VII. ANALISIS PENGEMBANGAN CABAI MERAH DAN STRATEGI MANAJEMEN RISIKO
7.1. Analisis Kebijakan Pengembangan Cabai Merah Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik (Williams, 1971; Weimer and Vining, 1989). Analisis kebijakan pengembangan cabai merah dalam hal ini adalah proses mensintesa informasi yang telah dihasilkan dari analisis kuantitatif pada bab sebelumnya, untuk merumuskan sintesa atau rekomendasi kebijakan dalam pengembangan cabai merah di Provinsi Jawa Tengah. Terdapat tiga aspek utama yang dianalisis, yaitu : (1) Aspek produktivitas, (2) Aspek efisiensi produksi, dan (3) Aspek risiko produktivitas.
7.1.1. Analisis Kebijakan Pengembangan Cabai Merah dari Aspek Produktivitas Produktivitas pada hakekatnya adalah seberapa besar keluaran dapat dihasilkan per unit masukan tertentu. Rendah dan tidak stabilnya pertumbuhan produksi cabai merah besar dan cabai merah keriting dalam beberapa tahun terakhir di Provinsi Jawa Tengah diperkirakan masih akan berlanjut dalam beberapa tahun mendatang. Setidaknya ada tiga argumen pokok yang melandasi perkiraan tersebut. Pertama, lambatnya pertambahan luas areal tanam baru akibat terbatasnya pengusaan lahan garapan, penguasaan keterampilan teknis petani, permodalan petani, serta kapabilitas manajerial petani. Kedua, berdasarkan perkembangan data produktivitas dan kajian empiris di lapang gejala
298 melambatnya pertumbuhan produktivitas masih belum berhasil dipecahkan dengan baik, karena terkendala stagnasi teknologi. Ke tiga, adanya fenomena perubahan iklim yang cenderung ekstrim (kekeringan dan banjir) yang umumnya diikuti oleh meningkatnya intensitas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sementara itu, tanaman cabai merah tergolong tanaman yang rentan
terhadap perubahan iklim dan serangan OPT. Mengingat bahwa produktivitas usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting pada lahan sawah baru pada umumnya relatif rendah dan peningkatan serta stabilitas produksi yang dihasilkan membutuhkan waktu adaptasi yang cukup panjang, maka dalam jangka pendek perbaikan produktivitas usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting baik di lahan sawah dataran rendah maupun lahan kering dataran tinggi yang telah ada sangat diperlukan. Mengacu pada hasil analisis kuantitatif yang telah diperoleh sebelumnya, di mana petani telah mencapai produktivitas 94.91 Ku/Ha untuk cabai besar dan 80.21 Ku/Ha untuk cabai merah keriting. Tingkat produktivitas tersebut masih di bawah produktivitas paket rekomendasi, namun telah berada di atas rata-rata produktivitas Jawa Tengah dan nasional. Adanya senjang produktivitas antara petani dengan paket teknologi rekomendasi, fenomena perubahan iklim, dan serangan OPT dalam beberapa tahun terakhir ini kesempatan untuk meningkatkan produktivitas dalam besaran yang nyata sulit diwujudkan, tanpa adanya terobosan inovasi teknologi baru yang benar-benar inovatif. Berdasarkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas cabai merah besar menunjukkan bahwa faktor produksi yang menjadi pembatas
299 peningkatan produktivitas cabai merah besar adalah pupuk N, PPC/ZPT, dan kapur. Sementara itu, faktor-faktor yang menjadi pembatas peningkatan produktivitas cabai merah keriting adalah benih, pupuk N, dan pupuk P2O5. Dalam upaya meningkatkan produktivitas pada teknologi yang tersedia dapat dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan dan tingkat penggunaan faktor produksi yang menjadi pembatas tersebut.
Peningkatan produktivitas
secara nyata hanya dapat dilakukan dengan inovasi teknologi baru yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan, serta adanya mekanisme transfer inovasi teknologi yang lebih maju kepada petani pengguna. Terobosan inovasi teknologi baru dapat difokuskan pada penggunaan benih hibrida tersertifikasi, teknologi pemupukan secara lengkap dan berimbang, penggunaan pupuk organik terstandarisasi, dan penggunaan kapur sebagai unsur pembenah tanah serta teknologi penanganan pasca panen.
7.1.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Cabai Merah dari Aspek Efisiensi Produksi Salah satu temuan hasil analisis kuantitatif dari bab sebelumnya adalah masalah utama yang dihadapi petani cabai merah besar dan cabai merah keriting adalah efisiensi produksi yang masih di bawah frontier-nya. Tingkat pencapaian efisiensi teknis (TE) usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting tergolong tinggi masing-masing sebesar 0.84 dan 0.93.
Tingkat pencapaian
efisiensi alokatif (AE) pada level moderat, masing-masing sebesar 0.61. Sementara itu, tingkat pencapaian efisiensi ekonomi juga pada level moderat, masing-masing 0.51 dan 0.57. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa masih
300 ada peluang peningkatan produktivitas baik melalui peningkatan efisiensi teknis maupun peningkatan efisiensi alokatif. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi yang dapat meningkatkan inefisiensi teknis usahatani cabai merah besar terutama adalah : pupuk K2O, pupuk N, pestisida/fungisida dan benih.
Faktor-faktor yang menimbulkan
inefisiensi teknis pada usahatani cabai merah keriting adalah : PPC/ZPT, pestisda/fungisida, serta TKDK dan TKLK. Sementara itu, faktor produksi yang bersifat menurunkan inefisiensi teknis pada usahatani cabai merah besar adalah kapur, sedangkan pada usahatani cabai merah keriting adalah : pupuk N, pupuk K2O dan kapur. Upaya peningkatan efisiensi teknis atau penurunan inefisiensi teknis dapat dilakukan dengan penggunaan input-input produksi tersebut secara tepat baik jumlah atau dosis, waktu, dan cara pemberiannya. Agar efektif dapat difokuskan pada kelompok sasaran dengan nilai TE moderat. Kebijakan operasional dapat ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan petani, peningkatan kapasitas penyuluh pertanian lapang (PPL), serta sistem penyuluhan melalui pendekatan partisipatif dan kegiatan penyuluhan yang benar-benar inovatif. Adanya keterpaduan lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga penelitian dan pengkajian, lembaga penyuluhan (PPL), serta kelompok tani cabai merah merupakan hal penting untuk meningkatkan efisiensi teknis usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting.
301 Untuk mendukung peningkatan efisiensi alokatif (AE) pada usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting dilakukan melalui : (1) Alokasi penggunaan faktor produksi secara lebif efisien; (2) Memperbaiki struktur pasar input dan output; (3) Kebijakan insentif (skema kredit lunak/subsidi bunga, subsidi benih cabai hibrida, subsidi pupuk kimia, dan subsidi pupuk organik); dan (4) Pengembangan infrastruktur pertanian, seperti jalan, pasar input dan pasar output. Faktor sosial-ekonomi yang berpengaruh menurunkan inefisiensi teknis usahatani cabai merah besar secara nyata adalah : (1) Variabel rasio luas garapan usahatani cabai merah besar terhadap total lahan garapan, (2) Variabel rasio pendapatan dari usahatani cabai merah besar terhadap pendapatan total rumah tangga, (3) Variabel dummy pengetahuan teknologi budidaya, (4) Variabel dummy akses ke pasar input, (5) Variabel dummy keanggotaan kelompok tani, dan (6) Variabel dummy perlakuan pasca panen. Upaya menurunkan inefisiensi teknis dari aspek sosial ekonomi pada usahatani cabai merah besar dapat dilakukan melalui : (1) Meningkatkan pangsa luas lahan garapan usahatani dengan didukung kebijakan pertanahan yang kondusif (program sertifikasi tanah); (2) Meningkatkan pangsa pendapatan dari usahatani cabai merah besar terhadap total pendapatan, melalui intensifikasi usahatani; (3) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis budidaya, melalui penyediaan teknologi spesifik lokasi dan jenis cabai merah; (4) Meningkatkan akses petani ke pasar input dan kredit, melalui kebijakan subsidi input dan subsidi bunga; (5) Meningkatkan konsolidasi kelompok tani
302 (keanggotaan, manajemen, dan permodalan) dan memberdayakan anggota secara partisipatif; serta (6) Mendorong petani untuk melakukan kegiatan penanganan pasca panen melalui dukungan infrastruktur penaganan pasca panen dan penyediaan teknologi pasca panen. Faktor sosial-ekonomi yang berdampak menurunkan inefisiensi teknis usahatani cabai merah keriting secara nyata adalah : (1) Variabel total luas lahan garapan, (2) Variabel rasio luas garapan usahatani cabai merah keriting terhadap total lahan garapan, (3) Variabel pendapatan total rumah tangga, (4) Variabel pendidikan formal KK rumah tangga petani, dan (5) Variabel pengalaman KK rumah tangga tani dalam berusahatani cabai merah keriting. Upaya menurunkan inefisiensi teknis dari aspek sosial ekonomi pada usahatani cabai merah keriting dapat dilakukan dengan : (1) Meningkatkan luas lahan garapan usahatani dengan didukung kebijakan pertanahan yang kondusif (program sertifikasi tanah) dan konsolidasi usahatani; (2) Meningkatkan pangsa luas lahan garapan usahatani cabai merah keriting terhadap total lahan garapan, melalui dukungan permodalan dengan skema kredit lunak; (3) Meningkatkan sumber-sumber pendapatan baru bagi petani cabai merah keriting, terutama melalui pengembangan agroindustri berbasis cabai merah di daerah-daerah sentra produksi; (4) Meningkatkan pendidikan formal KK melalui pendidikan dan pelatihan untuk orang dewasa melalui pendekatan partisipatif, misalnya melalui sekolah lapang; dan (5) Meningkatkan pengalaman KK dalam usahatani cabai merah keriting baik dari aspek keterampilan teknis maupun manajemen usahatani.
303 7.1.3. Analisis Kebijakan Pengembangan Cabai Merah dari Aspek Risiko Produktivitas dan Harga Akibat adanya risiko produktivitas dan harga mempengaruhi petani cabai merah dalam keputusan alokasi penggunaan input produksi.
Hasil analisis
kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor produksi yang bersifat meningkatkan dan menurunkan risiko produktivitas.
Faktor produksi yang
bersifat meningkatkan risiko produktivitas pada usahatani cabai merah besar adalah : penggunaan benih, pupuk N, pupuk K2O, PPC/ZPT, serta TKLK. Dengan demikian, pada usahatani cabai merah besar penggunaan benih, pupuk N, pupuk K2O, PPC/ZPT, serta TKLK merupakan faktor yang dapat menimbulkan risiko produktivitas. Sementara itu, faktor produksi yang bersifat meningkatkan risiko produktivitas pada usahatani cabai merah keriting adalah : benih, pupuk N, pupuk P2O5, pupuk K2O, PPC/ZPT, pupuk organik, kapur, serta TKDK dan TKLK.
Faktor-faktor
produksi
tersebut
merupakan
faktor
yang
dapat
menimbulkan risiko produktivitas cabai merah keriting. Faktor produksi yang bersifat menurunkan risiko produktivitas pada usahatani cabai merah besar adalah : pupuk P2O5, pupuk organik, kapur, pestisida/fungisida dan TKDK. Dengan demikian, faktor-faktor produksi tersebut merupakan faktor yang mengurangi risiko produktivitas cabai merah besar. Sementara itu, faktor produksi yang bersifat menurunkan produktivitas pada usahatani cabai merah keriting adalah pestisida/fungisida.
Dengan demikian
faktor pestisida/fungisida berdampak mengurangi risiko produktivitas usahatani cabai merah keriting.
304 Dalam mengurangi dampak risiko produktivitas pada usahatani cabai merah besar dapat dilakukan antara lain, dengan : mengurangi penggunaan benih lokal dan mengganti benih hibrida tersertifikasi, rasionalisasi penggunaan (pupuk N, pupuk K2O, PPC/ZPT), menambah penggunaan (pupuk P2O5, pupuk organik, kapur, pestisida/fungisida, serta substitusi TKLK dengan TKDK).
Untuk
mengurangi dampak risiko produktivitas pada usahatani cabai merah keriting dapat dilakukan dengan : mengurangi penggunaan input benih lokal dan mengganti dengan benih hibrida, merasionalisasi penggunaan (pupuk N, pupuk K2O, pupuk organik, kapur, PPC/ZPT), penggunaan pestisida/fungisida secara tepat (dosis, waktu, dan metode), serta menambah penggunaan TKDK dan TKLK. Upaya penanganan risiko produktivitas cabai merah besar dan cabai merah keriting dapat dilakukan dengan diversifikasi usahatani, sistem tanam tumpang sari, rotasi tanaman, serta asuransi pertanian dengan subsidi premi dari pemerintah. Secara rataan petani cabai merah besar dan cabai merah keriting berperilaku netral terhadap risiko produktivitas (risk neutral). Namun secara parsial, dalam alokasi penggunaan faktor produksi terdapat petani yang berperilaku netral terhadap risiko produktivitas (risk neutral) dan berani mengambil risiko produktivitas (risk taker). Perilaku berani mengambil risiko produktivitas pada petani cabai merah besar hanya ditemukan pada alokasi penggunaan faktor produksi pupuk N dan pupuk organik. Sementara itu, perilaku berani mengambil risiko produktivitas pada petani cabai merah keriting hanya ditemukan pada alokasi penggunaan input P2O5.
305 Perilaku netral terhadap risiko produktivitas (risk neutral) hingga berani mengambil risiko produktivitas (risk taker) berpengaruh terhadap lebih tingginya alokasi penggunaan faktor produksi.
Selanjutnya berdampak pada tingkat
produktivitas, nilai TE, dan tingkat pendapatan usahatani yang lebih tinggi. Untuk mendorong petani cabai merah besar dan cabai merah keriting berperilaku berani mengambil risiko produktivitas (risk taker) dapat dilakukan dengan : (1) Menggunakan benih hibrida yang tahan terhadap cekaman lingkungan dan serangan OPT; (2) Pemupukan secara lengkap dan berimbang serta penggunaan pupuk organik terstandarisasi; (3) Melakukan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, (4) Melakukan diversifikasi usahatani dan rotasi tanaman; (5) Pengembangan infrastruktur irigasi spesifik agroekosistem dan komoditas; (6) Konsolidasi kelembagaan kelompok tani dan gabungan kelompok tani (Gapoktan); dan (7) Pentingnya pengembangan asuransi pertanian melalui entry point komoditas bernilai ekonomi tinggi. Petani cabai merah besar dan cabai merah keriting menghadapi risiko harga, yang ditunjukkan oleh tingginya koefisien variasi harga bulanan. Bahkan berdasarkan informasi di lapang petani menghadapi risiko harga dalam jangka pendek sekalipun, karena tingginya fluktuasi harga harian. Perilaku petani cabai merah besar adalah bersifat menghindari risiko harga (risk averse). Sementara itu, perilaku petani cabai merah keriting adalah bersifat berani mengambil risiko harga (risk taker). Upaya untuk mengatasi adanya risiko harga output, maka dapat dilakukan dengan : (1) Pertanian kontrak (contrack farming) baik melalui kontrak produksi
306 atau hanya sebatas kontrak pemasaran (contract marketing); (2) Tergabung dalam kelembagaan kemitraan usaha antara kelompok tani dengan perusahaan industri pengolahan untuk menjaga stabilitas harga dan kontinyuitas pasokan; (3) Memperbaiki sistem kontrak, terutama dalam penentuan harga kontrak yang didasarkan atas biaya produksi dan ekpektasi harga output, adanya sistem reward and punishment : kualitas bagus mendapat bonus, ingkar janji dikeluarkan); (4) Penyediaan sarana dan prasarana penyimpanan berpendingin (cold storage), sistem transportasi berpendingin, dan pengembangan agroindustri berbahan baku cabai merah di daerah-daerah sentra produksi; dan (5) Merevitalisasi pendayagunaan pasar induk cabai merah dan Sub Terminal Agribisnis (STA) yang telah ada di daerah-daerah sentra produksi; (6) Meningkatkan akses petani terhadap informasi pasar; dan (7) Kebijakan perdagangan yang bersifat melindungi petani, seperti tarif impor dan promosi ekspor.
7.2. Persepsi Petani terhadap Risiko Usahatani Pada Tabel 54 dan 55 diuraikan pengertian risiko usahatani berdasarkan persepsi petani cabai merah besar dan cabai merah keriting. Pada Tabel 54 memberikan informasi mengenai persepsi petani cabai merah besar, yang dapat disarikan sebagai berikut : urutan pertama, sebagian besar petani cabai merah besar (52.00 %) menganggap bahwa risiko berkaitan dengan kemungkinan mengalami kerugian. Urutan kedua, petani berpendapat bahwa risiko adalah semua hal yang dapat membahayakan usahatani cabai merah besar, tetapi dapat
307 dicegah atau dikurangi dampaknya jika diwaspadai sejak awal (25.55 %). Urutan ketiga, suatu ukuran penyebab terjadinya penyimpangan dari produksi cabai merah besar yang diharapkan (13.50 %). Terakhir, risiko adalah konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani cabai merah besar, misalnya dalam menyediakan modal, sarana produksi, tenaga kerja, serta bahan dan alat (9.00 %). Dengan demikian, sebagian besar petani cabai merah besar dalam memandang risiko telah memperhitungkan baik risiko produksi atau produktivitas maupun risiko harga dan tidak lagi hanya sebagai penyimpangan atau deviasi dari hasil yang diharapkan seperti dikemukakan oleh Bond dan Wonder (1980) serta Adiyoga dan Soetiarso (1999). Usahatani cabai merah besar dikategorikan gagal menurut persepsi petani, antara lain ditentukan oleh faktor jatuhnya harga jual hasil panen (42.00 %), kegagalan produksi atau gagal panen sebagai salah satu kriteria penting untuk mengkategorikan keberhasilan (25.55 %).
Selanjutnya proporsi petani yang
mengemukakan bahwa usahatani cabai merah besar dikatakan gagal,
jika
produksi dan harga jual hasil panen keduanya relatif rendah (32.55 %). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa risiko harga jual merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kegagalan dalam usahataninya. Hasil kajian secara kualitatif menunjukkan bahwa jika produksi normal atau tinggi, tetapi harga rendah, demikian juga sebaliknya jika produksi turun tetapi harga tinggi petani cenderung tidak mengklasifikannya sebagai kegagalan usahatani.
Meskipun dihadapkan kepada berbagai faktor eksternal, petani
308 menganggap keberhasilan produksi juga banyak dipengaruhi keterampilan teknis dalam budidaya, kemampuan permodalan, dan kapabilitas manajerial.
Tabel 54. Persepsi Petani mengenai Risiko Usahatani Cabai Merah Besar di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2009 No 1
2
3
4
5
Persepsi petani Risiko menurut persepsi petani Suatu ukuran penyebab terjadinya penyimpangan dari produksi cabai merah besar yang diharapkan Semua hal yang cenderung menjurus kepada terjadinya kerugian usahatani cabai merah besar Semua hal yang dapat membahayakan usahatani cabai merah besar, tetapi dapat dicegah atau dikurangi dampaknya jika diwaspadai sejak awal Konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani cabai merah besar, misalnya menyediakan modal, sarana produksi, TK, serta bahan dan alat. Total Usahatani cabai merah besar yang dikategorikan gagal menurut persepsi petani Produksi cabai merah besar yang dihasilkan relatif rendah (<50 % dari produksi biasanya) Harga cabai merah besar yang diterima relatif rendah (mendekati biaya pokok) Produksi dan harga cabai merah besar keduanya relatif rendah
Frek (N)
(%)
27
13.50
104
52.00
51
25.55
18
9.00
200
100.00
51
25.55
65
32.50
84
42.00
Total Tingkat risiko produktivitas usahatani cabai merah besar menurut persepsi petani Tinggi (>50 % gagal panen) Sedang (25 %-50 % gagal panen) Rendah (<50 % gagal panen)
200
100.00
103 70 27
51.50 35.00 13.50
Total Tingkat risiko harga cabai merah besar menurut persepsi petani Tinggi (harga jatuh >50 % dari rata-rata) Sedang (harga jatuh 25 %-50 % dari rata-rata) Rendah (<25 % dari rata-rata) Total Tingkat keuntungan usahatani cabai merah besar Tinggi (rasio penerimaan terhadap biaya > 2) Sedang (rasio penerimaan terhadap biaya 1,5 - < 2) Rendah (rasio penerimaan terhadap biaya < 1,5)
200
100.00
116 74 10 200
58.00 37.00 5.00 100.00
92 60 48
46.00 30.00 24.00
200
100.00
Total
309 Sementara itu, harga cabai merah besar yang diharapkan sering kali berbeda dengan harga aktual yang terjadi pada saat panen. Untuk petani cabai merah besar pada skala kecil sekalipun, harga output adalah faktor yang dianggap cukup penting dalam memilih komoditas. Namun umumnya petani menyadari bahwa harga jual cabai merah besar ditentukan oleh faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendalinya. Tingkat risiko produktivitas usahatani
cabai
merah
besar
menurut
persepsi petani adalah : urutan pertama, sebagian besar petani berpendapat bahwa risiko produktivitas cabai merah besar berada pada kisaran sedang (51.50 %). Urutan kedua, sebagian petani berpendapatan bahwa risiko produktivitas cabai merah besar adalah tinggi (35.00 %).
Terakhir, sebagian kecil petani yang
berpendapat bahwa risiko produktivitas usahatani cabai merah adalah kecil (13.50 %). Artinya sebagian besar petani berpendapat bahwa risiko produktivitas usahatani cabai merah besar adalah sedang hingga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa fluktuasi produktivitas antar musim dan antara yang diharapkan dengan yang aktual cukup tinggi. Tingkat risiko harga cabai merah besar menurut persepsi petani secara berturut-turut adalah tinggi, sedang dan kecil. Urutan pertama, sebagian besar petani berpendapat bahwa risiko harga cabai merah besar adalah tinggi (58.00 %). Urutan kedua, sebagian petani berpendapat bahwa risiko harga cabai merah besar adalah sedang (37.00 %). Terakhir, hanya sebagian kecil petani yang berpendapat bahwa risiko harga cabai merah besar adalah kecil (5.00 %).
Hasil analisis
kualitatif menunjukkan secara umum petani cabai merah besar berpendapat bahwa
310 risiko harga cabai merah besar adalah sedang hingga tinggi.
Hal ini juga
ditunjukkan oleh tingginya fluktuasi harga antar waktu di beberapa daerah sentra produksi cabai merah di Jawa Tengah. Tingkat keuntungan usahatani cabai merah besar secara berturut-turut adalah tinggi, sedang dan kecil.
Urutan pertama, sebagian besar petani
berpendapat bahwa keuntungan usahatani cabai merah besar adalah tinggi (46.00 %). Urutan kedua, sebagian petani berpendapatan bahwa keuntungan usahatani cabai merah besar adalah sedang (40.00 %). Terakhir, sebagian kecil petani yang berpendapat bahwa tingkat keuntungan usahatani cabai merah adalah kecil (24.00 %). Secara umum petani berpendapat bahwa keuntungan usahatani cabai merah besar tergolong sedang hingga tinggi, yang menempatkan komoditas cabai merah besar merupakan komoditas yang memberikan keuntungan tinggi (high profit), namun juga memiliki risiko sedang hingga tinggi (high risk). Pada Tabel 55 diperlihatkan informasi mengenai persepsi petani cabai merah keriting tentang risiko usahatani. Urutan pertama, sebagian besar petani menganggap bahwa risiko usahatani berkaitan dengan kemungkinan yang menyebabkan petani mengalami kerugian (37.50 %). Dalam hal ini petani telah memperhitungkan baik risiko produktivitas maupun risiko harga. Urutan kedua, semua hal yang dapat membahayakan usahatani cabai merah keriting, tetapi dapat dicegah atau dikurangi dampaknya jika diwaspadai sejak awal (33.33 %). Dalam kontek ini, petani telah mempertimbangkan risiko produktivitas maupun harga, serta langkah antisipatif dalam menanggulangi risiko.
Urutan ketiga, petani
berpendapat bahwa risiko usahatani adalah suatu ukuran penyebab terjadinya
311 penyimpangan dari produksi cabai merah keriting yang diharapkan dengan tingkat produksi aktual yang dicapai (17.71 %).
Terakhir, risiko usahatani adalah
konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani cabai (11.46 %). Dapat disimpulkan petani cabai merah keriting dalam memandang risiko usahatani telah mempertimbangkan baik risiko produksi atau prduktivitas maupun risiko harga. Usahatani cabai merah keriting dikategorikan gagal menurut persepsi petani adalah jika tingkat produksi dan harga adalah cukup rendah (45.83 %), kemudian produksi yang dihasilkan relatif rendah (35.42 %), dan terakhir jika tingkat harga yang diterima mendekati harga pokok (18.75 %). Artinya petani cabai merah keriting telah mengkalkulasikan baik risiko produktivitas maupun risiko harga, namun bobot risiko produksi atau produktivitas masih lebih besar jika dibandingkan dengan risiko harga. Tingkat risiko harga cabai merah keriting memberi gambaran yang relatif sama dibandingkan risiko produktivitas. Urutan pertama, sebagian besar petani berpendapat bahwa risiko harga cabai merah keriting adalah tinggi (58.33 %). Urutan kedua, sebagian petani berpendapatan bahwa risiko harga cabai merah keriting adalah sedang (18.50 %). Hanya sebagian kecil petani yang berpendapat bahwa risiko harga cabai merah adalah kecil (11.46 %). Artinya sebagian besar petani berpendapat bahwa risiko harga cabai merah keriting adalah tinggi, yang mengindikasikan bahwa harga output merupakan faktor eksternal yang berada di luar kendali petani.
312 Tabel 55. Persepsi Petani mengenai Risiko Usahatani Cabai Merah Keriting di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2009 No 1
2
3
4
5
Persepsi petani Risiko menurut persepsi petani Suatu ukuran penyebab terjadinya penyimpangan dari produksi cabai merah keriting yang diharapkan Semua hal yang cenderung menjurus kepada terjadinya kerugian usahatani cabai merah keriting Semua hal yang dapat membahayakan usahatani cabai merah keriting, tetapi dapat dicegah atau dikurangi dampaknya jika diwaspadai sejak awal Konsekuensi yang membebani petani jika hendak berusahatani cabai merah keriting, misalnya menyediakan modal, sarana produksi, TK serta bahan dan alat. Total Usahatani cabai merah keriting dikategorikan gagal menurut persepsi petani Produksi cabai merah keriting yang dihasilkan relatif rendah (<50 % dari produksi biasanya) Harga cabai merah keriting yang diterima relatif rendah (mendekati biaya pokok) Produksi dan harga cabai merah keriting keduanya relatif rendah Total Tingkat risiko produktivitas usahatani cabai menurut persepsi petani Tinggi (>50 % gagal panen) Sedang (25 %-50 % gagal panen) Rendah (<50 % gagal panen) Total Tingkat risiko harga cabai merah menurut persepsi petani Tinggi (harga jatuh >50 % dari rata-rata) Sedang (harga jatuh 25 %-50 % dari rata-rata) Rendah (<25 % dari rata-rata) Total Tingkat keuntungan usahatani Tinggi (rasio penerimaan terhadap biaya > 2) Sedang (rasio penerimaan terhadap biaya 1,5 - < 2) Rendah (rasio penerimaan terhadap biaya < 1,5) Total
Frek (N)
(%)
17
17.71
36
37.50
32
33.33
11
11.46
96
100.00
34
35.42
18
18.75
44 96
45.83 100.00
48 37 11 96
50.00 18.50 11.46 100.00
56 34 6 96
58.33 35.42 6.25 100.00
62 21 13 96
64.58 21.88 13.54 100.00
Persepsi petani terhadap tingkat keuntungan usahatani cabai merah keriting secara berturut-turut adalah tinggi, sedang dan kecil. Urutan pertama, sebagian besar petani berpendapat bahwa keuntungan usahatani cabai merah keriting adalah besar (64.58 %). Urutan kedua, sebagian petani berpendapatan
313 bahwa keuntungan usahatani cabai merah keriting adalah sedang (21.88 %). Terakhir, hanya sebagian kecil petani yang berpendapat bahwa tingkat keuntungan usahatani cabai merah keriting adalah kecil (13.54 %). Secara umum petani berpendapat bahwa keuntungan usahatani cabai merah keriting adalah tinggi, yang menempatkan cabai merah keriting sebagai komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi.
7.3. Persepsi Petani Cabai Merah Mengenai Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Risiko Usahatani Sebagian besar petani cabai merah besar (85 %) dan cabai merah keriting (90%) menanam cabai merah satu kali dalam setahun, sedangkan sisanya menanam lebih dari satu kali. Petani menanam satu kali dalam satu tahun dengan alasan untuk menghindari risiko gagal panen, karena penanaman lebih dari satu kali dapat menimbulkan serangan organisma pengganggu tanaman (OPT) dan pengurasan unsur hara yang sama, sehingga menyebabkan menurunnya kesuburan lahan. Pada Tabel 56 diperlihatkan persepsi petani cabai merah besar dan cabai merah keriting terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi risiko produksi. Beberapa faktor risiko produksi dapat diklasifikasikan menjadi faktor eksternal (perubahan iklim, serangan OPT, fluktuasi harga input, dan fluktuasi harga output) dan faktor internal (ketersediaan modal, penguasaan teknologi, dan kemampuan manajerial). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil kajian (Patrick, et al., 1985) yang mengemukakan bahwa sumber risiko yang dirasakan rumah tangga petani, di antaranya adalah ketidakpastian iklim atau cuaca, serangan hama
314 dan penyakit tanaman, dan fluktuasi harga output. Penyebab utama, faktor pertama, kedua dan ketiga pada usahatani cabai merah besar secara berturut-turut adalah serangan OPT, perubahan iklim, dan harga jual jatuh. Pada usahatani cabai merah keriting secara berturut-turut faktor yang paling bepengaruh terhadap risiko adalah perubahan iklim, harga jual cabai merah keriting jatuh, dan serangan OPT. Meningkatnya dinamika perubahan iklim pada periode terakhir ini, menyebabkan risiko usahatani cabai merah besar akibat kekeringan, kebanjiran dan salinitas makin besar. Perubahan iklim yang semakin ekstrim turut memacu serangan OPT yang makin eksplosif.
Ketiga
faktor tersebut merupakan faktor eksternal yang berada di luar kontrol petani. Nampak bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap risiko produksi untuk cabai merah keriting adalah perubahan iklim dan menyusul serangan OPT.
Tabel 56. Persepsi Petani Cabai Merah Besar dan Cabai Merah Keriting Mengenai Urutan Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Risiko, di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2009
No
Faktor-faktor yang berpengaruh
1 2 3 4 5 6
Perubahan iklim/cuaca Serangan OPT Harga saprodi tinggi Harga jual cabai jatuh Ketersediaan modal usaha Rendahnya penguasaan tehnologi Rendahnya kemampuan manajerial
7
Persepsi petani menyangkut urutan kepentingan untuk setiap faktor (%) Cabai Merah Besar Cabai Merah Keriting 1 2 3 1 2 3 41.65 15.00 34.75 34.65 29.30 30.35 34.30 47.80 11.90 37.15 32.15 24.10 2.90 3.70 1.85 7.70 5.35 21.85 32.75 44.15 26.90 23.20 36.60 1.40 1.50 5.45 2.60 1.80 1.80 2.90 3.60 -
-
0.80
-
-
-
315 7.4. Strategi Petani dalam Menghadapi Risiko Usahatani Jolly (1983) yang diacu Adiyoga dan Soetiarso (1999) mengemukakan bahwa respon petani terhadap risiko produksi dapat dikategorikan menjadi usaha yang diarahkan untuk mengendalikan kemungkinan timbulnya risiko (bersifat antisipatif) dan tindakan yang ditunjukkan untuk mengurangi dampak risiko (bersifat resposif dan adaptif). Dalam usaha mengontrol sumber risiko, petani sebagai pengambil keputusan harus memilih himpunan distribusi probabilitas yang paling mungkin dihadapi. Debertin (1986) mengemukakan bahwa strategi dalam menghadapi risiko dan ketidak pastian dalam transaksi adalah : penjaminan untuk menanggulangi risiko (insure against risk), kontrak, adanya perlengkapan dan fasilitas yang fleksibel (flexible fasilities and equipment), diversifikasi (diversification), dan mengikuti program pemerintah. Petani dapat mengelola risiko, antara lain melalui : (1) diversifikasi usaha (enterprise diversification), (2) integrasi vertikal (vertical integration), (3) kontrak produksi (production contract), (4) kontrak pemasaran (marketing contract), (5) pasar masa depan (hedging in futures), (6) pemeliharaan pencadangan keuangan (maintaining financial reserves and leveraging), (7) likuiditas (liquidity), menyewa dalam pengadaan input dan pelanggan (leasing inputs and hiring custom), dan (8) asuransi produktivitas atau penerimaan tanaman (insuring crop yield and crop revenues) (Chopra dan Sodhi, 2004). Respon petani terhadap goncangan atau kejutan yang dihadapi dalam kegiatan usahatani dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : (a) respon sebelum terjadi goncangan yaitu ex ante; (b) respon pada saat terjadi goncangan yaitu
316 interactive; dan (c) respon setelah terjadi goncangan yaitu ex post (Malton, 1991; Adiyoga dan Soetiarso, 1999).
Respon yang pertama bersifat antisipatif,
dirancang untuk mempersiapkan usahatani agar tidak berada pada posisi yang terlalu rawan pada saat goncangan terjadi. Respon kedua bersifat interaktif atau responsif pada saat terjadi goncangan, melibatkan realokasi sumberdaya agar dampak risiko terhadap produksi atau produktivitas dapat diminimalkan. Sedangkan respon ketiga bersifat adaptif pada waktu setelah goncangan terjadi diarahkan untuk meminimalkan dampak berikutnya. Dalam mengelola risiko seorang risk manager harus memperhatikan beberapa hal: (1) menentukan serta menganalisis risiko yang dihadapinya, (2) bagaimanakah menanggulangi risiko tersebut, dan (3) harus paham akan ilmu asuransi (Salim, 1998). Selanjutnya Sanim (2009) mengemukakan bahwa risiko produksi pertanian mencakup kekeringan, banjir, tingkat kelembaban yang berlebihan, serangan hama dan penyakit tanaman, curah hujan yang sangat tinggi, dan angin puting beliung.
Selanjutnya dikatakan manajemen risiko produksi
pertanian dapat dilakukan dengan diversifikasi produksi tanaman, variasi musim atau waktu tanam antar persil lahan yang berbeda, pengembangan sistem irigasi yang baik (irigasi gembor, irigasi tetes, irigasi sprincle), dan melalui sistem bagi hasil. Risiko usahatani yang disebabkan kemungkinan menurunnya kualitas produksi dapat ditanggulangi dengan penerapan praktek usahatani yang baik (Good Farming Practices/GFP). Sementara itu, risiko pasar dapat ditanggulangi dengan beberapa cara, yakni diversifikasi tujuan pasar, integrasi vertikal, kontrak
317 dimuka (foward contracting), pasar masa depan (future market), usaha perlindungan (hedging), dan opsi pertanian (agricultural option). Secara operasional strategi risiko usahatani dapat dikelompokkan menjadi : (a) strategi manajemen risiko ex-ante (ex-ante risk management strategy) terutama ditujukan untuk antisipatif terjadinya goncangan, (b) strategi manajemen risiko interaktif (interactive risk management strategy) yang ditujukan untuk responsif pada saat terjadinya goncangan, (c) strategi manajemen risiko ex-post (ex-post risk management strategy) yang ditujukan untuk adaptif setelah terjadi goncangan (Malton, 1991; Adiyoga dan Soetiarso, 1999).
7.4.1. Strategi Manajemen Risiko Usahatani Ex-ante (Ex-ante Risk Management Strategy) Strategi manajemen risiko usahatani yang ditempuh petani sebelum timbulnya risiko pada dasarnya ditujukan untuk memperkecil variabilitas penerimaan. Pada Tabel 57 ditunjukkan bahwa pola tanam yang memasukkan komoditas cabai merah besar dan cabai merah keriting diikuti oleh sebagian besar petani responden masing-masing (64.50 %) dan (67.71 %).
Alasan petani
mengikuti pola tanam dominan tersebut adalah : (1) Pola tanam tersebut dipandang yang paling menguntungkan, (2) Sesuai dengan kondisi iklim setempat, (3) Sesuai dengan kondisi lahan, seperti topografi dan kesuburan lahan, dan (4) Kalau berbeda dengan pola tanam yang umum berlaku dapat terserang hama dan penyakit tanaman, serta (5) Menjaga kesuburan lahan dan keberlanjutan usahatani.
318 Sistem produksi yang dipilih oleh petani cabai merah besar adalah sistem tumpang sari/tumpang gilir (65 %) dan monokultur (35 %). Untuk cabai merah keriting petani yang menerapkan sistem tanam tumpang sari (53 %) dan monokultur (47 %). Sistem tanam monokultur untuk cabai merah besar sangat terkait dengan kelembagaan kemitraan antara petani cabai merah dengan perusahaan industri pengolahan sebagai perusahaan yang merekomendasikan sistem budidaya secara monokultur. Bagi perusahaan mitra, sistem tanam ini sangat penting karena dapat lebih menjamin pasokan yang dapat memenuhi perusahaan industri pengolahan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas cabai merah yang dihasilkan. Beberapa alasan petani menggunakan sistem produksi cabai merah besar secara monokultur adalah : (1) Manajemen usahatani dan kegiatan-kegiatan menjadi lebih mudah, (2) Performa pertumbuhan tanaman menjadi lebih bagus, (3) Produktivitas perbatang lebih tinggi, dan (4) Kualitas hasil menjadi lebih baik. Sementara itu, alasan petani menggunakan sistem produksi tumpangsari atau tumpang gilir lebih ditujukan untuk saling menutupi kerugian atau mengurangi risiko produksi dan penggunaan input produksi dan tenaga kerja menjadi lebih efisien. Tidak diperoleh kesimpulan yang pasti apakah sistem usahatani tumpangsai memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan monokultur. Soetiarso dan Setiawati (2010) mengungkapkan bahwa sistem usahatani cabai merah tumpangsari dua variaetas cabai merah (Tanjung 2 dan Hot Chili) dengan kubis di dataran tinggi memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
319 sistem tanam monokultur, dengan perbandingan pada varietas Tanjung 2 (6.89 juta vs 5.08 juta/0.25 Ha) dan Hot Chili (Rp. 13.01 juta vs 9.34 juta/0.25 Ha). Diversifikasi varietas juga merupakan salah satu metode manajemen risiko usahatani ex ante. Pada Tabel 57 diperlihatkan bahwa sebagian besar petani baik petani cabai merah besar maupun cabai merah keriting menggunakan varietas tunggal, masing-masing dengan pangsa (61.50 %) dan (62.5 %).
Meskipun
demikian, pangsa petani yang menggunakan beberapa varietas masih cukup besar (38.5 % %) untuk cabai merah besar dan (37.5 %) untuk cabai merah keriting. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan varietas yang menawarkan karakteristik spesifik (umur panen, ketahanan terhadap serangan OPT, ketahanan terhadap perubahan iklim) jumlahnya cukup memadai, baik varietas unggul lokal (TIT Randu, TIT Segitiga, dan TIT Super) maupun varietas hibrida. Secara empiris terdapat kecenderungan pergeseran dari penggunaan cabai merah dari unggul lokal ke hibrida, bahkan di daerah sentra produksi baru petani cenderung bertumpu pada varietas hibrida, karena secara lokal spesifik telah teruji kelayakannya. Untuk mengurangi risiko kegagalan usahatani, sebagian besar petani baik cabai merah besar maupun cabai merah keriting mengandalkan benih hibrida yang dibeli dari kios atau toko saprodi, masing-masing dengan pangsa (51.50 %) dan (93.75 %). Penggunaan varietas unggul lokal masih banyak dijumpai pada cabai merah besar yang sebagian besar ditemukan di daerah sentra produksi Kabupaten Brebes, yang memilih bibit yang diproduksi sendiri dengan anggapan bahwa spesifikasi dan kualitas produk yang dihasilkan sudah diterima pasar dan dapat menghemat biaya bibit karena dapat diproduksi sendiri (secara empiris benih
320 unggul lokal memiliki kualitas dan produktivitas lebih rendah dibandingkan benih hibrida). Tidak adanya jaminan mutu dan sertifikasi benih buatan petani sendiri oleh pemerintah menyebabkan tingkat produktivitas yang dicapai lebih rendah dibandingkan benih cabai hibrida. Secara empiris penggunaan benih lokal dijumpai di daerah sentra produksi Kabupaten Brebes tidak hanya menyebabkan rendahnya produktivitas, tetapi juga menyebabkan makin rendahnya frekuensi panen dari di atas 20 kali panen menjadi hanya 12 kali panen. Walaupun dalam luasan yang relatif sempit, sebagian responden petani cabai merah besar (36 %) dan cabai merah keriting (44%) mengusahakan cabai merah besar pada beberapa lokasi. Selain mengusahakan lahan milik sendiri, sepanjang modal tersedia dan penawaran lahan sewa tersedia, petani juga menyewa lahan. Hal ini sebenarnya merupakan salah satu strategi pengendalian risiko produksi, karena malalui diversifikasi hamparan petani juga dapat mengurangi variasi hasil produksi agregat. Demikian pula jika secara spasial lokasi hamparan tersebut tersebar, variabilitas produksi agregat yang diakibatkan oleh dampak serangan OPT dan ketidak pastian iklim seperti kekeringan dan kebanjiran dapat dikurangi. Dapat disimpulkan bahwa penanaman cabai merah pada beberapa lokasi lahan garapan baik pada lahan milik maupun lahan sewa dapat mengurangi variasi produktivitas, sehingga meningkatkan risiko produksi yang bersifat antisipatif (exante). Secara terperinci informasi tentang manajemen risiko usahatani ex-ante yang dilakukan petani dapat dilihat pada Tabel 57.
321 Tabel 57. Strategi Manajemen Risiko Ex ante pada Usahatani Cabai Merah Besar dan Cabai Merah Keriting, di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2009 No.
1 2
3
4
5
6
7
8
Uraian
Pola tanam dominan setahun Alasan mengikuti pola tanam dominan a. Pola tanam/rotasi tanaman tsb dipandang paling menguntungkan b. Sesuai dengan kondisi iklim setempat c. Sesuai dengan kondisi lahan (topografi, kesuburan) d. Kalau berbeda bisa tejadi serangan OPT. e. Menjaga kesuburan lahan dan keberlanjutan Sistem produksi cabai merah yang digunakan a. Monokultur b. Tumpang sari atau tumpang gilir Alasan menggunakan sistem monokultur a. Manajemen usahatani lebih mudah b. Performa pertumbuhan tanaman bagus c. Produktivitas perbatang lebih tinggi d. Kualitas hasil lebih baik e. Memberikan keuntungan yang lebih besar Alasan menggunakan sistem produksi tumpangsari atau tumpang gilir a. Secara keseluruhan lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem monokultur b. Penggunaan input produksi yang lebih efisien c. Performa pertumbuhan lebih baik d. Saling menutupi kerugian/mengurangi risiko e. Menjaga kesuburan lahan dan keberlanjutan usaha f. Memutus siklus OPT tertentu Jumlah atau varietas cabai merah yang digunakan a. Selalu varietas tunggal pada semua lahan yang diusahakan b. Lebih dari satu varietas pada lahan/hamparan yang sama c. Lebih dari satu varietas pada lahan/hamparan yang berbeda Sumber dari seluruh atau sebagian besar bibit/benih cabai yang digunakan a. Hasil produksi sendiri b. Hasil produksi kelompok tani c. Membeli dari kios/toko saprodi d. Disediakan dari perusahaan mitra Banyaknya persil pertanaman cabai a. Hanya ditanam disatu lokasi b. Ada di beberapa atau lebih dari satu lokasi c. Semua lokasi
Cabai Merah Besar (%)
Cabai Merah Keriting Frek (%) N = 96 65 67.71
Frek N = 200 129
64.50
56 51 38
28.00 25.50 19.00
32 23 16
33.33 23.96 16.67
28 27
14.00 13.50
11 16
11.46 14.58
71 129
35.50 64.50
45 51
46.88 53.13
40 42 66 29 23
20.00 21.00 33.00 14.50 11.50
30 20 19 15 12
31.25 20.83 19.79 15.63 12.50
45
22.5
23
23.96
48 8 55
24.00 4.00 27.50
20 5 25
20.83 5.21 26.04
18 26
9.00 13.00
9 14
9.38 14.58
123
61.50
60
62.50
15
7.50
16
16.67
62
31.00
20
20.83
78 5 103 14
39.00 2.50 51.50 7.00
4 90 2
4.17 93.75 2.08
128 68 4
64.00 34.00 2.00
54 33 9
56.25 34.37 9.38
322 7.4.2. Strategi Manajemen Risiko Usahatani Interaktif (Interactive Risk Management Strategy) Petani dalam menjalankan kegiatan usahatani cabai merah dihadapkan pada risiko usahatani, seperti gagal panen atau produksi jatuh. Akibatnya petani menderita kerugian. Pada awal musim tanam, petani selalu memiliki harapan subyekktif yang dikembangkan dari pengalaman musim-musim sebelumnya, meliputi perkiraan kejadian, jumlah, distribusi dan durasi hujan atau kemungkinan insiden serangan OPT. Sejalan dengan perkembangan umur tanaman, harapan tersebut akan diperbaiki dan secara bertahap. Petani melakukan penanggulangan risiko yang bersifat interaktif untuk menekan dampak yang ditimbulkannya. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani cabai merah besar dan cabai merah keriting dalam menentukan waktu tanam. Tabel 58 menunjukkan sebagian besar petani yang memutuskan waktu tanam cabai merah besar pada lahan sawah dataran rendah pada akhir musim hujan/MH (51 %), pertengahan musim kemarau/MK (23%), akhir MK (17.5%), serta pertengahan MH (8.5 %).
Sementara itu,
petani
melakukan tanam cabai merah keriting pada akhir MH (46.87 %), akhir MK (31.25 %), pertengahan MK (10.42 %), serta pertengahan MH (11.46 %). Sebagian besar petani baik cabai merah besar maupun cabai merah keriting menanam cabai merah pada akhir MH hingga MK I. Hal ini petani menekankan pentingnya ketersediaan air pada awal tanam hingga masa pertumbuhannya dan menghindari hujan pada periode pembungaan. Bahkan terdapat sebagian kecil petani cabai merah yang menanam pada pertengahan MH dengan alasan untuk mendapatkan harga jual yang tinggi.
323 Tabel 58. Strategi Manajemen Risiko Interactive Usahatani Cabai Merah Besar dan Cabai Merah Keriting, di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2009 No.
1
2
3
4
5
6
7.
Uraian
Waktu penanaman cabai merah a. Akhir MH dengan perkiraan ketersediaan air masih mencukupi b. Akhir MK agar kebutuhan air dapat terjamin c. Pertengahan MK pada saat air masih tersedia d. Pertengahan MH dengan pertimbangan bersifat non teknis Bila sebagian tanaman di lapangan ternyata mati, maka : a. Dilakukan penyulaman b. Tidak dilakukan penyulaman Jarak tanam yang digunakan a. Jarak tanam rapat b. Jarak tanam sedang c. Jarak tanam renggang/jarang/lebar Jenis pupuk yang digunakan pada pertanaman cabai merah a. Pupuk tunggal saja b. Pupuk tunggal dan majemuk c. Pupuk tunggal dan pupuk organik d. Pupuk majemuk dan pupuk organik e. Pupuk tunggal, majemuk, dan pupuk organik Penggunaan pupuk pada MK vs MH a. Tidak berbeda jenis maupun volumenya b. Tidak berbeda jenis, tetapi berbeda volumenya c. Berbeda jenis maupun volumenya Metode pengendalian hama penyakit yang dilakukan a. Sebagai tindakan pencegahan (preventif) b. Sebagai tindakan pembasmian (kuratif) c. Sebagai tindakan prevenif dan sekaligus kuratif Kecenderungan petani dalam pengendalian OPT. yang dilakukan a. Cenderung menggunakan pestisida kimiawi b. Cenderung menggunakan pestisida nabati/PHT c. Cenderung menggunakan pestisida kimiawi dan nabati
Cabai Merah Besar
Cabai Merah Keriting Frek % N=96
Frek (N=200)
%
102
51.00
45
46.87
35
17.50
30
31.25
46
23.00
10
10.42
17
8.50
11
11.46
169 31
84.50 15.50
93 3
96.87 3.13
53 102 45
26.50 51.00 22.50
27 43 23
28.12 44.79 23.96
7 68 2 2 121
3.50 34.00 1.00 1.00 60.50
3 7 5 6 75
3.13 7.29 5.21 6.25 78.12
58
29.00
45
46.87
101
50.50
41
42.71
41
20.50
10
10.42
106 5 89
53.00 2.50 44.50
65 3 28
67.71 3.13 29.17
119
59.50
45
46.88
17
8.50
2
2.08
64
32.00
49
51.04
324 Tabel 58. Lanjutan No.
8
9
10
11
Uraian
Pengoplosan pestisida dalam pengendalian OPT. a. Sebagai tindakan pencegahan b. sebagai tindakan pembasmian c. Sebagai tindakan prefentif dan sekaligus kuratif Alasan melakukan pengoplosan pestisida a. Sekaligus mencegah/mematikan beberapa jenis OPT. b. Menghemat biaya dengan mencampur pestisida mahal dan murah c. Hasil coba-coba menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dibanding pestisida tunggal d. Menghemat waktu dan tenaga Tindakan yang dilakukan saat mengalami kelangkaan TK upahan a. Memanfaatkan TK keluarga semaksimal mungkin b. Memenfaatkan TK yang ada secara bergantian c. Mencari TK upahan dari luar desa/luar daerah d. Menggunakan TK ternak e. Menggunakan TK mekanik/mesin Tindakan yang dilakukan jika mengalami kekurangan atau kesulitan permodalan a. Meminjam dari sumber kredit formal b. Meminjam dari kredit informal c. Meminjam dari kelompok tani/gapoktan/koperasi tani d. Meminjam dari perusahaan mitra e. Meminjam dari saudara/tetangga/kerabat
Cabai Merah Besar
Cabai Merah Keriting Frek % N=96
Frek N=200
%
37 19 144
18.50 9.50 72.00
19 11 66
19.79 11.46 68.75
62
31.00
28
29.17
37
18.50
12
12.50
22
11.00
9
48.96
79
39.50
47
9.37
71
35.50
41
42.71
24
12.00
18
18.75
86
43.00
30
31.25
5 14
2.50 7.00
3 4
3.12 4.17
30 45 60
15.00 22.50 30.00
26 9 27
27.08 9.37 28.13
20 45
10.00 22.50
2 32
2.08 33.33
Salah satu risiko usahatani yang dihadapi petani berkenaan dengan pemilihan waktu tanam adalah mati atau kerdilnya tanaman pada saat umur dibawah satu bulan dan kekurangan air (kejadian kekeringan di luar harapan awal). Strategi manajemen risiko usahatani interaktif yang dilakukan petani untuk mengatasi kedua masalah di atas adalah dengan melakukan penyulaman (84.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (96.87 %) untuk petani cabai merah keriting.
325 Beberapa petani menanam dengan populasi bibit banyak dan selanjutnya melakukan penjarangan. Selain itu, petani melakukan penyiraman rutin dengan sistem gembor atau kocor terutama untuk cabai merah besar dan cabai merah keriting di lahan sawah yang bersumber dari saluran irigasi, sedangkan untuk petani cabai merah besar dan cabai merah keriting di lahan kering dataran tinggi dengan irigasi pralon dan irigasi tetes. Sebagian besar petani cabai merah besar (51 %) menggunakan jarak tanam sedang (30x40 cm; 40x40 cm; dan 40x50 cm); sebesar (26.50 %) menggunakan jarak rapat (20x20 cm; 20x30 cm; 20x40 cm; 25x25 cm; 25x30 cm; dan 25x40 cm); dan sisanya (22.50 %) menggunakan jarak renggang (50 x 50 cm; 50x60 cm; 50 x 70 cm; 60x60 cm; 60x70 cm). Sementara itu, petani cabai merah keriting menggunakan jarak tanam sedang (44.79 %), rapat (28.12 %), dan renggang (23.96 %). Hasil kajian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Adiyoga dan Soetiarso (1999) mengemukakan bahwa petani cabai merah besar di Kabupaten Brebes sebagian besar menggunakan jarak tanam rapat. Hal ini terutama disebabkan oleh pergeseran penggunaan benih dari benih unggul lokal ke benih hibrida yang mensyaratkan ditanam dengan jarak tanam sedang hingga renggang untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang baik. Jarak tanam yang dipilih merupakan strategi interaktif untuk menyiasati harapan kelembaban dan jenis tanah, jenis benih dan kualitasnya, dalam rangka merespon terhadap terjadinya kematian bibit, serta menciptakan fleksibilitas jika terpaksa harus mengubah kerapatan (densitas) pertanaman dengan melakukan penjarangan.
326 Sebagian besar petani cabai merah besar (60.50 %) dan cabai merah keriting (78.12 %) menggunakan pupuk tunggal sekaligus pupuk majemuk dan pupuk organik. Penggunaan pupuk secara simultan antara pupuk tunggal dan pupuk majemuk (tanpa pupuk organik) untuk usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting masing-masing (34.00 %) dan ( 7.29 %). Walaupun petani mengetahui bahwa unsur yang terdapat dalam pupuk majemuk terdapat unsur hara yang sama dengan yang terkandung dalam pupuk tunggal, petani tetap menggunakan pupuk tunggal dengan alasan kandungan dalam pupuk majemuk relatif kecil dan untuk menambah keyakinan akan keberhasilan usahatani. Dari sisi strategi manajemen risiko, langkah tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu metode strategi manajemen risiko interaktif, karena petani dapat mengatur penambahan atau pengurangan pupuk sesuai dengan persepsinya menyangkut kebutuhan hara tanaman cabai merah besar dan cabai merah keriting. Tingkat partisipasi petani yang menggunakan pupuk organik sangat tinggi baik untuk cabai merah besar maupun cabai merah keriting, masing-masing sebesar (62.50 %) dan cabai merah besar pada lahan kering dataran tinggi (89.58%). Kelebihan penggunaan pupuk organik adalah mengandung unsur hara dan pembenah tanah yang dapat memperbaiki struktur tanah dan sifat bio-kimia tanah. Penggunaan pupuk organik akan meningkatkan efektivitas penyerapan unsur-unsur hara dalam tanah oleh tanaman. Dengan demikian pemberian pupuk organik juga akan meningkatkan efektivitas penggunaan pupuk kimiawi. Dalam memberikan pupuk antar MK vs MH sebagian besar petani cabai merah besar baik untuk cabai merah besar maupun cabai merah keriting pada
327 berpendapat bahwa tidak berbeda jenis maupun volumenya masing-masing (29 %) dan (46.87 %). Sebagian petani tidak berbeda jenis, tetapi volumenya berbeda masing-masing (50.50 %) dan (42.71 %). Sebagian petani lainnya berbeda jenis maupun volumenya masing-masing (20.50 %) dan (10.42 %). Sebagian petani mengurangi penggunaan pupuk pada musim penghujan terutama jenis pupuk N yang ditujukan untuk menghemat dan sekaligus membatasi pertumbuhan daun yang terlalu lebat agar tidak mengundang OPT. Pada umumnya petani cabai merah besar (53.00 %) dan petani cabai merah keriting (67.71 %) menggunakan pestisida sebagai tindakan pencegahan (preventif).
Hanya
sebagian
kecil
yang
menyatakan
penyemprotan
pestisida/fungisida sebagai tindakan pembasmian (kuratif) saja masing-masing untuk petani cabai merah besar (2.50 %) dan petani cabai merah keriting (3.13 %). Sementara itu, petani yang menyatakan bahwa pengendalian hama dan penyakit ditujukan sebagai tindakan preventif dan sekaligus kuratif masing-masing sebesar (38 %) dan (81 %), dan sebagai tindakan kuratif masing-masing hanya (44.50 %) dan (29.17 %). Dengan kata lain, pengambilan keputusan pengendalian dengan pestisida/fungisida cenderung lebih diarahkan untuk mengantisipasi risiko terjadinya serangan OPT dan sekaligus untuk mengatasi serangan OPT tersebut. Efektivitas pengendalian OPT sebenarnya tergantung pada kejadian yang bersifat acak, yaitu ada tidaknya serangan OPT. Jika tidak ada OPT, maka input ini tidak berpengaruh terhadap produksi, bahkan mungkin menimbulkan pemborosan serta menimbulkan resistensi dan surgerensi terhadap OPT tertentu. Dengan demikian, efisiensi dan efektivitas pengendalian OPT secara integral
328 berhubungan erat dengan risiko produksi. Berkaitan dengan strategi manajemen risiko usahatani interactive, petani sebenarnya memiliki fleksibilitas untuk mengatur perlu tidaknya penggunaan pestisida/fungisida selama pertanaman berada di lapangan dan hal ini sangat terkait dengan perilaku petani terhadap risiko produksi. Secara empiris semakin tinggi keberanian dalam menghadapi risiko maka akan semakin tinggi alokasi penggunaan pestisida untuk penaggulangan serangan OPT. Kecenderungan petani cabai merah besar dan cabai merah keriting adalah cenderung mengendalikan OPT dengan pestisida kimiawi (59.50 %) dan (46.88 %). Petani yang menggunakan kombinasi pestisida kimiawi dan nabati masingmasing (32.00 %) dan (51.04 %). Terakhir petani yang hanya menggunakan pestisida nabati sangat kecil masing-masing sebesar (6 %) dan (13 %). Artinya dalam menghadapi risiko usahatani, petani lebih mengandalkan pestisida kimiawi dan kombinasi pestisida kimiawi dan nabati, karena lebih efektif dibandingkan dengan pestisida nabati. Pengendalaian OPT dengan PHT mulai diintroduksikan di daerah sentra produksi Kabupaten Brebes dan Kabupaten Boyolali. Namun keberhasilannya masih rendah, karena penerapannya yang masih bersifat parsial dan belum melalui aksi kolektif kelompok tani. Perilaku petani dalam pengendalian OPT menunjukkan bahwa sebagian besar petani cabai merah besar dan cabai merah keriting juga melakukan pengoplosan pestisida sebagai tindakan preventif dan sekaligus kuratif masingmasing dengan pangsa (72.00 %) dan (68.75 %). Beberapa alasan petani melakukan pengoplosan adalah untuk menghemat waktu dan tenaga kerja,
329 mencegah dan membasmi beberapa OPT sekaligus, menghemat biaya dengan mencampur pestisida lebih murah, serta hasil coba-coba menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi. Tenaga kerja tampaknya masih belum merupakan kendala pokok dalam usahatani cabai merah besar maupun cabai merah keriting. Jika petani cabai merah besar dan cabai merah keriting mengalami kesulitan tenaga kerja terutama pada saat kegiatan pengolahan tanah dan penanaman terutama dipecahkan menggunakan tenaga kerja upahan, memanfaatkan TK keluarga, dan melalui sambat-sinambat (arisan tenaga kerja). Secara empiris tidak ditemukan penggunaan traktor dan tenaga ternak dalam pengolahan lahan usahatani cabai merah besar. Petani cabai merah besar dan cabai merah keriting sering menghadapi masalah permodalan terutama untuk membeli sarana produksi. Beberapa langkah yang diambil secara berturut-turut adalah : meminjam saprodi ke kelompok tani, meminjam saudara atau kerabat, kredit formal perbankan, kredit informal (kios/toko saprodi), dan sebagian kecil meminjam dari perusahaan mitra. Nampak bahwa pilihan strategi risiko oleh petani akan sangat tergantung kondisi permodalan. Langkah-langkah tersebut merupakan metode utama strategi manajemen risiko interctive jika petani mengalami kesulitan modal pada saat mengusahakan cabai merah.
Temuan yang berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya adalah bahwa ternyata aksessibilitas petani terhadap lembaga perbankan formal pada usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting sudah cukup baik, meskipun diakui bahwa ketergantungan terhadap sumber kredit
330 informal masih banyak ditemukan di daerah sentra produksi cabai merah di Kabupaten Brebes.
7.4.3. Strategi Manajemen Risiko Usahatani Ex-post (Ex-post Risk Management Strategy) Strategi manajemen risiko usahatani ex-post atau bersifat adaptif setelah terjadi goncangan berupa kegagalan panen atau penurunan produktivitas, maka tindakan yang dipilih oleh petani sangat bergantung pada peranan usahatani bersangkutan dalam kaitannya dengan sumber pendapatan keluarga. Pada Tabel 59 diperlihatkan bahwa petani cabai merah besar dan cabai merah keriting yang menyatakan bahwa sumber penghidupan keluarga sebagian besar bergantung pada usahatani cabai merah masing-masing dengan pangsa (42.50 %) dan (35.42 %). Artinya usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting menduduki posisi penting dalam struktur pendapatan rumah tangga petani. Strategi manajemen risiko ex-post petani cabai merah besar dan cabai merah keriting yang ditujukan untuk menutupi kekurangan dalam menghidupi keluarga secara berturut-turut adalah : (1) Menggunakan pendapatan usahatani lainnya (43.00 %) untuk petani cabai merah besar dan (50.00 %) untuk petani cabai merah keriting; (2) Mengambil dari tabungan (20.00 %) untuk petani cabai merah besar dan (14.58 %) untuk petani cabai merah keriting, terutama petani lahan luas; (3) Menjual sebagian aset yang dimilikinya sebesar (17.00 %) untuk petani cabai merah besar dan (14.58 %) untuk petani cabai merah keriting; (4) Mencari pekerjaan tambahan sebesar (16 %) untuk petani cabai merah besar dan (13.54 %) untuk petani cabai merah kecil, terutama untuk petani lahan sempit;
331 serta (5) Meminjam uang dari saudara sebesar (4.00 %) untuk petani cabai merah besar dan (7.29 %) untuk petani cabai merah keriting, kerabat atau tetangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemandirian petani cabai merah besar dan cabai merah keriting cukup baik. Secara empiris aksessibilitas petani cabai merah keriting lebih mampu mengakses terhadap sumber kredit formal perbankan, sedangkan petani cabai merah besar masih cukup banyak tergantung pada sumbersumber kredit informal, terutama pedagang saprodi dan pedagang pengumpul hasil. Usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting merupakan sumber pendapatan penting rumah tangga.
Jika terjadi kerugian petani akan tetap
menanam cabai merah pada musim selanjutnya, dengan urutan strategi sebagai berikut. Urutan pertama, luas pertanaman pada MT berikutnya dikurangi sebesar (32.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (32.29 %) untuk petani cabai merah keriting, terutama untuk petani yang bersifat menghindari risiko (risk averter). Urutan ke dua, menambah modal dengan mengambil tabungan yang dimiliki sebesar (15.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (26.04 %) untuk petani cabai merah keriting. Hal ini dilakukan terutama bagi petani lahan luas dan berani mengambil risiko usahatani. Kemampuan permodalan menentukan tingkat intensifitas dan keberlanjutan usahatani cabai merah besar. Urutan ketiga, menambah modal dengan meminjam uang secara kredit dari kelembagaan keuangan sebesar (16.00 %) untuk cabai merah besar dan (22.92 %) untuk cabai merah keriting. Hal ini juga menunjukkan bahwa akses petani terhadap sumber-sumber kredit relatif terbatas. Urutan ke empat, meminjam saprodi dari kios atau toko saprodi dengan sistem yarnen sebesar (20.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (7.29 %)
332 untuk petani cabai merah keriting, terutama bagi petani yang sudah terbiasa berlangganan.
Secara empiris ketergantungan modal terhadap kios atau toko
saprodi lebih besar untuk petani cabai merah besar dibandingkan cabai merah keriting. Urutan kelima, mengusahakan tanaman yang berisiko lebih kecil sebesar (15.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (11.46 %) untuk petani cabai merah keriting. Strategi ini terutama dilakukan oleh petani yang kekurangan modal dan berperilaku menghindari risiko produksi. Demikian juga halnya, jika terjadi kegagalan panen pada usahatani cabai merah besar dan cabai merah keriting, maka pilihan-pilihan strategi yang akan diambil petani sebagai berikut. Urutan pertama, tetap menanam sebesar (59.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (68.75 %) untuk petani cabai merah keriting, terutama bagi petani yang bersifat berani mengambil risiko (risk taker). Urutan kedua, hanya akan menanam pada waktu atau musim tanam yang dipandang aman sebesar (26.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (21.88 %) untuk petani cabai merah keriting. Perilaku ini terutama dijumpai pada petani lahan kecil yang bersikap penghindar risiko (risk averter). Urutan ketiga, hanya akan menanam pada waktu yang diperkirakan harga tinggi sebesar (11.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (7.29 %) untuk petani cabai merah keriting. Fenomena ini terutama ditemukan pada petani lahan kecil yang umumnya bersifat penghindar risiko produksi. Terakhir, tidak menanam cabai merah lagi karena takut kegagalan terulang lagi sebesar (2.50 %) untuk petani cabai merah besar dan (2.08 %) untuk petani cabai merah keriting. Hal ini terutama ditemukan pada petani yang kekurangan modal dan bersifat penghindar risiko.
333 Tabel 59. Strategi Manajemen Risiko Ex post pada Usahatani Cabai Merah Besar dan Cabai Merah Keritin, di Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2009
No 1
2
3
4
Uraian Status usahatani cabai dalam menghidupi keluarganya a. Sepenuhnya bergantung pada usahatani cabai merah b. Sebagian besar bergantung pada usahatani cabai merah c. Sebagian kecil bergantung pada usahatani cabai merah d. Sama sekali tidak bergantung pada usahatani cabai merah Jika usahatani cabai mengalami kegagalan, usaha untuk menutupi kegagalan dalam menghidupi keluarga a. Pendapatan dari usahatani lainnya b. Mengambil dari tabungan c. Meminjam dari petani lain/tetangga/ kerabat d. Mencari pekerjaan tambahan e. Menjual sebagian aset yang dimilki Jika mengalami kerugian, tindakan apa atau sumber modal mana yang dipilih untuk pertanaman berikutnya a. Luas pertanaman pada MT berikutnya disesuaikan dengan modal yang tersdia b. Menambah modal dengan mengambil dari tabungan c. Menambah modal dengan meminjam uang d. Meminjam sarana produksi dari toko/kios saprotan e. Mengusahakan tanaman yang berisiko kecil Tindakan yang dilakukan jika pertanaman cabai dianggap gagal a. Tidak menanam cabai lagi karena takut kegagalan tersebut terulang b. Hanya akan menanam pada waktu atau musim tanam yang aman c. Hanya akan menanam pada waktu atau musim yang diperkirakan harga baik d. Tetap akan menanam cabai lagi dan mencari penyebab kegagalan
Cabai Merah Besar Frek % N=200
Cabai Merah Keriting Frek % N=96
7
3.50
3
3.13
85
42.50
34
35.42
105
52.50
58
60.42
3
1.50
1
1.04
86 40 8 32 34
43.00 20.00 4.00 16.00 17.00
48 14 7 13 14
50.00 14.58 7.29 13.54 14.58
65
32.50
31
32.29
31
15.50
25
26.04
32 41
16.00 20.50
22 7
22.92 7.29
31
15.5
11
11.46
5
2.50
2
2.08
53
26.50
21
21.88
23
11.50
7
7.29
119
59.50
66
68.75
334 7.5. Strategi Manajemen Risiko Melalui Kemitraan Usaha antara Petani dengan Perusahaan Industri Pengolahan Salah satu strategi dalam manajemen risiko dalam usahatani adalah melalui kemitraan usaha. Debertin (1986) menyebutkan dengan istilah kontrak (contract). Chopra dan Soddi (2004) menyebutnya pentingnya manajemen risiko dengan integrasi vertikal (vertical integration), kontrak produksi (production contract), dan kontrak pemasaran (marketing contract). Hasil kajian di lapang menunjukkan paling tidak terdapat 2 (dua) pola kelembagaan pemasaran pada komoditas cabai merah di Jawa Tengah, yaitu: (1) Pola dagang umum (PDU) yang bersifat transaksional baik dengan ikatan modal, ikatan langganan, maupun secara bebas; dan (2) Pola kemitraan usaha antara petani dengan pelaku usaha lain (perusahaan pengolahan hasil). Salah satu kemitraan usaha formal yang ditemukan di lapang adalah kemitraan antara perusahaan industri pengolahan sebagai perusahaan mitra dengan kelompok tani/gabungan kelompok tani/paguyupan kelompok tani cabai merah sebagai petani mitra. Perusahaan ini memiliki salah satu divisi usaha yaitu divisi pengolahan hasil pertanian (agro processing) dengan produk seperti sambal, saos, dan kecap. Untuk memenuhi bahan baku produksi ditangani oleh bagian pengadaan (procurement). Dalam pemenuhan bahan baku perusahaan ini menjalin kemitraan usaha dengan para petani/kelompok tani maupun pemasok (supplier) individu. Pengadaan barang perusahaan industri pengolahan dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu: (1) melalui kegiatan impor terutama dari China, (2) kontrak dengan pemasok (supplier), (3) kontrak dengan penanam atau petani lahan luas (grower), dan (4) kontrak dengan petani/kelompok tani/Gapoktan. Komposisi
335 pengadaan pada saat ini (2008-2009) masih didominasi oleh supplier (70%), petani/kelompok tani/grower (20%) dan impor (10%). Berdasarkan wawancara dengan petugas lapang dari perusahaan industri pengolahan, diperoleh informasi bahwa perusahaan ini memiliki target pengadaan ke depan dari petani/kelompok tani/grower dapat ditingkatkan hingga mencapai 40 persen. Dengan demikian kemungkinan dilakukan kontrak/kemitraan usaha dengan petani masih sangat terbuka luas. Mekanisme kemitraan usaha yang ditempuh selama ini adalah langsung ke pelaku usaha pertanian (farmer/grower/suplier).
Pola kemitraan usaha yang
dijalankan selama ini bermacam-macam bentuknya, di antaranya: (1) Perusahaan industri
pengolahan
melakukan
kontrak
langsung
tani/gapoktan/paguyupan kelompok tani (PKT), (2)
dengan
kelompok
Perusahaan industri
pengolahan menandatangani kontrak dengan grower yang kebanyakan adalah petani lahan luas yang juga merangkap sebagai pedagang/supplier dan selanjutnya grower bermitra dengan petani disekitarnya, dan (3) Perusahaan industri pengolahan melakukan kontrak dengan kelompok tani/gapoktan dan ada investor yang kontrak dengan perusahaan industri pengolahan sebagai perusahaan mitra, misalnya dalam penyediaan sarana produksi. Kemitraan usaha antara
perusahaan industri
pengolahan
sebagai
perusahaan mitra dengan petani atau kelompok tani sebagai petani atau kelompok mitra hanya ditemukan pada komoditas cabai merah besar dan tidak dijumpai untuk komoditas cabai merah keriting. Hal ini disebabkan kebutuhan terbesar adalah untuk industri saus yang sebagian besar bahan bakunya (90 %) adalah
336 cabai merah besar dan (10 %) adalah cabai merah keriting. Pola ini ditemukan baik di daerah sentra produksi cabai merah besar dataran rendah maupun didaerah sentra produksi dataran tinggi. Aturan main yang berlaku pada kelembagaan kemitraan usaha antara perusahaan mitra yang bergerak dalam industri pengolahan cabai merah dengan gapoktan/kelompok tani dituangkan dalam kontrak kerjasama. Kewajiban gapoktan/kelompok tani : (1) Menyediakan lahan minimal 5 hektar untuk budidaya cabai merah besar, secara empiris kemampuan kelompok tani menyediakan lahan bervariasi dari 5-15 hektar; (2) Menanam varietas cabai yang telah ditentukan perusahaan mitra, yaitu Varietas Biola, Hot Beauty, atau Hot Chili, dalam pelaksanaannya sebagian besar petani memilih Varietas Biola, karena dipandang lebih unggul; (3) Melakukan budidaya sesuai anjuran dan bimbingan teknis manajemen dari Perusahaan Mitra melalui petugas lapang; (4) Menyerahkan hasil panen kepada perusahaan mitra, di mana dalam luasan 1 hektar diperkirakan jumlah tanaman cabai merah sekitar 15 000 batang dengan produktivitas sekitar 1.5 kg/batang dan ditetapkan produktivitas 0.8 kg/batang yang memenuhi syarat, untuk cabai merah besar yang tidak sesuai dengan persyaratan kualitas dapat dijual di pasar bebas; (5) Dalam pemasaran hasil, petani/kelompok tani/Gapoktan tidak diperkenankan menjual produk di luar perusahaan industri pengolahan sebagai perusahaan mitra, sebelum memenuhi kewajiban sesuai kuota yang disepakati ke pihak perusahaan mitra; dan (6) standar kualitas cabai merah besar harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan.
337 Dalam menjalin kemitraan usaha dituangkan dalam surat perjanjian, misalnya perjanjian antara perusahaan industri pengolahan dengan paguyupan kelompok tani di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali dituangkan dalam surat perjanjian No: PPST/12/15-04/2007. Adapun isi dari surat perjanjian tersebut adalah bahwa keduabelah pihak sepakat untuk menjalin kemitraan usaha pengadaan jual beli cabai merah Varietas Biola. Berbeda halnya dengan kemitraan usaha dengan kelompok tani di Desa Kuta Bawah, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga kesepakatan kontrak dilakukan langsung antara perusahaan industri pengolahan dengan kelompok tani. Keuntungan melakukan kemitraan secara langsung ini adalah manfaat atau keuntungan dari kemitraan usaha tidak harus dibagi lagi dengan pelaku usaha lainnya, sehingga petani lebih dapat merasakan manfaat dari kemitraan usaha. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas lapang perusahaan industri pengolahan sebagai perusahaan mitra dengan kelompok tani mitra diperoleh informasi beberapa kriteria sebagai berikut : (1) Warna cabai merah besar haruslah merah mulus, (2) Panjang buah cabai merah besar : 9.5-14.50 cm, (3) Maksimal cacat fisik (seperti busuk atau pecah maksimal 1.5 persen), (4) Maksimal cacat warna buah maksimal 1.5 persen, (5) tingkat kepedasan: terdeteksi di atas 400 x pengenceran, (6) Penampilan: segar, tanpa tangkai dan batang, (7) Rasa: pedas cabai dan tidak pahit, (8) Pengepakan: dengan plastik kapasitas 50 kg/kantong, (9) Jumlah cabai merah besar yang dikirim produksi 0.80 kg/tanaman dengan jadwal pengiriman berlaku selama musim tanam (empat
338 bulan masa tunggu panen dan tiga bulan masa panen) dengan waktu pengiriman 3 hari sekali setelah panen. Kewajiban perusahaan industri pengolahan sebagai perusahaan mitra adalah: (1) Menyediakan sarana produksi terutama benih cabai merah dengan varietas yang telah disepakati bersama, sedangkan sarana produksi lain tergantung kesepakatan ke dua belah pihak, penyediaan saprodi dapat dilakukan oleh pihak ketiga; (2) Melakukan bimbingan teknis budidaya dan penanganan pasca panen (pengkelasan/grading dan kemasan/packaging); (3) Perusahaan mitra melakukan penampungan/pembelian cabai merah besar, bisa secara langsung maupun melalui pemasok (supllier) dengan harga yang sudah ditetapkan dan pembayaran dilakukan paling lama tiga minggu setelah barang diterima di pabrik; dan (4) Melakukan pembayaran sesuai kontrak berdasarkan harga dan sistem pembayaran yang telah disepakati. Kelembagaan kelompok tani/gapoktan baik di Desa Sidomoro, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali serta di Desa Demak Ijo, Kecamatan Karangnongko dan Desa Gatak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten pernah menjalin kemitraan usaha komoditas cabai merah besar dengan PT. Heinz ABC, pada tahun 2006, 2007 dan 2008. Pada tahun 2008, kemitraan usaha pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Klaten kurang berhasil dan tidak dilanjutkan, kemudian menyusul pada Tahun 2009 kemitraan usaha yang sama dataran rendah di Boyolali juga mengalami kegagalan dan tidak dilanjutkan lagi.
Sementara itu, kemitraan usaha antara perusahaan industri pengolahan
339 dengan kelompok tani/Paguyupan Kelompok Tani baik di daerah sentra produksi dataran tinggi di Boyolali maupun di Purbalingga cukup berhasil dengan baik. Beberapa penyebab kurang berhasilnya kemitraan usaha pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah adalah : pertama, sebagian besar petani yang bermitra (60-70 %) kurang berhasil, yang terutama disebabkan kurang bagusnya kualitas benih cabai merah besar yang di sediakan perusahaan pembibitan. Kedua, terdapat banyak petani (50 %) yang mengalami kerugian secara ekonomi karena adanya serangan OPT. Ketiga, penyediaan benih yang agak terlambat sehingga waktu tanam mengalami pergeseran dan tidak tepat musim. Keempat, standar kualitas hasil yang ditetapkan sangat tinggi dan banyak kriteria yang harus dipenuhi. Terakhir, harga kontrak yang ditetapkan jauh di bawah harga aktual yang terjadi di pasar (tahun 2007 harga kontrak Rp. 4 000./Kg dengan tangkai atau Rp.4 150 tanpa tangkai vs harga pasar Rp. 6 000/Kg) dan (tahun 2008 harga kontrak Rp. 5 500/ Kg tanpa tangkai dan 6 000/Kg dengan tangkai). Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam membangun kemitraan usaha antara perusahaan industri pengolahan dengan PKT/Kelompok Tani adalah : pertama, target produksi seringkali tidak tercapai, karena masih rendahnya produktivitas dan risiko produksi yang dihadapi petani mitra. Kedua, standar kualitas yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi, karena teknologi budidaya yang belum mengikuti anjuran dan penanganan pasca panen yang belum prima.
Ketiga, kurangnya permodalan petani, sementara itu usahatani cabai
merah besar adalah padat modal dan sekaligus padat tenaga kerja. Ke empat,
340 harga kontrak yang dipandang rendah dan selalu di bawah harga pasar, seringkali menyebabkan petani menjual sebagian hasil produksinya ke pasar bebas. Kelima, standar kualitas yang ditetapkan terlalu tinggi, sehingga seringkali petani mendapatkan rafaksi (potongan harga) yang cukup tinggi. Terakhir, masalah kurangnya komitmen petani yaitu fenomena ingkar janji, terutama jika terjadi harga di pasar lebih tinggi dari harga kontrak. Beberapa masukan dan saran dari kelompok tani/gapoktan, antara lain adalah : pertama, meningkatkan kualitas benih cabai merah yang disediakan oleh perusahaan pembibitan yang menjadi mitra perusahaan industri pengolahan dan dengan pilihan jenis varietas yang lebih beragam dan jaminan dari perusahaan rekanan. Kedua, meningkatkan produktivitas dan kontinyuitas pasokan melaui perbaikan teknologi budidaya yang lebih maju. Ketiga, menjaga kualitas cabai merah besar yang dihasilkan melalui jaminan kualitas benih, teknik budidaya sesuai anjuran, serta panen dan penanganan pasca panen secara prima. Keempat, memperbaiki
kesepakatan
harga
kontrak
dengan
mempertimbangkan
perkembangan biaya produksi (harga input) dan harga cabai merah besar di pasar, diperkirakan Rp. 5 500/Kg dengan tangkai dan Rp. 6 000,-/Kg tanpa tangkai (2008). Kelima, membangun kelembagaan kemitraan usaha yang dapat saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris di lapang, terdapat 10 aspek yang penting dipertimbangkan dalam membangun kelembagaan kemitraan usaha cabai merah yang berdayasaing, yaitu : (1) Membangun kemitraan usaha haruslah dilakukan melalui proses sosial yang matang; (2) Pentingnya membangun
341 komitmen bersama untuk menciptakan saling kepercayaan; (3) Perencanaan dan pengaturan produksi di daerah-daerah sentra produksi; (4) Pentingnya pemahaman terhadap jaringan agribisnis secara keseluruhan; (5) Adanya jaminan pasar dan kepastian harga yang didasarkan kesepakatan bersama; (6) Konsolidasi kelembagaan di tingkat petani baik dari aspek keanggotaan, teknis budidaya, manajemen usahatani, dan permodalan; (7) Menuntut adanya konsistensi atau jaminan kualitas produk pada seluruh tahapan proses produksi dan distribusi dari hulu hingga hilir; (8) Pentingnya kandungan kewirausahaan pada seluruh pelaku usaha, (9) Adanya sistem koordinasi vertikal yang menjamin keterpaduan antar pelaku dan keterpaduan proses, dan (10) Pengembangan sistem informasi yang handal sebagai input utama dalam sistem pengambilan keputusan.