DIFUSI ADOPSI INOVASI PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Penyebaran dan Penerimaan Inovasi Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri)
Essa Rahayuningtyas Sofiah Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The phenomenon of urban society who lived in the village which is still using the unhealthy sanitation for their family, nowadays, become a concerned of government. some of this people, even, do not have toilets as a sanitation and their activity of defecation is open defecation. This is certainly pollute the environment and be the chain of spreading infectious environmental diseases such as diarrhea. However, in 2008, the Indonesian Ministry of Health has started to propagate a healthy latrine innovation by implementing Community-Led Total Sanitation Program. (CTLS) throughout Indonesia. The spread of this innovation is expected to trigger awareness for healthy living and behaving, also increase personal and environmental degree of health. It also supports the achievement of the goals and targets of the Millennium Development Goals (MDG) 7 which is concern at Environmental Conservation. This research shows how the innovators spread this innovation and how the society receives through the several stages in the innovation decission process. With a process-oriented, the diffusion and adoptance of healthy latrines innovation in society of Jatisrono-Wonogiri were analyzed by using qualitative descriptive method. Based on the research and analysis of data which are done, diffusion of healthy latrine innovation through CTLS Program in JatisronoWonogiri was succeed, although the using of communication medias was not optimized. Most people are willing to adopt this innovation with various facilities and easiness which is provided by the innovators. Somehow, there are still some people who are reluctant to accept because of their economic resources is limited and mental unreadiness to change the perception and behavior of healthy living. The society adoption of this innovation is influenced by several factors which are supporting and resisting the consideration of each member of the social system. Keywords: diffusion and adoption of innovation, Community-Led Total Sanitation
1
Pendahuluan Masalah pembangunan kesehatan lingkungan pemukiman atau yang tersebut dalam tujuan dan target Millenium Development Goals 7 kemudian masih menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Salah satu konsentrasi pemerintah indonesia adalah pada permasalahan sanitasi keluarga. Hal ini berakar pada permasalahan pembuangan tinja/kotoran manusia yang merupakan salah satu dari berbagai masalah kesehatan yang perlu mendapatkan prioritas. Suhendra (2009) dalam artikel yang dilansir http://finance.detik.com menyebutkan bahwa tiap tahun Indonesia merugi hingga 2,4 persen atau sekitar Rp 58 triliun dari total anggaran belanja dan pengeluaran daerah akibat sanitasi buruk dan kurangnya akses air bersih. Setiap tahun, air limbah yang tidak diolah menghasilkan 6 juta ton kotoran manusia yang dibuang ke badan air, dan aktivitas buang air di tempat terbuka menjadi sebagai salah satu sumber utama pencemaran. Semakin banyaknya pencemaran dari kotoran manusia juga meningkatkan biaya produksi air minum, yang di beberapa lokasi bisa menimbulkan kenaikan hingga 25 persen dari anggaran yang direncanakan. Situs http://worldbank.org melansir sebuah artikel pada 28 Oktober 2013 dengan judul “Sanitasi yang Buruk Menghambat Potensi Pertumbuhan Indonesia”. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa kondisi sanitasi buruk menimbulkan tingginya kasus penyakit yang ditularkan melalui kotoran, seperti tipus dan diare yang diderita 11 persen anak di Indonesia tiap dua minggu. Kedua penyakit tersebut terkait langsung dengan sekitar 40.000 kematian anak berumur di bawah lima tahun di Indonesia tiap tahunnya. Pada tingkat pemerintah kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri setiap tahunnya bekerja sama dengan setiap Puskesmas di Kabupaten Wonogiri melakukan survey dan menemukan bahwa masih cukup banyak masyarakat di setiap kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang memiliki jamban tidak bersih dan tidak sehat. Bahkan, masih ada pula yang membuang kotoran sembarangan, baik di sungai maupun di kebun dan hutan karena tidak meiliki jamban keluarga. Salah satu kecamatan yang menjadi perhatian dari 25 kecamtan lainnya di Kabupaten Wonogiri adalah Kecamatan Jatisrono.
2
Tabel 1 Sarana Sanitasi Penduduk Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Tahun 2013 SARANA SANITASI No
Puskesma s
Jmlh KK
Jmlh Jiwa KK
Jiwa
KK
Jiwa
Jatisrono I
13.298
49.986
6.440
27.374
2.298
9.608
15.604
1.856
3.667
916
1.
% Jatisrono II
2.
%
CNLA
100% 4.957
CLA
55%
100%
STNLA KK
Jiwa 0
19.2%
23.5%
3.452
22.1%
STLA/JS KK
0
2.865
3.803
925
0% 1.088
Jiwa
OD KK
12.321
92
3.865
172
25%
24.4%
Jiwa 389 0.8%
24.8%
817 5.2%
Sumber: Rekapitulasi Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri (Desember 2013) CNLA CLA STNLA
: Cemplung Non Leher Angsa : Cemplung Leher Angsa : Septhic Tank Non leher Angsa
STLA/JS : Septhic Tank Leher Angsa/Jamban Sehat OD : Open Defecation (BAB Sembarangan)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hanya sekitar 25% dari total penduduk Kecamatan Jatisrono yang memiliki jamban kategori sehat. Sisanya masih menggunakan jamban tidak sehat, dan ada beberapa yang masih berperilaku hidup tidak sehat dengan buang air besar sembarangan (tidak di jamban). Kondisi jamban yang tidak bersih dan tidak sehat di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri tentunya memiliki dampak bagi lingkungannya, salah satunya adalah penyebaran penyakit diare, Tercatat dalam Rekapitulasi Data Penyakit di Puskesmas Jatisrono I dan Jatisrono II, bahwa jumlah penyakit diare tahun 2013 mencapai 398 kasus. Angka ini turun cukup drastis dibanding tahun 2012 yang mencapai 752 kasus dan tahun 2011 yang mencapai 782 kasus. Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 852 tahun 2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). STBM merupakan program sanitasi yang menitikberatkan pada kesadaran dan partisipasi masyarakat akan pentingnya sarana pembuangan air besar (jamban/kakus) untuk kesehatan pribadi dan penyehatan lingkungan. Pendekatan yang digunakan pada kegiatan STBM adalah dengan pola pendekatan pemberdayaan masyarakat tanpa subsidi dari luar. Konsep serta konstruksi sarana sanitasi, khususnya jamban yang bersih dan sehat ini merupakan suatu inovasi baru bagi sebagian besar masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Sebuah inovasi baru untuk dapat
3
diadopsi masyarakat mutlak harus disebarkan dengan mengkomunikasikannya kepada masyarakat luas. Inovasi Program STBM ini disebarkan dengan sebuah kegiatan yang disebut “pemicuan’, yakni suatu bentuk sosialisasi komunikasi di tingkat masyarakat desa yang mengajak masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam pencapaian lingkungan sehat. Kegiatan penyebaran informasi dan inovasi mengenai pembangunan jamban bersih dan sehat terus dilakukan oleh aktifis sanitarian Puskesmas Jatisrono dan sudah berlangsung sejak tahun 2009 . Berdasarkan data di atas, peneliti bermaksud untuk meneliti Difusi Adopsi Inovasi Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) tentang Penyebaran dan Penerimaan Inovasi Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dilakukan pembatasan dan perumusan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana proses difusi inovasi Program Pemicuan Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri? 2. Bagaimana proses adopsi inovasi Program Pemicuan Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri? 3. Bagaimana
karakter
penerima/adopter
inovasi
Program
Pemicuan
Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri? 4. Apa saja faktor pendorong dan penghambat adopsi inovasi dalam Program Pemicuan Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
Tinjauan Pustaka 1. Komunikasi Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicates atau communication atau communicare yang berarti berbagi atau milik bersama. Harold Lasswell (dalam Onong, 1990: 10) mendefinisikan komunikasi sebagai
4
suatu proses dan menjelaskan definisi komunikasinya tersebut secara sederhana, dimana komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). Kelima unsur komunikasi yang disebutkan Lasswell tersebut dapat dipahami sebagai berikut: a. Who? (siapa/sumber/komunikator) b. Says What? (isi pesan) c. In Which Channel? (saluran/media) d. To Whom? (untuk siapa/penerima/komunikan) e. With What Effect? (dampak/efek) Penggunaan media sebagai saluran komunikasi pada poin (c), membagi proses komunikasi menjadi dua tahap, yakni proses komunikasi secara primer dan proses komunikasi secara sekunder. a. Proses Komunikasi secara Primer Proses komunikasi secara primer menurut Onong Uchjayana (1990) merupakan proses penyampaian pemikiran atau perasaan individu kepada orang lain dengan menggunakan simbol sebagai medianya untuk menterjemahkan dan menjelaskan maksud isi pesan sehingga terbentuk kesepahaman
makna
antara
komunikator
dengan
komunikannya.
Simbol/lambang yang dimaksud dalam komunikasi ini dapat berupa simbol verbal yakni bahasa yang mencakup, angka, huruf, susunan kata, kalimat, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan yang dimaksud simbol nonverbal adalah isyarat, gambar, warna, gesture, dan sebagainya. b. Proses Komunikasi secara Sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertamanya (Onong, 1990: 16). Seorang komunikator menggunakan media kedua karena komunikan berjumlah relatif banyak dan berada di tempat yang relatif jauh,
5
baik di satu tempat, maupun tersebar di berbagai tempat. Media yang digunakan dapat berupa surat, telepon, surat kabar, televisi, radio, dan dijaman modern ini dimungkinkan penggunaan fitur dari smartphone, surat elektronik (email), media sosial, dan situs berbasis jaringan internet lainnya. Proses komunikasi sekunder ini menembus dimensi ruang dan waktu, sehingga dalam menentukan media penghubungnya, diperlukan pertimbangan yang matang agar pesan yang disampaikan dapat efektif dan efisien menjangkau komunikannya.
2. Komunikasi Kesehatan Kesehatan adalah salah satu konsep yang sering digunakan namun sukar untuk dijelaskan artinya. Hanlon (1964) dalam Mariyani Sukarni (1994:1) menyatakan bahwa sehat itu mencakup keadaan pada diri seseorang secara menyeluruh untuk tetap mempunyai kemampuan melakukan tugas fisiologis maupun psikologis penuh. Komunikasi kesehatan merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktek-praktek kesehatan populasi-populasi besar (Judith A. Graeff, dkk, 1996: 18). Selanjutnya Judith A. Graeff menyebutkan bahwa sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktek, dan pada gilirannya status kesehatan. Komunikasi kesehatan memiliki beberapa tujuan strategis yang diungkapkan Liliweri (2007: 52). Program-program komunikasi berbasis kesehatan dapat berfungsi untuk relay information, enable informed decision making, promote peer information exchange and emotional support, promote healthy behavior, promote self car, dan manage demand for health service. Para praktisi memandang komunikasi kesehatan, dalam praktik promosi kesehatan, diperlukan di bidang kesehatan karena komunikasi dalam kesehatan merupakan kunci pencapaian peningkatan taraf atau tingkat kesehatan masyarakat. Linda Ewless dan Ina Simnett (1994: 29) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai usaha
untuk memperbaiki kesehatan,
memajukan,
mendukung, mendorong, dan menempatkan kesehatan lebih tinggi pada agenda
6
perorangan maupun masyarakat umum. Sedangkan menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses membuat orang mampu meningkatkan control terhadap dan memperbaiki kesehatan mereka.
3. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) menyebutkan bahwa STBM merupakan suatu program. Sanitasi merupakan suatu alat (tool) yang sangat murah tapi ampuh untuk mencegah penyakit-penyakit yang disebabkan karena kurang higiene. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dalam situs http://stbmindonesia.org, didefinisikan sebagai suatu pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Program nasional STBM berkontribusi pada MDGs 7. Komunikator, dalam kegiatan sosialisasi STBM khususnya pemicuan pembangunan jamban bersih dan sehat, memakai beberapa pendekatan, yakni: a. Pembangunan sarana sanitasi nantinya tanpa adanya subsidi kepada masyarakat, tanpa pengecualian, termasuk kepada yang termiskin sekalipun. b. Dalam sosialisasi, komunikator tidak menggurui, tidak memaksa. c. Masyarakat diharapkan mampu menjadi pemimpin (natural leader) dimana semua keputusan ada di tangan individu untuk merubah perilakunya. d. Masyarakat terlibat secara total dalam melakukan analisis permasalahan potensi,
perencanaan,
pelaksanaan,
pemanfaatan,
dan pemeliharaan
kebiasaaan atau pola hidup sehat yang telah disosialisasikan. e. Tolok ukur keberhasilan yang dicapai adalah perubahan perilaku, bukan bangunan fisik jamban atau konstruksi sanitasi lainnya yang dibangun
4. Difusi Inovasi Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya, Shoemaker. Rogers dan Shoemaker (1987: 23). menyebutkan bahwa difusi adalah suatu tips khusus komunikasi. Difusi merupakan proses dimana inovasi tersebar kepada anggota suatu sitem sosial.
7
Pengkajian difusi adalah tentang pesan-pesan yang berupa gagasan-gagasan baru. Pemusatan perhatian pad aide-ide baru inilah yang mebawa pemikiran peneliti pada pengertian yang lebih menyeluruh tentang proses komunikasi. Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi, baik berupa ilmu pengetahuan, teknologi, oleh anggota sistem sosial tertentu (dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi, sampai kepada masyarakat). Ada empat unsur difusi inovasi yang diungkapkan Rogers dan Shoemaker (1987:24), yaitu: a. Inovasi. Inovasi merupakan gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh individu. Sesuatu ide/inovasi baru bukan berarti harus benar-benar baru sama sekali. Semua inovasi pasti mempunyai komponen ide, tetapi ada yang tidak mempunyai wujud fisik, seperti ideologi, dimana pengadopsian hanya berupa keputusan simbolik. Sebaliknya, inovasi yang mempunyai komponen ide dan komponen obyek (fisik), pengadopsiannya diikuti dengan keputusan tindakan atau tingkah laku nyata. b. Saluran Komunikasi. Saluran komunikasi adalah sarana atau penghubung yang digunakan untuk melakukan proses penyebaran ide-ide baru, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Para peneliti difusi menemukan bahwa saluran media massa lebih berdaya guna untuk menciptakan pengenalan terhadap suatu ide baru. Sedangkan saluran komunikasi interpersonal lebih penting dalam pembentukan sikap inovasi. c. Jangka Waktu. Jangka waktu dalam proses difusi membutuhkan jangka yang cukup panjang karena ada beberapa hal yang harus dilalui, yaitu mulai dari proses keputusan inovasi, keinovatifan individu untuk menetima inovasi, serta kecepatan pengadosian inovasi dalam sistem sosial. d. Anggota Sistem Sosial. Anggota sistem sosial terdiri dari individu, kelompok, organisasi, maupun subsistem. Mereka saling bekerja sama memecahkan masalah untuk mencapai tujuan bersama. Di antara semua anggota sistem sosial yang memegang peranan paling penting dalam proses difusi adalah pemuka pendapat dan agen pembaruan.
8
Mardikanto (2010:121) menyebutkan bahwa ada beberapa sifat dan karakteristik inovasi yang mempengaruhi kecepatan penerimaannya, yaitu relative advantages (keuntungan relatif), compatibility (keserasian), complexity (kerumitan), triablity (kemampuan diuji coba) dan observability (kemampuan untuk diobservasi).
5. Adopsi Inovasi Masyarakat mempunyai kewenangan untuk melakukan keputusan untuk menerima atau menolak suatu ide baru. Keputusan inovasi merupakan proses mental yang terjadi sejak individu mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima dan menolak. Di sisi lain, masyarakat tidak akan begitu saja akan menerima ide-ide baru yang masih asing bagi mereka, sehingga dibutuhkan suatu proses keputusan untuk sebuah inovasi. Rogers dan Shoemaker (1978) dalam Zulkarnaen Nasution (1988:67) merevisi kembali teorinya tentang keputusan inovasi menjadi lima tahap, yaitu: a. Knowledge (pengetahuan). Individu mengetahui adanya inovasi dan memperoleh pengertian tentang fungsi dan manfaat inovasi. Pada tahap ini, beberapa sumber dan saluran komunikasi akan memberikan rangsangan kepada individu selama proses inovasi itu berlangsung. b. Persuasion (persuasi). Tahap persuasi terjadi ketika individu memilih untuk memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. c. Decision (keputusan). Individu terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pilihan untuk menerima atau menolak suati inovasi. Individu akan menimbang terlebih dahulu keuntungan atau kerugian suatu inovasi. d. Implementation (implementasi). Apabila individu telah memutuskan untuk menerima inovasi, kemudian ia akan menetapkan untuk menggunakan inovasi tersebut, dan akan mencoba untuk mempraktekkan inovasi tersebut. e. Confirmation (konfirmasi). Individu, pada tahap terakhir ini, akan mencari penguat lebih luas lagi untuk memperkuat keputusan dan mencari
9
pembenaran atas keputusan yang dibuatnya. Tidak menutup kemungkinan, individu akan mengubah keputusannya setelah ia melakukan evaluasi.
Adopter Adopter (penerima inovasi) merupakan bagian dari sistem sosial. Pembagian anggota sistem sosial dalam keadaan kelompok-kelompok adopter didasarkan pada tingkat keinovativannya, yaitu lebih awal atau lebih akhirnya individu untu mengadopsi sebuah inovasi. Rogers dan Shoemaker (1987: 88) mengkategorikan adopter berdasarkan keinovativannya, yaitu: a. Innovators. Inovator identik dengan jiwa pemberani dan petualang, dan senang mencoba gagasan-gagasan baru yang menantang. Untuk menjadi seorang inovator, ia harus mempunyai sumber keuangan, kemampuan daya pikir yang tinggi dan cerdas untuk dapat memahami dan menerapkan teknik, serta menjadi panutan bagi anggota sistem sosial lainnya dalam menentukan keputusan dan mencoba hal-hal baru. b. Early Adopters. Pengguna awal adalah seorang pelopor yang biasanya akan melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menerima dan menggunakan suatu inovasi. Mayoritas pelopor ini terdiri dari para pemuka pendapat, biasanya diajak melakukan penyebaran inovasi karena dirasa mempunyai pengaruh kekuatan yang besar. c. Early Majority. Pengikut dini lebih dahulu melakukan pemikiran dan pertimbangan berulang kali. Mereka akan menerima inovasi sesaat setelah ada anggota sistem lainnya yang menerima inovasi. Pengikut dini jarang sekali mempunyai posisi sebagai pemimpin, tetapi mereka adalah orang yang banyak berinteraksi dengan anggota sistem lainnya. d. Late Majority. Penganut lambat ini tidak mau mengadopsi ide-ide baru atau inovasi sebelum sebagian besar anggota sistem telah menerima dan melakukannya. Mereka biasanya bersikap skeptis dan hati-hati sehingga membutuhkan dorongan atau tekanan dari anggota sistem lainnya yang telah terlebih dahulu mengadopsi inovasi untuk menerima juga ide baru atau inovasi sesuaai dengan tingkaat kepentingan pengadopsian ide baru tersebut.
10
e. Laggards. Orang yang kolot adalah anggota sistem yang terakhir mengadopsi ide baru karena mereka adalah anggota sistem yang paling sempit pandangan dan wawasan serta pengetahuannya diantara anggota sistem lainnya. Keputusan yang dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh generasi yang sebelumnya. Hal ini terjadi karena laggards adalah orang-orang yang mempunyai nilai-nilai tradisional yang masih dpegang kuat. (Rogers dan Shoemaker, 1987: 86-92).
Metodologi Penelitian Penelitian ini memakai metode penelitian kulitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Metode deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan subyek atau obyek penelitian suatu organisasi, masyarakat dan lain-lain berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan sebagaimana adanya. Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Dalam prosesnya, penelitian ini dititikberatkan di Puskesmas Jatisrono I, Desa Sumberejo dan Desa Rejosari dengan subyek penelitian masyarakat kedua desa tersebut. Sampling yang diambil peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling menurut H. B. Sutopo (2002: 56-57) memiliki kecenderungan bahwa peneliti akan memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahan secara mendalam. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data sejak awal. Untuk itu, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dalam H.H. Sutopo (2002:56) yang meliputi tiga komponen utama, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Selanjutnya, guna meningkatkan validitas data, peneliti menggunakan teknik trianggulasi sumber, dimana teknik ini digunakan untuk mengarahkan peneliti dengan memakai berbagai sumber data yang berbeda guna memantapkan kebenaran data yang sejenis. Konteksnya, trianggulasi data ini digunakan untuk menguji data yang diperoleh dari satu sumber, kemudian dibandingkan dengan sumber lainnya. Kemudian, peneliti akan
11
menemukan kemungkinan apakah data yang diperoleh bersifat konsisten atau tidak konsisten, ketika dianalisis dengan data lainnya sehingga peneliti mampu mengidentifikasikan gambaran yang lebih jelas terkait dengan gejala yang diteliti
Sajian dan Analisis Data Proses difusi inovasi yang terjadi dalam penyebaran Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Kabupaten Wonogiri lebih diutamakan melalui komunikasi kelompok daripada komunikasi interpersonal. Komunikasi kelompok terjadi dalam Kegiatan Pemicuan Program STBM yang dirancangkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri dan Puskesmas untuk daerah binaannya masing-masing. Selanjutnya, program ini disebarkan lebih lanjut melalui komunikasi interpersonal oleh bidan desa dan kader kesehataan setempat. Konsep dan tata laksana Kegiatan Pemicuan Program STBM bukan seperti penyuluhan yang memaparkan banyak materi, tetapi lebih diutamakan sebagai rangkaian kegiatan untuk merangsang kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan. Tim pemicu (innovators) mengajak masyarakat berdiskusi menggali permasalahan kesehatan yang ada di lingkungannya kemudian memicu masyarakat untuk secara aktif menyelesaikannya sendiri. Dalam Kegiatan Pemicuan Program STBM ini, innovators juga menyampaikan bahwa prinsip pelaksanaan pembangunan jamban sehat adalah dengan biaya swadaya dari masyarakat sendiri, tanpa bantuan dari pemerintah. Oleh sebab itu, innovators bekerja sama dengan Cipta Sehat Sanitarian Wonogiri, yakni wirausahawan sanitasi dalam penyediaan paket produk dan jasa pembangunan sanitasi sehat, serta PD BPR BKK Wonogiri selaku bank perkreditan di Kabupaten Wonogiri dalam memberikan jasa pembiayaan kredit pembangunan jamban sehat. Proses adopsi inovasi oleh masyarakat yang terjadi dalam Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Kabupaten Wonogiri adalah melalui lima tahapan, yakni masyarakat mendapat pengetahuan (knowledge), masyarakat
dibujuk/dipersuasi
(persuassion),
masyarakat
mengkonfirmasi
keputusannya untuk mengadopsi inovasi (confirmation), pengambilan keputusan (decision), dan terakhir implementasi keputusan (implementation).
12
Masyarakat mendapat pengetahuan dan dipersuasi dalam Kegiatan Pemicuan Program STBM oleh innovators. Tahap konfirmasi dilakukan masyarakat dengan mencari alasan-alasan penguat keputusan adopsi inovasi jamban sehat. Selanjutnya masyarakat mengambil keputusan, baik secara pribadi maupun secara kelompok untuk berkomitmen merubah perilaku hidup sehatnya dengan mengadopsi program ini. Proses implementasi dilalui ketika masyarakat mulai menyadari betul manfaat dan keuntungan dari adopsi inovasi yang dilakukannya, sehingga semakin menguatkan komitmennya untuk hidup sehat. Tahapan tersebut berbeda dengan teori yang diungkapkan Rogers. Teori Rogers menyebutkan bahwa urutan kelima tahapan tersebut adalah pengetahuan (knowledge),
persuasi
(persuassion),
pengambilan
keputusan
(decision),
implementasi (implementation), dan terakhir konfirmasi (confirmation). Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa pada dasarnya masyarakat bersedia menerima inovasi jamban sehat ini. Setelah mendapat informaasi dan mengikuti kegiatan Pemicuan Program STBM, masyarakat mulai sadar akan pentingnya perilaku hidup sehat dan meningkatkan derajat kesehatan, baik pribadi, maupun lingkungannya. Namun, sebagian besar masyarakat masih terkendala biaya pembangunan jamban sehat yang relatif cukup mahal bagi mereka. Masyarakat menjadi sangat terbantu dengan adanya paket harga produk dan jasa pembangunan jamban sehat dari Cipta Sehaat Sanitarian Wonogiri dan sistem pembiayaan kredit yang dikelola oleh PD BPR BKK Kabupaten Wonogiri. Ada 14 orang narasumber yang dipilih oleh peneliti melalui teknik purposive sampling. Mereka adalah Sumarsono Purwadi, SKM., Edi Asmoro, A.Md,. Daryanto, Agus Heru Budiono, Warsiti, Praptowiyono, Bambang, Pairin, Samsono, Sudarno, Joko, Larti, Darsini, dan Suyatmi. Berdasarkan hasil penelitian, ada lima karakteristik adopter inovasi Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Kabupaten Wonogiri, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Innovator adalah orang yang pertama kali menyebarkan informasi inovasi Program STBM di Kabupaten Wonogiri, yakni Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri dan Puskesmas Jatisrono I. Innovator melakukan penyebaran inovasi
13
melalui komunikasi kelompok dalam kegiatan Pemicuan Program STBM. Selain itu, innovators juga mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi, sumber keuangan yang besar, dan rekam jejak pengalaman yang panjang sehingga memenuhi persyaratan sebagai innovators. 2. Early Adopter adalah orang yang pertama kali menerima informasi dan kemudian turut andil dalam penyebaran informasi ke lapisan masyarakat berikutnya. Early adopter adalah pemuka pendapat yang memiliki kehormatan dan kewibawaan yang lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya dalam suatu struktur sosial masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ini, yang termasuk dalam kategori early adopter adalah Daryanto selaku Kepala Desa Sumberejo Kecamatan Jatisrono dan Agus Heru Budiono selaku Ketua Cipta Sehat Sanitarian (CSS) Wonogiri. 3. Early Majority adalah individu atau kelompok yang mendapat informasi dan pengetahuan cukup banyak tentang inovasi yang disebarkan dan dengan segera bersedia mengadopsi inovasi. Early majority berdasarkan hasil penelitian ini adalah Warsiti, Bambang, Joko, dan Sudarno. Mereka penuh pertimbangan dalam mengadopsi inovasi serta banyak bersosialisasi dengan anggota sistem sosial lainnya. Dalam kategori early majority ini, jarang sekali yang memiliki peran sebagai pemimpin. Kalaupun ada, mereka bukanlah pemuka pendapat. 4. Late Majority adalah orang yang memerlukan beberapa waktu untuk berpikir dahulu dalam mengambil keputusan adopsi inovasi ini. Orang-orang yang termasuk dalam kategori late majority tidak mau mengadopsi ide-ide baru atau inovasi sebelum sebagian besar anggota masyarakat telah melakukannya. Mereka juga mendekati ide-ide baru itu dengan skeptis dan hati-hati. Late majority memerlukan dorongan yang cukup kuat dan faktor keuntungan menjadi pertimbangan utama diadopsinya suatu inovasi. Yang termasuk dalam kategori late majority adalah Samsono, Darsini, Pairin, dan Praptowiyono. 5. Laggards adalah orang-orang yang paling akhir mengadopsi suatu inovasi. Hal ini bisa disebabkan karena mereka memang menolak inovasi, atau takut mengadopsi suatu ide-ide baru yang muncul dalam kehidupannya. Yang termasuk dalam kategori laggards berdasarkan hasil penelitian ini adalah Larti
14
dan Suyatmi. Mereka adalah orang-orang yang paling sempit pandangan, wawasan, dan pengetahuannya. Keputusan yang dibuat biasanya dikaitkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh generasi yang sebelumnya, dan mereka mempunyai nilai-nilai tradisional yang masih melekat kuat. Masing-masing adopter dari masing-masing karakteristik tersebut di atas mengambil keputusan adopsi inovasi dipengaruhi oleh adanya manfaat inovasi yang ditawarkan (relative adventages), keserasian inovasi dan kebutuhan masyarakat (compatibility), kerumitan inovasi (complexity), uji coba terhadapa inovasi (triability), dan obsevabilitas inovasi (observability). Beberapa faktor yang ditemukan menjadi pendukung dan penghambat ditemukan dalam penelitian tentang difusi inovasi Program STBM ini. 1. Faktor Pendukung a. Innovators Program STBM, yakni Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri dan Puskesmas Jatisrono I bekerjasama dengan Cipta Sehat Sanitarian (CSS) Wonogiri dan PD BPR BKK Wonogiri. b. Kinerja perangkat desa terkait yang mendukung Program STBM untuk meningkatkan derajat kesehatan lingkungan di wilayahnya. c. Karakter masyarakat yang masih paternalistik, masyarakat bersedia melaksanakan apa yang diprogramkan pemerintah. d. Masyarakat senang berkumpul, rukun, saling membantu dan bergotong royong dalam pelaksanaan Program STBM. e. Sanitarian sebagai tim pemicu yang telah berpengalaman dan mengetahui karakteristik daerah binaannya, sehingga mengerti apa yang harus dilakukan untuk memicu masyarakat mengadopsi Program STBM. 2. Faktor Penghambat a. Persepsi masyarakat akan adanya bantuan pemerintah dalam setiap program, salah satunya adalah Program STBM. b. Kondisi ekonomi masyarakat menengah ke bawah menjadi keterbatasan masyarakat dalam hal pembiayaan pembangunan jamban sehat. c. Keterbatasan BOK (Biaya Operasional Kesehatan) puskesmas.
15
d. Koordinasi lintas sektor belum intensif dan kinerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) belum optimal. e. Pergantian kepala instansi yang terlalu sering dan dalam tempo waktu singkat mempersulit pelaksanaan program kerja Puskesmas Jatisrono I. f. Persepsi dan dalih masyarakat bahwa kotoran manusia bisa diambil dan dijadikan pupuk.
Kesimpulan Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisis data di atas, dapat penulis dapat mengambil kesimpulan dengan menggambarkan bagan kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut : Gambar 2 Bagan Kesimpulan Hasil Penelitian Difusi Adopsi Inovasi Program STBM di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Sumber: Modifikasi Penulis
16
1. Proses difusi inovasi yang terjadi dalam penyebaran Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Kabupaten Wonogiri adalah diutamakan melalui kegiatan Pemicuan (komunikasi kelompok). Tim pemicu (innovators) mengajak masyarakat berdiskusi melihat dan menggali permasalahan kesehatan yang ada di lingkungannya kemudian memicu masyarakat untuk secara aktif menyelesaikan permasalahannya sendiri. Innovators bekerja sama dengan Cipta Sehat Sanitarian Wonogiri, yakni wirausahawan sanitasi dalam penyediaan paket produk dan jasa pembangunan sanitasi sehat, serta PD BPR BKK Wonogiri selaku bank perkreditan di Kabupaten Wonogiri dalam memberikan jasa pembiayaan kredit pembangunan jamban sehat. 2. Tahapan proses adopsi inovasi Program STBM yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri berbeda dengan teori yang diungkapkan Rogers. Perbedaan tersebut terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Perbandingan Tahapan Adopsi Inovasi No
Teori Rogers
1
Knowledge
Hasil Penelitian Masyarakat Kecamatan Jatisrono Knowledge
2
Persuassion
Persuassion
3
Decision
Confirmation
4
Implementation
Decision
5
Confirmation
Implementation
3. Lima karakteristik adopter inovasi Program (STBM) di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, yaitu: a. Innovator adalah komunikator Program STBM, yakni orang yang pertama kali menyebarkan inovasi Program STBM di Kabupaten Wonogiri. b. Early Adopter adalah orang yang pertama kali menerima informasi inovasi
dan kemudian turut andil mengkomunikasikan pesan (informasi) inovasi ke lapisan masyarakat (khalayak) berikutnya.
17
c. Early Majority adalah individu atau kelompok yang mendapat informasi
dan pengetahuan cukup banyak tentang inovasi yang disebarkan dan dengan segera bersedia mengadopsi inovasi. d. Late Majority adalah orang yang memerlukan beberapa waktu untuk
membentuk persepsi sebelum mengambil keputusan adopsi inovasi ini. e. Laggards adalah orang-orang yang paling akhir mengadopsi suatu inovasi
4. Faktor pendukung dan faktor penghambat
1. 2. 3.
4. 5.
Faktor Pendukung Kerjasama dengan CSS dan PD BPR BKK Wonogiri Kinerja perangkat desa terkait Masyarakat paternalistik, bersedia taat dan melaksanakan apa yang diprogramkan pemerintah Masyarakat rukun dan senang gotong royong Tim pemicu yang telah berpengalaman
Faktor Penghambat 1.Persepsi masyarakat akan adanya bantuan pemerintah. 2.Kondisi ekonomi masyarakat menengah ke bawah 3.Keterbatasan BOK puskesmas 4.Koordinasi lintas sektor belum intensif 5.Pergantian kepala instansi yang terlalu sering dalam waktu singkat 6.Persepsi dan dalih masyarakat bahwa kotoran manusia bisa menjadi pupuk
Saran Ada beberapa saran yang bisa diberikan peneliti usai melakukan penelitian Difusi Adopsi inovasi Program STBM di Kecamatan Jatisrono kabupaten Wonogiri ini. 1. Innovators perlu memanfaatkan media komunikasi lain yang dapat digunakan secara mudah menyeluruh seperti radio. Masyarakat pedesaan masih cukup aktif menggunakan radio sebagai media untuk mendapatkan informasi dengan mudah dan murah. Namun, mengingat banyak dari masyarakat pedesaan di Kabupaten Wonogiri yang belum sepenuhnya bisa menggunakan Bahasa Indonesia baik secara aktif maupun pasif, peneliti meyarankan untuk memilih radio daerah yang memang “merakyat” dan banyak diminati masyarakat. 2. Melihat koordinasi lintas sektor belum intensif dan kinerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) belum optimal. Peneliti menyarakan untuk
18
diadakannya pertemuan rutin, mungkin pertemuan triwulan untuk semua pihak yang bekerja sama dalam penyebaran inovasi Program STBM ini. 3. Bidan desa dan kader kesehatan sebaiknya lebih aktif mengkomunikasikan dan memotivasi masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, khususnya melalui komunikasi interpersonal (komunikasi tatap muka) dan komunikasi pribadi. 4. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan untuk dilakukannya penelitian lanjutan mengenai aspek komunikasi dalam penyebaran inovasi Program STBM di Indonesia. Tujuannya tentu saja untuk mengembangkan dan memperkaya wacana mengenai penelitian komunikasi, teori komunikasi, dan praktik penyebaran inovasi Program STBM di Indonesia sehingga menjadi lebih berdaya guna dan efisien. DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong Uchjana. (1994). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya. Ewless, Linda dan Ina Simnett. (1994). Promosi Kesehatan, Petunjuk Praktis. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. Hanafi, Abdillah. (1987). Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional Judith A. Graeff, dkk. (1996). Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis. Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F. (1971). Communication of Innovations, London: The Free Press. Rogers, Everett M,. (1995). Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press. _______. 1983, Diffusion of Innovations. London: The Free Press. Sukarni, Mariyati. (1994). Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sutopo, H.B.. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. Hessel Nogi .S T. 2005. Manajemen Publik. Jakarta : PT. Grasindo. Bank Dunia. (2013). Sanitasi Buruk Menghambat Potensi Pertumbuhan Indonesia. Via http://www.worldbank.org/in/news/pressrelease/2013/10/28/Poor-Sanitation-Impedes-Indonesia-8217-s-GrowthPotential (Diakses pada 20 Oktober 2013, pukul 11.52 WIB) http://stbm-indonesia.org (Diakses pada 20 Oktober 2013, pukul 11.58 WIB) Suhendra. (2009). Sanitasi buruk, Indonesia Kehilangan Rp 58 Triliun per Tahun. Via http://finance.detik.com/read/2009/04/20/110543/1118058/4/sanitasiburuk-indonesia-kehilangan-rp-58-triliun-per-tahun (Diakses pada 20 Oktober 2013, pukul 11.52 WIB)
19
PAPER JURNAL ONLINE DIFUSI ADOPSI INOVASI PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM)
(Studi Deskriptif Kualitatif tentang Sosialisasi Komunikasi Program Pemicuan Pembangunan Jamban Bersih dan Sehat pada Masyarakat Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri)
Disusun Oleh: ESSA RAHAYUNINGTYAS D0209031
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
20