ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA
SKRIPSI
DINAR FRIHASTIKA SARI H34070067
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
RINGKASAN DINAR FRIHASTIKA SARI, Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia, skripsi.Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA). Ketahanan pangan dapat dilakukan melalui diversifikasi konsumsi. Diversifikasi konsumsi tidak hanya dilakukan pada pangan yang mengandung karbohidrat saja tetapi juga dilakukan pada pangan yang mengandung protein. Kacang-kacangan mengandung protein nabati dan dapat digunakan sebagai pangan pengganti protein hewani. Jenis kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah kedelai. Tingginya permintaan kedelai di dalam negeri tidak diikuti dengan produksi kedelai lokal yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga impor terus dilakukan. Derasnya impor kedelai dengan harga murah membuat pasar kedelai di dalam negeri didominasi oleh kedelai impor. Hal ini yang membuat petani kedelai lokal semakin terhimpit sehingga gairah petani untuk menanam kedelai semakin berkurang. Melihat hal tersebut dibutuhkan beragam upaya dan dukungan dari semua pihak untuk merespon kondisi kedelai lokal saat ini sehingga dayasaing kedelai lokal dapat ditingkatkan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) menelaah sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (2) menganalisis daya saing agribisnis kedelai lokal Indonesia, (3) merumuskan strategi pengembangan dan arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Lingkup penelitian ini meliputi analisis agribisnis kedelai lokal secara nasional (makro). Waktu penelitian berlangsung dari bulan Januari hingga Mei 2011 mencakup ke dalam penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data hingga disimpulkannya hasil penelitian. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan wawancara khusus dengan Kasubid Pengembangan Kedelai, Kepala Seksi Pengembangan Kedelai Lokal, Kepala KOPTI kabupaten Bogor dan studi literatur dari berbagai sumber dan buku serta dengan browsing internet. Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui dayasaing adalah Porter’s Diamond Theory sedangkan untuk merumuskan strategi maka digunakan alat analisis SWOT dan arsitektur strategik. Pada penelitian ini, diketahui kondisi agribisnis kedelai lokal di Indonesia mulai dari subsistem agribisnis hulu, on farm hingga subsistem agribisnis hilir dan pemasaran. Selain itu, berdasarkan Porter’s Diamond Analyse diperoleh keterkaitan antar komponen pada Porter’s Diamond system dimana komponen yang saling mendukung pada komponen utama lebih sedikit bila dibandingkan dengan komponen yang tidak saling mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing kedelai lokal di Indonesia lemah. Namun komponen pendukung pada Porter’s Diamond system sangat mendukung komponen utama. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh sepuluh alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia: (1) Peningkatan produksi kedelai lokal, (2) Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal (3)
ii
Penguatan Kelembagaan (4) Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank (5) Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai (6) Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (7) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal, (8) Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal, (9) Pembatasan volume impor (10) Membentuk Lembaga Stabilitas Harga kedelai. Dari sepuluh strategi tersebut dihasilkan program-program untuk mencapai sasaran tersebut dengan menghadapi tantangan yang ada selama pelaksanaan program. Program-program tersebut dilakuakan secara bertahap dan rutin yang dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategi.
iii
ANALISIS DAYASAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA
DINAR FRIHASTIKA SARI H34070067
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
iv
Judul Skripsi
: Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Nama
: Dinar Frihastika Sari
NIM
: H34070067
Disetujui, Pembimbing
Ir. Lukman Mohammad Baga, MA. Ec NIP. 19640220 198903 1 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Juni 2011
Dinar Frihastika Sari H34070067
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Maret 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Achmad Yaelani dan Siti Nurul Sukriati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Angkasa I Bogor pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP 6 Bogor. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Bogor. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai Mayor.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi sistem agribisnis dan dayasaing kedelai lokal di Indonesia serta merumuskan alternatif strategi pengembangannya yang kemudian dipetakan dalam sebuah rancangan arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Namun demikian penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Namun diharapkan skripsi ini dapat menjadi masukkan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2011
Dinar Frihastika Sari
viii
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Ir. Lukman Mohammad Baga, MA. Ec selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Suharno M. Adv dan Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji pada sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staff pengajar Departemen Agribisnis yang selalu memberikan saran dan masukkan kepada penulis. 4. Direktorat Jendral Tanaman Pangan Bapak Kasmin Nadaek selaku kasubid kedelai dan perwakilan dewan kedelai, Direktorat Perbenihan Bapak Dhani Permadi selaku kasi Aneka Kacang dan Umbi, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) atas waktu, kesempatan dan informasi yang diberikan kepada penulis. 5. Ayahanda Achmad Yaelani dan Ibunda Siti Nurul Sukriati atas kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, kakakku Dias Permata Sari dan adikku Dita Triambari yang selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini serta Ryza Satria Pamenang yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan doa terhadap penulis. 6. Teman-teman kesebelasan dan teman-teman Agribisnis 44 khususnya Venty Fitriani Nurunisa dan Nuning Indriyashari atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Juni 2011 Dinar Frihastika Sari
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan .......................................................................................... 1.4. Manfaat ........................................................................................ 1.5. Ruang Lingkup.............................................................................
1 1 4 7 7 7
II
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1. Kondisi Kedelai di Indonesia ....................................................... 2.2. Sistem Agribisnis Kedelai............................................................ 2.3. Dayasaing Kedelai Lokal di Indonesia ........................................ 2.4. Strategi Pengembangan dan Arsitektur Strategik Komoditi di Indonesia................................................................................. .
9 9 10 11
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 3.1. Kerangka Teoritis......................................................................... 3.1.1. Pengertian Agribisnis ......................................................... 3.1.2. Konsep Dayasaing ............................................................. 3.1.3. Formulasi Strategi .............................................................. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................
15 15 15 16 18 19
IV METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 4.2. Data dan Instrumentasi................................................................. 4.3. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 4.4.1. Analisis Berlian Porter ...................................................... 4.4.2. Analisis SWOT .................................................................. 4.4.3. Arsitektur Strategik ...........................................................
22 22 22 22 23 25 32 33
III
V
GAMBARAN UMUM KEDELAI DUNIA DAN NASIONAL 5.1. Kedelai Dunia .............................................................................. 5.1.1. Produksi Kedelai Dunia ..................................................... 5.1.2. Negara Penghasil Kedelai Dunia ....................................... 5.1.3. Eksportir Kedelai di Dunia ................................................ 5.1.4. Importir Kedelai ............................................................... 5.1.5. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kedelai di Negara Penghasil Kedelai ................................................. 5.1.6. Tingkat Harga Kedelai Dunia ............................................ 5.2. Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ........................................ 5.2.1. Subsistem Hulu .................................................................. 5.2.2. Subsistem Usahatani Kedelai ............................................
13
34 34 35 36 36 37 38 40 40 42 x
5.2.3. Subsistem Hilir dan Pemasaran .......................................... 5.2.4. Subsistem Penunjang .......................................................... 5.3. Impor Kedelai Indonesia ............................................................... VI DAYASAING AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA 6.1. Analisis Komponen Porter’s Diamond System ........................... 6.1.1. Kondisi Faktor Sumberdaya ............................................... 6.1.2. Kondisi Permintaan............................................................ 6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung ............................ 6.1.4. Struktur, Persaingan dan Strategi Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia . ............................................................ 6.1.5. Peran Pemerintah ................................................................ 6.1.6. Kesempatan ........................................................................ 6.2. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System.. 6.3. Keterkaitan antar Komponen Penunjang dengan komponen Utama ............................................................................................
44 47 49 52 52 64 67 70 73 74 75 78
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN DAYASAING KEDELAI LOKAL DI INDONESIA 7.1. Analisis SWOT Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal .............................................................. 7.1.1. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Berdasarkan Gambaran Umum dan Komponen Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ............ 7.1.2. Analisis Komponen SWOT ................................................ 7.1.3. Perumusan Strategi dengan Matriks SWOT....................... 7.2. Rancangan Arsitektur Strategik Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ....................... 7.2.1. Sasaran Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia.................. 7.2.2. Tantangan Agribisnis Kedelai Lokal .................................. 7.2.3. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal ................................................... 7.2.4. Tahapan Arsitektur Strategik ..............................................
103 105
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ................................................................................... 8.2. Saran ............................................................................................
108 110
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
111
LAMPIRAN.................................................................................................
115
82
82 84 95 103 103 103
xi
DAFTAR TABEL Nomor 1
Halaman
Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai .......
5
2 Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia (2000-2009) .....................
6
3 Perkembangan Produksi dan Permintaan Kedelai Dunia (juta ton) Tahun 2006 – 2009 ...............................................................................
34
4
Jumlah Produksi Negara-Negara Penghasil Kedelai Terbesar di Dunia Tahun 2006/2007 – 2009/2010 (000) Ton ........................................... 35
5
Ekportir Utama Kedelai Dunia Tahun 2006/2007–2009/2010 (000) Ton .............................................................................................
6 Importir Kedelai Dunia Tahun 2006/200 –2009/2010........................ 7
36 37
Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton) .........................................
51
8
Luas Tanam Kedelai Lokal 2007-2010 (hektar) ..................................
54
9
Keterkaitan Antar Komponen Utama ...................................................
75
10 Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama..
78
11 Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Sistem Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ................................................
83
12
96
Matriks SWOT Agribisnis Kedelai Lokal ...........................................
13 Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal ....................................................................................... 104
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis..........................
16
2
Kerangka Pemikiran Operasional .........................................................
21
3
Sistem Agribisnis Kedelai Lokal ..........................................................
24
4
The Complete System of National Competitif Advantage ....................
31
5
Matriks SWOT .....................................................................................
32
6
Rata-rata Produktivitas Kedelai Dunia Tahun 2003-2007 ...................
38
7
Harga Kedelai Dunia Bulanan (Januari Tahun 2000-Januari 2010) ...
39
8
Klasifikasi Produk Olahan Kedelai ......................................................
45
9
Rantai Pemasaran Kedelai di Indonesia ...............................................
46
10
Grafik Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Tahun 1999-2008 ..................................................................................
50
11
Persentase Permintaan Kedelai Berdasarkan Penggunaannya .............
65
12
Produksi dan Konsumsi Kedelai dari Tahun 1970-2009 .....................
66
13
Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond System ....................
80
14
Arsitektur Strategik Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia ............... 107
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Proyeksi Konsumsi Kedelai Tahun 2010-2014 .................................. 116
2
Analisa Usahatani Kedelai di Jawa dan Luar Jawa ............................ 117
3
Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi ................... 118
4
Perkembangan Produk Olahan di Indonesia....................................... 119
5
Perbedaan Kualitas Kedelai Lokal dan Kedelai Impor ...................... 122
6
Varietas Unggul yang Memiliki Potensi Produksi > 2 ton/ha ............ 123
7
Perbandingan Produktivitas Kedelai Tahun 2007 dan 2008 (setelah pelaksanaan SL-PTT) ............................................................ 124
xiv
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia, karena itu sangatlah penting untuk menjaga ketersediaannya. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945. Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No.7/1996 tentang pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peranan penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi serta dapat mengakibatkan berbagai gejolak sosial dan politik (Abubakar 2008). Ketahanan pangan merupakan kemampuan rumah tangga menyediakan pangan bagi seluruh anggota rumah tangganya dalam jumlah, mutu, aman, merata dan berkesinambungan. Kacang-kacangan termasuk ke dalam kelompok pangan yang menduduki urutan ke lima dari sembilan kelompok pangan yang dikonsumsi. Rumah tangga miskin yang mengkonsumsi umbi-umbian mencapai 42,5 persen dan kacang-kacangan 80,8 persen. Jadi hampir semua rumah tangga miskin pedesaan menyertakan kelompok pangan kacang-kacang dalam pola konsumsi pangannya. Oleh karena itu komoditas kacang-kacangan perlu diperhitungkan dalam mewujudkan ketahanan pangan khususnya bagi rumah tangga miskin pedesaan (Hanafie 2004). Pemerintah
bertanggungjawab
atas
pemenuhan
kebutuhan
hidup
penduduknya. Dengan demikian tercapainya ketahanan pangan menjadi indikator keberhasilan ekonomi dan pembangunan suatu negara. Bergesernya konsep ketahanan pangan dari orientasi komoditas menjadi orientasi nutrisi (kecukupan gizi) telah membuka peluang berkembangnya intervensi kebijakan pencapaian ketahanan pangan melalui konsumsi pangan yang lebih beragam (diversifikasi konsumsi). Diversifikasi konsumsi pangan adalah penganekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi, mencakup bahan pangan sumber energi dan zat gizi lainnya (Hanafie 2004). Ketahanan pangan tidak hanya diwujudkan melalui diversifikasi pangan yang bersumber dari pangan yang mengandung karbohidrat saja tetapi 1
juga diwujudkan melalui diversifikasi pangan dari sumber pangan yang mengandung protein. Salah satu komoditi pangan alternatif sebagai sumber protein non hewan adalah kedelai. Kedelai (Glicine max) adalah tanaman semusim yang termasuk famili Leguminosae, berasal dari Cina dan kemudian dikembangkan ke berbagai negara seperti Amerika, Amerika Latin dan Asia. Kedelai dapat dibudidayakan di daerah sub tropis dan tropis dengan teknis budidaya yang sederhana. Kandungan gizi kedelai cukup tinggi, terutama proteinnya mencapai 34 persen sehingga sangat diminati sebagai sumber protein nabati yang relatif murah dibandingkan dengan protein hewani (Ditjentan 2004). Kedelai tidak hanya digunakan sebagai sumber protein nabati, tetapi juga sebagai pangan fungsional untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif, seperti jantung koroner dan hipertensi. Zat isoflavon yang ada pada kedelai ternyata berfungsi sebagai antioksidan. Tidak hanya itu, saat ini kedelai banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif (biofuel). Sebagai sumber protein nabati, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, yaitu: tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai dan berbagai bentuk makanan ringan (Sudaryanto dan Swastika 2007). Di Indonesia sendiri, kedelai digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tahu dan tempe yang telah menjadi menu sehari-hari masyarakat Indonesia. Hal tersebut menjadikan kedelai sebagai salah satu komoditas penting di Indonesia. Sifat multiguna yang terdapat pada kedelai menyebabkan tingginya permintaan kedelai di dalam negeri. Selain itu, manfaat kedelai sebagai salah satu sumber protein murah membuat kedelai semakin diminati. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka permintaan kedelai di dalam negeri pun berpotensi untuk meningkat. Konsumsi kedelai diproyeksikan mengalami pertumbuhan sebesar 1,38 persen pertahun. Proyeksi konsumsi kedelai pada tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Lampiran 1. Selain itu, berkembangnya industri peternakan, terutama unggas telah mendorong berkembangnya industri pakan ternak, dimana bungkil kedelai banyak digunakan sebagai sumber protein dalam komposisi pakan unggas (Tangendjaja et al 2003). Hal ini menunjukkan adanya peluang pasar yang cukup besar bagi pengembangan kedelai di Indonesia.
2
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010), produksi kedelai lokal di Indonesia selama tahun 1992-2007 terus menurun dengan rata-rata produksi sebesar 6,26 persen per tahun. Pada tahun 1992 produksi kedelai mencapai 1,8 juta ton dengan luas panen sebesar 1,6 juta ha dan produktivitas sebesar 1,12 ton/ha. Hingga tahun 2007 produksi kedelai lokal terus menurun. Produksi kedelai tahun 2007 hanya sebesar 592.534 ton dengan luas panen 459.116 ha dan produktivitas 1,3 ton/ha. Namun Sejak tahun 2008-2009 produksi kedelai lokal mulai mengalami peningkatan dengan persentase produksi masing-masing tahun sebesar 30,91 persen dan 24,59 persen. Kenaikan ini antara lain didorong dengan membaiknya harga kedelai dunia dan berbagai insentif yang dilakukan pemerintah untuk tercapainya swasembada kedelai tahun 2014. Pada tahun 2009, produksi kedelai lokal sebesar 966.469 ton (angka ramalan III, BPS) sedangkan kebutuhan kedelai dalam negeri mencapai 2 juta ton. Dalam hal ini kedelai lokal baru memenuhi 48 persen dari total kebutuhan kedelai dalam negeri yang selebihnya dipenuhi oleh kedelai yang berasal dari impor. Ketidakmampuan kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri menyebabkan tingginya volume kedelai impor. Padahal untuk melakukan impor dibutuhkan anggaran belanja yang tidak sedikit. Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja mengingat potensi untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri dapat dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan tersedianya lahan yang cukup luas dan sesuai untuk budidaya kedelai serta terdapatnya teknologi spesifik lokasi dan sumberdaya manusia yang cukup terampil dalam usahatani kedelai (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2010). Selain itu Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, dan terus berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai menjadikan komoditas kedelai perlu mendapatkan prioritas untuk dikembangkan di dalam negeri. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada kedelai di Indonesia. Swasembada kedelai merupakan suatu keadaan tercukupinya kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri oleh produksi kedelai nasional.
3
1.2. Perumusan Masalah Pada tahun 1992 Indonesia mencapai puncak produksi tertinggi yaitu sebesar 1,6 juta ton dan berhasil mencapai swasembada kedelai. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, dari tahun ke tahun produksi dalam negeri terus menurun. Hal ini terutama dipicu oleh perubahan kebijakan tataniaga kedelai, yaitu dengan diberlakukannya pasar bebas yang mengakibatkan derasnya kedelai impor dengan harga murah. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya minat petani karena insentif yang diterima rendah (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2010). Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara importir kedelai merupakan permasalahan bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Permintaan kedelai yang tinggi di Indonesia tidak diimbangi dengan produksi kedelai yang cenderung berkembang lambat. Hal ini terjadi karena produktivitas dan produksi kedelai lokal masih rendah. Kondisi ini diperparah dengan semakin menurunnya luas panen kedelai. Ariani (2005) menyatakan, tanpa perluasan areal tanam, upaya peningkatan produksi kedelai sulit dilakukan karena laju peningkatan produktivitas berjalan lambat, terlebih lagi bila harga sarana produksi tinggi dan harga produk rendah1. Hal ini terlihat pada Tabel 2, luas panen terbesar terjadi pada tahun 1995 yaitu sebesar 1,47 juta ha dan menurun drastis dengan area luas panen terkecil pada tahun 2007 sebesar 459.116 ha. Penurunan areal tanam akan diikuti dengan produksi kedelai yang ikut menurun. Hal ini berkaitan erat dengan derasnya kedelai impor yang masuk ke Indonesia, karena untuk memenuhi permintaan kedelai dalam negeri, maka dilakukan impor kedelai.
1 Ariani (2005) dalam Supandi (2008). Menggalang Partisipasi Petani untuk Meningkatkan Produksi Kedelai Menuju Swasembada. http://www. pustaka. litbang. deptan. go. Id / publikasi / p3273085.pdf [diakses 27 Desember 2010]
4
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun
Luas panen (ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1.476.284 1.277.736 1.118.140 1.094.262 1.151.079 824.484 678.848 544.522 526.796 565.155 621.541 580.534 459.116 590.956 722.791
1,13 1,18 1,21 1,19 1,20 1,23 1,21 1,23 1,27 1,28 1,30 1,28 1,29 1,31 1,34
1.679.092 1.515.937 1.356.108 1.304.950 1.382.848 1.017.634 826.932 673.056 671.600 23.483 808.353 747.611 592.534 775.710 974.512
Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2010) [diolah]
Belum mampunya kedelai lokal untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri menyebabkan pasokan kedelai di dalam negeri bergantung pada impor kedelai. Padahal ketergantungan yang makin besar pada impor dapat merugikan industri pengolahan kedelai terutama jika harga pangan dunia sangat mahal akibat stok menurun. Hal ini terjadi karena harga yang berlaku pada kedelai impor mengikuti harga yang berlaku pada harga kedelai internasional (dunia). Besarnya ketergantungan terhadap kedelai impor menyebabkan harga kedelai dipasaran sulit untuk dikendalikan oleh instansi terkait sehingga harga kedelai cenderung fluktuatif. Sesuai dengan penelitian Handayani (2007), yang menjelaskan bahwa peningkatan harga riil pasar kedelai impor akan meningkatkan harga riil kedelai domestik. Terlihat pada Tabel 2. Besarnya tingkat ketergantungan terhadap impor kedelai sangat besar. Tingkat ketergantungan impor kedelai pada tahun 2000 hingga 2009 selalu lebih dari 50 persen dari total konsumsi kedelai di Indonesia. Dengan tingkat ketergantungan impor terbesar pada tahun 2007 yaitu sebesar 70,4 persen.
5
Tabel 2. Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1999- 2008 Tahun 2000 2002 2004 2006 2007 2008 2009
Konsumsi (000 Ton) 2.295,2 2.038,1 1.841,3 1.837,2 2.004,1 1.945,5 1.974,7
Impor (000 Ton) 1.277,2 1.365,1 1.117,8 1.028,8 1.411,6 1.169,0 1.052,4
Tingkat Ketergantungan % 55,6 66,8 60,7 56,0 70,4 60,0 53,3
Sumber: BPS 2009 [diolah]
Ketergantungan ini tentunya sangat merugikan Indonesia karena harga dari kedelai impor sangat fluktuatif. Jika kondisi ini berlanjut tentunya ketergantungan impor kedelai yang semakin tinggi juga akan menyebabkan pemborosan devisa, karena devisa dapat digunakan untuk tujuan strategis pada sektor pertanian lainnya seperti pengembangan industri pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja. Selain itu keberadaan kedelai impor murah yang kini mendominasi pasar kedelai di Indonesia membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Kedelai lokal tidak hanya harus bersaing harga namun juga harus bersaing dari segi kualitas dengan kedelai impor. Berdasarkan hal-hal di atas, terihat kondisi persaingan kedelai lokal dengan kedelai impor yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan kajian yang menghasilkan informasi mengenai gambaran umum agribisnis kedelai di Indonesia, untuk kemudian dilakukan analisis dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Di satu sisi sulitnya memacu produksi membuat volume impor semakin deras masuk, namun di sisi lain permintaan kedelai nasional selalu tinggi. Mengingat potensi lahan di Indonesia cukup luas, jumlah penduduk yang cukup besar dan berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai maka komoditas kedelai perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan agar dapat menekan ketergantungan terhadap impor. Upaya untuk menekan ketergantungan terhadap impor kedelai tersebut dapat ditempuh melalui strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Strategi yang telah dibuat selanjutnya dituangkan ke dalam rancangan arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hal tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi faktor intenal dan eksternal agribisnis 6
kedelai serta kondisi pengembangan sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menghasilkan strategi untuk pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menelaah sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia 2) Menganalisis dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia 3) Merumuskan strategi pengembangan dan menyusun arsitektur strategik agribisnis kedelai lokal di Indonesia 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu: 1) Bagi penulis sendiri, penelitian ini berguna untuk melatih kemampuan dalam menganalisis permasalahan secara ilmiah 2) Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya terutama penelitian tentang komoditi kedelai. 3) Bagi masyarakat ataupun pembaca, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan serta sebagai bahan informasi bagi pembaca mengenai dayasaing serta pengembangan kedelai lokal di Indonesia 4) Bagi pengambil kebijakan, instansi serta lembaga terkait lainnya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait dengan dayasaing kedelai lokal di Indonesia 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji komoditas kedelai sebagai komoditas strategis yang memiliki banyak manfaat dan peluang untuk dikembangkan lebih lanjut. Penelitian ini akan membahas mengenai sistem agribisnis, dayasaing serta strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal Indonesia dengan dua batasan lingkungan yaitu lingkungan makro dan lingkungan mikro. Pada lingkungan makro, subsistem yang dibahas dalam sistem agribisnis kedelai lokal dibatasi oleh sistem agribisnis dan komponen pendukung pada Berlian Porter yang meliputi subsistem
7
jasa penunjang dan lingkungan ekonomi global. Sedangkan pada lingkungan mikro dibatasi oleh sistem agribisnis dan komponen utama pada berlian porter yang meliputi subsistem hulu, budidaya (on farm) dan subsistem hilir, untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4 pada Bab Metode Penelitian (Bab IV).
8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Kedelai di Indonesia Kedelai (Glyicne max), bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun sejak abad ke XVI tanaman ini telah dibudidayakan di pulau Jawa yang dibawa oleh imigran Cina sebagai bahan makanan. Kelanjutan usahatani di Indonesia ditunjang dengan adanya pengolahan kedelai menjadi bahan makanan seperti tempe, tahu, kecap dan tauco yang ternyata teknik pengolahannya tidak ditemukan di negara tetangga yang pada zaman dulu berhubungan erat dengan Indonesia seperti Thailand, India, Vietnam. Awalnya, secara tradisional kedelai memang tidak pernah ditanam secara luas sebagai tanaman inti seperti jagung atau ubikayu namun hanya sebagai tanaman sisipan. Secara berangsur-angsur terjadi perubahan dari corak usahatani tradisional ke corak usahatani komersial untuk memperoleh keuntungan maksimal. Namun hingga saat ini usahatani dengan corak tradisional masih jelas terlihat. Kenyataan ini yang mengakibatkan lambannya adopsi teknologi budidaya kedelai oleh petani. Dalam kelompok tanaman pangan kedelai merupakan komoditas terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Lebih dari 90 persen kedelai Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, terutama pangan olahan, yaitu sekitar 88 persen untuk tahu dan tempe, 10 persen untuk pangan olahan lainnya dan sekitar 2 persen untuk benih (Sudaryanto, Swastika 2007). Manfaat kedelai yang beragam merupakan keunggulan yang dimiliki oleh kedelai. Beberapa pangan olahan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia diantaranya berupa tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan sebagainya. Meningkatnya konsumsi kedelai penduduk Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangnya industri pangan olahan yang berbahan baku kedelai tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri yang mencukupi sehingga impor kedelai terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maka produksi dalam negeri harus ditingkatkan. Peningkatan produksi kedelai tidak lepas dari penerapan teknik budidaya kedelai yang benar. Pada dasarnya untuk membudidayakan kedelai dibutuhkan teknik budidaya serta faktor lingkungan 9
yang mendukung. Komponen pada lingkungan seperti faktor iklim, kesuburan fisik-kimia dan biologi tanah, gulma serta hama penyakit menjadi faktor penentu keberhasilan usaha produksi kedelai. Berikut komponen lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan produksi kedelai: 1) Syarat Tumbuh 2) Benih 3) Penyiapan Lahan dan Penanaman 4) Pemeliharaan 5) Pemupukan 6) Pengairan 7) Penyiangan/Pemberantasan Gulma dan Penyakit 8) Panen 2.2. Sistem Agribisnis Kedelai Penelitian yang membahas mengenai sistem agribisnis kedelai sudah pernah dilakukan sebelumnya sebagai topik penelitian di Institut Pertanian Bogor oleh Permata (2002) dalam penelitiannya mengenai Analisis Sistem Agribisnis Kedelai yang dilakukan pada Desa Hegarmanah Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Menurut Permata (2002) belum ada keterkaitan yang harmonis antar masing-masing subsistem agribisnis yang ada. Pada pengadaan sarana produksi yang meliputi benih, pupuk, obat-obatan dan alat-alat pertanian di lokasi penelitian telah tersedia dengan baik. Menurut Permata (2002), hasil analisis usahatani kedelai yang dilakukan pada lokasi penelitian menujukkan bahwa usahatani yang dilakukan petani penyewa memiliki ratio R/C atas biaya tunai sebesar 1,08 dan ratio R/C atas biaya total sebesar 0,86. Untuk petani pemilik penggarap hasil analisis menunjukkan bahwa hasil ratio R/C atas biaya tunai sebesar 2,32 dan ratio R/C atas biaya total sebesar 0,86. Saluran pemasaran pada penelitian ini memiliki tujuh pola pemasaran. Pola pemasaran yang dominan yaitu pola pemasaran kedelai dari petani ke pedagang pengumpul kemudian diteruskan ke pedagang grosir. Sedangkan pada analisis nilai tambah menunjukkan bahwa pengolahan kedelai pada ketiga pabrik pengolah mampu memberikan nilai tambah yang tinggi dengan ratio nilai tambah
10
sebesar 63,46 persen. Sedangkan pada hasil analisis keefektifan koperasi menunjukkan bahwa KUD Margamukti kurang mampu memberikan pelayanan efektif dalam mendukung sistem agribisnis kedelai. 2.3. Dayasaing Kedelai Lokal di Indonesia Penelitian yang membahas mengenai analisis dayasaing komoditi kedelai lokal di Indonesia sudah pernah dilakukan sebelumnya sebagai topik penelitian di Institut Pertanian Bogor oleh Handayani (2007) dalam penelitiannya mengenai Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. Menurut Handayani, dayasaing kedelai lokal dipengaruhi oleh fungsi luas panen, produktivitas, harga riil kedelai lokal, harga tingkat produsen, volume impor dan harga riil impor. Menurut handayani (2007), luas panen kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil kedelai lokal, harga riil jagung sebagai kompetitor utama dan luas panen tahun sebelumnya. Sedangkan produktivitas kedelai itu sendiri dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil jagung dan produktivitas tahun sebelumnya. Dilihat dari harga, harga riil kedelai lokal dipengaruhi oleh harga riil kedelai tingkat produsen, harga riil kedelai impor, volume impor kedelai, produktivitas dan harga riil kedelai lokal sebelumnya. Sedangkan harga riil di tingkat produsen dipengaruhi oleh produksi kedelai, volume impor kedelai, konsumsi kedelai, dummy monopoli Bulog dan harga riil di tingkat produsen tahun sebelumnya. Handayani
(2007)
menyimpulkan
bahwa
volume
impor
kedelai
dipengaruhi produksi dan konsumsi kedelai. Harga riil kedelai impor dipengaruhi oleh harga riil kedelai internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar, tarif impor kedelai dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Elastisitas harga terhadap permintaan kedelai bernilai negatif, yang menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai akan menurunkan jumlah kedelai yang diminta. Sebaliknya elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bernilai positif menunjukkan bahwa harga kedelai akan merangsang petani untuk meningkatkan produksinya Menurut Handayani (2007), kebijakan menaikkan harga kedelai tingkat produsen (harga dasar) akan menguntungkan petani. Adanya kenaikan harga dasar, membuat petani menerima harga lebih tinggi sehingga menggairahkan petani untuk meningkatkan produksi sebagai akibat harga yang tinggi dan
11
menurunkan volume impor. Kebijakan kenaikan harga dasar akan efektif apabila diikuti peraturan pendukung dan terobosan teknologi, sehingga terjadi peningkatan produksi sekaligus peningkatan kualitas kedelai. Naiknya harga riil kedelai tingkat produsen dari harga riil kedelai impor, menunjukkan bahwa harga riil kedelai tingkat produsen mengalami penurunan. Hal ini yang menyebabkan petani kurang berminat untuk menanam kedelai sehingga berakibat pada penurunan luas panen dan produksi kedelai sehingga volume impor mengalami peningkatan. Selain itu, naiknya harga riil kedelai di tingkat produsen dari harga riil kedelai impor menunjukkan adanya peningkatan luas panen, produksi kedelai dan harga riil kedelai lokal dan menyebabkan volume impor mengalami penurunan. Membengkaknya harga kedelai lokal, membuat minat petani untuk menanam kedelai meningkat, sehingga luas panen dan produksi kedelai semakin meningkat yang berakibat volume impor akan semakin menurun. Handayani (2007) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa kedelai lokal dapat memiliki dayasaing dengan kedelai impor jika dilakukan peningkatkan kualitas biji kedelai melalui pengembangan benih kedelai varietas unggul bermutu dan berbiji besar, sehingga produktivitas dapat ditingkatkan dan kualitas biji dapat menyamai kedelai impor. Penelitian mengenai dayasaing kedelai juga pernah dilakukan oleh Gonzales
(1993),
yang
dijelaskan
dalam
buku
kumpulan
penelitian
pengembangan kedelai yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Gonzales mengemukakan bahwa secara ekonomi usahatani kedelai di Indonesia masih belum mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, baik yang dilakukan secara tradisional maupun secara modern untuk ketiga rezim pemasaran yaitu rumah tangga (IRT), subtitusi impor (IS), dan promosi ekspor (EP). Kedelai tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk ketiga rezim pemasaran. Sedangkan padi dan jagung untuk promosi ekspor tidak memiliki keunggulan komparatif namun jika diproduksi untuk perdagangan antar wilayah dan subtitusi impor jagung dan padi memiliki keunggulan komparatif. Menurut Gonzales (1993), kebijakan pemerintah yang dapat melindungi harga kedelai domestik, pemberlakuan tarif impor dan pembatasan jumlah impor penting dijalankan. Selain itu pengembangan kedelai perlu diarahkan pada
12
peningkatan produksi, perbaikan kualitas dan dayaguna sebagai produk olahan yang mampu bersaing dengan produk olahan dari bahan baku non kedelai. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan dayasaing kedelai lokal di Indonesia. 2.4. Strategi Pengembangan dan Arsitektur Strategik Komoditi di Indonesia Penelitian mengenai strategi pengembangan komoditas pernah dilakukan oleh Puspita (2009). Pada penelitiannya Puspita (2009) menganalisis dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis gandum lokal di Indonesia. Dimana masing-masing subsistem yang terdapat pada agribisnis gandum lokal belum saling mendukung dan terkait satu sama lain. Puspita (2009) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa agribisnis gandum lokal di Indonesia dayasaingnya masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung pada agribisnis gandum lokal di Indonesia. Pada penelitiannya Puspita (2009) telah merumuskan beberapa strategi yang digunakan untuk mengembangkan dan mengingkatkan dayasaing agribisnis gandum lokal. Puspita (2009) menjelaskan bahwa beberapa strategi yang telah dibuat kemudian dipetakan kedalam rancangan arsitektur strategik yang didalamnya terdapat program-program yang dilakukan baik secara rutin maupun bertahap yang digunakan untuk mencapai sasaran. Beberapa strategi yang dirumuskan diantaranya adalah: 1) Optimalisasi lahan gandum lokal 2) Membangun industri berbasis gandum lokal di pedesaan 3) Penguatan kelembagaan 4) Melakukan bimbingan, pembinaan dan pendampingan bagi petani 5) Membentuk kerjasama antara petani dengan industri makanan 6) Menciptakan sumber permodalan bagi petani 7) Mengatur ketersediaan benih 8) Menciptakan varietas gandum baru untuk dataran rendah dan medium 9) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis gandum lokal 10) Pembatasan volume impor 11) Menciptakan produk olahan gandum lokal berkualitas tinggi untuk pasar tertentu 12) Meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gandum lokal
13
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa kedelai lokal di Indonesia belum memiliki baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif sehingga dayasaing kedelai lokal di Indonesia masih lemah. Namun, terdapat beberapa varietas unggulan kedelai lokal yang mutunya lebih baik dari kedelai impor yang dapat digunakan untuk meningkatkan dayasaing kedelai lokal di Indonesia. Selain itu terdapat berbagai macam faktor yang mempengaruhi dayasaing kedelai di Indonesia seperti fungsi luas panen, produktivitas, harga riil kedelai lokal, harga tingkat produsen, volume impor dan harga riil impor. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah dalam penelitian ini dilakukan analisis komponen-komponen penentu dayasaing suatu komoditas serta keterkaitan antar komponen tersebut. Dengan menggunakan Porter’s Diamond Theory. Selain itu, penelitian ini juga dilengkapi dengan analisis pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT dan dipetakan dalam bentuk arsitektur strategi yang selanjutnya analisis tersebut dapat digunakan sebagai informasi dalam membuat strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia untuk meningkatkan dayasaing dalam upaya pencapaian swasembada kedelai di Indonesia.
14
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pengertian Agribisnis Sistem agribisnis adalah cara baru melihat sektor pertanian (Saragih 2010). Sistem agribisnis (termasuk agroindustri) dalam konteks strategi industrialisasi yang mengandalkan industri atau kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan atau menciptakan nilai tambah baru bagi produk-produk pertanian primer serta industri atau kegiatan lain yang memproduksi bahan-bahan dan alatalat untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Menurut Saragih (2010) sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem yakni: subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan perdagangan sarana produksi pertanian primer (seperti industri pupuk, obat-obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain); subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yang pada masa lalu kita sebut dengan sektor pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk dimasak, siap untuk disaji atau siap untuk dikonsumsi beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestik dan internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis dan lain-lain. Berikut lingkup pembangunan dan sistem usaha agribisnis dijelaskan pada Gambar 1.
15
Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Pengolahan
Subsistem Pemasaran
Industri perbenihan/ Pembibitan tanaman Industri agrokimia Industri agrootomotif
Usaha tanaman pangan dan hortikultura Usaha perkebunan Usaha peternakan
Industri makanan Industri minuman Industri pangan Industri barang serat alam Industri biofarma Industri agrowisata dan estetika
Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan Struktur pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan Transportasi dan Pergudangan
Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Sumber: Saragih (2010)
3.1.2. Konsep Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan usaha suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan kompetitif. Dayasaing dapat diartikan sebagai kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu produk dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak 1992). Dayasaing (competitiveness) sangat penting bagi keberhasilan atau kegagalan suatu industri. Konsep dayasaing pada tingkat nasional adalah produktivitas. Menurut Porter (1990) dayasaing adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Kemampuan untuk menghasilkan suatu standar kehidupan yang tinggi dan meningkat bagi para warga tergantung pada produktivitas dimana tenaga kerja dan modal suatu negara digunakan. Produktivitas adalah nilai output yang diproduksi oleh suatu unit tenaga kerja atau modal. Produktivitas tergantung baik pada kualitas dan penampilan produk (yang menentukan harga yang dapat mereka minta) maupun
16
pada efisiensi dimana produk dihasilkan. Produktivitas adalah penentu utama dari standar hidup negara yang berjangka panjang dan akar penyebab pendapatan per kapita nasional. Produktivitas sumberdaya manusia menentukan upah karyawan, produktivitas dimana modal digunakan dan return yang diperolehnya untuk para pemegang sahamnya (Cho dan Moon 2003). Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Peningkatan dayasaing dapat dilakukan
dengan
mentransformasikan
keunggulan
komparatif
menjadi
keunggulan kompetitif. Seperti halnya pembangunan agribisnis yang dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan dayasaing, dimana suatu komoditi memiliki dayasaing jika menghasilkan keuntungan yang maksimum. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) sendiri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi
perekonomian
aktual.
Secara
operasional,
Simatupang
(1995)
menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif adalah kemampuan memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih rendah dibandingkan yang ditawarkan oleh pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dibandingkan dengan pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen. Menurut Porter (1990), negara-negara cenderung berhasil dalam bersaing pada industrinya disebabkan diamond nasionalnya yang saling mendukung. Diamond tersebut mempuyai empat komponen yang saling terkait, yaitu: (1) kondisi faktor, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur yang bersaing dalam suatu industri, (2) kondisi permintaan pasar untuk barang dan jasa industri, (3) industri terkait dan industri pendukung secara internasional bersifat kompetitif serta (4) strategi perusahaan, struktur dan persaingan (Cho dan Moon 2003).
17
3.1.3. Formulasi Strategi 1) Analisis SWOT Menurut Rangkuti (2005), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, barulah dapat ditentukan strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang ada. Kekuatan yang dimiliki perusahaan merupakan sisi positif perusahaan yang dapat membimbing ke arah peluang yang lebih luas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha. Sedangkan kelemahan yang dimiliki perusahaan merupakan kekurangan yang dimiliki perusahaan dalam hal keahlian dan sumberdaya perusahaan. Matriks SWOT membantu menyusun berbagai alternatif strategi berdasarkan kombinasi antara faktor kekuatan, peluang dan ancaman melalui pengembangan empat tipe strategi, yaitu SO (SrenghtOpportunities), WO (Weaknesses-Threats), ST (Strenght-Threats) dan WT (Weaknesses- Threats). 2) Arsitektur Strategik Pada awal tahun 1990an Gary Hamel dan C.K. Prahalad memperkenalkan pendekatan arsitektur strategik yang bersifat bentangan atau stretch. Pendekatan arsitektur strategik muncul sebagai respon dari pendekatan klasik yang dirasa kurang mampu untuk mengakomodasi perubahan lingkungan yang tergolong cepat, karena ketika menyusun pendekatan klasik membutuhkan asumsi-asumsi yang sangat ketat. Arsitektur strategik diciptakan untuk lebih adaptif dan lebih fleksibel
di
dalam
menanggapi
suatu
perubahan,
sehingga
dengan
diaplikasikannya arsitektur strategik ini, organisasi akan dengan leluasanya mengembangkan skenario yang diperkirakan akan memuluskan jalan menuju tercapainya visi dan misi organisasi tersebut. Strategi dengan skenario yang dirumuskan kemudian dipetakan ke dalam secara petak biru atau yang lazim 18
disebut sebagai blue print strategi. Blue Print Strategy ini sepenuhnya disusun guna mendukung tercapainya tujuan (visi) organisasi dalam waktu yang telah ditentukan (Yoshida 2006). Arsitektur strategik disusun dengan memperlihatkan unsur yang nantinya unsur-unsur tersebut dipadukan untuk mendapatkan sebuah peta umum strategik yang akan diimplementasikan untuk jangka waktu yang telah dirumuskan. Beberapa unsur tersebut yaitu visi dan misi organisasi, analisis lingkungan internal dan eksternal organisasi, mengetahui dan memahami tantangan organisasi dan sasaran yang ingin dicapai. Analisis internal dan eksternal dalam analisis strategik digunakan untuk memperoleh gambaran industri dimasa yang akan datang sekaligus sebagai solusi dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis yang semakin cepat. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Konsumsi kedelai di Indonesia semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Kedelai sebagai tanaman pangan berkontribusi sebagai bahan baku berbagai pangan olahan yang memiliki nilai gizi yang tinggi namun juga berkontribusi pada industri pakan ternak. Hal inilah yang membuat permintaan kedelai terus meningkat. Di lain pihak kebutuhan kedelai yang begitu besar sedangkan produksi kedelai lokal yang belum mampu untuk mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri mengharuskan pemerintah untuk melakukan impor kedelai. Padahal besarnya impor kedelai yang dilakukan akan mengurangi devisa yang cukup besar. Sedangkan tingginya impor kedelai murah yang mendominasi pasar kedelai di dalam negeri membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Karena itu dibutuhkan adanya kemandirian pangan atau swasembada kedelai untuk mengurangi volume impor kedelai. Penjelasan di atas menggambarkan suatu kondisi yang berkaitan dengan agribisnis
kedelai
di
Indonesia.
Indonesia
perlu
untuk
meningkatkan
dayasaingnya terhadap kedelai impor. Untuk meningkatkan dayasaing tersebut, maka diperlukan peran serta dari seluruh pelaku agribisnis dan dukungan kebijakan pemerintah.
19
Gambaran di atas menjadi dasar penelitian ini yaitu menganalisis kondisi sistem agribisnis saat ini, kemudian melihat dayasaingnya serta merumuskan strategi untuk pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dengan menggunakan
komponen
Berlian
Porter,
kemudian
dilanjutkan
dengan
identifikasi SWOT terhadap komponen-komponen tersebut. Hasil identifikasi tersebut kemudian dirumuskan ke dalam suatu strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dengan menggunakan matriks SWOT. Setelah diperoleh strategi tersebut maka akan disusun ke dalam Rancangan Arsitektur Strategik. Semua hal yang telah dijelaskan sebelumnya terangkum dalam kerangka pemikiran operasional penelitian yang terdapat pada Gambar 2.
20
• Kedelai sebagai bahan baku utama industri pengolahan tempe dan tahu • Tingginya permintaan kedelai dalam negeri ● Peluang pasar kedelai di dalam negeri
●Tingginya volume kedelai impor ●Dominansi kedelai impor di pasar domestik ● Harga kedelai impor lebih murah
Enam Komponen Berlian Porter: 1. Kondisi Faktor Sumberdaya 2. Kondisi Permintaan 3. Industri Terkait dan Industri Pendukung 4. Struktur, Persaingan dan Strategi Perusahaan 5. Peran Pemerintah 6. Peran Kesempatan
Sistem Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
Analisis Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Analisis SWOT
Strategi Pengembangan Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Arsitektur Strategik Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
21
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini membahas tentang kondisi sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia, dayasaing kedelai lokal dengan menganalisis faktor internal dan faktor eksternal agribisnis kedelai di Indonesia, serta strategi pengembangan yang dapat dihasilkan untuk meningkatkan dayasaing kedelai lokal. Lingkup penelitian ini meliputi analisis dayasaing dan strategi pengembangan kedelai lokal dengan skala nasional (makro). Waktu penelitian berlangsung dari bulan Januari hingga Mei 2011 mencakup ke dalam penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data hingga disimpulkannya hasil penelitian. 4.2. Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam dengan pihakpihak yang terkait dengan penelitian ini yaitu pemerintah pusat dan daerah, KOPTI (Koperasi pengusaha Tahu Tempe Indonesia). Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dirjen Tanaman Pangan, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian), Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Pusat Data dan Informasi Pertanian, literatur-literatur penelitian terdahulu, buku dan internet. Instrumen
atau
alat
pengumpul
data
yang
digunakan
berupa
daftar
pertanyaan/panduan wawancara yang telah disusun secara tertulis sesuai dengan masalah, alat pencatat, review dokumen dan alat penyimpanan data elektronik. 4.3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan wawancara khusus (Elite Interviewing) dengan kelompok elite tertentu yaitu Kasubid Pengembangan Kedelai, Kepala Seksi Pengembangan Kedelai Lokal, Kepala KOPTI dan studi literatur dari berbagai sumber dan buku serta internet.
22
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk mengetahui gambaran kondisi sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Selain itu analisis deskriptif kualitatif juga dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter untuk menganalisis dayasaing agribisnis kedelai lokal, sedangkan metode analisis SWOT digunakan untuk mengetahui strategi pengembangan untuk meningkatkan dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia, kemudian strategi tersebut dipetakan ke dalam Arsitektur Strategik. Pada penelitian ini terdapat pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal terdapat pada lingkungan mikro, sedangkan pihak eksternal berada pada lingkungan makro. Pada penelitian ini yang menjadi pihak internal meliputi subsistem hulu, petani kedelai lokal sebagai pelaku kegiatan usahatani (on farm), subsistem hilir, faktor fisik dan infrastruktur. Sedangkan pada lingkungan makro terdapat pihak eksternal yaitu subsistem jasa dan penunjang, Keberhasilan lingkungan mikro pada agribisnis kedelai lokal di Indonesia didukung oleh kondisi lingkungan makro dan kekuatan eksternal global yang ada.
23
Kekuatan Ekonomi dan Sosial Politik Global/Internasional
Lingkungan Makro Subsistem Penunjang : ‐ Kebijakan pemerintah ‐ Lembaga keuangan ‐ Lembaga penelitian ‐ Lembaga pendidikan
‐ Pemerintah ‐ Asosiasi perdagangan
Lingkungan Mikro Subsistem Hulu Kedelai: Industri pupuk organik dan anorganik, benih, alat dan mesin pertanian, industri pestisida
Subsistem On farm (petani kedelai lokal) Subsistem Hilir Kedelai: • Pengolahan • Pemasaran
Faktor Fisik dan Infrastuktur : ‐ Tanah, air, udara, sinar matahari, hewan dan vegetasi, iklim ‐ Lingkungan buatan manusia
Keterangan : Faktor Internal : Lingkungan Mikro Faktor Eksternal : Lingkungan Makro dan Lingkungan Global
Gambar 3. Sistem Agribisnis Kedelai Lokal
24
4.4.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia dapat diketahui dengan menggunakan Teori Berlian Porter. Analisis dilakukan dengan menggunakan tiap komponen dari Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen tersebut meliputi: a) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor-faktor produksi dalam suatu industri seperti tenaga kerja dan infrastuktur. b) Demand Condition (DS), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa dalam suatu negara. c) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan. d) Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut perusahaan pada umumnya, struktur industri dan keadaan kompetisi dalam suatu industri domestik. Keempat komponen di atas merupakan komponen utama pada Teori Berlian Porter. Selain itu terdapat dua faktor pendukung Teori Berlian Porter yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat komponen dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi satu sama lain. Dari hasil analisis komponen penentu dayasaing, kita dapat menentukan komponen yang menjadi keunggulan dan kelemahan dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage dari suatu industri. Empat komponen Porter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Kondisi Faktor Sumberdaya Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi digolongkan ke dalam lima kelompok: a) Sumberdaya Fisik atau Alam Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing nasional mencakup biaya, aksestabilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral, dan energi sumberdaya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk perairan laut lainnya), peternakan serta
25
sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain. b) Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja (termasuk moral). c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sumberdaya
IPTEK
mencakup
ketersediaan
pengetahuan
pasar,
pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. d) Sumber Modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter, fiskal serta peraturan moneter dan fiskal. e) Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari ketersediaan, jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan. Termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos, giro, pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain. 2) Kondisi Pemintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan (persiapan yang ketat) di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya
26
sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu: a) Komposisi Permintaan Domestik Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi: i) Struktur
segmen
permintaan
domestik
sangat
mempengaruhi
dayasaing nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit. ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, product features dan pelayanan. iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing. b) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri melakukannya dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas. c) Internasionalisasi Pemintaan Domestik Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing produk negeri yang dikunjungi tersebut.
27
3) Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global. 4) Struktur, Persaingan, Strategi Perusahaan Struktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing. Struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. a) Struktur Pasar Istilah struktur pasar digunakan untuk menunjukan tipe pasar. Derajat persaingan struktur pasar (degree of competition of market share) dipakai untuk menunjukan sejauhmana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan. Jumlah penjual dan keadaan produk (nature of the product) adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapula dimensi lainnya yaitu mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan dan lain-lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar
28
oligopoli, pasar monopsoni dan pasar oligopsoni. Biasanya struktur pasar yang dihadapi suatu industri seperti monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa pasar yang ada, dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang bergerak dalam suatu industri. b) Persaingan Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-perusahaan yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah. c) Strategi Perusahaan Dalam menjalankan suatu usaha, baik usaha yang berskala besar maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau manajer dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya ke dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Dalam penyusunan suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut. 5) Peran Pemerintah Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu dayasaing global. Perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri mampu menciptakan dayasaing global secara langsung. Peran pemerintah merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam industri agar
senantiasa
melakukan
perbaikan
dan
meningkatkan
dayasaingnya.
Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku-pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi.
29
Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar produk nasional, standar upah tenaga kerja minimum, dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi permintaan domestik, baik secara langsung melalui kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkannya maupun secara langsung melalui perannya sebagai pembeli produk dan jasa. Kebijakan penerapan bea keluar dan bea masuk, tarif pajak dan lain-lainnya yang juga menunjukkan terdapat peran tidak langsung dari pemerintah
dalam
meningkatkan
dayasaing
global.
Pemerintah
dapat
mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan yang memperlemah faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung menciptakan dayasaing global namun memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing, sehingga perusahaanperusahaan yang berada dalam industri mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien. 6) Peran Kesempatan Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali perusahaan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing industri global nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya.
30
Peranan Kesempatan
Persaingan, Struktur, dan Strategi perusahaan 1. Persaingan Domestik 2. Struktur dan Strategi perusahaan
Kondisi Permintaan Domestik 1. Komposisi permintaan domestik 2. Besar dan pola pertumbuhan permintaan domestik 3. Internasionalisasi permintaan domestik
Kondisi Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya alam 2. Sumberdaya manusia 3. Sumberdaya IPTEK 4. Sumberdaya modal 5. Sumberdaya infrastruktur
Industri Terkait dan Pendukung 1. Industri terkait 2. Industri pendukung
Peranan Pemerintah
Keterangan : Garis ( ), menunjukan keterkaitan antara komponen utama yang saling mendukung Garis ( ), menunjukan keterkaitan antara komponen penunjang yang mendukung komponen utama.
Gambar 4. The Complete System of National Competitif Advantage Sumber: Porter (1990)
31
4.4.2. Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui faktor internal dan eksternal kondisi agribisnis kedelai di Indonesia. Analisis SWOT dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT dan menghasilkan empat alternatif strategi yang mampu menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan serta kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Berikut ini merupakan matriks SWOT: IFAS
Stengths (S) Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal
Weaknesses (W) Tentukan 5-10 faktor kelemahan internal
Opportunity (O) Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal
Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Threats (T) Tentukan 5-10 faktor ancaman eksternal
Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
Strategi WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dengan memanfaatkan peluang Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
EFAS
Gambar 5. Matriks SWOT Sumber David (2004)
Tahap analisis dilakukan setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan agribisnis kedelai lokal melalui proses identifikasi terhadap peluang, ancaman, kelemahan dan kekuatan. Identifikasi kekuatan dalam analisis keunggulan kompetitif ditunjukan dengan keadaan suatu atribut yang mendukung. Sedangkan kelemahan ditunjukan dengan keadaan atribut yang kurang mendukung. Tahap selanjutnya adalah memanfaatkan semua informasi tersebut dalam perumusan strategi dengan menggunakan model SWOT.
32
Menurut David (2004), terdapat delapan tahapan dalam membentuk matriks SWOT yaitu: 1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan. 2. Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal organisasi atau perusahaan. 3. Tentukan faktor-faktor kekuatan internal kunci organisasi atau perusahaan. 4. Tentukan faktor-faktor kelemahan internal kunci organisasi atau perusahaan. 5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S-O. 6. Sesuaikan
kelemahan
internal
dengan
peluang
eksternal
untuk
ancaman
eksternal
untuk
ancaman
eksternal
untuk
mendapatkan strategi W-O. 7. Sesuaikan
kekuatan
internal
dengan
mendapatkan strategi S-T. 8. Sesuaikan
kelemahan
internal
dengan
mendapatkan strategi W-O. 4.4.3. Arsitektur Strategik Arsitektur strategik adalah suatu gambar rancangan arsitektur strategi yang bermanfaat bagi perusahaan untuk merumuskan strateginya ke dalam kanvas rencana organisasi untuk meraih visi dan misinya. Guna menyusun sebuah arsitektur strategik yang lengkap perlu diperhatikan komponen inti dan komponen pendamping. Komponen inti adalah komponen penting yang menjadi syarat cukup untuk menyusun arsitektur strategik. Sedangkan komponen pendamping merupakan turunan lanjutan dari komponen inti yaitu berupa kompetensi inti organisasi dan strategic intent (Yoshida 2006). Penggunaan arsitektur strategik dalam penyusunan strategi mampu memberikan kemudahan karena strategi disajikan dalam bentuk gambar sehingga mudah untuk dipahami. Proses berfikir kreatif yang menggabungkan seni dengan hasil strategi yang diperoleh dari tahapan pengambilan keputusan diwujudkan dalam gambar arsitektur strategik yang telah dibuat. Teknik penggambaran suatu arsitektur strategi tidak memiliki aturan baku yang menggambarkan suatu susunan strategi.
33
V GAMBARAN UMUM KEDELAI DUNIA DAN NASIONAL 5.1. Kedelai Dunia 5.1.1. Produksi Kedelai Dunia Volume produksi kedelai dunia selama empat tahun mulai dari tahun 2006 hingga tahun 2009 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2006 volume produksi kedelai dunia mampu mencukupi permintaan kedelai dunia. Namun pada tahun 2007 dan 2008, dunia mengalami defisit kedelai sebesar 9 juta ton. Kondisi ini berubah pada tahun 2009, dimana produksi kedelai dunia mengalami surplus sebesar 16 juta ton, sehingga kebutuhan kedelai dunia dapat terpenuhi. Tabel 3. Perkembangan Produksi dan Permintaan Kedelai Dunia (juta ton) Periode Tahun 2006 – 2009
2006
Produksi (juta ton) 237
Konsumsi (Juta ton) 225
Defisit (Juta ton) 12
2007
221
230
-9
2008
211
220
-9
2009
250
234
16
Tahun
Sumber: USDA (2010) [diolah]
Berdasarkan data di atas konsumsi kedelai dunia selama empat tahun terakhir terus mengalami kenaikan. Tingginya permintaan kedelai ini terjadi karena berbagai manfaat yang dapat diambil dari kedelai, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun kebutuhan non pangan. Bagi kebutuhan pangan sendiri, protein nabati yang terkandung dalam kedelai cukup besar dan baik untuk kesehatan. Di beberapa negara seperti Indonesia kedelai dikonsumsi ke dalam berbagai jenis panganan dan banyak dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati yang relatif lebih murah bila dibandingkan dengan protein hewani yang ada pada daging. Sedangkan pada sektor non pangan, kedelai banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif (biofuel). Beberapa keunggulan inilah yang membuat permintaan kedelai dunia terus meningkat.
34
5.1.2. Negara Penghasil Kedelai Dunia Berdasarkan data statistik Amerika merupakan negara penghasil kedelai terbesar di dunia. Hal ini ditunjukan dengan rata-rata jumlah produksi kedelai Amerika selama empat tahun terakhir sebesar 83 juta ton atau sebesar 35,75 persen dari total produksi dunia. Negara lain yang juga merupakan negara utama penghasil kedelai terbesar di dunia diantaranya Brazil dengan rata-rata produksi sebesar 26,58 persen, Argentina sebesar 19,54 persen, Cina sebesar 6,35 persen dan India sebesar 3,8 persen atau dengan rata-rata jumlah produksi masingmasing negara sebesar 61,7 juta ton, 45,4 juta ton, 14,7 ton, 8,8 juta ton. Di pasar internasional, selain sebagai produsen utama kedelai dunia, Amerika juga menguasai 43,11 persen ekspor
dunia dan dipandang sebagai
negara besar yang menguasai perdagangan kedelai dunia. Untuk itu setiap perubahan penawaran kedelai Amerika dapat menentukan harga kedelai internasional. Berbagai kebijakan terkait perdagangan kedelai di Amerika akan mempengaruhi kondisi perdagangan internasional kedelai. Tabel 4. Jumlah Produksi Negara-Negara Penghasil Kedelai Terbesar di Dunia Periode Tahun 2006/2007 – 2009/2010 (000) Ton Poduksi 2006/2007
2007/2008
2008/2009
2009/2010
Amerika
87.001
72.859
80.749
91.417
Rata-rata Jumlah Poduksi 83.006,50
Brazil
59.000
61.000
57.800
69.000
61.700,00
Argentina
48.800
46.200
32.000
54.500
45.375,00
Cina
15.074
13.400
15.540
14.980
14.748,50
India
7.690
9.470
9.100
9.000
8.815,00
Paraguay
5.856
6.900
4.000
7.200
5.989,00
Kanada
3.466
2.696
3.336
3.507
3.251,25
Lain-lain
9.346
7.875
9.427
10.618
9.316,50
236.233
220.400
211.952
260.222
232.201,75
Negara
Total
Sumber: USDA (2010)
35
5.1.3. Eksportir Kedelai di Dunia Berdasarkan data ekspor kedelai dunia, terlihat bahwa terdapat lima negara yang mendominasi ekspor kedelai dunia. Negara dengan volume ekspor terbesar adalah Amerika diikuti oleh Brazil, Argentina, Paraguay dan Kanada. Pada tahun 2009/2010 kelima negara tersebut telah berkontribusi sebesar 97,25 persen terhadap ekspor kedelai dunia. Selama empat tahun terakhir kontribusi terbesar diberikan oleh Amerika sebesar 43,11 persen dari total ekspor kedelai dunia yang diikuti oleh Brazil sebesar 33,66 persen, Argentina sebesar 13,18 persen, Paraguay sebesar 5,03 dan Kanada sebesar 2,41 persen. Tabel 5. Ekportir Utama Kedelai Dunia Periode Tahun 2006/2007–2009/2010 (000) ton Negara
Volume 2006/2007
2007/2008
2008/2009
Amerika
30.386
31.538
34.817
40.852
Brazil
23.485
25.364
29.987
28.578
Argentina
9.560
13.839
5.590
13.088
Paraguay
3.907
4.585
2.234
5.350
Kanada
1.683
1.753
2.017
2.247
Lain-lain
1.840
1.696
2.197
2.548
70.861
78.775
76.842
92.663
Total
2009/2010
Sumber: USDA (2010)
5.1.4. Importir Kedelai Negara pengimpor kedelai terbesar di dunia adalah Cina yaitu sebesar 50,75 persen dari total keseluruhan impor kedelai dunia, diikuti oleh Uni Eropa di posisi kedua sebesar 17,97 persen dan Jepang sebesar 4,79 persen. Sedangkan Indonesia sendiri merupakan negara importir kedelai ke delapan dengan volume impor pada tahun 2006/2007 hingga 2009/2010 sebesar 1,76 persen dari total impor dunia. Posisi Indonesia sebagai negara kecil dengan tingkat impor sebesar 1,76 persen dari total impor dunia menyebabkan perubahan permintaan impor dari
36
Indonesia, baik karena kebijakan maupun perubahan permintaan dalam negeri tidak akan merubah harga kedelai dunia (Oktafiani 2010)2. Tabel 6. Importir Kedelai Dunia Periode 2006/2007 – 2009/2010 Negara
Volume 2006/2007
2007/2008
2008/2009
2009/2010
China
28.726
37.816
41.098
50.338
Uni Eropa
15.291
15.123
13.213
12.301
Mexico
3.844
3.614
3.327
3.523
Jepang
4.094
4.014
3.396
3.401
Taiwan
2.436
2.148
2.216
2.469
Thailand
1.532
1.753
1.510
1.660
Mesir
1.328
1.061
1.575
1.638
Indonesia
1.309
1.147
1.393
1.620
Korea Selatan
1.231
1.232
1.167
1.197
34
442
837
1.037
9.238
9.761
7.644
7.531
69.063
78.111
77.376
86.715
Rusia Lain-lain Total Sumber: USDA (2010)
5.1.5. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kedelai di Negara Penghasil Kedelai Perkembangan luas panen kedelai di dunia sejak tahun 1970 hingga 2007 cenderung meningkat dengan pola kecenderungan yang hampir serupa. Rata-rata pertumbuhan luas panen pada periode ini adalah sekitar 3,32 persen setiap tahunnya, sementara produksi tumbuh sekitar 4,89 persen setiap tahun. Menurut data FAO tahun 2000 tercatat luas panen kedelai di dunia adalah sebesar 94,9 juta hektar sementara produksinya adalah sekitar 216 juta ton (Pusat Data Informasi Pertanian 2008).
2
Rina Oktafiani. 2006. Impor Kedelai: Dampaknya terhadap stabilitas harga dan permintaan kedelai dalam negeri. http: //www. google. co. id/ url? sa=t &source= web&cd= 7&ved= 0CDgQFjAG& url= http%.
37
Berdasarkan luas panen, terdapat lima negara yang memiliki luas panen kedelai terbesar di dunia. Jika dikomulatifkan kelima negara tersebut menyumbang sebesar 89,9 persen terhadap luas panen dunia. Peringkat pertama negara yang memiliki luas panen kedelai terbesar di dunia adalah Amerika dengan kontribusi luas panen sebesar 32,53 persen, diikuti oleh Brazil dengan kontribusi sebesar 23,10 persen, Argentina 15,7 persen, Cina 10,1 persen dan India sebesar 8,46 persen. Jika ditinjau dari produksi kedelai dunia, kumulatif produksi kelima negara tersebut sebesar 92,36 persen dan hampir 80 persen produksi kedelai di dunia berasal dari tiga negara produsen kedelai yaitu Amerika dengan kontribusi sebesar 37,51 persen, Brazil 25,10 persen dan Argentina 18,17 persen. Bila dilihat dari keragaan produktivitas kedelai dunia terjadi fenomena menarik, dimana negara-negara yang memiliki produktivitas tinggi justru tidak dimiliki oleh negara-negara produsen utama kedelai dunia. Kelima negara yang memiliki produktivitas tertinggi diantaranya Georgia, Turki, Mesir, Italia dan Switzerland. Produktivitas kedelai dunia dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 6. Rata-rata Produktivitas Kedelai Dunia (Ton) Tahun 2003-2007 Sumber: Pusat Data Informasi Pertanian 2008
5.1.6. Tingkat Harga Kedelai Dunia Harga kedelai dunia cenderung berfluktuasi, dimana ketersediaan kedelai yang beredar di pasar internasional akan mempengaruhi harga kedelai dunia. Berkurangnya ketersediaan kedelai dunia akan menyebabkan kenaikan harga 38
kedelai. Sedangkan pada saat produksi oleh sejumlah negara penghasil kedelai mengalami peningkatan maka harga akan turun. Perkembangan harga kedelai dunia dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Harga Kedelai Dunia Bulanan (Januari Tahun 2000–Januari 2010) Sumber: World Bank dalam USDA (2010)
Menurut World Bank (November 2009), harga kedelai tahun 2009 ratarata setiap tonnya sebesar $ 437, turun 16 persen dari tahun 2008. Puncak harga kedelai dunia terjadi pada tahun 2008. Kenaikan harga ini terjadi karena respon terhadap permintaan yang kuat pada persaingan tanaman yang digunakan sebagai bahan baku biofuel. Saat ini harga kedelai mengalami kenaikan. Kenaikan harga kedelai dunia juga berimbas pada kenaikan harga kedelai di dalam negeri karena sebagian besar kebutuhan kedelai dalam negeri berasal dari kedelai impor yang harganya tergantung pada harga kedelai internasional. Berdasarkan data Bloomberg dalam USDA (2010), harga kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) untuk pengiriman Mei 2011 akhir pekan lalu ada di level US$ 13,71 per bushel. Padahal, pada pertengahan Maret lalu harga kedelai ini sebesar US$ 12,7 per bushel. Menipisnya stok kedelai dunia menjadi salah satu pemicu kenaikan harga kedelai ini. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) seperti dikutip Bloomberg menyatakan, kemungkinan luas areal tanam kedelai di AS pada tahun ini akan berkurang sekitar satu persen ketimbang tahun lalu. Penurunan lahan
39
kedelai ini disebabkan karena petani lebih banyak menanam jagung dan gandum sehingga luas panen untuk kedua komoditas ini lebih besar3. 5.2. Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia 5.2.1. Subsistem hulu Subsistem hulu merupakan bagian dari sistem agribisnis kedelai lokal yang meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan pendistribusian sarana produksi seperti benih, pupuk dan alat-alat pertanian yang dapat mendukung terlaksananya usahatani kedelai. Kuantitas dan kualitas hasil panen kedelai sangat ditentukan oleh tersedianya input usahatani khususnya penggunaaan benih unggul dan pupuk. Benih yang digunakan oleh petani kedelai lokal berasal dari perbanyakan yang dilakukan oleh balai benih. Benih yang diperbanyak oleh balai benih merupakan benih unggul bermutu yang kemudian melewati tahap sertifikasi hingga sampai ke tangan produsen. Petani kedelai lokal umumnya jarang yang menggunakan benih unggul bermutu dalam pertanaman kedelai. Sebagian besar petani kedelai lokal menggunakan benih hasil panen musiman sebelumnya atau dari hasil panen sendiri atau membeli benih ke pedagang hasil bumi yang mendapat kedelai dari hasil panen di wilayah lain dari musim panen sebelumnya (sistem jabalsim). Pedagang benih tersebut biasanya melakukan pembersihan dan sortasi benih agar kenampakan biji menjadi lebih baik. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh tambahan keuntungan karena harga benih dapat lebih tinggi daripada harga biji maupun calon benih tanpa dilakukan pembersihan dan sortasi. Penggunaan benih kedelai dengan cara-cara tersebut diperkirakan mencapai 90 persen, yang berarti penggunaan benih kedelai bermutu dan bersertifikat tidak lebih dari 10 persen. Padahal penggunaan benih bermutu sangat besar pengaruhnya terhadap produksi kedelai yang dihasilkan.
3
Anonim. 2011. Stok Kedelai Dunia Menipis Harga Kedelai Melambung. http: //industri. kontan. co.id /v2/read/ Industri/ 64458/ Stok-kedelai-dunia-menipis-harga-kedelai-melambung [diakses 2 maret 2011]
40
Berdasarkan penelitian Sejati et al (2009) di daerah Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, penggunaan benih unggul bermutu di tingkat petani kedelai dengan memakai benih berlabel masih sangat terbatas. Hal tersebut tercermin pada petani Non SL-PTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) yang umumnya menggunakan benih tanpa label baik dari hasil sendiri maupun membeli dari kios penjual benih kedelai. Sedangkan pada kelompok SLPTT seluruhnya memakai benih berlabel dan kondisi tersebut terjadi karena benihnya merupakan benih bantuan dari pemerintah. Pada umumnya yang menjadi masalah dari perbenihan kedelai ini adalah stok yang terbatas atau tidak tersediaannya benih yang diminta petani. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan untuk perbanyakan benih yang diperbanyak oleh balai benih setempat. Penggunaan pupuk bagi tanaman kedelai di berbagai wilayah bervariasi, sesuai dengan spesifikasi lokasi. Pemerintah sendiri telah menggulirkan pupuk bersubsidi bagi petani kedelai lokal. Beberapa masalah yang kerap kali dialami petani kedelai adalah terbatasnya ketersediaan pupuk pabrik (anorganik) pada saat dibutuhkan. Petani yang tergolong dalam kelompok tani membeli pupuk secara kolektif bersama anggota lainnya dalam kelompok tani. Sebagian dari petani melalui kelompok tani telah menyusun Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang mencantumkan dengan jelas kebutuhan pupuk kelompok dan wilayahnya. Namun pada kenyataannya, pupuk yang tersedia di tingkat usahatani tidak sesuai dengan yang petani usulkan dalam RDKK. Berbagai alasan diutarakan distributor pupuk dan pengecer di lapangan kepada petani karena tidak dapat menyediakan pupuk yang dibutuhkan petani. Kelangkaan pupuk ini terutama terjadi di Kabupaten Garut (Jawa Barat) dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) sedangkan dikabupaten Soppeng (Sulawesi Selatan), petani merasa cukup tersedia pupuk pabrik yang mereka butuhkan (Sejati et al 2009). Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian Sejati et al (2009), semua petani yang tergabung pada kelompok SLPTT menggunakan pupuk dalam budidaya kedelai. Hal ini dikarenakan adanya program bantuan dari pemerintah berupa bantuan pupuk. Sedangkan pada petani non SLPTT baru 60 persen yang memakai pupuk kimia dan dari segi dosis pemakaian masih di bawah anjuran. Bahkan untuk penggunaan pupuk organik hanya sebesar 20 persen. Padahal
41
dewasa ini anjuran penggunaan pupuk organik sedang digalakkan sebagai komponen pupuk bio hayati. Menurut petani, masih rendahnya pemakaian pupuk organik yang bersifat bio hayati dikarenakan selain harganya relatif mahal, penggunaan pupuk organik juga masih dalam taraf uji coba. Pemberian pupuk kimia seperti urea, SP-36 dan NPK dilakukan dengan cara disebarkan, karena dianggap lebih efisien dalam pemakaian tenaga kerja. Tersedianya alat mesin pertanian sangat mempengaruhi hasil produksi kedelai, dimana alsintan digunakan sebagai teknologi yang mampu membantu pengembangan budidaya kedelai lokal. Begitu juga dengan tersediannya amelioran yang mampu membantu kesuburan tanaman kedelai. Tersedianya input yang baik akan berpengaruh pada hasil produksi kedelai. Pada subsistem agribisnis kedelai lokal pelaku subsistem hulu untuk pengadaan benih diantaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, balai benih provinsi maupun kabupaten, BPSBTPH (Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman pangan dan Hortikultura), swasta. Sedangkan pelaku untuk pengadaan pupuk
diantaranya,
pemerintah
pusat
dan
daerah,
BUMN,
swasta,
pedagang/pengecer pupuk dan alat mesin pertanian (alsintan). 5.2.2. Subsistem Usahatani Kedelai Usahatani kedelai di Indonesia tidak diusahakan pada suatu wilayah khusus yang diperuntukkan sebagai areal utama bagi pertanaman kedelai, melainkan diusahakan sebagai tanaman tambahan dengan pola tanam tertentu yang diusahakan dengan komoditas lain dalam penanamannya. Kedelai yang merupakan tanaman cash crop dibudidayakan di lahan sawah dan lahan kering. Sekitar 60 persen areal pertanaman kedelai terdapat di lahan sawah dan 40 persen di lahan kering4. Pada lahan kering kedelai biasa digunakan sebagai tanaman tambahan dimana padi sebagai tanaman utamanya. Begitu juga pada lahan kering dimana jagung atau padi gogo ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dari kedelai. Hal ini sangatlah berbeda dengan usahatani kedelai di Amerika Serikat. 4
Simatupang, Marwoto, Swastika. 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. http: // www. pdfking. net / PENGEMBANGAN-KEDELAI-DAN-KEBIJAKANPENELITIAN-DI-INDONESIA1-- PDF.html [diakses 12 februari 2011]
42
Di Amerika Serikat sendiri kedelai diproduksi pada suatu wilayah yang tanah dan iklimnya sangat sesuai atau sesuai untuk kedelai dan diperuntukkan untuk pengembangan kedelai. Pertanaman kedelai di Indonesia praktis seluruhnya merupakan milik petani bukan milik swasta besar atau perkebunan. Karena sifatnya yang demikian, maka pertanaman individu petani umumnya sempit dan sangat jarang yang melebihi 1 ha. umumnya kurang dari 0,5 ha. Selain kepemilikan lahannya sempit, usahatani kedelai di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Oleh karena itu pertanaman kedelai tidak dijumpai dalam bentuk hamparan luas tetapi berupa spot-spot dengan luasan puluhan hektar saja. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi pengembangan kedelai karena pembinaan sulit dilakukan (Subandi, Harsono dan Kuntyastuti 2007). Tanaman kedelai pada lahan sawah menunjukkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedelai yang ditanam pada lahan kering, karena: (1) pada saat pertumbuhan tanaman kedelai, gangguan iklim terutama kekeringan lebih besar pada lahan kering dibandingkan dengan lahan sawah yang memperoleh air irigasi, (2) residu pemupukan tanaman padi di lahan sawah akan membantu pertumbuhan tanaman kedelai menjadi lebih baik, (3) pada lahan kering, terutama wilayah produksi di luar Jawa, sering dijumpai derajat keasaman tanah dengan kandungan alumunium (Al) terlarut yang tinggi, dan (4) tanaman kedelai pada lahan kering banyak mendapat gangguan gulma. Potensi pengembangan kedelai di luar Jawa sebagian besar terdiri dari lahan kering. Pada lahan kering pengelolaan tanaman kedelai mengalami keterbatasan persediaan unsur hara. Namun keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan pemberian bahan organik dari pupuk kandang (Rahmawati M, 1999). Penentuan pola tanam kedelai didasarkan atas tipe lahan, curah hujan dan musim. Di lahan sawah irigasi pada MK I (Maret-Juni), kedelai diusahakan dalam pola padi - palawija - sayuran atau padi - palawija - palawija sedangkan pada MK II (Juli-September) diusahakan dalam pola padi - padi - palawija. Penanaman kedelai di lahan sawah tadah hujan dilakukan pada MH (Nopember-Februari) dalam pola palawija - padi dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi palawija. Di lahan kering pada MH I (Nopember-Februari), kedelai ditanam
43
dalam pola palawija - palawija dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi gogo - palawija atau sayuran - palawija1 (Marwoto dan Hilman 2005). Pengembangan usahatani kedelai dapat dilakukan melalui usaha ekstensifikasi, intensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Pengembangan usahatani, baik di sawah maupun di lahan kering dapat ditempuh melalui perluasan areal tanam, peningkatan produktivitas dan pengurangan kehilangan hasil, sistem produksi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 5.2.3. Subsistem Hilir dan Pemasaran Subsistem agribisnis hilir kedelai lokal meliputi kegiatan pasca panen, kegiatan pengolahan hingga pemasaran. Berdasarkan data Ditjentan (2004), kegiatan pascapanen kedelai dimulai setelah kedelai dipanen. Beberapa kegiatan pasca panen yang dilakukan diantaranya pengeringan kedelai dan perontokan kedelai. Sebagian besar petani melakukan pengeringan kedelai dengan cara sederhana di pekarangan rumah. Petani yang melakukan pengeringan kedelai dengan menggunakan alat pengering kedelai (drier) masih sangat terbatas. Begitu juga dengan perontokan kedelai, sebagian besar petani melakukan perontokan kedelai secara tradisional dengan menggunakan batang pemukul yang terbuat dari kayu dan pelepah kelapa. Namun di beberapa daerah telah menggunakan Soybean Tresher (mesin perontok kedelai). Selain kegiatan pasca panen subsistem agribisnis hilir kedelai juga mencakup kegiatan pengolahan kedelai. Kedelai dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan, pakan ternak dan produk-produk untuk keperluan industri. Pengolahan produk turunan kedelai dilakukan melalui pengolahan modern maupun sederhana. Kedelai yang diolah secara modern dilakukan dengan menggunakan mesin pengolah kedelai sedangkan pengolahan kedelai secara tradisional dilakukan secara manual tanpa menggunakan mesin. Pengolahan kedelai terbagi menjadi dua jenis yaitu pengolahan melalui fermentasi maupun non fermentasi. Beberapa hasil olahan kedelai melalui fermentasi diantaranya tempe, kecap, oncom, tauco sedangkan hasil olahan kedelai non fermentasi diantaranya tahu, kembang tahu, tepung kedelai, susu kedelai. Produk fermentasi hasil industri tradisional yang populer adalah tempe,
44
kecap dan tauco, sedangkan tahu dan kembang tahu adalah produk non fermentasi hasil industri tradisional. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai produk olahan kedelai berupa tempe dan tahu. Sebanyak 57 persen kedelai dikonsumsi dalam bentuk tempe, 38 persen dalam bentuk tahu dan sisanya dalam bentuk olahan lain. Pada pengolahan kedelai sebagian besar kedelai berasal dari kedelai impor. Untuk industri pengolahan kedelai sendiri sebagian besar berskala kecil dan rumah tangga. Berikut dapat dilihat klasifikasi produk olahan kedelai pada Gambar 8.
Kedelai
Non Fermentasi
Tradisional • Tahu • Kembang tahu
Fermentasi
Modern • • • •
Susu kedelai Tepung kedelai Daging tiruan Minyak kedelai
Tradisional • Tempe • Kecap • Tauco
Modern • Soygurt • Keju kedelai
Gambar 8. Klasifikasi Produk Olahan Kedelai Sumber: Widowati (2007)
Pemasaran hasil menjadi tolak ukur terhadap tingkat penerimaan dari kegiatan usahatani yang dijalankan. Dalam hal ini, kedudukan atau posisi tawar petani cenderung masih lemah. Lemahnya posisi tawar petani antara lain disebabkan karena kurangnya atau terbatasnya akses petani terhadap informasi harga bagi produk yang akan dipasarkan. Selain itu dengan sifat pasar yang cenderung oligopsoni, semakin melemahkan petani untuk bernegosiasi. Adanya keterpaksaan dari petani untuk segera menjual produknya karena didorong atas kebutuhan rumah tangga atau desakan untuk membayar hutang dan membiayai kegiatan usahatani selanjutnya membuat posisi tawar petani semakin lemah. Oleh karena itu, terciptanya harga kedelai yang wajar dalam rangka meningkatkan 45
pendapatan petani kedelai sekaligus peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani perlu mendapat perhatian dari pemerintah (Sejati et al 2009). Adapun secara umum rantai pemasaran kedelai adalah seperti disajikan pada Gambar 9.
Importir
Petani
Pedagang Pengumpul Desa
Grosir
Pengecer
KOPTI
Pengolah
Konsumen akhir
Gambar 9. Rantai Pemasaran Kedelai di Indonesia Sumber: Sudaryanto dan Swastika (2007)
Kedelai di Indonesia mulai dari daerah sentra produksi hingga ke industri pengolahan dipasarkan melalui pedagang pengumpul di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi hingga bermuara ke konsumen akhir. Kedelai yang beredar dipasaran ada yang berasal dari petani, adapula yang berasal dari kedelai impor. Namun sebagian besar perdagangan kedelai di dalam negeri didominasi oleh kedelai yang berasal dari impor. Kedelai lokal yang diproduksi oleh petani dijual kepada pedagang pengumpul baik ditingkat desa, kecamatan maupun ditingkat kabupaten. Kedelai yang telah berada di tingkat pedagang pengumpul kemudian dijual ke pedagang grosir. Kedelai yang telah berada pada tingkat grosir kemudian dijual baik ke pedagang pengecer maupun ke KOPTI dan selanjutnya dijual kembali ke industri pengolah kedelai dan konsumen akhir. Kedelai yang berasal dari impor umumnya dibeli oleh koperasi pengrajin tahu dan tempe (KOPTI), selanjutnya dipasarkan ke pengrajin tahu dan tempe hingga sampai ke konsumen.
46
5.2.4. Subsistem Penunjang Subsistem
penunjang
merupakan
subsistem
yang
mendukung
pelaksanaan kegiatan dari keempat subsistem agribisnis kedelai lokal yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Beberapa lembaga yang menunjang agribisnis kedelai lokal diantaranya: 1) Pemerintah Pemerintah merupakan salah satu pihak yang ikut serta dalam menunjang pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Beberapa peran serta pemerintah bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia diwujudkan dalam berbagai kegiatan, salah satunya adalah Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pada tanggal 7-10 Juni 2009 diselenggarakan Jambore SL-PTT di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Hal ini merupakan bukti komitmen pemerintah untuk melanjutkan upaya peningkatan produksi menuju kemandirian pangan. Tema dari Jambore Nasional ini adalah “Bersama Mewujudkan Swasembada Pangan dan Membangun Kemandirian Pangan Nasional”. SL-PTT ini berfokus pada kedelai dan tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan diantaranya pengusaha agribisnis, praktisi pertanian, penentu kebijakan, petani, dan kelompok tani dari berbagai daerah di Indonesia yang telah melaksanakan program PTT padi, jagung dan kedelai. 2) Perguruan Tinggi Lembaga perguruan tinggi dapat mengambil peran dalam memberikan kontribusi
dalam
menghasilkan
informasi
dan
inovasi
teknologi
bagi
pengembangan agribisnis kedelai. Sebagai contoh Universitas Hasanuddin yang memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian di kawasan timur Indonesia. Beberapa kegiatan yang dilakukan Universitas Hasanuddin antara lain, alih teknologi melalui sekolah lapang yang berbasis teknologi benih/sumber, kemitraan dengan industri benih dan produksi pupuk cair organik (rumah kompos) (Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2009). 3) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan merupakan lembaga yang berperan dalam penyediaan inovasi teknologi untuk membantu pengembangan agribisnis
47
kedelai lokal di Indonesia. Dalam hal ini beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain: (a) Simposium Tanaman Pangan Puslitbangtan menyelenggarakan Simposium V Tanaman Pangan pada tanggal 28-29 Agustus 2007 di Bogor, dengan tema “Inovasi Teknologi Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan”. Salah satu hal yang dibahas dalam simposium ini adalah pengembangan tanaman pangan melalui inovasi teknologi dalam rangka peningkatan produksi kedelai menuju swasembada pada tahun 2014. (b) Gelar Teknologi Kacang-kacangan dan umbi-umbian Pada 10 November 2007 di Malang, diselenggarakan “Gelar Teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian” oleh Puslitbangtan dan Balitkabi. Acara ini dimulai dengan temu lapang dimana pengunjung dapat melihat sendiri dari dekat hamparan tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian yang tumbuh dengan baik di kebun percobaan Kendalpayak yang menggambarkan keunggulan teknologi. Teknologi yang digelar antara lain varietas unggul kedelai, kacang hijau, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar, teknologi pengendalian hama dan penyakit kedelai yang ramah lingkungan. Selain itu pengunjung diberi kesempatan untuk mencicipi produk pangan yang dihasilkan dari kacang-kacangan dan umbi-umbian. (4) Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengembangan varietas unggul kedelai yang dilakukan oleh BATAN adalah dengan melakukan induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma yang dapat dimanfaatkan oleh petani dan pengguna lainnya. Dengan demikian petani dapat memperoleh pilihan varietas lain dengan sifat-sifat unggul tertentu selain varietas hasil penelitian Puslitbangtan. 5) Lembaga Perbankan a) Realisasi penyaluran KUR pada tanggal 30 Juni 2009 pada bank pelaksana (Mandiri, Syariah Mandiri, BNI, Bukopin, BRI, BTN) sebesar 14,8 trilyun. Dari total kredit tersebut sektor pertanian termasuk kedelai memperoleh
48
sebesar 3,9 trilyun atau sebesar 26,6 persen dengan penerima kredit sebanyak 613.780 orang atau rata-rata sebesar Rp 6,45 juta per orang. b) Data Kementrian Pertanian (2010), menunjukkan bahwa sampai bulan Juni 2009 sebanyak 7,8 trilyun dari plafon 8,1 trilyun KKP-E berhasil disalurkan oleh Bank Umum maupun Bank Pembangunan Daerah. Hal ini merupakan bentuk realisasi penyerapan kredit untuk pengembangan padi, jagung dan kedelai5. 5.3. Impor Kedelai Indonesia Menurut Swastika, Nuryanti, Sawit (2007), sampai dengan tahun 1974, Indonesia pernah mengalami surplus kedelai. Namun sejak tahun 1975, perdagangan kedelai Indonesia selalu dalam posisi defisit dimana volume impor kedelai selalu jauh lebih besar dari volume kedelai yang diekspor Indonesia. Masalah baru mulai muncul sejak krisis moneter tahun 1998, Indonesia menandatangani LOI (Letter of Intent) IMF. Berdasarkan LOI (Letter of Intent) IMF importir swasta bebas mendatangkan kedelai dari luar negeri. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan yang diberikan pemerintah Amerika Serikat yang memberikan fasilitas kredit tanpa bunga selama enam bulan kepada negara yang mengimpor kedelai Amerika. Kredit yang diberikan Amerika kepada Indonesia sebagai negara pengimpor kedelai Amerika membuat kedelai dalam negeri berangsur-angsur tidak kompetitif dan tataniaga kedelai semakin dikuasai importir. Terlebih lagi dengan diberlakukannya tarif impor kedelai sebesar nol persen, sehingga kedelai impor semakin deras masuk. Hal ini tentu saja semakin menguntungkan kedelai impor yang saat ini mendominasi pasar kedelai di dalam negeri. Tingginya impor kedelai ini dikarenakan ketidakmampuan produksi dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Semakin besar volume impor kedelai yang dilakukan maka semakin besar pula devisa negara yang harus dikeluarkan untuk melakukan impor kedelai. Menurut Afifa (2006), kebijakan impor kedelai yang digunakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kedelai merupakan suatu hal yang sangat 5
Sayaka et al. 2010. Peningkatan 20 Persen Akses Petani Terhadap Berbagai Sumber Pembiayaan Usahatani. http: //pse. litbang. deptan. go.id /ind/pdffiles/ MAKPROP_SYK. pdf [diakses 2 Maret 2011 ]
49
menentukan gairah petani dalam melakukan budidaya kedelai. Harga kedelai impor yang lebih murah daripada harga kedelai lokal membuat gairah petani dalam melakukan budidaya kedelai menurun. Lebih rendahnya harga kedelai impor disebabkan oleh kemampuan petani luar negeri (Amerika, Brazil, Argentina, Cina dan lain-lain) dalam memproduksi kedelai dengan biaya rendah ditambah lagi dengan tersedianya areal dalam skala luas dan penerapan teknologi atau mekanisasi yang modern dalam usahatani kedelai mereka. Sedangkan petani kedelai lokal hanya melaksanakan usahatani pada lahan-lahan yang sempit (0,25 s/d 1 hektar). Hal itu menyebabkan harga kedelai impor lebih murah, sehingga petani kedelai lokal semakin terdesak.
Gambar 10. Grafik Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Tahun 19982009 Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010) [diolah]
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang besar, maka pemerintah melakukan impor kedelai. Sejak tahun 1998 hingga tahun 2009 volume impor kedelai mengalami fluktuasi. Namun volume impor kedelai mulai mengalami peningkatan yang drastis, dimana pada tahun 1998 volume impor kedelai sebesar 0,34 juta ton dan meningkat drastis pada tahun 1999 sebesar 1,27 juta ton. Hal ini dikarenakan berlakunya perdagangan bebas bagi komoditas kedelai sehingga kedelai impor bebas masuk ke dalam pasar kedelai dalam negeri.
50
Indonesia merupakan negara pengimpor kedelai terbesar ke delapan di dunia. Pada tahun 2006 volume impor kedelai sebesar 1,02 juta ton dan meningkat pada tahun 2007 sebesar 1,41 juta ton. Pada tahun 2008 impor kedelai sebesar 1,16 juta ton dan pada tahun 2009 sebesar 1,05 juta ton. Selama periode 2007 hingga 2009 volume impor kedelai mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena ketersedian kedelai dunia yang menurun serta produksi kedelai lokal selama periode tersebut mengalami kenaikan. Berdasarkan data Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010), kenaikan produksi kedelai lokal pada periode tersebut masing-masing sebesar 0,59 juta ton pada tahun 2007, 0,77 juta ton pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 produksi kedelai lokal sebesar 0,97 juta ton. Jika kondisi ini terus berlanjut diharapkan dalam jangka panjang Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasionalnya. Tabel 7. Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton). Negara Asal Unites States Argentina Malaysia Kanada Singapura Lainnya Total
2000 539.368 92.066 31.322 46.333 4.631 563.967
2001 399.472 0 93.429 10.503 14.207 618.808
2002 1.121.963 77.187 76.382 47.617 37.546 4.558
2003 1.122.900 10.276 17.983 18.393 549 22.616
2004* Share (%) 66 549.759 5 92.805 4 5.255 2 353 1 38 22 3.770
1.277.683
1.136.419
1.365.253
1.192.717
651.979
100
Keterangan: * = Data sampai bulan Juli 2004 Sumber: Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004 dalam Purnamasari (2006) [diolah]
Berdasarkan Tabel 7, terlihat negara utama yang mengekspor kedelai ke Indonesia. Negara pemasok kedelai terbesar ke Indonesia adalah Amerika dengan persentase sebesar 66 persen terhadap total volume impor Indonesia selama tahun 2000 hingga 2004. Diikuti oleh Argentina sebesar 5 persen dari total impor ke Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2004.
51
VI DAYASAING AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA 6.1. Analisis Komponen Porter’s Diamond System 6.1.1. Kondisi faktor Sumberdaya Dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi faktor sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan alam dan teknologi, sumberdaya modal dan sumberdaya infrastuktur. Kelima sumberdaya tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Sumberdaya Alam a) Syarat, Kondisi dan Luas Lahan Tanaman kedelai responsif terhadap faktor iklim karena berasal dari daerah subtropis. Namun tanaman kedelai dapat tumbuh subur di daerah tropis apabila berbagai persyaratan teknis penanaman dapat terpenuhi. Sumberdaya lahan yang digunakan untuk menanam kedelai memenuhi beberapa kondisi, antara lain kedelai tumbuh baik pada tempat terbuka dengan ketinggian 50-500 m pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati netral, yaitu pada pH 5,57,0 dan ph optimal 6,0-6,5. Tanah dengan tekstur agak berliat dan berdrainase baik atau tanah lempung berpasir (sandy loam) yang kaya bahan organik, sangat sesuai untuk tanaman kedelai. Kedelai merupakan tanaman yang memerlukan penyinaran matahari secara penuh. Suhu yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 22-27°C. Pada umumnya curah hujan yang merata 100-150 milimeter per bulan pada dua bulan pertama sejak tanam merupakan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan kedelai (Sumarno, Manshuri 2007). Kriteria kesesuaian agroklimat untuk lahan kedelai cukup luas, karena hampir pada seluruh lahan sawah di Indonesia dan sebagian besar lahan kering dapat ditanami kedelai. Pengaturan tanam dan perhitungan umur tanaman yang tepat sangat perlu untuk memperoleh hasil yang baik. Pada lahan kering yang umumnya terdapat di Sumatera dan NTB dapat ditanami kedelai dengan melakukan penyesuaian waktu tanam dengan curah hujan. Untuk lahan kering bereaksi masam diperlukan tambahan perlakuan pengapuran (kalsit atau dolomite). Sesuai dengan pola tanam yang ada disetiap daerah, kedelai ditanam 52
hampir pada semua tipologi tanah, baik pada sawah irigasi teknis, setengah teknis, lahan kering, lahan tadah hujan dan lahan pasang pasang surut (Ditjentan 2004). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2010), luas lahan kedelai di Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 722.931 ha. Dari tahun ke tahun luas lahan kedelai cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1992 luas lahan kedelai mencapai 1,67 juta ha dan pada tahun 1999 lahan kedelai turun menjadi 1,16 juta ha. Penurunan lahan kedelai secara drastis terjadi pada tahun 2000 dengan luas lahan sebesar 824.484 ha. Hal ini terjadi karena dampak dari banyaknya impor kedelai pada tahun tersebut akibat insentif yang diberikan Amerika berupa kredit tak berbunga terhadap negara pengimpor kedelai Amerika termasuk Indonesia. Hal ini membuat kedelai impor semakin deras masuk dan gairah petani untuk menanam kedelai lokal berkurang. Lahan kedelai tersebar di seluruh Indonesia, dimana luas tanam terbesar selama empat tahun terakhir terdapat di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Aceh, Yogyakarta dan Jawa Barat dengan luas masing-masing daerah sebesar 231.992 ha, 104.976 ha, 76.905 ha, 32.513 ha, 31.347 ha, 28.680. Sebaran lahan untuk komoditas kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut Agus dalam Pusat Penelitian Tanaman Pangan (2007), daerah yang berpotensi untuk ditanami kedelai terdapat di NAD, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB. Hal ini didukung oleh penelitian (Agus et al 2005) di dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2007) yang menyatakan bahwa lahan subur yang berpotensi tinggi dan sedang untuk pengembangan kedelai terdapat di Pulau Jawa.
53
Tabel 8. Luas Tanam Kedelai Lokal 2007-2010 (Hektar) Provinsi
Luas Area (ha) 2008
2007
2009
2010
Aceh Sumatera Utara
14.748,06 3.745,69
32.750,00 9.593,90
45.094,39 11.493,53
37.460,24 7.800,83
Sumatera Barat
882,90
7.385,28
1.882,04
1.112,86
2.264,98
4.317,68
4.905,56
5.282,88
-
2,00
2,00
6,00
Jambi
3.406,47
4.786,69
7.236,13
4.243,03
Sumatera Selatan
1.989,61
5.351,65
9.165,22
751,45
-
8,00
1,00
53,01
Bengkulu
1.880,52
2.487,65
5.603,16
2.655,27
Lampung
3.007,97
5.659,32
13.517,15
6.197,12
-
-
-
-
12.429,08
23.804,05
41.787,10
36.701,51
2.040,50
4.974,56
12.193,40
8.359,86
Jawa Tengah
84.101,71
111.637,76
110.091,77
114.072,82
DI Yogyakarta
27.620,47
32.526,02
31.665,09
33.576,82
199.546,32
216.795,15
264.724,29
246.902,55
5.753,25
6.346,49
9.376,56
4.825,37
Nusa Tenggara Barat
56.920,97
76.145,72
87.932,11
86.625,12
Nusa Tenggara Timur
1.528,89
2.325,23
2.010,53
1.758,65
Kalimantan Barat
693,17
1.332,76
1.757,73
2.541,67
Kalimantan Tengah
719,27
1.653,33
1.888,59
2.161,18
Kalimantan Selatan
1.805,43
3.260,46
3.346,12
3.153,15
Kalimantan Timur
1.521,21
2.142,98
1.877,60
1.679,36
Sulawesi utara
2.661,63
5.225,92
5.649,96
6.834,09
Riau Kepulauan Riau
Kepulauan Bangka Belitung
DKI Jakarta Jawa Barat Banten
Jawa Timur Bali
Gorontalo
4.004,22
1.873,32
4.727,97
2.883,90
Sulawesi Tengah
2.299,29
2.362,39
3.618,39
2.782,13
Sulawesi Selatan
12.030,44
19.048,40
25.799,38
23.632,69
792,95
1.498,18
2.075,71
2.082,79
Sulawesi Tenggara
3.716,96
4.098,92
6.716,51
2.660,30
Maluku
1.227,20
1.293,87
1.307,12
988,30
965,93
1.046,68
542,88
787,32
3.600,36
3.657,48
3.624,66
3.764,28
Sulawesi barat
Maluku Utara Papua Papua Barat Total Luas Tanam
1.281,54
1.624,65
1.150,48
570,88
459.186,99
597.016,49
722.764,13
654.907,43
Ket: (-) Tidak Tanam Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010) [diolah]
54
b) Aksestabilitas Terhadap Input Aksestabilitas terhadap input merupakan kemudahan bagi para petani kedelai untuk memperoleh input-input pertanian seperti benih, pupuk, obatobatan dan mesin-mesin pertanian yang digunakan untuk mendukung usahatani kedelai. Untuk tercapainya produktivitas usahatani kedelai yang tinggi maka ketersediaan input pertanian tersebut sangat diperlukan. i) Benih Benih kedelai diproduksi dan diedarkan oleh pemerintah (Badan Usaha Milik Negara/BBI/BBU) dan swasta. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan otonomi daerah, saat ini kewenangan pengelolaan balai benih telah diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2005). Benih awalnya diperoleh dari pemulia benih yang berada di bawah koordinasi Balitbang. Setelah itu benih diperbanyak oleh balai benih yang berada ditingkat provinsi maupun kabupaten. Benih yang telah diperbanyak oleh balai benih disalurkan kepada para penangkar atau produsen benih. Setelah benih berada pada penangkar atau produsen benih, benih disalurkan langsung kepada petani atau melalui distributor kepada petani. Selain melalui balai benih, benih juga diperbanyak oleh pihak swasta maupun BUMN. Beberapa BUMN yang melakukan perbanyakan benih diantaranya PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani. Beberapa perusahaan benih yang sudah cukup besar tidak hanya memperoleh benih dari balai benih namun beberapa perusahaan mengeluarkan benih-benih sendiri. Benih yang berasal dari balai benih maupun yang berasal dari swasta atau BUMN, melalui tahap sertifikasi benih hingga benih sampai ke tangan produsen. Sertifikasi ini dilakukan oleh BPSBTPH (Balai Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman pangan dan Hortikultura)6. Hingga saat ini petani kedelai umumnya memperoleh benih dari hasil panen sendiri atau membeli hasil panen musim sebelumnya. Benih juga didapatkan dengan membeli benih ke pedagang hasil bumi yang mendapatkan kedelai dari musim panen sebelumnya baik antar kecamatan, kabupaten, maupun 6
Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Seksi Aneka Kacang dan Umbi Direktorat Perbenihan Ir. Dhani Permadi, MM [28 Maret 2011]
55
provinsi, bahkan ada yang lintas pulau misalnya dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa. Untuk lebih menjamin penyediaan benih bermutu, penyediaan benih dilakukan melalui sistem jalur benih antar lapang dan musim atau Jabalsim (Harnowo, Hidajat, Suyamto 2007) Penggunaan benih bermutu varietas unggul sangat terbatas, karena persepsi petani terhadap manfaat penggunaan benih bermutu cukup bervariasi. Sebagian petani sudah memahami manfaat penggunaan benih bermutu sehingga mereka selalu menggunakannya, tetapi sebagian besar petani belum memahami manfaatnya sehingga masih banyak yang menggunakan benih asalan. Benih asalan yang digunakan petani berasal dari pertanaman sendiri, dibeli dari pasar atau barter (tukar menukar dengan petani lain). Hal ini tidak menjamin mutu kedelai tersebut (tidak melalui proses setifikasi benih). Pada beberapa daerah, benih bermutu varietas unggul atau benih bersertifikasi sulit didapat petani, sehingga petani menggunakan benih asalan (Ditjentan 2004). ii) Pupuk Pupuk merupakan sarana produksi yang relatif penting dalam menentukan hasil produksi. Penggunaan pupuk di daerah-daerah bervariasi sesuai dengan spesifikasi lokasi. Kemampuan permodalan petani sangat menentukan petani dalam melaksanakan anjuran dosis pemupukan yang ideal. Sebagian besar petani belum melakukan Teknologi Hemat Biaya PMMG (Pupuk Mikroba Multi Gure) yaitu pemberian pupuk Bio Hayati (Rhizoplus, Bio P 2000, feather tea) karena keterbatasan modal dan informasi. Namun pada beberapa daerah telah melaksanakan Teknologi Hemat Biaya PMMG ini, karena medapatkan program bantuan pemerintah (Ditjentan 2004). Untuk
memacu
peningkatan
produktivitas
tanaman
kedelai
dalam
mewujudkan ketahanan pangan maka pemerintah telah menetapkan kebijakan pupuk bersubsidi bagi petani kedelai lokal. Pupuk bersubsidi merupakan pupuk yang diberikan pemerintah kepada petani dengan tujuan untuk membantu petani dalam mengembangkan usahataninya. Seperti yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Sumatera Utara yang meminta produsen pupuk yang dipercayai
56
pemerintah untuk menyalurkan pupuk bersubsidi yakni PT Petrokima Gresik dan PT Pusri benar-benar menyalurkan pupuk sesuai ketentuan7. Umumnya petani yang terkumpul dalam kelompok tani membeli pupuk secara kolektif bersama dengan kelompok tani tersebut. Namun petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani membeli pupuk secara individu ke toko pengecer pupuk. Namun meskipun begitu aksestabilitas petani untuk memperoleh pupuk pada beberapa daerah sering mengalami masalah. Beberapa masalah yang kerap kali dialami petani kedelai adalah terbatasnya ketersediaan pupuk pabrik (anorganik) pada saat dibutuhkan. Meskipun sebelumnya terdapat petani yang telah mengajukan Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) secara kolektif bersama kelompok tani namun pupuk yang diajukan sering tidak tersedia. Sebagai contoh kelangkaan pupuk yang terjadi di daerah Garut, Jawa Barat dan Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur sedangkan di kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, petani merasa cukup tersedia pupuk pabrik yang mereka butuhkan. Selain itu hingga saat ini banyak petani kedelai yang beranggapan bahwa penggunaan pupuk hanya akan menjadikan biaya produksi yang lebih besar pada usahatani kedelai karena tidak sebanding dengan harga jual kedelai lokal yang keuntungannya dinilai masih rendah. Untuk itu beberapa petani menanam kedelai setelah padi agar mendapat sisa-sisa pupuk dari penanaman sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan seringkali kedelai tidak diberi pupuk sebagaimana mestinya karena pada dasarnya kedelai dapat tumbuh tanpa diberi pupuk. Meskipun begitu penggunaan pupuk sangat penting bagi peningkatan produktivitas kedelai8. c) Biaya-biaya Terkait Biaya-biaya yang diperlukan dalam usahatani kedelai lokal antara lain biaya tenaga kerja yang terdiri dari biaya penyiapan lahan, biaya penanaman, biaya pemupukan, biaya penyiangan, biaya penyemprotan, biaya panen, biaya, pengeringan, biaya perontokan, dan
biaya penyimpanan. Selain itu terdapat
biaya-biaya terkait sarana produksi diantaranya biaya benih terutama untuk 7
8
Serapan Pupuk Subsidi Masih Minim. 2011. http://www. medanbisnisdaily.com/ news/read/ 2011 / 04/14/29145/ serapan_pupuk_subsidi_masih_minim/ [diakses 20 Maret 2011] Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Kedelai sekaligus perwakilan Dewan Kedelai Ir. Kasmin Nadaek, MM [28 Maret 2011]
57
tanaman awal, biaya pupuk seperti urea dan NPK, biaya pestisida. Biaya lain-lain seperti sewa lahan menjadi tambahan biaya dalam usahatani kedelai. Berdasarkan analisis, usahatani budidaya kedelai memberikan keuntungan secara finansial dari tingkat pendapatan yang mencapai Rp. 4,8 juta per hektar permusim tanam di wilayah Jawa dan 4,4 juta per hektar per musim tanam diwilayah luar Jawa. Bila dilihat pada analisis usahatani kedelai diperoleh nilai R/C ratio untuk wilayah Jawa sebesar 2,01 sedangkan untuk wilayah luar Jawa sebesar 2,12 Lampiran 2. Hal ini menunjukan bahwa usahatani kedelai lokal cukup layak untuk diusahakan. d) Produktivitas Lahan Produktivitas
lahan
untuk
tanaman
kedelai
diukur
berdasarkan
kemampuan suatu lahan dalam menghasilkan kedelai tiap hektarnya. Berdasarkan data Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010), diketahui bahwa produktivitas lahan kedelai mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 produktivitas kedelai di Indonesia sebanyak 1,29 ton/ha. Selanjutnya pada tahun 2008 mengalami peningkatan produktivitas menjadi 1,3 ton/ha. Pada tahun 2009 menjadi 1,35 ton/ha dan pada tahun 2010 meningkat dengan angka sementara sebesar 1,37 ton/ha. Produktivitas lahan kedelai pada setiap provinsi berbedabeda. Produktivitas terbesar selama beberapa tahun terakhir terjadi pada tahun 2007 pada provinsi Sulawesi Utara sebesar 1,72 ton/ha, sedangkan pada tahun 2010 sendiri produktivitas terbesar dicapai Provinsi Sumatra Barat dan Jawa Tengah sebesar 1,65 ton/ha. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Pertanian (2008), produktivitas kedelai Indonesia masih di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Cina, Jepang, Thailand dan Vietnam. Kedelai yang banyak digunakan di Indonesia adalah kedelai putih yang bukan merupakan tanaman asli daerah tropis. Hal ini mengakibatkan teknologi yang dikembangkan untuk pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih. Di sisi lain kedelai hitam yang tidak bersifat fotosensitif kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dalam segi adaptasi lebih cocok bagi Indonesia. Kedelai hitam merupakan bahan baku utama kecap yang dari sisi prospek pengembangannya juga cukup baik. Dengan teknik budidaya
58
yang baik dan teknologi yang mendukung maka kedelai lokal mampu berproduksi dengan baik. Banyak wilayah Indonesia yang dapat dijadikan sebagai lahan untuk penanaman kedelai lokal. Luas panen, produktivitas dan jumlah produksi dapat dilihat pada Lampiran 3. 2) Sumberdaya Manusia Keberadaan sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi agribisnis kedelai lokal sangatlah penting. Sumberdaya manusia yang memadai dan berkualitas akan membantu menghasilkan kedelai lokal yang baik dan mampu menghasilkan sistem agribisnis kedelai lokal yang berdayasaing. Pada sistem agribisnis kedelai mulai dari hulu hingga ke hilir, sumberdaya manusia yang terkait didalamnya antara lain peneliti, petani, pedagang, Petugas Pemandu Lapang (PPL) dan jabatan lainnya. Peneliti merupakan pihak yang melakukan kegiatan penelitian terkait tanaman kedelai yang dapat menunjang pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dan berada di bawah koordinasi lembaga penelitian. Sebagai contoh Badan Penelitian dan Pengembangan Kacang-kacangan dan Umbi-umbian yang memberikan kontribusi berupa inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produksi kedelai serta berbagai penelitian lainnya yang dapat mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Petani merupakan subjek utama yang mengendalikan dan mengelola berbagai proses usahatani dan terlibat langsung dalam proses produksi tanaman kedelai. Jumlah petani kedelai saat ini lebih dari 75 persen berumur 45 tahun dengan pendidikan terbanyak sekolah dasar. Untuk itu, diperlukan pembinaan kemampuan petani dan kelompoknya agar partisipasi petani dalam proses produksi kedelai lebih meningkat dan bersifat mandiri. Selain itu juga diperlukan pengembangan kualitas kelompok tani agar terjadi kekompakan antar anggota dalam kelompok dan peningkatan kerja sama antar kelompok yang lebih baik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adopsi teknologi produksi kedelai oleh petani masih dihadapkan pada beberapa hambatan, antara lain persepsi petani terhadap teknologi, kemampuan modal petani yang terbatas, skala usaha yang sempit dan terpencar, risiko kegagalan panen yang besar dan kecilnya insentif bagi petani. Petani kedelai lokal di Indonesia sebagian besar merupakan petani
59
kecil, dengan luas areal tanam kurang dari 1 ha. Beberapa diantaranya tergabung dalam sebuah kelompok tani (Adisarwanto 2010). Menurut Ditjentan (2004) Terdapat kelompok tani yang terdiri dari tingkat pemula, lanjut dan madya. Kelompok tani yang pernah disurvei pernah berprestasi sebagai juara kelompok tani dibidang agribisnis kedelai salah satunya adalah kelompok petani Karya Bakti Dusun Jatirejo, Desa Glagahagung yang merupakan salah satu desa di Banyuwangi yang menjuarai lomba intesifikasi kedelai tingkat Provinsi tahun 2008. Selain itu kelompok tani Karya bakti berhasil menjadi perwakilan Provinsi Jawa Timur pada Lomba Intensifikasi Kedelai Tingkat Nasional tahun 2008. Pedagang atau pengumpul merupakan pihak yang menyalurkan kedelai hingga sampai ke perantara lain maupun ke konsumen akhir. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjentan (2004), sebagian besar pedagang kedelai di Indonesia lebih banyak menjual kedelai impor dibandingkan dengan kedelai lokal. Pedagang pada umumnya mendapatkan kedelai lokal langsung dari petani. Masih terbatasnya petani yang menjual secara berkelompok membuat posisi tawar petani rendah sehingga harga jual kedelai lokal ditentukan oleh pedagang atau pengumpul. Pemandu lapang adalah pihak yang memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kegiatan usahatani di daerah provinsi dan kabupaten pengembangan kedelai lokal. Berdasarkan data Ditjentan (2004), pada umumnya tingkat pendidikan penyuluh adalah SLTA dengan masa kerja bervariasi antara 15-23 tahun dimana frekuensi kunjungan kelompok tani bevariasi, berkisar antara 1-2 kali perbulan. Dalam kunjungannya sebagian penyuluh menggunakan kendaraan operasional dalam melaksanakan tugasnya. 3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada agribisnis kedelai lokal, mulai dari input, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, panen, pasca panen merupakan hal penting untuk menunjang dayasaing agribisnis kedelai. Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan ilmiah dan inovasi teknologi dalam melakukan produksi yang dapat diperoleh melalui lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, perguruan tinggi dan teknologi lainnya.
60
a) Lembaga Penelitian Lembaga penelitian yang berperan sebagai sumber teknologi di bidang agribisnis kedelai di Indonesia adalah Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman pangan (Puslitbangtan) yang berlokasi di Bogor. Selain itu terdapat lembaga Penelitian yang khusus meneliti tentang kacang-kacangan termasuk kedelai yaitu Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian yang berlokasi di Malang. Puslitbangtan berperan dalam menghasilkan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam. Bersama-sama dengan Direktorat Jendal Tanaman Pangan dan Pemerintah Daerah,
Puslitbangtan
di
bawah
koordinasi
Badan
Litbang
Pertanian
mengembangkan berbagai inovasi teknologi seperti varietas unggul, budidaya, pasca panen dan pengelolaan tanaman terpadu (PPT) terkait tanaman kedelai. Penelitian dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca, kebun percobaan dan lahan petani. Kegiatan di lahan petani diselenggarakan melalui kerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan Dinas Pertanian setempat. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 pasal 175 ayat 1 menyatakan bahwa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) sebagai unsur penunjang Departemen yang berada di bawah dan betanggung jawab kepada Menteri Pertanian melalui Sekretaris Jendral. PSE-KP merupakan lembaga yang berperan dalam menghasilkan informasi sosial ekonomi dari pertanian termasuk kedelai. b) Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI) merupakan wadah untuk menghimpun para pengusaha dan pengrajin tempe, tahu. KOPTI sendiri tersebar di berbagai daerah bahkan di kota maupun kabupaten, sebagai contoh KOPTI yang terdapat di kabupaten Bogor, KOPTI kota Bogor, KOPTI kota Bandung dan KOPTI lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. KOPTI tersebut menghimpun pengusaha dan pengrajin tempe dan tahu pada wilayahnya masing-masing dan memberikan kemudahan untuk distribusi kedelai dan berbagai kebutuhan lainnya bagi anggota KOPTI.
61
c) Dewan Kedelai Indonesia Dewan Kedelai bertugas sebagai lembaga yang memberikan saran dan pertimbangan
kepada
presiden
dalam
merumuskan
kebijakan
ke
arah
pengembangan sistem dan usaha agribisnis kedelai yang efektif dan efisien. Dewan kedelai sendiri baru didirikan pada tahun 2009. Adanya Dewan Kedelai ini diharapkan mampu mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia sehingga dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia semakin meningkat. d) Lembaga Pendidikan Lembaga pendidikan mampu menghasilkan informasi-informasi yang berkaitan dengan agribisnis kedelai melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi memberikan kontribusinya melalui informasi-informasi berupa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna bagi pengembangan agribisnis kedelai lokal. Seperti yang dilakukan oleh perguruan tinggi Universitas Hasanuddin yang berkontribusi dalam pembangunan pertanian kawasan Indonesia Timur. Kontribusi tersebut ditunjukkan diantaranya dengan menghasilkan inovasi teknologi melalui beberapa kegiatan diantaranya alih teknologi melalui Sekolah Lapang (SL) yang berbasis teknologi, teknologi produksi benih/bibit sumber, kemitraan dengan industri benih dan produksi pupuk cair organik (rumah kompos). Selain itu kontribusi lainnya dilakukan oleh Fakultas Pertanian UGM yang bekerjasama dengan PT Unilever untuk mengembangkan kedelai hitam lokal. Tim peneliti Fakultas Pertanian UGM akhirnya menghasilkan varietas unggul dari seleksi tanaman asal Bantul, Yogyakarta, yang dinamai Mallika9. e) Sumberdaya IPTEK lainnya Sumberdaya IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti jurnal-jurnal penelitian, surat kabar atau majalah agribisnis, media elektronik berupa internet, dan media penyedia informasi lainnya. Keragaman dan kelengkapan sumberdaya IPTEK diharapkan dapat mendukung agribisnis kedelai lokal dalam menerapkan teknologi-teknologi yang tepat guna. Penerapan 9
Faiz Faza. Produksi Kedele Masih Memble. 2007. http: //www.agrina online.com /show_article. php?rid =7&aid=1113 [diakses 28 April 2011]
62
teknologi yang tepat guna dalam agribisnis kedelai diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pengembangan kedelai lokal di Indonesia. Sumberdaya IPTEK yang ada saat ini menjadi satu faktor yang mendukung dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. 4) Sumberdaya Modal Sumberdaya modal merupakan faktor penting dalam agribisnis kedelai lokal yang digunakan petani untuk memulai atau mengembangkan usaha. Permodalan bagi usahatani kedelai lokal berasal dari dua sumber yaitu modal sendiri dan modal yang berasal dari pinjaman. Peran pemerintah dalam permodalan sangat besar, untuk itu pemerintah memberikan berbagai bantuan dalam perolehan modal seperti subsidi pupuk atau BLP (Bantuan Langsung Pupuk), BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul), KUR (Kredit Usaha Rakyat), KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi)10. Hal ini tentunya dapat membantu para petani kedelai lokal yang memiliki keterbatasan terhadap modal karena petani kedelai lokal umumnya merupakan petani kecil. Meskipun pemerintah telah menyediakan KKP-E di bank dan menganggarkan dana untuk subsidi bunga, hal ini tidak sepenuhnya berhasil. Pada kenyataannya di lapangan para petani sulit mendapakan KKP-E. Melalui Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), para petani mengajukan pinjaman ke bank untuk mendapatkan KKP-E, namun pihak bank tetap meminta jaminan dari para petani. Hal yang sama juga terjadi pada pencairan KUR yang bunganya sudah diturunkan. Dalam hal ini pihak bank meminta petani untuk menyediakan jaminan dan mendapatkan pendampingan serta bimbingan teknis dari Kementerian Pertanian. Bagi petani yang tidak memiliki agunan tentu saja pinjaman melalui KKP-E maupun KUR sulit untuk diperoleh. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya permodalan bagi para petani kedelai. 5) Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mendukung agribisnis kedelai lokal antara lain transportasi/jalan, pasar, dan alat telekomunikasi. Pada usaha pertanian kedelai, infrastruktur kedelai pada lahan sawah lebih baik bila dibandingkan pada 10
Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Sub Bidang Kedelai sekaligus perwakilan Dewan Kedelai Ir. Kasmin Nadaek, MM [ 21 Maret 2011]
63
infrastruktur pada lahan kering. Sumberdaya infrastruktur pada tiap daerah pengembangan kedelai berbeda-beda. Sebagai contoh pada penanaman kedelai lokal di daerah Grobogan, Jawa Tengah yang sebagian lahannya berupa lahan sawah dan dilengkapi dengan saluran irigasi yang mendukung. Ketersediaan infrastruktur ini tentunya akan mempermudah petani dalam melakukan kegiatan agribisnis kedelai lokal. Sedangkan pada daerah Sumatra Utara, sebagian usaha pertanian termasuk kedelai masih mengandalkan tadah hujan dan infrastruktur berupa irigasi masih kurang11. Selain itu semenjak bencana tsunami di Sumatra utara dan Aceh banyak infrastruktur di daerah Aceh dan Sumatera Utara yang telah rusak seperti jalan, pasar, telekomunikasi. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi pengembangan kedelai di Sumut dan Aceh. 6.1.2. Kondisi Permintaan Dalam upaya peningkatan dayasaing agribisnis kedelai lokal Indonesia kondisi permintaan merupakan faktor penting untuk diperhitungkan. Kondisi permintaan akan dijelaskan melalui tiga faktor yaitu komposisi permintaan domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan, serta internasionalisasi permintaan domestik. 1) Komposisi Permintaan Domestik Komposisi permintaan domestik untuk komoditas kedelai diberikan dalam bentuk bahan pangan dan non pangan. Sebagian besar permintaan kedelai digunakan untuk pemakaian bahan makanan sebesar 78,73 persen sedangkan untuk pemakaian bahan non pangan seperti pakan sebesar 0,36 persen, bibit sebesar 1,43 persen, dan pemakaian untuk diolah menjadi manufaktur sebesar 14,47 persen. Sedangkan terdapat 5,01 persen kedelai yang tercecer.
11
Anonim. 2009. Infrastruktur Pengembangan Kedelai yang Rusak di Sumatera Utara. http: //www.google.co.id/#hl=id&biw=1024&bih=382&q=infrastruktur+pengembangan+kedelai+ya ng+rusak+di+daerah+sentra+kedelai+di+sumatra+utara [diakses 25 Maret 2011]
64
Gambar 11. Persentase Permintaan Kedelai Berdasarkan Penggunaannya Sumber: Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian 2009 [diolah]
2) Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Berdasarkan data Ditjentan (2009) dalam Zakaria AK (2010), konsumsi kedelai cenderung berfluktuasi tergantung ketersediaan dalam negeri. Pada tahun 1970 hingga tahun 1992 konsumsi kedelai mengalami peningkatan. Sejak tahun 1970 hingga tahun 2009 konsumsi kedelai cenderung meningkat. Dimana konsumsi kedelai mengalami puncaknya pada tahun 1992 sebesar 2,56 juta ton. Kebutuhan kedelai dalam negeri selalu mengalami defisit yang cenderung meningkat yaitu dari 0,17 juta ton pada tahun 1976 menjadi 1,03 juta ton pada tahun 2006. Puncak defisit terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 1,37 juta ton dan tahun 2007 sebesar 1,41 juta ton dan tahun 2008 sebesar 1,16 juta ton. Defisit konsumsi ini menandakan bahwa produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi banyaknya permintaan kedelai. Tingginya permintaan kedelai di Indonesia disebabkan karena kedelai merupakan komoditi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pakan ternak.
65
Gambar 12. Produksi dan Konsumsi Kedelai dari tahun 1970-2009 Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2009) dalam Zakaria AK (2010)
3) Internasionalisasi Permintaan Domestik Internasionalisasi permintaan domestik terjadi pada produk tempe yang telah menjadi makanan sehari-hari bangsa Indonesia. Tempe yang mulanya hanya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia kini dikonsumsi oleh negara-negara lain seperti Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa. Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda. Pada tahun 1895, Prinsen Geerlings (ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda) melakukan usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe. Perusahaan-perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran dari Indonesia. Pada tahun 1984 sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang12. Contoh lainnya yaitu warga negara Indonesia yang berasal dari Grobogan yang pindah ke Jepang dan menjadi pengusaha tempe di Jepang. Ia mempopulerkan tempe sebagai makanan asli Indonesia. Kini tempe banyak dipromosikan melalui berbagai media di Jepang. Sebagai contoh buku yang mengupas tentang tempe, diantaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan 12
Ali Warto. 2009. Esuk Dele Sore Tempe. http: //djomomangunkaryo.wordpress.Com /2009/10/ 04 / esuk-dele-sore-tempe/ [diakses 15 April 2011]
66
uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa. Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi. Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe tempura tempe dan burger tempe13. Untuk burger tempe sendiri Jepang telah memberikan hak paten pada pengolahannya. Meskipun begitu tempe tetap dikenal di dunia sebagai makanan asli Indonesia. Para imigran yang berasal dari Indonesia ini memperkenalkan produk dalam negeri berupa tempe ke mancanegara sehingga tempe semakin dikenal dunia dan dikonsumsi oleh masyarakat dunia. 6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri terkait merupakan industri yang berada dalam sistem komoditas secara vertikal. Sedangkan industri pendukung merupakan industri yang memberikan kontribusi tidak langsung dalam sistem komoditas secara vertikal. 1. Industri Terkait a) Industri Pemasok Bahan Baku Kemampuan industri pemasok bahan baku dalam menyediakan input produksi seperti benih, pupuk dan alat serta mesin pertanian sangat mempengaruhi perkembangan agribisnis kedelai lokal. Industri sarana produksi khususnya industri perbenihan mempunyai peran yang strategis dalam agribisnis kedelai. Ketersediaan benih sangat menentukan kelangsungan kegiatan budidaya kedelai lokal. Penyediaan benih kedelai saat ini diproduksi oleh produsen benih, seperti Balai Benih Provinsi, Balai Benih Kabupaten, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), perusahaan benih BUMN, swasta atau penangkar. Beberapa perusahaan benih yang cukup besar yaitu PT Sang Hyang Seri, PT Pertani. Di Indonesia industri perbenihan masih sulit berkembang, karena dibandingkan 13
Rustono. 2010. King of Tempe Jepang dari Grobogan http: //kradenangrobogan. wordpress. Com/2010/ 07/20/rustono-king-of-tempe-jepang-dari-grobogan/ [diakses 15 April 2011]
67
dengan benih padi dan jagung, harga benih kedelai relatif murah namun proses produksinya lebih sulit. Selain itu banyak petani yang belum menyadari pentingnya sertifikasi benih dalam pengadaan benih kedelai lokal. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sulit berkembangnya sistem penangkaran dan industri benih kedelai. Hingga saat ini produksi benih kedelai yang digunakan petani berlangsung melalui sistem Jalur Benih Antar Lapang dan Musim atau lebih populer disebut Jabalsim. Produsen atau sumber benih adalah penangkar berskala usaha kecil yang jumlahnya masih terbatas dan petani yang menanam kedelai untuk tujuan konsumsi. b) Industri Jasa Tataniaga Industri jasa tataniaga merupakan lembaga-lembaga yang menjadi perantara pemasaran. Pihak-pihak yang terlibat dalam industri pemasaran kedelai lokal diantaranya petani, pengumpul, pedagang besar/grosir, KOPTI, pedagang kecil/pengecer, konsumen. Pemasaran hasil kedelai oleh petani, pada umumnya dijual secara langsung kepada pedagang. Petani yang menjual kedelai secara berkelompok masih terbatas sehingga harga jual petani sangat ditentukan oleh pedagang dan posisi tawar petani kedelai lokal masih lemah. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kedelai di Indonesia mulai dari daerah sentra produksi kedelai lokal hingga ke industri pengolahan dipasarkan melalui pedagang pengumpul di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi hingga sampai ke konsumen akhir. Kedelai yang diproduksi oleh petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul baik di tingkat desa, kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Kedelai yang beredar dipasaran sebagian besar kedelai berasal dari impor dan sisanya berasal dari kedelai lokal. Kedelai yang telah berada di tingkat pedagang pengumpul kemudian dijual ke pedagang grosir setelah itu dijual lagi baik ke pengecer maupun ke KOPTI dan selanjutnya ke pengolah dan konsumen akhir. Sedangkan kedelai yang berasal dari impor umumnya dibeli oleh koperasi pengrajin tahu dan tempe (KOPTI), selanjutnya dipasarkan ke pengrajin tahu dan tempe hingga sampai ke konsumen.
68
c) Industri Pengolahan Pengolahan kedelai sangat penting dilakukan guna menciptakan nilai tambah kedelai itu sendiri, meningkatkan permintaan dan meningkatkan daya tahan kedelai. Berkembangnya industri pengolahan mampu menciptakan diversifikasi konsumsi, membagi pendapatan dan meningkatkan devisa serta mampu menyerap tenaga kerja. Berbagai industri pengolahan kedelai yang paling banyak dilakukan adalah industri pengolahan makanan berupa tempe dan tahu, selain itu terdapat juga industri olahan lainnya seperti kosmetik dan obat-obatan. Karakter industri pengolahan pangan dari kedelai di Indonesia yaitu sebagian besar berproduksi dalam skala kecil atau rumah tangga dan semua proses pengolahannya diawali dengan perendaman yang membutuhkan banyak air (Suryana et al 2005). Menurut Sarwoto (2004), sekitar 57 persen kedelai di Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, 38 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya dalam bentuk kecap, tauco, kembang tahu, dan lain-lain. Hal ini membuktikan sebagian besar kedelai dipergunakan untuk industri pengolahan kedelai yaitu pembuatan tempe dan tahu. Industri pengolahan kedelai di Indonesia menggunakan kedelai sebagai bahan bakunya baik yang berasal dari impor maupun kedelai lokal. Kandungan protein kedelai lokal lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai impor, sehingga jika diolah untuk tahu, maka rendemen lebih banyak dihasilkan dari kedelai lokal dan memiliki cita rasa yang khas. Kedelai impor memiliki ukuran biji besar, seragam dan kadar airnya rendah, sehingga lebih disukai industri tempe karena volume bijinya yang mengembang lebih banyak dan bobot tempe yang diperoleh lebih banyak. Untuk industri kecap, biji kedelai hitam lokal lebih disukai daripada kedelai impor karena memiliki cita rasa khas dan kecap yang dihasilkan lebih gurih (Handayani 2007). Industri pengolahan kedelai tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan sebagian besar berproduksi dalam skala industri kecil dan rumah tangga. Untuk itulah besarnya permintaan kedelai dalam bentuk olahan membuat industri pengolahan kedelai semakin berkembang. Dalam industri pengolahan kedelai, permasalahan yang kerap kali dihadapi diantaranya sulitnya ketersediaan bahan
69
baku lokal dalam segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Berikut ini dapat dilihat banyaknya perusahaan serta penyebaran produk olahan kedelai di Indonesia pada Lampiran 4. 2. Industri Pendukung Industri pendukung dalam agribisnis kedelai diantaranya industri perbankan sebagai lembaga yang mendukung permodalan petani kedelai. Dalam hal ini bank memberikan dukungan permodalan dalam bentukan pinjaman kredit usahatani kedelai. Selain itu terdapat industri lain yang mendukung agribisnis kedelai lokal di Indonesia yaitu industri pengemasan. Industri pengemasan mendukung kegiatan agribisnis kedelai melalui kemasan-kemasan yang digunakan untuk mengemas olahan kedelai seperti susu kedelai, ataupun snack yang berbahan dasar kedelai. 6.1.4. Struktur, Persaingan dan Strategi Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Dayasaing antar unit-unit perusahaan yang terdapat dalam suatu industri didukung oleh faktor persaingan yang ada pada industri tersebut. Persaingan dalam suatu industri memberikan pengaruh terhadap bentuk struktur industri tersebut dan setiap perusahaan menentukan strategi yang dapat dilakukan untuk dapat bersaing dalam industri tersebut. 1) Struktur Struktur pasar kedelai di Indonesia pada masa orde baru adalah pasar monopoli yang dikendalikan BULOG. Namun pasar kedelai di Indonesia yang tadinya dikendalikan oleh BULOG kini berubah menjadi perdagangan bebas terhitung semenjak kabinet reformasi memimpin. Saat ini, struktur pasar yang dihadapi oleh kedelai impor adalah struktur pasar oligopoli. Pasar oligopoli adalah suatu bentuk pasar dimana terdapat salah satu atau beberapa penjual yang bertindak sebagai pemilik pangsa pasar terbesar. Hal ini ditunjukan dengan adanya produsen-produsen kedelai impor (importir) yang menguasai pasar kedelai dalam negeri. Dalam hal ini terdapat empat importir besar yang menguasai pasar kedelai di Indonesia. Derasnya arus impor kedelai di Indonesia serta struktur pasar oligopoli yang dikuasai oleh para importir kedelai membuat produsen kedelai lokal semakin terhimpit dan sulit untuk memperoleh
70
pasar yang menguntungkan karena pasar kedelai dalam negeri dikuasai oleh para importir kedelai. Hal ini semakin mempersulit posisi kedelai lokal untuk meningkatkan dayasaingnya. Sedangkan untuk kedelai lokal sendiri struktur pasar yang terjadi adalah oligopsoni. Pasar oligopsoni adalah kondisi pasar dimana terdapat beberapa pembeli, dimana masing-masing pembeli memiliki peranan cukup besar untuk mempengaruhi harga. Dalam hal ini kedudukan atau posisi petani tawar petani sebagai penjual cenderung masih lemah dan tidak punya kekuatan untuk bernegosiasi dengan para pedagang/pengumpul. 2) Persaingan Saat ini kedelai lokal menghadapi persaingan dengan kedelai impor. Kedelai yang beredar dipasaran sebagian besar didominasi oleh kedelai impor. Kualitas kedelai impor dinilai lebih baik dari kedelai lokal khususnya bagi pengusaha tempe. Meskipun telah tersedia benih-benih unggul yang dapat menghasilkan kedelai lokal dengan kualitas baik namun pada kenyataannya banyak petani kedelai lokal yang belum menggunakan benih unggulan tersebut. Berbagai faktor seperti mahalnya benih unggul bermutu dan ketersediaan benih unggul bermutu yang sulit didapat membuat petani tidak menggunakan benih unggul bermutu. Hal inilah yang membuat kedelai lokal yang banyak beredar dipasaran lebih rendah kualitasnya dibandingkan dengan kedelai impor karena para petani kedelai lokal banyak yang menggunakan benih asalan. Selain itu harga kedelai impor cenderung lebih murah bila dibandingkan dengan kedelai lokal sehingga konsumen banyak menggunakan kedelai impor. Diberlakukannya tarif impor kedelai sebesar nol persen membuat impor kedelai semakin sulit dibendung. Terlebih lagi dengan adanya kredit lunak tanpa bunga selama enam bulan yang diberikan Amerika kepada negara yang bersedia mengimpor kedelai mereka. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor kedelai Amerika yang mendapat bantuan kredit. Hal ini membuat kedelai impor semakin banyak masuk ke dalam pasar kedelai dalam negeri sehingga kedelai lokal harus menghadapi persaingan dengan kedelai impor.
71
Selain bersaing dengan kedelai impor, persaingan lahan harus dihadapi kedelai lokal dengan tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Jika pada suatu kondisi menanam jagung dinilai lebih menguntungkan maka petani akan beralih untuk menanam jagung. Lain halnya dengan padi yang penanamannya dinilai lebih menjanjikan. 3) Strategi Pengembangan kedelai lokal di Indonesia hingga saat ini terus ditingkatkan. Tanaman kedelai lokal yang dihasilkan petani saat ini masih banyak dijual dalam bentuk biji. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba meningkatkan nilai tambah kedelai dengan mengolah kedelai lokal menjadi berbagai berbagai produk turunannya seperti tempe, tahu, kecap, oncom, tepung kedelai dan berbagai olahan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar keuntungan yang diperoleh produsen semakin meningkat. Upaya peningkatan nilai tambah bagi komoditas kedelai dilakukan oleh beberapa produsen seperti yang dilakukan oleh produsen di Bojonegoro yang membuat tahu dengan bahan dasar kedelai lokal. Contoh lain adalah produsen di Bogor, Bojonegoro dan Cirebon yang menggunakan kedelai lokal untuk pembuatan kecap yang rasanya dinilai lebih gurih jika menggunakan kedelai lokal. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengembangan kedelai lokal di Indonesia adalah dengan melakukan promosi. Pada pelaksanaannya promosi dan publikasi dilakukan melalui berbagai pihak seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Seperti yang dilakukan oleh Puslitbang dalam periode 2005-2009, dimana Puslitbang telah meluncurkan 75 publikasi hasil penelitian dalam bentuk jurnal ilmiah primer, buletin teknik, prosiding seminar, buku, buku saku, berita (news), laporan tahunan penelitian, lefleat, booklet dan CD. Publikasi tersebut didistribusikan ke berbagai institusi antara lain Balai Pengkajan Teknologi Pertanian (BPTP), Dinas Pertanian, Perguruan Tinggi dan Lembaga penyuluhan. Selain itu promosi dan publikasi juga dilakukan dalam bentuk workshop, seminar, simposium dan pameran atau ekspose.
72
6.1.5. Peran Pemerintah Peran pemerintah dalam pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia sangat besar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya program-program serta kebijakan-kebijakan baik secara langsung maupun secara tidak langsung berkaitan dengan agribisnis kedelai di Indonesia yang dilakukan melalui Departemen Pertanian, Dinas Pertanian provinsi dan kabupaten serta berbagai pihak lainnya. Upaya pemerintah untuk mengembangkan kedelai lokal di Indonesia dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir dengan mengintegrasikan berbagai pihak dan instansi terkait agar agribisnis kedelai lokal dapat berkembang. Upaya pemerintah untuk mendukung pengembangan kedelai lokal dilakukan dengan membuat kebijakan intensif pengembangan produksi kedelai dengan mengacu pada Sasaran Strategis Departemen Pertanian 2010-2014, yaitu : (1) Peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan; (2) Ketahanan pangan dan gizi (3) Peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor; (4) Peningkatan pendapatan petani. Intensif yang diterima petani terdiri atas dua komponen utama yaitu subsidi sarana produksi (seperti pupuk, benih, kredit, dan mekanisasi pertanian) dan perlindungan harga hasil produksi berupa tarif dan jaminan harga (Sejati et al 2009). Peran pemerintah lainnya diimplementasikan dalam bentuk dijalankannya program SLPTT (Sekolah Lapang Pegelolaan Tanaman Terpadu) yang dibuat pemerintah untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. SLPTT merupakan Sekolah Lapang bagi petani dalam menerapkan teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Pada program ini pemerintah menggulirkan berbagai bantuan untuk menunjang terlaksananya program ini. Bantuan tersebut berupa bantuan kredit seperti KUR dan KKP-E, BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) dan BLP (Bantuan Langsung Pupuk) bagi peserta program SL-PTT.
73
6.1.6. Kesempatan Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali petani, pemerintah dan pengusaha namun dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Sektor pertanian kini menghadapi tantangan baru dari persoalan krisis energi global. Menjulangnya harga minyak global mendorong pencarian sumber energi alternatif pengganti minyak bumi. Kenyataan bahwa minyak bumi sebagai sumber energi yang berasal dari fosil dan banyak digunakan oleh manusia ini, suatu saat akan habis. Hal ini membuat tren biofuel sebagai sumber energi alternatif yang berasal dari tumbuhan, muncul ke permukaan. Krisis energi (kenaikan BBM) merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat diabaikan karena kenaikan BBM merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Manakala harga BBM naik diatas $ 100/barel, negara maju seperti Amerika Serikat dan UE sebagai negara produsen penting komoditas pangan dunia mengubah kebijakannya. Amerika Serikat mensubsidi besar-besaran untuk tanaman (jagung) sebagai bahan baku etanol. Akibatnya terjadilah peralihan areal dari tanaman gandum dan kedelai menjadi areal tanaman jagung. Pada tahun 2008 misalnya, diperkirakan 30 persen produksi jagung di Amerika Serikat telah beralih ke etanol, sebelumnya digunakan untuk pangan dan pakan. Padahal Amerika Serikat menyumbang sekitar 37,51 persen produksi kedelai dunia, dan sekitar 26 persen produksi gandum dunia. Uni Eropa juga mengalihkan sejumlah pangan, terutama kanola dan kedelai untuk bahan baku biodiesel dan gandum untuk etanol (Sawit 2003). Adanya tren penggunaan biofuel sebagai sumber energi alternatif ini merupakan faktor kesempatan karena jika sebagian besar negara produsen kedelai mengkonversi lahan kedelainya menjadi lahan untuk jagung sebagai bahan pembuatan etanol atau menggunakan kedelai sebagai bahan untuk pembuatan biodiesel, maka produksi kedelai sebagai kebutuhan pangan akan semakin sedikit, hal ini tentunya akan mengurangi
pasokan kedelai dunia sebagai kebutuhan
pangan. Berkurangnya pasokan kedelai dunia akan membuat harga kedelai dunia meningkat. Meningkatnya harga kedelai impor akan meningkatkan harga kedelai lokal di pasar dalam negeri. Hal ini akan meningkatkan gairah petani untuk menanam kedelai lokal karena harga kedelai tinggi di pasaran.
74
6.2. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System Setelah kita menganalisis sistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia dengan menggunakan Porter’s Diamond System maka akan terlihat keterkaitan antara komponen utama dan komponen penunjang. Keterkaitan antar komponen tersebut ada yang bersifat saling mendukung maupun tidak saling mendukung. Keterkaitan antar komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Keterkaitan Antar Komponen Utama No
Komponen A
Komponen B
Keterkaitan Antar Keterangan Komponen Saling • Hasil-hasil penelitian yang merupakan sumber mendukung daya IPTEK mendukung strategi promosi dan publikasi yang dilakukan untuk pengembangan kedelai lokal • Strategi promosi seperti dibuatnya jurnal ilmiah, buletin buku, seminar, simposium yang banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Tidak saling • Kondisi faktor sumberdaya yang belum mendukung mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri • Banyak industri terkait dan industri pendukung menggunakan kedelai impor Saling • Tingginya permintaan kedelai dalam bentuk mendukung olahan membuat berkembangnya industri pengolahan kedelai di dalam negeri • Adanya promosi yang dilakukan industri terkait dan industri pendukung untuk meningkatkan permintaan produk mereka Tidak saling • Industri terkait dan industri pendukung mendukung mengimpor bahan baku dari negara lain sehingga kedelai lokal tersaingi • Struktur pasar oligopoli membuat industri terkait dan pendukung kesulitan karena harga kedelai impor ditentukan oleh importir
1.
Persaingan, Struktur dan Strategi
Kondisi faktor Sumberdaya
2.
Kondisi faktor Sumberdaya
Industri terkait dan industri pendukung
3.
Kondisi Permintaan
Industri terkait dan industri pendukung
4.
Industri terkait dan industri pendukung
Persaingan, struktur dan strategi
5.
Kondisi permintaan
Persaingan, struktur dan strategi
Tidak saling mendukung
• Tingginya permintaan kedelai membuat kedelai impor semakin deras masuk sehingga kedelai lokal tersaingi oleh kedelai impor • Strategi yang diterapkan belum mampu membuat konsumsi kedelai lokal meningkat, karena tingginya permintaan sebagian besar didominasi oleh kedelai impor
6.
Kondisi faktor sumberdaya
Kondisi faktor permintaan
Tidak saling mendukung
• Kondisi faktor sumberdaya belum mampu memenuhi kebutuhan domestik • Kondisi permintaan sebagian besar bergantung pada kedelai impor
75
Penjelasan dari Tabel 9 mengenai keterkaitan antar komponen utama pada Porter’s Diamond System sebagai berikut: 1) Persaingan, struktur dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada komponen persaingan, struktur, strategi dengan komponen faktor sumberdaya. Hal ini terlihat pada strategi promosi yang banyak dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Sedangkan untuk faktor sumberdaya sendiri seperti sumberdaya IPTEK telah banyak menghasilkan berbagai hasil penelitian yang mampu mendukung kegiatan promosi dan publikasi. Berbagai penelitian tersebut dihasilkan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Promosi yang ada dapat berupa jurnal ilmiah, buletin buku, seminar, simposium dan lainlain dan digunakan untuk membantu pengembangan kedelai lokal di Indonesia. 2) Kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung Keterkaitan yang tidak saling mendukung terdapat pada komponen kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini dikarenakan karena sumberdaya yang ada belum mampu memasok bahan baku industri yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri terkait dan industri pendukung. Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri tidak mendukung faktor sumberdaya karena sebagian besar industri terkait dan industri pendukung membeli pasokan bahan baku kedelai dari luar negeri. 3) Kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada kondisi permintaan domestik dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan kedelai dalam bentuk olahan seperti tahu dan tempe membuat berkembangnya industri pengolahan kedelai di dalam negeri. Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri mendukung kondisi permintaan domestik. Hal ini terlihat dengan adanya promosi yang dilakukan industri terkait dan industri pendukung untuk meningkatkan permintaan produk mereka yang berbahan baku kedelai.
76
4) Industri terkait dan industri pendukung dengan persaingan, struktur dan strategi Keterkaitan yang saling tidak mendukung lainnya juga terjadi pada komponen industri terkait dan industri pendukung dengan persaingan, struktur dan strategi. Hal ini terjadi karena industri terkait dan industri pendukung mengimpor kedelai dari luar. Sehingga kedelai lokal tersaingi dengan adanya kedelai impor. Selain itu struktur pasar kedelai impor yang oligopoli membuat industri
terkait
dan
industri
pendukung
mengalami
kesulitan
dalam
mempertahankan usahanya. Karena pasar kedelai didominasi oleh para importir yang kerap kali mengendalikan harga kedelai impor. Terlihat jelas bahwa keterkaitan antara komponen industri terkait dan industri pendukung dengan komponen struktur pasar tidak saling mendukung. 5) Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur dan strategi Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur dan strategi memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Tingginya permintaan kedelai membuat kedelai impor semakin deras masuk sehingga kedelai lokal tersaingi oleh kedelai impor. Hal ini terjadi karena tingginya permintaan kedelai sebagian besar ditujukan untuk pembuatan tempe dimana para pengusahanya sebagian besar menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku. Hal ini membuat kedelai lokal tersaingi oleh kedelai impor. Selain itu, strategi yang ada belum mendukung kondisi permintaan domestik. Strategi yang ada belum mampu membuat konsumsi kedelai lokal meningkat, karena tingginya permintaan sebagian besar ditujukan untuk kedelai impor. 6) Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi faktor permintaan Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi faktor permintaan memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini terlihat pada kondisi faktor sumberdaya yang belum mampu memenuhi kebutuhan domestik. Kondisi permintaan kedelai dalam negeri yang tinggi tidak mendukung faktor sumberdaya. Karena permintaan kedelai sebagian besar ditujukan untuk kedelai impor. Kondisi permintaan sebagian besar bergantung pada kedelai impor.
77
6.3. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama Selain keterkaitan antar komponen utama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Terdapat pula keterkaitan antara komponen penunjang dengan komponen utama. Keterkaitan antara komponen penunjang dengan komponen utama akan dijelaskan pada Tabel 10. Tabel 10. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama No
Komponen Penunjang
Komponen Utama
1. Peranan • Kondisi faktor pemerintah sumberdaya • Industri terkait dan industri pendukung • Kondisi permintaan • Persaingan, struktur dan strategi 2. Peranan • Kondisi faktor Kesempatan sumberdaya
• Industri terkait dan industri pendukung
• Kondisi permintaan
• Persaingan, struktur dan strategi
Keterkaitan Antar Keterangan Komponen Mendukung • Pemerintah memberikan bantuan bagi kegiatan usahatani Mendukung • Penyediaan dan pendistribusian benih serta pemberlakuan tarif impor nol Mendukung persen Mendukung • Dibuatnya program swasembada kedelai • Dukungan terhadap program promosi dan publikasi Mendukung • Peningkatan harga kedelai dunia karena peralihan lahan kedelai di negara produsen kedelai di dunia akan meningkatkan kinerja petani kedelai lokal agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga. Mendukung • Pengalihan lahan kedelai pada negaranegara produsen kedelai dunia akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia sehingga membuat industri terkait dan pendukung menggunakan kedelai dalam negeri Mendukung • Pengalihan lahan kedelai pada negaranegara produsen kedelai dunia akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia hal ini akan meningkatkan permintaan domestik terhadap kedelai lokal Mendukung • Adanya kesempatan bagi kedelai lokal untuk merebut pasar kedelai karena ketersediaan kedelai impor yang semakin berkurang karena pengalihan lahan kedelai di Amerika
1) Peran pemerintah mendukung semua komponen utama Pemerintah sangat berperan dalam mendukung setiap komponen dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Dukungan pemerintah terhadap kondisi faktor sumberdaya ditunjukkan dengan dibuatnya program pencapaian swasembada kedelai melalui program SLPTT serta bantuan pembiayaan berupa bantuan kredit yang disalurkan melalui lembaga perbankan untuk pengembangan
78
agribisnis kedelai lokal. Selain itu pemerintah juga berperan sebagai pendukung dan penyalur benih bagi petani. Pemerintah juga berperan bagi sektor industri terkait dan industri pendukung. Pemberlakuan tarif nol persen bagi petani kedelai lokal memang merugikan. Namun kondisi sebaliknya terjadi pada industri pengolahan kedelai yang sebagian besar menggunakan kedelai impor. Berlakunya tarif tersebut menguntungkan industri pengolahan kedelai karena pasokan kedelai impor yang mereka butuhkan lebih murah. Pada kondisi permintaan, pemerintah sendiri memberi dukungan yaitu dengan membuat program swasembada kedelai 2014. Diharapkan dengan dibuatnya program ini maka produksi kedelai lokal dapat meningkat sehingga permintaan kedelai nasional dapat terpenuhi. Selain itu pemerintah juga memberikan dukungan bagi komponen persaingan, struktur dan strategi berupa dukungan bagi kegiatan promosi dan publikasi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia berupa buku, seminar dan lain-lain. 2) Peran kesempatan mendukung seluruh komponen utama Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond dapat diketahui komponen penunjang yaitu peranan kesempatan memiliki keterkaitan yang saling mendukung dengan seluruh komponen utama. Peran kesempatan mendukung komponen sumberdaya yaitu, peningkatan harga kedelai dunia karena peralihan lahan kedelai di negara produsen kedelai di dunia akan meningkatkan kinerja petani kedelai lokal agar dapat memperoleh kesempatan peningkatan harga. Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung peran kesempatan juga mendukungnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengalihan lahan kedelai pada negara-negara produsen kedelai dunia yang akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia. Hal ini merupakan kesempatan untuk membuat industri terkait dan pendukung menggunakan kedelai dalam negeri. Selain itu peran kesempatan mendukung kondisi permintaan. Adanya pengalihan lahan kedelai pada negaranegara produsen kedelai dunia akan mengurangi ketersediaan kedelai dunia hal ini akan meningkatkan permintaan domestik terhadap kedelai lokal. Peran kesempatan juga mendukung kondisi persaingan, struktur dan strategi. Adanya kesempatan bagi kedelai lokal untuk merebut pasar kedelai karena ketersediaan kedelai impor yang semakin berkurang karena pengalihan lahan kedelai di Amerika.
79
Peranan Kesempatan: 1. Prospek pasar yang besar 2. Krisis Energi
Persaingan, Struktur, dan Strategi perusahaan 1. Persaingan dengan kedelai impor 2. Struktur pasar kedelai impor berbentuk oligopoli dan struktur pasar kedelai lokal berbentuk oligopsoni 3. Strategi yang dilakukan berupa sosialisasi dan publikasi Kondisi Permintaan Domestik 1. Komposisi permintaan domestik: Bahan makanan, pakan, bibit, industri manufaktur, tercecer 2. Besar dan pola pertumbuhan permintaan domestik: Pola pertumbuhan permintaan fluktuatif namun permintaan tetap tinggi
Kondisi Faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya alam 2. Sumberdaya manusia 3. Sumberdaya IPTEK 4. Sumberdaya modal 5. Sumberdaya infrastruktur
Industri Terkait dan Pendukung 1. Industri terkait: Industri pemasok, dan industri jasa tataniaga 2. Industri pendukung: Industri pengolahan dan industri perbankan Keterangan : Garis Garis
Peranan Pemerintah: 1. Pembiayaan 2. Penyediaan benih 3. Upaya mewujudkan swasembada kedelai 4. Strategi promosi
menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung menunjukkan keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung
Gambar 13. Keterkaitan Antar Komponen Porter’s Diamond System
80
Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Namun dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia tersebut sangat didukung oleh komponen pendukungnya. Pada komponen peranan pemerintah ternyata kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah terhadap agribisnis kedelai lokal di Indonesia telah mendukung seluruh komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Begitu juga dengan komponen kesempatan yang memberikan dukungan terhadap seluruh komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya peranan pemerintah dan kesempatan akan mampu meningkatkan posisi dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesarbesarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut.
81
VII STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN DAYASAING AGRIBISNIS KEDELAI LOKAL DI INDONESIA 7.1 Analisis SWOT Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal Setelah dilakukannya analisis terhadap sistem agribisnis kedelai lokal serta dayasaing agribisnis kedelai lokal dengan menggunakan Sistem Berlian Porter sebagai alat analisisnya, kita dapat mengetahui bagaimana sistem agribisnis dan dayasaing kedelai lokal saat ini. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa agribisnis kedelai lokal belum terintegrasi dan berkembang dengan baik. Selain itu, kondisi dayasaing kedelai lokal saat ini masih lemah. Hal ini terlihat dari banyaknya komponen-komponen yang tidak saling mendukung. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan suatu strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal untuk meningkatkan dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Strategi pengembangan kedelai lokal di Indonesia disusun dengan menggunakan alat analisis SWOT. SWOT digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki agribisnis kedelai lokal yang diperoleh dari hasil analisis dayasaing kedelai lokal dengan menggunakan Teori Berlian Porter pada bab sebelumnya. 7.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Berdasarkan Gambaran Umum dan Komponen Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Identifikasi faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang diperoleh berdasarkan uraian dari gambaran umum agribisnis kedelai lokal di Indonesia dan analisis dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia pada Bab sebelumnya. Faktor kekuatan dan kelemahan diperoleh dari lingkungan internal agribisnis kedelai lokal di Indonesia, dalam hal ini yang termasuk ke dalam lingkungan internal adalah subsistem hulu, subsistem on farm, subsistem hilir kedelai. Sementara faktor peluang dan ancaman diperoleh dari lingkungan eksternal yang terdiri dari subsistem jasa penunjang serta lingkungan luar yang berada di luar lingkup agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Penjelasan lebih lanjut mengenai identifikasi faktor-faktor tersebut ditunjukan oleh Tabel 11.
82
Tabel 11. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam Sistem Agribisnis Kedelai di Indonesia Identifikasi SWOT
Komponen
Keterangan
Agribisnis Kedelai di Indonesia
• Kekuatan • Kelemahan
• Kedelai lokal (tropis) memiliki masa panen yang lebih pendek dari kedelai impor (Subtropis) • Memiliki kedelai unggul lokal yang lebih berkualitas daripada kedelai impor • Memiliki benih kedelai yang unggul dan bermutu • Rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri
• Peluang
• Adanya lahan potensial untuk penanaman kedelai di Indonesia
• Kekuatan
Subsistem Hulu
• Kekuatan
Subsistem Usahatani Subsistem Penunjang
• Adanya program SL-PTT • Adanya Kemitraan dengan dengan perusahaan swasta besar untuk pengembangan kedelai lokal • Adanya dukungan kredit perbankan • Peluang • Adanya dukungan D ewan Kedelai • Peluang • Adanya balai benih • Peluang Komponen Dayasaing Agribisnis Kedelai di Indonesia
A. Kondisi faktor Sumberdaya 1. Sumberdaya Alam • Syarat, Kondisi dan Luas Lahan • Aksestabilitas Terhadap Input - Benih - Pupuk • Biaya- biaya terkait • Produktivitas lahan 2. Sumberdaya Manusia 3. Sumberdaya IPTEK • Lembaga Penelitian
• Peluang • Peluang
Kelemahan
Lahan yang digunakan untuk menanam kedelai lokal semakin sedikit
Kelemahan Kelemahan Kekuatan Kekuatan Kelemahan
Banyaknya petani yang tidak menggunakan benih yang dianjurkan Banyak petani yang belum menggunakan pupuk sesuai anjuran Usahatani kedelai lokal cukup layak untuk diusahakan Produktivitas lahan kedelai lokal semakin meningkat Gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun
Peluang
Kelemahan
Banyaknya penelitian pengembangan kedelai lokal yang sudah dilakukan dan diaplikasikan Memberi dukungan bagi agribisnis kedelai lokal Memberikan masukan kebijakan kepada presiden terkait pengembangan kedelai lokal Meningkatkan mutu SDM dan penghasil informasi yang dapat mendukung agribisnis kedelai lokal Penghasil informasi melalui media cetak, website dan lainnya yang dapat mendukung agribisnis kedelai lokal di Indonesia Ketidakmampuan petani kedelai lokal untuk mengakses permodalan Infrastruktur kurang memadai
Peluang
Tingginya permintaan dalam negeri
Peluang
Adanya perluasan pasar baru untuk konsumsi tempe
Kekuatan
Terus mengembangkan berbagai penemuan varietas unggulan kedelai lokal Industri tataniaga yang cenderung merugikan petani Banyaknya usaha pengolahan kedelai yang tersebar hampir di seluruh Indonesia Adanya industri perbankan dan industri pengemasan yang membantu pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia Tingginya volume kedelai impor membuat persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor meningkat Pemerintah sangat mendukung agribisnis kedelai lokal dengan berbagai program dan kegiatan yang dilakukan Diberlakukannya kebijakan impor nol persen Harga kedelai dunia meningkat
• KOPTI • Dewan Kedelai
Peluang Peluang
• Lembaga Pendidikan
Peluang
• Sumber IPTEK Lainnya 4. Sumberdaya Modal 5. Sumberdaya Infrastruktur B. Kondisi Permintaan 1. Kondisi Permintaan Domestik 2. Intenasionalisasi Permintaan Domestik C. Industri terkait dan Industri pendukung 1. Industri Terkait • Industri Pemasok Bahan Baku • Industri Jasa Tataniaga • Industri pengolahan
Peluang Kelemahan
Kelemahan Kekuatan
2. Industri Pendukung
Kekuatan
D. Persaingan,Struktur dan Strategi
Ancaman Peluang
E. Peran Pemerintah F. Peran Kesempatan
Ancaman Peluang
83
7.1.2 Analisis Komponen SWOT Analisis komponen SWOT terdiri dari analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang diperoleh dari analisis sistem agribisnis kedelai lokal pada bab sebelumnya dengan menggunakan Sistem Berlian Porter. Berikut ini akan dijelaskan apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Selanjutnya kita dapat merumuskan strategi untuk mengembangan dan meningkatkan dayasaing kedelai lokal di Indonesia berdasarkan analisis tiap komponen SWOT yang telah dilakukan. 1) Analisis Kekuatan a) Usahatani kedelai lokal layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan secara finansial Usahatani budidaya kedelai layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan secara finansial, tercermin dengan nilai R/C rasio sebesar 2,01 yang artinya untuk setiap biaya yang dikeluarkan petani sebesar satu rupiah maka petani tersebut memperoleh penerimaan sebesar 2,01. Hal ini menunjukan usahatani kedelai lokal layak untuk diusahakan karena nilai R/C rasionya lebih dari satu. Keuntungan finansial dan kelayakan usahatani kedelai ini tentunya menjadi kekuatan dalam pengembangan agribisnis kedelai lokal. b) Kedelai lokal (tropis) memiliki masa panen yang lebih pendek dari kedelai impor (subtropis) Tanaman kedelai di Indonesia umumnya telah berbunga pada umur 25-40 hari, pada saat tinggi tanaman baru mencapai 40-50 cm. Di wilayah subtropis, yang memiliki panjang hari 14-16 jam pada musim semi musim panas, tanaman kedelai baru berbunga setelah berumur 50-70 hari. Umur kedelai di Indonesia sangat genjah, berkisar antara 75-95 hari, sedang umur kedelai di daerah subtropis mencapai 150-160 hari. Hal ini menjadi kekuatan bagi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia karena dengan umur panen kedelai lokal yang lebih pendek dibandingkan kedelai impor, diharapkan mampu menghasilkan kedelai lokal yang lebih banyak dibandingkan dengan kedelai impor yang usia panennya lebih panjang.
84
c) Kualitas kedelai varietas unggul lokal lebih baik dari kedelai impor Menurut (Balitbang 2008), di Indonesia sebagian besar kedelai digunakan untuk pembuatan tempe dan tahu. Bagi pengusaha tempe sendiri lebih menyukai tempe berbiji besar. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan kedelai berbiji besar dengan bobot 14-17 gram/100 biji, mirip kedelai impor dengan bobot ratarata 16 gram/100 biji. Varietas unggul kedelai berbiji besar tersebut diantaranya adalah Anjasmoro, Burangrang, Bromo, dan Argomulyo. Tempe yang dibuat dengan menggunakan ketiga varietas unggul kedelai nasional ini baik bobot, volume yang dimiliki sama dengan tempe yang dibuat dari kedelai impor, bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian telah menghasilkan galur harapan kedelai berbiji hitam dengan kadar protein lebih tinggi (43-44,6 persen bk) dan bobot biji besar (±14 g /100 biji). Kecap manis yang diolah dari galur harapan kedelai berbiji hitam ini berkadar protein relatif lebih tinggi dibanding kedelai berbiji kuning, sedangkan bobot, volume kecap relatif sama. Sedangkan untuk kedelai varietas Argopuro dan Gumitir dengan bobot biji masing-masing 15 gr dan 18 gr per 100 biji memiliki rendemen tempe 18 persen lebih tinggi dari kedelai impor. Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan 12 varietas unggul dan satu galur harapan kedelai dengan kadar protein 40-44 persen bobot kering (bk), rendemen dan tekstur tahunya lebih baik dibanding kedelai impor yang kadar proteinnya hanya 35-37 persen bk. Kadar protein biji kedelai, terutama fraksi globulin, berkorelasi positif dengan bobot dan tekstur tahu, sedangkan bobot atau ukuran biji kedelai relatif tidak mempengaruhi mutu tahu. Beberapa hal diatas menjadikan kualitas kedelai lokal lebih baik dibandingkan dengan kedelai impor. Hal ini menjadi kekuatan kedelai lokal untuk bersaing dengan kedelai impor. Perbedaan kualitas kedelai lokal dan impor dapat dilihat pada Lampiran 5. Selain itu kedelai lokal memiliki varietas unggul yang mampu berproduksi lebih dari 2 ton/ha. Hal ini merupakan kekuatan yang dimiliki kedelai lokal untuk meningkatkan dayasaing dengan kedelai impor. Varietas unggul yang memiliki potensi produksi > 2 ton/ha dapat dilihat pada Lampiran 6.
85
d) Banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai Seiring dengan besarnya konsumsi kedelai maka industri pengolahan berbahan baku kedelai juga semakin berkembang. Pada Lampiran 4, terlihat banyaknya perusahaan pengolahan kedelai terutama untuk pengolahan tempe dan tahu. Industri pengolahan kedelai ini tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia dan sebagian besar merupakan industri berskala kecil dan rumah tangga. Banyaknya industri pengolahan kedelai di Indonesia merupakan peluang pasar yang dapat dimanfaatkan bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia. 2) Analisis Kelemahan a) Lahan yang digunakan untuk penanaman kedelai semakin sedikit Berdasarkan data Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2010, lahan bagi penanaman kedelai cenderung menurun. Pada tahun 1999 lahan kedelai sebesar 1.16 juta ha. Penurunan secara drastis terjadi pada tahun 2000 luas lahan menjadi sebesar 824.484 ha. Pada tahun 2009 lahan kedelai sebesar 722.931. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya hal ini terjadi karena gairah petani kedelai yang terus menurun karena sulitnya bersaing dengan kedelai impor sehingga membuat petani beralih untuk menanam komoditi lainnya yang dinilai lebih menguntungkan. b) Banyaknya petani yang tidak menggunakan benih yang dianjurkan Berdasarkan wawancara dengan Kasi Aneka Kacang dan Umbi Direktorat Perbenihan, petani kedelai kerap kali kesulitan dalam memperoleh benih kedelai yang diinginkan. Ketidaktersediaan benih yang diinginkan petani atau stok benih yang terbatas menjadi alasan sulitnya perolehan benih bagi para petani. Dalam hal ini seringkali benih kedelai yang tersedia dibalai benih tidak sesuai dengan jenis benih kedelai yang diinginkan oleh beberapa petani karena adanya keragaman penggunaan berbagai jenis benih kedelai lokal yang berbeda yang digunakan petani. Selain itu, stok benih yang ada seringkali terbatas karena balai benih membagi lahan untuk perbanyakan benih dengan tanaman pangan yang lain sehingga perbanyakan benih kedelai oleh balai benih terbatas oleh lahan yang tersedia di balai benih. Selain masalah ketersediaan, mahalnya harga benih berkualitas menjadi alasan banyaknya petani kedelai yang belum menggunakan benih berkualitas.
86
c) Penggunaan pupuk yang belum sesuai anjuran Penggunaan pupuk di daerah-daerah bervariasi, sesuai dengan spesifikasi lokasi. Kemampuan permodalan petani sangat menentukan petani dalam melaksanakan anjuran dosis pemupukan yang ideal. Pada kenyataannya, banyak petani yang belum menggunakan pupuk yang sesuai anjuran. Hal ini karena keterbatasan modal dan informasi pada petani serta harga pupuk yang dinilai cukup mahal. Untuk itu beberapa petani menanam kedelai sesudah penanaman padi. Hal ini dilakukan agar tanaman kedelai mendapatkan sisa-sisa pemupukan dari pertanaman sebelumnya. Selain itu pada beberapa daerah kerap kali terjadi kelangkaan pupuk, seperti yang terjadi di Kabupaten Garut dan Pasuruan. Hal ini tentu saja menghambat petani dalam penggunaan pupuk. d) Gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun Berdasarkan data Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian 2004, gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun drastis sejak tahun 1992. Hal tersebut antara lain disebabkan karena bercocok tanam kedelai dianggap tidak menguntungkan, dibandingkan apabila petani melakukan budidaya tanaman lain. Selain itu masuknya kedelai impor dengan harga murah dimana bea masuk impor sebesar nol persen membuat kedelai impor semakin deras masuk sehingga kedelai lokal sulit bersaing karena pada umumnya kedelai impor lebih murah bila dibandingkan dengan kedelai lokal. Kondisi inilah yang menyebabkan minat petani untuk menanam kedelai semakin rendah banyak petani beralih menanam komoditi lain seperti jagung, kacang tanah, kacang hijau dan lain-lain. e) Ketidakmampuan petani kedelai lokal dalam mengakses permodalan Hingga saat ini petani kedelai di Indonesia masih mengalami kesulitan modal. Padahal permodalan petani sangat menentukan petani dalam menghasilkan kedelai yang baik. Saat ini sumber permodalan petani untuk kegiatan usahatani kedelai berasal dari permodalan sendiri dan dari pembiayaan pemerintah yang digulirkan melalui program bantuan seperti bantuan Bantuan Langsung Benih Unggul dan Bantuan Langsung Pupuk. Namun bantuan ini masih jauh dari sempurna karena hingga saat ini masih banyak petani kedelai yang belum mendapatkan bantuan. Sebenarnya pemerintah telah memberikan bantuan kredit seperti KKPE. Namun pada prakteknya di lapangan para petani sulit mendapatkan
87
KKP-E. Melalui Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani), petani mengajukan pinjaman ke bank untuk mendapatkan KKP-E, namun pihak bank tetap meminta jaminan dari para petani. Hal yang sama juga terjadi pada pencairan KUR, yang bunganya sudah diturunkan. Dalam hal ini pihak bank meminta petani untuk menyediakan jaminan dan mendapatkan pendampingan serta bimbingan teknis dari Kementerian Pertanian. Bagi petani yang tidak memiliki agunan tentu saja pinjaman melalui KKP-E maupun KUR sulit untuk diperoleh. Sedangkan sebagian besar petani kedelai merupakan petani kecil yang rata-rata kekurangan modal dan tidak memiliki agunan. Hal inilah yang menjadi alasan sulitnya petani kedelai lokal dalam mengakses pinjaman modal. Keterbatasan permodalan petani ini tentunya menghambat pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. f) Rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri Banyaknya petani kedelai lokal yang tidak menggunakan benih unggul bermutu (benih asalan) dengan berbagai alasan baik karena kurangnya informasi maupun keterbatasan modal membuat mutu kedelai lokal yang dihasilkan rendah. Padahal penggunaan benih bermutu sangat menentukan kualitas kedelai yang dihasilkan. Hal ini menjadi penyebab rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri. g) Sistem tataniaga yang cenderung merugikan petani Tataniaga semakin merugikan petani ketika LoI (Letter of Intent) pada 24 Juni 1998 dalam butir 16 menyebutkan pemerintah harus membebaskan tataniaga pangan termasuk kedelai dengan tarif bea masuk (BM) 0 persen, padahal sebelumnya tarif BM impor 20 persen (1997). Sejak saat itu, Bulog dan swasta mendapat peran sama dalam importasi dan pemasaran. Hal ini sangat merugikan petani kedelai lokal karena tidak adanya Bulog sebagai lembaga penstabil harga membuat harga kedelai yang beredar di dalam negeri menjadi tidak stabil. Selain itu tanpa adanya lembaga yang membatasi, kedelai impor semakin deras masuk14.
14
Anonim. 2008. Peran Bulog harus Permanen. http: //els.bappenas.go.id/ upload/ kliping /Peran%20bulog.pdf [diakses 15 April 2011]
88
h) Petani yang tergabung dalam kelompok tani masih terbatas Menurut Dirjen Tanaman Pangan (2004), masih terbatasnya petani yang tergabung dalam kelompok tani membuat posisi tawar petani menjadi lemah. Padahal keberadaan kelompok tani bagi petani kedelai sendiri sangat besar. Hal ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya petani yang menjual hasil panen secara berkelompok sehingga harga jual sangat ditentukan oleh pedagang pengumpul. 3) Analisis Peluang a) Adanya lahan potensial untuk penanaman kedelai di Indonesia Menurut data Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2004, Indonesia memiliki potensi lahan penanaman kedelai dengan kriteria kesesuaian agroklimat yang cukup luas. Kedelai dapat ditanam hampir di seluruh lahan sawah dan lahan kering yang ada di wilayah Indonesia. Pada lahan kering kedelai dapat ditanam dengan melakukan penyesuaian waktu tanam dengan curah hujan. Lahan kering ini umumnya terdapat di Sumatera, NTB. Terdapat 12 provinsi yang diidentifikasi masih tersedia lahan yang dapat diusahakan untuk usahatani kedelai seluas 12,9 juta ha. Di 12 provinsi (NAD, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Sulsel, Sultra dan NTB) terdapat 3,54 juta ha yang berpotensi tinggi 3 juta yang berpotensi sedang dan 5,46 juta ha yang berpotensi rendah. Disebutkan bahwa dari 12 provinsi yang telah dievaluasi, lahan yang berpotensi tinggi dan sedang untuk pengembangan kedelai terdapat dipulau Jawa (Agus et al 2005) di dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2007). Adanya lahan potensial yang dapat ditanami kedelai menjadi kekuatan bagi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. b) Banyaknya penelitian pengembangan kedelai lokal yang sudah dilakukan dan diaplikasikan Upaya pengembangan kedelai lokal di Indonesia didukung oleh berbagai penelitian yang dilakukan baik oleh lembaga penelitian seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Batan Tenaga Atom Nasional (BATAN) maupun perguruan tinggi. Lembaga-lembaga tersebut mampu memberikan informasi yang berguna untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Hingga saat ini, Badan Penelitian Pertanian terus melakukan penelitian untuk menemukan varietas kedelai unggul baru. Beberapa hasil penelitian yang ada diantaranya 89
adalah telah dilepasnya 73 varietas unggul kedelai, dari jumlah tersebut 19 varietas unggul memiliki potensi produksinya antara 2,16 - 3,50 ton/ha. Ditemukannya varietas benih unggul tersebut tentunya sangat membantu pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia karena dapat meningkatkan produksi kedelai lokal sehingga memberikan peluang bagi agribisnis kedelai lokal di Indonesia agar semakin berkembang. Rincian varietas unggul dapat dilihat pada Lampiran 6. c) Adanya dukungan KOPTI KOPTI sebagai wadah yang menghimpun para pengusaha tahu tempe di Indonesia tidak hanya bertindak sebagai penyalur kedelai semata (tidak bersifat komersil) melainkan bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya yaitu para pengusaha tempe dan dan tahu yang tergabung dalam KOPTI. Keberadaan KOPTI sendiri sebagai perwujudan dari koperasi, mampu memberikan peluang untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Karena KOPTI tidak hanya berperan sebagai penyalur yang membantu tataniaga kedelai lokal sendiri, keberadaan KOPTI juga membantu dalam akses permodalan bagi para anggotanya yaitu pengusaha tahu dan tempe. Diharapkan dengan semakin eksisnya peran KOPTI maka agribisnis kedelai lokal akan semakin berkembang. d) Tingginya permintaan dalam negeri Meskipun pertumbuhan permintaan kedelai di Indonesia berfluktuatif namun permintaan untuk kedelai dalam negeri tetap tinggi. Tingginya permintaan kedelai ini dapat dilihat dari besarnya defisit kedelai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga dilakukan impor kedelai yang cukup tinggi. Tingginya permintaan kedelai juga disebabkan karena berbagai manfaat yang terdapat pada kedelai. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi berbagai makanan olahan kedelai seperti tempe dan tahu yang merupakan makanan turun temurun masyarakat Indonesia.
90
e) Harga kedelai dunia akan meningkat Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh (Sejati et al 2009), membaiknya harga kedelai dunia membuat harga kedelai impor meningkat. Kondisi tersebut terjadi, karena adanya pencabutan terhadap subsidi harga kedelai di USA dan Brazil. Selain itu adanya pengalihan lahan kedelai menjadi jagung yang digunakan untuk pembuatan biofuel yang secara teknis digunakan sebagai bahan bakar minyak alternatif. Dalam hal ini tentu saja akan mengurangi stok kedelai dunia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia yang sebagian besar berasal dari impor. Dengan adanya kondisi tersebut merupakan peluang untuk meningkatkan produksi kedelai lokal, sehingga kedelai lokal mampu memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang sebagian besar masih berasal dari impor. f) Adanya program SL-PTT Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (SLPTT) merupakan sekolah lapang bagi petani. SL-PTT ini menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga
mampu
menghasilkan
produktivitas
tinggi
untuk
menunjang
peningkatan produksi secara berkelanjutan. Penerapan program SL-PTT kedelai, mampu meningkatkan produktivitas usahatani kedelai yang mengikuti SL-PTT ini. Produktivitas usahatani kedelai yang mengikuti SL-PTT dengan non SL-PTT sangat berbeda. Produktivitas usahatani kedelai SL-PTT lebih tinggi bila dibandingkan dengan non SL-PTT. Peningkatan produktivitas yang terjadi pada beberapa sentra kedelai yang mengikuti SL-PTT ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa adanya program SL-PTT ini menjadi peluang dalam meningkatkan pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. g) Adanya dukungan kredit perbankan Adanya dukungan kredit perbankan yang diberikan pemerintah untuk mendukung kegiatan usahatani bagi petani kedelai lokal, diantaranya adalah KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) yang disalurkan melalui Bank Umum maupun Bank Pembangunan Daerah, KUR yang disalurkan melalui bank Mandiri, Syariah Mandiri, BNI, Bukopin, BRI, BTN sebesar 14,8 milyar. Untuk KUR sendiri, dari total kredit tersebut sektor pertanian termasuk kedelai
91
memperoleh sebesar 3,9 milyar, (26,6 persen) dengan penerima kredit sebanyak 613.780 orang atau rata-rata sebesar Rp6,45 juta per orang. Adanya bantuan pembiayaan yang disalurkan melaui perbankan ini dapat menjadi peluang untuk mengatasi masalah permodalan bagi para petani kedelai. h) Adanya dukungan Dewan Kedelai Dewan Kedelai merupakan lembaga yang memberikan masukan kepada pemerintah
untuk
menetapkan
kebijakan-kebijakan
yang
berguna
bagi
pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia. Dewan Kedelai mampu memberikan peluang untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia dari hulu hingga ke hilir. Diharapkan dengan adanya Dewan Kedelai ini masalah-masalah terkait kedelai nasional dapat teratasi serta dayasaing sistem agribisnis kedelai di Indonesia semakin meningkat. i) Adanya LKMS di Indonesia Pertumbuhan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) di Indonesia makin menunjukkan tren kemajuan yang signifikan. Dengan sasaran utama para pelaku usaha mikro dan super mikro yang umumnya berada di pedesaan, LKMS menjelma menjadi penggerak ekonomi rakyat kecil yang tangguh. Saat ini, terdapat sekitar tiga juta nasabah mikro yang memperoleh pembiayaan dari LKMS atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Aset yang dikelola LKMS/BMT pun sudah menyentuh angka Rp 3 triliun, dengan 4.000 LKMS/BMT yang tersebar di seluruh Indonesia. Meningkatnya aset BMT/LKMS membuktikan jika lembaga tersebut mampu menunjukkan diri sebagai lembaga yang handal dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, dimana mayoritas anggota dan nasabahnya adalah pelaku usaha berskala mikro yang selama ini tidak diperhitungkan oleh perbankan sebagai sumber dana15. j) Adanya balai benih Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan otonomi daerah, saat ini kewenangan pengelolaan balai benih telah diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah (Direktorat Jendral Tanaman Pangan 2005). Balai benih berfungsi untuk menyediakan benih-benih yang dibutuhkan petani 15 Krisman
Purwoko. 2010. BMT Indonesia Kelola Aset Rp 3 Triliun. http://bmt-link.co.id/bmtIndonesia-kelola-aset-rp-3-triliun/ [diakses 12 April 2011]
92
kedelai lokal. Balai benih sendiri terdapat di tingkat kecamatan, kabupaten maupun provinsi. Benih yang telah diperbanyak oleh balai benih disalurkan kepada para penangkar atau produsen benih. Setelah benih berada pada para penangkar atau produsen benih, benih disalurkan kepada petani atau melalui distributor kepada petani. k) Adanya kemitraan dengan perusahaan mengembangkan kedelai lokal di Indonesia
swasta
besar
untuk
Adanya kemitraan dengan perusahaan swasta besar. Dalam hal ini petani kedelai lokal memiliki kewajiban untuk menyediakan pasokan kedelai lokal dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan permintaan industri mitra. Di lain sisi industri mitra memiliki kewajiban untuk menjamin pasar kedelai lokal yang dihasilkan serta memberi pinjaman modal bagi para petani kedelai lokal. Selain dari kedua pihak tersebut dukungan pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan kemitraan tersebut penting dilakukan seperti dukungan infrastruktur atau menugaskan badan penelitian ataupun perguruan tinggi yang mampu memberikan masukan teknologi yang dapat menunjang kegiatan produksi. Salah satu bentuk kemitraan dengan perusahaan swasta besar dilakukan oleh perusahaan Unilever. Semakin berkembangnya produk kecap bango dipasaran membuat PT Unilever sebagai pemilik kecap Bango membangun petani mitra untuk memenuhi kebutuhan pasokan kedelai hitam. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku, PT Unilever Indonesia berkomitmen mengembangkan budidaya kedelai hitam di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerjasama antara Unilever, Universitas Gajah Mada (UGM), dan petani di Yogyakarta. Kerjasama dengan pola kemitraan itu telah berhasil menemukan varietas kedelai hitam lokal bernama Kedelai Mallika. Saat ini benih Mallika telah dipergunakan petani yang mengikuti kemitraan dengan Unilever. Sejak program dirintis pada 2001, telah 5.000 petani dan 126 kelompok tani terlibat dalam kemitraan. Mereka tersebar di Bantul, Sleman, Nganjuk, Trenggalek, Madiun, Blitar, dan Jombang, serta beberapa daerah di Jawa Tengah. Pada 2005 total lahan mencapai 416,459 ha. Tahun 2006 meningkat menjadi 650 ha, dan 2007 sudah mencapai 1.800 ha16. Dalam hal ini Unilever memberikan bantuan saprodi dan menjadi pembeli dari 16
Yan Suhendar. 2007. Benih Kecap Segurih Rasanya. http: //www. agrina - online. Com / show_article. Php ? rid = 7 & aid = 1115 [diakses 28 April 2011]
93
kedelai hitam yang dikembangkan. Pembinaan dilakukan oleh petugas lapang dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta seperti yang dilakukan pada kabupaten Pacitan Jawa Timur. Apabila hal ini terus berlanjut tentunya, akan menjadi peluang bagi petani kedelai lokal untuk mengembangkan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Pengembangan kedelai hitam yang dilakukan PT Unilever dan UGM Yogyakarta, diharapkan mampu membangkitkan semangat petani, peneliti, dan pemerintah sekaligus industri dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan dan mencegah ketergantungan impor kedelai dari negara lain. 4) Analisis Ancaman a) Tingginya volume kedelai impor membuat persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor meningkat Tingginya volume impor kedelai di Indonesia membuat semakin tingginya persaingan antara kedelai lokal dan kedelai impor. Tingginya volume impor ini ditunjukkan dengan volume impor yang semakin meningkat dan pada tahun 2010 volume impor sebesar 1,62 juta ton. Kedelai impor yang harganya lebih murah dengan kualitas yang baik membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Dominasi kedelai impor pada pasar di dalam negeri akan membuat kedelai lokal semakin terhimpit. Tidak hanya persaingan kualitas namun persaingan harga juga harus dihadapi petani kedelai lokal dimana mereka harus menghadapi harga kedelai impor yang umumnya selalu lebih rendah. Tingginya volume impor ini akan berpengaruh terhadap gairah petani dalam menanam kedelai. Jika tidak segera diperbaiki kondisi ini akan mengancam kelangsungan pengembangan kedelai lokal di Indonesia. b) Berlakunya kebijakan impor nol persen. Kebijakan tarif impor sebesar nol persen membuat impor kedelai semakin deras. Adanya kebijakan impor ini membuat kedelai impor semakin mudah masuk dan semakin melemahkan petani kedelai lokal. Posisi kedelai lokal di dalam negeri sangat terhimpit dengan keberadaan kedelai impor. Meskipun secara finansial usahatani kedelai lokal menguntungkan namun dengan adanya kebijakan yang merugikan petani kedelai lokal maka petani kedelai lokal menjadi tidak diuntungkan. Diberlakukannya tarif impor nol persen semakin memudahkan
94
kedelai impor masuk ke dalam negeri. Hal ini membuat petani kedelai lokal semakin merasa dirugikan. 7.1.3. Perumusan Strategi dengan Matriks SWOT Alat analisis SWOT digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan kedelai lokal di Indonesia. Perumusan strategi dilakukan dengan menganalisis empat faktor pada SWOT seperti kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada agribisnis kedelai lokal di Indonesia yang diperoleh berdasarkan analisis pada komponen Berlian Porter. Keempat faktor yang telah dianalisis tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah matrik SWOT. Matriks SWOT tersebut mempertemukan ke empat faktor yang ada agar dapat dirumuskan menjadi strategi yang saling mendukung (Tabel 12). Strategi S-O dirumuskan dengan menggunakan kekuatan dari agribisnis kedelai lokal untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan strategi W-O dirumuskan untuk memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan. Strategi S-T dirumuskan dengan menggunakan kekuatan agribisnis kedelai lokal untuk mengatasi ancaman, sedangkan strategi W-T dirumuskan dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal.
95
Tabel 12. Matriks SWOT Agribisnis Kedelai Lokal
Internal
Eksternal
Kekuatan (Strenght - S) 1. Usahatani kedelai lokal layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan secara finansial 2. Kedelai lokal (tropis) memiliki masa panen yang lebih pendek dari kedelai impor (Subtropis) 3. Memiliki varietas kedelai unggul lokal yang lebih berkualitas daripada kedelai impor 4. Banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai
Strategi S-O Peluang (Opportunities-O) 1. Peningkatan Produksi Kedelai 1. Adanya lahan potensial lokal (S1,S2,S3,O1, untuk penanaman kedelai di O4,O5,O6,O7, O8, O10, O11) Indonesia 2. Pengembangan industri 2. Banyaknya penelitian pengolahan berbasis kedelai pengembangan kedelai lokal lokal (S1, S2, S3, S4, O1, O2, 3. Adanya Kopti O3, O4, O5, O6, O7, O8, 4. Tingginya permintaan dalam O11) negeri 3. Penguatan kelembagaan 5. Harga kedelai dunia (S4,O3, O7, O8, O9, O10, meningkat O11) 6. Adanya program SL-PTT 7. Adanya dukungan kredit perbankan 8. Adanya dukungan dewan kedelai 9. Adanya LKMS 10. Adanya balai benih 11. Adanya kemitraan dengan perusahaan swasta besar untuk mengembangkan kedelai lokal di Indonesia Ancaman (Threats-T) Strategi S-T 1. Tingginya volume kedelai 1. Pembatasan volume impor impor membuat persaingan (S1,S2, S3, S4, T1, T2) antara kedelai lokal dan kedelai impor meningkat 2. Berlakunya kebijakan impor kedelai nol persen.
Kelemahan (Weaknesses-W) 1. Lahan yang digunakan untuk penanaman kedelai semakin sedikit 2. Banyaknya petani yang tidak menggunakan benih yang dianjurkan 3. Penggunaan pupuk yang belum sesuai anjuran 4. Gairah petani untuk melakukan budidaya kedelai menurun 5. Ketidakmampuan petani mengakses permodalan 6. Rendahnya kualitas kedelai lokal yang beredar di dalam negeri 7. Tataniaga petani yang cenderung merugikan petani kedelai lokal 8. Petani yang tergabung dalam kelompok tani masih terbatas Strategi W-O 1. Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank (W2, W3, W5, O9) 2. Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai (W2,W3,W6, O8, O10) 3. Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia (W1, W2, W3, W4, W5, W8, O4, O7) 4. Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal (W1,W2, W3, W4, W6, O1, O2,O3, O4, O5, O6, O8) 5. Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal (W2, W3,W4, W6, W8, O6, O8) Strategi W-T 1. Membentuk Lembaga Stabilitas Harga kedelai (W4,W7, T1,T2)
96
1) Strategi S-O Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada pada agribisnis kedelai lokal untuk meraih dan memanfaatkan peluang yang ada dengan sebesar-besarnya. Strategi yang dapat dilakukan diantaranya: a) Peningkatan Produksi kedelai lokal Permintaan kedelai nasional selalu defisit dikarenakan produksi kedelai lokal yang belum mampu memenuhi permintaan kedelai nasional. Hal ini tentunya perlu ditindaklanjuti yaitu dengan melakukan upaya untuk meningkatkan produksi kedelai lokal di Indonesia. Beberapa cara untuk meningkatkan produksi kedelai lokal di Indonesia diantaranya dapat ditempuh melalui: (1) Perluasan areal panen Perluasan areal panen merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi kedelai lokal. Perluasan areal panen dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya (Puslitbang Tanaman Pangan 2007). (a) Perluasan areal tanam kedelai lokal dapat dilakukan pada lahan bukaan baru atau lahan pasang surut yang sudah direklamasi. Untuk lahan bukaan baru diperlukan rhizobium sedangkan pada lahan pasang surut diperlukan kapur pertanian sebagai amelioran. (b) Peningkatan indeks pertanaman dengan memasukkan kedelai pada MK II untuk sawah irigasi dan MK 1 pada sawah tadah hujan, atau tumpang sari dengan tanaman perkebunan yang belum menghasilkan di provinsi-provinsi yang potensial dan sudah pernah berhasil dalam menanam kedelai. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan daerah-daerah yang potensial untuk penanam kedelai di Indonesia. Hal ini tentunya dapat dimanfaatkan untuk perluasan areal panen kedelai tanam kedelai lokal. Diperluasnya areal tanam maka areal panen juga akan bertambah sehingga produksi kedelai lokal dapat meningkat. (2) Peningkatan produktivitas Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan memberdayagunakan teknologi inovasi. Dalam hal ini salah satu teknologi yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produktivitas adalah benih unggul bermutu. Dalam rangka peningkatan produksi untuk mencapai swasembada kedelai, maka penggunaan
97
benih unggul bermutu perlu ditingkatkan. Penggunaan benih unggul bermutu merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas kedelai lokal. Dalam hal ini pemerintah telah meluncurkan benih unggul bermutu kedelai lokal yang memiliki potensi hasil di atas 2 ton/ha. Penggunaan benih unggul bermutu dalam usahatani kedelai lokal akan meningkatkan produksi kedelai. b) Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal penting untuk dilakukan mengingat banyaknya industri pengolahan kedelai di Indonesia yang menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan industri pengolahan kedelai seperti tempe, tahu dan kecap yang berbahan dasar kedelai lokal. Selain itu perlunya menanamkan pemikiran kepada para pelaku industri pengolahan kedelai di Indonesia bahwa mutu kedelai lokal tidak kalah dengan kedelai impor. Sehingga para pengusaha tempe khususnya beralih menggunakan kedelai lokal. c) Penguatan Kelembagaan Kebijakan dan program pemerintah yang ditujukan untuk pengembangan kedelai lokal di Indonesia tidak akan tercapai jika tidak didukung oleh semua lembaga terkait. Untuk itu mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan kerjasama yang kuat dan saling terintegrasi antar lembaga terkait. Hubungan yang kuat antar lembaga terkait diharapkan dapat terjadi antara pemerintah, stakeholder/swasta, petani kedelai lokal, kelompok petani, lembaga penelitian, perguruan tinggi penyuluh, lembaga keuangan dan lembaga pemasaran. 2) Strategi W-O a) Membentuk kerjasama dengan lembaga keuangan non bank Permodalan merupakan aspek yang sangat penting bagi usahatani kedelai. Ironisnya banyak petani kedelai lokal di Indonesia yang masih mengalami kesulitan dalam memperoleh aspek ini. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk petani kedelai lokal yang masih kekurangan modal seperti diberikannya kredit kepada petani kedelai lokal. Meskipun banyak bantuan kredit yang digulirkan namun petani kita tetap saja sulit untuk mengakses kredit tersebut. Untuk itu perlu dibentuknya kerjasama dengan lembaga keuangan non bank seperti LKMS (Lembaga Mikro Syariah) yang mampu memberikan kredit kepada petani kedelai
98
lokal yang sebagian besar merupakan petani kecil. Hingga kini telah terdapat lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia. Keberadaan lembaga ini dapat diarahkan untuk membantu permodalan petani kedelai untuk mengembangkan usahatani mereka. Dalam hal ini lembaga mikro tersebut memiliki jaringan sosial yang kuat dan dapat didirikan dengan mengikuti aturan main koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam. Nasabah yang akan meminjam uang dalam hal ini petani kedelai yang akan meminjam dana tidak harus mengikuti persyaratan teknis perbankan sehingga pelayanannya lebih cepat dan memiliki jaminan sosial yang kuat karena lembaga ini berada dekat dengan konsumen. Selain itu lembaga tersebut memiliki kegiatan simpan-pinjam dengan prinsip bagi hasil/syariah yang mengikuti aturan main koperasi sehingga permodalan simpan pinjam dapat diberdayakan. Dengan adanya lembaga mikro agribisnis syariah ini maka akan membantu para petani kedelai lokal selaku nasabah kecil yang tidak memiliki akses ke bank. b) Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai Ketersediaan benih dan pupuk menjadi hal yang sangat penting bagi usahatani kedelai. Masalah yang kerap terjadi adalah sering tidak tersedianya benih kedelai yang diinginkan petani. Untuk itu perlu kebijakan pemerintah terhadap masalah perbenihan yaitu berupa subsidi benih. Hal ini ditujukan agar petani dapat menggunakan benih unggul dengan harga yang lebih terjangkau. Harga benih unggul yang relatif mahal menjadi alasan petani kedelai untuk tidak menggunakan benih unggul. Selain itu, sering tidak tersedianya benih yang diinginkan petani juga menjadi masalah dalam perbenihan kedelai. Kurangnya lahan yang dimiliki balai benih untuk perbanyakan kedelai dinilai menjadi alasan terbatasnya ketersediaan benih. Untuk itu perlu diadakannya program untuk memperluas lahan untuk perbanyakan benih kedelai pada balai-balai benih yang ada baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten. Hal ini dilakukan agar benih kedelai yang diinginkan petani kedelai selalu tersedia. Untuk pupuk sendiri perlunya kerjasama yang dilakukan antara pemerintah dan para pengusaha pupuk penting dilakukan. Selain itu memberdayakan kelompok tani untuk mengakses pupuk akan mempermudah aksestabilitas pupuk untuk petani kedelai lokal di Indonesia.
99
c) Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai di Indonesia Pengembangan kelompok tani kedelai sangat perlu ditingkatkan mengingat masih banyak petani kedelai di Indonesia yang belum tergabung dalam kelompok tani. Hal ini menjadi salah satu alasan lemahnya posisi tawar petani dalam tataniaga kedelai. Keberadaan kelompok tani sebagai lembaga yang mampu membantu petani dalam meningkatkan dayasaing agribisnis kedelai lokal sehingga petani kedelai memiliki posisi tawar yang lebih tinggi bila dibandingkan bila petani tidak tergabung dalam kelompok tani. Untuk itu peningkatan peran kelompok tani perlu digalakkan untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. d) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai lokal di Indonesia Menurunnya gairah petani dalam menanam kedelai mengharuskan kerjasama berbagai pihak untuk meningkatkan kembali gairah petani untuk menanam kedelai. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan berbagai sosialisasi dan promosi kepada petani dan pihak terkait lainnya untuk menanamkan investasi pada agribisnis kedelai. Sosialisasi yang dilakukan secara rutin oleh seluruh pihak terkait diharapkan mampu mendukung pengembangan dan peningkatan dayasaing kedelai lokal di Indonesia. e) Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal Pembinaan dan pendampingan bagi petani perlu dilakukan agar. Pembinaan dilakukan oleh Dinas Pertanian setempat dan Petugas Pemandu Lapang (PPL) kepada para petani. Dalam hal ini Dinas Pertanian dan PPL membina dan memonitoring kegiatan agribisnis petani. Optimalisasi pembinaan untuk meningkatkan produktivitas dilakukan agar para petani mampu melakukan kegiatan agribisnis dengan lebih efisien dan menguntungkan. Hal ini dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan infrastruktur dan alsintan, skim pembiayaan dan melakukan pembinaan atau pengawalan kepada petani atau kelompok tani yang sarana produksinya dicukupi secara swadaya agar usahataninya dapat berlangsung dengan optimal. Pendampingan dilakukan oleh Dinas pertanian dan PPL untuk memberikan pengarahan kepada para petani kedelai lokal dalam menerapkan teknologi bertani kedelai.
100
3) Strategi S-T a) Pembatasan volume impor kedelai Saat ini sebagian besar kebutuhan kedelai nasional berasal dari kedelai impor. Derasnya impor yang masuk membuat petani kedelai lokal semakin tersudut. Sulitnya kedelai lokal untuk bersaing dengan kedelai impor karena berbagai kendala membuat usahatani kedelai lokal dinilai kurang menguntungkan bagi petani sehingga banyak petani kedelai lokal menjadi tidak bergairah untuk menanam kedelai. Perlunya membatasi jumlah impor kedelai ke Indonesia penting dilakukan. Hal ini dilakukan agar petani kedelai lokal kembali termotivasi untuk menanam kedelai lokal sehingga produksi kedelai nasional bisa semakin bertambah. Pembatasan kedelai impor ini dilakukan antara lain dengan memberlakukan tarif impor bagi kedelai luar negeri yang masuk ke Indonesia. Dengan diberlakukannya tarif impor diharapkan volume impor yang masuk akan semakin berkurang karena setiap kedelai impor yang masuk ke dalam negeri dikenakan biaya impor dimana negara yang mengekspor kedelai ke Indonesia harus membayar sejumlah tertentu sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam setiap kedelai yang diekspor ke Indonesia. Selain itu upaya pembatasan kedelai impor lainnya dilakukan dengan cara melakukan impor kedelai hanya jika kebutuhan kedelai nasional mengalami kekurangan. Selama hal tersebut dilakukan maka kedelai lokal sendiri berupaya untuk terus meningkatkan produksi agar mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasionalnya dengan cara mengembangkan kemitraan dengan industri pengolahan kedelai. Dalam hal ini petani kedelai lokal memiliki kewajiban untuk menyediakan pasokan kedelai lokal dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan permintaan industri mitra. Di lain sisi industri mitra memiliki kewajiban untuk menjamin pasar kedelai lokal yang dihasilkan serta memberi pinjaman modal bagi para petani kedelai lokal. Selain dari kedua pihak tersebut dukungan pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan kemitraan tersebut penting dilakukan seperti dukungan infrastruktur atau menugaskan badan penelitian ataupun perguruan tinggi yang mampu memberikan masukan teknologi yang dapat menunjang kegiatan produksi. Kualitas kedelai merupakan salah satu faktor pertimbangan konsumen dalam memilih kedelai untuk dikonsumsi. Kualitas kedelai impor yang
101
dinilai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia lebih baik dari kedelai lokal membuat kualitas kedelai lokal harus semakin ditingkatkan. Peningkatan kualitas kedelai lokal dapat dilakukan dengan penggunaan benih unggul bermutu agar kedelai yang dihasilkan baik. Kenyataan yang sering terjadi adalah banyaknya petani yang masih menggunakan benih asalan sehingga kedelai yang dihasilkan kurang baik. Untuk itu penggunaan benih unggul bermutu perlu diterapkan. Selain itu penggunaan pupuk dan penerapan teknologi dalam produksi kedelai mampu meningkatkan mutu kedelai lokal. Dalam hal ini peningkatan kualitas kedelai juga dilakukan
dengan
terus
dikembangkannya
penelitian-penelitian
terkait
pengembangan agribisnis kedelai lokal seperti penelitian penemuan varietas unggul baru ataupun teknologi pendukung agribisnis kedelai lokal. 4) Strategi W-T a) Pembentukan lembaga stabilitas harga kedelai Sejak dicabutnya wewenang Bulog sebagai lembaga stabilitas kedelai nasional, maka tataniaga kedelai berubah menjadi pasar bebas. Kedelai impor yang harganya sangat fluktuatif semakin mudah masuk dan mendominasi pasar perkedelaian dalam negeri. Untuk itu dibutuhkanlah sebuah badan penyeimbang dan pelaksana impor kedelai, sebagai pengontrol harga. Keseimbangan dan pelaksanaan impor kedelai dapat diarahkan pada KOPTI sebagai lembaga yang menyalurkan kedelai. Pemberian hak prioritas kepada KOPTI sebagai importir utama dalam perdagangan kedelai dalam negeri dapat membantu menghilangkan pengaruh importir swasta yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sendiri tanpa memperdulikan kepentingan para pelaku industri pengolahan. Importir swasta dengan bebas menaikkan atau menurunkan harga kedelai sehingga para pelaku industri yang menggunakan bahan baku kedelai impor merasa dirugikan. Meskipun KOPTI berperan sebagai importir namun hal ini tidak akan merugikan pihak industri pengolahan karena KOPTI bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya yaitu adalah para pengusaha tahu dan tempe. Peran KOPTI di dalam negeri sangat diperlukan agar harga kedelai di dalam negeri lebih stabil karena KOPTI akan memiliki kekuatan untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri. Bagi kedelai lokal sendiri, secara nyata KOPTI juga bisa langsung terjun ke lapangan untuk membeli kedelai dari petani sehingga ada jaminan pasar dalam
102
bentuk jaminan harga dan jaminan pembelian barang. Hal ini tentunya dapat meningkatkan gairah petani untuk menanam kedelai lokal dan produksi akan meningkat karena ada kepastian bagi petani dalam menjalankan usahataninya. 7.2 Rancangan Arsitektur Strategik Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal 7.2.1. Sasaran Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Upaya pemerintah untuk mendukung pengembangan kedelai lokal dilakukan dengan membuat kebijakan intensif pengembangan produksi kedelai dengan mengacu pada Sasaran Strategis Departemen Pertanian 2010-2014, yaitu : (1) Peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan (2) Ketahanan pangan dan gizi (3) Peningkatan nilai tambah, dayasaing dan ekspor (4) Peningkatan pendapatan petani Tercapainya swasembada kedelai di Indonesia bukanlah suatu hal yang mudah dicapai. Untuk itu dibutuhkan berbagai langkah untuk mewujudkan swasembada kedelai pada tahun 2014. 7.2.2. Tantangan Agribisnis Kedelai Lokal Berdasarkan atas sasaran yang ingin dicapai oleh agribisnis kedelai lokal di Indonesia yaitu tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2014. agribisnis kedelai lokal menghadapi beberapa tantangan diantaranya antara lain: 1) Lahan pengusahaan kedelai lokal yang semakin sempit karena kurangnya minat petani untuk menanam kedelai lokal. 2) Tingginya volume impor kedelai 3) Kurangnya permodalan petani 4) Produksi kedelai lokal masih rendah 7.2.3. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal Program-program yang telah disusun untuk meningkatkan dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia merupakan bentuk nyata dari strategi yang telah dirumuskan berdasarkan hasil analisis SWOT. Program tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
103
Tabel 13. Program Pengembangan dan Peningkatan Dayasaing Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia Strategi
Penanggung Jawab Peningkatan produksi • Perluasan areal tanam kedelai lokal baik pada Petani, Balitbang kedelai lokal pada lahan bukaan baru atau melalui Pertanian, Dinas Pertanian Daerah pengkapuran pada lahan kering • Peningkatan indeks pertanaman melalui sistem tumpang sari • Peningkatan produktivitas Pengembangan • Sosialisasi penggunaan kedelai lokal untuk Pemerintah, industri pengolahan KOPTI, industri pengolahan kedelai berbasis kedelai lokal kelompok tani, petani Penguatan • Membina kerjasama yang kuat dan integrasi Deptan, Badan kelembagaan Litbang antar lembaga terkait • Optimalisasi setiap program yang ada di Pertanian, Dinas Pertanian Daerah, masing-masinglembaga terkait KOPTI, Petani Membentuk • Mengarahkan peran Lembaga Keuangan Pemerintah, kerjasama dengan Mikro Syariah (LKMS) untuk membantu Stakeholder lembaga permodalan permodalan petani kedelai lokal non bank Mengatur • Perluasan lahan pada balai benih untuk Pemerintah, Balai ketersediaan benih perbanyakan benih kedelai lokal serta pupuk benih, Swasta dan pupuk pada • Pembentukan kerjasama dengan para sentra produksi penangkar benih kedelai Meningkatkan peran • Pemberdayaan petani kedelai lokal melalui Petani kelompok tani dalam kelompok tani mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia Melakukan • Melakukan promosi dan sosialisasi agribisnis Pemerintah, Sosialisasi dan kedelai lokal secara rutin kepada masyarakat stakeholder, promosi Agribisnis luas baik melalui kegiatan langsung maupun Perguruan tinggi kedelai lokal hasil kegiatan melalui berbagai media Melakukan pembinaan dan pendampingan bagi petani Pembatasan impor
Program
• Melakukan pembinaan dan pendampingan Dinas pertanian kepada petani mulai dari penggunaan benih, daerah, PPL pengolahan hingga pasca panen • Pemberlakuan kuota impor • Pengembangan kemitraan swasta
Pemerintah, dengan pihak Perusahaan pengolahan kedelai Membentuk Lembaga • Peningkatan peran KOPTI sebagai lembaga Pemerintah stabilitas harga penyalur kedelai dan penjaga stabilitas harga kedelai kedelai
104
7.2.4. Tahapan Arsitektur Strategik Setelah penulis menyusun strategi pengembangan dan peningkatan dayasaing agribisnis kedelai lokal dengan menggunakan alat analisis SWOT maka dibuatlah sebuah rancangan arsitektur strategi agribisnis kedelai lokal di Indonesia yang direkomendasikan penulis untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh agribisnis kedelai lokal. Rancangan ini merupakan peta strategi (blue print) untuk mencapai sasaran agribisnis kedelai lokal yaitu swasembada kedelai di Indonesia. Strategi yang telah dibuat kemudian melalui berbagai tahapan hingga didapatkan hasil yang kemudian dipetakan kedalam sebuah gambar berupa arsitektur strategi.
Berdasarkan program yang dicanangkan oleh pemerintah sasaran
swasembada kedelai akan dicapai pada tahun 2014. Penulis telah menggambar rancangan arsitektur strategik dengan menggunakan dua sumbu dimana sumbu vertikal (sumbu x) merupakan rentang waktu yang dipersiapkan agribisnis kedelai lokal. Sedangkan untuk sumbu horizontal (sumbu y) menggambarkan rentang kegiatan yang ingin dicapai oleh agribisnis kedelai lokal. Penulis
membuat
rancangan arsitektur strategik dengan tidak terpaku pada penentuan rentang waktu, penulis menggunakan patokan periodisasi dan tidak menggunakan patokan tahun dimana setelah selesai dilaksanakan program pada periode I, maka tanpa menunggu patokan waktu yang telah ditentukan program pada periode II dapat segera dilakukan. Pelaksanaan periode ini didasarkan pada tingkat kepentingan program yang lebih mendesak untuk dilakukan. Semakin penting program tersebut maka pelaksanaan programnya akan ditempatkan lebih dulu yaitu pada periode I hingga periode selanjutnya. Diharapkan dengan dibuatnya rancangan arsitektur strategik ini maka program swasembada kedelai segera tercapai. Di dalam rancangan arsitektur strategi ini digambarkan berbagai tantangan yang dihadapai agribisnis kedelai lokal dan serangkaian strategi yang dibuat untuk mencapai sasaran agribisnis kedelai lokal yaitu swasembada kedelai. Perubahan atau transformasi yang akan dilalui untuk mencapai sasaran ditandai dengan anak panah yang mengarah ke kanan.
105
Untuk mencapai sasaran agribisnis kedelai yaitu swasembada kedelai maka dibutuhkan beberapa langkah yang harus dilakukan, diantaranya: a) Program yang dilaksanakan secara bertahap dintaranya: 1) Periode I, program yang dilaksanankan meliputi: pemberlakuan kuota impor, peningkatan peran KOPTI sebagai lembaga penyalur kedelai dan penjaga stabilitas harga kedelai 2) Periode II, program yang dilaksanakan meliputi: membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank 3) Periode III,program yang dilaksanakan meliputi: perluasan lahan pada balai benih untuk perbanyakan benih kedelai lokal serta pupuk, pembentukan kerjasama dengan para penangkar benih 4) Periode IV, program yang dilaksanakan meliputi: Pengembangan kemitraan dengan pihak swasta, sosialisasi penggunaan kedelai lokal untuk industri pengolahan kedelai b) Program yang dilakukan secara terus-menerus atau rutin diantaranya: 1) Perluasan areal tanam kedelai lokal 2) Peningkatan indeks pertanaman melalui sistem tumpang sari 3) Peningkatan produktivitas 4) Membina hubungan yang kuat dan saling terintergrasi antar lembaga terkait 5) Optimalisasi setiap program yang ada di masing-masing lembaga terkait 6) Pemberdayaan petani kedelai melalui kelompok tani 7) Melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani mulai dari penggunaan benih, pengolahan hingga pasca panen 8) Melakukan promosi dan sosialisasi agribisnis kedelai lokal secara rutin kepada masyarakat luas baik melalui kegiatan langsung maupun hasil kegiatan melalui berbagai media
106
Sumbu Y (Rentang Kegiatan)
Tantangan agribisnis kedelai lokal: 1.Lahan pengusahaan kedelai lokal yang semakin sempit karena kurangnya minat petani untuk menanam kedelai lokal 2.Tingginya volume impor kedelai 3. Kurangnya permodalan petani 4.Produksi kedelai lokal masih rendah
Kegiatan yang dilakukan terus-menerus: 1. Perluasan areal tanam kedelai lokal 2. Peningkatan indeks pertanaman melalui sistem tumpang sari 3. Peningkatan produktivitas 4. Membina hubungan yang kuat dan saling terintergrasi antar lembaga terkait 5. Optimalisasi setiap program yang ada di masing-masing lembaga terkait 6. Pemberdayaan petani kedelai melalui kelompok tani 7. Melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani mulai dari penggunaan benih, pengolahan hingga pasca panen 8. Melakukan promosi dan sosialisasi agribisnis kedelai lokal secara rutin kepada masyarakat luas baik melalui kegiatan langsung maupun hasil kegiatan melalui berbagai media
Pemberlakuan kuota impor
Peningkatan peran KOPTI sebagai lembaga penyalur kedelai dan penjaga stabilitas harga kedelai
I
Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank
II
Perluasan lahan pada balai benih untuk perbanyakan benih kedelai lokal pupuk
Pembentukan kerjasama dengan para penangkar benih
III
Sasaran : (1)Peningkatan produksi da swasembada berkelanjutan (2) Ketahanan pangan dan gizi (3)Peningkatan nilai tambah dayasaing dan ekspor (4)Peningkatan pendapatan petani
Pengembangan kemitraan dengan pihak swasta
Sosialisasi penggunaan kedelai lokal untuk industri pengolahan kedelai
IV Sumbu x (Rentang Periode)
Gambar 14: Arsitektur Strategik Agribisnis Kedelai Lokal di Indonesia
107
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, adapun kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut: 1.
Berdasarkan analisis dayasaing agrbisnis kedelai lokal di Indonesia diperoleh gambaran kondisi kedelai lokal di Indonesia dari subsistem hulu, on farm, subsistem hilir dan pemasaran sebagai berikut: 1) Subsistem hulu: Penggunaan benih unggul bermutu dan pupuk yang sesuai anjuran masih sangat jarang dilakukan petani karena berbagai alasan seperti kurangnya modal petani kedelai lokal. 2) Subsistem On farm: Pertanaman kedelai di Indonesia sebagian besar merupakan milik petani bukan milik swasta besar atau perkebunan. Luas lahan sempit, umumnya < 1 ha. Usahatani kedelai secara finansial memiliki keuntungan, namun faktor kebijakan sangat mempengaruhi keuntungan dalam pengusahaan kedelai. 3) Subsistem hilir: kegiatan pasca panen kedelai seperti pengeringan dan perontokan masih dilakukan dengan cara yang sederhana/tradisional. Pengolahan kedelai di Indonesia sebagian besar dalam bentuk pangan olahan seperti tahu, tempe, kecap, oncom dan susu kedelai. 2) Pemasaran kedelai: kedelai dipasarkan melalui berbagai pihak seperti petani, pedagang/ pengumpul, grosir dan KOPTI. Posisi tawar petani kedelai lokal lemah. Kebutuhan kedelai dalam negeri sebagian besar dipenuhi dari kedelai impor. Apabila produksi kedelai nasional tidak dapat mengikuti peningkatan konsumsi maka Indonesia akan semakin tergantung pada kedelai impor yang akan membahayakan ketahanan pangan nasional.
2. Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama belum berdayasaing, karena hanya dua dari enam pasang komponen yang saling mendukung yaitu: persaingan, struktur dan strategi saling mendukung dengan faktor sumberdaya dan kondisi faktor sumberdaya saling mendukung dengan Industri terkait dan industri pendukung, sedangkan komponen utama lainnya saling tidak mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing agribisnis kedelai lokal masih lemah. Meskipun komponen utama agribisnis kedelai lokal di Indonesia 108
dayasaingnya lemah, namun dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia tersebut sangat didukung oleh komponen pendukungnya. Pada komponen peranan pemerintah ternyata kebijakan dan sikap yang diberikan pemerintah terhadap agribisnis kedelai lokal di Indonesia telah mendukung seluruh komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Begitu juga dengan komponen kesempatan yang memberikan dukungan terhadap seluruh komponen dalam agribisnis kedelai di Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya peranan pemerintah dan kesempatan akan mampu meningkatkan posisi dayasaing agribisnis kedelai lokal di Indonesia apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesarbesarnya dari kesempatan-kesempatan tersebut. 3. Alternatif strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT terdiri dari sepuluh strategi,
diantaranya:
(1)
Peningkatan
produksi
kedelai
lokal,
(2)
Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal (3) Penguatan Kelembagaan (4) Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank (5) Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai (6) Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia, (7) Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis
kedelai lokal di Indonesia, (8) Melakukan bimbingan dan
pembinaan petani kedelai lokal di Indonesia, (9) Pembatasan volume impor (10) Membentuk lembaga stabilitas harga kedelai. Rancangan arsitektur strategik dibuat berdasarkan perumusan strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Program-progam yang dibuat ditujukan untuk mencapai sasaran dengan menghadapi tantangan yang ada selama program dilaksanakan.
109
8.2. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan bagi pengembangan kedelai lokal di Indonesia diantaranya: 1. Dalam melakukan analisis gambaran sistem agribisnis kedelai Indonesia, penulis belum mampu melakukan analisis secara mendalam pada setiap subsistem yang dianalisis. Oleh karena itu diharapkan dalam penelitian selanjutnya dilakukan penelitian secara khusus yang membahas masingmasing subsistem agribisnis kedelai lokal di Indonesia sehingga dapat diketahui potensi serta permasalahan yang belum mampu peneliti ungkap. 2. Untuk mendukung pengembangan agribisnis kedelai lokal di Indonesia disarankan untuk meneliti tentang pengaruh kebijakan terhadap produksi kedelai nasional. 3. Selain itu, bagi para peneliti juga disarankan untuk meneliti tentang peramalan kedelai di Indonesia pada masa mendatang.
110
DAFTAR PUSTAKA Abubakar M. 2008. Kebijakan Pangan, Peran Perum BULOG dan Kesejahteraan Petani. Dalam: Agnes Aulia Dwi. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Adisarwanto DT, Wudianto R. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Afifa. 2006. Analisis Permintaan Kedelai pada Industri Kecap di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Agus, Mulyani, Hadian. 2005. Potensi Sumberdaya Lahan untuk Tanaman Kedelai, prospek dan Tantangannya. Dalam: Sumarno, Mansuri AG. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia. Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 16-17. Amang, B.1996. Ekonomi kedelai di Indonesia. Dalam Handayani D. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Ketahanan Pangan. 2009. Neraca Bahan Makanan Indonesia 2007-2008. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Mutu kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai Impor. http://www.litbang.deptan.go.id Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. 5 Tahun (2005-2009) Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor : Kementrian Pertanian [BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia .2009.http://www. bps.go.id/ tnmn_pgn.php?eng= 0. [diakses 03 Februari 2011] Cho DS, Moon HC. 2003. Evolusi Teori Daya Saing. Di Dalam: Puspita. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. David FR. 2004. Konsep Manajemen Strategis. Jakarta: PT Indeks. Deptan.2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Departemen Pertanian. 45p. Dharmanti R. 2009. Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (PRIMKOPTI) Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2010. Luas Panen Kedelai Menurut Provinsi (hektar). 2007-2010. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 111
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2010. Road Map Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementrian Pertanian. Ditjentan. 2004. Profil Kedelai. Ed ke-1. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbiumbian Jakarta: Kementrian Pertanian. Ditjentan. 2004. Profil Kedelai. Ed ke-2. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbiumbian Jakarta: Kementrian Pertanian. Gonzales L A, F. Kasryno, N.D. Perez and M.W. Rosegrant. 1993. Economic incentives and comparative advantage in Indonesian. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 16-17. Hanafie R. 2004. Tingkat Konsumsi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian sebagai Pendukung Ketahanan Pangan. Dalam: Makarim AK et al, editor. Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 592-602. Handayani D. 2007. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harnowo D, Hidajat JR, Suyamto. 2007 Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih Kedelai. Di Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 383-415 Isnawati, Siti Fajar. 2009. Analisis strategi Bersaing Gula Rafinansi (Studi pada PT. Jawamanis Rafinansi, Cilegon, Banten)[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Marwoto dan Y. Hilman. 2005. Teknologi kacang-kacangan dan umbi-umbian mendukung ketahanan pangan. Kinerja Balitkabi 2003-2004. Balitkabi. 20 hlm. Permata. 2002. Analisa Sistem Agribisnis Kedelai (Kasus di Desa Hegarmanah, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). http:// repository. ipb.ac.id/ bitstream/ handle/ 123456789/ 17473/ A02jpp. pdf? sequence=2 Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press Porter ME. 2006. The Competitive Advantage of Nations. Dalam: Puspita. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Purnamasari R. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2008. Outlook komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian.
112
Puspita Agnes. 2009. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rachmawati M. 1999. Analisis Perdagangan Kedelai di Indonesia (Penerapan Model Armington) [skripsi]. Bogor: Fakultas ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.Puspita, Rangkuti Freddy. 2005. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis: reoriantasi konsep perencanaan strategis untuk menghadapi abad 21. Cetakan kedua belas. PT Gramedia pustaka utama. Jakarta. Saragih B, 2010. Suara Agribisnis. Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Jakarta: PT Permata Wacana Lestari. Sarwoto, 2004. Dalam Handayani D. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sejati K, Kustiari R, Rivai RS, Zakaria AK, Nurasa T. 2009. Kebijakan Intensif Usahatani Kedelai untuk Mendorong Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Bogor: Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Subandi, Harsono A dan Kuntyastuti H 2007. Areal Pertanaman dan Sistem Produksi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2007. Hlm 104-129. Sudaryanto T, Swastika DKS. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 1-27. Sumarno, Mansuri AG. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2007. Hlm 74-103. Supandi, 2008. Menggalang Partisipasi Petani untuk Meningkatkan Produksi KedelaiMenujuSwasembada.http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publ ikasi/p3273085.pdf [27 November 2010]. Suryana et al. 2005. Prospek dan arah Pengembangan Kedelai. Dalam: Handayani. Simulasi Kebijakan Dayasaing Kedelai Lokal pada Pasar Domestik. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Swastika DKS, Nuryanti S, Sawit MH. 2007 Kedudukan Indonesia dalam Perdagangan Internasional Kedelai. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 28-44.
113
Tangendjaja B, Yusdja Y, Ilham N. 2003. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung untuk Pakan. Dalam: Karsyo et.al (Eds.). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Dalam Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 1-27. Widowati S. 2007. Teknologi Pengolahan Kedelai. Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pertanian. Hlm 491-521. Yoshida DT, 2006. Arsitektur Strategik: Solusi Meraih Kemenangan dalam Dunia yang Senantiasa Berubah. Jakarta: PT Media Elek Komputindo. U.S. Department of Agriculture (USDA). 2010. World Soybean Production, Consumption, Area, and Yield. Dalam: http : //www. earth-policy. Org / data_center/C24. Zakaria AK. 2010. Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. http: //pustaka. litbang. deptan. go. id/ publikasi/ p3294104. pdf
114
LAMPIRAN
115
Lampiran 1. Proyeksi Konsumsi Kedelai Tahun 2010-2014 No.
Tahun
1 2010 2 2011 3 2012 4 2013 5 2014 Pertumbuhan (%)
Jumlah Penduduk 234.181 236.954 239.687 242.376 245.021 1,31
Konsumsi Perkapita (Kg)**) 10,10 10,10 10,20 10,20 10,20 0,24
Jumlah Konsumsi 2,365 2,393 2,445 2,472 2,499 1,38
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
116
Lampiran 2. Analisa Usahatani Kedelai di Jawa dan Luar Jawa Wilayah Jawa No
Uraian
Volume
A. TENAGA KERJA -Penyiapan lahan 10HOK -Penanaman 15HOK -Pemupukan 5 HOK -Penyiangan 20HOK -Penyemprotan 5 HOK -Panen 10HOK -Pengeringan 10HOK -Perontokan 10HOK -Penyimpanan 5 HOK Jumlah A : B. SARANAPRODUKSI -Benih 40 Kg -Urea 50 Kg -NPK 100 Kg -Pestisida 2 ltr Jumlah B: C. LAIN-LAIN PENGELUARAN - Sewa lahan Jumlah C Jumlah A+B+C: 1. Total biaya produksi 2. Total Produksi 1.600Kg 3. Harga jual 1.600Kg 4. Pendapatan bersih (3-1) 5. R/C (3/1)
Wilayah Luar Jawa
Satuan Jumlah Biaya Satuan Biaya Jumlah Biaya Volume Biaya(Rp) (Rp) (Rp) (Rp) 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
200.000 300.000 100.000 400.000 100.000 200.000 200.000 200.000 100.000 1.800.000
12.000 1.200 1.750 125.000
480.000 60.000 175.000 250.000 965.000
15 HOK 5 HOK 20 HOK 5 HOK 10 HOK 10 HOK 10 HOK 5 HOK
20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000 20.000
200.000 300.000 100.000 400.000 100.000 200.000 200.000 200.000 100.000
40 Kg 50 Kg 100 Kg 2 ltr
12.000 1.200 1.750 125.000
480.000 60.000 175.000 250.000 965.000
2.000.000 2.000.000 4.765.000 4.765.000 6.000
9.600.000 4.835.000 2,01
1.200.000 1.200.000 3.965.000 3.965.000 1.400Kg 1.400Kg
6.000
3.965.000 8.400.000 4.435.000 2,12
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
117
Lampiran 3. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Kedelai Tahun
Luas panen Pertumbuhan ha (%)
1995 1.476,284 1996 1.277,736 1997 1.118,140 1998 1.094,262 1999 1.151,079 2000 824,484 2001 678,848 2002 544,522 2003 526,796 2004 565,155 2005 621,541 2006 580,534 2007 459,116 2008 590,956 2009 722,791 Rata-rata : 1995-1999 2000-2004 2005-2009 -
-13,45 -12,49 -2,16 5,19 -28,37 -17,66 19,79 -3,26 7,28 9.98 -6,6 -20,91 29,34 22,3 -4,58 -2,04 6,82
(t/ha)
11,37 11,86 12,13 11,93 12,01 12,34 12,18 12,36 12,75 12,80 13,01 12,88 12,91 13,13 13,48 -
Produktivitas Pertumbuhan (%)
2,28 -1,65 0,67 2,75 -0,13 1,48 3,16 0,39 1,64 -0,99 0,23 1,7 2,67 2,28 -1,65 0,78 1,14 1,05
(000 t)
Produksi Pertumbuhan (%)
1.679,092 1.515,937 1.356,108 1.304,950 1.382,848 1.017,634 826,932 673,056 671,600 23,483 808,353 747,611 592,534 775,710 974,512
-9,72 -10,54 -3.77 5,97 -26,41 -18,74 -18,61 -0,27 7,73 11,73 -7,51 -20,74 30,91 25,56
-
-3,61 -11,26 7,99
Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanian (2010) [diolah]
118
Lampiran 4. Perkembangan Produk Olahan Kedelai di Indonesia
No. 1 2
3 4 5 6
7
Propinsi/Kabupaten NAD Sumut Deli Simalungun Kd.Tebing Tinggi Kd. Medan Kd. P. Siantar Jambi Sumsel Muara Enim Muba Lampung Bdr Lampung L. Tengah DKI Jakbar Jaktim Jakpus Jakut Jaksel Jabar Bandung Bekasi Bogor Cianjur Cirebon Garut Karawang Majalengka Purwakerta Serang Sumedang Tangerang Kd Bandung Kd Bekasi Kd Bogor Kd Cirebon Kd Sukabumi Kd Tangerang
Jumlah Perusahaan (buah)
Produk Keripik Tempe Kecap Manis Tempe (kg) (ltr) (kg)
Tahu (kg)
2 4 10 2 4 6 1
417.857 152.410
1 1
16.650
54.180
158.824 15.930
12.789.648
563 45.000
1 22
1.999.725
84.680
25 53 106
12.430.126 39.878.730 1.040.700
1.199.860 5.232.633 2.771.486
92
61.869.007
4.881.980
1 2 15 1 4 1 16 3 4 4 3 12 68 23 2 3 4 10
480
1.233.025 15.000 109.375 13.457.921
1.971.850
587.050
58.740 29.370 832.667 263.333 787.500 1.950 1.110.675 11.537.424 2.851.752 4.758.400 726.317 480.000 11.250 2.603.123
270.776 299.000 18.360 368.250 374.000 370.240 43.200 1.581.720 1.094.640 1.341.109
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2004)
119
No. 8
9
Jumlah Propinsi/Kabupaten Perusahaan (buah) Jateng Banjarnegara Banyumas Blora Boyolali Cilacap Demak Jepara Karanganyar Kebumen Klaten Kudus Pati Purworejo Rembang Semarang Sragen Surakarta Tegal Temanggung Wonogiri Kd. Magelang Kd. Surakarta Kd. Tegal DIY Kd Yogya Bantul G. Kidul Kulon Progo Sleman
11 6 29 1 6 6 1 2 11 7 15 14 21 3 5 1 2 2 4 8 46 4 1 9 3 1 1 2
Produk Tahu (Kg)
Tempe (Kg)
116.400
41.800
1.449.530 900.000 201.275 53.500
8.618
278.000 386.000 118.530 1.099.800 968.960 385.500 50.000 445.000
800.000 204.000 2.286.568 322.500 38.200.000 126.000 6.250.000
Keripik Tempe (Kg)
Kecap Manis (ltr)
64.560 1.043.200 69.000 215.520
72.000
28.800 117.400 17.400
49.000
36.000 50.000 118.272 294.884 75.306 216
3.720.624 38.310 103.509
175.000 7.800
15.000 7.000 12.000 30.000 21.000 144.000 322.500
120.000 40.000 6.000
81.000 147.708 67.920 94.000
72.000.000
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2004)
120
No Propinsi/Kabupaten 10 Jatim Madiun Malang Pasuruan Probolinggo Kd Surabaya Banyuwangi Blitar Bojonegoro Gresik Jember Jombang Kediri Lamongan Lumajang Magetan Nganjuk Ngawi Pacitan Ponorogo Sammpang Sidoarjo Situbondo Sumenep Trenggalek Tuban Tulungagung Kd Blitar Kd Kediri 11 NTB Kd Mataram Sumbawa Dompu Bima 12 NTT Ende
Jumlah Perusahaan (buah)
10 4 9 5 2 7 15 1 8 32 1 1 11 30 1 14 18 5 1 32 1 1 1 4 1 10 6
Produk Tahu (Kg) 1.050.000 781.152 1.023.659 5.881.527 6.803.000 64.980 90.988 16.432
Tempe (Kg)
180.150 115.200
43.325.600 239.560
12.156 50.000 90.540 565.408
605.060 938.100
131.000 1.505.280
181.445 1.952.300 711.893 4.143.412 23.000
Keripik Tempe (Kg)
151.200 312.000 166.140 50.000.000 157.500 27.000 48.000 11.642 3.300
108 27.360 4.380 565.149
Kecap Manis (ltr)
1.080.000 180.000
546 1.350
168.000 10.505
23.625 87.225
119.340
920.000 390.950
36.500
8 29 6 1
205.335 800.867 145.000 20.000
14.950 318.833 2.500
1
10.400
5.200
1.250
36.800
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2004)
121
Lampiran 5. Kualitas Tempe dari Varietas Unggul Kedelai Nasional dan Kedelai Impor Uraian Bobot 100 biji (g) Kadar protein biji (% bk) Kadar protein tempe • Bobot basah (%) • Bobot kering (%) Rendemen (%) Warna, aroma dan rasa tempe menurut responden
Burangrang 16,2
Bromo 15,8
Kedelai Impor 16,0
39,2
37,8
35,0
26,7 75,2 152,5
24,3 65,2 148,4
22,1 60,2 138,4
disukai
disukai
disukai
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008)
122
Lampiran 6. Varietas Unggul Kedelai yang memiliki Potensi Produksi > 2 ton/ha NAMA VARIETAS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kipas Merah Bireun Detam 1 Grobogan Kaba Sinabung Anjasmoro Argopuro Argomulyo Baluran Detam 2 Gepak Kuning Tanggamus Burangrang Merubetiri Panderman Malika Ijen Gepak Ijo Mahameru
POTENSI HASIL (TON/HA) 3,50 3,45 3,40 3,25 3,25 3,20 3,05 3,10 3,00 2,96 2,86 2,90 2,70 2,50 2,37 2,34 2,30 2,21 2,16
UMUR (HARI) 85-90 84 76 85 88 83-93 84 80-82 80 82 73 88 80-82 95 85 85-90 83 76 84-95
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
123
Lampiran 7. Perbandingan Produktivitas Kedelai Tahun 2007 dan Tahun 2008 (setelah pelaksanaan SL-PTT) No
Provinsi
1 N Aceh D. 2 Sumut 3 Jambi 4 Sumsel 5 Lampung 6 Jabar 7 Jateng 8 D.I. Yogya 9 Jatim 10 Banten 11 NTB 12 Sulsel Rata-rata
Produktivitas (ku/ha) Tahun 2007 SL-PTT Tahun Peningkatan NON SL-PTT*) 2008**) Absolut 12,90 13,70 0,80 11,60 13,14 1,54 12,67 12,84 0,17 14,44 16,49 2,05 11,29 12,30 1,01 14,03 14,94 0,91 14,65 17,61 2,96 10,75 15,60 4,85 12,63 16,04 3,41 12,84 12,96 0,12 12,02 12,90 0,88 15,77 16,19 0,42 12,97 14,56 1,59
Persen 6,20 13,27 1,34 14,19 8,94 6,48 20,20 45,11 26,99 0.93 7,32 2,66 12,26
Sumber: Direktorat Jendral Tanaman Pangan (2010)
124