19
2. Merumuskan strategi dan merancang program pengembangan ekonomi lokal berbasis agribisnis perikanan di Kabupaten Kepulauan Aru. 1.3.2 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari dilakukannya kajian ini adalah: 1. Kajian ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru untuk meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal berbasis agribisnis perikanan dan menggerakkan kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan ekonomi wilayah secara terukur, terencana dan berkelanjutan; dan 2. Kajian ini dapat membantu mengubah paradigma stakeholder pembangunan di Kabupaten Kepulauan Aru, agar kegiatan ekonomi yang dilakukan berbasis sumberdaya lokal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal yang berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh strategi yang dianut daerah tersebut. Konsep pembangunan ekonomi daerah membantu dalam mengidentifikasi strategi yang telah digunakan dan/atau akan digunakan oleh Kabupaten Kepulauan Aru. Menurut Suparmoko (2001) strategi pembangunan ekonomi daerah adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan Pertanian Versus Industri Perekonomian suatu daerah dapat dikelompokkan menjadi sembilan sektor usaha, namun dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi daerah sering perhatian hanya dipusatkan pada dua sektor utama yaitu sektor pertanian dan sektor industri. Sektor pertanian sebagai sektor yang berhubungan erat dengan pengolahan langsung sumberdaya alam yang tersedia dan sektor industri sebagai sektor yang mengolah sumberdaya alam menjadi barang produksi ataupun barang konsumsi. Dengan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi yang ada, setiap daerah mempunyai potensi dalam pengembangan sektor pertanian atau sektor industri. Pada umumnya setiap daerah berkeinginan untuk mencukupi bahan pangannya sendiri sehingga sektor pertanian selalu menjadi perhatian pertama untuk dikembangkan terlebih duhulu. Sektor pertanian juga dapat dikembangkan untuk menghasilkan produk pertanian sebagai masukan (input) bagi sektor industri pengolahan. Jadi sebenarnya bukan pilihan antara sektor industri atau sektor pertanian yang harus
20
dikembangkan, melainkan harus diusahakan suatu pembangunan ekonomi yang terpadu (integrated), di mana sektor pertanian dikembangkan dengan produksi pertaniannya digunakan sebagai bahan baku bagi sektor industri pengolahan. Dan sektor industri pengolahan sedapat mungkin juga mendukung sektor pertanian dengan menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh sektor pertanian. 2. Inward Looking Versus Outward Looking Strategi ini sebenarnya bertumpu pada peranan pasar, yang mana barang dan jasa yang telah di produksi harus dipasarkan ke konsumen. Strategi Inward Looking berorientasi pada pasar lokal dari daerah itu sendiri, sedangkan strategi Outward Looking berorientasi pada pasar di luar daerah. Strategi ini sebaiknya dalam bentuk produk akhir agar dapat diperoleh nilai tambah untuk menciptakan multiplier di daerah yang bersangkutan. 3. Titik Pertumbuhan (Growing Point) Dalam perkembangan perekonomian suatu daerah perlu diperhatikan simpul-simpul pertumbuhan yang ada. Kegiatan yang ada pada simpul atau titik pertumbuhan ini biasanya akan mampu menyebar ke daerah belakang melalui kekuatan permintaan dan penawaran yang ada. Pertumbuhan dengan pola ini biasanya akan mengikuti pola pertumbuhan yang sifatnya tidak seimbang. Pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengembangkan titik pertumbuhan dengan cara menyediakan perizinan dan prasarana, maupun perpajakan dan retribusi sebagai alat kontrol. 4. Kaitan ke Belakang (Backward Linkages) dan Kaitan ke Depan (Forward Linkages) Dalam perkembangan suatu daerah perlu diperhatikan sektorsektor yang mempunyai banyak keterkaitan pada sektor lain. Semakin banyak keterkaitannya, baik kaitan ke belakang atau kaitan ke depan maka akan semakin cepat perekonomian di daerah itu akan berkembang. Kaitan ke belakang berarti pengembangan sektor lain sebagai tempat membeli dan kaitan ke depan berarti pengembangan sektor lain sebagai tempat menjual. Kalau pemerintah berperan mengarahkan kegiatan ekonomi, sebaiknya kegiatan diarahkan pada kegiatan yang mempunyai keterkaitan ke depan maupun ke belakang yang panjang. 5. Sektor Pemimpin (Leading Sectors) Dalam pembangunan ekonomi daerah biasanya ada sektor yang menjadi prime mover perekonomian, yang biasanya mempunyai laju pertumbuhan tinggi dan dapat terus didorong dengan kebijakan pemerintah daerah serta mampu mendorong sektor lain untuk tumbuh. 2.2 Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal Konsep pengembangan ekonomi lokal (PEL) mulai berkembang di negara-negara maju baik di Amerika Serikat maupun Eropa. Sejak tahun 1960, PEL telah mengalami tiga tahapan besar atau gelombang pengembangan. Pada setiap tahapan atau gelombang tersebut para praktisi telah mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang
21
keberhasilan dan kegagalan dari PEL. Saat ini PEL ada pada gelombang ketiga. Walaupun PEL telah mengalami perubahan dalam ketiga gelombang tersebut, namun setiap unsur dalam setiap gelombang tersebut masih dipraktikkan sampai sekarang (Bappenas, 2006). Menurut Wolfe and Creutzberg ketiga gelombang PEL adalah pertama, pendekatan tradisional; kedua. pengembangan kapasitas; dan ketiga, fokus pada kualitas kehidupan dan aliran informasi. Pendekatan tradisional (traditional approach) yang berkembang sejak periode 1950-an sampai dengan pertengahan 1980-an terutama memfokuskan pada upaya menarik perusahaan-perusahaan individual melalui input produksi yang murah, infrastruktur yang bersubsidi, pemberian subsidi langsung atau penurunan pajak. Dengan berbagai insentif tersebut diharapkan berbagai perusahaan individual akan menempatkan perusahaannya di Iokasi-lokasi tertentu serta mampu menggerakkan perkembangan ekonomi Iokal di lokasi-lokasi tersebut (Bappenas, 2006). Pendekatan kedua menekankan pengembangan kapasitas (capacity building approach) yang berkembang selama perinde 1980-an mencoba mengembangkan infrastruktur pendidikan dan teknologi dalam membangun basis pengetahuan yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan kemampuan kompetitif dalam merespon perubahan lingkungan ekonomi. Beberapa instrumen yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain difokuskan pada upaya penutupan kesenjangan di pasar modal; modernisasi perusahaan kecil dan menengah; percepatan transfer teknologi dari perguruan tinggi ke dunia industri; dan peningkatan kemampuan (skills) pekerja dan manajemen (Bappenas, 2006). Pendekatan ketiga menekankan peran penting dari kualitas infrastruktur fisik, sosial, dan pengetahuan dalam sebuah wilayah atau lokalitas tertentu. Terwujudnya kualitas kehidupan yang baik serta lancarnya akses dan arus informasi di suatu Iokasi akan mampu menjadi penggerak utama dalam proses pengembangan ekonomi Iokal (Bappenas, 2006). Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Definisi PEL tersebut difokuskan pada:(1) peningkatan kandungan lokal; (2) pelibatan stakeholder secara optimal dalam suatu kemitraan strategis; (3) peningkatan ketahanan dan kemandirian ekonomi daerah; (4) pembangunan berkelanjutan; (5) pemanfaatan hasil pembangunan oleh sebagian besar masyarakat lokal; (6) pengembangan UKM; (7) pertumbuhan ekonomi yang dicapai secara inklusif; (8) penguatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia; (9) pengurangan kesenjangan antar golongan masyarakat, antar Sektor, dan antar daerah; dan (10) pengurangan dampak negatif dari kegiatan ekonomi terhadap lingkungan (Bappenas, 2006). Sementara itu konsep pengembangan ekonomi lokal yang ditawarkan oleh Boulle (2002) adalah proses penjalinan kepentingan
22
antara sektor pemerintah, swasta, produsen dan masyarakat, dengan mengoptimalkan sumber daya lokal (manusia, alam dan sosial), di dalam sebuah komunitas, dengan tujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Perhatian khusus diberikan pada dampak pertumbuhan ekonomi terhadap rumah tangga miskin dan usaha kecil. Dendi (2004) menawarkan konsep pengembangan ekonomi lokal yang merupakan sebuah proses yang membentuk kemitraan pelaku (stakeholders) ekonomi, yakni pemerintah daerah, kelompok-kelompok berbasis masyarakat dan sektor swasta dalam mengelola sumberdaya yang tersedia untuk menciptakan lapangan kerja dan menggiatkan ekonomi daerah. Pendekatan tersebut menekankan kewenangan lokal, menggunakan potensi sumberdaya manusia, sumberdaya fisik dan kelembagaan. Kemitraan pengembangan ekonomi lokal mengintegrasikan upaya mobilisasi para pelaku, organisasi dan sumberdaya, serta pengembangan kelembagaan baru melalui dialog dan kegiatan-kegiatan strategik. Boulle (2002) melihat pengembangan ekonomi lokal sebagai sebuah pendekatan yang menghubungkan daerah pedesaan atau daerah terbelakang dengan sistem ekonomi pasar guna memacu kegiatan ekonomi daerah tersebut. Pengembangan dan integrasi tersebut dicapai dengan berfokus pada klaster yang memberikan kesempatan bagi kaum miskin untuk memainkan peranan penting dalam kegiatan ekonomi itu. Pada gilirannya, implementasi pengembangan ekonomi lokal akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan dan kesempatan, serta memunculkan strategi untuk menjaga agar sebagian besar kesempatan memperoleh pendapatan bertahan di daerah yang bersangkutan. Daerah akan menerima manfaat berupa peningkatan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari peningkatan pendapatan rumah tangga, di samping memperoleh pendapatan langsung. Menurut Boulle (2004) pengembangan ekonomi lokal dan pengentasan kemiskinan mustahil dilakukan tanpa kemauan politik dan dukungan pemerintah, baik dalam menjamin kebijakan yang akomodatif maupun prioritas sumberdaya yang menyangkut infrastruktur, fasilitas dan dukungan jasa-jasa. Selain pihak pemerintah, ada tiga stakeholder kunci lain yang harus diajak ikut serta dalam setiap proses pengembangan ekonomi lokal yakni, sektor swasta, masyarakat dan produsen. Menurut Dendi (2004) pengembangan ekonomi lokal diarahkan untuk mencapai tiga tujuan yang saling berkaitan, yaitu: (1) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja; (2) berkurangnya jumlah penduduk miskin; (3) terwujudnya mata rantai kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Boulle (2004) mengemukakan bahwa pengembangan ekonomi lokal memainkan peranan penting dalam mendorong kapasitas produsen dan membantu mereka dalam memperkuat posisi. Program penguatan yang dikembangkan difokuskan pada: (1) Pembentukan basis kolektif atau mendorong kemapanan organisasi; (2) Meningkatkan ketrampilan dan kapasitas produsen; serta (3) Menyiapkan wahana bagi para produsen untuk terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan. Produsen
23
merupakan kelompok yang paling lemah dan memerlukan dukungan untuk menyuarakan kepentingan mereka maupun untuk meningkatkan ketrampilan mereka. Mengorganisir para produsen ke dalam sebuah kelompok hanyalah merupakan salah satu bagian dari upaya untuk perbaikan. Dan peningkatan ketrampilan dan kapasitas produsen dalam berproduksi dan menjalankan bisnis serta meningkatkan akses pasar merupakan bagian terpenting dari program penguatan. Menurut Boulle (2004) kapasitas produsen harus dibangun melalui dua pendekatan. Pertama, kapasitas organisasi agar memiliki suara yang kuat dan jelas dalam kemitraan, dan kedua, pengembangan ketrampilan untuk menjamin peningkatan produksi dalam klaster yang bersangkutan. Menurut Dendi (2004) konsep pengembangan ekonomi lokal yang pro-masyarakat miskin mementingkan beberapa prinsip pokok, yakni: (1) Investasi pada peningkatan sumberdaya manusia dan kapital sosial penduduk miskin; (2) Kebijakan dan pelayanan yang menghasilkan tersedianya secara luas dan berkelanjutan kebutuhan dasar masyarakat (akses pangan, air bersih, perumahan, kesehatan dan pendidikan); (3) Kebijakan dan pelayanan yang mengurangi biaya-biaya transaksi sehingga membuka peluang bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan dan atau nilai tambah dari usaha sendiri; (4) Peningkatan akses masyarakat miskin kepada sumberdaya ekonomi (modal, lahan, sarana produksi, informasi pasar dan lain-lain); dan (5) Pembangunan yang ramah lingkungan. Konsep ini menggambarkan upaya optimalisasi sumberdaya lokal yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan, yang berguna bagi pelaksanaan revitalisasi PEL di Kabupaten Kepulauan Aru. 2.3 Konsep Revitalisasi PEL Berdasarkan reviu terhadap berbagai konsep pengembangan ekonomi lokal (PEL) yang ada serta berbagai program pemerintah tentang pengembangan ekonomi lokal yang telah dilaksanakan selama ini, Bappenas (2006) menawarkan konsep revitalisasi PEL yang bertujuan untuk mengubah paradigma pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap PEL sebagai instrumen untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal yang berkelanjutan. Dalam konsep revitalisasi PEL tersebut pengembangan ekonomi lokal didefinisikan sebagai usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi suatu wilayah yang berkelanjutan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengurangan kesenjangan antar kelompok masyarakat, antar sektor dan antar wilayah. Konsep ini membantu untuk memetakan kondisi atau status PEL Kabupaten Kepulauan Aru dan faktor pengungkitnya, serta langkahlangkah tindak lanjutnya untuk memperbaiki kondisi PEL. Revitalisasi PEL merupakan upaya menggerakkan kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan
24
perekonomian wilayah secara terukur, terencana, dan berkelanjutan untuk meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal. Sehingga diharapkan pengembangan ekonomi lokal pada masa mendatang tidak lagi menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bersifat keproyekan (Bappenas, 2006). Revitalisasi PEL merupakan tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama pada tingkat kabupaten atau kota. Pemangku kepentingan utama (key stakeholder) adalah pemerintah (Bappeda dan SKPD) dan Usahawan (pelaku usaha dan perbankan), sedangkan pemangku kepentingan lainnya adalah perguruan tinggi dan kelompok masyarakat madani lainnya (Bappenas, 2006). Revitalisasi PEL terdiri dari lima tahapan, yaitu: (1) Pengembangan dan Penguatan Kemitraan Strategis PEL; (2) Kajian Cepat Status PEL; (3) Penyusunan Rencana dan Anggaran; (4) Pelaksanaan; dan (5) Monitoring dan Evaluasi (Bappenas, 2006). Kajian ini termasuk dalam tahapan kajian cepat status PEL yang kemudian dijabarkan dalam strategi dan program, namun belum sampai kepada rencana tindak. Tahapan revitalisasi pengembangan ekonomi lokal tersaji pada Gambar 1. Pengembangan dan Penguatan Kemitraan
Identifikasi Stakeholder
Penetapan Faktor Pengungkit Pengembang an Ekonomi Lokal
Pemetaan Status PEL
Analisis Data
Penyusunan Rencana Tindak dan Anggaran
Pengumpulan Data
TAHAP I
TAHAP II
Integrasi kedalam Dokumen Rencana Daerah
RPJMD Penyusunan Rencana Bisnis
TAHAP III RKPD
APBD
Sumber : Bappenas, 2006
Pelaksanaan Pengembangan ekonomi lokal
TAHAP IV
Gambar 1 Tahapan Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal Monitoring dan Evaluasi
TAHAP V
25
Revitalisasi PEL biasanya menggunakan Konsep Porter's Diamond dari Michael Porter, namun konsep tersebut mempunyai kelemahan mendasar yaitu tidak ada aspek lokasi maupun ruang (spatial). Padahal dalam ekonomi wilayah, faktor ini merupakan syarat keharusan, jika tidak ada maka konsep tersebut relatif sama dengan konsep ekonomi pada umumnya yang tidak memperhitungkan ruang (spaceless world). Oleh karenanya, dalam revitalisasi PEL lebih tepat apabila menggunakan konsep Heksagonal PEL yang dikembangkan oleh Jorg Meyer Stamer (Bappenas, 2006). Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menggambarkan dan mengukur kondisi PEL di suatu wilayah. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap komponen heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage factor), yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Berdasarkan nilai faktor pengungkit tersebut selanjutnya disusun strategi pengembangan PEL (Bappenas, 2006). Ada enam unsur yang menjadi komponen PEL, yang disebut dengan heksagonal. Dalam heksagonal terdapat enam segitiga yang berfungsi untuk mengorganisasikan konsep utama dan instrumen PEL. Heksagonal dapat membantu praktisi dan stakeholder untuk memahami kompleksitas PEL serta mempertimbangkan trade-off dan kemungkinan konflik yang ada dalam PEL (Bappenas, 2006). Enam unsur yang menjadi komponen PEL atau heksagonal PEL (Bappenas, 2006) terdiri dari: 1. Kelompok sasaran PEL
Kelompok sasaran PEL adalah pelaku usaha yaitu pelaku usaha lokal. investor luar, dan pelaku usaha baru 2. Faktor lokasi
Faktor yang menggambarkan daya tarik dari sebuah lokasi bagi penyelenggaraan kegiatan (usaha), terdiri dari : faktor lokasi terukur (tangible factor), faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi pelaku usaha dan faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) individual. 3. Kesinergian dan fokus kebijakan
Tiga hal yang saling berkaitan dalarn PEL adalah perluasan ekonomi. pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas, serta pembangunan wilayah. Ketiga hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda namun saling berhubungan dan membentuk keterkaitan. 4. Pembangunan berkelanjutan
Terdiri dari pembangunan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Aspek ini merupakan bagian dari pendekatan PEL yang inovatif. 5. Tata kepemerintahan
Segitiga dalam ketatakepemerintahan memastikan bahwa hubungan pelaku usaha dan masyarakat dibangun atas berlangsungnya reformasi sektor publik dan pengembangan organisasi pelaku usaha.
26
6. Proses manajemen
PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa dan perencanaan, implementasi dan monitoring, serta evaluasi, patok duga (benchmark) dan refleksi. Dalam heksagonal terdapat enam segitiga yang merupakan komponen PEL yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Segitiga pertama dan kedua yaitu kelompok sasaran PEL dan faktor lokasi merupakan instrumen kunci dari PEL. Segitiga ketiga dan keempat yaitu kesinergian dan fokus kebijakan, dan pembangunan yang berkelanjutan merupakan faktor inovatif yang akan memperluas cakupan PEL. Faktor kelima dan keenam merupakan isu penting yang terjadi dalam proses penerapan PEL (Bappenas, 2006). Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersaji pada Gambar 2.
Kelompok Sasaran Proses
Manajemen SUMBERDAYA LOKAL (SEKTOR BASIS) Faktor Lokasi Tata Pemerintahan
PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH BERKELANJUTAN
Kesinergian dan
STATUS PEL BERBASIS AGRIBISNIS Fokus Kebijakan PERIKANAN Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : Bappenas, 2006
Gambar 2 Heksagonal PEL
27
2.4 Konsep Sistem Agribisnis Perikanan Menurut Oktariza dan Nurhayati (2009), Sistem Agribisnis Perikanan terdiri dari empat rangkaian kegiatan, yaitu: 1. Subsistem Pengadaan Sarana dan Prasarana Produksi (UpStream agribusiness) Subsistem pengadaan sarana dan prasarana produksi yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan atau memproduksi sarana dan prasarana produksi. Subsistem ini berbeda untuk usaha perikanan tangkap dan budidaya perikanan, pada usaha perikanan tangkap sarana dan prasarana yang dibutuhkan meliputi alat penangkapan ikan (perahu, mesin, jaring/alat tangkap dan alat bantu penangkapan), bahan bakar minyak, es, bekal melaut dan tenaga kerja. Sedangkan pada usaha budidaya perikanan sarana dan prasarana yang dibutuhkan meliputi benih/bibit, pakan, pupuk, obat-obatan, bahan bakar minyak, es, peralatan dan tenaga kerja. 2. Subsistem Proses Produksi (On-Farm Agribusiness) Subsistem proses produksi yaitu kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana dan prasarana produksi untuk menghasilkan produk primer yakni ikan, baik dari usaha perikanan tangkap maupun budidaya perikanan. Proses produksi berbeda untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya perikanan, pada usaha perikanan tangkap manajemen produksi meliputi manajemen kapal dan alat tangkap, manajemen operasi penangkapan ikan, manajemen daerah penangkapan dan manajemen penanganan hasil tangkapan. Sedangkan pada usaha budidaya perikanan manajemen produksi meliputi manajemen kolam, manajemen benih/bibit, manajemen pemberian pakan, manajemen kesehatan ikan, manajemen kualitas air dan manajemen panen. 3. Subsistem Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran (DownStream Agribusiness) Subsistem Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran adalah gabungan dua subsistem, yaitu subsistem pengolahan hasil perikanan yang merupakan kegiatan ekonomi untuk mengolah produk primer menjadi produk olahan agar mempunyai nilai tambah dan subsistem pemasaran yang merupakan kegiatan ekonomi untuk menggerakkan barang dari produsen (nelayan, pembudi daya ikan dan pengolah ikan) kepada konsumen.
28
4. Subsistem Pendukung (Supporting System) Subsistem pendukung yaitu lembaga atau individu yang menyediakan jasa bagi terlaksananya kegiatan ekonomi ketiga subsistem sebelumnya, lembaga permodalan, lembaga penelitian, lembaga penyuluhan dan pengembangan sumberdaya manusia. Subsistem ini berfungsi untuk memperlancar pelaksanaan pengembangan agribisnis perikanan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Menurut Said dan Intan (2001) keberadaan kelembagaan pendukung pengembangan agribisnis sangat penting untuk menciptakan agribisnis yang tangguh dan kompetitif. Lembaga-lembaga pendukung tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis dalam mewujudkan tujuan pengembangan agribisnis. Beberapa lembaga pendukung pengembangan agribisnis adalah: a. Pemerintah Pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan usaha agribisnis yang kondusif dan mampu mendukung pengembangan agribisnis yang tangguh. Lembaga pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai daerah, memiliki wewenang regulasi dalam menciptakan lingkungan agribisnis yang kompetitif dan adil. Regulasi pemerintah tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok di bawah ini. 1) Regulasi untuk menjamin terciptanya lingkungan bisnis yang kompetitif dan mencegah monopoli dan kartel. 2) Regulasi untuk mengontrol kondisi-kondisi monopoli yang diizinkan, seperti BUMD yang mengelola usaha public utility. 3) Regulasi untuk fasilitas perdagangan. 4) Regulasi dalam penyediaan pelayanan publik, terutama untuk fasilitas layanan yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan agribisnis. 5) Regulasi untuk proteksi, baik proteksi terhadap konsumen maupun produsen. 6) Regulasi yang terkait langsung dengan harga komoditas agribisnis, inputinput agribisnis, dan peralatan-peralatan agribisnis. 7) Regulasi terhadap peningkatan ekonomi dan kemajuan sosial. 8) Regulasi terhadap sistem pembiayaan agribisnis. 9) Regulasi terhadap sistem penanggungan resiko agribisnis.
29
b. Lembaga Pembiayaan Lembaga pembiayaan agribisnis memegang peranan yang sangat penting dalam mengembangkan usaha agribisnis, terutama dalam penyediaan modal investasi dan modal kerja, mulai dari sektor hulu sampai hilir. c. Lembaga Pemasaran dan Distribusi Peranan lembaga pemasaran dan distribusi menjadi ujung tombak keberhasilan pengembangan agribisnis, karena fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan antara deficit units (konsumen) dan surplus units (produsen). Lembaga pemasaran dan distribusi juga memegang peranan penting dalam memperkuat integrasi antarsubsistem dalam sistem agribisnis. Dengan demikian, pengembangan agribisnis yang terpadu harus juga mampu memperkuat peranan dan memberdayakan lembaga pemasaran dan distribusi secara efektif dan efisien. Pembinaan terhadap lembaga pemasaran dan distribusi sangat diperlukan karena serangkaian aktivitasnya menjadi penentu utama besarnya marjin antara harga ditingkat produsen dan harga ditingkat konsumen. Salah satu ukuran distribusi yang efisien adalah rendahnya marjin antara harga produsen dan harga konsumen, namun tidak berarti lembaga pemasaran dan distribusi tersebut tidak mendapat untung, tetapi lebih pada upaya pembagian yang adil dari semua nilai tambah yang tercipta dalam suatu sistem komoditas kepada setiap pelaku yang terlibat. d. Koperasi Koperasi sebagai badan ekonomi rakyat, yang lahir sebagai pengejawantahan kekuatan ekonomi anggotanya, memiliki peranan yang sangat penting dalam menghimpun kekuatan ekonomi anggota untuk kemaslahatan bersama dengan asas kekeluargaan. Dalam hal peranannya dalam pengembangan agribisnis, dapat dilihat dari fungsinya sebagai penyalur input-input perikanan dan lembaga pemasaran hasilhasil perikanan. e. Lembaga Pendidikan Lembaga pendidikan dibidang agribisnis hendaknya menangkap paradigma-paradigma pembelajaran dan pendidikan yang mampu melahirkan tenaga-tenaga terdidik yang profesional dan spesialis dalam bidangnya. Lembaga pendidikan harus mampu mandiri dan memiliki kebebasan dalam menentukan masa depannya menghadapi era persaingan global, terutama lembaga pendidikan tinggi. Pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, bukan sebagai pengatur dan penentu mekanisme sistem pendidikan. Dengan demikian, diharapkan lembaga pendidikan tinggi akan mampu menata diri dan memiliki ruang gerak yang luas tanpa terbelenggu oleh aturan main yang berbelit-belit. f. Lembaga Penyuluhan Perikanan Peranan penyuluh perikanan untuk memperkenalkan berbagai program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah dan membimbing dalam pelaksanaannya, diharapkan ke depan peranannya
30
bukan lagi menjadi penyuluh penuh, melainkan lebih kepada fasilitator dan konsultan perikanan. g. Lembaga Riset Peranan lembaga riset bagi pengembangan agribisnis perlu digerakkan dalam upaya meraih keunggulan bersaing bagi produk-produk agribisnis dalam memasuki era pasar bebas. Semua lembaga riset yang terkait dengan pengembangan agribisnis harus menjadi ujung tombak bagi keberhasilan agribisnis yang memiliki keunggulan mutu produk dan pengembangan diferensiasi dengan produk sejenis yang diproduksi negara/daerah lain. h. Lembaga Penjamin dan Penanggung Resiko Risiko di bidang agribisnis tergolong besar, namun hampir semuanya dapat diatasi dengan teknologi dan manajemen yang handal. Namun demikian, dibutuhkan lembaga penjamin risiko yang mampu menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran para pelaku bisnis untuk terjun dibidang agribisnis. Asuransi perikanan, sebagai salah satu lembaga penjamin risiko agribisnis, sangat tepat untuk dikembangkan sejalan dengan upaya aplikasi teknologi agribisnis yang semakin meningkat. Selain itu, instrumen hedging dalam bursa komoditas juga perlu dikembangkan guna memberikan sarana penjaminan berbagai risiko dalam agribisnis dan industri pengolahannya. Konsep diatas membantu untuk memahami sistem agribisnis perikanan, terutama keberadaan kelembagaan pendukung untuk menciptakan agribisnis perikanan yang tangguh dan kompetitif. Lembagalembaga pendukung tersebut sangat menentukan dalam upaya menjamin terciptanya integrasi agribisnis perikanan dalam mewujudkan pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Kepulauan Aru.
31
2.5 Konsep Analytical Hierarchy Process (AHP) Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Saaty. AHP menguraikan masalah multifaktor atau multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multilevel dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Sebagai sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan kelemahan dalam sIstem analisisnya. Menurut Saaty (1993), kelebihan-kelebihan analIsis ini adalah: (1) Kesatuan (Unity), yakni AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami; (2) Kompleksitas (Complexity), yakni AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif; (3) Saling ketergantungan (Inter Dependence), yakni AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier; (4) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring), yakni AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa; (5) Pengukuran (Measurement), yakni AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas; (6) Konsistensi (Consistency), yakni AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas; (7) Sintesis (Synthesis), yakni AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif; (8) Trade Off, yakni AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan mereka; (9) Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus), yakni AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil penilaian yang berbeda; dan (10) Pengulangan Proses (Process Repetition), yakni AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka melalui proses pengulangan. Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut: (1) Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli. Selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru; dan (2) Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari model yang terbentuk. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis, ada tiga prinsip menurut Falatehan (2007), yaitu: (1) Menyusun Hirarki, yakni menggambarkan dan menguraikan persoalan secara hirarki; (2) Menentukan prioritas, yakni menentukan peringkat elemen-elemen menurut tingkat kepentingannya; dan (3) Konsistensi Logis, yakni
32
menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Dalam kajian ini AHP setelah dimodifikasi menjadi Program Penentuan Bobot Dimensi PEL digunakan untuk menentukan status PEL secara keseluruhan dengan menentukan bobot dari masing-masing dimensi PEL terlebih dahulu.
2.6 Konsep Perencanaan Pembangunan Menurut Sjafrizal (2009) perencanaan pada dasarnya merupakan cara, teknik atau metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Dengan demikian, secara umum perencanaan pembangunan adalah cara atau teknik untuk mencapai tujuan pembangunan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan kondisi negara atau daerah bersangkutan. Sedangkan menurut Y. Dror dalam Kunarjo (2002) perencanaan pembangunan merupakan suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu. Dari pengertian perencanaan pembangunan di atas terlihat dengan jelas bahwa komponen utama dari perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut: pertama, mempunyai suatu sasaran pembangunan yang jelas sesuai dengan keinginan Masyarakat; dan kedua, adanya persiapan untuk menggunakan sumberdaya yang ada. Sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2004, dalam rangka mendorong proses pembangunan secara terpadu dan efisien, pada dasarnya perencanaan pembangunan nasional di Indonesia mempunyai lima tujuan dan fungsi pokok. Tujuan dan fungsi pokok tersebut adalah sebagai berikut:(1) Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; (2) Menjamin terciptanya integrasi, singkronisasi dan sinergi antar daerah, waktu dan fungsi pemerintah, baik pusat maupun daerah; (3) Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; (4) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan; dan (5) Menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif dan Adil. Menurut Sjafrizal (2009) perencanaan pembangunan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, antara lain: (1) Berdasarkan jangka waktu, yaitu perencanaan jangka panjang (10-25 tahun), perencanaan jangka menengah (4-5 tahun) dan perencanaan jangka pendek (1 tahun); (2) Berdasarkan sifatnya, yaitu Perencanaan Dengan Komando dan Perencanaan Dengan Rangsangan; (3) Berdasarkan alokasi sumberdaya, yaitu Perencanaan Keuangan dan Perencanaan Fisik; (4) Berdasarkan tingkat keluwesan, yaitu Perencanaan Indikatif dan Perencanaan Imperatif; (5) Berdasarkan sistem ekonomi, yaitu Perencanaan Pembangunan dalam Sistem Kapitalis (mekanisme pasar), Perencanaan Pembangunan dalam Sistem Komunis (perencanaan terpusat) dan Perencanaan Pembangunan dalam Sistem Campuran; dan (6) Berdasarkan cara pelaksanaannya, yaitu Perencanaan Sentralistik dan
33
Perencanaan Desentralistik. Sedangkan menurut Kunarjo (2002) terdapat empat kriteria yang juga merupakan jenis perencanaan, antara lain: (1) Jangka waktu, yaitu perencanaan jangka panjang (10-25 tahun), perencanaan jangka menengah (5 tahun) dan perencanaan jangka pendek (1 tahun); (2) Ruang lingkup, yaitu Perencanaan Agregatif atau Komprehensif dan Perencanaan Parsial; (3) Tingkat keluwesan perencanaan, yaitu Perencanaan Preskriptif dan Perencanaan Indikatif; dan (4) Arus Informasi, yaitu Perencanaan dari atas ke bawah dan Perencanaan dari bawah ke atas. Sementara itu sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2004, terdapat lima jenis perencanaan pembangunan, yaitu: (1) Rencana pembangunan jangka panjang (20 Tahun); (2) Rencana pembangunan jangka menengah (5 Tahun); dan (3) Rencana pernbangunan tahunan (1 Tahun). Dan juga terdapat empat tahap dalam proses pembangunan yang sekaligus juga menggambarkan tugas pokok badan perencana pembangunan. Tahap Pertama adalah penyusunan rencana, Tahap Kedua penetapan rencana, Tahap Ketiga pengendalian pelaksanaan rencana dan Tahap Keempat evaluasi keberhasilan pelaksanaan rencana. Sedangkan menurut Kunarjo ada tiga tahap perencanaan pembangunan, yaitu: (1) Tahap penyusunan rencana; (2) Tahap pelaksanaan rencana; dan (3) Tahap evaluasi. Menurut Adisasmita (2006) pendekatan perencanaan pembangunan
di suatu daerah adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan Pembangunan Daerah Berbasis Sumber Daya, yaitu: (a) Pembangunan
Daerah
Berbasis
Sumber
Daya
SDM;
(b)
Pembangunan Daerah Berbasis Sumber Daya Alam (SDA); (c) Pembangunan
Daerah
Berbasis
Modal
dan
Pembangunan
Daerah
Berbasis
Sumber
Manajemen;
Daya
(d)
Kepariwisataan
Indonesia. 2. Perencanaan Pembangunan Daerah Berbasis Komoditas Unggulan, yaitu (a)
Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan
dan ke belakang
(forward and backward linkages) yang kuat, baik
sesama komoditas
unggulan maupun komoditas lainnya; (b)
Komoditas unggulan mampu
bersaing (competitiveness) dengan
produk sejenis dari wilayah lain di pasar
regional dan pasar
internasional, baik dalam harga produk, mutu produk dan
kualitas
pelayanan;
menjadi
(c)
Komoditas
unggulan
harus
mampu
penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Artinya, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang
34
signifikan
pada peningkatan produksi, sector-sektor lain dan
pendapatan masyarakat;
dan (d) Pengembangan komoditas
unggulan berorientasi pada kelestarian
lingkungan hidup.
3. Perencanaan Pembangunan Daerah Berbasis Pelaku Pembangunan, yaitu: (a) Usaha kecil atau Rumah tangga (household), seperti petani, nelayan,
pedagang dan usaha kecil atau rumah tangga lainnya; (b)
Usaha lembaga
sosial (non profit institution), seperti pendidikan,
rumah sakit, lembaga
keagamaan dan usaha lembaga sosial
lainnya; (c) Lembaga bukan
keuangan (nonfinancial institution),
seperti usaha pertambangan,
perkebunan, industri tekstil, semen,
mobil dan berbagai bentuk usaha di
sektor riil lainnya; (d) Lembaga
keuangan (financial institution), seperti bank,
asuransi, pegadaian,
pasar modal dan lembaga keuangan lainnya; dan
(e) Pemerintah
(government), baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah,
melalui BUMN dan BUMD. Sementara itu sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 terdapat lima pendekatan perencanaan pembangunan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu: (1) Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Kepala Daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agendaagenda pembangunan yang ditawarkan Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah; (2) Pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu; (3) Pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki; (4) Pendekatan atas-bawah (top-down) dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan dari kabupaten sampai dengan desa; dan (5) Pendekatan bawah-atas (bottom-up) dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan dari desa sampai dengan kabupaten. Kajian ini menggunakan konsep perencanaan pembangunan yang berpedoman pada Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 2.7 Penelitian Terdahulu Kajian mengenai pengembangan ekonomi lokal pernah di lakukan oleh Mintarti (2007) dengan judul “Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Komoditas Kelapa di Kabupaten Pacitan”. Dengan
35
menggunakan metode analisis sebagai berikut: (1) Untuk pengolahan dan analisis data digunakan Analisis Location Quotient, Analisis Shift Share, Analisis Kelayakan Finansial (NPV, IRR, BC Rasio), Analisis Nilai Tambah, dan Analisis Marjin Pemasaran, (2) Untuk merumuskan alternatif strategi digunakan metode Analisis SWOT, (3) Untuk menentukan prioritas strategi digunakan Analisis QSPM dan (4) untuk merumuskan program dilakukan melalui diskusi wawancara. Hasil kajian menunjukkan bahwa komoditas kelapa terbukti memiliki keunggulan komparatif dan potensial menjadi basis perekonomian di Kabupaten Pacitan. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pacitan dengan sektor basis kelapa ternyata memiliki kedekatan geografis wilayah sehingga dimungkinkan pembangunan suatu kawasan industri berbasis produk kelapa yang mencakup semua kegiatan dari pra produksi sampai pasca produksi, dengan melibatkan pelaku dari hulu ke hilir. Komoditas kelapa memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai pergeseran yang positif untuk jumlah produksi dibandingkan dengan kabupaten lain pada tingkat wilayah Propinsi Jawa Timur selama kurun waktu Tahun 2003 dan Tahun 2006. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pengolahan kelapa secara terpadu pada 1 hektar lahan, menghasilkan nilai NPV positif, B/C > 1 dan nilai IRR > suku bunga yang diasumsikan, sehingga secara finansial industri pengolahan kelapa layak untuk dikembangkan. Industri pengolahan kelapa terpadu yang menghasilkan keanekaragaman produk olahan kelapa dapat memberikan nilai ekonomis yang meningkatkan nilai akhir tiap satu butir kelapa. Selain itu aktivitas pengolahan produk turunan kelapa juga mampu menghasilkan nilai tambah, memberikan marjin keuntungan terhadap tenaga kerja dan pengusaha, serta sumbangan terhadap input lain pada setiap kilogram produk yang dihasilkan. Produk-produk olahan kelapa potensial memberikan marjin harga yang tinggi kepada petani dan produsen, bila sistem pemasaran semakin efisien maka klaster industri kelapa layak dikembangkan di Kabupaten Pacitan. Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan adalah penumbuhan klaster industri kelapa dengan mengoptimalkan kegiatan ekonomi komunitas yang selama ini telah terbentuk secara turun temurun sebagai klaster alamiah. Jocom (2009) melakukan kajian yang berjudul “Analisis Dampak Dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis Jagung Terhadap Perekonomian Wilayah Serta Analisis Pendapatan Masyarakat Petani Di Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato)” dengan metode analisis yang digunakan adalah Analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan Multiplier Long Run, Analisis Shift Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED). Kajian ini menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan basis jagung ternyata meningkatkan perekonomian wilayah melalui pergeseran struktur perekonomian wilayah. Secara komparatif
36
pengembangan agropolitan basis jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih sehingga dapat memberikan multiplier effect yang besar terhadap total perekonomian wilayah, namun secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti sub sektor tanaman bahan makanan, komoditi jagung, sektor bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga dapat menghambat perekonomian wilayah. Pengembangan agropolitan basis jagung juga meningkatkan pendapatan masyarakat petani, melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga dari pemerintah. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan usahatani di kawasan agropolitan dengan kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95%. Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan berada pada tingkat konsultasi, sehingga partisipasi masyarakat di kawasan agropolitan masih berada pada taraf sebagai pelaksana program, belum melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Berdasarkan hasil analisis RALED dan penentuan bobot gabungan diperoleh bahwa dimensi PEL Kabupaten Pohuwato adalah sebesar 57,19. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan status pengembangan ekonomi lokal Kabupaten Pohuwato berada dalam kondisi baik. Dimensi atau aspek yang memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek kelompok sasaran yaitu sebesar 67,16 dan aspek yang memiliki nilai indeks terendah adalah aspek proses manajemen yaitu sebesar 50,99. Dan analisis RALED juga menunjukkan bahwa ada tiga faktor pengungkit untuk aspek kelompok sasaran, tiga faktor pengungkit aspek faktor lokasi, dua faktor pengungkit aspek kesinergian dan fokus kebijakan, tiga faktor pengungkit pembangunan berkelanjutan, tiga faktor pengungkit untuk aspek tata pemerintahan, serta dua faktor pengungkit untuk aspek proses manajemen. Berdasarkan faktor pengungkit diatas, maka dirumuskan strategi pengembangan ekonomi kawasan agropolitan sebagai berikut: (1) pembentukan pusat layanan investasi, (2) peningkatan promosi UKM dan kampanye peluang berusaha oleh Pemda, (3) upaya diversifikasi produk dan pasar, (4) penerapan pelayanan perijinan satu atap, (5) perbaikan fasilitas dan kualitas pendidikan serta fasilitas umum dan sosial, (6) mengoptimalkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan (Agropolitan) (7) meningkatkan kebijakan kerjasama antar daerah, (8) pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan masyarakat. Bappenas (2008) melakukan kajian cepat status PEL mengenai “Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal Di Kota Kendari” dengan metode analisis yang digunakan adalah RALED (Rapid Assessment Technique for Local Economic Development) yang dikembangkan oleh Sugeng Budiharsono sebagai modifikasi dari Metode RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries), dengan langkah-langkah dalam analisis data adalah (1) Penentuan dimensi dan indikator pengembangan ekonomi lokal; (2) Analisis dengan metode Multidimensional Scaling (MDS); (3) Analisis Sensitivitas; dan (4) Simulasi Montecarlo. Hasil analisis RALED dan penentuan bobot gabungan diperoleh bahwa status PEL Kota Kendari adalah sebesar 55.29. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan status pengembangan ekonomi lokal Kota Kendari
37
berada dalam kondisi baik. Dimensi atau aspek yang memiliki nilai indeks tertinggi adalah aspek Pembangunan Berkelanjutan yaitu sebesar 63,02 dan aspek yang memiliki nilai indeks terendah adalah aspek Tata Pemerintahan yaitu sebesar 49,93. Dan analisis RALED juga menunjukkan ada enam faktor pengungkit aspek kelompok sasaran, empat faktor pengungkit aspek faktor lokasi, tiga faktor pengungkit aspek kesinergian dan fokus kebijakan, empat faktor pengunkit aspek pembangunan berkelanjutan, enam faktor pengungkit aspek tata pemerintahan dan tiga faktor pengungkit aspek proses manajemen. Berdasarkan faktor pengungkit tersebut, maka dirumuskan enam puluh lima strategi pengembangan ekonomi lokal Kota Kendari. Kajian Jocom dan kajian cepat status PEL Bappenas mempunyai kemiripan dengan kajian ini karena sama-sama menggunakan metode RALED. Sedangkan perbedaan kajian Mintarti, kajian Jocom, kajian cepat status PEL Bappenas dengan kajian ini adalah: 1. Kajian Mintarti menggunakan pendekatan komoditas unggulan dan menggunakan metode analisis kuantitatif, serta menggabungkan metode
mikro dan makro untuk mengembangkan ekonomi lokal di
Kabupaten Pacitan. Sementara itu kajian ini menggunakan pendekatan sumber
daya
alam
dan
pendekatan
pelaku
pembangunan,
menggunakan metode analisis kualitatif, serta hanya menggunakan metode makro untuk mengembangkan ekonomi lokal di Kabupaten Kepulauan Aru; 2. Kajian Jocom menggunakan enam metode analisis untuk pengolahan dan analisis data agar dapat menghasilkan sebuah kajian yang komprehensif, serta pengambilan sampel dilakukan terhadap seluruh stakeholder yang tergabung dalam forum kemitraan PEL Kabupaten Pahuwato. Sementara itu kajian ini hanya menggunakan satu metode analisis untuk pengolahan dan analisis data agar dapat menghasilkan kajian yang fokus, serta penentuan sampel dilakukan dengan identifikasi stakeholder berdasarkan pengalaman dan informasi dari stakeholder lain. 3. Kajian cepat status PEL Bappenas lebih menitikberatkan pada pengembangan ekonomi lokal yang bersifat menyeluruh untuk meningkatkan kondisi atau status PEL dari kategori baik menjadi kategori
sangat baik, dan penerapannya dengan rencana tindak.
Sementara itu kajian ini lebih menitikberatkan pada pengembangan
38
ekonomi lokal yang berfokus pada konsolidasi institusi dan sumber daya untuk meningkatkan kondisi atau status PEL dari kategori buruk menjadi kategori baik, dan penerapannya dengan program.