenis Flora Mangrove Berdasarkan Zona Habitatnya
Sumber : Queensland Museum, Mangrove Challenge, 2007 Di dalam ekosistem hutan mangrove terdapat habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove, maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilian, amfibia, dan mamalia. Hewan-hewan tersebut sebagian ada hidup di darat,dan sebagian hidup di air. Ada juga yang hidup baik di darat maupun di air. Bagi fauna tersebut, keberadaan hutan mangrove sangat penting, yakni: a. Sebagai tempat singgah dan mencari makan; b. Sebagai tempat tinggal, mencari makan dan melangsungkan proses hidupnya; c. Tempat melewatkan masa perkembangan, lalu pindah ke lokasi lain setelah mencapai dewasa. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial) dan fauna air (aquatic). Fauna darat dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu vertebrata dan invertebrata. Kelompok vertebrata terdiri dari mamalia, burung, reptil, dan amfibi, sedangkan kelompok invertebrata terdiri dari serangga dan laba-laba. Mamalia yang terdapat di hutan mangrove diantaranya adalah babi liar, (Sus Vittatus), kelelawar atau kalong besar (Pteretopus vampirus). Terdapat juga jenis-jenis mamalia-primata yang terdapat pada habitat di tepi-tepi sungai, Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
13
termasuk monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata) dan bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik Kalimantan. Fauna jenis burung yang ada di hutan mangrove antara lain adalah jenis burung bangau (egretta alba), burung kuntul (egretta sp), burung gajahan, burung udang (alcedo sp), burung pelatuk, burung bekicau (jenis burung pemakan serangga). Jenis burung bangau dan kuntul hanya bersarang di hutan mangrove, mereka tidak akan bersarang di luar hutan mangrove karena akan terbunuh oleh manusia. Jenis burung gajahan merupakan jenis burung yang bermigrasi, yang biasa menetap dan makan di atas dataran berlumpur pasang surut. Fauna jenis reptil, yakni hewan melata yang ada di hutan mangrove antara lain adalah biawak (Varanus Salvator), kadal (Mabuya multifasciata), ular air (Enhydris), ular cincin mas (Boiga dendrophila), ular tambak (Cerberus rhynchops), ular bangkai laut ( Trimelesurus wagleri), dan viper mangrove. Kebanyakan dari ular-ular mangrove yang dijumpai di hutan mangrove bukanlah ular laut yang sebenarnya. Buaya muara (Crocodylus porosus) juga terdapat di hutan mangrove dan merupakan hewan terbesar di rawa-rawa hutan mangrove. Jenis amfibi yang ada di hutan mangrove, yakni katak mangrove (Rana cancrivora),
katak
hijau
(Rana
Limnocharis),
dan kodok
buduk
(Bufo
melanostictus) merupakan hewan istimewa di kalangan amfibi karena dapat hidup dan berkembang biak dalam air yang sedikit asin. Kecebongnya lebih tahan terhadap garam daripada yang dewasa. Metamorphosis pada yang dewasa hanya akan terjadi setelah air yang asin menjadi sangat encer. Fauna jenis serangga yang ada di hutan mangrove banyak jenisnya, namun yang paling umum dan mudah ditemui adalah nyamuk dan semut. Jenis yang lain yang dijumpai di hutan mangrove adalah jenis laba-laba. Fauna air yang merupakan fauna laut didominasi oleh ikan dan binatang tak bertulang belakang lainnya, seperti siput dan kerang (didominasi oleh Bivalia dan Gastropoda) serta kepiting (didominasi oleh Brachyura). Berdasarkan habitatnya, fauna laut di mangrove terdiri dari dua tipe, yaitu:
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
14
1. Infauna yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang; 2.
Epifauna yang menempati substrat baik yang keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Jenis ikan yang ada di kawasan mangrove adalah jenis ikan glodok dan ikan betok. Selain itu juga terdapat beberapa jenis ikan lainnya seperti ikan belanak (Mungilidae), ikan kuweh (Carangidae), ikan kipasan, ikan lontong (Gerrediae), ikan kekemek, ikan gelama, ikan krot (Scinaidae), ikan barakuda, ikan alu-alu dan ikan tancak (Sphyraenidae). Pada gambar 2.2. berikut ini menggambarkan ilustrasi penyebaran fauna termasuk jenis hewan air seperti ikan dan udang serta jenis hewan lainnya di habitat ekosistem mangrove. Gambar 2.2. Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat ekosistem mangrove
Sumber : Irwanto,Keanekaragaman Fauna dan Habitat Mangrove, 2006 Jenis hewan invertebrata yang ada di hutan mangrove biasanya berukuran kecil. Ada yang hidup menempel pada akar-akar mangrove, atau di lumpur-lumpur. Beberapa jenis hewan invertebrata yang bisa kita temui di hutan mangrove adalah kepiting (Krustasea), keong atau kerang (Molusca), cacing (Polychaeta), bulu babi, teripang dan Scylla serrata (sejenis bentos).
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
15
2.4.
Manfaat dan Fungsi Kawasan Mangrove Frida Sidik, dkk (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan
sumberdaya alam wilayah tropis yang memiliki multi manfaat dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat diamati dari keragaman jenis hewan yang hidup di kawasan mangrove dan ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini. Hutan mangrove juga merupakan kombinasi dari tanah, air, tumbuhan, binatang, dan manusia yang dapat menghasilkan barang dan jasa. Adapun fungsi ekologi, yaitu berupa fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat beberapa jenis fauna, secara ringkas fungsi ekologi tersebut adalah: 1. Sebagai pelindung daratan dari abrasi pantai, gelombang atau angin kencang; 2. Sebagai pengendali intrusi air laut; 3. Sebagai habitat dari berbagai jenis fauna; 4. Sebagai tempat mencari, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang; 5. Sebagai penyedia lahan melalui proses sedimentasi; 6. Pengontrol penyakit malaria; 7. Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air). Selanjutnya disebutkan bahwa manfaat ekonomi dan sosial dari mangrove adalah: 1. Hasil berupa kayu (arang, kayu bakar, tiang, serpih kayu, pulp); 2. Hasil bukan kayu, yakni hasil hutan ikutan (tanin, produk nipah, obatobatan, madu), perikanan, jasa kesehatan lingkungan, dan jasa tourisme. Menurut Saenger (1981) dalam Anwar, dkk (1984), fungsi ekosistem hutan mangrove adalah:
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
16
1. Fungsi fisik, yaitu menjaga pantai tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai (abrasi), serta sebagai perangkap zat pencemar dan limbah. 2. Fungsi biologi, yaitu sebagai dearah pasca larva dan yuwana jenisjenis ikan tertentu dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota dengan produktivitas yang tinggi, serta bersarangnya burung-burung besar. 3. Fungsi ekonomi atau fungsi produksi, yaitu menghasilkan produk langsung (seperti bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil), maupun produk tidak langsung (seperti tempattempat rekreasi dan bahan makanan dan produk yang dihasilkan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat). Secara umum fungsi dan manfaat dari keberadaan hutan mangrove tersebut merupakan keuntungan bagi kelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan kehidupan pada masa yang akan datang.
Namun apabila
pemanfaatan hutan mangrove tersebut dilakukan secara eksploitatif dan tidak terkendali, maka akan mengakibatkan kerusakan ekosistem mangrove tersebut. Hal ini tentunya akan mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan itu sendiri, yang berarti kerugian bagi mahluk hidup. Banyak dampak yang bisa terjadi akibat kerusakan hutan mangrove ini, yang tentunya merupakan kebalikan dari manfaat dan keuntungan yang diperoleh, yang berarti kerugian, diantaranya adalah terjadinya erosi tanah dan abrasi pantai yang parah, punahnya keanekaragaman flora dan fauna, intrusi air laut yang terjadi semakin cepat, menurunnya kualitas dan kuantitas hasil perikanan, mewabahnya penyakit demam berdarah dan malaria, dan kerugian lainnya bagi mahluk hidup dan lingkungannya. 2.5.
Dampak Perubahan Guna Lahan Mangrove Hutan Mangrove sebagai ekosistem merupakan tempat berinteraksinya
berbagai unsur baik abiotik maupun biotik dengan faktor lingkungannya dalam habitat mangrove. Proses interaksi tersebut tentunya akan berdampak baik terhadap
lingkungan
apabila
terjadi
keseimbangan
alami
dalam
siklus
kehidupannya. Eksploitasi dan pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
17
akan merusak proses interaksi dalam ekosistemnya, yang berarti akan berdampak buruk bagi lingkungannya. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove menjadi pemanfaatan lain yang bersifat eksploitatif dan tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah lingkungan merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem mangrove tersebut, yang berakibat pula pada rusaknya lingkungan hidup. Pada tabel 2.1. berikut ini disajikan secara spesifik jenis kegiatan yang biasa dilakukan di kawasan pesisir yang berdampak pada rusaknya ekosistem hutan mangrove. Table 2.1. Kegiatan di Wilayah Pesisir yang Berdampak pada Ekosistem Hutan Mangrove. Kegiatan 1. Tebang habis tumbuhan mangrove
Dampak Potensial a. Berubahnya
komposisi
tumbuhan;
pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh
spesies-spesies
komersialnya
yang
rendah
nilai
dan
hutan
mangrove yang ditebang habis ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pengasuhan
(nursery
ground)
yang
optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda. 2. Pengalihan aliran air tawar,
a. Peningkatan salinitas hutan mangrove,
misalnya pada
yang
menyebabkan
pembangunan irigasi
spesies-spesies
yang
dominasi lebih
dari
toleran
terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tidak dapat mentoleransi peningkatan salinitas, karena mereka lebih
sensitif
terhadap
perubahan-
perubahan lingkungan. b. Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zat-zat hara Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
18
melalui aliran air tawar berkurang. 3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan
a. Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground larva dan stadium muda ikan dan udang. b. Pencemaran
laut
pencemar
yang
oleh
bahan-bahan
sebelum
hutan
mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. c. Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove. d. Intrusi garam melalui saluran-saluran alam
yang
dipertahankan
keberadaannya atau melalui saluransaluran
buatan
manusia
yang
bermauara di laut. e. Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi mangrove 4. Pembuangan sampah cair (sewage)
a. Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air, sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobic yang antara lain menghasilkan hydrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) yang keduanya
merupakan
racun
bagi
organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi
berlangsungnya
anaerobik.
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
dekomposisi
19
5. Pembuangan sampah padat
a. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan
sampah
padat
yang
akan
mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. b. Perembesan
bahan-bahan
pencemar
dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. 6. Pencemaran minyak akibat
a. Kematian pohon-pohon mangrove akibat
terjadinya tumpahan minyak
terlapisnya pneumatofora oleh lapisan
dalam jumlah besar
minyak
7. Penambangan dan ekstraksi
a. Kerusakan
total
ekosistem
hutan
mineral:
mangrove di lokasi penambangan dan
a. Di dalam hutan
ekstraksi mineral dapat mengakibatkan musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenile ikan dan udang yang komersial penting di lepas pantai, dan dengan demikian mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut.
b. Di daratan sekitar hutan mangrove
b. Pengendapan sedimen yang berlebihan yang dapat mengakibatkan terlapisnya pneumatofora selanjutnya
oleh
akan
sedimen
mematikan
yang pohon
mangrove. Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996. Pada table 2.1. di atas menggambarkan kondisi di wilayah pesisir yang sering terjadi yang merupakan bentuk perlakuan terhadap hutan mangrove berupa kegiatan yang dilakukan baik oleh masyarakat, pemerintah maupun pihak swasta dan dampaknya terhadap lingkungan. Hal ini tentunya akan merugikan tidak saja diderita oleh generasi sekarang, namun juga pada generasi yang akan datang. Dengan mengambil keuntungan jangka pendek, tetapi akan merugikan Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
20
dalam jangka panjang. Pada gambar 2.3 berikut ini ditampilkan diagram ilustrasi dampak yang muncul akibat rusaknya ekosistem mangrove. Gambar 2.3. Diagram Ilustrasi Dampak Perubahan Ekosistem Mangrove
Sumber : Integration and Application Network, University of Maryland, 2003.
2.6.
Hutan Mangrove, Penduduk dan Ekonomi Hutan mangrove yang dulunya dianggap sebagai hutan yang kurang
mempunyai nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya alam yang berpotensi sebagai sumber penghasil devisa serta sumber mata pencaharian bagi
masyarakat
yang
berdiam
disekitarnya.
Pada
kenyataannya
mengindikasikan bahwa belakangan ini terlihat adanya gangguan yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah pesatnya perkembangan penduduk dan perluasan wilayah kota (Darsidi, 1984). Hampir dapat dipastikan bahwa mati hidupnya ekosistem hutan mangrove bergantung pada bentuk aktivitas manusia. Masuknya teknologi, keterbatasan kemampuan manusia dapat ditopang, sehingga keberadaan ekosistem hutan mangrove serta ekosistem lainnya berada pada titik yang mengkhawatirkan. Beberapa ahli berpendapat agar dalam mengelola hutan mangrove tidak hanya melihat nilai ekonominya saja dengan maksud agar cepat
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
21
menghasilkan tanpa memperhatikan kerugian dalam jangka panjang, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984). Dampak yang ditimbulkan hutan mangrove berupa erosi pantai, akibat hilangnya perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove. Pantai pesisir akan berkurang sehingga keberadaan pantai menjadi sempit yang hanya terdiri dari pasir atau kolam-kolam asin yang tidak dapat dihuni. Sehingga pusatpusat pemukiman pantai menjadi mudah diterjang angin topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995). Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut (Naamin, 1988). 2.7.
Tipologi Masyarakat dan Pemanfaatan Lingkungan Wilayah Pesisir Pada umumnya masyarakat pesisir memiliki mata pencaharian yang
saling
tumpang
tindih.
Klasifikasi
masyarakat
pesisir
dapat
dilakukan
berdasarkan mata pencaharian utamanya atau berdasarkan sifat mereka bermukim. Dengan dasar kriteria tersebut, maka menurut Chairul Muluk (1995), masyarakat wilayah pesisir dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Masyarakat nelayan, yakni masyarakat yang bermukim dan masyarakat yang dominan di wilayah pesisir. Mata pencahariannya bersifat musiman, sekalipun merupakan mata pencaharian utama. Aktifitas mata pencahariannya tergantung pada cuaca dan musim. Pada umumnya, masyarakat nelayan ini
bersifat
tradisional
yang
mengoperasikan
alat
tangkap
yang
sederhana, tanpa atau dengan motor, oleh karena itu wilayah operasi mereka terbatas di sekitar perairan pesisir. Permukiman masyarakat nelayan tradisional ini umumnya relatif kecil, terpencar-pencar dan sulit dijangkau melalui jalan darat. 2. Masyarakat petani dan nelayan, yakni masyarakat nelayan dengan mata pencaharian kedua adalah bertani. Kegiatan pertanian biasanya dilakukan pada saat tidak melaut (pada musim paceklik).
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
22
3. Masyarakat petani, yakni masyarakat wilayah pesisir yang terlibat dalam kegiatan budidaya tanaman kelapa, padi, ikan dan/atau udang, juga kegiatan yang menghasilkan garam. Tidak jarang dari mereka mencari tambahan penghasilan dengan mengeksploitasi sumberdaya alam lainnya, seperti menangkap ikan di sungai atau rawa, serta mengumpul bahan makanan atau bangunan dari hutan mangrove. Pemukimannya berkelompok dan umumnya memiliki kebun dan pekarangan. 4. Masyarakat pengumpul atau penjarah, yakni mata pencaharian tidak tetap masyarakat pesisir, sebenarnya pada dasarnya
mereka
adalah
masyarakat
nelayan
dan
petani
yang
disebabkan pada musim paceklik mereka mencari penghasilan tambahan. Pada umumnya mereka mengembara di hutan bakau dan rawa, mengumpulkan bahan pangan dan bangunan. Diantara masyarakat pesisir ini sering ditemukan pedagang hasil hutan, benih ikan atau udang, bahan bakar (kayu atau arang), dan bahan bangunan. 5. Masyarakat perkotaan/perindustrian, yakni masyarakat pesisir yang berciri kekotaan. Hal ini disebabkan perkembangan
wilayah
pesisir,
seperti
pembangunan
kawasan
pelabuhan, industri, pariwisata dan fasilitas penunjang lainnya, seperti pemukiman, jalan raya, air minum, listrik dan lain sebagainya. 6. Masyarakat pengembara, yakni masyarakat pesisir yang tidak memiliki pemukiman tetap. Mereka mengembara untuk menangkap ikan, dan jika hasil tangkapannya menurun, mereka pindah ke daerah lainnya. Tidak jarang mereka merambah hutan untuk bertani, namun mereka tidak pernah menetap di satu daerah dalam waktu yang lama. Pada umumnya masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir untuk membuat tempat-tempat bermukim mereka. Jonny Purba (2002) mengatakan sebagian besar masyarakat pesisir membuat rumah di atas tiang-tiang yang relatif tinggi dari tanah. Tujuannya bukan saja agar tidak terendam oleh air pada waktu air laut pasang naik, atau turun hujan, tapi juga agar tidak diganggu oleh binatang-binatang kecil yang berkeliaran di Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai
23
tanah, seperti ular, kalajengking, lipan, semut dan serangga lainnya. Bahanbahan untuk membangun rumah itu seluruhnya diperoleh dari lingkungan setempat. Daerah-daerah yang banyak ditumbuhi jenis palem rawa seperti rumbia, nibung atau sagu, hasilnya akan dimanfaatkan untuk keperluan rumah.
Kajian Potensi dan Pengembangan Hutan Mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai