9
TINJAUAN PUSTAKA Proses Adopsi dan Difusi Inovasi Teknologi IB diperkenalkan di Indonesia pada tahun limapuluhan. Kemudian mulai dilakukan uji-coba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969. Namun
kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat
Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976 bersamaan dengan diresmikannya Sentra Inseminasi Buatan Lembang. Sebagai suatu inovasi teknologi di bidang reproduksi ternak, IB tidak langsung diterima oleh peternak. Inovasi menurut Rogers (2003:11) adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek yang dianggap baru oleh suatu
individu atau beberapa individu.
Inseminasi Buatan sebagai salah satu teknologi reproduksi, masuk pada kategori “technological innovation.” Menurut Rogers (2003:12-15, 35) setiap teknologi terdiri dua komponen, yaitu (1) suatu perangkat keras (hardware) yang terdiri dari peralatan dan (2) suatu perangkat lunak (software) yang merupakan informasi ataupun pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya. Dalam konteks IB, yang termasuk perangkat keras seperti frozen semen, container, insemination gun dan lain-lain, yang berwujud benda atau fisik. Sedangkan yang termasuk perangkat lunak adalah selain pengetahuan dasar dari peralatan tersebut dan cara penggunaannya, juga pengetahuan peternak tentang apa yang harus dilakukan untuk memperoleh pelayanan IB serta pasca pelayanan IB. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan inovasi mulai dari ”pengenalan” sampai dengan mengambil ”keputusan” apakah menerima inovasi tersebut ataupun menolaknya. Begitu juga setelah mengambil keputusan, diperlukan waktu untuk ”konfirmasi” apakah akan diteruskan menerima ataupun berhenti. Bagi yang menolak, mungkin akan terus menolak ataupun pada akhirnya menerima setelah melihat banyak bukti yang berhasil (Rogers & Shoemaker 1995:102). Proses individu mengambil suatu keputusan inovasi, dapat dilihat pada Gambar 1.
10
(PROSES)
(LATAR BELAKANG)
PEUBAH PENERIMA 1. 2. 3. 4.
(KONSEKUENSI)
SUMBER KOMUNIKASI
TERUSKAN ADOPSI
Sifat-sifat pribadi Sifat-sifat sosial Kebutuhan akan inovasi Dan lain-lain
HENTIKAN a. Ganti b. Kecewa
INFORMASI PENGENALAN
PERSUASI
SISTEM SOSIAL 1. Norma-norma sistem 2. Toleransi terhadap perubahan 3. Kesatuan komunikasi 4. Dan lain-lain
SIFAT INOVASI 1. 2. 3. 4. 5.
KEPUTUSAN
KONFIRMASI
MENOLAK
Keuntungan relatif Kompatibilitas Kompleksitas Trialabilitas observabilitas
ADOPSI LAMBAT TERUS MENOLAK
WAKTU
Gambar 1. Model proses keputusan inovasi (Rogers & Shomaker 1995: 102). Dalam Gambar 1 tersebut jelas terlihat setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat maupun kecepatan proses adopsi inovasi, yaitu latar belakang peternak, baik yang berkaitan dengan individu (karakteristik internal) maupun
sistem sosial (karakteristik eksternal), proses
komunikasi dan sifat dari inovasinya serta dimensi waktu. Proses Adopsi Inovasi Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima sepenuhnya suatu inovasi (gagasan, tindakan dan/atau obyek) sebagai pilihan terbaik yang tersedia untuk bertindak atau melakukan sesuatu (Rogers 2003:21). Menurut Lionberger dan Gwin (1982:60-62), sebelum sampai pada adopsi, proses yang dilalui oleh individu adalah kepedulian, ketertarikan, penilaian, mencoba dan menerima (awareness, interest, evaluation, trial dan adoption). Tahapan proses adopsi oleh individu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
11
AWARENESS
INTEREST
EVALUATION
TRIAL
ADOPTION
Gambar 2. Tahapan proses adopsi oleh individu (Lionberger & Gwin 1982:61) Pada tahap awareness, seseorang menjadi peduli terhadap gagasan, produk, ataupun cara baru ketika melihatnya untuk pertama kali. Orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan ataupun informasi tentang hal baru tersebut. Pada tahap interest, muncul ketertarikan terhadap hal yang baru tersebut. Pada tahap ini, informasi yang bersifat umum tidak cukup, tetapi dia mulai ingin mengetahui apa yang sesungguhnya tentang hal tersebut, bagaimana hal itu akan bekerja dan sebagainya. Orang tersebut membutuhkan informasi lebih lanjut dan secara aktif mencari informasi tambahan yang lebih rinci. Pada tahap evaluation, sebagai calon adopter yang sudah mengumpulkan informasi, maka orang tersebut mulai menimbang-nimbang antara pro dan kontra dari gagasan baru tersebut, dan ini terkait pada keadaan mental dari orang yang bersangkutan, dikarenakan dia harus memutuskan dua hal, yaitu (1) apakah ini sesuatu yang baik dan (2) apakah ini baik untuk saya. Pada tahap
trial,
seseorang mulai mencoba gagasan ataupun cara baru tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa pola yang umum yang dilakukan pada tahap ini adalah seseorang pada awalnya mencoba sedikit demi sedikit, dan jika semuanya berjalan dengan baik,
maka dia akan mencoba lebih banyak. Akhirnya, jika
percobaan permulaan berhasil, yang biasanya dilakukan oleh seseorang pada usahanya sendiri dan sering setelah mengamati atau berkonsultasi dengan yang lain, maka dia akan mengadopsi inovasi tersebut untuk digunakan seterusnya. Atau, bisa juga dia sama sekali tidak menggunakan inovasi tersebut. Pada tahap adoption, seseorang memutuskan bahwa suatu inovasi cukup baik untuk digunakan dalam skala penuh, dan akan dipertahankan sampai ada inovasi lagi (Lionberger & Gwin 1982:61-62). Namun, tidak ada kesepakatan di antara para peneliti bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan hasil dari sekuens pengaruh yang bekerja saat itu atau sebagai sesuatu yang terjadi secara instan. Lebih jauh dikatakan, ada variasi dalam proses adopsi, yaitu tidak semua orang mengalami semua
tahapan
secara
persis
(Lionberger & Gwin 1982:62).
urutannya
dalam
mengambil
keputusan
12
Proses adopsi adalah bersifat individual, dan hal ini akan menyebar ke anggota masyarakat yang lain dalam proses yang dikenal sebagai difusi inovasi. Proses Difusi Inovasi Difusi adalah suatu proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan sepanjang waktu melalui saluran tertentu kepada anggota dari suatu sistem sosial. Unsur utama dari difusi ini adalah (1) suatu inovasi, (2) menggunakan saluran komunikasi tertentu , (3) dalam suatu jangka waktu dan (4) di antara para anggota sistem sosial (Rogers 2003:10-37; Nasution 2002:124). Inovasi. Dari unsur inovasi, beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) inovasi teknologi, informasi dan ketidakpastian, (2) klaster teknologi dan (3) karakteristik inovasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan inovasi
adalah suatu gagasan, tindakan atau obyek
yang dianggap baru oleh suatu
individu atau beberapa individu. Anggapan
”kebaruan” suatu ”gagasan, tindakan atau obyek” akan menentukan bagaimana orang bereaksi. Sebagai suatu ”technological innovation,” inovasi menciptakan semacam ketidakpastian dalam pikiran seorang adopter potensial (Rogers 2003:13). Oleh karena itu dibutuhkan banyak informasi untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Suatu klaster teknologi terdiri dari satu atau lebih unsur teknologi yang dapat dibedakan dan dianggap mempunyai kemiripan dengan inovasi lain. Klaster teknologi adalah batas-batas sekitar suatu inovasi teknologi. Hal ini penting karena menyangkut suatu konsep dan metodologi dari inovasi teknologi tersebut. Karakteristik inovasi, sebagaimana mereka persepsikan, akan menjelaskan perbedaan kecepatan proses adopsi. Beberapa hal yang terkait dengan ini adalah (1) kelebihan/keutamaan relatif (relative advantages), (2) kesesuaian (compatibility), (3) kerumitan (complexity), (4) dapat dicoba (trialability) dan (5) dapat dilihat (observability). Penjelasan berikut adalah dari Nasution (2002:125): 1. Keuntungan relatif (relative advantages), yaitu apakah inovasi tersebut memberikan sesuatu keuntungan relatif bagi mereka yang menerima inovasi tersebut. 2. Keserasian (compatibility), yaitu apakah inovasi yang hendak diadopsi sesuai dengan nilai-nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang lama, kebutuhan, selera, adat-istiadat dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan; 3. Kerumitan (complexity), yaitu apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit,
13
sebab selain sukar dipahami, juga cenderung dirasakan sebagai tambahan beban baru. 4. Dapat dicobakan (trialability), yaitu suatu inovasi akan lebih cepat diterima, bila dapat dicobakan terlebih dahulu dalam ukuran kecil sebelum orang terlanjur menerimanya secara menyeluruh. Ini adalah hal yang wajar, karena seseorang akan selalu berupaya menghindari resiko yang besar terhadap hal baru. 5. Dapat
dilihat (observability), jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan
mata, dapat terlihat langsung hasilnya, maka orang akan lebih mudah untuk mempertimbangkan untuk menerimanya, ketimbang bila inovasi itu berupa sesuatu yang abstrak, yang hanya dapat dibayangkan. Saluran komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses, di mana anggota masyarakat menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lainnya, dalam rangka mencapai pemahaman yang saling menguntungkan. Difusi adalah suatu jenis komunikasi khusus di mana isi pesan yang saling dipertukarkan adalah berkaitan dengan gagasan baru. Prosesnya melibatkan (1) suatu inovasi, (2) individu atau satuan lain adopsi yang mempunyai pengetahuan tentang inovasi atau berpengalaman menerapkan inovasi tersebut, (3) individu lain atau satuan lain yang belum berpengalaman menerapkan inovasi tersebut dan (4) saluran komunikasi yang menghubungkan kedua satuan tersebut. Jadi, saluran komunikasi adalah suatu tindakan dimana pesan diperoleh dari satu individu ke individu yang lain. Dimensi waktu. Waktu adalah unsur ketiga utama dari suatu proses difusi. Dimensi waktu tidak bisa diabaikan, hal ini terkait (1) dalam innovation process, individu melewati dari pengetahuan awal tentang inovasi sampai kepada menerima atau menolak inovasi, (2) bisa diperbandingkan antara yang relatif cepat atau lambat dalam mengadopsi suatu inovasi dan (3) kecepatan mengadopsi suatu inovasi dalam suatu sistem, biasanya diukur dari jumlah anggota yang mengadopsi inovasi tersebut dalam periode waktu tertentu. Anggota sistem sosial. Penyebar-serapan (difusi) inovasi terjadi secara terus-menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu yang berikutnya, dan dari bidang tertentu ke bidang lainnya melalui anggota sistem sosial. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain (Nasution
14
2002:123). Rogers (2003:24) menyatakan bahwa difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial. Struktur sosial dari sistem akan mempengaruhi difusi inovasi dengan beberapa cara. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi adalah proses komunikasi dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Oleas et al. (2010:43) menambahkan peran dari opinion leaders. Proses Komunikasi Seperti dinyatakan oleh Rogers (2003:17), bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana peserta (participants) menciptakan dan berbagi informasi satu dengan yang lain dalam rangka untuk memperoleh pemahaman bersama. Dalam proses pengambilan keputusan inovasi, terlihat bahwa informasi dari ”sumber komunikasi” sangat diperlukan sejak proses ”pengenalan,” ”persuasi” dan pengambilan ”keputusan.” Begitu juga ketika proses konfirmasi berlangsung. Ross (1979:12) mendefinisikan komunikasi dengan banyak pendekatan, yaitu (1) suatu proses saling berhubungan, mengendalikan satu dengan yang lainnya dan saling memahami, (2) interaksi sosial yang menggunakan lambang dan pesan, (3) pengetahuan tentang perilaku mengirimkan pesan kepada penerima dengan maksud menyadarkan dan merubah perilaku penerima, (4) kemampuan berbahasa dengan banyak lambang dan berhubungan dengan perilaku dalam suatu sistem sosial, (5) fungsi sosial tentang perilaku, (6) komunikasi terjadi kapan saja dimana seseorang menunjukkan pesan yang berhubungan dengan perilaku dan (7) komunikasi manusia melibatkan segala sesuatu yang mengandung arti. Ditambahkan kemudian, bahwa semua komunikasi terdiri hanya 35% verbal dan sisanya 65% adalah bahasa nonverbal. Dalam konteks nonverbal ini, peranan budaya sangat besar. Bahkan tiap-tiap komunitas mungkin mempunyai sistem komunikasi nonverbal sendiri. Di sini pentingnya untuk mengamati secara langsung proses komunikasi suatu komunitas. Saluran komunikasi (communication channel) adalah cara (the means) dimana pesan-pesan diperoleh dari seseorang ke orang lainnya. Beberapa contoh saluran komunikasi adalah media massa, seperti radio, televisi, suratkabar dan lain-lain, yang memungkinkan satu sumber atau sedikit sumber dapat mencapai banyak pendengar (Rogers 2003:18). Di lain pihak, saluran antar pribadi (interpersonal channels), adalah lebih efektif dalam mempengaruhi seseorang untuk menerima suatu gagasan baru, khususnya jika saluran antar pribadi menghubungkan dua atau lebih individu yang memiliki status sosial-
15
ekonomi, pendidikan dan pandangan yang sama.
Saluran-antar-pribadi
melibatkan pertukaran melalui ”pertemuan langsung” antara dua individu atau lebih. Dalam penyuluhan pertanian di Indonesia, hampir semua
saluran
komunikasi tersebut di atas pernah digunakan. Sistem Sosial dan Perubahan Sosial Ada dua pendekatan dalam melihat suatu kelompok di masyarakat, yaitu (1) dari sudut psikologi sosial yang sering disebut dengan istilah ”dinamika kelompok” dan (2) dari sudut ilmu sosiologi, yang sering disebut sebagai pendekatan ”sistem sosial.” Menurut Rogers (2003:23), sistem sosial adalah ”a set of interrelated units that are engaged in joint problem-solving to accomplish a common goal” (suatu susunan satuan yang saling terkait, bergabung dalam pemecahan masalah untuk mencapai tujuan bersama). Anggota atau satuan dari suatu sistem sosial bisa bersifat individu-individu, kelompok informal, organisasi dan/atau subsistem sosial. Menurut Loomis (1960:5) unsur-unsur pokok sistem sosial adalah (1) tujuan (goal), (2) keyakinan (belief/knowledge), (3) sentimen/perasaan (sentiment/ feeling), (4) norma (norm), (5) sanksi (sanctions), (6) peranan/kedudukan (status/roles), (7) kewenangan/kedudukan (power/authority), (8) jenjang sosial (social rank), (9) fasilitas (facility) dan (10) tekanan dan ketegangan (stress and strain). Lebih jauh dikatakan, bahwa secara teoritis, kelompok sebagai suatu sistem sosial harus mempunyai kesepuluh unsur ini. Jika ada yang kurang atau tidak ada, maka itu merupakan kelemahan kelompok tersebut, karena masingmasing unsur tersebut adalah sebagai peubah yang mempunyai pengaruh pada interaksi anggota dalam kelompok, juga akan berpengaruh pada perilaku individu dan perilaku kelompok. Dengan pendekatan proses, maka masing-masing unsur menjelaskan proses (1) pencapaian sasaran dan menyertai aktivitas yang bersifat laten, yang mengartikulasikan unsur tujuan (end, goal atau objective) dan mempunyai fungsi pencapaian (achieving), (2) pemetaan cognitive dan validasi sebagai artikulasi unsur keyakinan (belief/knowledge) yang mempunyai fungsi mengetahui (knowing),
(3)
manajemen
tegang
dan
komunikasi
sentimen,
yang
mengartikulasikan unsur sentimen/perasaan (sentiment) yang mempunyai fungsi perasaan (feeling), (4) evaluasi, yang mengartikulasikan unsur norma (norm), yang mempunyai fungsi penormaan, penstandaran dan pemolaan (norming, standardizing, patterning), (5) penerapan sanksi, yang mengartikulasikan unsur
16
sanksi (sanctions) yang mempunyai fungsi memberi sanksi (sanctioing), (6) performans status-peran, yang mengartikulasikan unsur peranan/kedudukan (status/roles), yang mempunyai fungsi pembagian fungsi (dividing of functions), (7) pembuat keputusan dan inisiasi tindakan, yang mengartikulasikan unsur kewenangan/kedudukan (power/authority), yang mempunyai fungsi pengendalian (controlling), (8) evaluasi pelaku dan alokasi status-peran, yang mengartikulasikan unsur jenjang sosial (social rank), yang mempunyai fungsi penetapan tingkatan (ranking) dan (9) pemanfaatan fasilitas, yang mengartikulasikan unsur fasilitas (facility), yang mempunyai fungsi fasilitasi (facilitating); Rogers (2003:30-31), menyatakan bahwa setiap inovasi akan mempunyai konsekuensi. Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi terhadap individu ataupun sistem sosial sebagai hasil dari penerimaan (adopsi) ataupun penolakan (rejeksi) suatu inovasi. Menurutnya, setidaknya ada tiga klasifikasi konsekusensi inovasi, yaitu (1) antara konsekuensi diinginkan dan tidak diinginkan. Ini tergantung apakah suatu inovasi di dalam suatu sistem sosial, berfungsi atau tidak, (2) antara konsekuensi langsung dan tidak langsung. Hal ini tergantung apakah perubahan individu ataupun sistem sosial terjadi segera setelah diresponsnya suatu inovasi (direct consequence), atau merupakan hasil tidak langsung (second-order) dari konsekuensi langsung suatu inovasi dan (3) antara konsekuensi dapat diantisipasi dan tidak dapat diantisipasi. Hal ini tergantung apakah perubahan ini dikenali dan yang dimaksud oleh anggota dari sistem sosial atau tidak. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:140-141), sebagian besar studi difusi inovasi menekankan pada perubahan teknis yang kecil dan khusus. Sedikit saja perhatian diberikan terhadap perubahan yang besar dalam struktur sosial atau cara hidup masyarakat. Dengan demikian perhatian lebih banyak ditujukan pada inovasi bagian pinggir (periferal) daripada yang di pusat dari suatu sistem sosial. Lebih jauh, dinyatakan, bahwa perubahan individu dan kelompok merupakan
pusat
perhatian
pada
penelitian
difusi
inovasi.
Perubahan
kelembagaan dan masyarakat jarang diteliti, padahal perubahan sosial yang demikian sangat penting, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan. Perubahan sosial secara konseptual adalah sebagai suatu proses, terencana ataupun tidak direncanakan secara kualitatif ataupun kuantitatif perubahan di dalam fenomena sosial, yang dapat digambarkan dalam suatu susunan kontinum enam bagian dari keterkaitan antar komponen-komponen
17
identitas, level, durasi, arah, magnitut dan tingkat kecepatan perubahan (Vago 1989:24). Menurut Rogers (2003:6) difusi adalah sejenis dengan perubahan sosial, yang didefinisikan sebagai proses perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Menurut
Vago
(1989:10-14)
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
perubahan sosial, yaitu (1) Penduduk. Perubahan dalam ukuran (jumlah), komposisi, distribusi penduduk akan mempengaruhi perubahan sosial, (2) Konflik. Banyak perubahan sosial dihasilkan oleh
terjadinya konflik antar
kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat muncul antar kelas sosial, penduduk dari daerah yang berbeda, dan rasial serta kelompok-kelompok etnis, (3) Determinasi ekonomi. Kepemilikan modal, akan menentukan organisasi dari masyarakat bukan pemilik modal. Struktur kelas dan susunan kelembagaan, juga nilai-nilai budaya, keyakinan, agama, dogma dan gagasan sistem yang lain, adalah benar-benar merefleksikan dasar ekonomi masyarakat, (4) Inovasi. Inovasi merujuk kepada suatu cara baru dalam melakukan sesuatu, (5) Difusi. Diffusi adalah proses di mana suatu inovasi dan sifat-sifat budaya lain menyebar dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya dan (6) The Legal System. Melalui proses berkelanjutan, regulasi, deregulasi dan penegakan hukum secara selektif, legal system adalah suatu instrumen dalam perubahan sosial. Berkenaan dengan inovasi, Vago (1989:12-13) menyatakan bahwa ada tiga tipe dasar inovasi yang sering menyebabkan perubahan sosial, yaitu (1) teknologi baru, (2) budaya baru dan (3) bentuk baru dari struktur sosial. Dalam konteks ini, IB merupakan inovasi teknologi. Pengaruh teknologi ini mempunyai akibat yang besar terhadap kehidupan individu-individu dalam masyarakat, terhadap nilai-nilai sosial, terhadap struktur dan fungsi dari kelembagaan sosial, dan terhadap organisasi politik dalam masyarakat (Vago, 1989:87). Latar belakang peternak, sistem sosial, proses komunikasi dan sifat suatu inovasi di atas akan menentukan tingkat penerapan maupun kecepatan adopsi suatu inovasi. Tingkat Penerapan dan Kecepatan Adopsi Inovasi Keputusan seseorang untuk menerima ataupun menolak suatu inovasi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan, menurut Lionberger dan Gwin (1982:5) dipengaruhi oleh (1) sebagian dari faktor
individu, (2) sebagian dari situasi
dimana dia berada dan (3) sifat dari inovasi tersebut. Faktor individu yang mempengaruhi adalah merupakan kombinasi dari sifat-sifat yang diturunkan
18
(inherited characteristics) dan pengalaman belajar (learned experiences) (Lionberger & Gwin 1982:8). Beberapa faktor individu (personality variables) yang mempengaruhi adopsi suatu inovasi (perubahan), menurut Rogers (2003:272-274), mencakup (1) rasa empati, (2) sikap
dogmatis, (3) kemampuan melakukan abstraksi, (4)
rasionalitas, (5) kecerdasan, (6) sikap terhadap perubahan, (7) sikap terhadap ketidakpastian, (8) sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, (9) fatalisme dan (10) aspirasi. Faktor situasi di mana individu tersebut
berada,
menurut Lionberger dan Gwin (1982:10-13) terdiri dari (1) family, (2) friendship groups, (3) locality groups, (4) religious groups, (5) reference groups dan (6) special interest groups. Hasil penelitian Ginting (1984: 84) tentang respons peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak - yang mencerminkan tingkat adopsi inovasi IB- adalah 35,33% sangat setuju dan 43,33% setuju. Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali
di
Kecamatan
Bontonompo,
Kabupaten
Gowa,
Sulawesi
Selatan
menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: inovator 10%, early adopter 20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%. Khusus untuk waktu yang dibutuhkan dimana suatu inovasi diadopsi oleh sebagian anggota dari suatu sistem sosial, Rogers (2003:206-207) menyebutnya sebagai rate of adoption. Tingkat kecepatan adopsi inovasi ini dipengaruhi oleh (1) sifat-sifat yang melekat pada inovasi (relative advantage, compatibility, complexity, trialability dan observability), (2) jenis keputusan inovasi (optional, collective atau authority), (3) saluran komunikasi (misal: media massa, interpersonal), (4) sistem sosial dan (5) intensitas upaya promosi oleh agen perubahan (penyuluh). Sebagai contoh, Lionberger dan Gwin (1982:63) menyatakan bahwa dibutuhkan waktu lima tahun bagi petani di Iowa untuk mau menggunakan (mengadopsi) benih jagung hibrida, dan dibutuhkan waktu sekitar 12-14 tahun untuk semua petani menggunakan benih jagung hibrida tersebut. Adapun hasil penelitian Ali-Olubandwa et al. (2010:26) tentang perbaikan teknologi produksi jagung pada petani skala kecil di Kenya, menunjukkan bahwa terendah 17,2% (Busia District) dan tertinggi 56,7% (Lugari District) responden yang mengadopsi paket teknologi tersebut secara penuh (100%). Menurut Nasution (2002:125), perbedaan kecepatan proses adopsi, antara lain dapat dijelaskan dengan persepsi mereka terhadap karakteristik inovasi.
19
Persepsi Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi. Persepsi juga mempengaruhi keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) pesan yang diterima dan makna yang diberikan (DeVito 2000: 75). Menurut Tubb dan Moss (2005:34), sebagai komunikator, kita bergantung
pada persepsi dalam hampir semua aspek
kehidupan sehari-hari. Hal ini berati, bahwa dalam proses mengadopsi inovasi IB, peternak juga dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang IB dan hal-hal lain terkait dengan IB. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:83-85), persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Dijelaskan, bahwa ada beberapa prinsip umum persepsi, yaitu (1) Relativitas, setiap persepsi bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat diperkirakan bagaimana yang tepat, tetapi dapat dikatakan bahwa yang satu melebihi yang lainnya. (2) Selektivitas, persepsi sangat selektif. Panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, maka tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik dan psikologis seseorang. (3) Organisasi. Setiap persepsi terorganisir. Seseorang cenderung menyusun pengalamannya dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar. Dalam sekejap panca indera melakukan seleksi dan sosok yang menarik akan menciptakan pesan. (4) Arah. Melalui pengamatan, seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Lebih jauh van den Ban dan Hawkins (1999:90) menjelaskan, bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas, tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Dalam penelitian Ginting (1984:51) menyatakan, bahwa persepsi terhadap IB adalah pemberian arti/makna yang diberikan berdasarkan proses pengamatan ataupun pengalaman dalam diri peternak terhadap IB dalam pernyataan setuju atau tidak setuju. Dalam hal ini, terdapat 62% jawaban peternak yang
20
menyatakan setuju tentang IB, ini berarti peternak memberikan makna yang positif terhadap gagasan tersebut.
Penelitian Terkait Adopsi Inovasi dan Implementasi IB Untuk meningkatkan kesahihan (validitas) instrumen yang akan digunakan sebagai alat pengumpul data sesuai dengan yang diharapkan, maka selain menyandarkan kepada kajian-kajian pustaka yang berkaitan dengan konsep teoritis mengenai karakteristik internal dan eksternal
peternak, persepsi dan
proses adopsi inovasi terkait dengan penerapan IB, juga pada hasil penelitian yang relevan, yang pernah dilakukan peneliti sebelumnya sebagai pembanding. Partisipasi petani peternak dalam penerapan IB pada ternak sapi di Kabupaten Lombok Barat, NTB, Yasin (1994: 80-81), menyimpulkan: (1) secara rata-rata tingkat partisipasi petani peternak termasuk dalam kategori sedang. (2) pendidikan petani peternak berhubungan positif dan nyata dengan semua aspek partisipasi; dan (3) tingkat partisipasi petani peternak yang berdomisili di daerah dominan lahan persawahan, secara absolut lebih tinggi dibandingkan petani peternak yang berdomisili di daerah dominan lahan kering. Karakteristik yang dominan peternak adalah (a) 48% telah berumur di atas 45 tahun; (b) 50% tidak tamat SD; (c) 44% mempunyai tanggungan keluarga antara 4-5 orang; (d) 55% pengusahaan ternak sapi antara 1-2 ekor; (e) 50% mengusahakan lahan garapan antara 0,25-0,50 hektar; (f) 54% berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000,-/tahun; (g) 68% berpengalaman sebagai peserta IB kurang dari tiga tahun; (h) 56% mempunyai pengetahuan tentang IB tergolong rendah. Sedangkan Ginting (1984: 84) dalam penelitiannya tentang respons petani peternak sapi perah terhadap IB di Kecamatan Pujon Malang menyimpulkan bahwa persepsi peternak sapi perah terhadap IB adalah (1) 35,33% sangat setuju,
(2) 43,33% setuju, (3) 14% ragu-ragu dan
(4) 7,34% tidak setuju
(menolak). Sedangkan hasil penelitian Amrawati dan Nurlaelah (2008:92) yang menganalisis tingkat adopsi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan menyimpulkan tingkatan adopter sebagai berikut: Innovator 10%, early adopter 20%, early majority 30%; late majority 23,33% dan laggard 16,67%.
Tingkat adopsi
inovasi IB oleh
peternak sapi Bali di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa ini dinilai Amrawati dan Nurlaelah cukup tinggi.
21
Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi. Penelitian Akhsan tentang proses adopsi dan difusi pemberian makanan tambahan bayi, menyimpulkan tingkat adopsi ditentukan oleh
aspek: (1)
pendidikan, (2) pendapatan rumah tangga, (3) pengetahuan tentang gizi dan (4) keterampilan pangan ibu-ibu (Akhsan 1998: 214). Penelitian Nelly tentang hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku petani mengadopsi rumput unggul di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat yang bertujuan untuk: (1) mengetahui distribusi petani berdasarkan karakteristik sosial ekonomi, (2) menentukan distribusi petani berdasarkan perilaku menanam rumput dan mengadopsi domba, dan (3) mengukur derajat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan perilaku menanam rumput dan mengadopsi domba, menyimpulkan bahwa karakteristik sosial ekonomi petani adalah: (1) laki-laki, (2) berumur tua, (3) tidak tamat sekolah dasar, (4) bekerja sebagai buruh tani, (5) jumlah keluarga kecil, (6) memiliki radio, (7) tidak pernah kontak dengan penyuluh dan (8) mendapat informasi pertama dari ketua kelompok (Nelly 1988: 79). Hasil penelitian Lestari tentang hubungan status sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi inovasi sapta usaha pertanian, menunjukkan status sosial ekonomi petani adalah: (1) tingkat adopsi 80% tinggi, (2) 91% mempunyai luas lahan 0,1-0,9 ha, (3) 93% mempunyai pendapatan kurang dari Rp. 1 juta, (4) 57% petani mempunyai tanggungan keluarga 3-5 orang, (5) 50% berumur 46-60 tahun, (6) lulus SD 38% dan tidak lulus SD 25% dan (7) pengalaman berusahatani: 38% antara 1-20 thn; 39% antara 21-40 thn (Lestari, 1994: 97-98). Sedangkan penelitian Hanafi tentang keefektivan jaringan komunikasi dalam adopsi inovasi teknologi pengembangan agribisnis: Kasus ternak kambing PE di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, menyimpulkan bahwa tingkat adopsi dipengaruhi oleh (1) tingkat pendidikan peternak dan (2) keterdedahan terhadap media massa untuk kelompok yang relatif maju. Karakteristik peternak di kelompok yang relatif maju, yang berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi teknologi, yaitu (1) tingkat pendidikan peternak, (2) status kepemilikan ternak, (3) keterdedahan terhadap media massa dan (4) komitmen peternak (Hanafi 2002: 134-135). Penelitian Kaliky tentang intensitas komunikasi dan persepsi peternak terhadap keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering
di
Kecamatan
Cangkringan
Kabupaten
Sleman
DI
Yogyakarta,
22
menyimpulkan bahwa karakteristik peternak mencakup aspek: (1) berumur muda, (2) pendapatan dari sapi perah relatif rendah, (3) berpengalaman (lebih besar dari 5 tahun) dan (4) tingkat kekosmopolitan rendah (Kaliky 2002: 88-89). Penelitian Buana tentang adopsi teknologi budidaya padi sawah bagi petani penduduk asli di sekitar pemukiman transmigrasi: kasus di Kecamatan Lambuya, Kabupaten Kendari, menyimpulkan bahwa (1) karakteristik internal petani, mencakup aspek: (a) tingkat pendidikan formal, (b) jumlah tanggungan keluarga, (c) luas lahan garapan dan (d) pendapatan. Karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (a) keadaan sarana prasarana, (b) keanggotaan dalam kelompok tani dan (c) frekuensi penyuluhan (Buana 1997: 84). Penelitian Sadono tentang tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani: kasus di Kabupaten Karawang Jawa Barat, yang bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat persepsi petani terhadap pengendalian hama terpadu (PHT); (2) tingkat penerapan PHT dan (3) faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan PHT, menyimpulkan bahwa karakteristik internal petani mencakup aspek: (a) tingkat pendidikan formal dan (b) persepsi terhadap PHT. Sedangkan karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (a) keanggotaan dalam kelompok dan (b) sebagai pemandu (Sadono 1999: 85-86). Novarianto, yang meneliti tentang adopsi inovasi teknologi Tabela bagi petani padi sawah: Kasus petani padi sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo Sulawesi Utara, yang salah satu tujuannya untuk
mengetahui
karakteristik internal dan eksternal petani, menyimpulkan karakteristik internal petani mencakup aspek: (1) umur di atas 45 tahun, (2) lama pendidikan 0-6 tahun, (3) pengalaman berusahatani di atas 11 tahun, (4) jumlah tanggungan 3-5 orang dan (5) penghasilan di bawah 5 juta rupiah. Sedangkan karakteristik eksternal petani, mencakup aspek: (1) ketersediaan informasi, (2) intensitas penyuluhan dan (3) ketersediaan saprodi (Novarianto 1999: 92-93). Sedangkan Simanjuntak meneliti beberapa faktor yang berhubungan dengan adopsi agribisnis ikan air tawar: Kasus Desa Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Riau, menyimpulkan bahwa faktor internal petani mencakup aspek: (1) pendapatan petani dan (2) motivasi meningkatkan usahatani, mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi. Sedangkan umur petani, pendidikan formal dan pengalaman bertani, memiliki hubungan yang tidak nyata. Faktor eksternal petani, yang mencakup aspek: (1) luas kolam dan (2) informasi dari radio/TV, mempunyai hubungan yang nyata dengan tingkat
23
adopsi. Sedangkan sumber informasi dari sesama teman, brosur/liptan dan penyuluh, memiliki hubungan yang tidak nyata (Simanjuntak 2000: 56). Purnaningsih dalam penelitiannya tentang adopsi inovasi pola kemitraan agribisnis sayuran di Provinsi Jawa Barat, menyimpulkan bahwa (1) pihak yang berperan dalam adopsi inovasi pola kemitraan adalah: (a) petugas pendamping, (b) koperasi, (c) pedagang pengumpul, (d)
teman sesama petani dan (e)
keluarga petani. (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan bermitra adalah: (a) tingkat kebutuhan bermitra, (b) kepastian pasar, (c) pengalaman berusahatani dan (d) pinjaman modal (Purnaningsih 2006: 189-190). Berdasarkan studi pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang proses adopsi suatu inovasi, dapat disimpulkan beberapa faktor peubah dan dimensinya, yaitu (1) faktor internal petani, (2) faktor eksternal petani, (3) sifat dari inovasi (4) persepsi terhadap suatu obyek inovasi dan (5) faktor lain yang terkait dengan pola ataupun skala usaha dan obyek inovasi, seperti kebijakan pemerintah. Faktor internal petani dan usahanya antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat kekosmopolitan, keanggotaan dalam kelompok, jumlah pemilikan lahan atau ternak, motivasi meningkatkan skala usaha, pendapatan keluarga/rumah tangga, jumlah tanggungan keluarga, tingkat kebutuhan terhadap IB dan tujuan pemeliharaan (Ginting 1984; Nelly 1988; Yasin 1994; Lestari 1994; Buana 1997; Akhsan 1998; Sadono 1999; Novarianto 1999; Simanjuntak 2000; Kaliky 2002; Hanafi 2002). Faktor eksternal petani antara lain adalah norma sistem sosial, ketersediaan informasi, keadaan sarana prasarana, intensitas penyuluhan, kepastian pasar, kelembagaan, sumber-sumber informasi dan jaringan komunikasi (Ginting 1984; Buana 1997; Sadono 1999; Novarianto 1999; Simanjuntak 2000; Hanafi 2002; Rangkuti 2007). Sifat inovasi terdiri dari keuntungan relatif, keserasian, kerumitan, dapat dicobakan dan dapat dilihat (Simanjuntak 2000 dan Rangkuti 2007). Persepsi peternak tentang IB pada sapi perah ditunjukkan dengan kategori sangat setuju, setuju, ragu-ragu dan tidak setuju (Ginting 1984). Sedangkan aspek kebijakan, secara implisit
terdapat
dalam penelitian Ginting (1984), Lestari (1994), Yasin (1994), Sadono (1999), Katharina (2007), Rangkuti (2007). Untuk mengetahui sejauh mana relevansi hasil penelitian terkait di atas dengan penelitian yang dilakukan ini, khususnya aspek internal dan eksternal peternak sapi portong serta usahanya sebagai variabel anteseden, maka perlu dieksplorasi karakteristik peternakan sapi potong di Indonesia.
24
Karakteristik Peternakan Sapi Potong Untuk mengetahui karakteristik peternakan sapi potong (biasanya termasuk kerbau) di Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu teknis, sosial ekonomi dan tipologi usaha. Dari aspek teknis, tujuan budidaya dapat dibedakan menjadi (1) produksi susu (sapi perah); (2) pembibitan; (3) penggemukan/kereman; dan (4) campuran dari dua atau tiga tujuan tersebut. Populasi ternak sapi potong tahun 2008 berjumlah 12,26 juta ekor. Sebagian besar berada di pulau Jawa, yaitu 44,44%. Data statistik rumah tangga (RT) peternakan berjumlah 5,63 juta (22,51% dari RT Pertanian). Sebanyak 81,0% (4,6 juta) dari RT peternakan adalah peternak sapi potong, dan sekitar 53,3% dari peternak sapi potong, berada di pulau Jawa (Ditjennak 2009b:76 dan 178). Jenis sapi yang paling banyak dibudidayakan secara berturut-turut adalah sapi Bali, PO/Putih, Limousin, Simental, Brahman, Madura dan sapi lokal lainnya (Ditjennak 2010:13). Dari aspek sosial ekonomi, dibedakan menjadi dua, yaitu (1) berorientasi subsisten dan (2) berorientasi kepada keuntungan (Suhaji 1994:38). Aspek pertama, juga biasa disebut sebagai ”peternakan rakyat” atau ”sistem usahatani tradisional.” Lebih dari 95% merupakan peternakan rakyat yang bersifat subsisten, yang mempunyai karakteristik, yaitu (a) jumlah pemilikan relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 2,17 ekor (b) sebagai tabungan (rojo koyo) dan akan dijual atau dipotong untuk memenuhi kebutuhan tertentu seperti kebutuhan pendidikan, upacara perkawinan, upacara adat atau keagamaan dan lain-lain, (c) berfungsi sebagai ternak kerja (bajak dan transportasi) untuk mendukung usaha pertanian, (d) mencakup beberapa tujuan budidaya, (e) teknologinya sederhana, (f) pakannya berasal dari rumput ”lapangan” atau limbah hasil pertanian dan (g) menunjukkan tingkat status sosial-ekonomi tertentu. Aspek kedua, yang berorientasi keuntungan, mempunyai karakteristik (a) jumlah pemilikan secara ekonomis memenuhi skala usaha yang menguntungkan, (b) mempunyai tujuan usaha yang jelas, seperti penggemukan dan/atau pembibitan, dan (c) dikelola menurut
kaidah-kaidah
teknis
dan
ekonomis
(efisiensi),
baik
sistem
perkandangan, pemberian pakan, kesehatan dan pemasarannya (Pane 1993:vii; Suhaji 1994:38; Wiryosuhanto 1997:7; Sudardjat & Pambudy 2003:17-35). Suhaji (1994:25) membagi usaha peternakan menjadi empat tipologi usaha, yaitu (1) sebagai usaha sambilan: sapi sebagai pendukung usaha pertanian digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak sawah ataupun penarik
25
gerobak dan mempunyai kontribusi pendapatan petani kurang dari 30% dari usaha pertaniannya; (2) cabang usaha: budidaya sapi sebagai usaha selain usaha budidaya pertanian (campuran), kontribusi pendapatannya antara 30% sampai 70% dari usaha pertaniannya ; (3) usaha pokok: budidaya sapi sebagai usaha pokok (tunggal) dan pertanian sebagai usaha sambilan. Kontribusi pendapatan usahaternaknya diatas 70% hingga 100%; dan (4) industri, adalah budidaya sapi dalam skala besar sebagai pilihan dan murni berorientasi kepada pasar dan keuntungan. Namun demikian, menurut Pane (1993:vii) peternakan sapi di Indonesia sejak zaman dahulu telah berkembang sebagai suatu usaha sambilan. Upaya-upaya pengembangan usaha peternakan sapi potong telah dilakukan oleh Pemerintah, yaitu melalui antara lain (1) Intensifikasi sapi potong (INSAP) tahun 1996, (2) Panca usaha ternak potong (PUTP), (3) Program sentra pengembangan agribisnis komoditi unggulan (SPAKU), (4) model transmigrasi (5) Pendekatan kemitraan (pola PIR), (6) Kawasan industri peternakan (KINAK), (7) Kawasan usaha peternakan (KUNAK), (8) Gerakan pembangunan areal peternakan pedesaan (Gerbang Anak Desa) dan (9) Gerakan pengembangan sentra baru pembibitan di pedesaan (Gerbang Serba Bisa).
Juga Village
Breeding Center (VBC) dan penyebaran sapi betina eks-impor Brahman Cross kemitraan (Wiryosuhanto 1997:62; Hardjosubroto et al.,1997:247). Pengamatan penulis di lapangan, masalah-masalah sosial-ekonomi terkait usaha budidaya sapi potong antara lain adalah (a) jasa sewa sapi untuk bekerja (membajak) di sawah; (b) jasa sapi pejantan sebagai pemacek dalam proses kawin alam, (c) sistem gaduhan: paroh (Jawa: paron), kontrak sumba dan lainlain, (d) fungsi ternak sebagai tabungan, rojo-koyo dan kriteria status sosial, (e) fungsi ternak sebagai sarana atau media acara adat dan/atau keagamaan dan (f) ternak sebagai kesenangan (hobi) dan kebanggaan. Saat ini juga banyak berkembang usaha penggemukkan sapi, tetapi menghadapi kendala sulitnya mencari sapi bakalan untuk digemukkan karena sedikitnya peternak yang berkecimpung di bidang perbibitan. Sistem perkawinan ternak sapi sebelum adanya teknologi IB, adalah menggunakan sistem perkawinan secara alami, yang sering disebut sebagai ”kawin alam.” Kawin alam dapat terjadi (1) tanpa sengaja di tempat ”pangonan” sapi ataupun di padang-padang penggembalaan, (2) sengaja dibawa ke pasar hewan untuk memperoleh pejantan, (3) peternak pemilik sapi betina akan
26
memilih sapi pejantan unggul yang dimiliki oleh tetangganya atau (4) model kelompok: 10 sapi betina satu pejantan (proyek IFAD, ADB dll) . Tidak semua peternak memiliki sapi jantan dan tidak semua sapi jantan menjadi pemacek. Dalam sistem kawin alam ini, berbagai macam bentuk transaksi dan interaksi sosial terjadi antara pemilik sapi betina dan pemilik pemacek. Ada kalanya pemilik pemacek dibayar dengan uang tunai untuk sekali kawin, ada kalanya dibayar dengan hasil bumi (natura),
ada pula dalam bentuk lain, seperti
pemberian beberapa telur ayam dan gula merah sebagai ”obat kuat” bagi pemacek.
Kebijakan Perbibitan Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan (Dye 1976:1). Jadi gagasan tentang kebijakan publik harus termasuk semua tindakan pemerintah, bukan hanya ”maksud yang dinyatakan” (secara eksplisit) oleh pemerintah ataupun oleh aparat pemerintah. Lubis (2007:9) setelah mengutip beberapa definisi dari berbagai referensi, merumuskan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah dengan tujuan tertentu untuk kepentingan masyarakat. Lebih jauh dikatakan, bahwa jika pemerintah melakukan pelayanan dengan berorientasi kepada public interest atau public need, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah itu ialah how to serve the public, sehingga pemerintah bertindak sebagai public servant (pelayanan masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan publik). Gambar 3 menunjukkan salah satu model implementasi suatu kebijakan. Menurut Wibawa et al., (1994:15) setiap kebijakan sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen dasar, yaitu (1) tujuan yang luas, (2) sasaran yang spesifik dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Komponen terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci. Hal
ini harus diterjemahkan dalam program-
program aksi dan proyek. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa dalam ”cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yaitu siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dari perspektif kebijakan, respons masyarakat terhadap dampak suatu kebijakan dapat bersifat skeptis, kritis dan analitis. Skeptis, tidak yakin apa yang akan dicapai oleh kebijakan
27
tersebut. Kritis, mempertanyakan dukungan dan hambatan bagi pelaksanaannya dan Analitis, memberikan sumbangan saran bagi pelaksanaan yang lebih baik. Karakteristik Masalah 1. 2. 3. 4.
Ketersediaan teknologi dan teori teknis Keragaman perilaku kelompok sasaran Sifat populasi Derajat perubahan perilaku yang diharapkan
Daya Dukung Peraturan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Variabel Non-Peraturan
Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran Teori kausal yang memadai Sumber keuangan yang mencukupi Integrasi organisasi pelaksana Diskresi pelaksana Rekruitmen pejabat pelaksana Akses-formal pelaksana ke organisasi lain
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi Perhatian pers terhadap masalah kebijakan Dukungan publik Sikap dan sumberdaya kelompok sasaran utama Dukungan kewenangan Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana
Proses Implementasi Keluaran kebijakan dari organisasi pelaksana
Kesesuaian keluaran kebijakan dengan kelompok sasaran
Dampak aktual keluaran kebijakan
Dampak yang diperkirakan Perbaikan peraturan
Gambar 3. Model implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian (Wibawa et al., 1994:26) Lebih lanjut dikatakan, respons secara individual terhadap dampak kebijakan bisa bersifat reaktif-konfrontatif, adaptif-komformistis atau di antara keduanya. Secara politis, respons tersebut bisa dikemukakan secara legal konstitusional ataupun illegal-inkonstitusional (Wibawa et al. 1994:60-62). Konsep Perbibitan Tugas Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan, membuat norma, standar, pedoman dan kriteria
di bidang perbibitan ternak.
Maksud perbibitan dalam hal ini adalah semua hal yang terkait dengan bibit/ benih ternak.
28
Pengertian perbibitan tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak, yaitu “suatu sistem
di bidang benih dan/atau bibit ternak yang paling sedikit meliputi
pemuliaan, pengadaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran, pengawasan mutu, pengembangan usaha serta kelembagaan benih dan/atau bibit ternak.’’ Dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem perbibitan adalah ”tatanan yang mengatur hubungan dan saling ketergantungan antara pengelola sumberdaya genetik, pemuliaan, perbanyakan, produksi, peredaran, pemasukan dan pengeluaran benih dan atau bibit
unggul, pengawasan penyakit,
pengawasan mutu, pengembangan usaha dan kelembagaan” (Ditbit 2006:5). Sedangkan pemuliaan ternak, sebagai bagian dari sistem perbibitan, tertuang dalam undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, diartikan sebagai “rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu.” Tujuan tertentu tersebut adalah (1) pemurnian/ konservasi, (2) persilangan dan (3) penciptaan bangsa (breed) baru (Ditbit 2003:16). Menurut Hardjosubroto et al., (1997:255) arah/tujuan pembibitan ada tiga, yaitu (1) pemurnian, (2) persilangan, baik dalam rangka untuk memperoleh bangsa (breed)
baru, ataupun sebagai final stock untuk dipotong dan (3)
konservasi. Menurut Payne dan Hodges (1997:210), tujuan dari program genetik (genetic programmes) sapi adalah untuk menghasilkan generasi pengganti yang lebih sesuai dengan kebutuhan ekonomi dan sosial dari suatu masyarakat, sementara itu juga mempertahankan atau memperbaiki genetiknya agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumberdaya yang digunakan. Proses ini menuntut perubahan genome (total kromosom dalam inti sel) sapi melalui seleksi dan melipatgandakan gene yang lebih disukai, yang secara positif mengarah kepada sifat-sifat yang diharapkan. Sasaran gene bisa terdapat dalam populasi sapi, gene baru bisa diintroduksi dari populasi lain, atau gene yang tidak diharapkan dihapus atau dikurangi frekuensinya. Dalam pembibitan, diperlukan populasi dasar, yang terbagi menjadi tiga kategori ternak bibit, yaitu (1) bibit dasar (foundation stock), yang merupakan bibit hasil dari suatu proses pemuliaan dengan spesifikasi tertentu yang
29
mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit induk.” Ini juga yang akan menjadi elite group; (2) bibit induk (breeding stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu yang mempunyai silsilah, untuk menghasilkan ”bibit sebar” dan (3) bibit sebar/niaga/komersial (commercial stock) yang merupakan bibit dengan spesifikasi tertentu untuk digunakan dalam proses produksi. Sejauh ini, klasifikasi dan struktur bibit seperti tersebut di atas untuk ternak potong belum ada (Ditbit 2003:3; Ditbit 2006:11). Menurut Wiener (1994:87-88) struktur bibit menyerupai bentuk piramid yang mempunyai hirarki berikut: (1) ellite group (nucleus) di puncak; (2) multiplier group di tengah dan (3) commercial group di bagian dasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa aliran genes secara dominan adalah dari atas ke arah bawah, jadi perbaikan genetik dilakukan di kelompok atas (elite group) dan kemudian disebarkan ke bawah. Secara lebih operasional, sistem perbibitan sapi potong lokal, baik skala peternakan rakyat maupun skala komersial, melalui teknik perbaikan mutu genetik dan teknik peningkatan efisiensi reproduksi, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (PUSLITBANGNAK, 2007) meliputi (1) Seleksi bibit: memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih, bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut. Sifat seleksi yang dipilih harus yang bersifat menurun dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai, yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi; (2) Tahapan seleksi: (a) pembentukan kelompok dasar (foundation stock). Kelompok dasar merupakan kumpulan sapi potong terpilih dari hasil seleksi yang memiliki tampilan luar tertentu (misal tinggi gumba, berat badan, dan sebagainya) yang terbaik dari populasi yang ada di suatu wilayah atau di suatu kelompok pembibitan. Tujuan utama pembentukan kelompok dasar adalah mendapatkan sapi-sapi (jantan dan betina) pilihan yang nantinya mampu menghasilkan keturunan sapi-sapi bibit dan dikembangkan sebagai bibit sumber; (b) penjaringan (screening). Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di peternakan rakyat atau di pasar hewan), untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya; (c) seleksi keturunan. Seleksi keturunan adalah seleksi yang dilakukan selama beberapa generasi terhadap sapi-sapi yang dihasilkan di tahapan kelompok dasar. Sapi-sapi F1 yang terpilih dalam seleksi saling
30
dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi anakannya (F2), kemudian sesama sapi F2 yang terpilih dalam seleksi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapisapi F3, dan seterusnya sampai mendapatkan sapi dengan kriteria performans yang dikehendaki untuk dijadikan sebagai sapi bibit sumber; (d) pembentukan kelompok inti (elite). Kelompok elit adalah tahapan akhir dari rangkaian program seleksi. Populasi di kelompok inti adalah sapi-sapi bibit sumber, yiatu sapi dengan produktivitas yang tinggi dan keragaman genetiknya kecil. Di kelompok elit, dilakukan dua kegiatan, yaitu perbanyakan bibit sumber dan menghasilkan sapi-sapi unggul untuk siap disebarkan ke kelompok dasar dan kelompok pengembang. Mekanisme seleksi dan pengaturan perkawinan yang dilakukan di tahap kelompok elit ini hampir sama dengan di tahap kelompok dasar, tetapi materi sapinya sudah berupa bibit sumber dan sekecil mungkin memasukkan sapi-sapi baru untuk digunakan sebagai tetuanya. Di tahapan kelompok elit ini sangat dibutuhkan pencatatan yang lengkap, berurutan dan jelas tentang silsilah/asal usul dan performans produktivitas dari masing-masing sapi bibit sumber, karena keturunannya akan disebarkan sebagai sapi bibit unggul untuk memperbaiki genetik sapi-sapi di peternak rakyat, atau dijadikan sebagai perbanyakan bibit sumber yang ada; dan (e) pembentukan kelompok pengembang (breeding stock). Kelompok pengembang adalah tahapan terakhir dari tahapan rangkaian program-program. Kelompok pengembang dibentuk untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan yang akan digemukkan dan akhirnya dipotong sebagai sumber penghasil daging. Saat ini, pembibitan sapi potong untuk tujuan pemurnian adalah (1) sapi Bali: di pulau Bali, Sumbawa, Timor, Flores dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan; (2) sapi Ongole di pulau Sumba (Ditbit 2006:10); dan sapi Madura di Pulau Sapudi. Hal ini berarti bahwa untuk jenis sapi lain atau sapi Bali, Onggole dan Madura di luar daerah tersebut dapat disilangkan. Talib (2002:105) menyarankan, persilangan antara sapi Bali dengan Bos Taurus dan Bos Indicus diarahkan untuk menghasilkan final stock. Namun, menurut Pane (1993:2) sejauh ini arah kebijakan di bidang perbibitan sapi potong tidak jelas, karena tidak ada data yang lengkap hasil pemurnian maupun persilangan tersebut. Sejarah Kebijakan Perbibitan di Indonesia Merujuk pengertian
yang dikemukakan oleh Dye (1976:1) dan Lubis
(2007:9), kebijakan publik adalah apapun yang telah dipilih pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh Pemerintah, dan tidak harus dinyatakan
31
secara eksplisit, maka setiap
tindakan pemerintah yang terkait dengan
perbibitan adalah kebijakan. Dalam konteks perbibitan ternak ruminansia besar, ada beberapa kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintah (Direktorat Jenderal Peternakan) dalam usahanya meningkatkan populasi maupun produktivitas ternak sapi potong berupa program dan kegiatan, baik dengan pendekatan gerakan massal, wilayah peternakan, kemitraan dan mengintroduksi jenis-jenis sapi baru (impor) dan lainlain (Wiryosuhanto 1997:62; Hardjosubroto et al.,1997:247). Secara kronologis,
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah yang
terkait dengan pengembangan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kronologis tindakan pemerintah dalam pengembangan sapi potong Tahun Sebelum abad XVIII
Kebijakan Sapi ras Zebu sudah ada di Jawa Timur, dan sudah terjadi persilangan dengan sapi keturunan Banteng yang menghasilkan sapi Jawa, Madura dan Sumatera. (Sudardjat & Pambudy 2003:146; Pane 1993:2)
Keterangan Tidak dijelaskan jenis sapinya, apakah Ongole atau Benggala.
Abad XVIII
Pertama kali impor sapi Zebu ke Pulau Jawa sebagai ternak kerja di perkebunan tebu (Sudardjat & Pambudy 2003:22).
1806 dan 1812
Gubernur Jawa Timur telah memasukkan pejantan sapi Benggala untuk memperbaiki kualitas sapi lokal (Sudardjat & Pambudy 2003:148).
Menurut Sudardjat dan Pambudy (2003:23) membajak dengan ternak sudah ada sejak abad XVII.
26 Agustus 1838
Verenigde Oost-Indische Companie yang diterbitkan oleh VOC pada tahun 1665, tentang larangan pemotongan hewan betina bertanduk yang masih produktif, dikukuhkan menjadi Undang-undang (Sudardjat & Pambudy 2003:6, 14, 43).
Tanggal 26 Agustus selanjutnya ditetapkan sbg hari jadi/ lahirnya peternakan dan kesehatan hewan.
1890
Pertama kali sapi Bali masuk ke pulau Sulawesi, diimpor oleh raja Goa (Herweijer 1982:9; Sudardjat & Pambudy 2003:146)
Herweijer, berdasarkan laporan Klasen tahun 1928, Dokter Hewan Pemerintah di Makasar.
Akhir Abad XIX
(a) Sapi Ongole dari India (Madras) dimasukkan ke Pulau Sumba, dan menjadi tempat pembiakan sapi Ongole murni (Pane 1993:2). (b) Diwyanto (2008:174) menyebutkan tepatnya tahun 1909. (a) Sapi Jawa disilangkan dengan sapi Zebu (Ongole?) yang menghasilkan sapi PO. (b) Diwyanto (2008:174) menyebutkan penyebaran sapi SO ke Jawa pada tahun 1915, 1919 dan 1929.
Pane menulis dengan huruf : Onggole (Nellore).
1910
Menurut Pane (1993:4), sapi Zebu (Bos Indicus) terdiri dari lebih-kurang 37 jenis.
32
Tabel 1 (lanjutan) Tahun 1912
Kebijakan Diwyanto (2008:174) dan Sudardjat dan Pambudy (2003:40 ) menyebut sebagai dimulainya campur tangan pemerintah di bidang peternakan dengan dikeluarkannya Ordonansi No. 432 Thn 1912.
1917 s/d 1920
Terjadi impor besar-besaran sapi bibit Ongole dari India (Sudardjat & Pambudy 2003:157).
Keterangan Ordonansi No. 432 Thn 1912 mengatur tentang Pengawasan Pemerintah dalam bidang Kehewanan dan Polisi Kehewanan.
1936
Semua sapi jantan Jawa harus di kebiri dan sapi betina Jawa harus disilang dengan sapi SO (Harjosubroto et al., 1997:248).
Mulainya ”Kontrak Sumba.”
1955
Untuk memperbaiki performance sapi Madura, disilangkan dengan sapi Red Danish (Red Deen) melalui inseminasi buatan (Pane 1993:23)
Tidak ada catatan yang jelas hasilnya. Penduduk menolak keturunannya, karena tidak dapat untuk karapan sapi.
8 Juli 1967
Ditetapkannya Undang-undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
1974/1975
(a) Sektor swasta mengimpor bibit sapi Brahman 523 ekor, Santa gertrudis 563 ekor dan Charolais 8 ekor (Sudardjat dan Pambudy 2003:165). (b) Dimulainya program Panca Usaha Ternak Potong (PUTP).
Tidak disebutkan siapa, dimana dan untuk apa.
3 April 1976
Peresmian pengoperasian Sentra Inseminasi Buatan Lembang.
Sejak tahun 1978 berganti nama menjadi Balai Inseminasi Buatan Lembang.
1976 s/d 2000
Bangsa sapi yang pernah digunakan untuk produksi semen beku di BIB Lembang adalah Bali, Ongole, FH, Brangus, Hereford, Simental, Charolais, Limousin, Santa Gertrudis, Belmond Red, American Milking Zebu, Draught Master, Brangus, Taurindicus, Charbra dan Angus (BIB Lembang 2001:33).
1980-an
Diwyanto (2008:175 )menyebutkan dimulainya kebijakan persilangan sapi potong. Tidak kurang 10 bangsa sapi potong diimpor, baik berupa semen beku ataupun ternak hidup, dengan tujuan yang tidak jelas.
1984
Ditjen Peternakan menetapkan sapi pejantan IB adalah Bali, Ongole, FH, Brahman, Simental, Limousin, Brangus dan Taurindicus, yang lain tidak dilanjutkan.
1988
Ditetapkan standar mutu bibit sapi untuk sapi Aceh, Madura, Bali, Ongole, PO, Brahman lokal dan Perah lokal (Ditjennak1993:568-570) dengan No. Kode: SPINAK/01/43/ 1988.
Keputusan Menteri Pertanian No. 358/Kpts/ TN.410/5/1988 tanggal 30 Mei 1988 tentang Standar Pertanian Indonesia Bidang Peternakan (SPINAK)
33
Tabel 1 (lanjutan) Tahun 1989
1997/1998
Kebijakan (a) Produksi semen beku sapi Hereford dihentikan. (b) Dimulai produksi semen beku sapi Brangus. (c) Semen beku Limousin dan Simental makin diminati peternak.
Keterangan
(a) NTB mengimpor 2.200 ekor induk sapi Brahman dari Australia untuk disilangkan dengan sapi Brangus. (b) Program “Brangusisasi” ini tidak mempunyai cacatan yang jelas. (c) Saat ini sudah tidak ditemukan lagi sapi Brahman di Lombok (Dahlanuddin et al., 2008:38).
1999
Ditetapkannya jabatan fungsional Pengawas Bibit Ternak (Wasbitnak).
2000
Semen beku sapi Ongole tidak diproduksi lagi, karena kurang diminati peternak.
2001
Dimulainya impor sapi bakalan Brahman Cross dan pengembangan sapi betina eks impor Brahman Cross.
2006
Sistem Perbibitan Ternak Nasional (SITBITNAS) ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2006,
Permentan No. 36/Permentan/ OT.140/8/2006
2008
(a) Penetapan prosedur baku pelaksanaan produksi sapi bibit pada usaha pembibitan sapi potong; (b) Penetapan juknis pengembangan perbibitan ternak sapi Brahman cross eks-impor;
Peraturan Dirjen Peternakan No. 0423 Thn 2008 Peraturan Dirjen Peternakan No. 26181 Thn 2008
2009
(a) Penetapan UU No. 18 Thn 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; (b) Fasilitasi kredit usaha pembibitan sapi (KUPS); (c) Penetapan pedoman pelaksanaan KUPS; (d) Pedoman peningkatan mutu genetik sapi Bali;
2010
(a) Penetapan rumpun sapi Bali (b) Penetapan juknis pengembangan perbibitan sapi melalui kelompok (c) Penetapan juknis pengembangan perbibitan sapi potong
SK MENKO WASBANGPAN No. 61 Thn 1999 Tanggal 30 September 1999.
Permenkeu No.131 Thn 2009 Permentan No. 40 Thn 2009 Peraturan Dirjen Peternakan No. 12004 Thn 2009 Kepmentan No. 325 Thn 2010 Peraturan Dirjen Peternakan No. 07056 Thn 2010 Peraturan Dirjen Peternakan No. 13026 Thn 2010
Berdasarkan kronologis tindakan pemerintah di atas, terlihat ketidakjelasan arah dan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan. Berkaitan dengan persilangan antara sapi Ongole (murni) dengan sapi Jawa, Pane (1993:2) menyatakan bahwa sangat disayangkan jika hingga saat ini tidak ada data yang lengkap tentang hasil pemurnian sapi Ongole di Sumba dan turunannya, Peranakan Ongole (PO) yang ada di Jawa. Hal ini mengakibatkan tujuan perbaikan mutu genetik sapi-sapi tersebut menjadi kabur. Termasuk kasus
34
lain seperti, persilangan antara sapi Madura dengan Santa Gertrudis yang menghasilkan sapi Madrali, sapi Grati hasil persilangan antara Friesian Holstein dengan PO (Pane 1993: 24). Bahkan sapi PO, walaupun sudah menjadi suatu jenis tersendiri, tetapi kemampuan produksinya belum diketahui. Demikian pula komposisi darahnya. Hal ini sangat disayangkan karena sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, seharusnya diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya (Pane 1993: 23). Inseminasi Buatan merupakan salah satu instrumen dalam penerapan kebijakan di bidang perbibitan sapi. Sebagaimana dinyatakan oleh Skjervold (1982:13-14), bahwa selama dua dekade terakhir IB telah menjadi cara perkawinan yang paling penting, dan lebih jauh IB telah memberikan dimensi baru pada pembibitan ternak sapi.” Inseminasi Buatan bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu genetik ternak yang diinseminasi dan (2) meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul. Implikasi dari penerapan IB ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas ternak turunannya, sekaligus dapat meningkatkan populasi ternak yang bersangkutan. Di lain pihak, dengan IB memungkinkan peternak untuk melakukan persilangan secara bebas tanpa harus memperhatikan arah kebijakan perbibitan (Gordon 2004:51). Inseminasi Buatan dan Sejarah Perkembangannya Menurut Wiener (1994:191 dan Shebu et al. 2010:123), inseminasi buatan adalah “technique of inserting semen, and the associated sperm, into the female reproductive tract for purpose of conception.” Istilah IB juga sering digunakan untuk menggambarkan keseluruhan proses termasuk proses pengenceran dan penyimpanan semen. Dalam sistem perbibitan nasional (Ditbit 2006:7), disebutkan bahwa IB adalah teknik memasukkan mani/semen ke dalam alat reproduksi ternak betina yang sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak menjadi bunting. Secara teknis, IB adalah proses penempatan semen ke dalam alat reproduksi betina dengan bantuan manusia dengan tujuan agar ternak betina tersebut bunting (Noor, tanpa tahun:1-3). Lebih jauh dikatakan, bahwa IB juga suatu teknik untuk mempercepat penyebaran gen-gen dari ternak unggul ke turunannya. Beberapa keuntungan penerapan IB diungkapkan, misalnya menurut Gordon (2004:51) yang menyatakan bahwa teknologi IB telah (1) memungkinkan dilakukannya progeny testing pada sapi pejantan dalam skala besar, (2)
35
memungkinkan berkembangnya perdagangan secara internasional dikarenakan adanya semen beku (frozen semen) yang dikemas dalam pipa plastik (plastic straw),
(3)
mencegah
menyebarnya
penyakit
reproduksi
menular,
(4)
memungkinkan satu ejakulasi dapat digunakan untuk menginseminasi secara maksimal, (5)
membuat efisiensi penggunaan pejantan, khususnya pejantan
unggul (elite bull) dan (6) menunjang program perkawinan silang (crossbreeding) antara sapi jenis unggul (exotic breeds) dengan sapi lokal. Khusus untuk ternak potong, dimungkinkannya dilakukan sinkronisasi perkawinan sehingga dapat dihasilkan anak sapi yang sesuai dengan waktu yang diharapkan. Sedangkan menurut Foote (1981:13-39), keuntungan IB adalah (1) perbaikan genetik dimungkinkan untuk sifat-sifat kuantitatif melalui seleksi pejantan secara intensif, (2) dapat mengurangi frekuensi lethal genes yang resesif, (3) dapat mengontrol beberapa penyakit tertentu, terutama penyakit yang dapat menular, (4) pejantan yang digunakan bebas dari penyakit menular yang spesifik, (5) ekonomis dalam pelayanan, (6) mengurangi resiko bahaya keganasan sapi pejantan di lahan usaha (farm), (7) pencatatan yang lebih lengkap, akurat dan terpelihara dan (8) keberhasilan penerapan IB memberikan fondasi
untuk keberhasilan teknik
pemuliabiakan yang lebih maju. Beberapa kelemahan penerapan IB antara lain adalah (1) jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjadi media penyebaran penyakit, (2) jika lokasi akseptor IB jauh dan sarana komunikasi sulit, maka tidak ekonomis (Foote 1981:13) dan (3) dapat mengacaukan program perbibitan jika implementasinya tidak terkontrol atau tidak tercatat secara lengkap dan akurat (Pane 1993:2; Foote 1981:13 dan Shebu et al. 2010:127). Pada
awal
penerapannya,
kebijakan
IB
adalah
ditujukan
untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah dan sapi potong. Untuk sapi perah ditempuh melalui grading up dengan mendatangkan pejantan unggul (proven bull) dari luar negeri. Sedangkan untuk sapi potong, melalui grading up ternak asli seperti sapi Bali dan Ongole dan melalui persilangan dengan sapi potong dari luar negeri. Akan tetapi, menurut Noor (tanpa tahun:1-3), IB di Indonesia lebih ditekankan untuk peningkatan populasi ternak, bukan ditujukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Lebih lanjut dikatakan oleh Noor bahwa, program IB akan berhasil baik jika diikuti dengan sistem manajemen dan sistem pencatatan (recording) yang baik. Saat ini IB telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada tahun
36
2010 adalah 13.6 juta ekor. Berdasarkan data populasi sapi tahun 2008, jumlah sapi betina dewasa yang potensial di IB adalah 5,2 juta (42,03%). Saat ini jumlah akseptor IB sekitar 1,85 juta (35,7%) (Ditjennak 2009b:76 dan 190). Jadi ini masih memungkinkan untuk bisa ditingkatkan. Menurut Diwyanto (2008:177), penerapan IB pada sapi potong di Indonesia saat ini adalah mungkin termasuk yang terbesar di dunia. Di negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa, aplikasi IB pada sapi potong hanya terbatas pada kelompok elit (foundation stock) untuk tujuan menghasilkan bibit (breeding stock). Lebih jauh juga dikatakan bahwa keberhasilan IB untuk meningkatkan mutu genetik sapi (produktivitas) sampai saat ini belum ada laporannya yang lengkap. Demikian pula halnya dengan kinerja keragaan reproduksi sapi hasil IB, praktis belum banyak dievaluasi. Produksi semen nasional dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi semen nasional dalam kurun waktu 2001 -2010 No.
Produksi semen (dosis)
Bangsa sapi
BBIB Singosari
BIB Lembang
1.
Bali
411.889
-
2.
Ongole
168.741
3.
Brahman
442.745
4.
Madura Jumlah:
Jumlah
(%)
411.889
2,1
217.999
386.740
2,0
801.320
1.244.065
6,5
89.463
-
89.463
0,5
1.112.838
1.019.319
2.132.157
11,1
5.
Simental
3.650.240
4.056.278
7.706.518
40,1
6.
Limousin
6.171.912
2.809.972
8.981.884
46,7
7.
Angus
33.916
226.935
260.851
1,4
8.
Brangus
83.696
70.403
154.099
0,8
Jumlah:
9.939.764
7.163.588
17.103.352
88,9
Total:
11.052.602
8.182.907
19.235.509
(100)
Sumber: Direktorat Perbibitan
Berdasarkan Tabel 2 diatas, dapat dinyatakan bahwa jumlah produksi semen sapi asing jauh lebih besar, yaitu 88,9% dibanding dengan jumlah semen sapi asli maupun lokal Indonesia, yaitu hanya 11,1%. Pengorganisasian Inseminasi Buatan Berdasarkan
pedoman
pelaksanaan
IB
(Ditjennak
2005),
program
Inseminasi Buatan melibatkan banyak institusi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Swasta berkaitan dengan penyediaan peralatan dan bahan seperti Container, Insemination gun, N 2 cair dan lain-lain. Untuk masyarakat, beberapa kelompok telah menyediakan sendiri inseminator, kelembagaan inseminator
37
(seperti di Kabupaten Gunung Kidul, terdapat paguyuban inseminator) dan kelompok IB (kelembagaan para akseptor IB). Khusus untuk Pemerintah, melibatkan Pemerintah Pusat dan Daerah. Direktorat Jenderal Peternakan c.q. Direktorat Perbibitan yang berkoordinasi dengan Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia adalah sebagai pengambil kebijakan di bidang perbibitan secara umum dan Inseminasi Buatan. Di samping itu, masih termasuk Pemerintah Pusat adalah Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari, Malang dan Balai
Inseminasi Buatan Lembang sebagai produsen
semen. Secara umum, Pemerintah Pusat mempunyai tugas (1) membuat program IB nasional, (2) melakukan supervisi pelaksanaan IB di daerah, (3) melakukan evaluasi IB secara nasional, (4) melakukan koordinasi dan (5) memproduksi dan mendistribusikan semen. Mekanisme penetapan produksi, kebutuhan dan distribusi semen dilakukan dalam forum Evaluasi Kinerja Inseminasi Buatan yang diadakan setiap tahun dan dihadiri oleh Dinas Provinsi yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan di seluruh Indonesia. Pada level Provinsi, Dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan bertanggungjawab untuk (1) merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan program IB di Provinsi, (2) mengawasi distribusi semen ke Kabupaten atau Satuan Pelayaan IB (SPIB) Kabupaten, (3) melakukan supervisi pelaksanaan IB di Provinsi, (4) melakukan evaluasi IB di Provinsi, (5) mengeluarkan Surat Izin Melakukan Inseminasi Buatan (SIMI), (6) melakukan koordinasi pelaksanaan IB dengan instansi terkait, (7) melakukan koordinasi dengan Balai IB dalam pengadaan semen beku dan (8) membuat laporan pelaksanaan IB. Selanjutnya, pada level Kabupaten/Kota, Dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan bertanggungjawab untuk melakukan (1) pendataan jumlah akseptor IB berdasarkan bangsa dan jenis ternak, (2) merencanakan jumlah dosis dan jenis semen beku yang akan digunakan, (3) mengawasi distribusi semen beku ke SP-IB/Koperasi/KUD, (4) mengatur wilayah kerja inseminator, Pemeriksa Kebuntingan (PKB) dan Asisten Teknis Reproduksi (ATR), (5) melakukan pengawasan operasional IB dan (6) membuat laporan bulanan pelaksanaan IB dan gangguan reproduksi di wilayah kerjanya dan menyampaikannya kepada Kepala Dinas Peternakan Provinsi. Pada level lapangan, penanggung jawab kegiatan IB adalah SPIB/Koperasi (KUD), yaitu (1) mengkoordinir pelaksanaan IB di SPIB, (2) menyiapkan
38
kebutuhan semen beku dan peralatan di SPIB, (3) melaksanakan pelayanan IB, (4) melaksanakan pencatatan yang teratur data akseptor IB, (5) melakukan pemeriksaan kebuntingan dan pengelolaan reproduksi, (6) mengolah data pelaksanaan IB di SPIB, (7) membuat catatan inventarisasi peralatan dan semen beku di SPIB, (8)
meningkatkan daya guna kelompok tani ternak untuk
menunjang operasional IB, (9) membuat laporan pelaksanaan IB di SPIB yang bersangkutan, (10) khusus untuk sapi perah, Koperasi/KUD menyampaikan laporan ke Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Daerah dengan tembusan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten. Sistem pelayanan IB yang dilakukan oleh inseminator bermacam-macam. Secara umum ada dua, yaitu active services (pelayanan secara aktif) dan/atau pasive services (pelayanan secara pasif). Pelayanan secara aktif, adalah inseminator mendatangi pelanggan sambil memberikan pelayanan teknis peternakan dan kesehatan hewan. Pelayanan secara pasif, yaitu inseminator siap di kantor (pos IB) menunggu laporan ataupun menunggu panggilan dari pelanggan. Sarana komunikasi yang digunakan bermacam-macam. Ada peternak yang langsung mendatangi inseminator; melalui ketua kelompok, kemudian diteruskan ke inseminator; melalui “getok-tular” antarwarga; melalui intercom; melalui laporan tertulis lewat kotak pos yang sudah disiapkan; dan melalui telepon. Pada umumnya, inseminator saat ini menggunakan campuran dua sistem pelayanan tersebut, pelayanan aktif dan pasif. Bagaimana mempertemukan keinginan dan harapan antara pemerintah dan peternak sapi potong untuk membangun perbibitan di Indonesia, diperlukan program penyuluhan yang memperhatikan faktor-faktor karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong, persepsi peternak terhadap IB dari aspek teknis, sosial budaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan.
Penyuluhan Konsep dan Pengertian Penyuluhan Istilah Penyuluhan pertama kali digunakan untuk menggambarkan program pendidikan orang dewasa (adult education programmes) di Inggris pada paruhkedua abad 19; program ini membantu untuk memperluas (to expand or to extend) kerja universitas di luar kampus dan ke dalam komunitas terdekat (neighbouring community). Istilah tersebut selanjutnya diadopsi di Amerika, sementara di UK (Britain) sendiri diganti dengan istilah “advisory Service” pada abad 20 (Wikipedia 2009:2).
39
Dari segi konsep, makna penyuluhan dapat ditelusuri dari beragam istilah yang telah digunakan oleh berbagai kalangan selama ini. Ada banyak istilah penyuluhan yang digunakan di negara-negara lain. Di Inggris pada tahun 1840an, menurut van den Ban dan Hawkins (1999:23-26) dan Wikipedia (2009:1-2), menggunakan istilah university extension atau extension of the university. Dalam konteks ini, (1) sasaran pengajaran di universitas tidak hanya terbatas di lingkungan kampus, tetapi dapat diperluas hingga semua pihak yang hidup di lingkungan manapun, dan (2) penyuluhan dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang dewasa yang menempatkan pengajar sebagai staf universitas. Sejak abad ke-20 istilah ”penyuluhan pertanian” digunakan secara umum di Amerika Serikat. Lebih jauh dikatakan, di Belanda menggunakan istilah voorlichting yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya. Istilah ini juga digunakan di Indonesia yang diterjemahkan sebagai ”penyuluhan.” Di Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata ”perkembangan.” Bahasa Inggris dan Jerman menggunakan istilah beratung yang berarti seorang pakar dapat memberikan petunjuk atau nasehat kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan
pilihannya.
Dalam
pendidikan
kesehatan,
Jerman
juga
menggunakan istilah aufklärung yang berarti pencerahan. Kata lain yang lazim digunakan adalah erziehung yang artinya mirip dengan pendidikan di Amerika Serikat. Sedangkan di Austria dikenal dengan istilah förderung yang berarti menggiring seseorang ke arah yang diinginkan, kata tersebut mirip dengan istilah yang digunakan di Korea yakni bimbingan pedesaan. Perancis menggunakan istilah vulgarisation yang menekankan pentingnya penyederhanaan pesan bagi orang awam. Di Spanyol menggunakan istilah capacitation (memperbaiki keterampilan) untuk menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan kemampuan manusia yang dapat diartikan dengan pelatihan. Wikipedia (2009:2) menambahkan, bahwa di Thailand dan Laos menggunakan istilah song-suem (mempromosikan); dan di Persia menggunakan istilah tarjiv dan gostaresh (mempromosikan dan memperluas). Oleh karena itu, Mardikanto (1993:11-18) mengklasifikasikan konsep penyuluhan (pertanian) menjadi lima, yaitu (1) penyuluhan pertanian sebagai proses penyebarluasan informasi, (2) penyuluhan pertanian sebagai proses penerangan, (3) penyuluhan pertanian sebagai proses perubahan perilaku, (4) penyuluhan pertanian sebagai proses pendidikan, dan (5) penyuluhan pertanian sebagai proses rekayasa sosial.
40
Pengertian penyuluhan menurut beberapa literatur adalah sebagai berikut, di antaranya menurut Boone (1989:1), penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan nonformal, dan ini merupakan suatu lapangan praktek pendidikan profesional.
Menurut Slamet (2003:18) pengertian penyuluhan adalah suatu
sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Lebih lanjut, Slamet (2003:45) juga memberikan pengertian penyuluhan sebagai program pendidikan luar sekolah yang bertujuan (1) memberdayakan sasaran, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, (3) membangun masyarakat madani, (4) sebagai sistem yang berfungsi secara berkelanjutan, tidak bersifat ad-hoc, (5) sebagai program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Sedangkan Mardikanto (1993:14) memberikan pengertian penyuluhan (pertanian) sebagai suatu proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) di kalangan masyarakat (petani), agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Di sisi lain, untuk memisahkan penyuluhan pertanian dengan program pertanian, Slamet (2003:39) mendefinisikan penyuluhan sebagai industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (nonformal) dan informasi pertanian kepada petani dan pihak-pihak lain yang memerlukan. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 3 dinyatakan bahwa ”Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan
dan
kesejahteraannya dan meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.” van den Ban dan Hawkins (1999:25) menyatakan bahwa di antara pengertian-pengertian penyuluhan yang ada, masih ditemukan persamaan
41
persepsi, yaitu penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya
memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dalam SKB (1996:6), yang dimaksud penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan luar sekolah di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatan sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian. Dalam konteks perubahan terencana (planned change), Lippit et al., (1958:122) menyebutkan tahap-tahap perubahan terencana, yaitu tahap 1: sistem klien menemukan kebutuhan untuk memperoleh pertolongan, kadangkadang dengan stimulan oleh agen perubahan, tahap 2: hubungan pertolongan ditetapkan dan didefinisikan, tahap 3: persoalan perubahan diidentifikasi dan diklarifikasi, tahap 4: kemungkinan alternatif untuk perubahan diuji; sasaran atau tujuan perubahan ditetapkan, tahap 5: upaya-upaya perubahan dalam ”situasi nyata” dilakukan, tahap 6: dilakukan generalisasi dan stabilisasi perubahan dan tahap 7: hubungan pertolongan diakhiri atau hubungan lain ditetapkan. Tujuan utama penyuluhan pertanian menurut Slamet (2003:20) adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan (oleh pihak penyuluh) yang akan menyebabkan perbaikan mutu hidup para keluarga petani. Sedangkan menurut Boone (1989:1), tujuannya adalah untuk (1) mengajar orang, sesuai dengan konteks dan keadaan kehidupannya, bagaimana mengidentifikasi dan menilai kebutuhan dan masalah mereka;
(2)
membantu
mereka
dalam
memperoleh
pengetahuan
dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk secara efektif mengatasi kebutuhan dan masalah mereka tersebut; (3) memberi inspirasi mereka untuk bertindak. Kegiatan penyuluhan menurut SKB (1996:6) meliputi: (1)
Menyajikan/memberikan
informasi-informasi
tentang
teknologi,
pengetahuan, perkembangan pertanian, pemasaran dan sebagainya yang intinya sebagai kegiatan penerangan; (2)
Mendidik masyarakat pedesaan tentang pemanfaatan dan operasionalisasi teknologi dan pengetahuan yang sesuai dan lebih efisien;
(3)
Memperluas wawasan/pandangan masyarakat pedesaan;
42
(4)
Membantu masyarakat pedesaan agar memiliki pendapat yang rasional (masuk akal) dan mampu mengambil keputusan dengan tepat;
(5)
Menggerakkan
masyarakat
pedesaan
agar
lebih
dinamis
menuju
perubahan; (6)
Membantu masyarakat pedesaan agar mampu berusahatani dan mampu meningkatkan produksi pertanian yang diusahakan.
Empat Generasi Penyuluhan di Asia Perkembangan pelayanan penyuluhan di negara-negara Asia saat ini, berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Namun, walaupun bervariasi, masih mungkin diidentifikasi suatu sekuen umum yang terdiri empat periode atau generasi (Wikipedia 2009:3-4), yaitu: (a)
Colonial agriculture: Stasiun Percobaan didirikan di banyak negara Asia oleh penguasa kolonial. Fokus perhatian biasanya untuk komoditas ekspor seperti karet, teh, kapas dan gula. Pelayanan teknis disediakan untuk manajer perkebunan dan pemilik lahan yang luas. Bantuan untuk petani kecil yang berusahatani secara subsisten jarang dilakukan, kecuali pada saat terjadi krisis.
(b)
Diverse top-down extension: Setelah merdeka, pelayanan penyuluhan berdasarkan komoditi muncul dari sisa peninggalan sistem kolonial, dengan menetapkan target produksi sebagai bagian dari rencana pembangunan lima tahun (REPELITA). Juga, berbagai program mulai dikenalkan untuk memenuhi kebutuhan petani kecil dengan dukungan dana bantuan asing.
(c)
Unified top-down extension: Selama tahun 1970-an dan 1980-an, sistem Latihan dan Kunjungan (Training and Visit) diperkenalkan oleh Bank Dunia. Organisasi yang ada pada waktu itu digabung menjadi satu pelayanan yang bersifat nasional. Pesan-pesan yang bersifat reguler disampaikan melalui kelompok
petani,
untuk
mempromosikan
adopsi
teknologi
“green
revolution.” (d)
Diverse bottom-up extension: Ketika bantuan dari Bank Dunia berakhir, sistem LAKU tidak digunakan lagi di banyak negara, meninggalkan suatu program dan proyek-proyek kecil yang didanai dari berbagai macam sumber. Jatuhnya perencanaan terpusat, ditambah lagi dengan tumbuhnya kesadaran terhadap keberlanjutan (sustainability) dan kesetaraan, maka telah
melahirkan
pendekatan
partisipatif
menggantikan pendekatan top-down.
yang
secara
bertahap
43
Empat generasi penyuluhan tersebut terbangun dengan baik di beberapa negara, sedangkan di beberapa tempat baru dimulai. Sementara itu, pendekatan partisipatif sepertinya akan terus berlangsung dan menyebar dalam beberapa tahun ke depan, dan tidak mungkin memprediksi masa depan penyuluhan dalam jangka waktu panjang. Dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu, penyuluhan pertanian kurang mendapat dukungan yang memadai dari lembaga donor. Di antara para akademisi yang bekerja di lapangan, akhir-akhir ini berkesimpulan bahwa penyuluhan pertanian butuh pembaharuan sebagai suatu praktik yang profesional. Penulis lain telah mengusulkan gagasan tentang penyuluhan sebagai suatu konsep yang berbeda, dan lebih suka berpikir dalam bentuk “knowledge system” di mana petani dilihat sebagai “expert” daripada sebagai “adopter.” Paradigma Baru Penyuluhan Menurut Padmodihardjo (2004:1-8)
penyuluhan pertanian harus ditata
kembali berkaitan dengan adanya perubahan context dan content dari pembangunan. Perubahan context
pembangunan mencakup (1) perubahan
pengelolaan pembangunan, (2) kebebasan petani, (3) tuntutan pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan (4) keputusan Indonesia meratifikasi perjanjian WTO. Perubahan content pembangunan pertanian berkaitan dengan tujuannya. Sebelum masa krisis, pembangunan pertanian bertujuan untuk “meningkatkan produksi,” maka yang dibangun adalah usahataninya (on-farm). Pembangunan pertanian
setelah
masa
krisis
tujuannya
adalah
untuk
“meningkatkan
pendapatan” petani sehingga perlu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah. Untuk ini pembangunan pertanian yang berorientasi pada agribisnis,
yang
meliputi subsistem hulu sampai hilir (sarana prasarana, budidaya, pengolahan dan pemasaran) secara terpadu, simultan dan harmonis perlu dilakukan. Paradigma penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk menghadapi era agribisnis (Puskaji 2004:11-13) adalah ”memposisikan petani sebagai fokus kegiatan
pembangunan
pertanian,”
yaitu
(1)
petani
sebagai
pelaku
utama/subyek, (2) petani sebagai manajer usahataninya sendiri dan (3) petani yang mandiri (mempunyai potensi kemampuan mengambil keputusan sendiri dalam merencanakan, mengelola dan mengembangkan usahataninya demi kesejahteraan dirinya dan keluarga dan masyarakat sekitarnya). Dengan demikian, fungsi penyuluh adalah sebagai seorang fasilitator. Menurut Slamet (2003:56-67) paradigma baru penyuluhan mencakup (1) penyuluhan sebagai
44
jasa informasi, (2) pentingnya aspek lokalitas, (3) berorientasi pada agribisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme dan (8) akuntabilitas. Dalam
kontek
penerapan
manajemen
mutu
terpadu,
penyuluhan
(pendidikan nonformal) dipersepsikan sebagai industri jasa atau industri pelayanan dan bukan sebagai proses produksi. Unsur utama dari penerapan manajemen mutu terpadu ini adalah (1) fokus pada pelanggan, (2) perbaikan pada proses secara sistematik, (3) pemikiran jangka panjang, (4) pengembangan sumberdaya manusia dan (5) komitmen pada mutu (Slamet 1996:3). Setiap sistem penyuluhan dapat digambarkan dengan melihat dua aspek berikut, yaitu “bagaimana komunikasi terjadi” dan “mengapa itu terjadi.” Hal ini tidak berarti bahwa sistem paternalistik selalu bersifat persuasif. Begitu pula, kegiatan yang bersifat partisipatif tidak selalu berarti pendidikan. Menurut Wikipedia (2009:5-6) ada empat kombinasi yang mungkin bisa terjadi, yang masing-masing merupakan suatu paradigma penyuluhan yang berbeda, yaitu: (a)
Technology Transfer (persuasive+paternalistic). Paradigma ini telah terjadi pada masa kolonial, dan muncul lagi pada tahun 1970-an dan 1980an ketika sistem LAKU diberlakukan di negara-negara Asia. Transfer teknologi menggunakan suatu pendekatan top-down yang diberikan dengan rekomendasi khusus kepada para petani tentang cara-cara yang harus mereka adopsi.
(b)
Advisory Work (persuasive+participatory). Paradigma ini dapat dilihat saat ini, yaitu di mana organisasi Pemerintah atau perusahaan konsultasi swasta yang merespons pertanyaan petani berkaitan dengan formulaformula teknis. Ini juga mengambil bentuk dari proyek-proyek yang dibiayai oleh lembaga donor ataupun LSM yang menggunakan pendekatan partisipatif untuk mempromosikan suatu paket teknologi yang telah ditetapkan sebelumnya.
(c)
Human Resource Development (educational+paternalistic). Paradigma ini telah mendominasi penyuluhan awal di negara-negara Eropa dan Amerika Utara,
ketika
universitas-universitas
memberikan
pelatihan
kepada
masyarakat pedesaan yang miskin untuk hadir dalam kursus dengan jam penuh (full-time courses). Ini masih terus berlanjut sampai hari ini dalam aktivitas pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi seluruh dunia. Di sini diberlakukan metode pembelajaran top-down, tetapi
45
peserta diharapkan membuat keputusan untuk mereka sendiri bagaimana menggunakan pengetahuan yang mereka terima. (d)
Facilitation for Empowerment (educational+participatory). Paradigma ini melibatkan metode seperti belajar berdasarkan pengalaman (experiental learning) dan pertukaran pengalaman dari petani ke petani. Pengetahuan ditingkatkan melalui proses interaktif dan peserta didorong untuk membuat keputusannya sendiri. Contoh yang baik dari penerapan paradigma ini di Asia
adalah
Sekolah
Lapang
(farmer
field
schools=FFS)
atau
pengembangan teknologi secara partisipatif (participatory technology development=PTD). Perlu dicatat bahwa
ada beberapa ketidaksepakatan tentang apakah
konsep dan istilah penyuluhan melingkupi semua paradigma di atas atau tidak. Beberapa ahli yakin bahwa istilah penyuluhan harus dibatasi pada pendekatan persuasif, sementara yang lain yakin bahwa itu hanya digunakan untuk aktivitas pendidikan. Menurut Wikipedia (2009:6), Paulo Freire berargumentasi bahwa istilah “penyuluhan” dan “partisipasi” adalah berlawanan. Ada alasan filosofis dibalik ketidak-setujuan ini. Namun demikian, dari sudut pandang praktek, proses komunikasi yang membentuk masing-masing paradigma di atas, saat ini sedang dilaksanakan atas nama penyuluhan di beberapa bagian dunia dan yang lainnya. Secara pragmatis, jika tidak secara ideologis, semua aktivitas ini adalah disebut Penyuluhan Pertanian. Penyuluhan yang tepat adalah penyuluhan yang dirancang berdasarkan (1) analisis isi (content area dan process area), (2) penetapan konsep yang sesuai dengan kebutuhan sasaran (karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong dan model peranan) dan (3) perumusan tujuan (tujuan program, tujuan umum dan tujuan khusus yang terkait dengan arah kebijakan pemerintah di bidang perbibitan yang diimplementasikan melalui penerapan IB). Dengan demikian,
substansi pelatihan (penyuluhan)
dapat
mempertemukan dua
kepentingan yaitu, antara tujuan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan dan kebutuhan dan harapan peternak. Selanjutnya, diharapkan penyuluh dapat merubah atau membentuk perilaku peternak sapi potong ke arah perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan kebijakan di bidang perbibitan sapi potong, dan inseminator dapat memberikan pelayanan IB yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan, sesuai dengan harapan dan kebutuhan peternak sapi potong yang perilakunya sudah dibentuk oleh penyuluh.
46
Menurut Lionberger & Gwin (1982:8) menyatakan bahwa respons terhadap suatu inovasi sangat berbeda antara orang-perorang dan masyarakat yang satu dengan
yang
lain,
serta
peubah-peubahnya
juga
berbeda.
Hal
ini
mengindikasikan diperlukannya pendekatan yang berbeda dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat.
Pelayanan yang Bermutu Filosofi dan Konsep Pelayanan yang Bermutu Filosofi pelayanan yang bermutu adalah bahwa setiap unit kerja mempunyai berbagai macam kegiatan. Setiap kegiatan menghasilkan out put, baik berupa barang ataupun jasa. Setiap out put yang dihasilkan, pasti ada yang membutuhkan. Orang atau institusi yang menghasilkan out put disebut sebagai “pemasok” dan orang atau institusi yang membutuhkan out put tersebut disebut “pelanggan.” Setiap pelanggan mempunyai kebutuhan dan harapan terhadap out put tersebut. Jika out put yang dihasilkan dapat memenuhi ataupun melebihi harapan pelanggan, maka pelanggan akan puas. Jika pelanggan puas, maka itulah yang disebut sebagai pelayanan yang bermutu (Slamet 1996:2-3). Jadi konsep pelayanan yang bermutu itu adalah apabila pemberi pelayanan (pemasok) dapat memberikan pelayanan yang sesuai ataupun melebihi kebutuhan dan harapan dari pelanggan. Metode kualitas jasa menurut Deming adalah suatu proses yang diperluas (Stamatis 1996:27), yang dapat dilihat pada Gambar 4. Merujuk pendapat Zeithaml et al., (1990:15-33) dan Stamatis (1996:164), dimensi pelayanan
mencakup: reliability, assurance, tangible, empathy dan
responsivenes (disingkat RATER). (1) reliability, kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara baik dan akurat/tepat, (2) assurance, mencakup (a) keterampilan yang harus dimiliki oleh inseminator (competence), (b)
kesopanan,
penghormatan,
ramah,
dan
keakraban
(courtesy),
(c)
meyakinkan, dapat dipercaya, jujur (credibility), (d) bebas dari bahaya, risiko dan keraguan (security). (3) tangible, keadaan fisik dari fasilitas, peralatan, personel dan alat komunikasi yang dapat dilihat, (4) empathy, mencakup (a) kemudahan ditemui dan dihubungi (access), (b) menjaga komunikasi dengan bahasa yang dimengerti dan mau mendengarkan (communication) dan (c) melakukan upaya untuk mengenal pelanggan dan mengetahui kebutuhannya (understanding the customer) dan (5) responsiveness, kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan langsung.
47
INPUTS
PROCESS
SPC DATA
SPC DATA
SERVICE
SPC DATA
CUSTOMERS
Qualitative & Quantitative DATA
Defect or error prevention
Action on process (change input factors) Keterangan: SPC = Statistical Process Control
Gambar 4. Metode kualitas jasa menurut Deming: proses yang diperluas (Stamatis 1996:27) Konsep Mutu Sallis (2006:49) dan Stamatis (1996:6) menyatakan, bahwa mutu memiliki pengertian yang bervariasi. Menurut Sallis (2006:49-71), mutu merupakan gagasan yang dinamis, dan memiliki kekuatan emosi dan moral. Mutu bisa dilihat sebagai sebuah konsep yang absolut, dan bisa juga relatif. Dalam pengertian yang absolut, sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli. Dalam kasus ini, ”langka” dan ”mahal” adalah dua nilai penting dalam definisi ini. Pengertian mutu ini lebih tepat disebut sebagai ”high quality” atau ”top quality.” Lebih lanjut dikatakan, gagasan tentang mutu tinggi atau top ini hanya sedikit bersinggungan dengan Total Quality Management (Manajemen Mutu Terpadu). Konsep relatif tentang mutu, menurut Sallis (2006:49-71), yaitu ”mutu bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau layanan tersebut.” Produk atau layanan yang memiliki mutu, dalam konsep relatif ini tidak harus mahal dan eksklusif. Definisi relatif tentang mutu tersebut memiliki dua aspek, (1) menyesuaikan diri dengan spesifikasi dan (2) memenuhi kebutuhan pelanggan.
48
Menurut Stamatis (1996:6-20), bertahun-tahun mutu telah didefinisikan dengan berbagai macam. Namun definisi mutu yang paling umum pada dasarnya adalah sebagai berikut (1) Conformance to requirements and zero defects, (2) Fitnes for use, (3) Continual improvement, (4) As defined by the customers, (5) Loss to society dan (6) Six sigma. Model mutu pelayanan menurut Zeithaml et al., (1990:45-47) dapat dilihat pada Gambar 5. CUSTOMER
Word-of-Mouth Communications
Personal Needs
Past Experience
Expected Service Gap 5
Perceived Service
PROVIDER Gap 1
Service Delivery
Gap 4
External Communications to Customers
Gap 3
Service Quality Specifications Gap 2
Management Perceptions of Customer Expectations
Gambar 5. Model konseptual mutu pelayanan (Zeithaml et al., 1990:46) Menurut Gaspersz (2001:5), mutu (kualitas) mengacu pada pengertian pokok berikut: (1) kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik
49
keistimewaan langsung maupun keistimewaan tidak atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu dan (2) kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Menurut Sallis (2006:63-66) karakteristik mutu jasa lebih sulit didefinisikan dari pada mendefinisikan mutu produk. Perbedaan antara pemberian jasa dan penciptaan barang: (1) jasa biasanya meliputi hubungan langsung antara pemberi dan pengguna, (2) waktu merupakan elemen penting. Jasa harus diberikan tepat waktu, (3) jasa tidak dapat ditambal atau diperbaiki, (4) jasa selalu berhadapan dengan ketidakpastian, (5) diberikan secara langsung kepada pelanggan oleh pekerja yunior dan (6) kesulitan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan produktivitas dalam jasa.
Menurut Stamatis (1996: 22)
perbedaan antara barang dan jasa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan antara barang dan jasa The Majority of GOODS are :
The Majority of SERVICES are :
•
Tangible (100%)
•
Intangible (100%)
•
Storable (close to 100%)
•
Perishable (100%)
•
Transportable
•
Service providers are transpotable
•
Immediate purchase is for capability of later performance
•
Immediate purchase is for immediate performance
Dalam konteks pelayanan IB, out put yang dihasilkan mencakup dua produk sekaligus, yaitu barang dan jasa. Berupa barang adalah semen beku dari beberapa jenis (breed) sapi; dan jasa adalah berupa pelayanan inseminasi. Berdasarkan konsep relatif tentang mutu yang dikemukakan oleh Sallis (2006:49-71), maka dalam pelayanan IB, aspek pertama yang perlu diperhatikan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi kualitas semen beku yang dihasilkan, dan telah memenuhi standar yang telah ditetapkan, dan ini selalu dipantau; dan aspek kedua adalah memenuhi kebutuhan pelanggan, dan secara alamiah beberapa semen beku jenis sapi (breed) tertentu dihentikan produksinya karena tidak diminati oleh peternak sebagai pelanggan. Konsep Pelanggan Menurut Barkley dan Saylor (1994: 1), suatu organisasi tidak akan hidup dan subur dalam dunia saat ini tanpa pelanggan. Pelanggan menyebabkan suatu organisasi tetap eksis. Menurut Gaspersz (2001:33) pelanggan adalah semua
50
orang yang menuntut kita (atau perusahaan kita) untuk memenuhi suatu standar kualitas tertentu, oleh karena itu akan mempengaruhi performansi kita (atau perusahaan kita). Setiap pelanggan mempunyai kebutuhan dan harapan. Tingkat (level) harapan (expectation) pelanggan terhadap mutu pelayanan menurut Stamatis (1996:160) adalah Level 1. Harapannya sangat sederhana dan dalam bentuk “asumsi,” “seharusnya” atau “take for granted.” Level 2. Harapannya lebih tinggi dari Level 1, dan mereka memerlukan beberapa bentuk kepuasan melalui pemenuhan “kebutuhan dan/atau spesifikasinya.” Level 3. Harapannya tinggi
dari Level 1 atau 2, dan
mereka memperoleh
lebih
hal yang ”sangat
menyenangkan” (delightfulness) dan hal itu sangat ”menarik” (it attracts me to it). Menurut Gaspersz (2001:38-40) karakteristik produk yang diharapkan oleh pelanggan dapat dipandang sebagai suatu hirarki progresif dari tiga tingkat, yaitu (1) ekspektasi dasar (base expectations); (2) spesifikasi dan kebutuhan (specifications and requirements) dan (3) kesenangan/kegembiraan (delight). Ekspektasi dasar dari pelanggan (base expectations) merupakan tingkat terendah dalam model hirarki ekspektasi pelanggan (level 1), mencakup tingkat performansi minimum yang selalu diasumsikan ada (implicit), sehingga apabila karakterisik produk ini hilang, pelanggan akan selalu tidak puas. Ekspektasi tingkat kedua (level 2) dari pelanggan mencakup spesifikasi dan kebutuhan (specifications and requirements) yang terdiri dari pilihan-pilihan (options) dan trade-offs yang tersedia untuk dipilih oleh pelanggan (explicit). Pada tingkat ini spesifikasi dan kebutuhan ditentukan dan dinegosiasikan antara pelanggan dan pihak penjual atau pembuat produk. Ekspektasi pelanggan pada tingkat tertinggi (level 3, latent) merupakan nilai tambah dari karakteristik dan features yang tidak diketahui sebelumnya
oleh pelanggan (ekspektasi tersembunyi), sehingga
apabila karakteristik ini ada pada produk, pelanggan akan sangat senang atau gembira (delight). Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan (Zeithaml et al. 1990:18-20) adalah (1) Word-of-mouth communications. Apa yang telah didengar oleh pelanggan dari ”mulut ke mulut.” Misal rekomendasi dari teman atau tetangga, (2) Personal needs. Ini sangat bervariasi tergantung dari karakteristik dan lingkungan individu, (3) Past experience. Derajat pengalaman terhadap suatu pelayanan yang pernah diterima, akan mempengaruhi harapannya dan (4) External communication. Penyedia pelayanan memegang peran kunci dalam
51
membentuk harapan pelanggan. Hal ini termasuk beragam pesan, baik yang langsung maupun tidak langsung dari penyedia pelayanan kepada pelanggan. Jika karakteristik produk yang diharapkan oleh pelanggan seperti yang dikemukakan oleh Gaspersz (2001:38-40) ini diterapkan pada pelayanan Inseminasi Buatan, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Ekspektasi dasar, yaitu sapi bunting
oleh semen sapi pejantan (murni atau silang); (2)
Ekspektasi tingkat kedua, yaitu sapi bunting oleh semen sapi pejantan unggul pilihan dengan informasi tetua yang jelas (ada gambar sapi pejantannya dan tertulis dalam label straw); dan (3) Ekspektasi tertinggi (tingkat ketiga), yaitu sapi bunting oleh semen sapi pejantan unggul pilihan dengan informasi tetua yang jelas (ada gambar sapi pejantannya dan tertulis dalam label straw), dan melahirkan anak seperti tetuanya (seperti harapannya). Menurut Sallis (2006:67-71) dan Slamet (1996:4) pelanggan pendidikan (nonformal = penyuluhan) adalah (1) pelajar/petani (pelanggan eksternal primer), (2) Orang tua/yang memperkerjakan merupakan pelanggan eksternal skunder dan (3) Pemerintah dan masyarakat adalah pelanggan eksternal tersier. Sedangkan guru/staf adalah pelanggan internal.