PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS KEDELAI Oleh : Efriyani Sumastuti* dan Mayanggita Kirana** (*Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang; ** FE-UNDIP Semarang) ABSTRAK Kedelai telah membudaya di masyarakat Indonesia dan pemanfaatan biji kedelai selain dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku industri seperti tempe, tahu, dan produk lain (tauco, oncom, kecap, minyak makan, susu kedelai, soygurt, dan pakan ternak). Kelangkaan pasokan yang menyebabkan harga kedelai tinggi berdampak signifikan terhadap produksi tempe dan tahu. Kelangkaan kedelai dipandang sebagai salah satu bencana karena akan memperparah asupan nutrisi yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelembagaan agribisnis kedelai. Penentuan sampel dilakukan dengan quota purposive sampling untuk responden petani kedelai dan pedagang pengecer di Kabupaten Grobogan. Masing-masing responden dipilih sebanyak 30 dan 15.Analisis deskriptif statistik digunakan untuk mengevaluasi kelembagaan agribisnis kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan agribisnis kedelai masih perlu dikembangkan supaya proses pengelolaan menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan kerjasama dan peran serta aktif dari petani maupun stakeholder yang berkaitan dengan kedelai.
Kata kunci : kelembagaan, agribisnis, kedelai, Grobogan, Jawa Tengah
PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu palawija yang sudah cukup lama ditanam di Indonesia. Komoditas ini kaya protein nabati yang diperlukan untuk meningkatkan gizi masyarakat, aman dikonsumsi, dan harganya murah. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan snack. Konsumsi kedelai perkapita meningkat dari 8,13 kg pada tahun 1998 menjadi 8,97 kg pada tahun 2004 (Damardjati et al., 2005). Selain sebagai sumber protein, kedelai dapat juga bermanfaat untuk menurunkan kandungan kolesterol yang dapat mencegah penyakit jantung. Kedelai dapat pula berfungsi sebagai antioksidan dan mencegah penyakit kanker. Oleh karena itu, kebutuhan kedelai diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan makanan bergizi. Gambar 1. Perkembangan Harga Kedelai & Komoditas Pesaingnya di Indonesia Tahun 1991-2002 600 500 400 300 200 100 0
1991
1992
1993
1994
1995
Kedelai (Rp/kg) 1)
1996
1997
1998
Jagung (Rp/kg) 1)
1999
2000 2001 2002 Kedelai Impor (Rp/kg) 2)
Keterangan : Sumber: 1) FAO, 2004, 2) Ditjentan, 2004 dalam Damardjati et al. (2005)
Peningkatan konsumsi kedelai yang tidak didukung dengan produksi yang cukup menyebabkan terjadinya defisit. Selama ini, pemerintah cenderung memilih impor daripada meningkatkan produksi kedelai domestik. Volume impor kedelai selalu lebih besar daripada volume produksi domestik (Gambar 2). Padahal menurut hasil penelitian FAO, pada periode tahun 1970-2010 pertumbuhan produksi bahan pangan dunia akan mengalami penurunan (Saragih, et al., 2001). Perebutan bahan pangan untuk konsumsi dan energi semakin memperkuat kemungkinan munculnya krisis pangan global.
Gambar 2. Impor dan Produksi Domestik Kedelai Tahun 1997 – 2006
Volume (Ribu Ton)
1,600 1,400 1,200 Volume impor
1,000 800
Volume produksi domestik
600 400
Nilai impor
200 Tahun
0 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sumber : Survei Pertanian Tanaman Pangan dan Umbi-Umbian (Deptan, BPS 2007)
Ketergantungan bahan pangan terhadap impor merupakan salah satu hal yang dapat membahayakan ketahanan pangan. Selain menguras devisa yang besar akibat harga bahan pangan dunia yang terus meningkat, jumlah pangan yang terseedia di pasar internasional belum tentu sebesar yang kita butuhkan. Lonjakan harga impor kedelai menjadi dua kali lipat harga sebelumnya telah menyebabkan munculnya krisis kedelai di Indonesia. Peningkatan ketahanan pangan baik pada tingkat nasional maupun tingkat rumah tangga memberi amanat kepada kekuatan ekonomi domestik agar mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk dengan mengutamakan produksi dan penyediaan dalam negeri. Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih terbuka lebar melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Saat ini rata-rata produktivitas nasional kedelai baru 1,3 ton per ha dengan kisaran 0,6 – 2 ton per ha di tingkat petani sedangkan di tingkat penelitian telah mencapai 1,7 – 3,2 ton per ha bergantung pada lahan dan teknologi yang diterapkan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa produksi kedelai di tingkat petani masih dapat ditingkatkan (Balitbang Deptan, 2008). Pemerintah menetapkan sasaran produksi kedelai tahun 2008 sebesar 1.064.000 ton dengan luas tanam 800.000 ha, luas panen 760.000 ha dan produktivitas rata-rata 14 kuintal per hektar. Budaya makan tahu dan tempe telah melekat dalam masyarakat Jawa Tengah. Tempe menjadi salah satu sumber protein penting dalam pola konsumsi masyarakat sehingga kebutuhan bahan baku kedelai Jawa Tengah cukup tinggi. Namun sampai saat ini kebutuhan tersebut belum dapat tercukupi dari hasil produksi sendiri (Gambar 3). Kabupaten Grobogan ditinjau dari aspek agroekosistem merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan kedelai (Samijan et al.,1997).
Gambar 3. Produksi, Ketersediaan dan Kebutuhan Komoditi Kedelai Jawa Tengah Tahun 2002 – 2007
Keterangan : * Angka Sementara Tahun 2007; ** Angka Ramalan I- 2008 Sumber : BPS Jateng, Dispertan Jateng (2008)
Usahatani kedelai paling banyak diproduksi pada musim labuhan. Sentra produksi tanaman kedelai pada musim labuhan adalah Kecamatan Pulokulon, Toroh, Gabus dan Kradenan. Adapun pada musim kemarau sentra penanaman ada di Kecamatan Toroh dan Ngaringan (Distanbun Kab. Grobogan, 2008). Kecamatan Pulokulon dan Toroh merupakan dua kecamatan sentra produksi kedelai terbesar di Kabupaten Grobogan. Kontribusi luas panen kedua wilayah ini tahun 2007 mencapai 45,54 persen dari luas panen kedelai di Kabupaten Grobogan Menurut paradigma pembangunan agribisnis, keberhasilan agribisnis, termasuk agribisnis kedelai, sangat tergantung pada kemajuan-kemajuan yang dicapai di setiap subsistemnya (Arifin, 2004). Sistem agribisnis akan berjalan baik jika tidak ada gangguan pada salah satu subsistemnya. Setiap subsistem akan saling berkaitan satu dengan lainnya dan kinerjanya saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Adanya kesenjangan dan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelembagaan agribisnis kedelai dan bagaimana pengembangaannya.
METODE PENELITIAN Sampel penelitian ini meliputi petani, pengusaha saprotan dalam agribisnis kedelai, pedagang besar dan pedagang pengumpul kedelai, pengusaha industri pengolahan kedelai (industri tahu dan tempe) dan Petugas Penyuluh Lapangan Dinpertan TPH, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pertanian dan Perkebunan Kecamatan Pulokulon serta Kepala Bidang SDM dan Agribisnis Tanaman Pangan Dinpertan TPH Kabupaten Grobogan.
Tahap pertama, menentukan kecamatan sampel. Pemilihan kecamatan dilakukan secara purposive, didasarkan pada data luas panen kedelai di Kabupaten Grobogan tahun 2010. Kecamatan yang dipilih adalah sentra kedelai terbesar pertama Kabupaten Grobogan, yaitu Kecamatan Pulokulon. Tahap kedua, menentukan desa sampel. Desa terpilih adalah desa sentra kedelai pada musim labuhan 2011 dan menggunakan sistem pengairan tadah hujan. Desa sentra dipilih sebanyak 2 desa dari keseluruhan desa yang melakukan penanaman kedelai di musim labuhan. Desa sampel dipilih secara purposive dari lokasi yang berdekatan dengan pertimbangan bahwa tingkat kesuburan tanah untuk lokasi yang berdekatan relatif sama. Desa sampel terpilih yaitu Desa Panunggalan dan Desa Mangunrejo. Tahap ketiga, dengan terpilihnya 2 desa sampel maka petani kedelai di kedua desa tersebut menjadi sub populasi. Namun ketiadaan data mengenai jumlah petani kedelai secara akurat maka dalam penelitian ini jumlah sampel ditentukan dengan quota sampling (Susilowati, 2008). Jumlah sampel petani responden ditentukan sebanyak 30 respoden. Sampel selain petani ditentukan dengan pendekatan purposive sampling. Sampel ini terdiri dari 2 responden pengusaha dan pedagang saprotan kedelai, 2 responden pedagang besar dan pedagang pengumpul kedelai, 2 pengusaha industri pengolahan kedelai (industri tahu dan tempe), 2 responden Petugas Penyuluh Lapangan Dinpertan TPH, 2 responden Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Pertanian dan Perkebunan (Ka UPTD BPP) Kecamatan serta 5 orang staf Dinpertan TPH Kabupaten Grobogan. Secara keseluruhan sampel penelitian ini berjumlah 45 responden. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode berikut : a. Dokumentasi yaitu mempelajari, mencatat arsip-arsip atau data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Metode ini dilakukan dengan mengambil data dari dinas dan instansi terkait antara lain: BPS Jawa Tengah, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah, BPS Kabupaten Grobogan, Distanbun Kabupaten Grobogan serta UPTD BPP Kecamatan Pulokulon dan Kecamatan Toroh. b. Wawancara yaitu metode mengumpulkan data atau informasi melalui tatap muka secara langsung dengan responden yang terpilih sebagai sampel dan atau keyperson yang berkompenten dengan permasalahan penelitian dengan menggunakan bantuan kuisioner. c. Observasi yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan yang menjadi objek penelitian dengan menggunakan lembar observasi dan alat-alat yang diperlukan.
Pendekatan statistik deskriptif akan digunakan untuk membantu menggambarkan karakteristik wilayah penelitian, karakteristik responden dan kondisi eksisting sub-sub sistem agribinis kedelai di Kabupaten Grobogan
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Kedelai di Kabupaten Grobogan 1.
Pengadaan dan Distribusi Benih Kedelai Petani responden menyebut benih yang digunakan sebagai benih kedelai Malabar.
Sebutan Kedelai Malabar itu mengacu pada nama varietas hasil silangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang dirilis pada 1990. Varietas yang menghasilkan 1,93 ton per ha itu hasil silangan varietas lokal Sidoarjo dan Wilis. Umur produksi Malabar hanya 70 hari yang merupakan warisan induknya. Kedelai yang biasa digunakan petani Grobogan mendapat label sebagai kedelai varietas Grobogan. Menurut Baihaqi (2008), kedelai varietas Grobogan mampu menghasilkan produktivitas tinggi karena memang sesuai dengan lingkungan makro, meliputi : iklim, ketinggian, jenis tanah, dan curah hujan serta lingkungan mikro, seperti teknologi budi daya, pemupukan, dan jarak tanam. Keunggulan sebuah varietas kedelai di sebuah daerah belum tentu sama jika dikembangkan di daerah lain yang lingkungannya tak sama. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengembangan varietas unggul lokal. Keberadaan varietas unggul lokal dapat mendukung proses penciptaan swasembada kedelai di Indonesia. Seluruh responden pada musim tanam labuhan 2007, menggunakan benih kedelai yang belum bersertifikat. Petani responden di Kecamatan Pulokulon sebagian besar memperoleh kedelai dari kelompok tani ( 66,9 %). Beberapa kelompok tani di wilayah ini telah melakukan sistem Jabalsim (jalinan benih antar lapang dan musim) dalam pengadaan benih kedelai. Sistem Jabalsim berperan penting dalam pengadaan dan distribusi benih kedelai mengingat benih kedelai memiliki umur simpan yang pendek. Daya tumbuh benih kedelai akan menurun tajam jika sudah berumur lebih dari 1 bulan setelah panen. Melalui sistem Jabalsim, benih kedelai yang diproduksi tidak perlu disimpan lama, sehingga risiko menurunnya daya tumbuh benih dapat dihindari. Dinpertan TPH Kab.Grobogan beserta Dinpertan TPH Provinsi Jawa Tengah berupaya mengembangkan sistem Jabalsim melalui pembinaan para penangkar benih atau dalam sistem produksi benih berbasis komunitas (community based seed production). Pengembangan sistem Jabalsim diharapkan mampu menyediakan benih kedelai secara 6 tepat (tepat varietas, tepat jumlah, tepat mutu, tepat tempat, tepat harga dan tepat waktu). Penyediaan benih secara 6 tepat menjadi salah satu
faktor penting dalam upaya peningkatan kinerja produksi kedelai di Kabupaten Grobogan. Sistem Jabalsim benih kedelai petani responden di Kecamatan Pulokulon dilakukan dengan pola aliran sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Petani penangkar benih di Kecamatan Pulokulon menyiapkan benih untuk musim tanam labuhan pada musim tanam, Juni – September. Benih yang di tanam adalah benih FS/SS, diperoleh dari Balitkabi Malang. Benih tersebut selanjutnya didistribusikan pada petani kedelai di wilayah Kecamatan Pulokulon. Benih hasil panen petani di Kecamatan Pulokulon disortir untuk dijadikan benih pada musim tanam Februari – Mei di daerah Pati. Setelah panen benih yang sudah diseleksi didistribusikan ke petani penangkar benih di Kecamatan Pulokulon dan petani-petani kedelai di wilayah lain yang menanam kedelai pada musim tanam Juni – September. Gambar 4. Rantai Sistem Jabalsim Responden Petani di Kecamatan Pulokulon Benih FS/SS dari Balitkabi Malang
Petani penangkar benih di Kecamatan Pulokulon
Oktober -Januari
Februari- Mei
Petani Kedelai di Kecamatan Pulokulon
Petani Kedelai di daerah Pati
Juni September
Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Kebutuhan suplai benih kedelai di Kabupaten Grobogan termasuk di Kecamatan Pulokulon, pada musim labuhan sangat tinggi. Menurut teknologi anjuran budidaya kedelai jumlah benih yang digunakan adalah 80 kg/ha . Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan benih kedelai petani responden di Kecamatan Pulokulon sebanyak 50 – 125 kg/ha. Penggunaan benih yang melebihi standar menyebabkan kebutuhan benih kedelai riil lebih besar daripada angka rencana kebutuhan benih kedelai yang dihitung Pemda Kabupaten Grobogan (Dinpertan TPH Kab Grobogan, 2012).
2. Pengadaan dan Distribusi Input Kinerja subsistem pengadaan dan penyaluran input dapat diartikan sebagai kemampuan subsistem pengadaan dan penyaluran input menyediakan dan menyalurkan input sesuai kebutuhan petani (Balitbang Deptan, 2000). Ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja ini dinilai dari 5 tepat, yaitu tepat harga, tepat jumlah, tepat mutu, tepat tempat, dan tepat waktu dapat terpenuhi. Khusus untuk input benih selain diukur dengan indikator 5 tepat juga diukur menggunaan indikator ketepatan varietas (6 tepat) a.
Kinerja pengadaan dan distribusi pupuk Responden petani menyatakan bahwa kinerja pengadaan dan distribusi pupuk khususnya pupuk bersubsidi dalam mendukung kinerja produksi subsistem usahatani kedelai adalah baik pada ketepatan mutu, waktu, jumlah, tempat dan harga.
b.
Kinerja pengadaan dan distribusi pestisida Responden menyatakan bahwa kinerja pengadaan dan distribusi pestisida dalam mendukung kinerja produksi subsistem usahatani kedelai adalah baik pada ketepatan mutu, waktu, jumlah, tempat dan harga. Produksi pestisida murni dilakukan oleh pihak swasta dan dijual tanpa subsidi sehingga proses distribusi dapat berjalan sesuai mekanisme pasar.
3. Pascapanen Kedelai Penanganan pasca panen kedelai dilakukan secara sederhana, yaitu melalui pengeringan dengan sinar matahari dan tidak melakukan proses penanganan pasca panen lain. Seluruh responden di lokasi penelitian mengandalkan tenaga sinar matahari untuk mengeringkan hasil panen kedelainya. Brangkasan yang telah kering selanjutnya akan di masukkan dalam mesin selep (trasher) untuk memisahkan biji kedelai dari kulit. Selanjutnya biji kedelai dimasukkan dalam karung. Seluruh responden menjual kedelai dalam bentuk hasil panenan kering (kadar air 18 – 20 %). Kinerja subsistem pasca panen diartikan kemampuan subsistem penanganan pasca panen dalam menangani komoditas primer secara tepat untuk mengurangi tingkat kehilangan hasil dan penurunan kualitas (Dirjen P2HP Deptan, 2008). Titik kritis dalam subsistem ini adalah bagaimana mengusahakan agar biji kedelai yang dihasilkan memiliki kadar air yang cukup sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu tanpa berkurang kualitas dan jumlahnya. Musim panen kedelai yang terjadi bulan Desember – Januari sering menyulitkan petani dalam melakukan proses penanganan pasca panen khususnya pengeringan. Petani yang mengandalkan tenaga sinar matahari dalam proses pengeringan sering terganggu oleh cuaca
mendung atau hujan. Menurut hasil wawancara dengan penyuluh dan pengusaha pengolahan kedelai, kegiatan pasca panen kedelai yang dilakukan petani, kinerjanya masih kurang baik. Alasannya petani belum mampu menghasilkan biji kedelai dengan standar kadar air yang tepat untuk penyimpanan jangka panjang. Kadar air maksimum agar biji-bijian termasuk kedelai dapat disimpan dalam jangka panjang adalah 12 %. Untuk itu masih perlu dilakukan pembinaan oleh stakeholders, baik swasta maupun pemerintah. 4. Pengolahan Kedelai Industri pengolahan kedelai di Kabupaten Grobogan terdiri dari industri tahu dan tempe. Berdasarkan hasil survei pada industri pengolahan kedelai diketahui bahwa pengusaha pengolahan tahu memiliki preferensi yang cukup baik terhadap kedelai lokal. Kombinasi bahan baku menggunakan kedelai lokal dan kedelai impor dapat menghasilkan tahu yang lebih ’gempi’. Kedelai lokal umumnya memiliki kadar pati lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai impor. Meskipun menggunakan kombinasi bahan baku dengan kedelai lokal, hanya 1 orang pengusaha tahu responden (20%) yang bersedia membeli kedelai langsung dari petani. Pengusaha tahu lainnya lebih menyukai membeli kedelai lokal dari pedagang besar atau pedagang pengumpul sedang. Alasannya kedelai yang dijual petani kualitasnya masih tercampur dan kadar air masih cukup tinggi. Pengusaha pengolahan tempe memiliki preferensi yang kurang baik terhadap kedelai lokal. Penggunaan kedelai lokal dilakukan saat terjadi kelangkaan dan lonjakan harga kedelai bulan Januari 2008. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi mengenai kualitas tempe yang dihasilkan dan respon konsumen terhadap tempe yang dihasilkan dari kedelai lokal. Menurut kedua pengusaha tempe tersebut kualitas tempe yang dihasilkan sama baiknya dengan kualitas tempe yang dihasilkan dari kedelai impor. Konsumen juga tidak mengetahui perbedaan rasa tempe yang dihasilkan dari kedelai lokal. Meskipun demikian, saat ini produksi tempe yang dilakukan oleh kedua pengusaha tersebut tetap menggunakan bahan baku biji kedelai impor kembali. Pengusaha tersebut menyatakan tetap lebih menyukai menggunakan kedelai impor dibandingkan kedelai lokal. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa kedelai impor memiliki kadar air lebih rendah sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup panjang tanpa muncul jamur.
5. Pemasaran Kedelai Seluruh responden menjual hasil panen kedelai dalam bentuk biji wose kering. Rantai pemasaran pertama biji kedelai (wose kering) dilakukan pada pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul sedang atau konsumen langsung. Gambar 5. Rantai Pemasaran Kedelai di Kabupaten Grobogan 2,4 %
Petani 78,37 %
Pedagang pengumpul kecil (batiak)
19,23 %
40 % Pedagang pengumpul sedang 33,3 %
60 %
66,7 % Pedagang Besar
Industri Pengolahan Kedelai
Kios, Toko
Konsumen
Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Dari pedagang pengumpul kecil, biji kedelai dipasarkan ke pedagang pengumpul sedang atau pedagang besar kedelai sementara pada pedagang pengumpul sedang melakukan pemasaran ke industri pengolahan maupun ke pedagang besar kedelai. Pedagang besar selanjutnya memasarkan biji kedelai ke kios, toko pengecer dan industri pengolahan kedelai. Kios dan toko pengecer menjual biji kedelai ke konsumen sedangkan industri pengolahan menjual produk kedelai olahannya kepada konsumen. Identifikasi rantai pemasaran kedelai lokal dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul sedang dan pedagang pengumpul besar. Rantai pemasaran kedelai dimulai dari petani ke pedagang pengumpul kecil (78,37%), pedagang pengumpul sedang (19,23%) dan langsung ke konsumen (2,4%). Pedagang pengumpul sedang (kapasitas pembelian 10 – 15 karung) membeli biji kedelai langsung ke petani atau lewat pedagang pengumpul kecil. Pedagang pengumpul sedang melaksanakan fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Pedagang pengumpul sedang selain melaksanakan kedua fungsi di atas juga ada yang melakukan fungsi tataniaga lain, yaitu pengeringan, sortasi, grading dan pengepakan. Biji kedelai hasil proses tersebut dijual ke pabrik pengolahan kedelai sedangkan biji kedelai tanpa perlakuan dijual langsung ke pedagang besar. Pedagang besar melakukan fungsi pembelian dari pedagang pengumpul kecil dan sedang, Selanjutanya melakukan fungsi fasilitasi seperti pengeringan, sortasi, grading,
pengemasan, transportasi dan pembiayaan. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air biji kedelai sehingga umur simpannya bisa menjadi lebih panjang dan meningkatkan kualitas biji kedelai. Sortasi dilakukan untuk memisahkan biji kedelai yang pecah dan keriput. Grading dilakukan untuk mengklasifikasikan biji kedelai berdasarkan ukuran tertentu. Pengemasan dilakukan untuk melindungi biji kedelai dari kotoran, air dan memudahkan proses bongkar muat. Pembiayaan dilakukan dengan
memberikan hutang
kedelai kepada pembeli. Pembayaran kedelai yang dijual pedagang besar dilakukan dengan sisitem mundur 2 – 4 minggu. Fungsi penjualan dilakukan saat menjual kedelai kepada kios/agen dan pengusaha pengolahan kedelai.
KESIMPULAN 1.
Kelembagaan agribisnis kedelai di Kabupaten Grobogan terdiri atas pengadaan benih, pengadaan dan distribusi input, usahatani, pascapanen, pengolahan hasil, dan pemasaran
2.
Hasil analisis deskriptif terhadap persepsi petani sebagai pengguna input diketahui bahwa kinerja pengadaan dan distribusi input produksi secara umum adalah baik.
3.
Dalam pengembangan kelembagaan agribisnis kedelai untuk meningkatkan produksi diperlukan kerjasama, koordinasi dan peran serta dari semua pelaku agribisnis.
DAFTAR PUSTAKA Aubert, C and Zhu Xigang. 2002. The Changing Role Of Soybeanin China’s Food System: A Study in its Production, Processing, Consumption and Trade. EU-China JointResearch Project. Baihaqi, Achmad. 2008. Kedelai Grobogan Bukan Reinkarnasi. Diunduh dari www. trubus.co.id tanggal 20 Juli 2008. Balitbang Deptan, 2000. Teknologi Produksi Benih Kedelai. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat. Irian Jaya. _____. 2008. Ketersediaan Teknologi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kedelai Menuju Swasembada. Jakarta. Damardjati,Dj.S., Marwoto, D.K.S Swastika, D.M. Arsyad, Y. Hilman. 2005. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Dinpertan TPH Jateng. 2010. Laporan Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2010. Semarang. Saragih Bungaran, Tungkot Sipayung dan Rachmad Pambudy. 2001. Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Edisi Revisi. LP3ES. Jakarta.
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian : Teori dan Aplikasi. Rajawali Pers. Jakarta. ______. 1993. Agribisnis teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suryana, Achmad. 2006. Strategi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Palawija. dalam Prossiding Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija di Indonesia : Peran Palawija dalam Pengentasan Kemiskinan dan Peningkatan Ketahanan Pangan, Bogor Susilowati, Indah. 2008. Penguatan Kinerja Agribinis Tanaman Pangan Unggulan Provinsi Jawa Tengah dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Universitas Diponegoro.