PENGUATAN DAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI MENDUKUNG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Roosganda Elizabeth Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161
Abstract Volume requirement and trend demand of soybean is increasing following the fast growing of food and livestock feed industries, but domestic soybean production is unable to fulfill such demand. The decreasing trend of domestic soybean production has been anticipated due to the decline of actual price at producer levels. This paper is aiming to describe the perspective of reinforcement and empowerment farmers’ institution in the effort to support soybean agribusiness development. The achievement of self-sufficiency in soybean remains open, taking into account the potential opportunity for area extension, along with production efficiency improvement, and product quality enhancement. The impact of institution analysis creates a wide implication in the success of agricultural and rural development, although an understanding of decision makers about the impact is quite limited. Agricultural policies in respect to institutional improvement of human resource quality need to be evaluated because of the significant impact caused by. The proposed policies to be considered are: (1) Relationship analysis of social, economic, and culture, in studying the potential of rural traditional institution; (2) Analysis of alternative policy on rural development considering the indigenous knowledge (local wisdom) and local knowledge; and (3) Empowerment of agricultural and rural institutions in the creation of farmer’s independency, improvement of household income, and development of agribusiness. Key words: reinforcement and empowerment, institution, development, soybean agribusiness Abstrak Kebutuhan dan trend permintaan kedelai di dalam negeri dan volume ekspor mengalami pertumbuhan cukup tinggi seiring pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan olahan berbahan baku kedelai, namun tidak mampu dipenuhi produksi kedelai domestik. Relatif rendahnya produksi kedelai domestik diprediksi akibat merosotnya harga riil kedelai ditingkat produsen. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan perspektif penguatan dan pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan petani di perdesaan dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis kedelai. Pencapaian swasembada dan pengembangan agribisnis kedelai masih terbuka lebar dengan melihat besarnya potensi dan peluang perluasan areal tanam (ekstensifikasi dan intensifikasi), peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk. Pengembangan analisis kelembagaan memiliki implikasi luas terhadap pencapaian keberhasilan pembangunan pertanian dan perdesaan, namun pemahaman perancang, pengambil, dan pelaksana pembangunan terhadapnya masih sangat rendah. Perlunya mengevaluasi kebijakan pembangunan pertanian dari aspek kelembagaan, yang dapat berimplikasi besar bagi peningkatan daya saing SDM perdesaan dan pengembangan agribisnis produk pertanian. Rancangan kebijakan yang diusulkan terutama dengan: 1) melihat relasi sosial, ekonomi, dan budaya, dalam mengkaji potensi kelembagaan tradisional pertanian di perdesaan; 2) mengkaji alternatif kebijakan pembangunan dan perdesaan yang mempertimbangkan indigenous knowledge (kearifan lokal) dan local knowledge (pengetahuan lokal); 3) pemberdayaan kelembagaan pertanian dan perdesaan diperlukan sebagai upaya penciptaan kemandirian petani, peningkatan pendapatan rumah tangga, pengembangan agribisnis pertanian. Kata kunci : penguatan dan pemberdayaan, kelembagaan, pengembangan, agribisnis kedelai
PENDAHULUAN Kebutuhan kedelai di dalam negeri terus meningkat seiring pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan olahan berbahan baku kedelai. Sebagai bahan pangan, kedelai mengandung protein nabati yang sangat tinggi nilai gizinya, mengandung zat radikal bebas yang tinggi sehingga sangat bermanfaat bagi
kesehatan dan sangat aman untuk dikonsumsi. Sekitar 80 persen penduduk Indonesia (terutama di Jawa) mengkonsumsi makanan olahan kedelai (fermentasi dan nonfermentasi), seperti: susu kedelai, tempe, tahu, kecap, tauco, abon kedelai, daging tiruan/meat analog (untuk vegetarian), minyak dan bungkil kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan/snack (keripik, rempeyek, dll). Berbagai produk kosmetik dan kesehatan mencantumkan kedelai dalam
165
Tabel 1. Proyeksi Konsumsi Kedelai di Indonesia, 2005-2025 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Konsumsi (kg/kapita/th) 9,39 9,48 9,58 9,67 9,77 9,87 9,97 10,07 10,17 10,27 10,37 10,47 10,58 10,68 10,79 10,90 11,01 11,12 11,23 11,34
Proyeksi penduduk (000 jiwa) 232.090 235.687 239.270 242.835 246.380 249.903 253.402 256.874 260.316 263.726 267.102 270.440 273.740 276.997 280.210 283.377 286.494 289.559 292.571 295.526
Pertumbuhan penduduk (%) 1,58 1,55 1,52 1,49 1,46 1,43 1,40 1,37 1,34 1,31 1,28 1,25 1,22 1,19 1,16 1,13 1,10 1,07 1,04 1,01
Total konsumsi (000 ton) 2.179 2.235 2.291 2.349 2.407 2.466 2.525 2.585 2.646 2.708 2.770 2.833 2.896 2.960 3.024 3.089 3.154 3.219 3.286 3.352
Sumber: Damardjati et al., 2005. Tabel 2. Wilayah Penyebaran Areal Pertanaman Kedelai (ha) Wilayah Jawa Sumatera Bali dan NTB Sulawesi Kalimantan Maluku dan Papua Jumlah Sumber: Damardjati et al., 2005.
1992 879.650 480.714 152.388 124.551 23.148 5.255 1.665.706
komposisi bahan bakunya. Berkembangnya industri peternakan dan pakan ternak yang menggunakan bahan baku bungkil kedelai sebagai sumber protein penting dalam komposisi pakan unggas setelah jagung (Tangendjaja et al., 2003). Pada Tabel 1 dikemukakan proyeksi konsumsi kedelai di Indonesia tahun 2006 hingga 2025, sedang pada Tabel 2 menggambarkan masih terbuka lebarnya peluang pengembangan usahatani kedelai yang dikaji berdasarkan persentase pertanaman kedelai di tujuh wilayah penyebarannya. Selama dua dekade terakhir, trend permintaan kedelai mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Produksi kedelai domestik hanya sekitar 0,71 juta ton sedang total kebutuhan mencapai 2,02 juta ton (tahun 2004), sehingga
166
% 52,81 28,86 9,15 7,48 1,39 0,32 100,00
2003 374.346 40.896 73.944 22.987 9.591 5.031 526.796
% 71,06 7,76 14,04 4,36 1,82 0,96 100,00
dipenuhi dengan mengimpor 1,13 juta ton (Damardjati et al., 2005). Relatif rendahnya produksi kedelai domestik diprediksi akibat merosotnya harga riil kedelai di tingkat produsen. Penurunan harga riil diduga karena kebijakan liberalisasi impor kedelai dengan tarif 0 persen yang menyebabkan harga kedelai impor lebih murah dibanding harga kedelai lokal. Tingginya pertumbuhan trend permintaan kedelai tentu merupakan prospek dan peluang besar yang dapat meningkatkan minat petani untuk mengusahakannya serta peningkatan pendapatan rumah tangga mereka. Upaya mengakomodir peluang tersebut, salah satunya dapat diantisipasi melalui penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis kedelai. Kelembagaan pertanian, secara umum
merupakan tonggak pendukung pengembangan suatu komoditas usahatani, yang meliputi berbagai aspek, antara lain: pilar kelembagaan, kelompok tani, lembaga tenaga kerja, lembaga input, lembaga permodalan, lembaga output (pemasaran), dan sebagainya. Tabel 3. Perkembangan Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia Ekspor Impor (ton) (ton) 1970 3953 0 1974 4.148 150 1975 30 17..802 1980 0 100.878 1985 0 301.956 1990 240 541.060 1995 83 607.393 2000 521 1.277.685 2001 1.188 1.136.419 2002 235 1.365.253 2003 433 1.192.717 2004 13 1.117.790 Sumber: Damardjati et al., 2005. Tahun
Neraca (ton) 3.953 3.998 -17.772 -100.878 -301.956 -540.820 -607.310 -1.227.164 -1.135.231 -1.365.018 -1.192.284 -1.117.777
Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan perspektif penguatan dan pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan petani di perdesaan dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis kedelai. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya berbagai hasil penelitian menunjukkan tercapainya keberhasilan pelaksanaan program kebijakan pembangunan diantaranya melalui sosialisasi dan berperan aktifnya kelembagaan sosial masyarakat dalam proses sosialisasi tersebut. Dari tulisan ini diharapkan dapat melengkapi berbagai hasil kajian ekonomi dan teknis kedelai lainnya. KONDISI AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: MARJINALISASI KELEMBAGAAN PETANI DI PERDESAAN Harga jual kedelai yang relatif tidak stabil tentu mempengaruhi dan menyurutkan minat petani untuk mengusahakannya. Hal tersebut mengakibatkan areal panen kedelai cenderung terus menurun dari sekitar 1,48 juta ha (tahun 1995) menjadi 0,55 ha (2004) dengan laju penurunan sekitar 10 persen per tahun, di samping akibat tingginya konversi lahan produktif ke penggunaan non-farm. Meningkatnya
volume impor kedelai disebabkan kontinuitas dan relatif murahnya harga kedelai impor (dari AS), kualitas terjamin, dan tidak adanya tarif impor. Dari segi perolehan pendapatan bersih sekitar Rp.2,1 juta/ha per musim tanam, sebenarnya prospek usahatani kedelai relatif baik. Di samping itu, peluang pengembangan agribisnis kedelai domestik juga masih sangat terbuka mengingat masih sangat luasnya ketersediaan sumberdaya lahan, kesesuaian ekosistem lahan pertanian di Indonesia untuk diusahakan kedelai, dan tingginya market demand bagi pengusahaan kedelai. Untuk peningkatan produksi dan produktivitas kedelai, diperlukan strategi kebijakan melalui: perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk, pengembangan infrastruktur, serta penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pendukungnya terkait petani di perdesaan (termasuk dukungan stabilisasi pemasaran dan tingkat harga yang menguntungkan sebagai insentif dan keberpihakan bagi petani produsen). Sementara itu, pelaksanaan pembangunan pertanian dan perdesaan yang ideal, terbentuk karena partisipasi dari masyarakat desa (subjek) sebagai sasaran utama. Tujuan utama program kebijakan pembangunan pertanian untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat di perdesaan. Beberapa strategi pembangunan perdesaan meliputi: 1) peningkatan dan memperluas kesempatan kerja di perdesaan dan daerah urban; 2) peningkatan efisiensi produksi dan produktivitas SDA sehingga bermanfaat, berkelanjutan dan berkesinambungan, terkait perbaikan teknologi, keharmonisan ekologi dan konservasi, memperhatikan lingkungan sosial, politik dan ekonomi (ada relevansi/ adaptasi pelaksanaan pembangunan spesifik lokasi); 3) equity, terkait peningkatan aksesbilitas berbagai peluang sumberdaya dan infrastruktur; 4) pemberdayaan, memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas kelembagaan masyarakat perdesaan. Strategi pembangunan yang sentralistik (model top-down), selama tiga dekade terakhir telah memarjinalkan makna dan peran kelembagaan masyarakat lokal, memandulkan inisiatif dan menjauhkan mereka dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka. Sentralistik menyebabkannya bias
167
mengejar pertumbuhan, bias kawasan atau wilayah, kurang memperhatikan aspek sosial (keadilan) dan budaya (keberlanjutan). Otonomi mereka terampas sehingga tidak mampu berkembang sebagai basis self-propelled development (gerakan perkembangan mandiri). Tanpa kemandirian, jati-diri petani dinegasikan, realisasi diri dan potensinya digerogoti, yang mencerminkan gejala subordinasi lokal terhadap pusat. Strategi pembangunan yang sentralistik mencerminkan pola pembangunan yang konvensional tersebut, ternyata menuai kinerja kelembagaan masyarakat lokal yang rapuh. Berbagai dampak negatif lanjutannya antara lain: 1) terjadinya kontraksi perekonomian (daerah maupun nasional); 2) degradasi sumberdaya alam (lahan dan air); 3) semakin terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; 4) semakin akutnya kesenjangan antar golongan masyarakat; serta 5) memudarnya kelembagaan tradisional (dan ikatan/jaringan sosial masyarakat tradisional). Pada akhirnya, semuanya berimplikasi pada lemahnya struktur sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas pertanian di perdesaan. Proses pembangunan justru cenderung menimbulkan kian akutnya differensiasi sosial dalam kehidupan petani. ”Kebijakan pembangunan lokal”, tak lebih dari penjabaran deduktif dari pembangunan nasional (konteks dan kepentingan masyarakat lokal terabaikan/disubordinasikan terhadap kepentingan nasional). Potensi utama sumberdaya lokal telah dieksploitasi secara korporatis (dalam bentuk perusahaan dan lembaga yang menginduk ke pusat), sehingga kadar keterlibatan masyarakat lokal sangat kecil baik sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Kekeliruan akibat kelalaian disebabkan tidak adanya perencanaan pembangunan perdesaan yang didasarkan pada evaluasi empiris, baik tentang perencanaan itu sendiri maupun tentang target tujuan dimana rencana tersebut akan diterapkan. Pembangunan perdesaan baru akan mencapai keberhasilan bila melibatkan dan memberdayakan segala bentuk kelembagaan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat. Para perencana dan pengambil kebijakan hendaknya meninjau ulang pemikiran bahwa kebudayaan tradisional terkait erat dengan proses sosial, ekonomis dan ekologis masyarakat
168
secara mendasar; bersifat dinamis (selalu selaras dan mengalami perubahan), karenanya tidak bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri (Dove, 1986). Padahal, jika ditangani secara serius dan tepat, pembangunan pertanian di perdesaan sesungguhnya dapat merecovery sekaligus menjadi tulang punggung (back bone) bagi perkembangan sektor riil dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini terbukti karena daya dukungnya yang tinggi, mampu bertahan ketika sektor lain ambruk. Upaya pengembangan social network salah satunya dapat dilakukan melalui strategi pemberdayaan kelembagaan tradisional masyarakat dengan mempertimbangkan kekuatan indigenous dan local konowledge yang selama ini hidup eksis bagi mereka (Elizabeth, 2007a). Strategi pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan merupakan hal urgen dan wajib dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat lokal, sebagai salah satu upaya mewujudkan dan memperkuat kemandirian masyarakat perdesaan. Dengan demikian, pembangunan pertanian perdesaan tidak melebarkan kesenjangan antara golongan masyarakat, justru mendorong untuk berproduktivitas tinggi, berdiversifikasi, serta mampu memenuhi pasar komersial. KELEMBAGAAN: PENGUATAN DAN PEMBERDAYAANNYA MENDUKUNG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Perubahan dan perkembangan struktural pertanian pada dasarnya berakar pada problema kelembagaan. Konsep dan potensi sistem pertanian tidak dapat melakukan perubahan tanpa diiringi perubahan struktural kelembagaannya. Kesinergisan jejaring di setiap dan antar peraturan, sistem-sistem, dan nilainilai yang berlaku pada struktur kelembagaan pertanian haruslah terbentuk, sehingga menjadi pendukung kebijakan suatu sektor dan tidak menjadi penghambat perkembangan sektor lainnya. Nilai-nilai dan budaya pertanian maupun masyarakatnya (pelaku usahatani) yang sangat khas, merupakan faktor non-teknis sangat menentukan di luar sistem pertanian, termasuk kekayaan kearifan tradisional/lokal (indigenous knowledge) yang selama ini erat dimiliki dan melingkupi para petaninya.
Demikian halnya dengan tercapainya keberhasilan pengembangan agribisnis kedelai, pada dasarnya berkaitan erat dengan peran kelembagaan sebagai pendukungnya. Berbagai pengertian kelembagaan yang berkembang dalam masyarakat untuk: mengatur perilaku para anggota masyarakat yang berlaku di suatu wilayah; dan menggambarkan bentuk susunan (bangunan sosial) dari social institution. Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma dan tindakan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok kehidupan bersosial masyarakat, dan membentuk piranti sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia ketika bersosialisasi dalam bermasyarakat. Terdapatnya sanksi terhadap penyimpangan (pelanggaran) sebagai suatu kekuatan (norma) yang digunakan agar para anggota masyarakat mentaatinya. Lembaga di perdesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya. Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya, berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman (safe), kebutuhan hubungan sosial (social affiliation), pengakuan (esteem), dan pengembangan pengakuan (self actualization). Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai social control, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth, 2003). Lembaga yang sekarang berkembang di perdesaan merupakan lembaga modern, karena umumnya telah memiliki: 1) struktur dan tata nilai yang jelas; 2) telah diformalkan (dengan terdapatnya kepastian anggota dan proses pelaksanaan): 3) adanya aturan tertulis dalam anggaran dasar dan rumah tangga; 4) adanya kepemimpinan yang resmi; dan 5) biasanya sengaja dibentuk karena tumbuhnya kesadaran pentingnya keberadaan lembaga tersebut. Lemahnya kinerja ekonomi perdesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya, yang tercermin pada masih rendah interaksinya antar kelembagaan, kecilnya akses terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena tekanan dari luar. Pemberdayaan kelembagaan di perdesaan tidak hanya melalui perubahan struktur, harus dimulai dari masyarakatnya agar menjadi esensial untuk mencapai kesinergisan yang optimum; juga menyangkut perubahan
berbagai aspek abstrak yang membentuk perilaku, berupa perubahan sistem nilai, norma, dan orientasi. Beberapa kelembagaan pendukung keberhasilan agribisnis kedelai, seperti: kelompok tani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan permodalan. Kelompok tani merupakan salah satu lembaga sosial masyarakat di perdesaan, meski masih ada, namun umumnya cenderung aktif hanya saat adanya pelaksanaan suatu program pembangunan. Berbagai informasi pengembangan usahatani (mulai dari persiapan panen hingga pemasaran kedelai, perkembangan saprodi unggulan, maupun teknologi) diperoleh dari sesama petani, pedagang saprodi, dan perangkat desa. Padahal bila diberdayakan, kelompok tani sangat bermanfaat bagi kemajuan petani. Tercapainya keberhasilan pelaksanaan pembangunan pertanian di perdesaan, salah satunya bila dilakukan sosialisasi melalui kelompok tani. Kelembagaan tenaga kerja di perdesaan juga mengalami dinamika yang cukup pesat dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem dan tingkat upah. Ekonomi uang menyebabkan makin lemahnya peran lembaga tradisional ketenagakerjaan, dimana sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Tekanan ekonomi kapitalis yang makin kuat ke perdesaan, berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi, bukan saja mengakibatkan makin hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian besar buruh tani, namun juga kian longgarnya norma dan nilai ikatan sosial masyarakat di perdesaan. Untuk pengolahan dan persiapan lahan usahatani kedelai umumnya dilakukan dengan sistem borongan atau mekanisasi (traktor) dengan biaya sekitar Rp 700.000 hingga Rp 900.000/ha (tergantung tingkat kesulitan lahan/kondisi fisik dan letak lahan usahatani). Sedang biaya penanaman bisa berbeda antar petani, yang umumnya menggunakan tenaga kerja wanita dengan biaya borongan sekitar Rp 200.000 hingga Rp 350.000/ha. Belum termasuk berbagai biaya lain (input saprodi, pemeliharaan, panen dan pasca panen) yang dikeluarkan sebelum mengutip hasil panen, sehingga dapat diprediksi besarnya biaya (modal)
169
yang dibutuhkan untuk memulai usahatani kedelai tersebut.
dan berkelanjutan dari pemerintah dan pihak terkait.
Kelembagaan input merupakan lembaga jasa penyedia input saprodi untuk mendukung usahatani kedelai. Dewasa ini, ketergantungan petani akan saprodi (pupuk dan obat-obatan) sangat tinggi. Banyak petani yang salah mengartikan fungsi keseimbangan dan tingkat dosis pupuk dan obat-obatan dalam usahataninya. Hal ini disebabkan kurang berfungsinya peran lembaga penyuluh sebagai penyampai teknologi bagi petani. Kelembagaan input umumnya juga berperan ganda (multi fungsi) bagi petani, karena selain menyediakan (menjual) saprodi, lembaga ini juga berfungsi sebagai sumber informasi pengetahuan (teknologi) usahatani, harga, dan berbagai fungsi lainnya, termasuk pembeli hasil produk (output) petani. Sedangkan kelembagaan output merupakan kelembagaan pemasaran yang melayani petani saat menjual hasil produksi kedelainya. Kinerja sistem kelembagaan output adalah merupakan cara kerja sistem pemasaran yang telah kita ketahui selama ini.
Pemasaran, sebagai salah satu subsistem aktivitas agribisnis, diarahkan pada perbaikan mekanisme penentun harga yang layak bagi produsen dan pelaku pemasaran. Pemasaran diperlukan untuk mengalirkan produk barang/jasa mulai dari produsen hingga konsumen akhir (Kohl dan Uhl, 1990; Dahl, 1997; dalam Elizabeth, 2007b). Dengan demikan diperlukan kerjasama yang solid antar perantara (lembaga atau pelaku pemasaran) dan konsumen, yang akan menghasilkan keuntungan (marjin) pemasaran (Elizabeth, 2003). Dari konsep tersebut, tercermin aktivitas pendistribusian hasil yang mempermudah dan memperlancar penyampaian barang/jasa dimana penggunaannya meliputi jenis, jumlah, harga, tempat, dan waktu dibutuhkan (Tjiptono, 1998; dalam Elizabeth, 2007b).
Kelembagaan permodalan berperan penting sebagai lembaga pendukung (penyedia) modal untuk membiayai segala aktivitas dalam usaha pengembangan agribisnis kedelai. Setiap usaha pasti membutuhkan modal untuk mengaktifkannya, terlebih untuk usaha bernuansa bisnis. Lembaga penyedia modal (pemerintah maupun swasta) seperti: bank, koperasi, LPD dan sebagainya, sangat diharapkan oleh petani kedelai demi kelangsungan dan kesinambungan aktivitas usahatani mereka. Pemberdayaan sistem kredit lunak, berbagai kemudahan syarat, dan jangka panjang sangat diharapkan petani kedelai sebagai bentuk keberpihakan dan pendukung pengembangan produktivitas kedelai petani umumnya, dan sektor agribisnis kedelai khususnya. Pangsa pasar merupakan ukuran yang penting dalam pengembangan agribisnis kedelai, dan menentukan strategi persaingan pasar. Peningkatan pangsa pasar suatu produk mengindikasikan: jaminan pasar bagi produk tersebut; jaminan diperolehnya keuntungan (karena bertambahnya langganan/pembeli); serta terjaminnya pesanan bagi produk tersebut (Jones, 1965; dalam Elizabeth, 2007b). Pengembangan agribisnis kedelai dapat tercapai bila sistem pemasaran dan kelembagaan mendapat perhatian yang berpihak, berkesinambungan
170
Pengkajian pemasaran dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan yang umum berlaku dalam aktivitas agribisnis, seperti: pendekatan serba barang, pendekatan institusi, pendekatan serba fungsi, pendekatan sistem, dan pendekatan pemasaran. Dalam tulisan ini pengkajian dilakukan melalui pendekatan sistem dengan menganalisis fungsi-fungsi pemasaran, yang diperkaya dengan pengkajian kelembagaan dan tataniaga pemasaran kedelai yang menggambarkan: pembentukan harga, jalur dan marjin pemasaran. Lemahnya kinerja kelembagaan penyuluh di perdesaan menyebabkan informasi harga umumnya diperoleh dari sesama petani, pedagang, pasar, dan dari media massa. Meski petani tetap bebas memilih pedagang yang menawarkan harga yang lebih baik dan waktu pembayaran yang lebih pasti (atau sesuai kesepakatan), namun umumnya pihak pedagang tetap mendominasi penentuan harga. Akibatnya bargaining position petani tetap lemah, karena kuatnya relasi antar pedagang yang mendominasi penentuan harga, dan pengaruh lebih banyaknya petani dibanding pedagang, sehingga membentuk pasar yang cenderung bersifat oligopsoni. Dominasi pedagang terhadap fasilitas pemasaran (alat angkut dan gudang penyimpanan, misalnya), turut menyulitkan petani dalam menentukan pemasaran produknya. Harga yang terbentuk ditentukan pedagang melalui tiga parameter, yaitu: asalan,
karakteristik mutu, dan kuantitas. Pembentukan harga, dalam prosesnya, dibedakan atas: transaksi bebas, transaksi implicit contract, dan contract. Melalui implicit contract, pedagang memelihara hubungan baik dengan petani karena berharap mendapat kontinuitas pasokan kedelai. Beberapa cara yang ditempuh pedagang untuk memperoleh kedelai, yaitu: 1) pedagang membeli kedelai dengan cara langsung mendatangi petani; 2) pedagang menunggu petani yang membawa kedelainya di tempat transaksi (pasar, atau tempat khusus/tertentu lainnya); 3) petani mendatangi pedagang pengumpul (tingkat desa, kecamatan, dan sebagainya) untuk menjual kedelainya; 4) kombinasi antara ketiganya. Saluran pemasaran (tataniaga) kedelai umumnya dimulai dari petani yang menjual produknya kepada pedagang desa/kecamatan, pedagang pengumpul, pedagang di pasar/ tempat tertentu. Pola perdagangan yang terbentuk adalah struktur pasar oligopsonik dimana pedagang pengumpul yang umumnya menentukan harga pembelian di tingkat petani dan pedagang desa. Kedelai yang terkumpul dijual pedagang pengumpul kepada pihak distributor (pedagang) domestik dan pihak eksportir yang umumnya berkedudukan di ibukota kabupaten atau provinsi. Oleh pihak eksportir, biasanya dilakukan grading kembali berdasarkan kualitas yang dinginkan pasar domestik dan internasional, untuk kemudian didistribusikan ke pihak pembeli domestik maupun internasional. Marjin pemasaran terjadi karena adanya faktor-faktor biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dsb) dan keuntungan, yang akhirnya akan mempengaruhi pembentukan harga jual produk itu sendiri antara petani dan pedagang. Oleh karena itu, kemajuan dan pencapaian pembangunan pertanian dan perdesaan terkait erat dengan upaya penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani di perdesaan yang mencakup pengembangan berbagai elemen kelembagaan, seperti: kompetensi SDM petani; tatanilai maju; kepemimpinan (leadership as aprime mover); struktur dan organisasi sosial (terkait dengan sistem kemitraan dan keterlibatan/compliance petani dalam proses pembangunan); manajemen sosial (terkait dengan sistem pengambilan keputusan yang bersifat kolektif, kerjasama, dan saling mendukung); hukum dan pemerintahan (terkait dengan rasa aman atas dasar hukum, aturan main/mema-
sukkan produk dan inestasi dari luar, law enforcement, dan public trust). Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di perdesaan, meliputi: 1) pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifitas lahan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan; 2) perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya); 3) program memperkuat prasarana kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan perdesaan. Untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara: administrasi lokal, pemerintah lokal, kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta (tiga pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global (Uphoff, 1992). Pemberdayaan kelembagaan menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan: 1) kelembagaan lokal-tradisional yang hidup dan eksis dalam komunitas (voluntary sector); 2) kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka; dan 3) kelembagaan sistem politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector). Ketiga pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan rakyat di perdesaan tersebut perlu me’reformasi’kan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan transformasi kelembagaan sebagai upaya pemberdayaannya, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tata-hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Di sisi lain, pemberdayaan kelembagaan juga terkait erat dengan perlunya pemikiran tentang reorientasi pengembangan kelembagaan itu sendiri sebagai pendukung sistem pengembangan masyarakat pertanian di masa yang akan datang. Berbagai unsur-unsur kelembagaan di masa depan diarahkan agar berorientasi antara lain pada: pengusahaan komoditas (pangan/nonpangan) yang paling menguntungkan; skala usaha ekonomis dan teknologi padat modal; win-win mutualy dengan kemitraan yang kolehial; tercipta interdependensi hulu-hilir; modal berkembang dan kredit melembaga (bank, koperasi petani); koperatif, kompetitif dan transparan melalui sistem informasi bisnis; memanfaatkan peluang di setiap subsistem agribisnis; serta dukungan SDM
171
yang berpendidikan, rasional, mandiri, informatif, komunikatif dan partisipatif (inovatif). Pemberdayaan kelembagaan perdesaan juga mempertimbangkan pendayagunaan faktor penyediaan sarana produksi, bahan baku serta ketrampilan yang dikuasai masyarakatnya (termasuk kebijaksanaan penentuan harga, pelayanan yang terjangkau masyarakat, kebijaksanaan pembinaan industri perdesaan). Kebijaksanaan modal dan investasi harus disesuaikan dengan asas kelangkaan dan kebijaksanaan subsidi, agar dapat mengurangi dampak negatip penerapan penggunaan barang modal di perdesaan. Pada hakikatnya, dengan pendekatan penguatan dan pelibatan masyarakat desa dalam pemberdayaan kelembagaan adalah memberi ruang penuh mengartikulasikan diri mereka dan lingkungannya, sehingga dapat mencari dan menyusun sendiri bangunan diri dan lingkungannya; sesuai realitas sosial masyarakat perdesaan (Elizabeth, 2007b). Dengan melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan petani (seperti: kelompok tani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan permodalan) diharapkan dapat melindungi bargaining position petani. Tindakan perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani. Hal tersebut sangat diperlukan dan diharapkan petani kedelai demi kesinambungan dan keberlanjutan usahatani mereka. Dengan demikian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA (marginal sustainability yield) dan berbagai usaha untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan, merupakan bagian penting pembangunan pertanian dan perdesaan.
areal tanam (ekstensifikasi dan intensifikasi), peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk. Pengembangan analisis kelembagaan memiliki implikasi luas terhadap pencapaian keberhasilan pembangunan pertanian dan perdesaan. Namun, sangat disayangkan bahwa pemahaman perancang, pengambil, dan pelaksana pembangunan pertanian dan perdesaan terhadap aspek kelembagaan masih sangat rendah. Perlunya mengevaluasi kebijakan pembangunan pertanian dari aspek kelembagaan, sehingga upaya keakuratan perumusan kebijakan pembangunan ke depan dapat berimplikasi besar bagi peningkatan daya saing SDM perdesaan dan pengembangan agribisnis produk pertanian. Rancangan kebijakan yang diusulkan terutama dengan: 1) melihat relasi sosial, ekonomi, dan budaya, dalam mengkaji potensi kelembagaan tradisional pertanian di perdesaan; 2) mengkaji alternatif kebijakan pembangunan dan perdesaan yang mempertimbangkan indigenous knowledge (kearifan lokal) dan local knowledge (pengetahuan lokal); 3) pemberdayaan kelembagaan pertanian dan perdesaan diperlukan sebagai salah satu bentuk upaya penciptaan kemandirian petani, peningkatan pendapatan rumah tangga, pengembangan agribisnis produk pertanian. Diperlukan reorientasi kelembagaan di berbagai pihak, dalam kapasitasnya sebagai pendukung sistem dan pengembangan agribisnis. DAFTAR PUSTAKA Damardjati, Dj. S., Marwoto, D. K. S. Swastika, D. M. Arsyad, Y. Hilman 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dove, M. R. (eds). 1986. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Potensi dan peluang ke arah pencapaian swasembada dan pengembangan agribisnis kedelai masih terbuka lebar dengan melihat besarnya potensi dan peluang perluasan
Elizabeth, R. 2007a. Fenomena Sosiologis Metamorphosis Petani: ke Arah Keberpihakan Masyarakat Petani di Perdesaan yang Terpinggirkan terkait Konsep Ekonomi Kerakyatan Forum Agro-
172
Ekonomi (FAE) Vol. 26. Juli. 2007. PSE-KP. Bogor. Elizabeth, R. 2007b. Restruturisasi Pemberdayaan Kelembagaan Pangan mendukung Perekonomian Rakyat di Perdesaan dan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Makalah Simposium Tanaman Pangan V. 29-29 Agustus 2007. Puslitbangtan Pertanian. Bogor. Elizabeth, R. dan V. Darwis. 2003. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya terhadap Program JPS di Provinsi Jawa Timur. SOCA. Bali.
Etzoni, A. 1985. Organisasi-Organisasi Modern. UI. Press&Pustaka Bradjaguna. Jakarta. Tangendjaja, B., Y. Yusdja, N. Ilham. 2003. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung untuk Pakan; dalam Karyno et al. (eds.) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Uphoff, N. 1992. Local Institution & Participation for Sustainable Development. IIED. London.
173