1 Tentang Difusi Inovasi
1
UNSUR-UNSUR DIFUSI Untuk mengubah kebiasaan buruk penduduk suatu daerah, dan mengantikannya dengan kebiasaan baru yang lebih baik, pertama kali perlu terlebih dulu menghilangkan prasangka penduduk itu, mengurangi ketdak tahuan mereka, dan meyakinkan mereka bahwa dengan perubahan yang dianjurkan itu keuntungan mereka akan meningkat; tetapi ini bukan pekerjaan yang sekali jadi. Benyamin Franklin (1871) Tidak ada yang lebih sulit merencanakannya, lebih meragukan keberhasilannya, dan lebih berbabaya dampaknya daripada penciptaan suatu tatanan baru... Cara musuh menyerang pembaru selalu dengan semangat pejuang, sementara pembelanya begitu malas, sehingga pembaru dan kelompoknya selalu dalam keadaan rawan.
Niccolo Machiavelli THE PRINCE (15 13)
Takarir Ibu Rungga : ibu rumah tangga Rangtepi : marginal man Jejaring : network Agen Pembaru : petugas pembangunan, change agent Swalaju : melaju sendiri Anggitan : pandangan Homofili : kesepadanan karakteristik pelaku komunikasi, kebalikan heterofia
2
Salah satu alasan mengapa begitu besar minat terhadap kajian difusi inovasi (penyebaran inovasi) adalah karena ternyata tidak mudah mengusahakan agar ide baru itu diterima, walaupun sudah jelas kemanfaatannya. Di banyak bidang kehidupan, ada jarak yang cukup panjang antara masa pengenalan ide baru dengan pemakaiannya. Banyak inovasi memerlukan waktu yang cukup lama--sering bertahun-tahun--antara saat pertama kali inovasi itu ada dengan saat penerimaannya secara merata di masyarakat. Karena itu masalah umum yang sering dihadapi banyak orang dan organisasi (yang melakukan pembaruan masyarakat) adalah bagaimana mempercepat laju penyebaran inovasi. Kasus berikut ini menggambarkan beberapa kesulitan umum program difusi. MASAK AIR MINUM DI PEDESAAN Lembaga Kesehatan Masyarakat di Peru berusaha memperkenalkan beberapa inovasi kepada penduduk desa untuk meningkatkan kesehatan dan harapan hidup mereka. Lembaga pembaruan itu terkenal di seluruh Amerika Latin karena keberhasilannya; mereka berhasil mendorong penduduk membuat jamban, membakar sampah, mengusir lalat, dan melaporkan adanya kasus-kasus penyakit menular, dan memasak air minum. Pembaruan ini berhasil mengubah pikiran dan perilaku penduduk pedesaan Peru yang tidak mengerti apa hubungan sanitasi dengan sakit. Memasak air minum merupakan tindak kesehatan yang penting bagi penduduk desa dan penduduk miskin perkotaan Peru. Bila mereka tidak memasak air minumnya, para pasien yang menderita penyakit menular di Puskesmas sering berobat ulang dalam jangka waktu sebulan karena penyakit yang sama. Kampanye masak air minum dilancarkan selama dua tahun di Los Molinos, sebuah desa berpenduduk 200 keluarga di perpantaian Peru, hanya mempengaruhi sebelas ibu rungga. Menurut lembaga kesehatan masyarakat itu, Nelida, si petugas kesehatan di desa itu punya tugas sederhana: mengajak para ibu rungga agar terbiasa memasak air minum. Walaupun dibantu seorang dokter yang berceramah umum tentang memasak air minum, dan sebelum kampanye telah ada lima belas ibu rungga yang telah biasa masak air minum, program difusi Nelida dinilai gagal. Mengapa Nelida gagal? Untuk memahaminya kita perlu tahu lebih cermat mengenai kebudayaan, lingkungan dan orang-orang desa Los Molinos. Keadaan desa 3
Sebagian besar penduduk desa Los Molinos adalah petani yang bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan setempat. Mereka mengambil air dengan menggunakan kaleng, ember, labu atau tong. Pengambil air biasanya anak-anak; orang dewasa dianggap tidak pantas melakukan tugas ini. Ada tiga tempat pengambilan air di Los Molinos: sebuah parit di dekat desa, sebuah mata air yang tempatnya berjarak satu kilometer lebih dari pemukiman, dan sebuah sumur yang airnya tidak disukai penduduk. Jika diperiksa, sebenarnya ketiga sumber itu telah tercemar. Di antara ketiga sumber itu yang sering dipakai adalah parit. Letaknya dekat pemukiman, mengalir (tidak menggenang), dan penduduk menyukai rasa airya. Membangun sistem sanitasi yang baik di desa itu tidak mungkin. Tetapi penyakit tipes dan jenis penyakit lain yang menular lewat air sebetulnya bisa dicegah dengan memasak air sebelum diminum. Selama dua tahun tinggal di Los Molinos Nelida mengunjungi setiap rumah penduduk di desa itu, tetapi yang paling sering didatangi adalah 21 keluarga. Dia mengunjungi setiap keluarga pilihannya itu antara lima belas sampai dua puluh kali; sebelas keluarga di antaranya sekarang terbiasa memasak air minum mereka. Orang macam apakah yang mengikuti ajakan Nelida? Akan kami kemukakan tiga ibu rumah tangga--seorang memasak air minum karena adat, seorang karena pengaruh petugas kesehatan, dan seorang lagi dari kebanyakan ibu yang menolak inovasi. Dengan ilustrasi ketiga ibu ini akan diperoleh gambaran lebih banyak mengenai proses difusi. Nyonya A: memasak air karena adat Nyonya A berusia sekitar empat puluh tahun dan menderita sakit karena infeksi sinus (rongga hidung). Oleh penduduk ia dikenal sebagai orang sesakitan. Setiap pagi Nyonya A memasak air seceret untuk keperluan sehari. Dia tak paham teori kuman seperti diterangkan Nelida. Motivasinya memasak air minum adalah mengikuti adat kebiasaan setempat yang rumit tentang perbedaan "panas" dan "dingin". Pokok kepercayaan penduduk desa adalah bahwa semua makanan, minuman, obat dan benda punya sifat panas atau dingin di luar suhu sebenamya. Perbedaan panas-dingin bertindak sebagai perangkat larangan dan anjuran dalam perilaku tertentu seperti misalnya kalau sedang hamil, sedang meneteki anak, dan jika sedang dalam keadaan sakit atau sehat. Dalam adat kebiasaan masyarakat Los Molinos, masak air berkait dengan sakit; biasanya hanya orang sakit yang menggunakan air masak, atau air hangat. Jika seseorang jatuh sakit, mustahil baginya makan babi ("sangat dingin") atau minum arak ("sangat panas"). Sangat panas dan sangat dingin harus dihindari orang sakit; karena itu air mentah, yang dianggap sangat dingin, harus dimasak untuk menghilangkan suhu ekstrimnya.
4
Penduduk desa itu terbiasa tidak menyukai air masak sejak kanak-kanak. Air masak yang paling bisa ditenggang oleh adat setempat adalah bila dicampur dengan zat lain seperti teh, gula, jeruk atau sirup. Ny. A suka mencampur sirup dalam air minumnya. Sistem kepercayaan di desa itu tidak mengenal pencemaran air oleh bakteri. Menurut tradisi, mereka memasak air minum untuk mengurangi kadar "dingin" air mentah, bukan untuk membunuh bakteri. Nyonya A minum air masak karena ia patuh pada adat kebiasaan setempat, sebab ia sedang sakit. Nyonya B yang terpengaruh kampanye Keluarga B datang di Los Molinos segenerasi lalu, tetapi mereka masih kuat beracu pada kampung asalnya di Pegunungan Andes. Nyonya B takut tertular “penyakit dataran rendah" yang menurut anggapannya telah berjangkit di desa itu. Kekhawatiran ini merupakan salah satu penyebab mengapa Nelida, si agen pembaru, berhasil meyakinkan Nyonya B agar memasak air minumnya. Bagi Nyonya B, Nelida dianggap pejabat yang bersahabat (ibu-ibu desa itu malah menyebut Nelida "penilik kotoran" Nyonya B), yang selalu memberi penerangan dan perlindungan. Nyonya B tidak saja memasak air minumnya, melainkan juga telah membangun jamban keluarga dan membawa anaknya ke Puskesmas untuk diperiksa kesehatannya. Oleh masyarakat setempat Nyonya B dipandang sebagai orang luar karena tata-rambut dan logat Spanyolnya yang kental. Masyarakat menerimanya tak lebih sebagai rangtepi (marginal) di desa itu. Karena masyarakat Los Molinos bukan kelompok acuan yang penting baginya, Nyonya, B mencari perlindungan pribadi dengan cara mengikuti nasehat-nasehat Nelida yang bersahabat dengannya. Namun tindakan Nyonya B memasak air minum itu tidak mengubah statusnya di masyarakat sebagai rangtepi. Dia berterima kasih kepada Nelida yang telah mengajari bagaimana mencegah bahaya air tercemar dan penyakit "dataran rendah" amatannya. Nyonya C: penolak anjuran Ibu rungga ini mewakili kebanyakan keluarga, Los Molinos yang tak terpengaruh anjuran agen pembaru (Nelida) yang mengkampanyekan kesehatan selama dua tahun. Nyonya C tidak paham teori kuman, walaupun telah berulangkali Nelida menjelaskannya. "Bagaimana", sanggahnya, "jasad-jasad renik itu bertahan hidup di air dan membunuh orang? Apakah ia ikan? Bila kuman itu sangat kecil sehingga tak tampak atau tak teraba, bagaimana ia dapat mencelakai manusia sehat? Ancaman nyata yang perlu dicemaskan di dunia ini adalah kemiskinan dan kelaparan; kita tidak perlu cemas terhadap binatang kecil yang tak tampak, tak teraba dan tak terdengar”. Nyonya yang setia pada adat kebiasaan itu menolak anjuran memasak air minum.
5
Sebagai pemeluk teguh tradisi kepercavaan "panas-dingin", ia beranggapan bahwa hanya orang sakit vang patut minum air masak. Mengapa Difusi Masak Air Minum Gagal? Kampanye giat dua tahun yang dilakukan petugas kesehatan di masyarakat pedesaan Peru yang berpenduduk dua ratus keluarga itu bertujuan mengajak para ibu rungga agar memasak air minum, secara umum gagal. Nelida hanya dapat mengajak 5% penduduk desa (sebelas keluarga) untuk mengadopsi inovasi. Padahal agen pembaru di desa-desa Peru lainnya dapat mengajak 15 sampai 20% ibu rungga. Sebab-sebab kegagalan kampanye di Los Molinos sebagian dapat ditelusuri dari kepercayaan yang membudaya di desa itu. Tradisi di sana menghubungkan makanan "panas" dengan sakit; memasak air minum menjadikannya kurang "segar", karena itu hanya cocok untuk orang sakit. Jika seseorang tidak sakit, ia tercegah oleh budaya setempat untuk minum air masak. Hanya orang-orang yang kurang terikat dalam jaringan sosial setempat yang mau beresiko menentang norma-norma masyarakat mengenai memasak air. Faktor penting yang mempengaruhi faktor adopsi suatu inovasi adalah kesesuaiannya dengan norma-norma, kepercayaan, dan pengalaman masa lalu masyarakat itu. Nelida dan atasannya di Lembaga Kesehatan Masyarakat harusnya paham tentang sistem kepercayaan panas-dingin, karena ini dijumpai di seluruh Peru (dan sebetulnya kebanyakan bangsa Amerika Latin, Afrika dan Asia). Kegagalan Nelida menunjukkan pentingnya jejaring antar pribadi dalam penggunaan dan penolakan inovasi. Secara sosial nyonya B adalah orang luar dan bagi masyarakat Los Molinos. Dia adalah rangtepi, walaupun telah bertahun-tahun tinggal di situ. Nelida merupakan acuan yang penting bagi nyonya B daripada para tetangga yang umunya menghindarinya. Khawatir kehilangan penerimaan sosial (persahabatan) dari Nelida yang status sosialnya lebih tinggi, Nyonya B mengadopsi “memasak air minum”. Itu dilakukan bukan karena ia paham alasan-alasan kesehatan yang benar, melainkan ingin memperoleh restu Nelida. Jadi kita tahu bahwa difusi inovasi itu sering merupakan proses sosial, tidak sekedar masalah keteknikan. Nelida telah bekerja dengan ibu-ibu rungga yang salah jika ia ingin melancarkan proses difusi yang swalaju. Dia memusatkan usahanya kepada orang-orang seperti Nyonya A dan Nyonya B. Celakanya, mereka itu dianggap orang sesakitan dan orang luar, serta tidak dihormati sebagai tokoh tauladan tindakan memasak air minum oleh wanita-wanita lain. Para tokoh masyarakat desa itu, yang dapat mennggerakkan jejaring setempat dalam menebar inovasi, diabaikan oleh Nelida. Pandangan para calon pengguna terhadap agen pembaru mempengaruhi kesediaan mereka untuk mengadopsi ide-idenya. Di Los Molinos, Nelida dipandang berbeda (tidak 6
sederajat) oleh ibu-ibu rungga yang berstatus sosial rendahan dan tengahan. Kebanyakan keluarga miskin memandang petugas kesehatan sebagai seorang "pengintai" yang dikirim ke Los Molinos untuk mengusak-asik dan mendesak para ibu rungga yang sudah penat itu agar tetap membersihkan rumah. Karena ibu rungga rendahan itu kurang punya waktu senggang, tidak mungkin melayani perbincangan dengan Nelida mengenai memasak air. Hubungan mereka dengan masyarakat luar terbatas, sehingga mereka memahami kecakapan teknik Nelida dengan pandangan yang terikat pada cakrawala sosial dan kepercayaan tradisional Los Molinos. Mereka tidak percaya pada orang luar itu, yang mereka anggap sebagai orang asing. Nelida, yang termasuk golongan tengahan (kelas menengah) menurut ukuran Los Molinos, dapat menjalin hubungan yang lebih positif dengan ibu-ibu rungga yang tingkat sosial ekonomi dan latar belakang budayanya lebih mirip dengannya. Kecenderungan berlangsungnya komunikasi lebih lancar dengan mereka yang lebih sepadan dengan agen pembaru ini sering terjadi pada kebanyakan kampanye difusi. Nelida terlalu "beracu inovasi" dan kurang "beracu klien". Karena tidak menempatkan dirinya dalam peran ibu-ibu rungga desa, usaha-usahanya mempengaruhi masyarakat tidak mengena sebab pesan-pesan yang ia sampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Nelida tidak memulai usahanya dari keadaan penduduk; malahan ia berceramah tentang teori kuman, yang tidak mereka pahami (dan mungkin tidak mereka perlukan). Kami menyitir hanya beberapa faktor yang menyebabkan difusi yang menjadi tanggung jawab Nelida gagal. Barangkali pembaca akan lebih jelas lagi memahami kasus memasak air masak itu bila sisa buku ini selesai dibaca. Kami akan kembali membahas hal-hal yang kita petik pelajarannya dari Los Molinos ini di bab-bab yang akan datang.
7
APAKAH DIFUSI ITU? Difusi adalah proses pengkomunikasian inovasi melalui saluran-saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di kalangan anggota suatu sistem sosial. Difusi adalah suatu corak khusus komunikasi, yang pesannya mengenai ide-ide baru. Komunikasi adalah proses yang para pesertanya bersicipta dan bersitukar informasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Batasan ini berarti bahwa komunikasi adalah proses memadu (atau memisah) karena dua orang atau lebih bertukar informasi itu saling-mendekat (atau saling menjauh) dalam memaknai peristiwa-peristiwa tertentu. Kami memandang komunikasi sebagai suatu proses pemaduan tindakan dua arah, bukannya sebagai tindakan searah atau lurus di mana seseorang memindah suatu pesan kepada yang lain (Rogers dan Kincaid 1981). Anggitan sederhana mengenai komunikasi insani seperti ini dapat dengan tepat memerikan tindakan atau peristiwa komunikasi tertentu dalam difusi, misalnya ketika seorang agen pembaru berusaha mempengaruhi klien agar menggunakan suatu inovasi. Namun apabila kita mclihat apa yang terjadi sebelum peristiwa semacam itu, dan apa yang terjadi selanjutnya. Kita menyadari bahwa peristiwa itu hanyalah sebagian dari keseluruhan proses yang di dalamnya dipertukarkan informasi antara dua orang itu. Mungkin, misalnya, klien datang kepada agen pembaru mengemukakan masalah dan kebutuhannya, dan oleh agen pembaru disarankan inovasi itu sebagai pemecahan yang bisa ditempuh. Dan bila kita melihat interaksi agen pembaru—klien dalam tautan lebih luas, kita bisa melihat bahwa interaksi mereka berlangsung beberapa putaran, dan betul-betul merupakan proses pertukaran informasi. Dengan demikian difusi adalah suatu corak khas komunikasi, yang pesan-pesannya mengenai ide baru. Kebaruan ide dalam isi pesan komunikasi itulah yang menjadikan difusi besifat khas. Kebaruan berarti di dalamnya terkandung derajat ketakpastian. Ketakpastian adalah seberapa jauh sejumlah altematif dianggap berkait dengan terjadinya sesuatu peristiwa dan seberapa peluang relatif pilihan-pilihan berkanaan dengan peristiwa tersebut. Ketakpastian berarti kekurangan informasi, karena informasi merupakan satu alat pengurang ketakpastian. Informasi adalah jarak antara materi dan energi yang mempengaruhi ketakpastian suatu situasi; di dalamnya terdapat satu pilihan di antara banyak kemungkinan (Rogers dan Kincaid, 1981:64). Seperti akan kami tunjukkan pada akhir bab ini, inovasi keteknologian itu memuat informasi dan karenanya mengurangi ketakpastian mengenai hubungan sebab akibat dalam pemecahan masalah. Misalnya pengadopsian saya (Rogers, pen.) terhadap alat pemanas air tenaga matahari yang dipasang di perumahan mengurangi ketakpastian (rasa was-was) saya 8
tentang kenaikan biaya rungga karena penggunaan bahan bakar di masa mendatang yang harganya terus melambung. Kami rasa ada manfaatnya menganggit difusi dan adopsi inovasi itu dalam batasan suatu kerangka yang berdasar pada informasi dan ketakpastian. Kegunaan anggitan pokok ini membantu kita memahami difusi inovasi keteknologian sebagal salah satu corak proses komunikasi. Difusi adalah salah satu jenis perubahan sosial, yang diartikan sebagai proses perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Bila ide-ide baru ditemukan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak, dan membawa dampak tertentu pada suatu sistem sosial tertentu, maka terjadilah perubahan sosial. Tentu saja, perubahan itu dapat terjadi dengan cara lain, misalnya melalui revolusi politik atau karena peristiwa alam seperti banjir bandang atau gempa bumi. Beberapa penulis membatasi arti difusi pada penyebaran ide-ide baru yang spontan dan tak terencana, dan menggunakan istilah diseminasi untuk difusi yang terarah dan terkelola. Dalam buku ini kami menggunakan istilah difusi dan diseminasi silih berganti, sebab dalam praktek perbedaan antara keduanya tidak begitu jelas. Dan, kaidah umum menggunakan kata difusi baik untuk penyebaran ide-ide baru yang spontan maupun yang terencana. Namun ada baiknya membedakan antara sistem difusi terpusat dan yang tak terpusat. Dalam sistem difusi terpusat, keputusan mengenai hal-hal seperti kapan mulai menyebarkan inovasi, siapa yang harus menilainya, dan melalui saturan apa inovasi itu disebarkan, dibuat oleh beberapa pejabat dan/atau pakar teknik di pucuk pimpinan lembaga pembaruan. Dalam sistem difusi tak terpusat, keputusan seperti itu diperbincangkan lebih luas dengan para klien dan calon pengguna; di sini jejaring komunikasi horisontal (mendatar) di antara klien merupakan mekanisme pokok penyebaran inovasi. Sebetulnya, bisa saja tidak ada agen pembaru dalam sistem difusi yang sangat tak terpusat; para calon pemakai inovasi sendiri yang secara swakelola bertanggung jawab atas penyebaran inovasi. Ide-ide baru bisa muncul dari pengalaman praktis orang-orang tertentu dalam sistem sosial klien, selain yang datang dari kegiatan resmi penelitian dan pengembangan. Tadinya ada dugaan bahwa sistem difusi yang relatif terpusat seperti dinas penyuluhan pertanian itulah yang merupakan unsur penting dalam proses difusi. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa sistem difusi yang relatif tak terpusat telah diselidiki dan dievaluasi. Tampaknya dalam kondisi-kondisi tertentu ia merupakan pengganti yang tepat bagi difusi yang terpusat. PENCEGAHAN PENYAKIT CACAR DI ARMADA ANGKATAN LAUT INGGRIS: Inovasi tidak menyebar dengan sendirinya
9
Banyak teknologiwan beranggapan bahwa inovasi yang bermanfaat akan menyebar sendiri, bahwa kemanfatan nyata suatu ide baru akan dikenal luas oleh para calon pemakai, dan karena itu inovasi itu akan menyebar dengan cepat. Sayangnya yang demikian itu jarang terjadi. Kenyataannya malah mengherankan: kebanyakan inovasi lambat menyebar. Pencegahan penyakit cacar adalah kasus sejarah yang menarik mengenai betapa lambat menyebarnya suatu inovasi yang jelas-jelas bermanfaat (Mosteller, 1981). Pada hari-hari awal pejalanan laut yang jauh, cacar merupakan pembunuh paling kejam di dunia pelaut, lebih kejam dari peperangan, kecelakaan, dan semua hal lain penyebab kematian. Misalnya, anak kapal Vasco de Gama yang berjumlah 160 orang yang mengarungi Tanjung Harapan di tahun 1497, seratus di antaranya meninggal karena cacar. Pada tahun 1601, seorang kapten kapal Inggris, James Lancaster, melakukan semacam percobaan untuk menilai kemampuan sirup lemon dalam mencegah cacar. Kapten Lancaster mengomando 4 kapal yang berlayar dari Inggris ke India; dia memberi 3 sendok teh sirup setiap hari kepada para awak di kapal terbesar dari keempat kapalnya. Sebagian besar awak di kapal besar ini tetap sehat. Tetapi pada tiga kapal lainnya yang lebih kecil, 110 dari 278 awak kapal meninggal di tengah pelayaran karena terserang cacar. Ketiga kapal kecil itu merupakan "kelompok kendali" penelitian Lancaster; para pelaut di ketiga kapal kecil itu tidak diberi sedikitpun sirup lemon. Nyatanya, begitu banyak di antara pelaut itu yang sakit sehingga Lancaster harus memindah sebagian awak dari kapal besar untuk mengawaki ketiga kapal kecil itu. Hasil-hasil pencobaan itu demikian gamblang sehingga orang bisa berharap bahwa Angkatan Laut Inggris akan memutuskan untuk mengadopsi sirup lemon sebagai pencegah cacar pada semua armadanya, atau setidak-tidaknya melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh buah jeruk terhadap cacar. Namun hal itu tidak terjadi sampai tahun 1747, kira-kira 150 tahun kemudian, ketika James Lind—seorang dokter AL Inggris yang mengetahui hasil-hasil percobaan Lancaster—melakukan percobaan lain di kapal Salisbury. Kepada setiap pasien cacar di kapal ini, Lind memberi resep dua buah jeruk dan sebuah lemon, atau salah satu dari 5 diet lainnya: setengah pint (0,568 It) air laut, 6 sendok cuka, satu quart (0,9463 lt) sari buah apel, pala, atau 75 tetes vitriol elexir. Pasien cacar yang memperoleh buah jeruk sembuh dalam beberapa hari, dan dapat membantu dr. Lind merawat pasien lainnya. Sayang bekal jeruk dan lemon habis dalam waktu 6 hari saja. Dengan bukti lanjutan tentang kemampuan buah jeruk memberantas penyakit cacar, tentu orang akan berharap bahwa Angkatan Laut Inggris mengadopsi inovasi teknikpengobatan ini untuk semua awak kapal yang sedang dalam pelayaran panjang, dan memang itu dilakukan. Namun hal itu baru terjadi pada 1795, empat puluh delapan tahun kemudian. Dalam
10
waktu singkat penyakit cacar terbasmi. Dan setelah menunggu “hanya” tujuh puluh tahun lebih, yakni pada 1865, Dewan Perdagangan Inggris mengadopsi kebijaksanaan serupa, dan memberantas penyakit cacar di armada dagang. Mengapa penguasa AL begitu lamban mengadopsi gagasan pemakaian jeruk untuk pencegahan cacar? Para sejarahwan tidak dapat memberi keterangan yang jelas. Namun agaknya ada pengobatan lain untuk penyakit cacar yang dipersaingkan, dan masing-masing ada tokohnya. Misalnya laporan Kapten Cook dari pelayarannya di Pasifik tidak mendukung pengobatan cacar dengan buah jeruk. Dan lagi, Dr. Lind bukanlah tokoh yang sangat menonjol dalam bidang pengobatan angkatan laut, sehingga temuan-temuan percobaannya tidak mendapat perhatian dari AL Inggris. Sementara pencegahan penyakit cacar tertahan penyebarannya bertahun-tahun di AL Inggris, inovasi-inovasi lain seperti kapal-kapal baru dan persenjataan baru diterima dengan mudahnya. Banyak ulasan sejarah lainnya yang bisa dikutip untuk menunjukkan bahwa lebih dari sekedar kemanfaatan inovasi yang diperlukan untuk penyebaran dan pengadopsiannya. Pembaca mungkin berpikir bahwa difusi yang lamban itu hanya terjadi pada masa lampau, sebelum pendekatan ilmiah dan eksperimental untuk menilai inovasi diterima dengan baik. Kami jawab hal ini dangan mengajak pembaca memperhatikan kasus kontemporer tentang tidak menyebarnya papan-ketuk (keyboard) mesin tik Dvorak. TIDAK MENYEBARNYA PAPAN KETIK DVORAK Kebanyakan kita pemakai mesin ketik—termasuk sekitar 18 juta orang yang berpenghasilan sebagai pengetik—tidak pernah tahu bahwa jemari kita mengetuk huruf-huruf pada papan-ketuk yang disebut QWERTY, nama yang diambil dari deretan enam huruf pertama baris teratas. Bahkan hanya sedikit di antara kita yang tahu betapa tak efisiennya papan-ketuk QWERTY itu. Misalnya papan-ketuk ini memerlukan waktu dua kali lebih lama untuk menghapalnya, menuntut waktu dua kali lebih lama untuk menggunakannya, dan membuat kita bekerja 20 kali lebih keras dan seharusnya. Namun QWERTY telah menetapkan pelambanan sejak 1873, dan sekarang orang-orang yang tak curiga masih diajar menggunakan papan-ketuk QWERTY, tidak tahu bahwa telah ada alternatif papan-ketuk yang jauh lebih efisien. Dari mana QWERTY berasal, dan mengapa terus dipakai walaupun ada rancangan papan-ketuk pilihan yang jauh lebih efisien? QWERTY ditemukan oleh Christoper Latham Sholes pada 1873, yang merancang papan-ketuk ini untuk memperlambat pengetik. Pada waktu itu jeruji mesin ketik tergantung seperti keranjang, dan berputar ke atas mengetuk kertas; kemudian kembali ke tempat semula 11
berdasarkan hukum gaya berat. Bila tuts berdampingan diketuk cepat berurutan, sering terjadi kemacetan. Pak Sholes mengatur huruf-huruf pada mesin ketik untuk mengurangi kemacetan itu; dia "mereka-ulang" susunan huruf sedemikian rupa agar susunan huruf yang terbiasa digunakan menjadi janggal dan memperlambat penggunaan. Dengan demikian ia mempersulit pengetik, untuk memperlambat kecepatan pengetikan. Papan-ketuk QWERTYnya Sholes memungkinkan mesin ketik kuno itu bekerja memuaskan. Rancangannya digunakan oleh semua pabrik mesin ketik. Sebelum tahun 1900an, kebanyakan pengetik menggunakan dua jari. Tetapi setelah itu, sejak pengetikan menjadi populer, ketakpuasan terhadap QWERTY mulai muncul. Secara mekanis, mesin ketik semakin canggih dan mestinya rancangan papan-ketuk QWERTY tidak lagi diperlukan untuk mencegah kemacetan tombol. Pencarian rancangan yang lebih baik dilakukan oleh Prof. Agust Dvorak di Universitas Washington, yang pada 1932 menggunakan kajian waktu-dan-gerak untuk mecipta susunan papan-ketuk yang jauh lebih efisien. Papan-ketuk Dvorak punya huruf-huruf A,O,E,U,D,H,J, N dan S pada baris tengah mesin ketik. Huruf-huruf yang jarang dipakai diletakkan di baris atasnya atau bawahnya. Sekitar 70% pengetikan dilakukan di baris tengah, 22 % di baris atas, dan 8% di baris bawah. Pada papan-ketuk Dvorak, banyaknya pekerjaan yang dirancang untuk setiap jari disesuaikan dengan ketrampilan dan kekuatannya. Lebih lanjut Prof Dvorak mengatur papan-ketuknya sehingga ketukan tombol yang berurut jatuh pada tangan satunya; Jadi, pada waktu satu jari sebelah (katakanlah kanan) sedang mengetuk satu tombol, jari pada tangan kiri dapat bergerak ke posisi untuk mengetuk tombol berikutnya. Dengan demikian irama pengetikan menjadi lebih mudah; pemindahan tangan ini memperoleh penempatan huruf hidup (yang merupakan 40% huruf yang diketuk) diletakkan di sisi tangan kiri, dan menempatkan sebagian besar huruf mati (konsonan) yang biasanya digabung dengan huruf hidup di posisi kanan. Prof. Dvorak dapat menhidari banyak ketak-efisienan pengetikan yang menggunakan papan ketuk QWETY. MisaInya, QWERTY memberi beban berlebih pada tangan kiri; ia harus mengetik 57% bahan ketikan. Papan ketuk Dvorak memindah beban ini menjadi 56% pada tangan kanan yang lebih kuat dan 44% pada tangan kiri yang lebih lemah. Pada papan ketuk QWERTY hanya 32 ketukan yang dilakukan di baris tengah, sedangkan pada sistem Dvorak mencapai 70%. Susunan baru (Dvorak) mengurangi peloncatan dari belakang ke depan, dari baris ke baris; sedamgkan pada papan QWERTY, jemari pengetik bersafari lebih dan 12 jam per hari, meloncat dari satu baris ke yang lain. Gerakan ruwet yang mubazir ini menimbulkan ketegangan jiwa, kelelahan, dan menyebabkan salah ketik.
12
Orang mungkin berharap, dengan begitu banyaknya keunggulan papan-ketuk DVORAK mestinya ia sudah menggantikan papan ketik QWERTY yang banyak kelemahannya. Yang terjadi justru sebaliknya; setelah lebih dari empat puluh tahun, hampir semua pengetik masih menggunakan papan ketik QWERTY yang tak efisien itu. Walaupun Lembaga Pembakuan Nasional Amerika dan Asosiasi Pabrik Perlengkapan Bisnis dan Komputer (the Computer and Business Equipment Manu.facturers Association) telah mengesahkan papan-ketuk DVORAK sebagai suatu rancangan pengganti, tetap hampir mustahil menjumpai papan-ketuk mesin ketik (atau komputer) yang menggunakan rancangan baru ini. Kepentingan pribadi yang terkait dalam pemertahanan rancangan kuno itu banyak: para pabrikan, pedagang, guru mengetik, dan para pengetik itu sendiri. Ringkasnya, inovasi keteknikan itu tidak selalu tersebar dan teradopsi dengan cepat. Meskipun inovasi itu terbukti sangat bermanfaat dan telah mendapat pengakuan resmi. Pembaca tentu sudah menduga bahwa lembar-lembar naskah buku ini diketik menggunakan papan ketuk QWERTY.
EMPAT UNSUR POKOK DIFUSI INOVASI Di muka kami mendefinisikan difusi sebagai proses di mana (1) suatu inovasi (2) dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu (3) dalam selang waktu (4) di kalangan anggota suatu sistem sosial. Empat unsur pokok difusi itu ialah inovasi, saluran komunikasi, waktu, dan sistem sosial (Gambar 1-1). Keempatnya umumnya terdapat dalam setiap kajian difusi, dan dalam setiap program atau kampanye difusi (misalnya kampanye masak air minum di sebuah pedesaan di Peru).
13
Prosentase Pengguna Inovasi Pengguna Akhir
100 90 80 Inovasi I
70
Inovasi II
60
Inovasi III
50 40 30 20 10 Tinggal Landas Difusi
0
Pengguna Awal
Perjalanan Waktu Gambar 1-1.
Difusi adalah proses di mana (1) suatu inovasi (2) dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu (3) dalam selang waktu (4) di kalangan anggota suatu sistem sosial.
1. INOVASI Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang atau satuan pengguna lain. Selama berkenaan dengan perilaku manusia, tidak terlalu dipersoalkan apakah suatu ide itu "secara obyektif" baru (seandainya diukur dengan selang waktu sejak pertama kali digunakan atau ditemukan) atau tidak. Pandangan seseorang tentang kebaruan
14
suatu ide menentukan reaksinya terhadap ide tersebut. Apabila ide itu dipandang baru oleh seseorang, maka itu inovasi. Kebaruan suatu inovasi mencakup tidak sekedar "baru mengetahui". Seseorang mungkin telah cukup lama mengetahui (kenal) suatu inovasi tetapi belum menentukan sikap (berkenan atau tak berkenan) terhadapnya, atau belum mengadopsi atau menolaknya. Aspek "kebaruan" suatu inovasi bisa dinyatakan dalam batasan pengenalan, persuasi (penyikapan), atau keputusan untuk menggunakan. Hendaknya kita tidak beranggapan bahwa semua inovasi itu perlu disebarkan dan dipakai. Nyatanya, ada beberapa kajian tentang inovasi yang menunjukkan bahwa suatu inovasi itu berbahaya dan boros yang umumnya tidak diperlukan, baik oleh perseorangan maupun sistem sosial. Lebih dari itu, inovasi yang sama mungkin diperlukan oleh pemakai dalam situasi tertentu tetapi tidak diperlukan oleh calon pengguna lain dalam suatu situasi yang berbeda. Misalnya, alat pemetik tomat mekanis telah diadopsi dengan cepat oleh para petani-niaga besar di California, tetapi mesin ini terIalu mahal bagi penanam tomat berskala kecil, dan karena itu ribuan petani kecil itu telah tergusur dari produksi tomat. a. Inovasi Teknologi, Informasi dan Ketakpastian Hampir semua ide baru yang dikupas dalam buku ini adalah inovasi teknologis, dan kami sering menggunakan kata inovasi bersinonim dengan teknologi. Teknologi adalah suatu rancangan untuk tindakan instrumental yang mengurangi ketakpastian sebab akibat yang berkenaan dengan pencapaian suatu hasil yang diinginkan. Suatu teknologi biasanya punya dua unsur: (1) perangkat keras, terdiri dari perkakas yang membentuk teknologi itu sebagai obyek materia atau fisika, dan (2) perangkat lunak, terdiri dari pokok informasi untuk perkakas itu. Misalnya, kita sering berbicara tentang "perangkat keras komputer" yang terdiri dari semi konduktor, transistor, koneksi-koneksi listrik, chasis yang melindungi atau menjadi tempat komponen-komponen listrik itu, dan "perangkat lunak" nya yang berupa aspek-aspek informasional lainnya mengenai perkakas ini yang memungkinkan kita menggunakannya untuk memperluas kemampuan manusia di dalam memecahkan masalah tertentu. Di sini kita melihat contoh
persitindakan
(interaksi)
yang
erat
antara
suatu
perkakas
dengan
cara
menggunakannya. Lekatan sosial aspek-aspek perangkat keras teknologi biasanya kurang tampak dibanding aspek-aspek permesinan dan perlengkapannya, dan dengan demikian kita sering berpikir tentang teknologi sebagaian besar dalam arti perangkat keras. Memang, kadang-kadang sisi perangkat keras teknologi itu dominan. Tetapi ada kalanya suatu teknologi hampir seluruhnya terdiri dari informasi (perangkat lunak); misalnya filsafat politik konservatif, ide keagamaan seperti Children of God atau Islam Liberal, Cara Belajar Siswa Aktif 15
(CBSA), dsb. Penyebaran inovasi-inovasi perangkat lunak seperti itu telah diteliti, walaupun ada masalah metodologis dalam kajian macam itu, yakni bahwa pengadopsiannya tidak begitu mudah dilacak atau diamati secara lahiriah. Meskipun unsur perangkat lunak teknologi sering tak begitu jelas kelihatan, hendaknya kita ingat bahwa hampir teknologi itu merupakan adonan aspek-aspek perangkat-keras dan perangkat-lunak. Sesuai dengan definisi kami tentang teknologi, bagi seseorang ia merupakan alat pengurang ketidakpastian yang dimungkinkan dengan adanya informasi mengenai hubungan sebab akibat yang mendasari teknologi itu. Informasi ini biasanya berasal dari kegiatan Penelitian dan Pengembangan llmiah ketika teknologi itu dikembangkan. Kadang-kadang suatu teknologi baru muncul dari praktek keseharian (bukan hasil litbang, walaupun kemudian dievaluasi secara ilmiah sebelum disebarluaskan). Jadi pada umumnya suatu inovasi teknologi setidak-tidaknya berderajat keuntungan atau berkemanfaatan bag! calon pemakainya. Tetapi kemanfaatan ini tidak selalu tampak gamblang atau luar biasa (spektakuler), terutama menurut pandangan para calon pemakai yang diharapkan menggunakannya. Jarang mereka merasa yakin bahwa suatu inovasi merupakan pengganti yang lebih unggul daripada praktek sebelumnya. Maka dari itu inovasi teknologi juga menciptakan ketidakpastian di benak calon penggunanya (mengenai akibat-akibat yang diharapkan), dan di lain pihak memberi peluang untuk mengurangi ketakpastian itu. Yang terakhir itu (bahwa inovasi mengurangi ketakpastian melalui informasi yang melekat padanya) menunjukkan kemanjuran yang mungkin dimiliki inovasi dalam memenuhi kebutuhan terasa seseorang atau dalam memecahkan masalah nyata yang dia hadapi; kemanfaatan ini mendorong seseorang untuk berusaha lebih keras mempelajari suatu inovasi. Jika pencarian informasi itu telah mengurangi ketidakpastian mengenai akibat-akibat yang diharapkan dari inovasi samapai pada tingkat yang dapat diterima olch seseorang, maka diambillah keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi itu. Bila ide baru itu digunakan, akan di-peroleh informasi evaluatif mengenai inovasi teknologi itu, dan ketakpastian mengenai akibat-akibatnya menjadi terkurangi. Jadi, pada hakekatnya proses keputusan inovasi adalah kegiatan pencarian dan pemrosesan informasi sebab seseorang terdorong untuk mengurangi ketidakpastian mengenai keuntungan dan kerugian inovasi itu. Agar jelas, kita perlu membedakan dua macam informasi mengenai inovasi teknologi: 1.
Informasi perangkat lunak, yang melekat pada suatu teknologi dan berfungsi mengurangi kepastian mengenai hubungan sebab-akibat berkenaan dengan pencapaian hasil yang diharapkan.
16
2.
Informasi
penilaian-inovasi,
yang
merupakan
pengurang
ketakpastian
mengenai
akibat-akibat yang diharapkan dari suatu inovasi. Pertanyaan pokok yang biasanya diajukan seseorang mengenai informasi perangkat-lunak adalah "Inovasi apakah itu, bagaimana cara kerianya?" "Mengapa bisa begitu?" Sebaliknya, orang biasanya ingin memperoleh informasi penilaian inovasi dengan mengajukan pertanyaan "Apa akibat/hasil yang diperoleh dari pemakaian inovasi itu?"; "Apa untung dan ruginya inovasi itu bagi diri saya?". b. Rumpun Teknologi Salah satu dari berbagai masalah konseptual dan metodologi yang dihadapi para peneliti dan praktisi difusi adalah penentuan batas kapan sesuatu itu disebut inovasi teknologi. Intinya, bagaimana menentukan kapan suatu inovasi tidak lagi disebut inovasi dan kapan sesuatu yang lain mulai disebut inovasi? Bila suatu inovasi adalah gagasan yang dianggap baru, masalah batasan ini seharusnya di-jawab para calon pemakai yang akan merespon gagasan itu. Memang, pendekatan inilah yang digunakan para pakar difusi dan para peneliti pasar dalam kajian-kajian "penentuan posisi'. Misalnya, suatu kajian tentang difusi "daur-ulang" (pengolahan ulang barang bekas) di California menemukan bahwa para ibu rungga mendaur ulang kertas (majalah, koran) sebetulnya berkemungkinan mendaur-ulang botol dan kaleng bekas, tetapi banyak keluarga yang hanya mendaur ulang kertas bekas (Leonard-Barton dan Rogers, 1980a); diduga, kedua perilaku pen-daur-ulangan itu merupakan dua inovasi yang menjadi bagian dari suatu rumpun yang bersitaut. Rumpun teknologi terdiri dari satu atau lebih unsur-unsur teknologi yang terpisah yang dipandang bersitaut erat. Beberapa agen pembaru ada yang menganjurkan penggunaan suatu rumpun atau paket inovasi karena mereka tahu bahwa dengan demikian inovasi-inovasi itu lebih cepat diadopsi. c. Sifat Inovasi Seharusnya kita tidak beranggapan bahwa inovasi itu satuan-satuan kupasan yang sama, seperti kadang-kadang dilakukan di masa lalu; yang demikian itu penyederhanaan yang terialu kasar. Kalau inovasi blue jean dan kalkulator saku hanya memerlukan waktu 5 atau 6 tahun untuk menyebar ke seluruh konsumen di Amerika Serikat, ide-ide baru lainnya seperti sabuk-pengaman di jok mobil memerlukan berpuluh tahun untuk bisa tersebar rata penggunaannya oleh pengendara mobil di AS. Pandangan orang mengenai sifat-sifat inovasi dapat membantu menjelaskan perbedaan kecepatan adopsi inovasi satu dari yang lain. 1. Keuntungan relatif (relative advantage) adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap lebih baik (menguntungkan) daripada gagasan sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif
17
dapat diukur dengan tolok ekonomi, tetapi faktor-faktor seperti prestise sosial, kenyamanan dan kepuasan seringkali juga merupakan unsur yang penting. Persoalannya bukanlah seberapa banyak suatu inovasi memberi keuntungan "nyata", melainkan apakah seseorang memandang inovasi itu menguntungkan. Semakin besar keuntungan
relatif
suatu
inovasi
diketahui,
semakin
cepat
kemungkinan
pengadopsiannya. 2. Kesesuaian (compatibility) adalah sejauh mana suatu inovasi dipandang sejalan dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan para calon pemakai. Gagasan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang lazim akan tidak diadopsi secepat inovasi yang sesuai. Pengadopsian inovasi yang tidak sesuai biasanya memerlukan mengadopsi nilai-nilai baru terlebih dulu. Contoh inovasi yang tidak sesuai adalah penggunaan alat-alat kontrasepsi di negara-negara yang kepercayaan agamanya menentang penggunaan teknik-teknik keluarga berencana, seperti di negara/masyarakat Muslim dan Katolik. 3. Kerumitan (complexity) adalah sejauh mana suatu inovasi dipandang sulit dipahami dan/atau dipakainya. Beberapa inovasi ada yang mudah dipahami oleh kebanyakan warga masyarakat, ada inovasi yang mungkin lebih rumit, dan yang demikian ini biasanya akan diadopsi lebih lambat. Misalnya, penduduk desa Los Molinos tidak memahami teori bakteri yang diterangkan petugas kesehatan sebagai alasan perlunya memasak air minum. Umumnya gagasan baru yang lebih mudah dipahami akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang mensyaratkan pemakainya untuk terlebih dulu mempelajari pengetahuan dan ketrampilan baru. 4. Ketercobaan (trialability) adalah sejauh mana suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil. Gagasan baru yang dapat dicoba pada tempat percobaan (misalnya demplot pertanian) umumnya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba. Ryan dan Gross (1943) menemukan bahwa setiap orang yang menjadi respondennya di Iowa mengadopsi jagung hibrida dengan terlebih dulu mencobanya kecil-kecilan. Jika jagung baru itu tidak dapat dicoba sebagai percontohan, kecepatan adopsinya mungkin lambat. Suatu inovasi yang dapat dicoba, mengurangi ketidakpastian orang yang mempertimbangkan untuk mengadopsinya. 5. Keteramatan (observability) adalah sejauh mana hasil suatu inovasi dapat dilihat orang lain. Semakin mudah hasil suatu inovasi dapat diamati oleh seseorang semakin besar kemungkinannya untuk diadopsi. Teramatinya hasil suatu inovsi merangsang teman-teman dan para tetangga pemakai untuk mendiskusikan dan bertanya kepadanya untuk memperoleh informasi-penilaian mengenai inovasi itu. Pemanas air tenaga matahari yang diletakkan di atap (genting) perumahan akan tampak dengan jelas, dan 18
suatu sigi di California menunjukkan bahwa para pemakai alat pemanas air itu memperlihatkan kepada rata-rata 6 orang temannya (Rogers dkk, 1979). Sekitar seperempat penghuni perumahan di California mengetahui orang-orang yang telah mengadopsi alat pemanas air tenaga matahari (walaupun hanya 2,5% penghuni yang telah mengadopsi pada tahun 1979), dan sekitar dua pertiga dari mereka telah melibat-libat peralatan temannya. Para pemakai alat ini banyak dijumpai di beberapa rumpun perumahan di California, di mana tiga atau empat pemakai tinggal di lokasi/blok yang sama. Beberapa inovasi lain seperti komputer keluarga (Personal Computer atau video yang relatif kurang tampak, tersebar lebih lambat.
Umumnya inovasi yang oleh para calon pemakainya dipandang punya keuntungan relatif lebih tinggi, lebih sesuai, dapat dicoba dan bisa diamati hasilnya, serta tidak terIalu rumit akan lebih cepat diadopsi dari pada inovasi lain yang kurang. Sebetulnya bukan hanya kualitas inovasi saja yang mempengaruhi kecepatan adopsi, tetapi penelitian-penelitian yang Ialu menunjukkan bahwa kelima sifat itulah yang paIing penting sebagai penjelas kecepatan adopsi. d. Reinvensi Sampai kira-kira pertengahan tahun 1970an, diduga kualitas inovasi itu permanen, tidak berubah selama proses penyebarannya. Saya ingat ketika mewawancarai seorang petani Iowa mengenai pemakaian obat semprot pembasmi rumput “2,4 D” pada tahun 1954. Dalam menjawab pertanyaan saya "apakah Anda menggunakan inovasi 2,4 D", petani itu menjelaskan agak rinci cara-cara tertentu yang tidak lazim dalam menggunakan obat itu di ladangnya. Pada akhir wawancara, saya begitu saja mencatat responden ini sebagai "pengguna" pada kuesener saya. Konsep reinvensi belum ada dalam konsep teoritik saya, maka saya memasukkan pengalaman orang itu ke dalam salah satu pengkategorian pengguna yang saya miliki pada waktu itu. Kemudian, pada tahun 1970an, para pakar difusi mulai menaruh perhatian lebih besar terhadap konsep reinvensi, yang didefinisikein sejauh mana suatu inovasi diubah oleh seorang pemakai dalam proses pengadopsian dan petaksanaannya. Beberapa peneliti mengukur reinvensi sebagai sejauh mana penggunaan ide baru oleh seseorang menyimpang dari versi asli pada saat dipromosikan lembaga, pembaharuan (Eveland et al 1971). Begitu para pakar mengenal konsep ini dan mengadakan pengukuran terhadapnya, mereka menjumpai bahwa terjadi invensi dan reinvensi pada beberapa inovasi. Ada beberapa inovasi yang agaknya sulit atau tidak mungkin direinvensi oleh petani, misalnya jagung hibrida tidak mungkin dengan mudah direinvensi oleh petani, karena penyilangan bibit itu dilakukan secara genetik yang terlalu canggih untuk mengubahnya. Tetapi ada inovasi-inovasi yang sifatnya lebih lentur, dan 19
bisa direinvensi oleh kebanyakan pemakai dengan jalan menggunakan inovasi itu dalam berbagai cara, yang berbeda dari petunjuk aslinya. Karena itu kita harus ingat bahwa suatu inovasi belum tentu statis, tidak berubah selama proses penyebarannya. Dan, mengadopsi inovasi bukanlah tindakan yang pasif dengan menerapkan ide-ide baru itu persis apa adanya (standar) tanpa perubahan. Jika suatu inovasi telah tercipta, kita harus mengkomunikasikannya bila berharap inovasi itu tersebar. Sekarang beralih kita pada unsur kedua difusi 2. Saluran Komunikasi Di muka, kami mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses di mana para pelakunya menciptakan dan bertukar informasi satu sama lain untuk mencapai kesamaan paham. Difusi adalah tipe khusus komunikasi, yakni informasi yang dipertukarkan adalah ide-ide baru. Inti proses difusi adalah pertukaran informasi, yakni seseorang mengkomunikasikan suatu ide baru kepada orang lain. Pada dasarnya bentuk proses itu meliputi unsur-unsur (1) suatu inovasi, (2) seseorang atau unit adopsi yang punya pengetahuan atau pengalaman dalam penggunaan informasi-inovasi itu, (3) orang lain yang belum mengetahui/menggunakan inovasi itu, dan (4) saluran komunikasi yang menghubungkan kedua unit (orang) itu. Saluran komunikasi adalah jalur lewat suatu pesan sehingga bisa tersampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sifat hubungan pertukaran informasi antara dua pasangan individu menentukan jalan mana seorang yang dipakai sumber untuk menyalurkan inovasi itu kepada penerima, dan bagaimana efek penyaluran itu. Misalnya, saluran media massa biasanya merupakan cara/alat penyalur pesan yang menggunakan media seperti radio, televisi, koran dsb yang memungkinkan seorang sumber dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Sebaliknya, saluran antar pribadi lebih efektif dalam mempengaruhi seseorang mengadopsi ide baru, terutama dalam mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi ide baru, terutama bila saluran antar pribadi itu menghubungkan dua atau lebih yang merupakan teman karib. Saluran antar pribadi adalah pertukaran informasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka. Hasil berbagai penelitian difusi menunjukkan bahwa kebanyakan orang tidak mengevaluasi suatu inovasi berdasarkan kajian ilmiah mengenai konsekuensi-konsekuensinya, walaupun evaluasi obyektif seperti itu—terutama bagi orang yang paling awal mengadopsi— bukannya tidak penting. Kebanyakan orang berpegang terutama pada penilaian subyektif yang disampaikan kepada mereka oleh orang-orang yang sepadan dengan dirinya yang telah lebih dulu mengadopsi inovasi. Ketergantungan kepada pengalaman yang dikomunikasikan para 20
teman dekat ini menunjukkan bahwa inti proses difusi adalah percontohan dan imitasi oleh para calon pemakai kepada teman-temannya yang berada dalam jaringan komunikasinya yang telah memakai inovasi itu lebih awal. a. Heterofili Dan Difusi Prinsip pokok komunikasi antar manusia adalah bahwa pengalihan (transfer) ide-ide umumnya terjadi antara dua orang yang sepadan atau homofilus. Homofili adalah sejauh mana orang yang berinteraksi itu ada kemiripan dalam ciri-ciri tertentu, seperti kepercayaannya, pendidikannya, status sosialnya, dsb. Dalam suatu situasi yang bisa memilih, bila seseorang dapat berinteraksi dengan siapa saja yang ia kehendaki, ada kecenderungan kuat orang akan memilih berkomunikasi dengan orang yang paling sepadan dengan dirinya. Banyak alasan berkait dengan prinsip homofili. Orang-orang yang punya kemiripan satu sama lain biasanya menjadi anggota kelompok yang sama, tinggal dan bekerja di tempat yang berdekatan, dan memiliki minat yang sama. Kedekatan fisik dan sosial seperti itu memungkinkan terjadinya komunikasi yang homofilus. Komunikasi semacam itu mungkin lebih efektif, karena mengasyikkan. Kemungkinan lebih efektif terjadi bila dua orang yang berkomunikasi itu homofilus (sepadan). Karena mereka bertukar istilah yang saling mereka mengerti, menggunakan bahasa daerah, dan memiliki sifat-sifat pribadi dan sosial yang mirip, pengkomunikasian ide-ide mungkin mempunyai efek yang lebih besar dalam arti perolehan pengetahuan, pembentukan dan perubahan sikap, dan perubahan perilaku nyata. Bila ada kesepadanan, komunikasi antara dua orang mungkin akan lebih mengasyikkan (gayeng. jw). Salah satu masalah penting dalam pengkomunikasian inovasi adalah biasanya partisipannya sangat heterofilius. Agen pembaru umumnya secara teknis lebih kompeten daripada kliennya. Perbedaan ini seringkali membawa pada komunikasi yang tidak efektif. Mereka tidak berbicara dengan "bahasa" yang sama. Memang, bila dua orang identik pemahaman dan pengalamannya tentang inovasi, akan tidak terjadi difusi dalam interaksi mereka sebab tidak ada informasi baru yang dipertukarkan. Sifat difusi menuntut setidak-tidaknya ada beberapa tingkat heterofili antara dua orang yang berkomunikasi. Idealnya, agen pembaru dan kliennya sepadan (homofili) dalam variabel-variabel lain (misalnya pendidikan, status sosial, dsb) tetapi heterofili dalam hal inovasi. Biasanya heterofili yang terjadi pada dua orang yang terlibat dalam komunikasi inovasi menyangkut semua aspek, karena pengetahuan dan pengalaman tentang inovasi tersebut berkaitan erat dengan status sosial, pendidikan dan sebagainya. 3.
JANGKA WAKTU
21
Waktu merupakan unsur penting dalam proses difusi. Kebanyakan penelitian ilmu-ilmu tingkah laku mengabaikan dimensi waktu. Waktu, merupakan aspek penting dalam, proses komunikasi,
tetapi
kebanyakan
penelitian
komunikasi
(yang
bukan
difusi)
tidak
memasukkannya secara eksplisit. Barangkali ini merupakan suatu konsep dasar yang tidak dapat dijelaskan dalam arti sesuatu yang lebih fundamental (Withrow 1980: 372). Waktu tidak terpisah dari peristiwa, bahkan ia merupakan aspek setiap kegiatan. Pemasukan waktu sebagai suatu variabel dalam penelitian difusi merupakan salah satu kekuatannya, tetapi pengukuran dimensi waktu (seringkali dengan mengandalkan ingatan responden) dapat dicela. Dimensi waktu masuk ke dalam bahasan difusi berkenaan dengan (1) proses keputusan inovasi di mana seseorang menjalani proses mulai dari kenal inovasi sampai dengan pengadopsian atau penolakannya, (2) keinovatifan seseorang atau unit adopsi—yakni relatif lebih awal/akhir suatu inovasi diadopsi—dibanding dengan anggota sistem sosial atau unit adopsi lainnya, dan (3) kecepatan adopsi suatu inovasi dalam suatu sistem sosial yang biasanya diukur dengan jumlah anggota sistem yang mengadopsi inovasi dalam jangka waktu tertentu. a. Proses Keputusan Inovasi Proses keputusan inovasi adalah suatu proses yang dijalani seseorang (atau unit adopsi lain) mulai dari pertama kali tahu inovasi kemudian menyikapi, mengambil keputusan untuk memakai (mengadopsi) atau menolaknya, dan melaksanakan penggunaan ide baru itu. Kami merumuskan 5 tahap pokok dalam proses itu: (1) tahap pengenalan, (2) tahap persuasi, (3) tahap keputusan, (4) tahap pelaksanaan, dan (5) tahap konfirmasi. Tahap Pengenalan terjadi ketika seseorang dihadapkan pada adanya inovasi dan memahami bagaimana inovasi itu berfungsi. Tahap Persuasi terjadi ketika seseorang menyikapi inovasi, berkenan atau tidak berkenan. Tahap Keputusan terjadi ketika seseorang terlibat dalam kegiatan yang mengarah pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi. Tahap Pelaksanaan (implementasi) berlangsung ketika seseorang menerapkan penggunaan inovasi dalam kehidupannya sehari-hari. Biasanya pada tahap implementasi ini terjadi reinvensi. Tahap Konfirmasi terjadi ketika seseorang mencari penguatan (reinforcement) terhadap keputusan inovasi yang telah ia buat, tetapi mungkin saja ia mengubah keputusan bila ia berhadapan dengan pesan-pesan yang negatif tentang inovasi. Telah kami kemukakan bahwa proses keputusan inovasi adalah usaha pencarian dan pemrosesan informasi dalam rangka memperkecil ketakpastian mengenai inovasi. Pada tahap pengenalan, seseorang terutama mencari informasi perangkat lunak yang terkandung dalam
22
dalam inovasi teknologis, yang mengurangi ketakpastian mengenai hubungan sebab-akibat antara kemampuan inovasi itu dengan pemecahan masalah. Pada tahap ini seseorang ingin tahu inovasi apa (yang mereka hadapi) itu, dan bagaimana inovasi bekerja (dapat memecahkan masalah). Saluran media massa dapat secara efektif menyalurkan informasi-infomasi ini. Tetapi meningkat pada tahap persuasi, dan terutama pada tahap keputusan, seseorang mencari informasi penilaian-inovasi dalam rangka mengurangi ketakpastian akibat-akibat yang diharapkan dari inovasi. Di sini seseorang ingin mengetahui keuntungan dan kerugian penggunaan inovasi itu bagi dirinya. Jaringan komunikasi antar pribadi dengan teman-teman dekatiah terutama yang membawa informasi evaluatif mengenai suatu inovasi. Evaluasi subyektif mengenai gagasan baru itu mungkin berpengaruh besar pada seseorang pada tahap keputusan, dan mungkin pula pada tahap pengukuhan. Proses keputusan inovasi dapat mengarah pada penerimaan (adopsi), yakni suatu keputusan untuk sepenuhnya menggunakan inovasi sebagai cara terbaik, atau mengarah pada penolakan yaitu keputusan untuk tidak menggunakan inovasi. Keputusan itu nantinya dapat berubah: misalnya, terjadi penghentian (discontinuation) yaitu suatu keputusan untuk menolak inovasi setelah tadinya mengadopsi. Penghentian terjadi karena seseorang tidak puas dengan suatu inovasi, atau karena inovasi itu digeser oleh ide baru yang lebih baik. Mungkin pula seseorang mengadopsi inovasi telah tadinya memutuskan untuk menolaknya. Adopsi terlambat dan penghentian terjadi dalam tahap pengukuhan dari proses keputusan inovasi. Proses keputusan inovasi berdimensi waktu dalam arti bahwa kelima tahap itu biasanya berlangsung dalam suatu urutan waktu mulai dari pengenalan, persuasi, keputusan, pelaksanaan dan konfirmasi. Periode keputusan inovasi adalah lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses keputusan inovasi. Perkecualian pada urutan kelima tahap itu tentu saja ada, misalnya tahap keputusan mendahului tahap persuasi. Demi ringkasnya, kami membatasi pembahasan mengenai proses keputusan inovasi kali hanya pada keputusan perseorangan, jadi keputusan inovasi optional-individual. Namun banyak keputusan inovasi yang dibuat oleh organisasi atau unit pengadopsi yang bukan perseorangan. Misalnya, suatu perusahaan memutuskan untuk membeli “program pengolah kata” (word processor) berdasarkan keputusan staf atau keputusan pimpinan; pekerja pada perusahaan itu secara pribadi tidak punya suara dalam pengambilan keputusan inovasi, atau hanya kecil. Bila suatu keputusan inovasi dibuat oleh suatu sistem, bukan oleh perseorangan, proses keputusan itu biasanya lebih rumit. Itulah, waktu merupakan dimensi penting dalam proses keputusan inovasi.
23
b. Keinovatifan dan Kategori Pengguna Keinovatifan adalah sejauh mana seseorang atau unit adopsi relatif lebih awal/akhir mengadopsi ide-ide baru dibanding anggota sistem sosial lainnya. Daripada menyebut seseorang "kurang inovatif daripada rata-rata anggota sistem sosial lainnya" akan lebih berguna dan lebih efisien menyebutnya "mayoritas akhir" atau kategori pengguna lainnya. Sebutan pendek seperti itu menghemat kata, dan memperjelas pemahaman, karena penelitian difusi menunjukkan bahwa setiap anggota kategori pengguna memiliki banyak kesamaan. Bila seseorang termasuk kategori mayoritas akhir, maka seperti kebanyakan orang yang berada dalam kategori ini, dia rendah status sosialnya, tidak banyak menerpa media massa, memperoleh ide-ide baru dari teman-temannya melalui saluran antar pribadi. Dengan cara yang sama kami akan memberi uraian singkat keempat kategori pengguna lainnya. Kategori pengguna adalah pengkategorian anggota suatu sistem sosial berdasar keinovatifannya, menjadi: (1) inovator, (2) pemuka, (3) mayoritas awal, (4) mayoritas akhir, dan (5) kolot. Inovator adalah pencari informasi ide-ide baru yang aktif. Mereka sangat sering bertatap media massa dan jaringan komunikasi antar pribadinya sangat luas, biasanya menjangkau keluar wilayah (sistem sosial)nya sendiri. Para inovator dapat mengatasi ketakpastian mengenai inovasi jauh lebih baik daripada kelompok pengguna lainnya. Sebagai orang yang pertama kali mengadopsi ide baru di lingkungan sistem sosialnya, mereka tidak bergantung pada penilaian subyektif anggota sistem sosial lainnya tentang inovasi. Pengukuran keinovatifan dan pengklasifikasian anggota sistem sosial ke dalam kategori pengguna itu, tentu saja, didasarkan pada waktu relatif pengadopsian suatu inovasi. c. Kecepatan Adopsi Inilah dimensi ketiga keterkaitan waktu dalam difusi inovasi. Kecepatan adopsi adalah kecepatan relatif pengadopsian suatu inovasi oleh suatu sistem sosial. Bila jumlah orang yang mengadopsi inovasi digrafikkan secara kumulatif berdasar waktu pengadopsiannya, hasilnya adalah suatu kurva bentuk-S. Pada awaInya (pada bulan atau tahun-tahun pertama), hanya sedikit orang yang mengadopsi inovasi. Mereka inilah para inovator. Tetapi, sebentar kemudian kurva difusi mulai menanjak, begitu bertambah banyak orang mengadopsi inovasi. Kemudian lintasan kecepatan adopsi mulai mendatar, karena semakin sedikit orang yang belum mengadopsi. Akhimya kurva bentuk-S mencapai asimtotnya (garis lurus mendekati kurva, tetapi tidak memotongnya pada jarak yang tipis sekali), berakhirlah proses difusi. Kebanyakan inovasi punya kurva kecepatan adopsi berbentuk-S. Tetapi ada variasi kelandaian "S"nya antara inovasi satu dengan lainnya; beberapa ide baru menyebar relatif cepat 24
dan kurva S-nya sangat curam, inovasi yang lain mungkin lebih lambat menyebarnya dan kurva-S nya lebih landai. Salah satu isu yang dilemparkan oleh peneliti difusi adalah mengapa beberapa inovasi punya kecepatan adopsi tinggi sedangkan yang lain rendah (misalnya lihat Gambar 1-1)
4. SISTEM SOSIAL Sistem sosial didefinisikan sebagai satu kesatuan unit-unit yang bersitaut dan terikat dalam kerjasama pemecahan masalah untuk mencapai tujuan bersama. Anggota atau unit anggota sistem sosial bisa perseorangan, kelompok informal, organisasi, atau subsistem. Sistem sosial yang dianalisis dalam kajian difusi bisa petani di pedesaan Asia Tenggara, perguruan tinggi di Wisconsin, para dokter di rumah sakit umum, atau semua konsumen di Amerika Serikat. Setiap unit dalam suatu sistem sosial dapat dibedakan dari unit-unit lainnya. Semua anggota/unit bekerjasama paling tidak dalam mencari pemecahan masalah umum dalam rangka mencapai tujuan masing-masing secara timbal bahk. Pertukaran tujuan umum inilah yang mengikat sistem itu. Perlu diingat bahwa difusi itu terjadi dalam suatu sistem sosial, karena itu struktur sosial suatu sistem mempengaruhi penyebaran inovasi. Sistem sosial mempunyai batas-batas di mana suaiu inovasi menyebar. Berkenaan dengan sistem sosial ini kita membahas beberapa topik pengaruh struktur sosial terhadap difusi, peranan pemuka pendapat dan agen pembaru, tipe-tipe keputusan inovasi, dan konsekuensi inovasi. Semua ini mencakup hubungan antara sistem sosial dengan proses difusi yang terjadi di dalamnya. a. Strutur Sosial dan Difusi Selama unit-unit dalam suatu sistem sosial tidak identik perilakunya, maka di dalamnya terdapat struktur sosial. Struktur adalah susunan yang terpola dari unit-unit sistem sosial. Struktur ini menyebabkan keteraturan dan kestabilan perilaku orang-orang dalam sistem sosial, dan ini memungkinkan dibuatnya perkiraan perilaku secara lebih akurat. Jadi struktur memberi sejumlah informasi yang dapat mengurangi ketakpastian. Struktur dalam organisasi birokrasi seperti instansi pemerintah barangkali merupakan contoh yang baik; di situ ada struktur sosial yang sudah mapan dalam bentuk posisi-posisi hirarkhis, di mana pegawai yang berada pada posisi atasan punya hak untuk memerintah pegawai yang berada pada posisi bawahan, dan
25
perintah itu harus dikerjakan. Hubungan sosial yang terpola di antara anggota sistem sosial seperti itu membentuk suatu struktur sosial formal. Di samping struktur formal ini, di antara unit-unit suatu sistem sosial ada struktur sosial informal dalam bentuk jaringan antar pribadi yang menghubungkan para anggota suatu sistem sosial, yang menentukan siapa yang berinteraksi dengan siapa dalam kesempatan tertentu. Kami mendefinisikan struktur komunikasi macam ini sebagai unsur-unsur pembeda yang dapat dikenali dalam arus komunikasi yang terpola dalam suatu sistem sosial. Di muka telah kami jelaskan prinsip homofili, di mana kebanyakan orang dalam suatu sistem sosial berbincang dengan orang yang mirip dengannya; suatu struktur komunikasi sering terbentuk dalam suatu sistem sosial di mana sejumlah orang yang homofili mengelompok dalam suatu klik. Ketiadaan struktur komunikasi dalam suatu sistem sosial akan terjadi dalam suatu situasi di mana seseorang berbicara satu sama lain secara merata. Situasi macam itu bisa terjadi ketika sekelompok orang yang betul-betul belum saling kenal perta-ma kaii berkelompok. Tetapi pola yang teratur segera terbentuk dalam jaringan komunikasi di antara mereka. Dan aspek-aspek struktur komunikasi itu sebagian dapat dipakai untuk memperkirakan perilaku anggota sistem sosial itu. Struktur suatu sistem sosial dapat memudahkan atau menghalangi difusi inovasi ke dalamnya. Dampak struktur sosial dalam difusi inovasi merupakan minat khusus para ahli sosiologi dan psikologi sosial, dan bagaimana struktur komunikasi dalam suatu sistem mempengaruhi difusi merupakan topik yang menarik bagi pakar komunikasi. Katz (1961) menyatakan "Tidaklah mungkin mengkaji difusi tanpa pengetahuan tentang struktur sosial di mana para calon pemakai berada, sebagaimana halnya tidaklah mungkin mengkaji sirkulasi darah tanpa pengetahuan yang tepat tentang struktur pembuluh darah dan urat nadi”. Dibanding dengan aspek-aspek penelitian difusi lainnya, relatif hanya sedikit, kajian tentang bagaimana struktur komunikasi suatu sistem mempengaruhi penyebaran dan pengadopsian inovasi di dalam suatu sistem itu. Salah satu penjelasannya barangkali, secara metodologis ini memang agak rumit menguraikan pengaruh struktur sistem terhadap difusi, terlepas dari efek-efek sifat pribadi yang membentuk sistem itu. Tetapi marilah kita melihat suatu ilustrasi efek sistem, pengaruh struktur dan komposisi suatu sistem terhadap perilaku anggota sistem. Contoh kami ambil dari kajian Rogers dan Kincaid (198l): dua wanita Korea, keduanya butahuruf, telah kawin, punya anak dan berusia 28 tahun. Suami kedua wanita itu lulusan SMA, punya ladang seluar 5 acre. Orang mungkin menduga kedua wanita itu bersikap sama (suka atau tidak suka) terhadap alat kontrasepsi.
26
Tetapi kedua wanita itu berbeda dalam satu hal yang penting: mereka tinggal di desa yang berbeda, satu di desa A dan satunya di desa B. Tingkat adopsi KB di desa A mencapai 57% sedangkan di B 26%. Jelas struktur sosial dan komunikasi sosial kedua desa itu sangat berbeda berkenaan dengan difusi alat kontrasepsi, walaupun inovasi-inovasi ini telah sama-sama dipromosikan di kedua desa itu oleh BKKBN Korea. Tentu kita menduga bahwa wanita di desa A lebih berkenan mengadopsi alat kontrasepsi daripada para wanita di desa B karena efek sistem: teman-teman dan tetangga nyonya A banyak kemiripan, dan karena mereka telah menga-dopsi maka hal ini mendorong nyonya A untuk juga mengadopsi, di samping pemuka masyarakat di desa A menganjurkan keluarga berencana, sementara di desa B tidak. Dari contoh ini kita dapat melihat bahwa suatu sistem sosial punya pengaruh terhadap difusi dan pengadopsian inovasi, mcialui efek variabel-variabel seperti ciri-ciri individual anggota sistem. Keinovatifan seseorang dipengaruhi baik oleh ciri-ciri orang itu sendiri maupun oleh sifat-sifat sistem sosial di mana orang itu menjadi anggotanya. b. Norma Sistem dan Difusi Penefitian di Korea oleh Rogers dan Kincaid (1981) juga menguraikan pentingnya norma-norma desa dalam mempengaruhi kecepatan difusi cara-cara KB. Dari kajian terhadap 24 desa ditemukan perbedaan besar antara suatu desa dengan lainnya, baik pada tingkat adopsi KB maupun dalam adopsi jenis-jenis alat kontrasepsi tertentu. Salah satu desa telah mencapai 51% adopsi IUD dan hanya satu yang menjadi pengguna vasektomi. Ada desa yang semua penggunanya memilih pil sebagai alat kontrasepsi. Jelas bahwa perbedaan-perbedaan ini bukan disengaja oleh program KB di Korea, yang telah mempromosikan semua jenis alat kontrasepsi ke semua desa selama 10 tahun sebelum penelitian ini dilakukan. Penjelas perbedaan perilaku kontraseptif dari satu desa dengan desa lain itu bersumber dari norma-norma yang ada pada masing-masing desa. Norma adalah pola perilaku yang sudah tetap bagi para anggota suatu sistem sosial. Norma itu menentukan suatu rentangan perilaku yang dapat ditoleransi dan yang tidak, serta bertindak sebagai pedoman atau ukuran bagi anggota suatu sistem sosiall. Norma sistem dapat menjadi rintangan perubahan, seperti contoh dalam kampanye masak air minum di masyarakat Los Molinos Peru. Rintangan terhadap masuknya ide-ide baru seperti itu. Sering dijumpai pada norma-norma yang berkenaan dengan kebiasaan makan minum. Di India misalnya, pensucian sapi yang merata di pedesaan telah menghalangi usaha untuk meningkatkan gizi dengan daging sapi walaupun ribuan penduduk desa dalam keadaan kurang gizi. Daging babi juga tidak dimakan oleh orang Muslim dan Yahudi. Kebanyakan orang
27
Asia dan Amerika Latin makan nasi poles, walaupun sebetuInya nasi yang tidak dipoles kadar gizinya lebih tinggi. Itu adalah contoh-contoh norma budaya dan keagamaan. Norma-norma dapat berlaku pada suatu bangsa, suatu masyarakat, suatu organisasi atau suatu sistem lokal misalnya satu desa. c. Tokoh Masyarakat dan Agen Pembaru Kita telah membahas pengaruh struktur suatu sistem terhadap difusi dan perilaku adopsi para anggotanya. Sekarang kita berakh pada beberapa peran berbeda yang dimainkan oleh orang-orang tertentu di dalam suatu sistem sosial dan pengaruh peran ini terhadap difusi. Terutama kita akan membahas dua peran: tokoh masyarakat dan agen pembaru. Orang yang paling inovatif dalam suatu sistem sosial seringkali dipandang sebagai penyimpang (deviant) dari sistem sosial, dan oleh rata-rata anggota masyarakat agak diragukan statusnya serta dipandang rendah kredibilitasnya. Peran orang-orang semacam ini dalam difusi (terutama dalam mempengaruhi orang lain berkenaan dengan inovasi) agak terbatas. Sebaliknya, ada anggota masyarakat yang berperan sebagai tokoh. Mereka memberi informasi dan nasehat kepada banyak orang di dalam sistem itu mengenai inovasi. Ketokohan (opinion leadership) adalah sejauh mana seseorang dapat relatif sering mempengaruhi sikap dan peritaku nyata orang lain secara informal ke arah yang dikehendaki. Ketokohan diperoleh seseorang melalui kompetensi teknik yang dikuasainya, kemampuannya mendekati masyarakat dan penyesuaiannya dengan norma-norma sistem. Banyak penelitian menujukkan bila suatu sistem sosial berorientasi pada perubahan, tokoh masyarakatnya inovatif; tetapi bila norma-norma masyarakat menentang perubahan, perilaku tokohnya juga mencerminkan norma itu. Dengan penyesuaian mereka terhadap norma-norma masyarakat, tokoh masyarakat bertindak sebagai suatu. model yang tepat untuk perilaku inovasi bagi para pengikutnya. Pada setiap masyarakat blasanya ada tokoh yang inovatif dan ada pula yang menentang perubahan. Orang-orang yang berpengaruh ini dapat memimpin promosi ide-ide baru, atau bisa juga menggerakkan oposisi. Umumnya, bila para tokoh masyarakat dibandingkan dengan para pengikutnya, ternyata mereka (1) lebih kosmopolit, (2) lebih banyak berkomunikasi dengan dunia luar, (3) status sosialnya agak lebih tinggi, dan (4) lebih inovatif (walaupun tingkat keiinovatifan yang sesungguhnya sebagian tergantung pada norma-norma sistem sosial). Tetapi ciri-ciri yang paling menonjol adalah posisi mereka yang unik dan berpengaruh dalam struktur komunikasi masyarakat: mereka merupakan pusat jaringan komunikasi antar pribadi. Suatu jaringan komunikasi terdiri dari beberapa orang yang saling berhubungan yang dirangkaikan
28
oleh arus informasi yang terpola. Jejaringan antarpribadi tokoh masyarakat memungkinkannya bertindak sebagai suatu model sosial yang perilaku inovatifnya ditiru oleh kebanyakan anggota masyarakat. Pengaruh dan penghormatan tokoh masyarakat oleh warganya ini bisa hilang, bila si tokoh menyimpang terlalu jauh dari norma-norma masyarakatnya. Ada bukti penelitian di mana tokoh masyarakat dapat diper"lusuh" oleh agen pembaru yang terlalu berlebihan memanfaatkannya. Para tokoh masyarakat bisa dipandang oleh teman-temannya terialu mirip dengan agen pembaru dan mungkin karena itu kehilangan kepercayaan dari para pengi-kutnya. Tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat (sistem sosial) di mana mereka menggunakan pengaruhnya. Kadang-kadang orang yang punya pengaruh di masyarakat itu adalah para profesional yang mewakili lembaga pembaharuan dari luar sistem. Agen pembaru adalah orang yang mempengaruhi keputusan inovasi klien ke arah yang diinginkan lembaga pembaharuan. Dia bisa juga memperlambat difusi atau mencegah pengadopsian apa yang ia pandang sebagai inovasi yang tidak diinginkan. Para agen pembaru kadang-kadang memperlakukan tokoh masyarakat tertentu sebagai letnan-letnan dalam kampanye difusi (pembantu dalam usaha penyebaran inovasi). Para agen pembaru biasanya adalah para profesional lulusan perguruan tinggi di bidangnya. Latihan profesional ini, dan status sosial sebagai implikasinya, biasanya menyebabkan para agen pembaru itu heterofili dengan khennya, dan dengan demikian ia menghadapi masalah keefektifan komunikasi berkenaan dengan inovasi yang mereka promosikan. Namun, karena keterbatasan agen pembaru yang berkualifikasi profesional dan atau karena ketiadaan sumber-sumber finansial untuk mempekerjakan tanaga profesional dalam jumlah besar, banyak agen pembaru yang menggunakan para pembantu (Aide) agen pembaru. Seorang pembantu adalah agen pembaru yang tidak begitu. profesional yang secara intensif menghubungi para khen untuk mempengaruhi keputusan inovasi mereka. Para pembantu ini biasanya lebih homofilius dengan rerata kliennya, sehingga bisa menjembatani jurang heterofili yang sering terjadi antara agen pembaru profesional dengan kliennya. d. Tiga Tipe Keputusan Inovasi Sistem sosial masih punya bentuk lain pengaruh yang penting terhadap penyebaran gagasan-gagasan baru. Inovasi dapat diadopsi atau ditolak (1) oleh anggota sistem sosial atau (2) oleh keseluruhan sistem sosial, yang dapat memutuskan menerima suatu inovasi melalui keputusan kolektif atau otoritas. Tipe keputusan inovasi opsional ada!ah pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi yang dilakukan seseorang, bebas dari keputusan anggota sistem sosial lainnya,
29
walaupun keputusan tersebut mungkin dipengaruhi oleh norma-norma sistemnya dan jejaringan antar pribadinya. Keputusan seorang ibu rungga di Los Molinos untuk menerima atau menolak memasak air minum adalah keputusan inovasi opesional, walaupun keputusan itu masih dipengaruhi oteh faktor-faktor masyarakat, misalnya adat panas-dingin yang kompleks. Aspek pembeda keputusan inovasi adalah bahwa unit pembuat keputusan adalah individu, bukan sistem sosial. Seperti dikemukakan sebelumnya, model difusi klasik berkembang dari penelitian difusi awal, yang hampir semuanya terdiri dari penefitian keputusan inovasi opsional: difusi jagung hibrida di kalangan petani Iowa, penyebaran obat anti biotik baru di kalangan para dokter, dan yang lain. Hanya pada dekade terakhir ini kita mulai memperluas lingkup paradigma difusi yang juga mencakup keputusan inovasi kolektif dan otoritas. Keputusan Inovasi Kolektif adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi yang dilakukan secara konsensus di antara para anggota sistem sosial. Semua unit dalam sistem itu biasanya harus menyesuaikan dengan keputusan sistem yang telah diambil. Misalnya pemungutan suara di beberapa kota dan desa di California, telah memutuskan bahwa semua rumah baru yang dibangun harus diperlengkapi dengan alat pemanas air tenaga matahari. Pemilik rumah tidak punya pilihan lain kecuali menerima/mengadopsi alat pemanas air tersebut. Sebaliknya, begitu suatu kota menentukan membangun televisi-kabel, setiap rumah harus secara pribadi mendaftarkan diri untuk mendapatkan saluran TV tersebut. Keputusan Inovasi Otoritas adalah pemeilihan untuk menerima atau menolak inovasi yang dibuat oleh relatif sedikit orang dalam suatu sistem sosial yang punya kuasa, status atau keahlian teknis lebih tinggi. Anggota sistem tidak punya pengaruh, atau hanya sedikit, dalam keputusan inovasi: dia semata-mata hanya melaksanakan keputusan. Misalnya, direktur suatu perusahaan Listrik di AS beberapa waktu yang lalu memutuskan bahwa semua pekerja wanita perusahaan harus mengenakan blus putih rok biru; keputusan ini harus diikuti semua wanita yang bekerja di pabrik itu. Ketiga tipe keputusan inovasi ini berjajar dalam suatu kontinum dari keputusan opsional (pengguna inovasi hampir bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan), kemudian keputusan kolektif (individu punya pengaruh atas keputusan inovasi tetapi tidak mutlak), sampai pada keputusan otoritas (pengguna inovasi tidak ikut dalam pembuatan keputusan). Dibanding dengan keputusan inovasi opsional, tipe keputusan inovasi kolektif dan otoritas lebih sering terjadi pada organisasi formal seperti pabrik, perusahaan, sekolah, lembaga pemerintahan dsb. Sedangkan di bidang pertanian atau perilaku konsumen, para petani dan konsumen banyak yang mengambil keputusan inovasi opsional. 30
Keputusan tentang suatu ide baru tertentu bisa berubah atau diubah seiring dengan perjalanan waktu. Sabuk pengaman pada mobil di tahun-tahun pertama penggunaannya merupakan keputusan inovasi opsional pemilik mobil. Kemudian pada tahun 1968, peraturan pemerintah federal menentukan bahwa semua mobil baru di Amerika Serikat harus dilenghapi dengan sabuk pengaman. Dengan demikian keputusan inovasi opsional menjadi kolektif. Tetapi keputusan yang dibuat pengemudi mobil atau penumpangnya untuk mempererat sabuk pengaman tetap merupakan keputusan inovasi opsional—yakni, kecuali mobil keluaran 1974, yang oleh aturan dituntut untuk dilengkapi dengan sistem kunci starter yang dihubungkan dengan sabuk pengaman, sehingga tidak memungkinkan pengemudi menghidupkan mesin sebelum semua penumpang yang duduk di depan memasang sabuk pengamannya. Maka dalam waktu setahun pemasangan sabuk pengaman menjadi suatu keputusan otoritas-kolektif. Namun reaksi masyarakat terhadap aturan ini begitu negatif sehingga dewan legislatif AS merevisinya. Masih ada tipe keputusan inovasi keempat, yakni kombinasi antara dua atau lebih tipe keputusan inovasi yang sudah dibicarakan. Tipe ini dapat kita, sebut keputusan inovasi kontingen. Keputusan ini merupakan pilihan untuk menerima atau menolak inovasi dengan tipe keputusan tertentu setelah sebelumnya menggunakan tipe keputusan yang lain. Misalnya seorang warga masyarakat bebas memikh untuk menggunakan sabuk pengaman di mobilnya atau tidak, sampai keluamya peraturan yang mewajibkan pemasangan alat itu pada tahun 1968 yang dibuat badan legislatif. Sistem sosial terfibat secara langsung dalam keputusan inovasi otoritas, kolektif dan kontingen, dan barangkali secara tidak langsung terlibat pula dalam keputusan inovasi opsional. Di samping itu sistem sosial juga iku berperan dalam difusi inovasi: ia menerima konsekuensi inovasi. e. Konsekuensi Inovasi Suatu sistem sosial terkbat dalam konsekuensi-konsekuensi inovasi karena dalam halhal tertentu bisa terjadi pada level sistem, di samping perubahan-perubahan yang dialami perseorangan (anggota sistem sosial). Kita bahas sepintas konsekuensi inovasi itu di sini, dan lebih rinci nanti akan dibahas pdda Bab lain. Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada pribadi atau sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan suatu inovasi. Setidakfidaknya ada tiga kategorl konsekuensi, yaltu: 1) Konsekuensi diinginkan atau tidak diinginkan, tergantung pada apakah efek suatu inovasi dalam suatu sistem sosial itu fungsional atau tidak. 31
2) Konsekuensi langsung atau tidak langsung, yakni apakah perubahan pada pribadi atau sistem sosial itu terjadi sebagai akibat langsung dari inovasi itu ataukah akibat berikut (matarantai) perubahan langsung tersebut. 3) Konsekuensi terduga atau tak terduga, yakni apakah perubahan yang terjadi seperti diperkirakan/dimaksudkan oleh anggota sistem sosial atau tidak.
Para agen pembaru biasanya memperkenalkan inovasi-inovasi kepada suatu sistem sosial dengan mengharapkan terjadinya perubahan atau kosekuensi yang diinginkan. Tetapi seringkali inovasi-inovasi hu menghasilkan perubahan sebaliknya. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini kasus kapak baja yang diperkenalkan kepada penduduk suku Aborigin Australia (Sharp, 1952:60-72). Agen pembaru bermaksud agar alat baru itu dapat meningkatkan taraf kehidupan dan kenyamanan hidup suku tersebut. Namun temyata teknologi baru itu juga menyebabkan keberantakan struktur keluarga pada suku itu, timbulnya pelacuran dan penyalah-gunaan inovasi itu sendiri. Para agen pembaru biasanya dapat mengantisipasi dan memperkirakan bentuk inovasi, fungsinya dan mungkin juga sumbangannya terhadap cara hidup anggota sistem sosial. Tetapi jarang di antara mereka yang bisa memperkirakan aspek-aspek lain konsekuensi suatu inovasi, maknanya, dan persepsi subyektif anggota sistem terhadap inovasi itu.
PENYEBARAN JAGUNG HIBRIDA DI IOWA Telah kami katakan bahwa kajian Ryan dan Gross (1943) tentang penyebaran jagung hibrida. Sebagai salah satu kajian difusi yang paling berpengaruh, kajian ini merupakan ilustrasi
32
yang sangat bagus di sini, sebab penelitian ini mencakup keempat unsur difusi yang tadi telah kita bahas. Inovasi jagung hibrida merupakan salah satu teknologi baru pertanian yang paling penting ketika diperkenalkan kepada masyarakat Iowa pada tahun 1928, dan ia mengantarkan keseluruhan perangkat inovasi pertanian di tahun 1930-1950an yang merupakan "revolusi pertanian dalam produktifitas ladang". Bibit hibrida dikembangkan oleh para ilmuwan pertanian di Iowa State University dan beberapa universitas lainnya. Penyebaran bibit hibrida terutama dipromosikan oleh lembaga penyuluhan pertanian dan oleh pedagang bahan-bahan pertanian. Panen jagung hibrida lebih banyak 20% per-are dari pada jenis jagung biasa, lebih tahan hidup di musim kering serta lebih cocok dipanen dengan alat pemetik mekanik. Tetapi bibit itu akan hilang keunggulannya setelah generasi pertama, sehingga petani harus selalu membeli bibit setiap tahun. Semula mereka telah menyimpan bibit yang mereka pilih dari jagung tanaman mereka. sendiri yang tampaknya bagus. Dengan demikian pengadopsian jagung hibrida. mengharuskan para petani mengadakan perubahan penting dalam tatacara bertani mereka (dari membuat sendiri bibit menjadi membeli bibit). Pada tahun 1921, Brice Ryan dan Neal Gross (1943), dua pakar sosiologi pedesaan pada State University mengadakan wawancara pribadi dengan 259 petani yang tinggal di dua komunitas kecil. Masing-masing responden diminta mengingat kapan dan bagaimana mereka mengadopsi jagung hibrida, dan diminta. memberi informasi mengenai (karakteristik) diri mereka sendiri dan tata cara bertani mereka. Hanya 2 dari 259 petani yang belum mengadopsi jagung hibrida antara tahun 1928-1941; satu tingkat pengadopsian yang cukup pesat. Ketika diplot secara kumulatif dari tahun ke tahun, kecepatan adopsi itu berbentuk kurva-S. Pada lima tahun pertama, sampai tahun 1933, hanya 10% petani yang mengadopsi. Kemudian kurva adopsi "tinggal landas" sampai mencapai 40% adopsi pada tahun berikutnya (1936). Akhirnya kecepatan adopsi itu mulai menurun dengan sedikitnya petani yang mengadopsi jagung baru itu. Keseluruhan bentuk kurva kecepatan adopsi itu tampak seperti huruf S (Gambar 1-1). Para petani dibagi menjadi kelompok-kelompok pengguna berdasarkan saat i-nereka mengadopsi bibit baru itu (Gross 1942). Dibanding dengan petani yang mengadopsi belakangan, para inovator memiliki ladang lebih luas, penghasilan lebih tinggi, dan lebih lama memperoleh pendidikan. Mereka juga lebih kosmopolitan, jika diukur dengan jumlah perjalanan yang telah mereka lakukan ke Des Moines (kota besar, kira-kira 75 mil dari desa penelitian).
33
Walaupun jagung hibrida merupakan inovasi yang tingkat keuntungan relatif lebih besar daripada jagung biasa, petani khas daerah itu tidak begitu cepat berubah dari pengetahuan tentang inovasi ke arah pengadopsiannya. Masa pengambilan keputusan inovasi mulai dari pertama kali mengetahui sampai memutuskan untuk mengadopsi rata-rata 9 tahun pada semua resonden. Suatu penemuan yang memperjelas bahwa proses keputusan inovasi itu bagi kebanyakan pengguna memerlukan pertimbangan yang cukup panjang, walaupun mengenai inovasi yang hasilnya luar biasa. Rata-rata responden memerlukan waktu 3 atau 4 tahun untuk melakukan percobaan dengan menanam sebagian kecil ladangnya, sebelum memakai bibit baru itu untuk seluruh areal ladangnya. Saluran komunikasi memainkan peran berbeda pada masing-masing tahap proses keputusan inovasi. Para petani setempat pertama kali mendengar bibit unggul dari seorang pedagang, tetapi para tetangga merupakan saluran yang sering mengantarkan orang sampai ke tahap persuasi. Pedagang merupakan saluran yang penting pada orang-orang yang mengadopsi lebih awal, sedang tetangga mierupakan saluran yang lebih berperan bagi pengguna lambat. Penemuan Ryan dan Gross (1943) menyarankan pentingnya peran jaringan komunikasi antar pribadi dalam proses difusi suatu inovasi dalam suatu sistem sosial. Pertukaran pengalaman pribadi antar petani mengenai penggunaan jagung hibrida agaknya merupakan inti difusi. Bila pengalaman positif seperti itu terakumulasi pada para petani (terutama inovator dan pemuka) dan pengalaman itu dipertukarkan di masyarakat, kecepatan adopsi akan tinggal landas. Ambang batas ini pada kasus Iowa terjadi pada tahun 1935. Setelah titik itu terlampaui, agaknya mustahil menyetop penyebaran lebih lanjut jagung baru itu. Masyarakat petani sebagai sistem sosial, termasuk jejaringan komunikasi yang menghubungkan petani satu dengan lainnya yang ada di situ merupakan unsur penting dalam proses difusi. Dalam rangka memahami peran jejaringan difusi dan kepemimpinan pendapat, Ryan dan Gross (1943) mestinya mengajukan pertanyaan-pertanyaan sosiometrik kepada respondennya, misaInya "dari teman petani siapa anda memperoleh informasi mengenai jagung hibrida?". Rancangan sampel yang terdiri dari keseluruhan warga desa hdrus digunakan agar pertanyaan sosiometrik itu berguna. Tetapi kenyataannya "informasi cukup dikumpulkan dari semua anggota masyarakat seakan-akan mereka responden takberhubungan dalam suatu sampel acak' (Katz et al, 1963). Walaupun tanpa data sosiometrik mengenai jaringan difusi, Ryan dan Gross beranggapan bahwa bibit hibrida tersehar dalam dua masyarakat seperti bola salju. Mereka menulis: 'Tidak diragukan lagi, bahwa seseorang dalam suatu kedudukan yang saling berhubungan mempengaruhi perilaku teman-temannya. Jadi, keberhasilan bibit hibrida yang 34
tampak pada beberapa ladang menunjukkan suatu perubahan situasi bagi orang tidak melakukan percobaan. Adalah suatu kenyataan bahwa penerimaan bibit baru oleh beberapa stimulus baru bagi anggota masyarakat lainnya". Jadi, kedua pakar sosiologi pedesaan itu secara intuitif merasa bahwa apa yang dicari oleh para pengkaji difusi berikutnya secara lebih rinci addlah untuk membuktikan bahwa inti proses difusi adalah jaringan antar pribadi antara orang yang telah mengadopsi dengan mereka yang nantinya terpengaruh untuk mengadopsi pula. Dalam kajiannya tentang ahli sosiologi pedesaan yang meneliti difusi sampai pertengahan tahun 1960an, Crane (1972:74) mengidentifikasi para peneliti yang pertamakali menggunakan konsep dan atau alat metodologi baru dalam pengkajian difusi. Menurut analisisnya, Ryan dan Gross meyumbang 15 dari 18 inovasi intelektual yang digunakan secara luas dalam tradisi penelitian sosiologi pedesaan. Dengan kata lain Ryan dan Gross betul-betul membentuk paradigma difusi klasik. Dengan demikian kajian jagung hibrida (yang dilakukan Ryan dan Gross) telah menjadi stempel yang tak terhapus.
RINGKASAN Difusi adalah proses pengkomunikasian inovasi melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu rentang waktu kepada para anggota sistem sosial. Difusi merupakan tipe khusus komunikasi, yakni yang menyebarkan pesan-pesan gagasan baru. Komunikasi adalah suatu proses di mana, para pelaku yang terlibat di dalamnya saling mencipta dan bertukar informasi satu sama lain untuk mencapai pemahaman bersama. Kebaruan gagasan yang terkandung dalam pesan itulah yang memberi sifat khas pada difusi, karena di dalamnya terkandung ketakpastian. Ketakpastiaari adalah sejauh mana sejumlah alternatif berkait dengan terjadinya suatu keadaan. Ketakpastian dapat dikurangi dengan jalan diperotehnya informasi mengenai alternatif-alternatif itu. Informasi adalah perbedaan materi-energi yang mempengaruhi ketakpastian dalam situasi di mana kita harus memilkh di antara beberapa atternatif yang ada. Unsur-unsur pokok difusi gagasan baru adalah (1) inovasi, (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) dalam suatu rentang waktu, (4) di kalangan para anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah gagasan, praktek atau obyek yang dipandang baru oleh seseorang atau unit adopsi. Hampir semua inovasi yang dibahas dalam buku ini adalah inovasi teknologis. Teknologi adalah suatu rancangan tindakan instrumental yang mengurangi ketakpastian dalam hubungan sebab akibat yang berkait dengan pencapaian suatu hasil yang diinginkan. Kebanyakan teknologi punya dua komponen: (1) perangkat keras, yang terdiri dari alat-alat 35
yang membentuk teknologi itu seperti obyek-obyek materi atau fisik, dan (2) perangkat lunak, yakni pengetahuan yang mendasari alat itu. Informasi perangkat lunak yang melekat pada suatu teknologi bertindak mengurangi ketakpastian vang berkait dengan hubungan sebab akibat berkenaan dengan pencapaian suatu hasil yang diinginkan. Akan tetapi suatu inovasi teknologis juga inencipiakan suatu ketakpastian yang lain karena kebaruannya bagi seseorang, dan ini mendorong seseorang untuk mencari informasi untuk mengevaluasi gagasan baru itu. Kami menamakannya informasi-penilaian; ini membawa pada pengurangan ketakpastian mengenai konse-kuensi-konsekuensi yang diharapkan dan inovasi. Sifat-sifat inovasi menurut pandangan anggota sistem sosial menentukan kecepatan adopsinya. Lima sifat inovasi ialah: (1) keuntungan relatif, (2) kesesuaian, (3) kerumitan, (4) ketercobaan, dan (5) keteramatan. Reinvensi adalah sejauh mana suatu inovasi diubah atau dimodifikasi oleh pemakai dalam proses pengadopsian dan implementasinya. Saluran komunikasi adalah jalur-jalur lewat mana pesan-pesan mengalir dari satu orang kepada yang lain. Saluran media massa lebih efektif dalam menyebar pengetahuan mengenal inovasi sedangkan saluran antarpribadi lebih efektif dalam membentuk dan merubah sikap terhadap gagasan baru, dan juga dalam mempengaruhi keputusan untuk menerima atau menolak suatu gagasan baru. Kebanyakan orang menilai gagasan baru (inovasi) tidak berdasar hasil penelitian ilmiah para ahli melainkan melalui evaluasi subyektif teman-teman dekatnya yang telah mengadopsi inovasi. Teman-teman dekat ini dengan demikian bertindak sebagai model atau contoh, yang perilaku inovasinya cenderung ditiru oleh orang-orang lain dalam sistem sosialnya. Aspek lain difusi adalah adanya heterofili dalam komunikasi. Heterofili adalah seberapa berbeda pasangan orang yang berinteraksi itu dalam sifat-sifat tertentu, misaInya keprcayaan, pendidikan, status sosialnya, dsb. Kebalikan heterofili adalah homofili yaitu seberapa kesamaan ciri-ciri pasangan yang berinteraksi. Umumnya komunikasi manusia terjadi antara orang-orang yang sepadan (homofilius); suatu situasi yang memungkinkan komunikasi lebih efektif. Karena itu heterofili yang seringkah ada dalam difusi merupakan masalah khusus dalam menjamin terjadinya komunikasi efektif. Rentang waktu terkait dengan difusi dalam (1) proses keputusan inovasi, (2) keinovatifan, dan (3) kecepatan adopsi inovasi. Proses keputusan inovasi adalah proses di mana seseorang (atau unit pengambil keputusan) melewati tahap-tahap mutai dari pertama kali kenal/tahu inovasi kemudian membentuk sikap terhadap inovasi, mengambil keputusan untuk
36
menerima atau menolak, menerapkan gagasan baru dalam kehidupan sehariannya, dan mengukuhkan keputusannya. Kami simpulkan ada lima tahap untuk proses ini: (1) pengenalan, (2) persuasi), (3) keputusan, (4) pelaksanaan, dan (5) konfirmasi. Pada berbagai tahapan itu orang mencari informasi dalam rangka mengurangi ketakpastian mengenai inovasi. Keinovatifan adalah keawalan seseorang atau unit adopsi di dalam mengadopsi inovasi dibanding dengan anggota sistem sosial yang lain. Kami membuat lima kategori pengguna, yang merupakan klasifikasi anggota suatu, sistem sosial berdasar kelovatifannya, yaitu: (1) inovator, (2) pemuka, (3) mayoritas awal, (4) mayoritas akhir, dan (5) kolot. Kecepatan adopsi adalah rentang waktu yang diperlukan oleh seorang anggota suatu sistem sosial dalam menyelesailkan proses keputusan inovasi mulai dari pertama kali tahu sampai pengadopsiannya.
37