1
DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN (Kasus Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: Laras Sirly Safitri I34070035
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
ABSTRACT
LARAS SIRLY SAFITRI. DIFUSION OF INNOVATION MOBILE PHONE IN THE RURAL AREA (Case in Kemang Village, Bojongpicung Sub-district, Kabupaten Cianjur District, West Java Province). Supervised by SITI SUGIAH MUGNIESYAH. By referring to the diffusion of innovation theory, this study found that the adoption rates of mobile phone among the adopters in the two hamlets are low; it is about 28 per cent and 17 per cent for Beber and Cikupa hamlets respectively. Although the mobile phone exposure of Kemang Village community started about 15 years ago, the majority of people in Kemang Village adopted the mobile phone since the Base Transceiver Stations (BTS) of XL and Telkomsel were constructed in this village, in 2008 and 2010 respectively. The plot result of mobile phone adopter of the two hamlets was in S Curve shape. On the other hand, as not all the mobile phone adopters of the two hamlets were surveyed, the mobile phone adopters’ categories are not in normal distribution. It caused the plot of adopters categories is not in Bell-shaped curve. Therefore, the distribution of the mobile phone adopter categories did not support the theory of adopters’ category as stated by Rogers and Shoemaker (1971). However, this study supported another Rogers and Shoemaker’s generalization with regard to the fact that the individual characteristic of innovator category is higher than that of the other adopters’ categories. There are each four independent variables which significantly related to the rate of innovativeness as well as adoption rates at the significance level of 0.05. The independent variables which related to innovativeness rate were the level of relative advantage, the individual integration level, the formal educational level and the level of individual need toward the mobile phone innovation, while for the adoption rate were the level of observability, the interpersonal communication individual level, the meeting frequency, and the promotion of mobile phone agency/seller. There were five of nine mobile phone use patterns which developed dominantly by the adopters in the two hamlets, especially phone call/text messages to: the nucleus family (22,67 per cent) peer group and the combination of peer group and business partner, and distance relatives (each 17,33 per cent), only distance relatives (16 per cent), as well as phone call/text messages to business partner only, and the combination of nucleus family and peer group (each 9,33 percent). It seems that this mobile phone use patterns caused the irrational over adoption of mobile pone is dominant, especially for those who used the mobile phone only for consumptive activities. Key words: Mobile Phone Adoption Rate, Mobile phone innovativeness Rate, Mobile phone adopter category, mobile phone use pattern.
3
RINGKASAN LARAS SIRLY SAFITRI. DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN. Kasus Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH). Meningkatnya pelayanan infrastruktur jaringan telepon baik oleh pemerintah maupun swasta telah memasilitasi warga masyarakat perdesaan untuk akses terhadap telepon seluler. Dominannya penelitian tentang adopsi inovasi pertanian di pedesaan serta masih relatif terbatasnya penelitian difusi inovasi telepon seluler di perdesaan melatarbelakangi pentingnya penelitian difusi inovasi telepon seluler atau ponsel di kalangan masyarakat perdesaan. Penelitian ini dilakukan di dua kampung di Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penentuan desa dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa di desa ini dibangun dua buah menara BTS dari Perusahaan XL dan Telkomsel, dan bahwa desa ini merupakan desa lahan kering yang relatif terisolir. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dalam pelaksanaannya dilakukan melalui metode survei; serta pendekatan kualitatif, berupa wawancara mendalam dan observasi. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengumpulkan data primer yang mencakup sejumlah variabel bebas dan variabel tidak bebas berkenaan tingkat keinovativan dan laju adopsi ponsel; sementara pendekatan kualitatif untuk memperoleh gambaran adopsi berlebihan dan pola pemanfaatan ponsel di kalangan adopter. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang bersumber dari monografi desa dan dokumen berupa laporan penelitian serta kebijakan pemerintah yang terkait dengan penelitian ini. Pengumpulan data berlangsung selama 30 hari dari minggu kedua bulan April hingga minggu kedua bulan Mei 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju adopsi ponsel di Kampung Beber dan Cikupa tergolong rendah, berturut-turut sebanyak 28 persen dan 17 persen. Lebih tingginya laju adopsi ponsel di Kampung Beber berhubungan dengan lebih tingginya karakteristik sumberdaya pribadi dan rumahtangga adopter di Kampung Beber, yang dicirikan oleh tingginya persentase adopter yang bekerja sebagai PNS, pedagang dan pelajar dan pedagang di kampung tersebut. Meskipun diantara warga Desa Kemang mulai terdedah informasi ponsel sejak 15 tahun yang lalu, namun sebagian besar warga desa ini menjadi adopter ponsel berdirinya BTS XL dan BTS Telkomsel yang dibangun berturut-turut pada tahun 2008 dan 2010. Adopsi ponsel oleh warga di kedua kampung semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu dari mulai tahun 1995 sampai 2011. Meskipun secara akumulatif “plot” adopter ponsel membentuk kurva penerimaan inovasi ponsel yang membentuk kurva S, namun adopter ponsel terbanyak terjadi pada tahun 2010. Di pihak lain, karena tidak semua adopter ponsel di dua kampung menjadi responden dalam penelitian ini, menjadikan kategori adopter ponsel tidak mengikuti sebaran normal, sehingga “plot” atas kategori adopter tidak berhasil membentuk kurva berbentuk Genta. Dengan berbasis interval waktu selang tiga tahun, dalam penelitian ini menemukan hanya terdapat masing-masing satu persen mereka yang tergolong innovator dan early majority; early adopter sebanyak lima persen, sementara late majority dan laggards berturut-turut sebesar
4
29 persen dan 64 persen. Penelitian ini menguatkan pendapat Rogers dan Shoemaker (1971), yakni adopter yang tergolong inovator memiliki karakteristik pribadi yang lebih tinggi dibanding semua kategori adopter lainnya. Dari 14 variabel bebas yang diduga berhubungan dengan Tingkat Keinovativan, hanya enam variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan pada taraf α= 0,05, yaitu: Tingkat Keuntungan Relatif, Tingkat Integrasi Individu, Tingkat Pendidikan Formal, Pola Perilaku Komunikasi, dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel. Variabel-variabel Tingkat Kemungkinan Diamati, dan Tingkat Status Sosial Ekonomi berhubungan dengan tingkat Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,10. Sementara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel dan Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,20-0,30. Hanya empat variabel bebas yang berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, yakni Tingkat Kemungkinan Diamati, Tingkat Ketaatan Individu, Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel, dan Tingkat Status Sosial Ekonomi. Tiga variabel bebas lainnya berhubungan berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,10, yaitu Tingkat Keuntungan Relatif, Tingkat Kesesuaian,dan Tingkat Pendidikan Formal. Adapun Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel berhubungan pada taraf α= 0,20-0,30. Selainnya, yakni Tingkat Kerumitan. Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi, Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel, Tingkat Integrasi Individu dan Pola Perilaku Komunikasi tidak berhubungan dengan Laju Adopsi. Terdapat sembilan pola pemanfaatan ponsel di kalangan adopter ponsel di dua kampung, diantaranya yang dominan adalah untuk berbagi informasi atau menelepon dan mengirim pesan singkat (sms) kepada berturut-turut: keluarga inti (22,67 persen), teman sebaya serta kombinasi antara rekan bisnis, teman sebaya dan saudara jauh (masing-masing 17,33 persen), saudara jauh saja (16 persen), serta kepada rekan bisnis saja dan kombinasi kepada keluarga inti dan teman sebaya masing-masing 9,33 persen. Penelitian ini menemukan bahwa mayoritas adopter ponsel memanfaatkan ponsel hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, bukan produktif; sehingga dari total adopter ponsel di dua kampung di Desa Kemang, terdapat 31 persen adopter rasional dan 69 persen adopter ponsel yang tidak rasional.
5
DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN (Kasus Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: Laras Sirly Safitri I34070035
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
6
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Laras Sirly Safitri NRP : I34070035 Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Difusi Inovasi Telepon Seluler di Perdesaan (Kasus Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS. NIP. 19512111 197903 2 003
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:
7
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER DI PERDESAAN (KASUS DESA KEMANG KECAMATAN BOJONGPICUNG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BOGOR, AGUSTUS 2011
LARAS SIRLY SAFITRI I34070035
8
RIWAYAT HIDUP
Laras Sirly Safitri lahir di Subang pada tanggal 6 Mei 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir dari ayah bernama Wawan Darmawan Madiana dan ibu bernama Nyimas Haroka Kemora. Pendidikan formal ditempuh penulis di TK Kemala Bhayangkari, Subang pada periode tahun 19941995, sementara tingkat sekolah dasar di SD Negeri Dewi Sartika Subang pada periode tahun 1995-2001. Penulis kemudian melanjutkan sekolah tingkat lanjutan, berturut-turut di SLTP Negeri I Subang (2001-2004) dan di SMA Negeri I Subang (2004-2007). Setelah lulus SMA, penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan kemudian memilih mayor (program studi) Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) di Departemen SKPM, Fakutas Ekologi Manusia. Selama menempuh studi, penulis pernah menjadi asisten dosen dalam Mata Kuliah Komunikasi Kelompok (KPM 212) pada semester 6 dan
Mata
Kuliah Perubahan Sosial (KPM 330) pada semester 7 tahun ajaran 2010/2011. Bersamaan dengan itu, sejak semester 5 tahun ajaran 2009/2010 sampai dengan semester 7 tahun ajaran 2010/2011 penulis menjadi asisten dosen pada MK Ilmu Penyuluhan (KPM 211). Pada semester 8 TA 2010/2011 penulis menjadi asisten MK Pendidikan Orang Dewasa (KPM 310). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan non-akademik, yakni sebagai anggota dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA),
Organisasi
Desa
Mitra
Fakultas
Ekologi
Manusia
(SAMISAENA), dan organisasi mahasiswa daerah, yakni di Forum Komunikasi Kulawarga Subang (FOKKUS).
9
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Difusi Inovasi Telepon Seluler di Perdesaan (Kasus Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat dalam perolehan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat
pada
Departemen
Sains
Komunikasi
dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian penulis di Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, yang menerapkan teori difusi inovasi dalam mengkaji fenomena meningkatnya penggunaan media komunikasi ponsel di kalangan masyarakat perdesaan. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan proses bagaimana inovasi ponsel dikomunikasikan kepada anggota-anggota suatu sistem sosial melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu, dan juga pola pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat perdesaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2011
Laras Sirly Safitri
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sembah sujud kepada-Mu yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah, serta curahan kasih sayang-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Terdapat sejumlah pihak yang telah memasilitasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka. Terima kasih nan tulus ditujukan kepada Ibu Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, M.S. yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam berbagi ilmu dan pengalaman, serta atas dukungan moril dan materil selama melakukan pembimbingan kepada penulis, sejak penyusunan proposal dan pelaksanaan penelitian di lapangan hingga selesainya penulisan skripsi ini. Selanjutnya, kepada Ibu Dr. Sarwititi S. Agung, MS dan Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS, penulis berterima kasih atas kesediaannya, berturut-turut sebagai Dosen Penguji Utama dan dosen penguji kedua, yang mewakili Komisi Pendidikan, Departemen SKPM, FEMA. Penulis berterima kasih kepada Kepala Desa Kemang, Bapak Dadan R. Subarna, serta kepada aparat Desa Kemang, khususnya Bapak Saepuloh atas bantuannya yang memudahkan penulis dalam pengumpulan data di lapangan. Penulis sangat berhutang budi dan berterima kasih kepada sejumlah orang, khususnya warga di Kampung Beber dan Cikupa yang tidak dapat disebut namanya satu per satu, yang telah menjadi responden dan informan serta berbagi pengalaman yang berguna bagi penelitian ini. Selain itu, kepada Ibu Dra. Eti Maryati, M.Pd penulis berterima kasih atas izinnya untuk menempati kediamannya selama penulis melaksanakan penelitian di lapangan. Dalam penyelesaian skripsi inipun, penulis mendapat bantuan dari banyak pihak. Salah satunya, penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Machfud, M.S atas bimbingannya mengajarkan penulis mengolah data penelitian. Terima kasih pula kepada berbagai pihak yang memasilitasi penulis untuk akses terhadap berbagai referensi, seperti buku, jurnal, tesis, disertasi, dan laporan penelitian lainnya; penulis berterima kasih kepada staf penunjang perpustakaan di
11
lingkungan Departemen SKPM, FEMA IPB, Perpustakaan LSI IPB, dan Perpustakaan Pusat LIPI. Demikian halnya kepada staf penunjang kependidikan di Departemen SKPM FEMA, yang senantiasa membantu penyelesaian segala urusan administrasi selama penulis menjalani studi di departemen yang sama. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada dua orang rekan khususnya Asri Sulistiawati dan Dedi Kurniawan, yang telah berbagi pengalaman melalui diskusi-diskusi, dan atas dukungan mereka yang senantiasa menyemangati penulis dalam menyusun skripsi ini, serta untuk kebersamaan kita selama mengerjakan tugas akademik di bawah bimbingan dosen pembimbing, sejak penyelesaian studi pustaka, penulisan proposal, hingga penulisan skripsi. Penulis juga berterima kasih kepada sejumlah rekan: Ayu, Kak Gilang, Bio, Pia, Asih, Isma, Dinda, Karin, Wawa, Chae, Ochi, Tya, Nene, Laila, dan Dimit; atas kesediaan mereka untuk berbagi pengalaman yang bermanfaat bagi penulis. Sahabat-sahabat SMA penulis: Imel, Boir, Yulia, Babon, Dara, Deni, Jantan, Aris, dan Rindu; atas persahabatan yang tetap terjalin sampai saat ini. Tidak lupa kepada Luthfi Ahmad Hikmat, terima kasih atas dukungan yang sangat berarti. Dari lubuk hati nan dalam, penulis berterima kasih kepada kedua orangtua: ibunda tersayang, Nyimas Haroka Kemora -atas doanya yang tidak pernah putus dan kasih sayangnya yang tidak pernah hilang- dan ayahanda Wawan Darmawan Madiana- atas semua cucuran keringat dan perjuangan tiada henti untuk mendukung semangatku dalam melangkah guna melalui segala tantangan selama penyelesaian studi. Last but not least, penulis berterima kasih kepada semua kakanda: Hegar Widya Safarina, Trias Rizalis Desfansa, Ganjar Putra Panggalih, dan Erma Rosa Ergandia, atas pemberian laptop bagi penulis, sehingga penulis sangat terbantu dalam menyelesaikan studi
ini, serta atas semangat dan kasih sayang yang
senantiasa mereka curahkan kepada penulis. Skripsi ini penulis dedikasikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini dan kepada mereka yang berminat atas studi difusi inovasi di kalangan masyarakat perdesaan.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................................ i DAFTAR TABEL .....................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. vi BAB I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 Perumusan Masalah ................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 Kegunaan Penelitian................................................................................... 6
BAB II 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6.
PENDEKATAN TEORITIS ................................................................... 7 Konsep Difusi Inovasi ................................................................................ 7 Konsep Adopsi Berlebihan (Over Adoption) ........................................... 12 Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi Inovasi di Indonesia ....................... 13 Kerangka Pemikiran ................................................................................. 14 Hipotesis Pengarah ................................................................................... 17 Definisi Operasional................................................................................. 17
BAB III 3.1. 3.2. 3.3. 3.4.
METODOLOGI ..................................................................................... 23 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 23 Teknik Pengambilan Data ........................................................................ 24 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 25 Kelemahan Penelitian............................................................................... 26
BAB IV 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
KEADAAN UMUM DESA KEMANG ................................................ 27 Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa ............................................. 27 Keadaan Umum Penduduk....................................................................... 39 Kelembagaan Formal dan Informal ........................................................ 33 Sarana dan Prasarana................................................................................ 35
BAB V
PROFIL RUMAHTANGGA ADOPTER TELEPON SELULER DI KAMPUNG BEBER DAN KAMPUNG CIKUPA.............................. 37 5.1. Karakteristik Individu Anggota Rumahtangga Adopter Ponsel.............. 37 5.2. Karakteristik Sumberdaya Rumahtangga Adopter Ponsel ....................... 43
BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER ........... 46 6.1. Proses Difusi Inovasi Ponsel ................................................................... 46 6.2. Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa ..................................................................................... 52 6.3. Laju Adopsi Inovasi Ponsel ..................................................................... 57
ii
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIVAN DAN LAJU ADOPSI INOVASI TELEPON SELULER ............................................................................................... 58 7.1. Hubungan antara Karakteristik Inovasi dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi ....................................................................................... 58 7.2. Hubungan antara Pengambilan Keputusan dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi ................................................................ 61 7.3. Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi ....................................................................................... 62 7.4. Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi ................................................................ 63 7.5. Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi ................................................................ 65 7.6. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi ....................................................................................... 66 BABVIII POLA PEMANFAATAN DAN ADOPSI BERLEBIHAN INOVASI TELEPON SELULER ........................................................................... 68 8.1. Pola Pemanfaatan Ponsel di Kalangan Masyarakat Desa Kemang .......... 68 8.2. Adopter Berlebihan (Over Adoption) Ponsel di Desa Kemang ............... 70 BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 73 9.1. Kesimpulan .............................................................................................. 73 9.2. Saran ......................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 76 LAMPIRAN .............................................................................................................. 79
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Karakteristik Saluran Komunikasi Interpersonal dan Media Massa ................... 9
2
Rasionalitas dan Irasionalitas dalam Adopsi dan Menolak Penanaman Jagung-4 Baris di Kalangan Petani Indian, Amerika Serikat ............................ 12
3.
Distribusi Wilayah Desa Kemang menurut Penggunaannya Tahun 2009 ........ 28
4
Distribusi Penduduk Desa Kemang menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009 ......................................................................................... 39
5
Penduduk Desa Kemang menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2009 ....................................................................................................... 30
6
Penduduk Desa Kemang menurut Matapencaharian Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ............................................................................................ 32
7
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2009 .................... 33
8
Distribusi ART Adopter Ponsel Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) ............. 38
9
Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2011 (dalam persen) ............................................................................... 39
10
Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan Tahun 2011 (dalam persen) ........................................................... 41
11
Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Tingkat Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin Tahun 2011 (dalam persen) ....................................................... 42
12
Rata-rata Kepemilikan Ternak pada Rumahtangga Adopter Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ............. 43
13
Rata-rata Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga Adopter Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ......... 44
14
Distribusi Rumahtangga Adopter Ponsel menurut Penguasaan Lahan Usahatani (dalam jumlah dan persen) ............................................................... 45
15
Distribusi Adopter menurut Sumber Informasi tentang Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) ................................ 48
16
Jumlah Individu yang menerapkan inovasi ponsel di Kampung Beber dan Cikupa di setiap tahun (dalam persen) ....................................................... 49
iv
17
Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi Ponsel Dilihat menurut Kategori Penerima di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Tahun 2011 .................... 56
18
Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa pada Tahun 2011 ............................................................................................... 57
19
Hubungan antara Variabel-variabel Karakteristik Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) ........... 60
20
Hubungan antara Tipe PK Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi (dalam persen) ....................................................................... 62
21
Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen)...................................................... 63
22
Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel(dalam persen) ......................... 64
23
Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) ........................ 65
24
Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) ............................................... 66
25
Distribusi Adopter menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa Kemang Tahun 2011 (dalam persen) ............................................................................... 68
26
Pengeluaran Pulsa Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa Kemang Tahun 2011 (dalam rupiah) ....................................................... 70
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Paradigma Laju Adopsi Inovasi ........................................................................ 11
2
Hubungan antara Variabel Pengaruh (Independent Variables) dengan Variabel Terpengaruh (Dependent Variables) dalam Difusi Inovasi Ponsel ................................................................................................................ 16
3
Kurva Akumulasi Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa pada Periode Tahun 1995-2011 ............................................................ 53
4
Kurva Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa pada Tahun 2011 .................................................................. 54
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Difusi Inovasi Telepon Seluler di Kalangan Masyarakat Perdesaan Tahun 2011 ................................................. 79
2
Peta Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur ................ 80
3
Adopter Inovasi Ponsel Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh ................................................................. 81
4
Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen antara Variabel-variabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh ........................................................................... 82
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Skala prioritas utama dan strategi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta penguatan daya saing perekonomian. Adapun misi pembangunan nasionalnya diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis (BAPPENAS 2010). Selanjutnya pemerintah menyatakan bahwa untuk mewujudkan misi pembangunan tersebut di atas diperlukan sarana dan prasarana, di antaranya adalah berupa jaringan komunikasi dan informatika, yang selain memungkinkan pertukaran informasi secara cepat (real time) menembus batas ruang dan waktu, juga berperan sangat penting, baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Bersamaan dengan itu, telekomunikasi juga dipandang sebagai elemen yang sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian. Upaya
pemerintah
dalam
mengembangkan
infrastruktur
jaringan
komunikasi dan informatika serta telekomunikasi juga menjadi penting, karena sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2009) ada dua komitmen yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia. Pertama, merespon United Nation Development Programme (UNDP) yang telah menetapkan bahwa akses penduduk terhadap teknologi yang berperan dalam proses difusi dan penciptaan menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di sebuah negara. Kedua, pemerintah Indonesia tunduk pada komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals atau MDGs), khususnya rumusan tujuan kedelapan, yaitu mengembangkan suatu kerja sama global untuk pembangunan; yang salah satu targetnya adalah bekerja sama dengan sektor swasta, guna memberikan manfaat teknologi baru, khususnya informasi dan
2
komunikasi bagi masyarakat luas. Terdapat tiga indikator dari target tersebut, yaitu (1) jaringan telepon dan subscriber seluler per 1000 orang, (2) komputer personal (personal computer atau PC) per 100 orang, dan (3) pengguna internet per 1000 orang. Semakin
berkembangnya
infrastruktur
telekomunikasi
baik
yang
dilakukan pemerintah maupun swasta, disertai meningkatnya pendapatan pada warga masyarakat di lain pihak, telah berdampak pada meluasnya jaringan telepon seluler (selanjutnya ditulis ponsel) sekaligus meningkatnya pengguna ponsel. Hasil studi lembaga penelitian ROA (Research On Asia) Group menyatakan bahwa pengguna ponsel di Indonesia tercatat sebanyak 68 juta pada akhir tahun 2006. Kondisi ini menjadikan Indonesia akan menempati peringkat ketiga pasar ponsel terbesar di Asia setelah Cina dan India (Novita 2010). Selanjutnya, data lembaga riset Wireless Intelligence Global Comms, menunjukkan bahwa sampai dengan kuartal I-2010 lalu total konsumen ponsel mencapai 171 juta pelanggan, atau 72,3 persen terhadap total penduduk Indonesia yang tersebar di perkotaan dan perdesaan (Haraito dan Hidayat 2010). Dengan demikian, ponsel menjadi inovasi bagi masyarakat perdesaan. Penduduk di perdesaan Indonesia umumnya dominan terdiri atas rumahtangga pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik, terdapat 25,4 juta rumahtangga pertanian di perdesaan Indonesia pada tahun 2003, yang terdiri dari 54,9 persen di Jawa dan 45,1 persen di luar Jawa. Sebagaimana diketahui, sejak diintroduksikannya Revolusi Hijau, inovasi yang diintroduksikan kepada masyarakat petani umumnya berupa teknologi pertanian, baik berupa teknologi produksi maupun pasca panen beragam komoditi. Teknologi pertanian sebagai inovasi dipandang mampu meningkatkan produktivitas usahatani, yang pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam konteks tersebut, sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (1995) mengembangkan konsep difusi inovasi, yang diartikan sebagai proses melalui mana suatu inovasi dikomunikasikan kepada anggotaanggota sistem sosial melalui saluran-saluran komunikasi tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Berdasar definisi tersebut, difusi inovasi mencakup empat unsur penting: inovasi, saluran komunikasi, sistem sosial, dan waktu. Selanjutnya,
3
kedua ahli menyatakan bahwa waktu tersebut eksis dalam proses difusi khususnya pada tiga aspek, yaitu: (1) proses keputusan inovasi, dimana individu melangsungkan proses dari tahap pengenalan suatu inovasi sampai kepada menolak atau menerima inovasi, (2) keinovativan individu atau unit pengambilan keputusan inovasi lainnya -yang diartikan sebagai keterdinian atau keterlambatan relatif di mana suatu inovasi diadopsi- dibandingkan dengan anggota sistem sosial lainnya, dan (3) laju adopsi inovasi dalam suatu sistem sosial. Telah ada sejumlah penelitian berkenaan difusi inovasi pertanian di Indonesia, namun demikian, sebagian besar peneliti lebih memfokuskan pada aspek yang pertama, yakni proses keputusan inovasi. Hal tersebut sebagaimana dijumpai pada beberapa penelitian, dintaranya adalah: (a) Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok Tani (Mugniesyah dan Lubis 1990), (b) “Adopsi Inovasi Teknologi Tabela bagi Petani Padi Sawah” (Novarianto 1999), (c) “Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani” di Kabupaten Karawang (Sadono 1999), (d) “Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi” (Agussabti 2002), dan (e) ”Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian” (Rangkuti 2007). Meskipun sejumlah
penelitian tersebut
di atas merujuk pada Teori
Pengambilan Keputusan Inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971), kecuali penelitian Mugniesyah dan Lubis, penelitian selainnya hanya berfokus pada adopsi inovasi pada tingkat individu petani, tidak mempertimbangkan aspek sistem sosial dimana inovasi tersebut diintroduksikan; sementara penelitian mengenai aspek difusi inovasi lainnya, yakni laju difusi dan kategori adopter, belum banyak dilakukan. Hal ini setidaknya, setelah penelitian rintisan yang dilakukan
Soewardi
(1972)
dalam
Sajogyo
dan
Sajogyo
(1982)
dan
Sastramihardja dan Veronica (1976) baru dijumpai adanya studi laju adopsi, sebagaimana dilakukan oleh Nugraha (2010) dalam
studinya yang berjudul
“Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya”. Berdasar penjelasan di atas, sejumlah penelitian tentang adopsi dan difusi inovasi, hampir semuanya berkenaan dengan inovasi teknologi pertanian. Di pihak
4
lain, meskipun telah ada sejumlah studi berkenaan ponsel, namun belum menggunakan teori difusi inovasi, karena fokusnya lebih kepada aspek sikap dan perilaku individu dalam penggunaan ponsel; sebagaimana dijumpai pada sejumlah studi, di antaranya pada penelitian: (a) “Pengaruh Penggunaan Ponsel pada Remaja terhadap Interaksi Sosial Remaja” (Utaminingsih 2006), (b) “Sikap dan Perilaku Mahasiswa terhadap Penggunaan Ponsel” (Mulyandari 2006), (c) “Persepsi dan Perilaku Remaja dalam Menggunakan Ponsel” (Lutfiyah 2007), dan (d) “Sikap dan Perilaku Remaja Desa dalam Menggunakan Ponsel” (Prayifto 2010). Meningkatnya pengguna ponsel di kalangan masyarakat perdesaan mencerminkan adanya penerimaan anggota masyarakat akan pentingnya ponsel sebagai bagian dari perilaku komunikasi mereka. Kondisi tersebut
menjadi
menarik untuk diteliti, mengingat hampir semua penelitian tersebut di atas berfokus pada inovasi pertanian yang bersumber dari pemerintah, sementara ponsel bersumber dari pihak pengusaha yang diadopsi oleh individu tanpa ada campur tangan langsung pemerintah. Di pihak lain, para ahli dan peneliti terdahulu mengemukakan bahwa masyarakat perdesaan pada umumnya, dicirikan oleh pola komunikasi lokalit, dimana komunikasi interpersonal dominan berperan sebagai media sekaligus sumber informasi bagi mereka. Sehubungan dengan itu, penelitian difusi inovasi dan pola pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat perdesaan menjadi penting.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian Merespon ajakan pemerintah terhadap pihak swasta untuk membangun
infrastruktur telekomunikasi guna meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi yang mereka butuhkan, pihak Perusahaan Telekomunikasi XL dan Telkomsel telah membangun masing-masing satu menara Base Transceiver Stations (BTS) di Desa Kemang Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, berturut-turut pada tahun 2008 dan 2010. Sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2007), Desa Kemang tergolong desa yang terisolir, karena letaknya ada di sekitar wilayah hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi milik Perhutani. Kehadiran dua menara BTS ini telah mendorong warga Desa Kemang untuk memiliki ponsel sesuai dengan motivasinya masing-masing. Merujuk pendapat
5
Rogers dan Shoemaker (1971), khususnya pada dua aspek dalam difusi inovasi, bagaimanakah laju adopsi inovasi ponsel dan pola kategori adopter ponsel di kalangan masyarakat Desa Kemang? Berdasar pada paradigma laju adopsi menurut Rogers dan Shoemaker (1971), terdapat sejumlah variabel dari lima faktor yang dianggap mempengaruhi laju adopsi, yaitu: pendapat individu terhadap karakteristik inovasi, saluran komunikasi, tipe pengambilan keputusan inovasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh agen promosi. Sehubungan dengan itu, variabel-variabel apa sajakah (dari kelima faktor tersebut)
yang mempengaruhi laju adopsi
inovasi ponsel di masyarakat Desa Kemang? Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker, laju difusi inovasi diukur oleh jumlah orang yang mengadopsi inovasi sejak inovasi tersebut diintroduksikan sampai pada suatu periode tertentu. Cepat lambatnya laju adopsi tersebut berhubungan dengan keinovativan (innovativeness), yakni derajat dimana seorang individu akan mengadopsi inovasi lebih dini dibanding anggota sistem sosial lainnya. Berdasar tingkat keinovativan tersebut, kedua ahli merumuskan sebaran kategori adopter ke dalam lima kategori: inovator, penganut dini, penganut awal terbanyak, penganut lambat terbanyak, dan kaum kolot, masingmasing memiliki karakteristik sosial-ekonomi, perilaku komunikasi dan pribadi tertentu. Adakah sebaran kategori adopter yang terjadi di Desa Kemang mengikuti pola sebaran sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker? Bagaimanakah karakteristik kelima kategori adopter ponsel di Desa Kemang tersebut? Sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971) juga mengemukakan konsep adopsi berlebihan (over adoption) yang diartikan sebagai individu yang mengadopsi suatu inovasi padahal seharusnya ia menolaknya, atau sebaliknya. Sehubungan dengan itu, apakah gejala adopsi berlebihan ponsel terjadi di masyarakat Desa Kemang? Mengingat bahwa masyarakat perdesaan, khususnya masyarakat petani dominan dicirikan oleh pola komunikasi lokalit -dimana komunikasi interpersonal dominan berperan sebagai media sekaligus sumber informasi bagi mereka- maka komunikasi melalui media ponsel menjadi suatu hal yang baru. Sehubungan
6
dengan hal tersebut, bagaimanakah pola pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada di masyarakat Desa Kemang?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasar perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini terutama untuk
mengetahui: 1.
Laju adopsi inovasi ponsel pada warga masyarakat di Desa Kemang, sejak pertama ponsel tersebut masuk di desa ini sampai dengan penelitian dilaksanakan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2.
Tingkat keinovativan dan karakteristik adopter ponsel serta hubungannya dengan pola sebaran kategori adopter ponsel pada warga masyarakat Desa Kemang.
3.
Pola pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada di masyarakat Desa Kemang. Ada tidaknya fenomena adopsi berlebihan (over adoption) ponsel di kalangan masyarakat Desa Kemang.
1.4 1.
Kegunaan Penelitian Bagi penulis, penelitian ini memberikan pengalaman dalam menerapkan sejumlah konsep dan teori berkenaan proses difusi
inovasi
untuk
menganalisis fenomena meningkatnya penggunaan media komunikasi ponsel pada masyarakat perdesaan. 2.
Bagi Pemda Tingkat II Cianjur, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat menjadi masukan bagi pemanfaatan
ponsel
sebagai
media
penyuluhan
pertanian
dan
pengembangan cyber extension di perdesaan. 3.
Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset difusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan informasi awal bagi studi difusi inovasi ponsel di berbagai wilayah perdesaan lainnya, sehingga diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan komunikasi pembangunan pertanian di Indonesia.
8
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1
Konsep Difusi Inovasi Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari
Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam subbab ini dikutip dari Mugniesyah (2006). Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) mendefinisikan difusi inovasi sebagai suatu proses melalui mana inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluransaluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Hasil empiris menunjukkan bahwa adopsi terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang bisa menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Hal ini ditunjukkan oleh Soewardi (1972) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa warga petani pada lapisan atas cenderung lebih responsif terhadap inovasi Panca Usaha Pertanian dibanding mereka yang berasal dari lapisan bawah. Selanjutnya, warga lapisan atas ini menyebarkan inovasi tersebut melalui pergaulan sehari-hari kepada warga lapisan bawah. Juga dikemukakan bahwa pada kasus petani lapisan bawah tidak aktif bertanya, namun mereka meniru secara diam-diam suatu inovasi dari petani lapisan atas tersebut. Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995), proses difusi inovasi terdiri dari empat unsur yang mempengaruhinya. Unsur pertama adalah inovasi, yang diartikan sebagai suatu gagasan, praktek atau objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Terdapat sejumlah karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif (relative advantages), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity), kemudahan untuk
dicoba (trialability), dan kemudahan untuk
diamati
(observability). Unsur kedua adalah saluran komunikasi, yaitu cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif mengubah pengetahuan tentang inovasi. Selain itu, media massa memiliki
9
keunggulan dalam hal kecepatan dan jumlah khalayak yang bisa dijangkau. Pada Tabel 1 disajikan perbedaan karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa.
Tabel 1 Karakteristik Saluran Komunikasi Interpersonal dan Media Massa No. Karakteristik Saluran Interpersonal Saluran Media Massa 1. Arus pesan Cenderung dua arah Cenderung searah 2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media 3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah 4. Kemampuan mengatasi Tinggi Rendah tingkat selektivitas *) 5. Kecepatan jangkauan Relatif lambat Relatif cepat terhadap khalayak banyak 6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan Perubahan pembentukan sikap pengetahuan Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006) Keterangan: *) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure
Unsur yang ketiga dalam difusi inovasi adalah waktu. Dalam hal waktu, ada tiga aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (1) proses pengambilan
keputusan
inovasi
(the
innovation-decision
process),
(2)
keinovativan (innovativeness), dan (3) laju adopsi suatu inovasi (innovation’s rate of adoption) dalam sistem sosial. Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi) yang terdiri dari lima tahapan, yaitu pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi, melibatkan waktu karena setiap tahapannya biasa terjadi dalam serangkaian tatanan waktu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi, yaitu opsional, kolektif, otoritas, dan kontingensi, dimana keempatnya dibedakan berdasarkan unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut. Pada PK Inovasi opsional, individu merupakan unit pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi, sedangkan pada PK Kolektif, baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi inovasinya adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda dengan tipe sebelumnya, pada tipe otoritas, PK Inovasi dilakukan oleh seseorang yang mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit adopsinya adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada
10
tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain yang mendahuluinya. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) keinovativan (innovativeness) adalah derajat dimana seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Keinovativan yang berbeda tersebut memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini (early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat terbanyak (late majority) dan penolak (laggards). Laju adopsi adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu. Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan masing-masing variabel meliputi satu atau lebih unsur. Adapun hubungan beberapa variabel yang menentukan laju adopsi (independent variables) dan laju adopsi inovasinya (dependent variable) digambarkan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1. Unsur keempat dalam difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggota-anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal, organisasi, dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat batasan di dalam mana inovasi menyebar. Itu sebabnya penting untuk memahami pengaruh struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi inovasi. Rogers dan Shoemaker, menyatakan bahwa struktur sosial mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, di antaranya peranan tokoh pemuka pendapat dan agen perubah. Dalam konteks peranan pemuka pendapat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Homofili adalah derajat dimana dua orang atau lebih individu yang berinteraksi memiliki kesamaan atribut atau karakteristik tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili
11
adalah derajat dimana pasangan individu-individu yang berinteraksi memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi interpersonal
yang
homofili
dapat
menghambat
proses
difusi,
karena
memungkinkan penyebaran inovasi hanya secara horizontal, baik hanya di kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan lapisan bawah.
Variabel-variabel Pengaruh I.
Variabel Terpengaruh
KARAKTERISTIK INOVASI Keuntungan Relatif Kompabilitas Kompleksitas Kemungkinan Dicoba Kemungkinan Diamati Hasilnya
II. TIPE KEPUTUSAN INOVASI Opsional Kolektif Otoritas
III. SALURAN KOMUNIKASI Interpersonal Media Massa
LAJU ADOPSI INOVASI
IV. CIRI SISTEM SOSIAL Tradisional vs Modern Derajat Integrasi Komunikasi Dan lain-lain
V. UPAYA PROMOSI OLEH AGEN PERUBAH
Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) dalam Mugniesyah (2006) Gambar 1 Paradigma Laju Adopsi Inovasi
12
2.2
Konsep Adopsi Berlebihan (Over Adoption) Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa pada masa lalu
banyak peneliti yang secara implisit mengasumsikan bahwa adopsi inovasi oleh responden mereka merupakan perilaku yang diinginkan, dan sebaliknya jika mereka menolak menjadi perilaku yang kurang diinginkan. Pendapat ini menurut mereka tidak selamanya benar, karena adanya gejala adopsi berlebihan (over adoption) yaitu adanya adopsi suatu inovasi yang dilakukan oleh seorang individu padahal menurut ahli seharusnya dia menolaknya. Terdapat beberapa alasan mengapa terjadi adopsi yang berlebihan, di antaranya adalah: (1) adopter memiliki pengetahuan yang kurang lengkap tentang inovasi tersebut, (2) ketidakmampuan adopter meramalkan konsekuensi yang terjadi, dan (3) maniak inovasi. Namun demikian, dikemukakan bahwa sulit untuk menentukan apakah seseorang harus atau tidak harus mengadopsi inovasi, karena kriteria rasionalitas tidak mudah diukur. Selain itu, seringkali yang menjadi dasar para peneliti dalam membedakan hal itu cenderung didasarkan pada faktor ekonomi, dengan alasan rasionalitasnya lebih objektif. Selanjutnya, pada Tabel 2 di bawah ini ditunjukkan hasil studi Goldstein dan Eichhorn (1961) yang menelaah rasionalitas dan irasionalitas adopsi budidaya jagung-4 baris di kalangan petani Indian, Amerika (Rogers dan Shoemaker 1971).
Tabel 2 Rasionalitas dan Irasionalitas dalam Adopsi dan Menolak Penanaman Jagung-4 Baris di Kalangan Petani Indian Rekomendasi Ahli Bagi Individu Keputusan Inovasi pada Individu Adopsi Menolak Pengadopsi Berlebihan Pengadopsi Rasional Adopsi yang Irasional (37%) (11%) Penolak yang Rasional Menolak Penolak Irasional (19%) (33%) Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)
Dalam hal faktor yang menentukan rasionalitas dan irasionalitas, Goldstein dalam Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa tipe rasional berbeda dari yang irasional oleh karena tingkat pendidikan mereka berbeda dan mereka tidak dipengaruhi kepercayaan tradisional. Dengan perkataan lain, tingkat
13
pendidikan menjadi salah satu faktor yang membawa individu untuk lebih rasional dan bisa membedakan penting atau tidaknya untuk memutuskan adopsi inovasi.
2.3
Hasil-hasil Studi Penggunaan Ponsel Terdapat sejumlah studi berkenaan penggunaan teknologi komunikasi,
khususnya ponsel. Studi Mulyandari (2006) menemukan bahwa karakteristik personal mahasiswa, khususnya jenis kelamin, status ekonomi dan tingkat terpaan media massa, tidak berhubungan dengan sikap mahasiswa terhadap penggunaan ponsel, namun tujuan mahasiswa dalam penggunaan ponsel berhubungan dengan sikapnya terhadap ponsel. Mahasiswa yang membutuhkan ponsel untuk kepentingan yang menyangkut keluarga dan kegiatan kampus cenderung memiliki sikap positif terhadap ponsel. Berbeda dengan Mulyandari, Lutfiyah (2007) menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan persepsi remaja terhadap ponsel, dimana remaja laki-laki memiliki persepsi yang lebih sesuai terhadap ponsel dibandingkan dengan remaja perempuan. Adapun hasil studi Prayifto (2010) menunjukkan bahwa sikap remaja desa terhadap ponsel tidak berhubungan nyata dengan perilakunya dalam menggunakan ponsel baik untuk memperoleh informasi, berintegrasi, berinteraksi sosial dan memperoleh hiburan, karena penggunaan ponsel oleh mereka tergantung pada faktor situasional. Selanjutnya dikemukakan bahwa walaupun mereka memiliki sikap positif terhadap ponsel belum tentu tingkat perilakunya dalam menggunakan ponsel menjadi tinggi. Berbeda dari Lutfiyah yang melaporkan bahwa status ekonomi tidak berhubungan dengan persepsi remaja terhadap ponsel, hasil studi Utaminingsih (2006) menemukan bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh remaja berhubungan positif dengan status ekonomi keluarga; semakin tinggi status ekonomi keluarga semakin memungkinkan peningkatan penggunaan ponsel terutama dalam hal penggunaan pulsa. Yang menarik, studi Utaminingsih menemukan bahwa tujuan penggunaan ponsel (faktor internal) serta keberadaan teman dekat dan kelompok sebaya (peer group), pengaruhnya sangat kuat terhadap penggunaan ponsel di kalangan remaja. Temuan lainnya adalah bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh remaja tersebut tidak mempengaruhi interaksi sosial (tatap muka) mereka dengan lingkungan sosialnya.
14
2.4
Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul Difusi Inovasi Ponsel di Perdesaan” ini dilandasi
sejumlah konsep dan teori difusi inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (1995), khususnya berkenaan keinovativan dan laju adopsi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, variabel Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (Y2) dipandang sebagai variabel terpengaruh. Mengacu pada paradigma laju adopsi inovasi (Gambar 1), diduga terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi laju adopsi ponsel, di antaranya adalah penerimaan individu terhadap karakteristik inovasi ponsel (yang selanjutnya disingkat menjadi karakteristik inovasi ponsel), tipe pengambilan keputusan inovasi, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh agen promosi. Pada faktor karakteristik inovasi ponsel terdapat lima variabel yang diduga mempengaruhi kedua variabel terpengaruh dalam penelitian ini (Y1 dan Y2), yaitu: Tingkat Keuntungan Relatif (X1), Tingkat Kesesuaian (X2), Tingkat Kerumitan (X3), Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4), dan Tingkat Kemungkinan Diamati (X5). Oleh karena di kalangan masyarakat perdesaan dimungkinkan adanya keragaman unit adopsi dan unit pengambilan keputusan ponsel, Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi (Tipe PK Inovasi) (X6) juga diduga mempengaruhi kedua variabel terpengaruh di atas. Dengan merujuk pada paradigma PK Inovasi dan sejumlah hasil penelitian terdahulu variabel pada saluran komunikasi yang diduga berpengaruh adalah Tingkat Keragaman Sumber Informasi (X7). Selanjutnya, sebagaimana diketahui, komunikasi interpersonal merupakan bagian integral dari komunikasi masyarakat perdesaan. Di pihak lain, para ahli tersebut di atas menyatakan bahwa salah satu indikator pembeda sistem sosial tradisional dan modern adalah tinggi rendahnya integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Berdasar hal itu, dalam penelitian ini terdapat dua variabel pada sistem sosial yang diduga mempengaruhi difusi inovasi ponsel, yaitu Tingkat Ketaatan Individu dalam Aktivitas Komunikasi Interpersonal –disingkat Tingkat Ketaatan Individu- (X8) dan Tingkat Integrasi Sosial Individu (X9). Selanjutnya, oleh karena fakta di lapangan ada para agen penjual/jasa ponsel yang juga berperan mempromosikan
15
ponsel guna mempengaruhi warga masyarakat untuk membelinya (mengadopsi ponsel), maka
Frekuensi Kunjungan/Pertemuan dengan Penjual/Jasa Ponsel
(X10) merupakan variabel pada aspek promosi oleh agen ponsel yang juga diduga mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tingkat keinovativan diukur oleh jumlah individu anggota suatu sistem sosial yang mengadopsi inovasi dalam satuan waktu tertentu. Sehubungan dengan itu, karakteristik individu diduga juga mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2). Merujuk pada pendapat kedua ahli di atas dan hasil beberapa penelitian terdahulu, variabel-variabel pada karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah Tingkat Pendidikan Formal (X11), Pola Perilaku Komunikasi (X12), Status Sosial-ekonomi (X13), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi (X14). Adapun mengenai tujuan penelitian untuk mengetahui adanya gejala adopsi berlebihan (over adoption), hal tersebut akan ditelaah secara kualitatif, karena adopsi berlebihan tidak termasuk dalam unsur-unsur difusi inovasi. Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara variabel pengaruh (independent variables) dan terpengaruh (dependent variables) dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
16
KARAKTERISTIK INOVASI PONSEL X1: Tingkat Keuntungan Relatif X2: Tingkat Kompabilitas X3: Tingkat Kerumitan X4: Tingkat Kemungkinan Dicoba X5: Tingkat Kemungkinan Diamati
KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL X8 : Tingkat Ketaatan Individu X9 : Tingkat integrasi individu
DIFUSI INOVASI PONSEL X6: Tipe PK Inovasi
Y1: Tingkat Keinovativan Individu Y2: Laju Adopsi Inovasi Ponsel
PROMOSI OLEH AGEN PERUBAH X10: Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual /Jasa Ponsel
KARAKTERISTIK INDIVIDU
X11: Tingkat Pendidikan Formal X12: Pola Perilaku Komunikasi X13: Tingkat Status Sosial-ekonomi X14: Tingkat Kebutuhan Individu
SALURAN KOMUNIKASI X7: Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel
Keterangan:
Hubungan Pengaruh yang Diuji
Gambar 2 Hubungan antara variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables) dalam Difusi Inovasi Ponsel
17
2.5 1.
Hipotesis Penelitian Terdapat sejumlah hipotesis dalam penelitian ini, sebagai berikut: Semakin tinggi semua variabel pada tingkat penerimaan individu terhadap karakteritik inovasi ponsel -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi ponsel.
2.
Tipe pengambilan keputusan inovasi opsional berhubungan positif dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
3.
Semakin tinggi tingkat keragaman sumber informasi inovasi ponsel semakin tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi ponsel.
4.
Semakin tinggi tingkat ketaatan individu dalam berkomunikasi secara interpersonal, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
5.
Semakin tinggi tingkat integrasi individu dalam kelompok/individu, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
6.
Semakin tinggi frekuensi pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa ponsel, semakin tinggi tingkat keinovativan dan
laju adopsi inovasi
ponsel. 7.
Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.
2.6 1.
Definisi Operasional Tingkat Keinovativan (Y1) adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu sejak mendengar atau mengenal inovasi ponsel sampai dengan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Merujuk kepada fakta bahwa inovasi ponsel telah dikenal warga masyarakat Desa Kemang, sejak tahun 1995 atau sekitar 15 tahun yang lalu, ketika salah seorang warga mempunyai ponsel untuk pertama kalinya, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu mengadopsi inovasi ponsel setelah lebih dari 10 tahun sejak digunakan warga Kemang (setelah tahun 2006) (2) sedang, jika individu mengadopsi inovasi ponsel setelah lebih
18
dari lima tahun sejak digunakan warga (periode tahun 2000-2005), dan (3) tinggi, jika individu mengadopsi inovasi ponsel pada lima tahun pertama sejak ponsel digunakan warga kemang (periode 1995-1999). 2.
Laju Adopsi Inovasi Ponsel (Y2) adalah jumlah individu yang mengadopsi inovasi ponsel dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya ponsel sampai dengan digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial (kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 28 persen dan 17 persen berturut-turut untuk di Kampung Beber dan Kampung Cikupa. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah (skor 1), untuk responden yang berasal dari Kampung Cikupa dan (2) tinggi (skor 2), untuk responden yang berasal dari Kampung Beber.
3.
Tingkat Keuntungan Relatif Inovasi Ponsel (X1) adalah derajat dimana inovasi ponsel dipandang memberikan keuntungan pada individu, berupa: mengurangi biaya transportasi untuk berhubungan jarak jauh, efisiensi waktu dalam berkomunikasi, meningkatkan prestise dalam pergaulan, memperlancar urusan bisnis/pekerjaan, dan menghemat biaya pencarian informasi; dibedakan dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu memperoleh satu sampai dua jenis keuntungan atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika individu memperoleh tiga sampai empat jenis keuntungan, dan (3) tinggi, jika individu memperoleh seluruh jenis keuntungan.
4.
Tingkat Kesesuaian Inovasi Ponsel (X2) adalah derajat dimana aktivitas komunikasi antar individu menggunakan inovasi ponsel dipandang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan terhadap inovasi ponsel, yang meliputi: menjalin hubungan interpersonal antar individu, menyampaikan pesan secara efektif, dan memenuhi kebutuhan komunikasi. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika ada satu jenis kesesuaian atau tidak ada sama sekali, (2) sedang, jika ada dua jenis kesesuaian, dan (3) tinggi, jika ada tiga jenis kesesuaian.
5.
Tingkat Kerumitan Inovasi Ponsel (X3) adalah derajat dimana sejumlah fitur pada inovasi ponsel dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan
19
digunakan oleh individu. Fitur pada ponsel di antaranya: telepon, SMS, MMS, game, MP3, kamera, video, internet. Mengacu pada jenis fitur tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu menilai sulit menggunakan satu jenis fitur atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika individu menilai sulit menggunakan dua jenis fitur, dan (3) tinggi, jika individu menilai sulit dalam menggunakan tiga dan/atau lebih jenis fitur. 6.
Tingkat Kemungkinan Dicobanya Inovasi Ponsel (X4) adalah derajat dimana inovasi ponsel dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh individu karena tersedianya sarana pendukung: jaringan ponsel, penjual pulsa, dan aliran listrik; dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika hanya satu sarana pendukung yang tersedia atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika dua sarana pendukung yang tersedia, dan (3) tinggi, jika seluruh sarana pendukung tersedia.
7.
Tingkat Kemungkinan Diamatinya Inovasi Ponsel (X5) adalah derajat dimana hasil-hasil penggunaan inovasi ponsel dapat diamati (dirasakan manfaatnya oleh individu), yang meliputi: memperluas pergaulan, update akan informasi, dan bergengsi. Berdasar hal ini, variabel ini dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika hanya memperoleh satu jenis manfaat atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika memperoleh dua jenis manfaat yang dapat diamati, dan (3) tinggi, jika memperoleh semua manfaat..
8.
Tipe PK Inovasi Ponsel (X6) adalah keterlibatan individu sebagai unit pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam PK Inovasi Ponsel, dibedakan ke dalam (1) opsional, jika individu berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi ponsel, (2) kolektif, jika individu bersama-sama anggota keluarganya menjadi unit pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi ponsel, dan (3) otoritas, jika unit pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas (instruksi dari pihak di luar keluarga atau atasan di tempat individu bekerja). Berdasar kondisi tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika tipe pengambilan keputusan otoritas, (2) sedang,
20
jika tipe pengambilan keputusan kolektif, dan (3) tinggi, jika tipe pengambilan keputusan opsional. 9.
Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) adalah total skor dari jumlah sumber informasi inovasi ponsel bagi individu, yang meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Dengan menetapkan bahwa setiap jenis sumber informasi baik dari saluran interpersonal maupun media massa diberi skor satu; maka variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika hanya satu jenis sumber informasi inovasi ponsel, (2) sedang, jika ada dua jenis sumber informasi inovasi ponsel, dan (3) tinggi, jika ada tiga jenis atau lebih sumber informasi inovasi ponsel.
10.
Tingkat Ketaatan Individu Pada Aktivitas Komunikasi Interpersonal (X8) adalah derajat dimana setelah individu mengadopsi ponsel, dia cenderung mempertahankan aktivitas komunikasi interpersonalnya. Berdasar batasan tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika individu memutuskan hubungan komunikasi interpersonal, (2) sedang, jika individu mengurangi hubungan komunikasi interpersonal, dan (3) tinggi, jika individu tetap berhubungan melalui komunikasi interpersonal.
11.
Tingkat Integrasi Individu (X9) adalah total skor dari jumlah kelompok dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh individu dan “status” individu dalam kelompok dan/ atau organisasi tersebut. Keikutsertaan pada setiap kelompok diberi skor satu; sementara untuk status dalam kelompok/organisasi pemberian skornya berturut-turut: satu jika berstatus anggota, dua untuk pengurus namun bukan berstatus ketua dan tiga jika berstatus ketua. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika total skor keikutsertaan dan status individu dalam kelompok/organisasi kurang dari 3; (2) sedang, jika total skor keikutsertaan dan status individu dalam kelompok/ organisasi antara 3-6, dan (3) tinggi, jika total skor keikutsertaan dan status individu dalam kelompok lebih dari 6.
12.
Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/ Jasa Ponsel (X10) adalah total pertemuan dalam sebulan yang dilakukan antara individu dengan agen
21
penjual/ jasa ponsel; dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa ponsel sebanyak kurang dari lima kali; (2) sedang, jika pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa ponsel antara 5-10 kali; dan (3) tinggi, jika pertemuan individu dengan agen penjual/jasa ponsel lebih dari 10 kali. 13.
Tingkat Pendidikan Formal (X11) adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti individu, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika tamat dan/atau sedang SD/sederajat, (2) sedang, jika tamat dan/atau sedang SLTP/sederajat, dan (3) tinggi, jika tamat dan/atau sedang SLTA/ sederajat.
14.
Pola Perilaku Komunikasi (X12) adalah akumulasi interaksi individu dengan beragam sumber informasi baik melalui komunikasi interpersonal lokalit, kosmopolit maupun bermedia. Pada komunikasi interpersonal lokalit diukur dari pola interaksi dengan sumber-sumber informasi yang berdomisili sama dengan individu dalam jenjang lingkup wilayah: RT, RW, kampung, dusun, dan desa. Pada komunikasi interpersonal kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan individu-individu dari lingkungan pemerintahan dan kontak tani/tokoh masyarakat di lima tingkatan wilayah administratif: desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Baik bagi komunikasi interpersonal maupun kosmopolit, pemberian skornya adalah satu sampai dengan lima berturut-turut dari jenjang yang terendah ke tertinggi. Untuk komunikasi bermedia dibedakan menurut jenis medianya: radio, surat kabar, telepon, televisi, dan internet; dengan pemberian skor satu jika individu berkomunikasi dengan pihak lain melalui salah satu jenis media atau tidak sama sekali; skor dua jika individu berkomunikasi dengan memanfaatkan lebih dari dua jenis media; skor 3, jika individu berkomunikasi dengan memanfaatkan tiga dan/atau lebih jenis media. Selanjutnya, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor kurang dari 11, (2) sedang, jika total skor antara 11-19, dan (3) tinggi, jika total skor lebih dari 19.
22
15.
Tingkat Status Sosial Ekonomi (X14) adalah kumulatif dari faktor-faktor: status penguasaan lahan, pemilikan media elektronik dan pemilikan kendaraan bermotor. Merujuk pada Mugniesyah (2007), status penguasaan lahan dibedakan ke dalam: (1) stratum I adalah golongan rumahtangga yang tidak berlahan, (2) stratum II adalah golongan rumahtangga yang menguasai 0,1 - 0,7 ha lahan, (3) stratum III adalah golongan rumahtangga yang menguasai 0,7 - 1,5 ha lahan, dan (4) stratum IV adalah golongan rumahtangga yang menguasai lebih dari 1,5 ha lahan. Adapun skor yang diberikan berturut-turut satu sampai dengan empat untuk Stratum I, II, III, dan IV. Skor untuk pemilikan media elektronik sebesar satu sampai dengan empat untuk berturut-turut media radio, ponsel, TV berwarna, dan jaringan internet. Masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4. Pemilikan kendaraan bermotor dibedakan antara motor dan mobil. Skor masingmasing adalah 1 dan 2. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor yang diperoleh individu kurang dari 7, (2) sedang, jika total skor yang diperoleh individu antara 7– 10, dan (3) tinggi, jika total skor yang diperoleh individu lebih dari 10.
16.
Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X16) adalah motivasi atau alasan individu dalam konteks tujuan individu untuk mengadopsi inovasi ponsel. Dengan merujuk pada pendapat Berlo (1960) dan Tubs dan Moss (1983) dalam Lubis (2009),
tujuan komunikasi
meliputi:
hiburan,
memperoleh
informasi,
mendapatkan
menjalin
hubungan dan membantu bisnis/pekerjaan. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika bermotivasikan satu tujuan komunikasi atau tidak sama sekali, 2) sedang, jika bermotivasikan dua tujuan komunikasi, dan (3) tinggi, bermotivasikan tiga atau lebih tujuan komunikasi.
23
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Kemang yang berada di Kecamatan
Bojongpicung Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di wilayah ini telah terdapat dua buah menara BTS dari Perusahaan XL dan Telkomsel. Selain itu, sebagaimana dikemukakan Mugniesyah (2007) desa ini merupakan desa lahan kering yang berlokasi di sekitar area hutan milik Perhutani dan mengembangkan sistem agroforestri, sehingga diduga pekerjaan warga masyarakat dan materi pesan yang dipertukarkan mereka melalui ponsel juga beragam. Dari hasil observasi diketahui dua BTS yang dibangun di desa ini terletak di dua kampung yang ada di Dusun I, karenanya kedua kampung tersebut menjadi representasi dua sub sistem sosial yang ada di desa Kemang. Pertimbangan lainnya adalah bahwa di dua kampung tersebut telah tersedia data sekunder mengenai profil rumahtangga yang dikumpulkan dalam periode 1998-2005, melalui kegiatan penelitian “Group 3: Socioeconomic Studies on Sustainable Development in Rural Indonesia”, suatu bagian dari penelitian “Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production“ yang merupakan penelitian kerjasama bernama “The JSPS-DGHE Core University Program in Applied Biosciences between the University of Tokyo and Bogor Agricultural University (IPB)”. Pelaksanaan penelitian di lapangan berlangsung selama satu bulan, dimulai pada minggu kedua bulan April sampai dengan minggu kedua bulan Mei 2011 (tiga puluh hari). Adapun penelitian secara keseluruhan dilaksanakan selama enam bulan, meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, bimbingan skripsi, sidang skripsi, serta perbaikan laporan penelitian. Rincian jadwal penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
24
3.2
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini tergolong penelitian penjelasan (explanatory research) yang
menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya metode survei (Singarimbun dan Efendi 1989), yang ditujukan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian ini. Survei ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang profil rumahtangga dan difusi inovasi ponsel. Survei profil rumahtangga dilakukan untuk mengumpulkan aspek demografi sosial dan kepemilikan media komunikasi, termasuk ponsel. Mengingat penelitian ini dilakukan dalam waktu relatif singkat (hanya satu bulan), pengumpulan data profil rumahtangga dilakukan dengan berbasis pada data yang tercantum pada kuesioner Profil Rumahtangga yang sudah dikumpulkan oleh Mugniesyah dkk. pada tahun 2005 dalam penelitian tersebut di atas. Dengan demikian, dalam survei rumahtangga dilakukan “penyesuaian data dalam profil rumahtangga”. Adapun survei tentang difusi inovasi ponsel dilakukan dengan menggunakan kuesioner tertsruktur yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan untuk mengukur semua variabel bebas (independent variables) dan variabel tidak bebas (dependent variables). Selain survei, juga dilakukan wawancara mendalam, khususnya untuk mengetahui polapola pemanfaatan ponsel di kalangan masyarakat desa serta untuk mengetahui permasalahan dan dampak yang terjadi sebagai
akibat diintroduksikannya
jaringan ponsel di desa penelitian. Selain mengumpulkan data primer, dalam penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data sekunder, khususnya data monografi desa (untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian), data berkenaan ketersediaan infrastruktur di desa, kebijakan pemerintah, sejumlah laporan, dan dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Data berkenaan ketersediaan infrastruktur juga didapatkan melalui observasi selama di lapangan. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Kemang di Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Adapun populasi contohnya (sampling population) adalah individu dalam rumahtangga pengguna ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa, yang didapatkan dari teknik pengambilan sampel secara tidak sengaja (accidental sampling). Menurut Sugiyono (2004), melalui teknik ini peneliti mengambil responden sebagai contoh berdasarkan
25
kebetulan, yaitu mereka yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai contoh bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Teknik ini biasanya dilakukan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendatangi sejumlah rumahtangga dan menemui sejumlah orang yang sedang berkumpul di warung yang berdasar informan atau hasil observasi diantara mereka menggunakan ponsel. Setiap individu yang mengaku menggunakan ponsel langsung diwawancarai peneliti, karena dianggap sesuai dalam memberikan informasi terkait difusi inovasi ponsel. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa rumahtangga, ditemukan lebih dari seorang individu yang menggunakan ponsel, sehingga dalam satu rumahtangga dimungkinkan ada beberapa orang yang menjadi responden. Dari proses tersebut, didapatkan sebanyak 75 orang responden dari 58 rumahtangga, yang terdiri dari 48 orang perempuan dan 27 orang laki-laki. Di Kampung Beber terdapat
42 orang
responden dari 33 rumahtangga, sedangkan di Kampung Cikupa terdapat 33 orang responden dari 25 rumahtangga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan sistem sosial. Unit analisis individu
untuk mengukur tingkat
keinovativan, sementara unit analisis sistem sosial digunakan untuk mengukur laju adopsi.
3.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah dikumpulkan diedit terlebih dahulu untuk
kemudian dientry dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2007. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis ke dalam bentuk tabulasi frekuensi dan tabulasi silang dengan menggunakan program PIVOT, khususnya untuk mendeskripsikan profil individu dan rumahtangga, serta semua variabel yang ada dalam penelitian ini. Untuk menganalisis hubungan antar variabel sebagaimana disajikan pada Gambar 2 dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan program SPSS 16 for windows. Adapun pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan statistik non parametrik Uji Korelasi Rank Spearman (rs). Uji korelasi Rank Spearman dipilih dengan pertimbangan bahwa
variabel-
26
variabel bebas dan tidak bebas dalam penelitian ini menggunakan pengukuran dalam skala ordinal. Dalam interpretasi hasil uji statistik, digunakan interpretasi menurut Purnaningsih (2006), dimana jika hasil korelasi (rs)
yaitu: (1)
signifikansi α= 0,05, artinya mempengaruhi dan signifikan, (2) signifikansi α= 0,10, artinya cukup mempengaruhi dan cukup signifikan, (3) signifikansi α= 0,20 sampai α= 0,30, artinya kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan, dan (4) signifikansi α> 0,30, artinya tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan. Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Pedoman Teknik Penulisan Laporan Studi Pustaka (Wahyuni forthcoming).
3.4
Kelemahan Penelitian Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian difusi inovasi
tidak hanya berfokus pada adopsi pada tingkat individu, akan tetapi harus pula mempertimbangkan aspek sistem sosial dimana inovasi tersebut diintroduksikan karena sebagaimana dikemukakan di atas, sistem sosial merupakan salah satu unsur difusi inovasi (Rogers dan Shoemaker 1971). Namun demikian, penelitian ini masih belum mampu mempertimbangkan aspek sistem sosial secara sempurna, dikarenakan terdapat berbagai kesulitan dan kendala saat pengambilan data di lapangan. Bagaimanapun, waktu penelitian selama sebulan dirasakan tidak mencukupi apabila peneliti harus mewawancarai seluruh pengguna ponsel di dua kampung. Untuk diketahui, jumlah rumahtangga di Kampung Beber dan Cikupa sekitar 300 rumahtangga (Mugniesyah dkk. 2005). Di pihak lain, karena pengguna ponsel mayoritasnya di kalangan anak muda, dan bahwa lokasi desa yang relatif terisolir menjadikan perilaku komunikasi interpersonal lokalit mereka dominan, sebagian besar mereka kurang responsif kepada peneliti dengan alasan “malu” diwawancarai.
27
BAB IV KEADAAN UMUM DESA KEMANG
4.1
Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa Desa Kemang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan sejumlah desa baik yang berada di Kabupaten Cianjur maupun Kabupaten Bandung. Terdapat dua
desa di wilayah Kecamatan Bojongpicung, masing-
masing satu desa yang berbatasan dengan desa ini di sebelah Utara dan Barat, yaitu Desa Sukaratu dan Desa Sukarama. Selainnya, Desa Cihea di Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur dan Desa Cibitung Kecamatan Rongga Kabupaten Bandung berbatasan dengan Desa Kemang, berturut-turut di sebelah Selatan dan Timur. Lokasi desa ini berturut-turut dari sekitar 7 km dari ibukota kecamatan, 24 km dari ibukota kabupaten, dan 62 km dari ibukota propinsi Jawa Barat (Bandung) dengan kendaraan bermotor, akses ke ibukota kecamatan, kabupaten dan propinsi dapat ditempuh berturut-turut sekitar 1 jam, 3,8 jam dan 4 jam Adapun menurut Potensi Desa (2009), apabila ditempuh dengan berjalan kaki atau kendaraan non bermotor berturut-turut sekitar 3 jam, 6 jam menit dan 12 jam. Dalam hal topografinya, Desa Kemang berada di ketinggian antara 400800 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan curah hujan sebesar 1945 mm per tahun dan jumlah bulan hujan sebanyak 6 bulan per tahun dengan suhu ratarata harian sekitar 25C (Mugniesyah dan Mizuno (2003). Secara administratif, Desa Kemang memiliki 33 Rukun Tetangga (RT) yang terdistribusi dalam 6 Rukun Warga (RW) yang tersebar di tiga dusun yang ada di desa ini. Kecuali di Dusun II, terdapat masing-masing delapan kampung di Dusun I dan III. Kampung-kampung yang ada di Dusun I adalah Kalapa Condong, Beber, Cikupa, Kawung Luwuk, Pasir Jati, Cibentang, Mujit, dan Muncang Nunggal, sementara di Dusun III meliputi Legok Nangka, Jakapari, Jaringao, Cikoneng, Citangkil, Cigunung, Babakan Sawah Girang, dan Cimurah. Adapun di Dusun II terdiri dari kampung-kampung: Rawa Sampih, Babakan Sawah Hilir,
28
Cimenteng, Kopeng, Kemang, dan Cibuluh. Setiap dusun terdiri dari dua RW, yaitu RW 1 dan RW 2 di Dusun I, RW 3 dan RW 4 di Dusun II, serta RW 5 dan RW 6 di Dusun III. Adapun jumlah RT di tiga dusun tersebut berturut-turut sebanyak 12 RT, 11 RT, dan 10 RT. Desa Kemang memiliki luas wilayah 2.499,21 hektar dengan distribusi penggunaan lahan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Distribusi Wilayah Desa Kemang menurut Penggunaannya Tahun 2009 Penggunaan Lahan Hutan Tegal/ladang Sawah irigasi setengah teknis Kebun Sawah tadah hujan Pekarangan Pemukiman Kuburan Perkantoran Lainnya Total
Luas (ha) 1250,00 994,45 82,78 20,00 11,33 12,41 88,51 10,02 4,21 25,51 2499,21
Persen (%) 50,02 39,79 3,31 0,80 0,45 0,50 3,54 0,40 0,17 1,02 100,00
Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
Mayoritas wilayah di Desa Kemang berupa lahan pertanian dengan luas 2358,56 ha atau 94,37 persen dari total luas desa. Seperti yang terlihat pada Tabel 3, persentase luas lahan pertanian tersebut, dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah lahan hutan milik Perhutani, tegal/ladang, sawah irigasi setengah teknis, kebun, dan sawah tadah hujan. Selain sebagai lahan pertanian, terdapat pula wilayah Desa Kemang yang dimanfaatkan sebagai pekarangan. Namun, dari hasil observasi di lapangan, diduga pekarangan tersebut banyak terdapat di luar kedua kampung yang menjadi fokus penelitian, yaitu Kampung Beber dan Cikupa. Hal tersebut dikarenakan, kedua kampung tersebut merupakan kampung yang cukup padat, dimana jarak antar rumah pun sangat berdekatan dan jarang sekali ditemukan rumah yang memiliki pekarangan.
29
Terkait dengan pemanfaatan lahan sebagai perkantoran, diketahui dari hasil pengamatan bahwa di Desa Kemang terdapat beberapa bangunan, di antaranya kantor desa, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), yang akan dijelaskan lebih jelas pada sub bab sarana dan prasarana. Pada Tabel 3 di atas, dapat dilihat pula pemanfaatan lahan sebagai lainnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan lainnya adalah pemanfaatan lahan sebagai lapangan olahraga, menara BTS, tempat pembuangan sampah, dan daerah tangkapan air.
4.2
Keadaan Umum Penduduk Data distribusi penduduk di Desa Kemang menurut kelompok umur dan
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Distribusi Penduduk Desa Kemang menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam persen) Kelompok Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total 0-4 2,51 2,69 5,20 5-9 7,54 7,71 15,25 10-14 7,33 6,67 14,00 15-19 8,05 7,45 15,51 20-24 4,73 4,45 9,18 25-29 2,38 2,53 4,91 30-34 3,56 3,73 7,29 35-39 2,53 2,62 5,14 40-44 1,89 1,64 3,53 45-49 2,16 2,33 4,49 50-54 1,38 1,76 3,14 55-59 1,76 2,13 3,89 60-64 1,58 1,67 3,25 65-69 1,22 1,51 2,73 70-74 0,91 1,04 1,95 75+ 0,31 0,24 0,55 Total (persen) 49,85 50,15 100,00 Total (jiwa) 2742 2759 5501 Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
30
Jumlah penduduk Desa Kemang berdasarkan Potensi Desa Kemang Tahun 2009 sebanyak 5501 jiwa, mayoritasnya terdiri atas perempuan sebanyak 2759 jiwa (50,15 persen). Terdapat 1514 kepala keluarga (KK) di desa ini, sehingga rata-rata jumlah anggota per keluarga lebih rendah dari 4 orang. Kepadatan penduduk Desa Kemang sebesar 1417 jiwa/km. Berdasar data pada Tabel 4, terhadap total penduduk Desa Kemang, diketahui bahwa mayoritas penduduk desa ini tergolong usia kerja (usia 15-60 tahun) yaitu 57,08 persen. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa penduduk usia sekolah adalah mereka yang ada pada kelompok umur 5-19 tahun, maka mereka jumlahnya sekitar 44,76 persen dari total penduduk Desa Kemang. Adapun penduduk usia lanjut (kelompok umur 60-64 tahun dan di atasnya) sekitar 8,47 persen. Dalam hal penduduk usia kerja, diketahui bahwa persentase penduduk perempuan pada kelompok tersebut sekitar 28,63 persen atau sedikit lebih tinggi (0,18 persen) dibanding penduduk laki-laki. Begitu pula pada kelompok umur usia lanjut, persentase penduduk perempuan sedikit lebih tinggi sebesar 0,44 persen dibanding penduduk laki-laki. Yang menarik, khusus pada kelompok usia sekolah, diketahui bahwa persentase penduduk laki-laki lebih tinggi sekitar 1,09 persen dibanding persentase penduduk perempuan. Distribusi penduduk Desa Kemang menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Distribusi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin di Desa Kemang Tahun 2009 (dalam persen) Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Total Laki-laki Perempuan Tamat SD/Sederajat 40,53 40,95 81,48 Tamat SMP/Sederajat 7,35 5,09 12,44 Tamat SMA/Sederajat 2,67 1,65 4,33 Tamat D1-D3/Sederajat 0,64 0,32 0,95 Tamat S1- S2/Sederajat 0,64 0,16 0,80 Total (persen) 51,83 48,17 100,00 Total (jiwa) 1629 1514 3143 Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
31
Berdasar data pada Tabel 5, diketahui bahwa mayoritas warga masyarakat Desa Kemang, baik laki-laki maupun perempuan, terdiri atas mereka yang berpendidikan tamat Sekolah Dasar atau sederajat. Dominannya penduduk yang berpendidikan tamat SD tampaknya juga berhubungan dengan dilaksanakannya Program Wajib Belajar 9 tahun. Kecenderungan umum adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin menurun persentase jumlah penduduk yang menikmatinya. Hal yang menarik adalah hanya pada tingkat pendidikan dasar dimana persentase penduduk perempuan sedikit lebih tinggi (0,42 persen) dibanding lakilaki.
Adapun pada jenjang pendidikan selanjutnya persentase mereka
yang
menikmati pendidikan cenderung lebih rendah dibanding laki-laki, yakni berturutturut lebih rendah sekitar: 2,26 persen pada jenjang pendidikan SLTP, sekitar satu persen pada jenjang SLTA, dan berturut-turut sekitar 0,32 dan 3,66 persen pada jenjang pendidikan diploma dan perguruan tinggi. Secara umum, selain berhubungan dengan relatif dominannya penduduk desa yang tergolong miskin, kondisi tersebut tampaknya juga merefleksikan fenomena, dimana perempuan cenderung memasuki jenjang perkawinan setamatnya SD atau menjadi buruh migran. Selain itu, diduga juga kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya ke jenjang sekolah menengah dan pendidikan tinggi masih relatif rendah. Matapencaharian pokok masyarakat Desa Kemang cukup beragam. Total penduduk yang bekerja adalah sebanyak 3781 orang atau 68,73 persen dari keseluruhan total penduduk Desa Kemang. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasar pada Tabel 6, mayoritas penduduk Desa Kemang bekerja di sektor pertanian, yakni sekitar 84,72 persen. Selanjutnya diikuti oleh mereka yang bekerja pada sektor perdagangan sekitar 6,32 persen. Sektor lainnya yang merupakan matapencaharian masyarakat Desa Kemang adalah sektor industri dan jasa dengan persentase beturut-turut 2,57 persen dan 6,40 persen. Tingginya jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian dikarenakan Desa Kemang merupakan salah satu daerah yang mengembangkan sistem agroforestri huma
32
talun, sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan kompleks. Jenis buah-buahan merupakan komoditas utama dalam kebun talun masyarakat.
Tabel 6 Penduduk Desa Kemang menurut Matapencaharian Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Mata Penceharian Petani Buruh tani Pengusaha Kecil dan Menengah Pedagang Keliling Buruh Migran Pengrajin/Industri Rumahtangga Pembantu Rumahtangga Pegawai Negeri Sipil Pensiunan PNS/TNI/POLRI Dukun Kampung Terlatih TNI/POLRI Montir Total
Jumlah 2481 722 127 112 110 97 52 47 22 6 3 2 3781
Persen 65,62 19,1 3,36 2,96 2,91 2,57 1,38 1,24 0,58 0,16 0,08 0,05 100,00
Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
Komoditas buah-buahan yang banyak dibudidayakan di Desa Kemang adalah pisang dengan luas 66 hektar dan hasil produksi lima ton per hektar. Pemasaran hasil kebun tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti dijual langsung ke konsumen, pasar, melalui tengkulak atau melalui pengecer. Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian, tidak semuanya memiliki lahan yang luas, akan tetapi terdapat pula sejumlah petani gurem dan buruh tani, sebagaimana terlihat pada Tabel 7 di bawah ini.
33
Tabel 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan di Desa Kemang Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Kriteria Luas Lahan
Jumlah
Persen
Tidak memiliki (tuna kisma)
228
15,06
Memiliki kurang 1 ha
739
48,81
Memiliki 1,0-5,0 ha
394
26,02
Memiliki 5,0-10 ha
150
9,91
3
0,20
1514
100,00
Memiliki lebih dari 10 ha Total Pemilik Lahan Sumber: Potensi Desa Kemang 2009
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa di Desa Kemang terdapat 1.514 kepala keluarga. Dengan demikian, data yang disajikan pada Tabel 7 bukanlah data kepemilikan lahan menurut individu penduduk, tetapi berbasis rumahtangga. Dengan merujuk pendapat Sayogyo (1990) tentang stratifikasi di kalangan masyarakat petani, sebagian besar masyarakat Desa Kemang (63,87 persen) tergolong lapisan bawah, karena rata-rata luas lahan yang mereka miliki seluas di bawah 0,5 hektar.
4.3
Kelembagaan Kelembagaan di Desa Kemang terdiri dari kelembagaan formal dan
informal. Kelembagaan formal terdiri dari Lembaga Pemerintahan (Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Lembaga Kemasyarakatan Desa (kelompok PKK, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT), Karang Taruna, Posyandu, Koperasi dan Kelompok Tani). Terdapat empat unit Posyandu di Desa Kemang yang tersebar di setiap dusun. Di Dusun I terdapat Posyandu Anggrek. Posyandu Mawar berada di Dusun II, sedangkan di Dusun III terdapat dua unit Posyandu, yaitu Teratai I di Kampung Jaringao dan Teratai II di Kampung Cikoneng. Kegiatan Posyandu dilaksanakan secara rutin sebulan sekali. Selain Posyandu, terdapat pula kelembagaan Bina Keluarga Balita (BKB) dan Bina Keluarga Lansia (BKL) yang kegiatannya bersatu dengan Posyandu. Adapun kegiatan dalam BKB adalah penimbangan dan
34
pemberian makanan tambahan pada anak usia 0-5 tahun, sedangkan pada BKL, kegiatannya berupa penimbangan, pengukuran tekanan darah, dan pemeriksaan kesehatan lainnya. Selain itu, terdapat pula Bina Keluarga Remaja yang kegiatannya berupa penyuluhan-penyuluhan dari kecamatan, seperti penyuluhan tentang Narkoba. Kelembagaan lainnya di Desa Kemang adalah Koperasi Kemang Lestari yang berdiri sejak tahun 2008. Tujuan dibentuknya adalah untuk menampung barang-barang yang diproduksi oleh masyarakat setempat dan kemudian dipasarkan melalui koperasi tersebut. Adapun jenis barangnya tidak terbatas, apapun dapat diterima oleh koperasi ini. Oleh karena itu, koperasi ini disebut sebagai koperasi serba usaha. Selain itu, dalam koperasi ini juga terdapat kegiatan simpan pinjam anggota. Perlu diketahui, anggota koperasi ini tidak terbatas hanya masyarakat Desa Kemang, melainkan ada anggota dari luar desa, seperti dari Desa Sukaratu dan Desa Cihea. Selanjutnya, terdapat kelembagaan pertanian di Desa Kemang, yaitu Kelompok Wanita Tani yang dibentuk pada tahun 2010. Kelompok ini membudidayakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Adapun pembentukan kelompok ini dilakukan atas dasar adanya lomba antar desa. Terkait kelembagaan yang berhubungan dengan jejaring pengaman sosial, terdapat beberapa program, seperti Bantuan Langsung Tunai yang dimulai pada tahun 2008. Akan tetapi BLT tersebut hanya diberikan sebanyak dua kali dan saat ini sudah dihapuskan. Tiap bulannya rumahtangga miskin di desa ini juga mendapatkan beras melalui Program Beras Miskin atau Raskin. Selanjutnya, ada juga Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diberikan kepada setiap individu yang membutuhkan. Untuk mendapatkan kartu Jamkesmas, setiap warga dapat mengajukannya ke kantor desa. Kelembagaan
informal
yang
terdapat
di
Desa
Kemang
adalah
kelembagaan keagamaan (pengajian) keuangan (arisan), dan olahraga. Terdapat beberapa kelompok pengajian yang tersebar di setiap kampung. Rata-rata setiap kampung memiliki satu kelompok pengajian. Hanya saja di Kampung Jaringao terdapat dua kelompok dan di Kampung Cikupa terdapat tiga kelompok. Kelompok pengajian yang dikenal aktif adalah Kelompok Pengajian Miftahunnaja
35
di Kampung Kopeng. Dalam hal arisan, terdapat banyak kelompok arisan yang umumnya diikuti oleh kaum perempuan. Biasanya kelompok arisan itu dibentuk di dalam sebuah kelembagaan lain. Misalnya kelompok arisan kader Posyandu, kelompok arisan ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Selanjutnya, terdapat pula kelompok olahraga, seperti bola voli yang biasanya akan bertanding pada acaraacara tertentu antar RT.
4.4
Sarana dan Prasarana Desa Kemang memiliki sejumlah sarana dan prasarana yang menunjang
berbagai kegiatan masyarakat desa. Prasarana transportasi darat yang tersedia berupa jalan desa sepanjang 1000 meter untuk jalan aspal dan 2600 meter jalan tanah, namun keduanya dalam keadaan rusak. Selain itu, tersedia pula jalan aspal antar desa sepanjang 1850 meter dalam keadaan baik dan 3000 meter dalam keadaan buruk. Untuk menempuh perjalanan tersebut, tersedia sarana transportasi darat berupa ojek sebanyak 35 unit. Sarana dan prasarana lainnya berupa Balai Desa/Kantor Desa yang memiliki fasilitas berupa tujuh ruang kerja, tiga unit mesin tik, tiga belas unit meja, 83 unit kursi, tiga unit almanar arsip, tiga unit komputer, dan dua unit kendaraan dinas, serta dilengkapi pula oleh ketersediaan aliran listrik, telepon, dan air bersih. Selain itu, terdapat prasarana peribadatan berupa 21 unit masjid dan 31 unit langgar/surau/mushola. Dalam hal prasarana olahraga, terdapat enam lapangan bulutangkis dan 37 lapangan voli, serta sepuluh buah meja pingpong. Adapun prasarana pendidikan yang ada di desa ini di antaranya satu unit PAUD yang merupakan hasil dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), lima unit Sekolah Dasar (SD), satu unit Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan satu unit Sekolah Menengah Atas (SMA). Terdapat pula prasarana komunikasi dan informasi di Desa Kemang. Untuk komunikasi, terdapat dua buah BTS ponsel dari perusahaan swasta, XL dan Telkomsel. Jumlah pelanggan GSM sebesar 1895 pelanggan atau 34,45 persen dari total penduduk desa. Selanjutnya, prasarana informasi yang tersedia berupa 721 unit televisi dan delapan unit parabola, serta koran dan majalah.
36
Prasarana penting lainnya adalah prasarana air bersih dan sanitasi. Terdapat 284 unit sumur pompa dan 397 unit sumur gali. Sumber air bersih juga didapatkan dari sembilan mata air yang berada di desa ini. Di samping itu, tersedia pula delapan unit MCK umum sebagai prasarana sanitasi masyarakat. Sarana dan prasarana kesehatan yang terdapat di Desa Kemang antara lain empat unit Posyandu dan satu unit Puskesmas pembantu. Prasarana tersebut juga didukung oleh enam orang dukun bersalin terlatih, lima orang dukun pengobatan alternatif, dan seorang bidan.
37
BAB V PROFIL RUMAHTANGGA ADOPTER TELEPON SELULER DI KAMPUNG BEBER DAN CIKUPA
Bab ini menguraikan karakteristik individu anggota rumahtangga (selanjutnya ditulis ART) dan rumahtangga masyarakat adopter ponsel. Karakteristik individu ART meliputi jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, status perkawinan, dan tingkat pendidikan formal. Adapun karakteristik rumahtangga masyarakat adopter ponsel mencakup: penguasaan lahan, kepemilikan ternak dan benda-benda berharga. Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, total rumahtangga masyarakat adopter ponsel yang disurvei dalam penelitian ini sebanyak 58 rumahtangga yang berdomisili di dua kampung, yakni Beber dan Cikupa.
5.1 Karakteristik Anggota Rumahtangga Adopter Ponsel 5.1.1
Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin Hasil survei rumahtangga menunjukkan bahwa jumlah ART dari total
rumahtangga masyarakat adopter ponsel sebanyak 269 orang, atau rata-rata terdapat sekitar 5 orang per rumahtangga. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata jumlah ART pada rumahtangga adopter ponsel lebih tinggi dibanding rata-rata jumlah ART penduduk di Desa Kemang yang hanya empat orang per rumahtangga. Menurut jenis kelaminnya, ART adopter ponsel terdiri atas 144 orang laki-laki (53,53 persen) dan 125 orang perempuan (46,47 persen). Kondisi ini pun berbeda dengan kondisi umum penduduk Desa Kemang, dimana persentase penduduk
laki-lakinya sedikit lebih rendah dibanding penduduk
perempuan sebagaimana telah dikemukan pada bab sebelumnya.
5.1.2
Anggota Rumahtangga Menurut Kelompok Umur Tabel 8 di bawah ini menyajikan data komposisi ART adopter ponsel
menurut kelompok umur dan jenis kelamin.
38
Tabel 8 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Total (Tahun) <15 21,19 17,10 38,29 15-19 4,83 4,46 9,29 20-24 1,86 2,97 4,83 25-29 3,72 3,72 7,43 30-34 2,97 2,23 5,20 35-39 2,60 2,23 4,83 40-44 2,97 5,20 8,18 45-49 4,46 3,72 8,18 50-54 4,46 1,86 6,32 55-59 1,86 1,86 3,72 60-64 0,74 0,00 0,74 65+ 1,86 1,12 2,97 Total (persen) 53,53 46,47 100,00 Total (jumlah) 144 125 269 Berdasar pada Tabel 8 diketahui bahwa secara umum terdapat sekitar 59 persen ART adopter ponsel yang tergolong usia produktif (15-64 tahun). Adapun sisanya adalah mereka yang tidak produktif. Terhadap total rumahtangga contoh, diketahui pula bahwa ART laki-laki menunjukkan persentase sekitar 30,47 persen, atau sekitar dua persen lebih tinggi dari ART perempuan. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan data penduduk di Desa Kemang (Tabel 4) yang menunjukkan bahwa persentase penduduk laki-laki sedikit lebih tinggi dibanding perempuan pada kelompok umur bukan produktif. Berdasar pada pendapat Rusli (1995) tentang rumus analisis ketergantungan individu (dependency ratio)1, dapat diketahui besaran beban tanggungan setiap rumahtangga dengan cara menghitung rasio ART usia muda dan lanjut usia (lansia) dengan jumlah ART usia produktif. Dari data pada Tabel 8 di atas diperoleh nilai dependency ratio sebesar 70. Artinya setiap 100 orang ART usia produktif harus
menanggung 70 orang ART usia tidak produktif. Dengan perkataan lain, analisis ketergantungan individu menunjukkan bahwa adopter ponsel di Kampung Beber
1
Rumus dependency ratio = Jumlah penduduk umur 0-14 tahun dan 65+ Jumlah penduduk umur 15-64 tahun
39
dan Cikupa mempunyai tingkat ketergantungan yang rendah, yakni sekitar 0,7 atau kurang dari satu.
5.1.3
Anggota Rumahtangga Menurut Jenis Pekerjaan Dari total ART adopter ponsel terdapat 154 orang di antaranya tidak
bekerja, karena sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 8 di atas, terdapat ART yang tergolong anak di bawah usia lima tahun dan usia sekolah sebesar 47,6 persen. Selainnya adalah mereka yang tergolong usia lanjut (lansia), sekitar empat persen. Sehubungan dengan itu, data yang disajikan pada sub-bab ini hanya merujuk pada ART yang bekerja saja (115 orang). Tabel 9 menyajikan secara rinci jenis pekerjaan ART adopter ponsel di dua kampung, Beber dan Cikupa. Tabel 9 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2011 (dalam persen) Jenis Pekerjaan Utama Petani pemilik dan penggarap Petani penggarap Buruh tani Petani pemilik Pedagang Industri rumahtangga Buruh non-tani PNS Pensiunan PNS Lainnya Total (persen) Total (jumlah)
Laki-laki
Perempuan
Total
18,26
13,04
31,30
5,22 4,35 0,87 8,70 1,74 6,09 2,61 0,87 9,57 58,26 67
3,48 3,48 0,87 6,96 4,35 0,00 2,61 0,00 6,96 41,74 48
8,70 7,83 1,74 15,65 6,09 6,09 5,22 0,87 16,52 100,00 115
Diketahui bahwa jenis pekerjaan ART adopter ponsel pada umumnya dapat dikategorikan ke dalam tiga sektor, yakni pertanian, perdagangan dan jasa. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 9, diantara mereka yang bekerja di sektor pertanian terdiri atas mereka yang bekerja sebagai petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, petani penggarap, dan buruh tani. Adapun mereka yang bekerja di
40
sektor jasa terdiri atas mereka yang bekerja selaku PNS dan pensiunan PNS, serta buruh non-tani. Berdasar data pada Tabel 9, diketahui bahwa mayoritas ART adopter ponsel bekerja di sektor pertanian yakni sebesar 49,57 persen. Menurut jenis kelaminnya, persentase ART laki-laki yang bekerja disektor ini sebesar 28,7 persen, atau delapan persen lebih tinggi dibanding ART perempuan. Hal ini terjadi karena ART laki-laki umumnya berperan sebagai kepala keluarga, sehingga mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencari nafkah bagi anggota keluarganya. Lebih lanjut diketahui bahwa ART yang bekerja sebagai pedagang relatif tinggi (sekitar 16 persen). Hal ini dimungkinkan karena diantara rumahtangga adopter ponsel terdapat mereka yang memiliki warung, dan sekaligus menjadi pedagang pengumpul daun pisang serta gula aren, dua komoditi unggulan yang dikembangkan masyarakat di desa Kemang. Diantara mereka yang bekerja di sektor jasa, selain mereka bekerja sebagai buruh non-tani, juga meliputi mereka yang bekerja selaku PNS, dan pensiunan PNS. Buruh non-tani semuanya laki-laki, diantara mereka bekerja sebagai buruh bangunan dan buruh angkut kayu. Mereka yang tergolong lainnya adalah mereka yang bekerja selaku guru honorer dan tukang ojeg. Guru honorer tergolong relatif banyak, karena dewasa ini di Desa Kemang telah memiliki sekolah menengah, baik Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA), dimana guru-gurunya terdiri atas warga di dua kampung tersebut. Tukang ojeg juga relatif banyak, karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, desa ini relatif terisolir, dimana jumlah angkutan pedesaan yang melayani trayek ke desa ini relatif terbatas. Selainnya adalah ART perempuan yang bekerja sebagai penjahit yang menerima sejumlah pelanggan baik dari dalam maupun luar desa. Khusus mereka yang bekerja pada industri rumahtangga, mayoritas dilakukan oleh ART perempuan, dimana jumlah mereka sebanyak dua setengah kali lipatnya ART laki-laki. Hal ini dimungkinkan, sebagaimana dikemukakan Mugniesyah dan Mizuno (2003), diantara warga mengembangkan industri gula aren baik gula cetak maupun gula semut, yang diproduksi warga dari pohon aren yang tumbuh di lahan “pasir” mereka.
41
5.1.4
Status Perkawinan Anggota Rumahtangga Secara umum proporsi ART adopter ponsel yang berstatus kawin dan
belum kawin tidak berbeda jauh, dengan selisih persentase sekitar enam persen, seperti terlihat pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan, Tahun 2011 (dalam persen) Kelompok Umur <16 16-19 >19 Total (persen) Total (jumlah)
Kawin 0,00 0,00 46,84 46,84 126
Belum Kawin 39,78 8,92 4,46 53,16 143
Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, diketahui bahwa batas usia pernikahan bagi laki-laki adalah jika sudah mencapai umur 19 tahun dan bagi perempuan jika sudah mencapai umur 16 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Hal menarik yang didapat dari data pada Tabel 10 adalah bahwa tidak ditemukan ART adopter ponsel yang telah kawin pada umur di bawah 16
tahun maupun 19 tahun. Ini artinya, meskipun
sebelumnya banyak temuan yang menggambarkan bahwa ART di perdesaan cenderung melakukan pernikahan di usia muda, maka untuk saat sekarang keadaan tersebut telah mengalami perubahan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa dari total ART yang berstatus kawin, terdapat empat orang atau sekitar tiga persen ART yang telah berstatus janda/duda. Mereka yang berstatus janda/duda adalah ART adopter ponsel yang telah bercerai atau ditinggal meninggal oleh pasangannya. Janda/duda yang ditinggal pasangannya meninggal dunia paling banyak dialami oleh ART pada kelompok usia 65 tahun ke atas. Kondisi ini menunjukkan bahwa ART pada usia lanjut lebih memilih untuk hidup sendiri daripada menikah kembali, meskipun sebelumnya, dari hasil wawancara dan observasi banyak temuan ART yang mengalami perceraian dan menikah kembali, bahkan lebih dari satu kali.
42
5.1.5
Tingkat Pendidikan Formal Anggota Rumahtangga Pada Tabel 11 di bawah ini dikemukakan tingkat pendidikan formal ART
adopter ponsel, yang meliputi jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11, pendidikan formal ART adopter ponsel tergolong rendah, karena persentase tertinggi diantara mereka berpendidikan tamatan SD/sederajat.
Hal ini diduga karena adanya program wajib belajar
sembilan tahun dan tipikal masyarakat perdesaan di Indonesia yang pada umumnya merasa sudah cukup dengan hanya mengenyam pendidikan hingga tamat SD.
Tabel 11 Distribusi ART Adopter Ponsel menurut Tingkat Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin Tahun 2011 (dalam persen) Tingkat Pendidikan Formal Bersekolah di SD/sederajat Tamat SD/sederajat Bersekolah di SLTP/sederajat Tamat SLTP/sederajat Bersekolah di SMA/sederajat Tamat SMA/sederajat Perguruan Tinggi Total (persen) Total (jumlah)
Laki-laki
Perempuan
Total
9,29 28,32 1,33 3,98 1,77 2,65 2,65 50,00 113
12,83 25,22 3,10 1,77 2,21 2,65 2,21 50,00 113
22,12 53,54 4,42 5,75 3,98 5,31 4,87 100,00 226
Berdasar data pada tabel di atas, diketahui bahwa ART perempuan dan ART laki-laki yang bersekolah memiliki persentase yang sama. Jika dilihat dari perbandingan tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin, pada jenjang sekolah dasar, baik yang masih bersekolah maupun yang sudah tamat, persentase ART perempuan (38,05 persen) cenderung sedikit lebih tinggi dibanding ART laki-laki (37,61 persen). Begitu juga pada jenjang sekolah menengah atas, dimana persentase ART perempuan sedikit lebih tinggi dibanding ART laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan perguruan tinggi, persentase ART perempuan sedikit lebih rendah dibanding ART laki-laki. Hal yang menarik adalah bahwa pada persentase ART perempuan yang sedang bersekolah, baik di jenjang pendidikan SD, SLTP maupun SMA
43
menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibanding ART laki-laki. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menganggap anak laki-laki lebih didahulukan dalam mendapatkan pendidikan, tidak terjadi lagi pada masa sekarang. Kondisi ini diduga dapat terjadi karena zaman yang sudah semakin modern, sehingga pola pikir masyarakat pun semakin maju. 5.2 Karakteristik Rumahtangga Adopter Ponsel 5.2.1
Kepemilikan Benda Berharga Kepemilikan benda berharga di kalangan rumahtangga adopter ponsel
mencakup kepemilikan atas ternak, alat transportasi, dan alat-alat atau perabot rumahtangga. Terdapat empat jenis ternak yang dimiliki oleh rumahtangga adopter ponsel, yakni kambing, domba, ayam dan bebek. Tidak satu rumahtanggapun yang memiliki ternak besar, seperti sapi dan kerbau. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12, rata-rata kepemilikan ternak ayam menunjukkan jumlah tertinggi, sementara pada ternak domba menunjukkan jumlah paling rendah. Hal ini terkait dengan lahan pekarangan yang sempit di kedua kampung. Ternak domba dan kambing memerlukan kandang dan lahan pekarangan yang cukup luas dalam perawatannya. Begitu juga untuk ternak besar, seperti sapi dan kerbau. Oleh karena itu, rumahtangga adopter ponsel mayoritas berternak ayam dan bebek, yang dalam perawatannya tidak memerlukan kandang khusus serta lahan pekarangan yang luas. Tabel 12 Rata-rata Kepemilikan Ternak pada Rumahtangga Adopter Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Jumlah Rata-rata kepemilikan per Jenis Ternak (ekor) rumahtangga Kambing 18 0,31 Domba 12 0,21 Ayam 160 2,76 Bebek 53 0,91 Selanjutnya pada Tabel 13 disajikan data berkenaan benda berharga yang dimiliki rumahtangga adopter ponsel. Diketahui bahwa persentase tertinggi ada pada kepemilikan ponsel (HP) dengan rata-rata sebesar 1,8 per rumahtangga.
44
Kepemilikan HP ini paling banyak dibandingkan barang teknologi lainnya, karena masyarakat
telah
memposisikan
HP
sebagai
kebutuhan
primer
dalam
kehidupannya. Selain itu, kepemilikan HP dalam satu rumahtangga sangat dimungkinkan lebih dari satu buah dibanding dengan teknologi lainnya.
Tabel 13 Rata-rata Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga Adopter Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Kepemilikan Teknologi Rata-rata kepemilikan per Jumlah (unit) Rumahtangga rumahtangga Mobil Motor Sepeda TV Berwarna Ponsel Radio/Kaset DVD/VCD Kulkas Penanak Nasi Elektrik (Rice Cooker) Dispenser Mesin Cuci Komputer/ Laptop Lainnya
5 28 30 53 105 30 26 21
0.09 0.48 0.52 0.91 1.81 0.52 0.45 0.36
40
0.69
17 2 3 8
0.29 0.03 0.05 0.14
Kemudian rata-rata kepemilikan benda teknologi rumahtangga lainnya secara berturut-turut adalah televisi, rice cooker, radio/kaset, sepeda, motor, DVD/VCD, kulkas, dispenser, mobil, komputer dan yang terakhir adalah mesin cuci. Pada kategori lainnya, terdapat kepemilikan benda-benda teknologi yang khas hanya dimiliki oleh satu rumahtangga, seperti play station, modem, printer, mesin fotocopy, mesin jahit, mesin obras, mesin penggiling, dan blender.
5.2.1
Luas Lahan Usahatani Merujuk pada data sekunder (Mugniesyah dkk. 2007), luas lahan (sawah,
kebun pasir, pekarangan dan kolam) yang dikuasai rumahtangga adopter ponsel berkisar antara 0,07 ha sampai 8,76 ha, dengan rata-rata penguasaan lahan seluas
45
0,84 ha. Selanjutnya, dengan merujuk pada kriteria stratifikasi penguasaan lahan menurut Sayogyo (1990), diketahui bahwa mayoritas
rumahtangga adopter
tergolong lapisan atas, yaitu pada kisaran > 0,5 ha sebanyak 32,20 persen. Tabel 14 Distribusi Rumahtangga Adopter Ponsel Menurut Penguasaan Lahan Usahatani di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam jumlah dan persen) Kategori Luas Lahan (Ha) Jumlah (jiwa) Persen (%) 19 32,20 Tidak berlahan (tunakisma) 6 10,17 <0,25 15 25,42 0,25-0,5 19 32,20 >0,5 59 100 Total Namun demikian, lahan yang dikuasai rumahtangga adopter ponsel yang paling dominan adalah berupa kebun pasir, sebesar 88,87 persen, sedangkan lahan sawah hanya 10,97 persen saja. Lebih luasnya penguasaan kebun pasir sesuai dengan kondisi Desa Kemang, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Dengan demikian, meskipun tergolong strata lapisan atas, dimungkinkan tidak berkorelasi positif dengan tingkat sosial ekonomi mereka, sebagaimana tercermin dari tingkat pendidikan ART serta kepemilikan ternak dan benda berharga sebagaimana dikemukakan di atas.
46
BAB VI UNSUR-UNSUR DIFUSI INOVASI TELEPON SELULER
Merujuk pada definisi difusi inovasi menurut Rogers dan Shoemaker (1971), terdapat empat unsur dalam proses difusi, yaitu: (1) inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) waktu, dan (4) sistem sosial. Sehubungan dengan itu, bab ini akan menjelaskan keempat unsur difusi tersebut, diikuti
kemudian dengan
penjelasan karakteristik adopter dan laju adopsi inovasi ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa.
6.1 Proses Difusi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa 6.1.1
Inovasi Ponsel Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, inovasi adalah
suatu gagasan, praktek atau objek yang dipandang sebagai baru oleh individu. Inovasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ponsel. Pada umumnya, khususnya bagi masyarakat perkotaan, ponsel bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun, bagi sebagian besar masyarakat perdesaan, terutama desa-desa yang terpencil, ponsel merupakan hal yang masih baru. Begitupun bagi masyarakat di Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, ponsel dianggap sebagai sebuah inovasi. Hal tersebut dikarenakan, sebagian besar penduduk di Desa Kemang dapat mengakses ponsel baru setelah berdirinya BTS XL pada tahun 2008, meskipun sebelumnya mereka telah mendengar/mengenal ponsel. Terkait hal tersebut, sekitar 93 persen adopter menggunakan kartu XL sebagai provider ponsel mereka. Adapun merek ponsel yang sebagian besar digunakan oleh adopter adalah Nokia, yaitu sekitar 76 persen, sementara sisanya adalah ponsel-ponsel produksi Cina (MITO, VISIO, CROSS, dan NEXIAN). Harga ponsel yang dibeli adopter berkisar antara Rp 100.000,00 sampai Rp 2.000.000,00 , dengan harga rata-rata Rp 570.000,00. Secara umum, jenis fitur/fasilitas yang tersedia di dalam ponsel adopter bervariasi, tidak hanya dapat digunakan untuk telepon dan SMS, namun sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti kamera, video, radio, MP3 player, game, dan internet.
47
Sekitar 48 persen adopter, belum pernah mengganti ponselnya dari awal pembelian sampai penelitian dilakukan. Namun demikian, terdapat pula adopter yang telah mengganti ponselnya satu sampai dengan empat kali, dengan persentase berturut-turut sekitar 16 persen (sekali ganti ponsel), 25,33 persen (dua kali ganti ponsel), 6,67 persen (tiga kali ganti ponsel), dan 5,33 persen (empat kali ganti ponsel). Hal tersebut, dilakukan karena ponsel yang digunakan adopter rusak atau hilang. Alasan lainnya adalah mengikuti perkembangan model ponsel yang semakin canggih dan modern, serta ada yang sengaja menjual kembali ponselnya dan menggantinya dengan harga yang lebih murah, khususnya karena masalah ekonomi.
6.1.2
Saluran Komunikasi Mengacu pada Rogers dan Shoemaker (1971), saluran komunikasi adalah
cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Tabel 15 di bawah ini menjelaskan tentang sejumlah sumber informasi inovasi ponsel di kalangan adopter. Ditinjau dari penyebarannya, informasi berkenaan inovasi ponsel lebih banyak diterima adopter dari saluran komunikasi interpersonal, yaitu kelurga inti, teman, dan/atau kombinasi keduanya dengan persentase sekitar 43 persen. Namun demikian, secara umum persentase tertinggi sumber informasi inovasi ponsel bagi para adopter di kedua kampung berasal dari teman serta kombinasi antara teman, media elektronik, dan media cetak dengan persentase yang hampir sama sekitar 24 persen. Sementara, jika dilihat per kampung, sumber informasi inovasi ponsel di Kampung Beber mayoritas berasal dari kombinasi antara teman, media elektronik, dan media cetak, sedangkan di Kampung Cikupa mayoritas berasal dari teman saja. Hal ini karena tingkat status sosial ekonomi adopter di Kampung Beber lebih tinggi dibanding dengan adopter di Kampung Cikupa, sehingga kepemilikan media massa elektronik lebih banyak dimiliki oleh adopter di Kampung Beber.
48
Tabel 15 Distribusi Adopter menurut Sumber Informasi tentang Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Tahun 2011 (dalam persen) Sumber Informasi Keluarga Inti Teman Media Elektronik Media Cetak Keluarga Inti+Teman Keluarga Inti+Teman+Media Elektronik Keluarga Inti+Teman+Media Elektronik+Media Cetak Keluarga Inti+Media Elektronik Teman +Media Elektronik+Media Cetak Media Elektronik+Media Cetak Total (persen) Total (jumlah)
Beber
Cikupa
Total
5,33 12,00 1,33 0,00 5,33 4,00
6,67 12,00 1,33 1,33 1,33 10,67
12,00 24,00 2,67 1,33 6,67 14,67
1,33
0,00
1,33
10,67 15,99 0,00 56,00 42
1,33 8,00 1,33 44,00 33
12,00 23,99 1,33 100,00 75
Selanjutnya, jika dilihat dari akumulasi saluran komunikasi interpersonal dan media massa, data di atas menunjukkan bahwa saluran komunikasi interpersonal lebih dominan dibanding saluran media massa. Hal ini sesuai dengan pendapat Rogers dan Shoemaker yang menyatakan bahwa saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif mengubah pengetahuan tentang inovasi.
6.1.3
Waktu Inovasi ponsel telah dikenal oleh masyarakat di Kampung Beber dan
Cikupa sejak sekitar 15 tahun lalu, yang ditandai oleh kepemilikan salah satu warga akan ponsel yang pertama kali pada tahun 1995. Warga tersebut adalah mereka yang berhubungan dengan orang di luar desa khususnya di perkotaan, seperti pengusaha. Tabel 16 di bawah ini menunjukkan jumlah individu yang mengadopsi inovasi ponsel setiap tahunnya di kedua kampung.
49
Tabel 16 Jumlah Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa menurut Tahun Adopsinya (dalam persen) Tahun menerapkan inovasi ponsel
Beber
Cikupa
Total
1995 1999 2000 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Total (persen) Total (jumlah)
1 0 3 0 5 3 4 16 5 15 4 56 42
0 1 1 1 1 0 15 3 11 7 4 44 44
1 1 4 1 7 3 19 19 16 21 8 100 75
Jika dilihat dari penyebarannya di tiap kampung, data pada Tabel 16 menunjukkan warga yang pertama kali mengadopsi ponsel berasal dari Kampung Beber. Selanjutnya warga di Kampung Cikupa mulai mengadopsi inovasi ponsel meskipun persentasenya sangat rendah. Diketahui pula bahwa adopter ponsel di kedua kampung meningkat sejak memasuki tahun 2005. Hal ini dikarenakan munculnya ponsel dengan berbagai
merek, tipe, dan harga, semakin
mempermudah akses individu terhadap ponsel. Di samping itu, peningkatan jumlah adopter ponsel dikarenakan banyaknya masyarakat desa yang mulai melakukan migrasi sirkuler2 ke perkotaan, baik untuk urusan pekerjaan atau sekolah, kemudian mereka menggunakan ponsel di tempat perantauan. Selanjutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahun 2008, tepatnya pada bulan Agustus, perusahaan XL mendirikan BTS di Desa Kemang, yang letaknya di Kampung Beber. Kehadiran BTS ini telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel dan kemudian memicu masyarakat untuk menggunakan ponsel.
2
Menurut Zelinsky (1986) dalam Rusli (1995), sirkulasi atau migrasi sirkuler adalah berbagai macam gerak penduduk yang biasanya berciri jangka pendek, repetitif, atau siklikal dan mempunyai kesamaan dalam hal tidak adanya niat yang jelas untuk mengubah tempat tinggal permanaen. Sirkulasi merupakan gerak “berselang” antara tempat tinggal dan tempat tujuan baik untuk bekerja maupun untuk tujuan lain seperti sekolah.
50
6.1.4
Sistem Sosial Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial, karenanya struktur sosial
dalam sistem mempengaruhi pola-pola difusi inovasi. Selanjutnya, di dalam struktur sosial tersebut terdapat peranan-peranan yang dimainkan oleh individuindividu tertentu, khususnya pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya. Tokoh masyarakat yang berperan penting dalam penyebaran inovasi ponsel di Kampung Beber dan Cikupa adalah para pemilik lahan yang meyewakan lahannya kepada perusahaan XL dan Telkomsel sebagai tempat berdirinya BTS, karena mereka telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel. Salah seorang pemilik lahan di Kampung Cikupa yang lahannya disewa oleh perusahaan XL adalah Bapak JLN, Pertama kali perusahaan XL masuk ke Desa Kemang adalah untuk mencari lahan dimana terdapat titik sinyal. Namun, yang datang ke desa bukanlah pihak langsung perusahaan, akan tetapi melalui calo. Sebenarnya, titik sinyal itu berada di area Kantor Desa Kemang, akan tetapi lahan tersebut milik pemerintah. Pihak perusahaan menyatakan malas jika harus berurusan dengan pemerintah, karena prosedurnya yang rumit. Akhirnya, calo yang mewakili perusahaan tersebut mencari lahan kosong yang berjarak sekitar 100 meter dari titik sinyal dan menemukan lahan sawah milik Bapak JLN.. Proses negosiasi pun dimulai antara calo dan Bapak JLN yang diwakili oleh anaknya, Bapak HRL. Penawaran harga sewa tanah pertama adalah 75 juta rupiah per lima belas tahun, akan tetapi pada saat penandatanganan perjanjian di depan notaris, 24 Mei 2008, harga yang disepakati adalah 65 juta rupiah per lima belas tahun. Hal itupun sampai saat ini masih menjadi misteri, namun diduga telah terjadi kecurangan pada pihak perusahaan, karena tidak lama dari proses tersebut, penanggungjawab dari pihak perusahaan dipecat dari pekerjaannya. Proses perjanjian
ini
juga
melibatkan
pihak
kecamatan
dan
desa.
Setelah
penandatanganan perjanjian, pembangunan menara BTS pun dimulai. Tenaga kerja yang digunakan adalah dari masyarakat setempat, akan tetapi untuk bagian
51
konstruksi tenaganya disiapkan dari perusahaan. Proses pembangunan pun berjalan kurang lebih selama empat bulan, dari bulan Mei hingga Agustus 2008. Selain itu, pihak perusahaan pun mengadakan sosialisasi akan bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh menara BTS kepada warga masyarakat yang berdomisili pada radius 60 meter dari wilayah menara BTS. Selanjutnya, kepada mereka diberi uang kompensasi oleh perusahaan sebesar Rp 250.000,00 per jiwa. Selain itu, kepada mereka perusahaan juga memberikan jaminan untuk mengganti atau memperbaiki alat-alat elektronik milik mereka yang rusak akibat berdirinya menara BTS tersebut. Untuk pemeliharaan menara BTS XL, perusahaan menunjuk Bapak HRL dengan memberikan insentif setiap bulannya. Sebagaimana diketahui, di Kampung Beber terdapat dua buah BTS, selain BTS XL berdiri pula BTS Telkomsel yang didirikan di lahan milik Bapak HAS. Proses negosiasi antara perusahaan Telkomsel dan Bapak HAS tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan antara perusahaan XL dan Bapak JLN. Lahan tersebut dipilih karena titik sinyal Telkomsel berada tepat di lahan itu. Penawaran harga sewa pada mulanya sebesar 70 juta rupiah per sepuluh tahun, akan tetapi pada akhirnya harga sewa menjadi 60 juta rupiah per sepuluh tahun, karena sisa dana yang sebesar 10 juta rupiah digunakan untuk insentif tim survei dan dana kompensasi bagi warga masyarakat yang berdomisili di sekitar lahan yang akan dijadikan tempat pembangunan BTS. Proses survei hingga pembangunan selesai telah menghabiskan waktu sekitar tiga bulan, dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Selain berperan dalam menyewakan lahannya, Bapak HAS juga merupakan tokoh masyarakat yang memiliki ponsel pertama kali di Kampung Beber dan Cikupa. Beliau adalah seorang pengusaha daun pisang yang banyak membantu masyarakat dalam pembangunan desa. Meskipun Bapak HAS berpendidikan tamat Sekolah Dasar (SD), tetapi dia lebih terdedah terhadap media massa, lebih kosmopolit karena lebih sering berkomunikasi dengan agen perubah (perusahaan provider), dalam hal aksesibilitas, serta memiliki partisipasi sosial yang lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya dan lebih inovatif. Secara umum, sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat heterogenitas karakteristik anggota sistim sosial di dua kampung, Beber dan Cikupa, namun
52
demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Mugniesyah (2007), sebagian besar warga di dua kampung tersebut memiliki hubungan sistim kekerabatan yang kuat, baik karena faktor genealogis (keturunan) maupun melalui sistim perkawinan. Hasil studi
Mugniesyah tersebut melaporkan bahwa dari total 125 anggota
rumahtangga di dua kampung tersebut di atas, terdapat 50,4 persen pasangan suami isteri yang berasal dari kampung yang berbeda dan sekitar 16 persen menikah dengan
pasangan yang berasal dari kampung yang sama di Desa
Kemang.
6.2 6.2.1
Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Kurva Penerimaan Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), Rogers dan Shoemaker (1971)
menyatakan bahwa adanya variabel waktu dalam difusi inovasi memungkinkan para peneliti menglasifikasikan kategori adopter dan membuat plot kurva difusi. Dinyatakan oleh kedua ahli komunikasi tersebut, bahwa secara umum jika suatu inovasi diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu, kita akan menemukan bahwa jumlah orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Secara empiris -walaupun tidak semua hasil penelitian demikian- diketahui bahwa jika pengadopsi (adopter) dalam suatu periode waktu tertentu diplotkan menurut frekuensi akan membentuk suatu kurva berbentuk genta (Bell-shape curve), sementara jika diplotkan secara kumulatif akan menghasilkan kurva berbentuk S. Gambar 3 di bawah ini menyajikan kurva penerimaan inovasi ponsel di kalangan adopter, yang dibuat berdasar data pada Tabel 16 di atas.
53
Individu yang menerapkan inovasi ponsel
120 100
100 92
80 71 60
55
40
36
20 14 0
Persen
17
7 6 2 1 1995 1999 2000 2003 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun menerapkan inovasi ponsel
Gambar 3 Kurva Akumulasi Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa pada Periode Tahun 1995-2011 Hasil penelitian yang dilakukan di Kampung Beber dan Cikupa menunjukkan bahwa penerimaan inovasi ponsel menyerupai bentuk Kurva-S (cumulative S-curve). Sebagaimana terihat pada gambar di atas, distribusi adopter ponsel meningkat sangat lambat dari tahun 1995 sampai pada tahun 2007. Hal tersebut dimungkinkan karena pada periode tersebut, akses adopter terhadap ponsel masih sangat terbatas, salah satunya dari aspek jaringan ponsel.
Di
samping itu, harga ponsel, kartu, dan pulsa masih relatif mahal di kala itu, sedangkan secara umum adopter ponsel di kedua kampung tergolong miskin. Selanjutnya, pada periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. terjadi percepatan peningkatan adopter ponsel sampai maksimum –sampai penelitian berlangsung- ketika hampir separuh dari individu-individu dalam sistem sosial telah mengadopsi inovasi ponsel. Kondisi ini terjadi karena dipicu oleh hadirnya BTS XL dan BTS Telkomsel yang telah membuka akses masyarakat setempat terhadap jaringan ponsel yang memadai. Selain itu, semakin tahun, harga ponsel, kartu, dan pulsa semakin dapat dijangkau oleh masyarakat.
54
6.2.2
Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Cikupa Rogers dan Shoemaker (1971)
mengemukakan adanya lima kategori
adopter dalam setiap sistem sosial yang ditentukan berdasarkan tingkat keinovativannya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, tingkat keinovativan adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu sejak mendengar atau mengenal inovasi ponsel sampai dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan mempertimbangkan kurun waktu sejak diintroduksikannya ponsel ke warga masyarakat (tahun 1995) sampai dengan penelitian ini berlangsung (2011), pengategorian adopter dalam penelitian ini ditetapkan sebagai
berikut: (a)
inovator (innovator), adalah adopter inovasi ponsel pada periode tahun 19951998, (b) Penganut Dini (early adopter), adalah adopter inovasi ponsel pada periode tahun 1999-2001, (c) Penganut Dini Terbanyak (early majority), yakni mereka yang mengadopsi ponsel pada periode tahun 2002-2004, (d) Penganut Lambat Terbanyak (late majority), adalah adopter inovasi ponsel pada periode 2005-2007, dan (e) Penolak (laggards), yakni mereka yang mengadopsi inovasi ponsel pada periode 2008-2011. Dengan kategori tersebut di atas, maka didapatkan jumlah dan kategori golongan penerima inovasi ponsel di kedua kampung seperti pada gambar di bawah ini.
Individu yang Menerapkan Inovasi Ponsel
70 64
60 50 40 30
29
persen
20 10 5 0
Gambar 4
1 Innovator
1 Early Early Late Adopter Majority Majority Kategori Adopter
Laggards
Kurva Kategori Adopter Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa pada Tahun 2011
55
Kurva kategori adopter yang terbentuk pada Gambar 4 tidak membentuk genta (Bell-shape curve), karena tidak mengikuti suatu sebaran normal, sehingga tidak sejalan dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi diperkenalkan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan menemukan bahwa individu yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Hal ini dimungkinkan karena belum semua warga di dua kampung disurvei, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub-bab 3.4 tentang Kelemahan Penelitian. Persentase pada kategori adopter innovator sebesar satu persen, lebih rendah jika dibandingkan dengan acuan baku Rogers dan Shoemaker (1971), yaitu 2,5 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi nasional pada saat itu (tahun 1995-1998) sedang mengalami krisis moneter, dimana harga berbagai kebutuhan pokok melonjak tajam. Kondisi tersebut berdampak pada keadaan perekonomian masyarakat Desa Kemang yang semakin lemah. Harga ponsel pun saat itu masih relatif mahal dan hanya terdapat di pusat-pusat kota, sehingga sebagian besar masyarakat tidak mengenal ponsel, kecuali mereka yang tergolong kaya dan berhubungan dengan orang-orang di luar desa. Kategori
adopter
innovator
merupakan
golongan
yang
pertama
menerapkan inovasi ponsel dalam kehidupan sehari-harinya. Dia adalah seorang pengusaha daun pisang setempat yang telah berhasil memenuhi kebutuhan para konsumen daun pisang hingga ke luar provinsi. Dari total adopter di kedua kampung, dia tergolong orang paling kaya dengan penguasaan lahan lebih dari lima hektar dan kepemilikannya atas beberapa benda elektronik dan kendaraan bermotor. Selanjutnya, pada golongan early adopter terjadi peningkatan persentase adopter ponsel sekitar empat persen. Namun kategori ini bukan terdiri dari tokoh masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker (1971). Mereka ini adalah pedagang dan PNS yang memiliki tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi yang tinggi, serta berhubungan dengan orang di luar desa. Kemudian, terjadi penurunan persentase adopter pada kategori early majority yang diduga disebabkan oleh kemampuan adopter ponsel pada saat itu, baik secara finansial maupun informasi terkait ponsel masih sangat terbatas. Selanjutnya, pada kategori late majority dan laggards, terjadi peningkatan persentase adopter yang tinggi. Dimungkinkan hal ini terjadi karena, beberapa
56
dari mereka melakukan migrasi ke luar desa, baik untuk urusan pekerjaan maupun sekolah. Kondisi tersebut didukung oleh masuknya Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Desa Kemang, yang memungkinkan para pelajar SMP dan SMA memiliki informasi tentang inovasi ponsel dari peer group mereka. Di samping itu, sarana dan prasarana di Desa Kemang semakin memadai, dengan dibangunnya BTS yang telah membuka akses adopter ponsel akan jaringan ponsel itu sendiri. Ponsel dengan berbagai merek dan harga, dari yang murah hingga yang mahal juga sudah dapat diakses oleh para adopter, sehingga adopter dengan kondisi ekonomi yang rendah pun dapat menjangkaunya Setiap kategori adopter memiliki ciri-ciri khusus dan berbeda satu sama lain, kecuali kategori adopter early majority, late majority, dan laggards yang memiliki kesamaan baik status sosial ekonomi, pola hubungan maupun sumber informasi inovasi ponsel, seperti yang terlihat pada Tabel 17. Tabel 17 Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi Ponsel Dilihat Menurut Kategori Penerima di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Tahun 2011 Ciri-ciri
Innovator
Tahun 1995-1998 Mengadopsi inovasi ponsel Status sosial tinggi dan ekonomi Pola hubungan lebih komunikasi kosmopolit dari kategori lain
Sumber informasi inovasi ponsel
Kategori Adopter Inovasi Ponsel Early Early Late Laggards Adopter Majority Majority 1999-2001 2002-2004 2005-2007 2008-2011
sedang
lebih lokalit daripada innovator, lebih kosmopolit dari kategori lainnya rekan bisnis rekan bisnis, di perkotaan kerja, dan atau sekolah di perkotaan
sedang
sedang
sedang
lokalit
lokalit
lokalit
rekan bisnis, kerja, dan atau sekolah di perkotaan
keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media massa
keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media massa
Secara umum Rogers dan Shoemaker (1971) membuat generalisasi bahwa kategori adopter innovator memiliki karakteristik pribadi (variabel pengaruh) yang lebih tinggi dibanding kategori adopter early adopter dan kemudian diikuti
57
oleh kategori adopter lainnya. Berdasarkan Tabel 17 dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kategori adopter inovasi ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa sesuai dengan generalisasi Rogers dan Shoemaker, karena pada kategori innovator, status sosial ekonomi berada pada kategori tinggi –yang dilihat dari penguasaan lahan dan kepemilikan sejumlah benda berharga-, pola hubungan lebih kosmopolit, dan sumber informasi inovasi ponsel berasal dari rekan bisnis di perkotaan. Berbeda dengan kategori adopter early adopter, dimana status sosial ekonominya berada pada kategori sedang, pola hubungannya lebih lokalit daripada innovator akan tetapi lebih kosmopolit dibanding kategori adopter lain, dan sumber informasi inovasi ponsel berasal dari rekan bisnis, kerja dan atau sekolah di perkotaan. Sama halnya dengan kategori early adopter, pada kategori early majority, late majority, dan laggards status sosial ekonominya berada pada kategori sedang, namun pola hubungannya lokalit, dan sumber informasi inovasi ponsel memiliki kesamaan, yaitu: keluarga, teman sebaya, tetangga, dan media massa. Kecuali pada kategori early majority sumber informasi inovasi ponselnya sama dengan pada kategori early adopter.
6.3
Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971), laju adopsi
adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini diukur sebagai jumlah adopter inovasi dalam suatu sistem sosial pada periode waktu tertentu. Tabel 18 di bawah ini menyajikan data adopter di Kampung Beber dan Kampung Cikupa.
Tabel 18 Laju Adopsi Inovasi Ponsel di Kampung Beber dan Kampung Cikupa pada Tahun 2011 Kampung Beber Cikupa
Jumlah Rumahtangga Adopter Ponsel 33 25
Total Rumahtangga
Laju Adopsi Ponsel (dalam persen)
118 150
28 17
Data pada Tabel 18 menunjukkan bahwa laju adopsi di kedua kampung rendah, akan tetapi laju adopsi di Kampung Beber lebih tinggi sekitar 11 persen dibanding adopter yang berada di Kampung Cikupa. Hal ini disebabkan karena
58
Kampung Beber merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan di Desa Kemang, di mana warga masyarakat yang bekerja sebagai PNS dan pensiunan PNS serta pedagang pengumpul kelas desa berlokasi. sehingga masyarakatnya diduga lebih terdedah akan berbagai informasi. Selain itu, masyarakat di Kampung Beber sebagian besar berstatus sosial ekonomi menengah sampai tinggi. Akses masyarakat terhadap jaringan ponsel pun lebih terbuka, karena letak BTS XL dan BTS Telkomsel dekat dengan kampung ini. Selanjutnya, Kampung Cikupa memiliki laju adopsi yang lebih rendah diduga karena sebagian besar masyarakatnya berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah dan wilayah kampung ini cukup padat penduduk.
59
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIVAN DAN LAJU ADOPSI INOVASI TELEPON SELULER
Bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji statistik atas sejumlah hipotesis berkenaan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel yang meliputi: karakteristik inovasi ponsel, tipe PK inovasi ponsel, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, promosi oleh agen perubah dan karakteristik individu.
7.1
Hubungan antara Karakteristik Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam penelitian ini diduga
terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada karakteristik inovasi ponsel –kecuali pada Tingkat Kerumitan dengan Tingkat Keinovativan dan Laju adopsi. Namun demikian, untuk variabel Tingkat Kemungkinan Dicoba tidak dapat dilihat hubungannya dengan kedua variabel terpengaruh dalam penelitian ini, karena data tentang hal tersebut tergolong homogen. Sebagaimana dikemukakan di depan, hal ini terjadi karena ponsel sudah sangat mudah dicobakan di Desa Kemang, baik dari ketersediaan jaringan ponsel (adanya 2 BTS), infrastruktur listrik, maupun agen penjual pulsa. Data berkenaan hubungan antara empat variabel pengaruh pada karakteristik inovasi ponsel dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel di dua kampung di Desa Kemang disajikan pada Tabel 19. Adapun data pendukung berkenaan semua variabel pengaruh dan terpengaruh dalam penelitian ini, khususnya menurut tiga kriteria sebagaimana dikemukakan dalam definisi operasional serta parameter statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 3.
60
Tabel 19 Hubungan antara Karakteristik Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) Variabelvariabel
Tingkat Keinovativan (Y1) Total
Karakteristik
Inovasi Rendah Sedang Ponsel Tingkat Keuntungan Relatif (X1) Rendah 5,33 6,67 Sedang 21,33 33,33 Tinggi 5,33 16,00 Total 32,00 56,00 Tingkat Kesesuaian (X2) Rendah 5,33 8,00 Sedang 8,00 17,33 Tinggi 18,67 30,67 Total 32,00 56,00 Tingkat Kerumitan (X3) Rendah 17,33 34,67 Sedang 10,67 14,67 Tinggi 4,00 6,67 Total 32,00 56,00 Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) Rendah 9,33 9,33 Sedang 9,33 18,67 Tinggi 13,33 28,00 Total 32,00 56,00
Tinggi
Laju Adopsi (Y2) Rendah
Tinggi
Total
0,00 5,33 6,67 12,00
12,00 60,00 28,00 100,0
4,00 33,33 6,67 44,00
8,00 26,67 21,33 56,00
12,00 60,00 28,00 100,0
0,00 4,00 8,00 12,00
13,33 29,33 57,33 100,00
4,00 10,67 29,33 44,00
9,33 18,67 28,00 56,00
13,33 29,33 57,33 100,00
5,33 2,67 4,00 12,00
57,33 28,00 14,67 100,00
26,67 10,67 6,67 44,00
30,67 17,33 8,00 56,00
57,33 28,00 14,67 100,00
0,00 5,33 6,67 12,00
18,67 33,33 48,00 100,00
10,67 20,00 13,33 44,00
8,00 13,33 34,67 56,00
18,67 33,33 48,00 100,00
Berdasarkan data pada Tabel 19 di atas diketahui bahwa secara umum mayoritas Tingkat Keinovativan adopter ponsel di dua kampung berada pada kategori sedang, sementara Laju Adopsinya tergolong tinggi, dengan persentase yang sama untuk kedua variabel terpengaruh tersebut (56 persen). Data pada tabel di atas memperlihatkan bahwa mayoritas
adopter menyatakan bahwa tingkat
kesesuaian dan tingkat kemungkinan diamati inovasi ponsel tergolong tinggi, dengan persentase berturut-turut sekitar 57 persen dan 48 persen. Sebaliknya, dalam hal tingkat kerumitan, mayoritas menganggapnya tergolong rendah (57 persen). Namun demikian, adopter yang menyatakan bahwa keuntungan relatif mengadopsi ponsel tergolong sedang dan tinggi (88 persen). Kondisi ini mendukung hasil uji korelasi rank Spearman dari empat variabel pengaruh
61
tersebut dengan Tingkat Keinovativan sebagaimana disajikan pada Lampiran 4. Pada Lampiran 4 diketahui Tingkat Keinovativan berhubungan nyata dengan Tingkat Keuntungan Relatif dengan nilai rs= 0,249 pada taraf α= 0,05; sedangkan Tingkat Kemungkinan Diamati (rs =0,157) dan Tingkat Kerumitan (rs= 0,040) berhubungan nyata dengan Tingkat Keinovativan berturut-turut pada taraf α= 0,10 dan α= 0,30. Dengan perkataan lain, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti dengan tingkat signifikansi sebesar 0,05 variabel Tingkat Keuntungan Relatif dianggap berhubungan dengan Tingkat Keinovativan. Adapun Tingkat Kemungkinan Diamati (α= 0,10) dan Tingkat Kerumitan (α= 0,30) berturut-turut dianggap cukup berhubungan dan kurang baik berhubungan dengan Tingkat Keinovativan. Dalam hal Laju Adopsi data pada Lampiran 4 memperlihatkan hasil uji korelasi rank Spearman yang menunjukkan bahwa Tingkat Kemungkinan Diamati (rs= 0,289) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, sedangkan Tingkat Keuntungan Relatif (rs= 0,162) dan Tingkat Kesesuaian (rs= -0,172) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,10. Hanya Tingkat Kerumitan (rs= 0,045) yang berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α > 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat diartikan bahwa Tingkat Kemungkinan Diamati dengan signifikansi 0,05 dianggap berhubungan dengan Laju Adopsi. Selanjutnya, variabel-variabel dengan tingkat signifikansi 0,10, yakni Tingkat Keuntungan Relatif dan Tingkat Kesesuaian dianggap cukup berhubungan dengan Laju Adopsi. Adapun Tingkat Kerumitan dengan signifikansi lebih dari 0,30 dianggap sangat tidak berhubungan dengan Laju Adopsi.
7.2
Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Tabel 20 menyajikan data berkenaan hubungan antara variabel Tipe PK
Inovasi Ponsel (X6) dengan Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi (Y2). Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, persentase mereka yang mengadopsi ponsel karena pihak otoritas sangat rendah; karena mayoritas diantara mereka memutuskan mengadopsi ponsel atas dasar keputusan kolektif diantara keluarga inti mereka, diikuti oleh keputusan yang opsional. Sebagaimana telah
62
dikemukakan sebelumnya, inovasi ponsel bukan inovasi yang diintroduksikan melalui program pemerintah, sehingga Tipe PK Inovasi Ponsel pada kategori otoritas tergolong rendah (menjadi minoritas).
Tabel 20 Hubungan antara Tipe PK Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) Tipe PK Inovasi Ponsel (X6) Otoritas Kolektif Opsional Total
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah Sedang Tinggi 0,00 20,00 12,00 32,00
1,33 37,33 17,33 56,00
0,00 2,67 9,33 12,00
Total 1,33 60,00 38,67 100,00
Laju Adopsi (Y2) Rendah Tinggi 1,33 25,33 17,33 44,00
0,00 34,67 21,33 56,00
Total 1,33 60,00 38,67 100,00
Berdasar data pada tabel di atas, diketahui bahwa Tipe PK Inovasi Ponsel di kalangan adopter ponsel mayoritas tergolong Tipe PK Kolektif, diikuti oleh Tipe PK Opsional. Hal ini tampaknya berhubungan dengan fakta bahwa mereka dengan PK Inovasi tipe kolektif terdiri atas adopter yang tidak bekerja, yakni pelajar dan pekerja keluarga yang memerlukan persetujuan keluarga inti untuk mengadopsi ponsel, sementara pada mereka dengan Tipe PK opsional sebagian besar adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS, petani dan pedagang. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan Tipe PK Inovasi Ponsel (rs= 0,131) dengan Tingkat Keinovativan menunjukkan hubungan positif pada taraf α= 0,20. Sementara, Tipe PK Inovasi Ponsel (rs= 0,006) berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α> 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti bahwa Tipe PK Inovasi Ponsel dianggap kurang baik berhubungan dengan Tingkat Keinovativan dan sangat tidak baik berhubungan dengan Laju Adopsi.
7.3
Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan postif antara variabel pada saluran komunikasi,
yaitu Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) dengan Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi (Y2). Tabel 21 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut di atas.
63
Tabel 21 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) Tingkat Keragaman Sumber Informasi (X7) Rendah Sedang Tinggi Total
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah
Sedang
Tinggi
10,67 13,33 8,00 32,00
16,00 22,67 17,33 56,00
6,67 4,00 1,33 12,00
Laju Adopsi (Y2) Total 33,33 40,00 26,67 100,00
Rendah
Tinggi
16,00 14,67 13,33 44,00
17,33 25,33 13,33 56,00
Total 33,33 40,00 26,67 100,00
Berdasar data tabel di atas, dapat dilihat bahwa Tingkat Keragaman Sumber Informasi inovasi ponsel bagi adopter ponsel terdistribusi pada ketiga kelas, meskipun persentase tertinggi berada pada kategori sedang. Sementara itu, jika dilihat dari hasil uji statistik, Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (rs= -0,067) berhubungan nyata dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,30 dan berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α> 0,30 dengan nilai rs= -0,003. Dengan perkataan lain, merujuk pada Purnaningsih (2006), Tingkat Keragaman Sumber Informasi dianggap kurang baik berhubungan dengan Tingkat Keinovativan dan sangat tidak baik berhubungan dengan Laju Adopsi. Hal tersebut dimungkinkan karena, sebagian besar masyarakat di kedua kampung membutuhkan waktu dari mulai mendengar hingga memutuskan untuk mengadopsi ponsel. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kondisi ekonomi adopter ponsel di kedua kampung tergolong menengah ke bawah, sehingga apapun sumber informasinya, tidak berhubungan dengan Tingkat Keinovatifan dan Laju Adopsi ponsel.
7.4
Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Salah satu faktor yang diduga berhubungan positif dengan kedua variabel
terpengaruh (Y1 dan Y2) adalah variabel-variabel pengaruh pada karakteristik sistem sosial, yakni Tingkat Ketaatan Individu (X8) dan Tingkat Integrasi Individu (X9). Data berkenaan dua variabel pengaruh tersebut disajikan pada Tabel 22 di bawah ini.
64
Tabel 22 Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) Variabel-variabel Tingkat Keinovativan (Y1) Karakteristik Sistem Rendah Sedang Tinggi Sosial Tingkat Ketaatan Individu (X8)
Laju Adopsi (Y2) Total
Rendah
Tinggi
Total
Rendah 6,67 Sedang 21,33 Tinggi 4,00 Total 32,00 Tingkat Integrasi Individu (X9)
9,33 41,33 5,33 56,00
4,00 6,67 1,33 12,00
20,00 69,33 10,67 100,00
6,67 29,33 8,00 44,00
13,33 40,00 2,67 56,00
20,00 69,33 10,67 100,00
Rendah Sedang Tinggi Total
42,67 12,00 1,33 56,00
8,00 2,67 1,33 12,00
81,33 16,00 2,67 100,00
36,00 8,00 0,00 44,00
45,33 8,00 2,67 56,00
81,33 16,00 2,67 100,00
30,67 1,33 0,00 32,00
Tabel 22 menunjukkan bahwa mayoritas adopter ponsel memiliki Tingkat Ketaatan Individu dan Tingkat Integrasi Individu yang berturut-turut tergolong sedang dan rendah. Kondisi ini mendukung hasil uji korelasi rank Spearman pada Lampiran 4 yang menunjukkan bahwa Tingkat Ketaatan Individu (rs= -0,048) berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α> 0,30. Lain halnya dengan Tingkat Integrasi Individu (rs= 0,270) yang berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,05. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), Tingkat Ketaatan Individu tidak baik berhubungan dengan Tingkat Keinovativan. Hal ini diduga karena secara umum, adopter ponsel , masih tetap berkomunikasi
secara
interpersonal,
khususnya dengan sesama
anggota
rumahtangga. Rata-rata ponsel hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan saudara, kerabat, dan atau teman yang jaraknya berjauhan dari tempat mereka tinggal. Adapun dua variabel karakteristik sistem sosial, yakni Tingkat Ketaatan Individu (rs= -0,196) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05 dan Tingkat Integrasi Individu (rs= 0,022) berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α> 0,30. Dengan merujuk Purnaningsih (2006), hal tersebut menggambarkan bahwa Tingkat Ketaatan Individu berhubungan dan signifikan terhadap Laju Adopsi, sedangkan Tingkat Integrasi Individu tidak baik
65
berhubungan dan sangat tidak signifikan terhadap Laju Adopsi. Hal ini diduga karena mayoritas adopter ponsel tidak aktif dalam kelompok /organisasi kemasyarakatan di desa.
7.5
Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Faktor lainnya yang diduga berhubungan dengan Tingkat Keinovativan
dan Laju Adopsi adalah promosi oleh agen perubah. Adapun variabel pada promosi oleh agen perubah dalam penelitian ini adalah Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel. Berikut ini disajikan Tabel 23 berkenaan hubungan Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel dengan kedua variabel terpengaruh.
Tabel 23 Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubah dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Inovasi Ponsel (dalam persen) Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (X10) Rendah Sedang Tinggi Total
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah
Sedang
Tinggi
25,33 2,67 4,00 32,00
40,00 8,00 8,00 56,00
9,33 1,33 1,33 12,00
Laju Adopsi (Y2) Total 74,67 12,00 13,33 100,00
Rendah
Tinggi
38,67 4,00 1,33 44,00
36,00 8,00 12,00 56,00
Total 74,67 12,00 13,33 100,00
Berdasar tabel di atas, Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel mayoritas berada pada kategori rendah, yaitu sekitar 75 persen. Hasil uji statistik (Lampiran 4) memperlihatkan bahwa Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (rs= 0,040) berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α> 0,30. Merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut berarti variabel Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel dianggap tidak baik berhubungan dan sangat tidak signifikan terhadap Tingkat Keinovativan. Hal ini dikarenakan para agen penjual/ jasa ponsel, seperti penjual ponsel, penjual pulsa, penjual aksesosris ponsel, dan tukang service ponsel, tidak aktif memberikan informasi tentang ponsel. mencari
informasi
ketika
Dalam hal ini, justru individu adopter yang aktif membutuhkan
jasa
mereka,
misalnya
ketika
66
membutuhkan pulsa atau ketika ponsel yang digunakan mengalami kerusakan. Sementara, variabel Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (rs= 0,284) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, yang berarti sangat signifikan berhubungan dengan Laju Adopsi.
7.6
Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada
karakteristik individu, yakni Tingkat Pendidikan Formal, Pola Perilaku Komunikasi, Tingkat Status Sosial Ekonomi, dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi. Tabel 24 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut. Tabel 24 Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Keinovativan dan Laju Adopsi (dalam persen) Variabel-variabel Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2) Karakteristik Total Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi Individu Tingkat Pendidikan Formal (X11) Rendah 20,00 34,67 2,67 57,33 29,33 28,00 Sedang 8,00 9,33 1,33 18,67 8,00 10,67 Tinggi 4,00 12,00 8,00 24,00 6,67 17,33 Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 Pola Perilaku Komunikasi (X12) Rendah 9,33 21,33 0,00 30,67 13,33 17,33 Sedang 18,67 24,00 5,33 48,00 21,33 26,67 Tinggi 4,00 10,67 6,67 21,33 9,33 12,00 Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 Tingkat Status Sosial Ekonomi (X13) Rendah 2,67 10,67 0,00 13,33 6,67 6,67 Sedang 28,00 36,00 8,00 72,00 36,00 36,00 Tinggi 1,33 9,33 4,00 14,67 1,33 13,33 Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00 Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X14) Rendah 8,00 8,00 0,00 16,00 4,00 12,00 Sedang 8,00 14,67 0,00 22,67 12,00 10,67 Tinggi 16,00 33,33 12,00 61,33 28,00 33,33 Total 32,00 56,00 12,00 100,00 44,00 56,00
Total
57,33 18,67 24,00 100,00 30,67 48,00 21,33 100,00 13,33 72,00 14,67 100,00 16,00 22,67 61,33 100,00
67
Berdasarkan data pada Tabel 24 di atas, diketahui bahwa variabel Tingkat Pendidikan Formal pada karakteristik individu adopter ponsel di kedua kampung mayoritas tergolong rendah. Adapun variabel-variabel lain pada karakteristik individu, yaitu Pola Perilaku Komunikasi dan Tingkat Status Sosial Ekonomi mayoritas tergolong sedang, sedangkan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel tergolong tinggi. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,233), Pola Perilaku Komunikasi (rs= 0,194), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (rs= 0,265) berhubungan nyata dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,05. Dengan demikian, merujuk pada Purnaningsih (2006), dapat dikatakan bahwa ketiga variabel tersebut berhubungan dan signifikan terhadap Tingkat Keinovativan. Kecuali Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,155) berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,10, yang berarti Tingkat Status Sosial Ekonomi dianggap cukup baik berhubungan dan cukup signifikan terhadap Tingkat Keinovativan. Selanjutnya, hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,227) dan Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,188) berhubungan nyata dengan Laju Adopsi berturut-turut pada taraf α= 0,05 dan α= 0,10. Sementara itu, Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (rs= -0,081) dan Pola Perilaku Komunikasi (rs= -0,003) berhubungan dengan Laju Adopsi berturut-turut pada taraf α= 0,30 dan α> 0,30. Dengan merujuk
Purnaningsih (2006), variabel Tingkat Stastus Sosial Ekonomu dan
Tingkat Pendidikan Formal berhubungan dan signifikan terhadap Laju Adopsi. Adapun variabel Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel dianggap kurang baik berhubungan dengan Laju Adopsi, sedangkan Pola Perilaku Komunikasi dianggap sangat tidak baik berhubungan dengan Laju Adopsi.
68
BAB VIII POLA PEMANFAATAN DAN ADOPSI BERLEBIHAN TELEPON SELULER
Penggunaan ponsel di kalangan masyarakat Desa Kemang, khususnya di Kampung Beber dan Kampung Cikupa, dimanfaatkan secara berbeda oleh setiap individu adopter. Sehubungan dengan hal tersebut, bab ini akan menjelaskan pola pemanfaatan ponsel menurut karakteristik kategori adopter yang ada di kalangan masyarakat Kampung Beber dan Kampung Cikupa, serta memaparkan fenomena adopsi berlebihan (over adoption) yang terjadi di kalangan masyarakat tersebut.
8.1
Pola Pemanfaatan Ponsel di Kalangan Masyarakat Desa Kemang Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ponsel dimanfaatkan oleh
setiap individu dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Tabel 25 di bawah ini, menjelaskan penggunaan ponsel yang berulangulang dan telah menjadi suatu kebiasaan, sehingga disebut pola pemanfaatan ponsel di Desa Kemang. Tabel 25 Distribusi Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa Kemang Tahun 2011 (dalam persen) Pola Pemanfaatan Ponsel Persen Menelepon/SMS Keluarga Inti 22,67 Menelepon/SMS Teman Sebaya 17,33 Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja, Teman Sebaya dan Saudara Jauh 17,33 Menelepon/SMS Saudara Jauh 16,00 Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja 9,33 Menelepon/SMS Keluarga Inti dan Teman Sebaya 9,33 Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja dan Keluarga Inti 4,00 Menelepon/SMS Keluarga Inti dan Saudara Jauh 2,67 Mendengar Radio dan Main Game 1,33 Total (persen) 100,00 Total (jumlah) 75
Berdasar pada data tabel di atas, diketahui bahwa mayoritas adopter ponsel memanfaatkan ponsel untuk berhubungan melalui telepon/SMS dengan keluarga
69
inti mereka. Dalam hal ini keluarga inti adalah orang tua, suami/istri, kakak/adik, dan anak yang tinggal di luar desa. Dapat dijumpai beberapa orang istri yang ditinggal suaminya bekerja di luar kota/negeri atau sebaliknya. Begitu juga antara orang tua dan anak, dimana terdapat orang tua yang ditinggal anaknya bekerja di luar kota/negeri atau sebaliknya. Pengeluaran mereka untuk pulsa rata-rata sekitar Rp 40.000,00 per bulan, akan tetapi untuk adopter yang memiliki keluarga inti yang menjadi buruh migran di Arab Saudi pengeluarannya dapat mencapai Rp 100.000,00 per bulan. Selanjutnya, di kalangan adopter yang memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan teman sebaya saja dan kombinasi antara rekan bisnis/kerja, teman sebaya, dan saudara jauh memiliki persentase yang sama (17 persen).
Mereka
biasanya menggunakan ponsel untuk berhubungan dengan
teman sebaya (sesama remaja) yang masih duduk di bangku sekolah untuk mengobrol seputar kehidupan remaja dan sekolah. Oleh karena rata-rata kartu provider yang mereka gunakan sama, mereka ini lebih banyak berhubungan melalui SMS, yang mana provider tersebut memberikan fasilitas paket SMS sepuasnya ke sesama pengguna dengan tarif Rp 5.000,00 per minggu, sehingga pulsa yang bisa mereka habiskan dalam sebulan yaitu sekitar Rp 20.000,00 Telepon seluler juga dimanfaatkan oleh sebagian adopter (16 persen) untuk berhubungan dengan saudara jauh. Biasanya, mereka yang memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan saudara jauh, hanya menelepon/SMS untuk sekedar berbincang-bincang dan saling menanyakan kabar. Sementara itu, adopter yang memanfaatkan ponsel untuk menelepon/SMS rekan bisnis/kerja saja dan kombinasi antara keluarga inti dan teman sebaya, memiliki persentase yang sama, sekitar 9 persen. Mereka terdiri dari adopter yang bekerja sebagai penjahit, guru, pedangang (pemilik warung) dan pengusaha setempat. Bagi pengusaha setempat, ponsel sangat berguna bagi mereka untuk berhubungan dengan rekan bisnis di luar kota, seperti Bandung dan Jakarta. Pengeluaran mereka untuk membeli pulsa pun terbilang cukup tinggi, yakni sekitar Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 1.000.000,00 setiap bulannya, terutama untuk menelepon. Begitu pula bagi pemilik warung, ponsel bermanfaat untuk berhubungan dengan pasar induk berkenaan informasi harga barang, sedangkan bagi penjahit, ponsel digunakan untuk berhubungan dengan para pelanggan yang menggunakan jasa mereka. Di
70
Kampung Beber terdapat dua orang penjahit, sedangkan di Kampung Cikupa terdapat tiga orang penjahit. Ponsel juga dimanfaatkan oleh para guru dan kepala sekolah
untuk
berhubungan
dengan
sesama
mereka,
khususnya
untuk
membicarakan sejumlah permasalahan dan kegiatan di sekolah. Setiap bulannya, pengeluaran mereka untuk pulsa rata-rata sebesar Rp 20.000,000 sampai Rp 50.000,00. Secara rinci, rata-rata pengeluaran pulsa untuk setiap pola pemanfaatan, dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini.
Tabel 26 Pengeluaran Pulsa Adopter Ponsel menurut Pola Pemanfaatan Ponsel di Desa Kemang Tahun 2011 (dalam rupiah) Pola Pemanfaatan Ponsel Pengeluaran Pulsa Menelepon/SMS Keluarga Inti 40000-100000 Menelepon/SMS Teman Sebaya 20000-25000 Menelepon/SMS Saudara Jauh 20000-50000 Menelepon/SMS Rekan Bisnis/Kerja 20000-1000000 Selain mereka yang menggunakan ponsel untuk berkomunikasi dengan individu lain, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya adopter ponsel yang memanfaatkan ponsel sebagai media bisnis, yaitu untuk berdagang pulsa elektrik. Selain itu, terdapat adopter ponsel yang hanya memanfaatkan ponsel sebagai media hiburan, yaitu mendengarkan radio dan bermain game. Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pemanfaatan ponsel oleh para adopter di Desa Kemang, khususnya di kedua kampung tersebut di atas, merupakan kegiatan konsumtif semata. Hanya sebagian kecil dari adopter yang memanfaatkan ponsel sebagai pendukung kegiatan produktifnya (31 persen).
8.2
Adopsi Berlebihan (Over Adoption) Ponsel di Desa Kemang Semakin membaiknya kondisi infrastruktur yang didukung
oleh
ketersediaan ponsel dengan berbagai merek dan harga, serta masuknya informasi terkait ponsel dari berbagai tontonan di televisi, telah mampu membuka akses masyarakat di Kampung Beber dan Kampung Cikupa, untuk mengadopsi ponsel. Sebagaimana telah dijelaskan di depan, dalam penelitian ini ditemukan karakteristik adopter ponsel yang heterogen, baik dari kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta status bekerja mereka.
71
Dari observasi diketahui bahwa tidak setiap individu di dua kampung tersebut menjadi adopter, sementara di pihak lain diantara para adopter ponsel dimungkinkan ada yang seharusnya tidak mengadopsi ponsel.
Kondisi ini
sebenarnya memungkinkan peneliti untuk menganalisis kemungkinan adanya fenomena adopsi berlebihan di kalangan warga Kampung Beber dan Kampung Cikupa.
Namun demikian,
oleh karena dalam penelitian ini peneliti tidak
mewawancarai semua warga yang ada di dua kampung, yaitu Kampung Beber dan Cikupa, maka pembahasan tentang adopsi berlebihan tidak dapat dilakukan dengan sempurna.
Dengan berbasis pada data berupa adopter ponsel di dua
kampung tersebut, untuk menganalisis ada tidaknya adopsi berlebihan dilakukan secara kualitatif, yakni dengan menghubungkan kesesuaian pemanfaatan ponsel (Tabel 25) dengan jenis pekerjaan dan/atau kegiatan produktif dari para adopter ponsel. Lebih lanjut, berdasar fakta bahwa ada dua kebutuhan yang terpenuhi oleh adopter ponsel, yakni kebutuhan konsumtif dan produktif, sehingga dengan demikian,
pertimbangan untuk menentukan ada tidaknya kategori adopter
berlebihan adalah dengan menghubungkan penggunaan ponsel, jenis pekerjaan, dan kategori pemenuhan kebutuhan yang mereka capai. Sehubungan dengan hal ini, bagi adopter yang memanfaatkan ponsel hanya untuk kegiatan konsumtif dianggap tidak sesuai dan kemudian dikategorikan sebagai adopter irasional, sementara bagi adopter yang menggunakan ponsel untuk mendukung kegiatan produktif dianggap sesuai, dan kemudian dikategorikan sebagai adopter rasional.. Berdasar Tabel 25, telah diketahui terdapat sekitar 31 persen adopter ponsel yang dapat dikategorikan sebagai adopter rasional. Mereka memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan rekan bisnis/kerja saja maupun kombinasinya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka ini adalah para pengusaha, pemilik warung, guru (baik PNS maupun honor), dan penjahit. Ponsel sangat membantu mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. Oleh sebab itu, pemanfaatan ponsel oleh adopter tersebut dianggap sesuai dengan jenis pekerjaannya yakni ponsel dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Sebenarnya, dalam penelitian ini dijumpai sejumlah remaja yang memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan teman sekolahnya berkenaan dengan urusan sekolah, seperti berbagi informasi tentang pekerjaan atau tugas
72
rumah. Akan tetapi, persentase mereka terbilang kecil (23 persen) dibanding mereka yang memanfaatkan ponsel untuk mengobrol dan bergosip. Yang menarik adalah adanya sejumlah orangtua mereka yang mengeluh terkait persoalan pengeluaran rumahtangga untuk pulsa yang sangat tinggi. Ini berarti bahwa pemanfaatan ponsel di kalangan remaja cenderung tergolong konsumtif. Penelitian ini juga menemukan seorang pelajar sekolah dasar yang telah memiliki dan menggunakan ponsel, namun ia jarang menggunakan ponselnya untuk menghubungi teman-teman sebayanya, karena ia tidak memiliki ponsel. Sebenarnya adopter ini juga tidak mampu membeli pulsa untuk ponselnya, karena ia berasal dari keluarga yang
kondisi ekonominya kurang. Kemampuannya
mengoperasikan berbagai fitur dalam ponselnya pun terbatas, sehingga pola pemanfaatan ponsel tidak terlalu jelas. Di samping itu, terdapat pula adopter ponsel remaja yang tidak melanjutkan sekolahnya, namun juga tidak bekerja. Dalam kesehariannya, mereka hanya diam di rumah atau sekedar ngobrol-ngobrol di warung. Biasanya ponsel digunakan untuk berhubungan dengan teman-teman mereka, akan tetapi obrolan yang dilakukan baik melalui telepon atau SMS lebih pada kepentingan “curhat” dan bergosip . Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa mereka ini belum sesuai dalam memanfaatkan ponsel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sekitar 19 persen adopter yang memanfaatkan ponsel untuk berhubungan dengan saudara jauh saja maupun kombinasinya dengan keluarga inti. Berhubungan dengan saudara jauh merupakan kebutuhan mendasar bagi mereka, karena hanya dengan melalui ponsel, mereka dapat menjalin silaturahmi dengan baik. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Desa Kemang merupakan desa yang terpencil, sehingga sebelum menggunakan ponsel, para adopter kesulitan untuk berhubungan dengan saudara mereka yang berada di luar desa. Mereka hanya bisa bertemu setahun sekali, ketika merayakan hari raya. Oleh karena itu, golongan ini dapat dikategorikan sebagai adopter rasional.
73
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju adopsi ponsel di Kampung Bebr
dan Cikupa tergolong rendah, namun laju adopsi ponsel di Kampung Beber sekitar 22 persen, atau lebih tingi 11 persen dibandingkan adopter di Kampung Cikupa. Hal ini berhubungan dengan perbedaan karakteristik adopter di kedua kampung tersebut, di mana adopter di Kampung Beber terdiri atas mereka yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi dibanding mereka yang ada di Kampung Cikupa; sebagian besar diantara mereka bekerja sebagai PNS, pedagang dan pelajar dan pedagang. Meskipun diantara warga Desa Kemang mulai terdedah informasi ponsel sejak 15 tahun yang lalu, namun sebagian besar warga desa ini menjadi adopter ponsel sejak berdirinya BTS XL dan BTS Telkomsel yang dibangun berturutturut pada tahun 2008 dan 2010. Adopsi ponsel oleh warga di kedua kampung semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu dari mulai tahun 1995 sampai 2011. Meskipun secara akumulatif “plot” adopter ponsel membentuk kurva penerimaan inovasi ponsel yang membentuk kurva S, namun
adopter
ponsel terbanyak terjadi pada tahun 2010. Dalam penelitian ini “plot” atas kategori adopter tidak berhasil membentuk kurva berbentuk Genta, antara lain karena contoh dalam penelitian ini tidak mencakup semua adopter ponsel di dua kampung. Hal ini menyebabkan kategori adopter ponsel yang tidak mengikuti sebaran normal. Berbasis interval waktu selang tiga tahun, inovator (adopter pada periode tahun 1995-1998) dan penganut awal terbanyak atau early majority (adopter periode tahun 2002-2004) masingmasing sebesar satu persen. Sementara penganut dini atau early adopter (adopter pada periode tahun 1999-2001) sebesar lima persen. Adapun penganut lambat terbanyak atau late majority (adopter pada periode tahun 2005-2007) dan kaum penolak laggards (periode tahun 2008-2011) berturut-turut sebesar 29 persen dan 64 persen. Namun demikian, kategori adopter di dua kampung menunjukkan karakteristik yang cenderung sesuai dengan generalisasi Rogers dan Shoemaker
74
(1971), dimana adopter yang tergolong inovator memiliki karakteristik pribadi yang lebih tinggi dibanding semua kategori adopter lainnya. Dari 14 variabel bebas yang diduga berhubungan dengan Tingkat Keinovativan, hanya
enam variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat
keinovativan pada taraf α= 0,05, yaitu Tingkat Keuntungan Relatif (rs= 0,249), Tingkat Integrasi Individu (rs= 0,270), Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,233), Pola Perilaku Komunikasi (rs= 0,194), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (rs= 0,265). Adapun sejumlah variabel lainnya yang berhubungan dengan Tingkat keinovativan pada taraf α= 0,10 adalah Tingkat Kemungkinan Diamati (rs= 0,157) dan Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,155). Sementara itu, Tipe PK Inovasi Ponsel (rs= 0,131) dan Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (rs= -0,067) berhubungan dengan Tingkat Keinovativan pada taraf α= 0,20-0,30. Variabel bebas selainnya, yakni Tingkat Kesesuaian, , Tingkat Kerumitan, Tingkat Ketaatan Individu , dan Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel tidak berhubungan dengan Tingkat Keinovativan. Hanya empat variabel bebas yang berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,05, yakni Tingkat Kemungkinan Diamati (rs= 0,289), Tingkat Ketaatan Individu (rs= -0,196), Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (rs= 0,284), dan Tingkat Status Sosial Ekonomi (rs= 0,227). Tiga variabel bebas lainnya berhubungan berhubungan dengan Laju Adopsi pada taraf α= 0,10, yaitu Tingkat Keuntungan Relatif (rs= 0,162), Tingkat Kesesuaian (rs= -0,172), dan Tingkat Pendidikan Formal (rs= 0,188). Adapun Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel berhubungan pada taraf α= 0,20-0,30 (rs= -0,081). Selainnya, yakni Tingkat Kerumitan. Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi, Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel, Tingkat Integrasi Individu dan Pola Perilaku Komunikasi tidak berhubungan dengan Laju Adopsi. Terdapat sembilan pola pemanfaataran ponsel dikalangan adopter ponsel di dua kampung. Persentase tertingi (22 persen) adalah adopter ponsel yang memanfaatkan ponsel
untuk menilpon dan/atau SMS dengan keluarga inti.
Selainnya menelepon/SMS kepada teman sebaya serta kombinasi antara rekan bisnis, teman sebaya dan saudara jauh (masing-masing 17,33 persen), saudara
75
jauh saja (16 persen), serta kepada rekan bisnis saja dan kombinasi kepada keluarga inti dan teman sebaya masing-masing 9,33 persen. Secara umum, adopter ponsel memanfaatkan ponsel hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Oleh karena itu, hanya terdapat 31 persen yang tergolong adopter rasional, yakni mereka yang mengadopsi ponsel semata-mata untuk kebutuhan produktif; sementara 69 persen tergolong tidak rasional.
9.2
Saran Adanya pola pemanfaatan ponsel yang belum optimal dan adanya gejala
adopsi berlebihan (over adoption) ponsel menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan ponsel oleh masyarakat perdesaan, khususnya di Desa Kemang.. Oleh karena itu perlu adanya pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat memasilitasi warga untuk memanfaatkan ponsel secara lebih produktif, seperti Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur yang dapat memasilitasi warga untuk akses terhadap aplikasi ponsel yang menyediakan berbagai informasi terkait kegiatan produktif masyarakat Kemang dan meningkatkan pemanfaatan
ponsel dalam
jaringan yang lebih mapan, yakni sebagai bagian dari cyber extension bagi masyarakat petani. Adanya adopter ponsel yang belum akses terhadap beragam fitur, misalnya internet, memungkinkan dilakukannya sosialisasi pemanfaatan fitur tersebut , terutama bagi para guru sekolah dan murid SLTP dan SMU yang dapat meningkatkan akses mereka terhadap ilmu pengetahuan. Menyadari adanya
keterbatasan waktu pelaksanaan penelitian (hanya
sebulan) dan perlunya waktu untuk membina hubungan baik dengan subyek penelitian (rapport) yang menghambat terhadap penerapan metodologi penelitian terkait studi difusi inovasi ponsel ini, diperlukan suatu kebijakan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB yang memberi izin waktu penelitian yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.
76
DAFTAR PUSTAKA [BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. [Internet]. [dikutip 21 Januari 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/57733200/buku-i-20100205103521-0 [MENDAGRI] Menteri Dalam Negeri. 2009. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 tentang Daftar Isian Potensi Desa Kemang. Cianjur [ID]: MENDAGRI. Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Propinsi Jawa Barat). [disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 325 hal. Efendi S, Singarimbun M. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: LP3ES. 329 hal. Haraito G, Hidayat SN. 2010 3 Des. Operator Tetap Andalkan Pelanggan Pra Bayar. [Internet]. [diunduh 7 Februari 2011]. Kontan. Industri: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/53737/Operator-tetap-andalkanpelanggan-prabayar Lubis DP. 2009. Pendahuluan. Dalam (?) Hubeis AVS, editor. Dasar-Dasar Komunikasi. Cetakan ke-1. Bogor [ID]: SKPM IPB Press. 381 hal. Lutfiyah U. 2007. Persepsi dan Perilaku Remaja dalam Menggunakan Ponsel (Kasus: Remaja SMA Kornita Bogor). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 53 hal. Mugniesyah SSM. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Bogor [ID]: Sains KPM IPB Press. 235 hal. . 2007 . Access to Land in Sundanese Community: A Case Study of Upland Peasant Households in Kemang Village, West Java, Indonesia. Southeast Asian Studies. 44(44): 519-544 .2007. Sundanese Kinship: A Case in an Upland Peasant Community in Kemang Village, West Java, Indonesia . Paper presented at the Group III Workshop : Socio economic Studies on Sustainable Development in Rural Indonesia. A Cooperative Research on Harmonization Between Development and Environment in Biological Production between the University of Tokyo and and Bogor Agricultural University (IPB), Tokyo 11-12 Februari 2007. Tokyo [JP]: The JSPS-DGHE Core University Program.
77
Mugniesyah SSM 2009. Media Komunikasi dan Komunikasi Massa. Dalam Hubeis AVS, editor. Dasar-dasar Komunikasi Cetakan ke-1. Bogor [ID]: SKPM IPB Press. 381 hal. Mugniesyah SS, Lubis DP. 1990. Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok Tani (Studi Kasus di WKPP Tambakdahan dan WKPP Mariuk, KPP Binong Subang Jawa Barat). Bogor [ID]: Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB. Mugniesyah SSM, Mizuno K. 2003. Gender in Sustainability of Local Organizations and Institutions (A Case In Two Upland Village of West Java). Hayashi Y, Manuwoto S, Hartono S, editor. Sustainable Agricultural in Rural Indonesia. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. 468 hal. Mulyandari. 2006. Sikap dan Perilaku Mahasiswa terhadap Penggunaan Ponsel (Kasus: Mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 80 hal. Novarianto R. 1999. Adopsi Inovasi Teknologi TABELA bagi Petani Padi Sawah (Kasus Petani Padi Sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara). [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 97 hal. Novita A. 2010 23 Okt. Bahaya Penggunaan Handphone. [Internet]. [diunduh 15 Februari 2011]. Kompasiana. Teknologi: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2010/10/23/bahayapenggunaan-handphone/ Nugraha GK. 2010. Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya (Kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 82 hal. Prayifto R. 2010. Sikap dan Perilaku Remaja Desa dalam Menggunakan Ponsel (Studi Kasus Remaja Desa Cihideung Ilir Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 107 hal. Purnaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat.[disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 240 hal. Rangkuti PA. 2007. Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian (Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat). [tesis]. Bogor [ID] Institut Pertanian Bogor. 150 hal. Rusli S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Edisi Revisi. Jakarta [ID]: PT. Pusaka LP3ES. 173 hal.
78
Sadono D. 1999. Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani (Kasus di Kabupaten Karawang, Jawa Barat). [tesis]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 93 hal. Sastramihardja H, Veronica A. 1976. Adopsi Panca Usaha Pertanian di Desa Babakan. Gunardi, editor. Kumpulan Bahan Bacaan Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Bogor [ID]: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian IPB. 245 hal. Soewardi H. 1972. Penyebaran Inovasi dari Lapisan Atas ke Lapisan Bawah. Sayogyo, Sayogyo P. Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan Jilid 1. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. 205 hal. Sugiyono 2004. Accidental Sampling. [Internet]. [diunduh 11 Agustus 2011]. Infoskripsi. Glossary: [tidak ada nomor halaman dan kolom]. Dapat diunduh dari: http://www.infoskripsi.com/component/option,com_glossary/Itemid,62/catid,24/f unc,view/term,accidental%20sampling/ Utaminingsih IA. 2006. Pengaruh Penggunaan Ponsel pada Remaja terhadap Interaksi Sosial Remaja (Kasus SMUN 68, Salemba Jakarta Pusat, DKI Jakarta). [skripsi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. 90 hal. Wahyuni ES. forthcoming. Pedoman Teknik Penulisan Laporan Studi Pustaka. Bogor [ID]: Sains KPM IPB Press. 49 hal.
79
Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Difusi Inovasi Telepon Seluler di Kalangan Masyarakat Perdesaan Tahun 2011 Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Kegiatan
Keterangan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Pengumpulan Data di Lapangan Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Konsultasi dan Perbaikan Skripsi Uji Petik Ujian Skripsi Perbaikan dan Penggandaan Skripsi
2
3
4
80
Lampiran 2. Denah Desa Kemang, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bandung
81
Lampiran 3. Adopter Inovasi Ponsel Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh
Kategori (dalam persen) Variabel-variabel Tingkat Keuntungan Relatif (X1) Tingkat Kesesuaian (X2) Tingkat Kerumitan (X3) Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4) Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel (X6) Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) Tingkat Ketaatan Individu terhadap Komunikasi Interpersonal (X8) Tingkat Integrasi Individu (X9) Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel (X10) Tingkat Pendidikan Formal (X11) Pola Perilaku Komunikasi (X12) Tingkat Status Sosial Ekonomi (X13) Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X14) Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2)
Rendah
Sedang
Tinggi
12 14 57
60 29 28
19 1 33
33 60 40
28 57 15 100 48 39 27
20
69
11
81 75 16 31 57 13 32 44
16 12 23 48 19 77 56
3 13 61 21 24 10 12 56
Parameter Statistik RataMinimal Maksimal rata
St. deviasi
2 0
8 30
3 5
2 5
3 4
28 12
15 8
6 2
0
16
13
3
82
Lampiran 4. Hasil Uji Korelasi Rank Spearmen antara Variabel-variabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh
Variabel-variabel
Difusi Inovasi Ponsel Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2) rs sig rs sig
Karakteristik Inovasi Ponsel) Tingkat Keuntungan Relatif (X1) 0,249 0,016* Tingkat Kesesuaian (X2) 0,049 0,339 0,040 0,367 Tingkat Kerumitan (X3) 0,157 0,089** Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel 0,131 0,131*** Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Ponsel (X6) Saluran Komunikasi -0,067 Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) Karakteristik Sistem Sosial Tingkat Ketaatan Individu terhadap Komunikasi -0,048 Interpersonal (X8) 0,270 Tingkat Integrasi Individu (X9) Promosi oleh Agen Perubah Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/Jasa Ponsel 0,040 (X10) Karakteristik Individu 0,233 Tingkat Pendidikan Formal (X11) 0,194 Pola Perilaku Komunikasi (X12) 0,155 Tingkat Status Sosial Ekonomi (X13) 0,265 Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X14) Keterangan:
* ** ***
0,162 -0,172 0,045 0,289
0,082** 0,070** 0,351 0,006*
0,006
0,480
0,284***
-0,003
0,489
0,342
-0,196
0,046*
0,010*
0,022
0,426
0,368
0,284
0,007*
0,022* 0,048* 0,093** 0,011*
0,188 -0,003 0,227 -0,081
0,054** 0,489 0,025* 0,244***
Signifikansi α= 0,05 (mempengaruhi dan signifikan) Signifikansi α= 0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) Signifikansi α= 0,20 sampai α= 0,30 (kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan) Signifikansi α> 0,30 (tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan)